Senin, 28 Maret 2016

FANFIC : SCARLET [11]



TITLE         : SCARLET [11]
GENRE        : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING       : NC-21
CAST          : Lee Donghae

Author        : @Aoirin_Sora


Summary:
Apakah kubilang kalau ini cinta? Sebab aku tidak tahu apa yang kurasakan hingga kini. Karena saat fajar pertama menjemput kesadaranku, batinku masih berperang melawan kenyataan. Aku ingin mengatakan tidak, tapi sebagian diriku menginginkannya—mengharapkannya sebanyak kesadaranku memahami bahwa aku tidak akan pernah mendapatkannya. Aku ingin berteriak kalau aku memang mencintainya. Tapi aku terlalu takut. Takut akan kenyataan yang akan kuhadapi. Aku berusaha untuk bangkit dan menutup diri, tetapi lagi-lagi semuanya harus percuma. Karena tentu saja pria itu tidak akan membiarkanku untuk kabur begitu mudah. Ia membuatku terlihat tolol, menyiksa batinku begitu hebat namun tak memberiku kesempatan untuk bernapas dari segala pesonanya.
Lee Donghae itu racun. Dan sama sekali tidak memiliki penawarnya di dunia ini.
***


CHAPTER ELEVEN: It’s Just Me

Aku masih berada dalam tempat bahagiaku.
Begitu jauh dari alam nyata hingga menyeretku dalam pesona penuh seorang malaikat rupawan yang tengah tersenyum padaku. Aku tak tahu apa yang membuat wajahnya terlihat begitu memikat. Atau apakah aromanya yang menggugah hasratku yang sengaja kutekan dalam-dalam. Tapi aku tahu bahwa tidak mungkin aku bisa menolaknya.
Aku tidak mau.
Jarak kami benar-benar dekat. Namun tidak rapat. Sebab aku bisa merasakan ketergesaan batinku yang berteriak untuk segera menyentuhnya. Aku ingin memastikan bahwa pria itu bukan ilusiku—bahwa iamemang tengah tesenyum padaku. Tapi tampaknya lagi-lagi keberuntungan memudar secepat kedatangannya. Seluruh perhatianku terpecah pada sebuah suara nyaring yang berasal dari seseorang di sebelahku.
“Bukankah kau sekretarisnya Lee Donghae?”
Aku mengejap. Terkesiap oleh perkataan penuh implikasi itu. Aku menoleh ke kanan, pada seorang wanita yang sedang mengamati kami dengan segelas koktail di tangannya. Wanita itu memiliki aura superior yang memancar kuat. Dan aku mengenalnya.
“Jenny,” desah Donghae penuh penekanan. Aku melirik Donghae dengan cepat, merasa bahwa kesadaranku kembali dengan menyakitkan saat kulihat jemari Donghae kini berpindah pada pergelangan tangan wanita itu.
Jennifer C. Houston mendelik pada bosku, wajahnya memerah entah karena efek alkohol atau memang karena ia terbakar amarah.
“Aku tahu dia sekretarismu. Atau apakah statusnya sekarang sudah berganti menjadi mantansekretarismu?” Alis Jennifer melengkung naik, seakan meminta persetujuan dari perkataannya barusan.
Donghae mendesah lagi. Ia menggigit bibir bawahnya dengan canggung. Aku bersumpah pria itu sempat melirikku sekilas sebelum ia menarik napas berat.
Well,” kata Donghae terlihat bingung.
“Bukankah kau tak suka kalau sekretarismu jatuh cinta padamu?” tuding Jennifer kasar. Ia menunjukku dengan tangannya yang menggenggam gelas hingga membuat airnya melompat ke udara.
“Jenny, dengar, aku—”
“Aku tidak mendengar. Aku melihat.” Potongnya cepat. Setelah kuperhatikan, wanita itu tampaknya separuh mabuk. Pandangannya terlihat tidak fokus dan sepertinya ia sedikit cegukan.
Donghae mencengkram pergelangan tangannya lebih kuat—membuat wanita itu memekik kesakitan. “Tutup mulut atau kau dalam bahaya.” Geram Donghae marah. Ia benar-benar kehilangan kesabaran begitu mudah.
“Nak, kau harus menahan diri. Kita di tempat terbuka.”
Aku nyaris melupakan keberadaan Marven kalau saja ia tidak berkata seperti itu. Dengan sigap pria tua itu langsung menarik tubuh Donghae menjauh dari Jennifer dan melanjutkan peringatannya. “Miss Houston sedang mabuk.”
Kalau kupikir keadaan berangsur membaik, dugaanku langsung meleset saat itu juga. Karena satu menit setelah perkataan Marven, Jennifer tiba-tiba mengamuk. Ia melempar gelas koktailnya hingga gelas itu hancur berkeping-keping di atas karpet dan menatap murka ke arah kami—kepadaku.
“KAU BILANG KAU TIDAK AKAN TERTARIK PADANYA—” wanita itu melotot garang, menunjukku dengan ujung jari dan wajahnya yang merah padam berbalik pada Donghae. “—KARENA KAU BILANG DIA CUMA SEKRETARISMU!” dan aksi nekat Jennifer di mulai.
Jennifer mengenakan gaun pendek yang hanya menutupi separuh paha mulusnya—meskipun ia mengenakan semacam selendang ungu tua yang membalut punggung dan menutupi dadanya. Tapi kini, setelah ia juga melempar selendang itu, aku harus menahan rasa muak ketika melihat betapa minimnya kain yang menutupi payudara Jennifer. Wanita itu terlihat hilang kendali, berderap maju dan menerjang bosku dengan kecepatan luar biasa.
Bibir mereka bertemu. Di bawah ratusan pasang mata yang mengamati—mereka berciuman. Oke, seharusnya aku bisa mengatakan kalau bosku dicium paksa, tapi kenyataannya pria itu hanya berdiam diri. Membuatku sulit menebak apakah ia memang menikmati ciuman Jennifer atau hanya tak mampu melawannya.
Dan jauh di dasar hatiku, aku mendengar jeritan kekecewaan. Perlahan merayapi punggungku yang dingin hingga rasanya menusuk hingga ke tungkai kakiku. Aku bisa merasakan itu dalam pembuluh darahku, membawanya naik ke kepala—mencapai otak dan tiba-tiba aku dilanda perasaan melankolis.
Dengan berat hati aku memalingkan pandanganku pada Marven. Untuk sedetik ia terlihat iba menatapku—yang sedang berjuang menahan airmata konyol ini—tapi perhatiannya terbagi saat Donghae menyentakkan tubuh Jennifer dengan paksa. Bisa kudengar napas Jennifer yang terengah-engah—begitu juga dengan napas Donghae.
“Ikut aku,” kata pria itu penuh penekanan. Aku membuang muka, menolak menyaksikan saat bosku menarik Jennifer yang masih disorientasi menuju pintu hall.
“Youva,” panggil Marven canggung. Ia menahan tangannya di punggungku. “Ini bukan—”
“Sayang sekali, tapi kau salah, Marven.” Potongku sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Suara tawa liar aneh tiba-tiba saja menyeruak keluar dari tenggorokanku. “Dia tidak menginginkanku seperti itu. Perkiraanmu salah total.” Kataku getir.
Marven menghela napas berat. Aku tahu ia bingung harus bersikap seperti apa padaku. “Jennifer adalah kliennya.”
“Benar. Dan aku adalah sekretarisnya. Wah, itu memberikan perbedaan besar, kan?” Nada sarkastis dalam kalimatku terasa begitu jelas, tapi aku tak ingin menyembunyikan kekesalanku sekarang. Sudah terlambat.
“Kau akan tahu segalanya. Suatu saat nanti.”
“Terima kasih, aku merasa sangat baikan dengan perkataanmu.”
Marven memandangku. Aku balas menatap marah pria tua itu, yang sangat lihai menyembunyikan emosi dan isi kepalanya—sangat berkebalikan dariku. Tapi ketika tampaknya tak ada lagi yang bisa kuucapkan, aku memalingkan wajah darinya.
“Aku ingin pulang.” Kataku pelan. Aku tidak menunggu reaksi Marven, kedua kakiku langsung menuju pintu hall secepat yang kubisa.
Kepalaku penuh dengan adegan ciuman Jennifer dan Lee Donghae lalu seketika merasa bodoh kenapa aku bisa melupakan fakta bahwa bosku memiliki begitu banyak wanita dalam hidupnya. Dan lebih merasa kesal pada diriku yang jelas-jelas telah terpikat oleh pria itu. Rasanya seluruh kepingan kegilaan yang kurasakan beberapa menit yang lalu langsung menguap tak berbekas.
Mengapa pria itu bisa membolak-balikkan hatiku semudah ini?
Aku baru saja keluar dari hall dan menyusuri koridor menuju ruangan depan ketika aku mendengar langkah kaki tak jauh di depanku dan suara-suara berdesis rendah. Aku memelankan langkah, mencoba menangkap sesuatu sebelum berbelok ke sumber suara. Tapi terlambat, aku tertangkap basah.
“Miss Cardia.”
Secara refleks aku mendongak dan menemukan Donghae sedang menuju padaku dari depan pintu utama. Aku melirik ke belakang punggungnya, nyaris terkejut dengan pemandangan yang kusaksikan; Jennifer tak sadarkan diri, kedua kaki dan tangannya di angkat bersamaan oleh dua orang pria. Dan Chad berdiri tak jauh dari mereka. Ia menatap Donghae dan bosku mengangguk kecil padanya sebelum ia keluar mengikuti dua orang pria yang membawa tubuh Jennifer.
“Ada apa?” tanyaku khawatir. Aku menatap sosok Chad yang menghilang melewati pintu utama bersama dengan dua orang lainnya.
“Jennifer mabuk.” Jawab bosku singkat. Tapi aku tahu itu hanya alasan. Ia terlihat sedang menutupi sesuatu. “Kau mau kemana?” tanya pria itu cepat—seolah ingin menepis kecurigaanku.
“Pulang.”
Ada jeda panjang. Donghae menatapku dalam diam. Ekspresinya tak bisa dibaca meski ia mengerutkan bibirnya. “Secepat ini?” tanya Donghae akhirnya.
“Aku pikir aku sudah melihat semua yang harus kulihat, Sir.” Kataku ketus. Aku terlalu kesal untuk membiarkan pria itu mengambil kewarasanku kali ini. Tapi ia tetap Lee Donghae, yang dengan mudah bisa mengendalikan suasana hatiku.
“Aku menangkap arti lain dari perkataanmu, Youva.” Kali ini Donghae maju, menghalangi langkahku. Wajahnya miring ke samping, dengan senyum menggoda yang selalu saja membuatku hancur berantakan dari dalam.
Aku mencoba menghindari pria itu, mencari celah dari sebelah kanan namun sepertinya pikiranku terlalu mudah ditebak. Dengan cepat pria itu memblokir langkahku. Ia menutup setiap gerakan yang ingin kubuat dan dengan jengkel aku menatapnya. Donghae menaikkan alis, bibirnya melengkung, menciptakan senyuman berpuas diri.
“Kau marah.” Katanya dengan nada geli yang tersirat jelas.
“Tidak.” Sanggahku kelewat nyaring—membuatnya semakin semringah. “Aku sekretaris anda, Sir. Danmasih akan menjadi sekretaris anda. Aku tidak berhak marah.”
Lee Donghae mendengus geli. Wajahnya memiring ke kanan dan kedua matanya menyipit penuh arti. “Apakah semua ini karena Jennifer?” ia membuat ekspresi seolah-olah baru saja menyadari pertanyaannya sendiri.
“Oh.” Ucapnya dengan kedua alisnya meninggi, dan perlahan senyumnya terukir lebar. “Jennifer mabuk, Youva. Dia tidak tahu apa yang dibicarakannya—dan yang dilakukannya.”
“Tapi aku tahu, Sir.”
Keheningan mengambil alih situasi. Kami bertatapan dalam diam, berusaha mengendalikan ekspresi wajah untuk tetap tak terbaca namun gagal—walaupun hanya aku yang tak bisa menyembunyikan kemarahan tolol ini.
“Kau ingin aku minta maaf atas ciuman itu?” tanyanya masih menatapku. “Atau kau kepingin aku menciummu?”
Aku tahu aku tidak boleh kelihatan seperti idiot tapi dengan cepat wajahku memerah mendengar perkataannya. Meskipun aku mati-matian menyangkal semua itu, bosku tetap tak memercayaiku karena wajahku menunjukkan segalanya.
“Berhenti membantahku—dan berhenti menggigit bibir. Apa kau benar-benar ingin aku menciummu?” Itu ancaman yang memukau—kalau saja aku tidak dipenuhi rasa jengkel padanya. Tapi Donghae bahkan masih menyisakan senyumnya di ujung bibirnya ketika tiba-tiba wajahnya berubah waspada.
“Apa?” bisiknya tegang. Ia meletakkan ujung jarinya ke telinga sebelah kanan dan berbicara dalam nada rendah. “Kau sudah memastikannya?” Aku langsung mengerti kalau ia tidak berbicara padaku.
Aku menahan napas, tak berani mengatakan apapun saat kedua mata Donghae berubah keras. “Aku tahu.” Katanya lagi, kemudian ia menatapku khawatir.
“Miss Cardia, kita dapat masalah.”
***
Perjalanan kembali ke Apartemen benar-benar membuatku bertanya-tanya apa yang salah. Bosku ngebut seperti orang gila dengan Ferrari-nya di sepanjang jalan Wildshire. Ia membelok di perempatan West Wood yang mulai sedikit sepi dengan tidak mengurangi kecepatannya—membuatku terlempar ke pojok kiri dengan menyakitkan. Rambutku mulai berantakan karena angin yang menerobos lewat atap mobil yang terbuka. Menjadikan setiap helaiannya terlihat mencuat salah arah.
Aku tak berani melirik bosku, tapi akhirnya menyempatkan diri untuk mengabadikan wajah rupawannya di bawah sinar bulan yang keperakan. Ia terlihat marah. Bibirnya mengatup menjadi garis tipis. Alisnya bertaut ganjil, seakan sedang memikirkan seribu cara untuk membunuh dalam kepalanya. Tetapi dengan tiupan angin malam yang mengacaukan rambutnya—mengubahnya menjadi model iklan seksi yang mengendarai Ferrari—aku tak bisa berhenti berdebar. Lee Donghae terlihat seperti langit malam; indah dan mengagumkan.
Jika tadi Chad menghabiskan waktu setengah jam untuk mengantar kami ke pesta Johny Verto, kali ini bosku memecahkan rekor dengan tiba dalam lima belas menit. Ia menginjak remnya dalam-dalam persis di depan gedung Apartemennya, di mana Chad dan sekitar selusin orang telah menanti dengan wajah pucat.
Aku mengernyit. Selusin pria yang berdiri gelisah di belakang Chad mengenakan pakaian seragam. Seluruh pakaian mereka berwarna hitam dan ada alat yang menggantung di telinga mereka—communicator.
“Kita kehilangan jejaknya, bos.” Ujar Chad memulai percakapan. Ia mengikuti kami yang masuk ke dalam gedung dan menuju lift sementara yang lainnya tetap berdiri di luar.
“Berapa jauh?”
“Sekitar 500 mil dari sini.” Jawab Chad pelan.
Donghae meninju dinding lift dengan berang. Dan responku membuat tubuhku mundur satu langkah ke belakang. “Sialan Chad!” Katanya marah. “Berikan alasan logis kenapa dia bisa menerobos masuk. Kau sudah tahu aku tidak menerima alasan bodoh.”
Chad menarik napasnya berat. Ia mengernyit sebelum menjawab. “Sejujurnya, bos, aku juga tidak mengerti kenapa dia bisa masuk. Seluruh titik telah dijaga begitu ketat dan tidak mungkin dia bisa lolos dari penjagaan, kecuali..”
“Apa?” bentak Donghae tak sabar. Ia menatap Chad garang, seolah pria itulah penyebab semua kekacauan yang masih belum kumengerti.
“Kecuali ia bisa menghilang dan muncul begitu saja.”
Donghae mendengus kesal. Ia terlihat seperti akan menelan Chad hidup-hidup tapi tiba-tiba sebuah pemikiran baru melintas dalam kepalanya. “Bawa Alex kemari.”
“Dia sudah di sini, Sir.”
Begitu pintu lift membuka, Donghae segera berjalan menuju pintu Apartemennya dengan tergesa-gesa. Ada sekitar dua lusin lagi pria dengan seragam dan communicator di telinga mereka yang berdiri bersisian sepanjang koridor.
Aku menebak ada hal yang tidak beres yang telah terjadi di Apartemen Donghae saat kami tidak ada. Tapi rupanya kata-kata tidak beres tidak mencakup semua kengerian yang terjadi di sana.
Seluruh ruangan tampaknya telah hancur lebur. Sofa-sofa terjungkal aneh—beberapa malah hancur berserakan—dan isinya berhamburan di lantai, menciptakan kumpulan awan-awan kecil yang tersebar di penjuru ruangan. Lemari penuh buku itu kini telah patah—pecahan kaca, gelas dan piring di mana-mana, buku-buku yang telah terkoyak, selimut yang tercabik, dan Apartemen ini sepertinya tertutup oleh kabut tipis.
Aku memandang kerusakan di depanku dengan rahang menganga takjub. Tak mampu berkedip selama beberapa saat sebelum akhirnya kesadaranku kembali ketika Donghae berkata dengan nada penuh amarah.
“Jelaskan apa yang terjadi.”
Alex muncul dari balik kabut itu. Ia berjalan santai, meski raut wajahnya tampak tegang. Pria itu mengenakan boots ala koboi yang ajaibnya benar-benar terlihat cocok di tengah kehancuran ini. Rambut ikalnya yang mengantung sebahu bergoyang pelan saat ia berjalan mendekati kami. Aku memperhatikan wajahnya sedikit lebih lama karena kabut tipis itu menghalangiku.
Ada rambut tipis di bawah hidung dan bibir Alex, membuatnya tampak sedikit lebih tua. Tapi sinar matanya yang dalam membuatku yakin kalau pria itu bukan pria sembarangan.
“Ini jelas-jelas salah satu teknik SAS.” Komentarnya mengangkat bahu. Ia memandang ke sekeliling. “Teknik gabungan dari Aggression and Survival—Penyerangan dan Penyelamatan. Dilakukan dengan begitu cermat dan teliti.”
“Apa yang dia cari?”
Alex berbalik dan memandang Donghae sebelum menjawabnya. “Dengan semua kekacauan ini, kita tidak akan bisa memperoleh jawaban kecuali menebaknya.”
Donghae menghela napas marah. Ia menyusuri ruang kerjanya—yang keadaannya sama berantakannya dengan ruang tengah. “Kalau begitu berikan analisismu, Alex. Bagaimana ia bisa sampai di sini tanpa ketahuan? Berikan kronologisnya padaku.”
Dengan tanpa pernah kuduga sebelumnya, Alex tiba-tiba mendatangiku. Ia menatapku tepat di mata. “Dengan ini,” katanya lalu merebut cluth bag di tanganku.
Aku terperanjat dan Donghae menatapnya bingung. Tapi ia membiarkan Alex membuka clutch bag-ku dan meraih ponselku dari dalam sana.
“Sudah kubilang kalau ponsel berperan besar dalam seluruh kegiatan pelacakan, bukan? Kalau kau punya ponsel seharga $1000 dan sama sekali tidak mengaktifkan protector apapun di dalamnya, menelanjangi isinya benar-benar mudah. Sudah pasti dia menyadap ponsel gadis ini dan mencuri seluruh datanya—tempat terakhir yang dikunjunginya dan pesan-pesannya, seluruhnya—hanya dalam beberapa menit.”
“Siapa yang kau maksud?” tanyaku memberanikan diri.
Alex menoleh lagi padaku. Ia menatapku sejenak, mencoba mengintimidasiku dengan tatapannya yang sekeras batu. “Kenapa kau masih bertanya? Tentu saja Jason Andersen.”
Tubuhku membeku dalam hitungan detik. Aku terperangah dengan mata membelalak dan rahang menganga lebar. “Aku tidak—”
“Ya, dia bertemu denganmu, Miss Youva Cardia, bukan, Miss Youva Carlos. Kau pasti bertemu dengannya—berada cukup dekat untuk membiarkannya mengambil alih seluruh data dalam ponselmu.”
“Tapi dia tidak menyentuh ponselku—” perkataanku diinterupsi oleh suara tawa hambar Alex. Pria itu mengernyit geli melihat kegugupanku.
“Kalau kau adalah seorang lulusan terbaik SAS, kau sama sekali tidak perlu menyentuh ponsel seseorang untuk bisa mencuri data-datanya. Kami punya aplikasi serta satu set peralatan canggih yang memungkinkan untuk menyadap ponsel Presiden Amerika sekalipun. Dan aku yakin Jason Andersen juga memilikinya.”
Aku mencelos dalam hati. Itukah sebabnya Johan menahanku di ruangan itu? Memancingku untuk bertemu dengannya—berdiri hanya beberapa meter jauhnya dariku? Untuk mencuri data-data dalam ponselku? Ya Tuhan.
“Jadi kau benar-benar bertemu dengannya?”
Tubuhku rasanya disetrum dengan listrik 1000 volt saat aku mendengar suara Donghae yang terluka. Ia memang terdengar marah, namun tetap saja kekecewaan mewarnai setiap suku kata yang ia ucapkan.
“Dan kau tidak mengatakannya padaku?”
Aku tak mampu menjawab apapun. Kurasakan tubuhku larut dalam perasaan bersalah saat melihatnya memandangku begitu nelangsa. Aku menunduk, menatap puing-puing kaca di sudut kakiku sebagai ganti menjawabnya. Tapi dengan cepat Alex mengembalikan ketegangan.
“Aku meragukan beberapa hal dan penasaran mengenai sesuatu. Apakah kau keberatan jika aku mengakses ponselmu?”
Tentu saja aku keberatan. Tapi dengan tiga pasang mata yang menatapku tajam, aku tidak mungkin bisa bilang tidak. Segera setelah mendapatkan izinku, Chad memberi Alex sebuah koper yang ternyata berisi laptop dengan beberapa alat tambahan di kanan kirinya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka kerjakan dengan ponselku dan laptop itu. Lagipula perhatianku tercurah untuk sesuatu yang lain—pada bosku yang mematung di seberangku.
Aku tahu pria itu melirikku dalam diam dan aku sama sekali tak ingin membalasnya. Separuh kesadaranku bergerak begitu cepat membentuk alasan-alasan yang membenarkan perbuatanku tapi tak satupun tampaknya terdengar bisa di maafkan. Jadi aku menyerah. Aku menutup mulutku rapat-rapat dan berjalan menuju kamarku.
Ruangan itu juga telah hancur berantakan. Tempat tidurnya seakan meledak, menjadikan puing-puingnya bertebaran di seluruh ruangan. Aku mengamati deretan pakaianku yang berubah menjadi potongan kain kumal yang menghangus mengerikan dan berasumsi kalau Johan pasti menggunakan bahan peledak.
“Kau beruntung, Youva.”
Suara Chad membuatku buru-buru kembali ke ruangan tengah. Di sana Donghae dan Alex serta Chad tengah mengerumuni koper yang berisi laptop itu. Mereka melihat ke arahku bersamaan. Meskipun Alex yang menjelaskan padaku.
“Aku senang kau tidak menuliskan satu patah katapun mengenai Arthur Carlos baik di kontak maupun dalam pesan-pesanmu.” Ungkapnya bersungguh-sungguh. Itu benar. Aku menamai kontak ayahku dengan sebutan ‘Dad’. “Dia Cuma mendapatkan lokasi Apartemen ini.”
“Tapi tak ada jaminan dia tidak akan segera tahu.” Kata Donghae cepat. Ia melirik pada Chad. “Hubungi Arthur dan bilang padanya untuk segera membuang ponselnya atau menonaktifkan nomor itu. Lalu pastikan perusahaan telekomunikasi memperketat sistem database mereka agar Jason tidak bisa melacak asal nomor itu.”
“Baik, Sir.” Ujar Chad singkat dan ia segera keluar dengan ponsel di tangannya.
“Dan aku ingin tahu bagaimana mungkin Jason Andersen bisa melewati tiga lusin penjagaan tanpa sepengetahuan siapapun?”
Alex menutup laptopnya dan berdiri tegak. “Semuanya terjadi dalam waktu kurang dari satu jam. Dan aku harus memberitahumu bahwa tampaknya kali ini Jason tidak sendiri. Ada seseorang yang membantunya. Sejauh ini tebakan terbaikku adalah setelah berhasil memindai seluruh data dalam ponsel Youva, Jason menemukan bahwa tak ada satupun informasi yang bisa dia peroleh dari data-data itu dan memutuskan untuk melakukan rencana lain. Aku mendengar bahwa Jennifer Houston tiba-tiba mengamuk di tengah pesta dan itu membuatku merasa curiga kalau tindakan itu termasuk dalam rencana Jason. Beruntung kita segera mengamankannya ke laboratorium, karena setelah itu kecurigaanku terbukti.”
Pria itu menahan senyumannya. Ujung-ujung bibirnya berkedut tapi ia menghembuskan napas panjang. “Tim peneliti mengatakan bahwa mereka menemukan alat pengacau sinyal di telinga kiri Jennifer. Jadi, ketika Jennifer menciummu, aku yakin saat itu lah Jason berusaha menerobos masuk ke Apartemen—yang seluruh sistem kendalinya berada pada pemancar sinyal yang kau bawa—dan dia berhasil. Rencana yang bagus.”
Aku menahan napas mendengar penjelasan Alex, tapi keningku berkerut bingung. “Apa maksudmu?”
Alex memindahkan tatapannya padaku. Ia terlihat bersemangat saat menjelaskan. “Oh, kau pasti tidak tahu. Seluruh gedung ini telah di proteksi untuk satu orang. Tak ada yang bisa keluar dan masuk tanpa ketahuan. Sistem database dan pengendali gedungnya di arahkan—dan diciptakan—untuk Donghae. Jadi jika ada seseorang yang mencoba memasuki gedung ini, bahkan dari atas atap sekalipun, sensor di seluruh bangunan akan mengirimkan sinyal padanya. Dan sinyal itu akan diteruskan ke seluruh penjaga yang bertugas mengawasi gedung ini dalam radius 5 mil. Kau pasti tau apa yang akan terjadi jika ada alat pengacau sinyal berada di dekat Donghae ketika gedungnya diterobos seseorang. Benar, alarmnya akan sia-sia. Dan itu menjelaskan kenapa tak ada seorangpun yang menyadari ada yang berhasil menyelinap sampai ruangan ini meledak.”
Aku mengejap bingung. Sekaligus terpana mendengar penjelasan Alex barusan. Aku sama sekali tak menduga kalau aku tinggal di dalam Apartemen yang super canggih.
“Kau bilang ini adalah teknik penyerangan dan pertahanan?”
“Benar.” Senyum Alex mengukir tipis di wajahnya. “Jason pasti mengetahui bahwa gedung ini di proteksi penuh dan itu berarti ada berbagai macam perlindungan yang menjaganya. Tapi dengan berani dia tetap menerobos masuk dan menelan resiko ikut meledak di ruangan ini.”
“Tunggu,” selaku gemetar. “Ada peledak? Maksudku, ruangan ini diatur untuk meledak?”
“Tentu saja. Siapapun yang masuk tanpa ijin akan menjadi potongan daging panggang. Itulah sebabnya Jason juga melakukan teknik pertahanan diri—survival technic—untuk bisa selamat dan keluar dari sini hidup-hidup.”
Aku bergidik ngeri membayangkan rentetan ledakan yang terjadi kalau saja aku yang menerobos masuk. Dan sesuatu memberitahuku kalau aku tidak boleh lengah saat aku berurusan dengan Donghae. Siapa tahu pria itu bakal meledakkanku kalau-kalau ia mulai kesal.
“Jadi apa menurutmu dia bisa mendapatkan apa yang dia cari?”
Alex berpaling pada Donghae dan ia bersedekap. Sebelah tangannya menyentuh bibir, terlihat sedang menimbang. Dan setelah beberapa saat, ia memberikan dugaannya. “Dia punya sekitar sepuluh menit penuh sejak masuk dalam Apartemen dan mencari apapun yang dia inginkan. Aku masih ragu, tindakan apa yang dia lakukan hingga memicu ledakan. Tapi dengan melihat ruangan kerjamu yang hancur lebur, aku yakin dia mencoba masuk ke dalam sana. Dan jika tebakanku benar, itu berarti Jason tidak sempat mendapatkan apapun.”
“Sepertinya aku tahu apa yang dia inginkan.” Kataku tanpa sadar. Dalam hitungan detik, mereka memandangku terkejut. “Johan—Jason, dia mencari laporan itu.”
“Laporan apa?”
Aku menatap Donghae sedikit takut. “Sebuah laporan dengan keterangan Confidential dan logo aneh yang tak bisa kubaca.” Pikiranku kembali pada sebuah laporan yang kubaca diam-diam di ruang kerja Donghae dua minggu yang lalu.
Donghae dan Alex saling berpandangan. “Bisa saja itu benar.” Ucap Alex terlihat setuju. “Apakah kau menyimpannya di sini?”
“Tidak. Aku menyimpannya di tempat lain.” Jawab Donghae cepat. Aku mendengar nada puas dalam perkataannya dan mau tak mau aku ikut mendesah lega. Tapi tepat saat itu Chad kembali dengan wajah khawatir.
“Bos, aku telah menghubungi perusahaan telekomunikasi dan berbicara dengan bagian Tracking System. Mereka mengatakan bahwa sejak lima belas menit yang lalu ada sebuah saluran asing yang mencoba meretas dalam sistem database mereka.”
“Apa dia berhasil?” tanya Donghae sama gusarnya denganku sekarang. Wajahku memucat dengan cepat. Aku tak berani menarik napas, seluruh partikel dalam tubuhku menegang menanti penjelasan Chad.
“Tidak, Sir. Aku sudah menghubungi Mark dan saat ini dia sedang menutup seluruh akses sistem database. Meskipun sepertiga data telah lolos, tapi Mark memastikan bahwa Jason tidak mendapatkan data mengenai Arthur ataupun Youva.”
“Bagus.” Ucap Donghae menghela napas. “Kalau begitu kita harus terus bersiaga penuh. Aku ingin secepatnya menemukan lokasi penyusup database itu dengan titik koordinat satelit. Kurasa aku akan tinggal di sini satu malam lagi, Chad. Beritahu petugas kemanan untuk membersihkan lantai teratas dalam waktu sepuluh menit. Dan Alex, aku mau kau mencari tahu apa yang terjadi dengan Jennifer.”
Baik Alex dan Chad sama-sama mengangguk. Chad segera pergi dengan tangannya menyentuh telinga dan berbicara melalui communicator. Sementara Alex masih mengitari ruangan dengan perlahan dan memandang kehancuran dengan tatapan puas.
“Apa yang akan kau lakukan besok?”
Donghae menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab pria itu. “Kembali ke perusahaan.” Katanya terdengar seperti tak punya pilihan.
Alex mengukir senyum tipis. Binar matanya sedikit nakal, saat ia mengamatiku sekilas. “Akhirnya.” Komentarnya menaikkan alis. Kemudian pria itu berdiri di depanku.
“Sayang sekali, Miss, ponselmu tidak bisa digunakan lagi.” Ujarnya tanpa terdengar menyesal.
Aku memandanginya. Memperhatikan wajah Alex yang tampan dengan sepasang mata biru gelap dan senyumnya yang semakin lebar. Hidung pria itu begitu runcing, dengan bibir tipis dan deretan gigi rapi yang memamerkan diri. Alex memiliki rambut ikal pirang gelap yang terlihat begitu kontras dengan warna matanya. Senyumnya seakan sedang mengejekku. Tapi ia mengeluarkan kacamata dengan gagang tipis dari dalam saku jins belelnya dan mengenakannya.
“Bisakah aku menyimpannya?” tanyaku separuh berharap. Bagaimanapun itu adalah hadiah pertama dari Ayahku.
Save it? Hell no.” Jawabnya nyengir lebar. Ia beralih pada Donghae dengan cengirannya. “Your girl is so fucking funny, Donghae. Too funny that I wanna know what the fuck does she think about?
Aku memberengut menatap Alex dan ia tertawa melihat ekspresiku. Suaranya yang berat menggema dalam ruangan .
Even your face is so damn funny.” Katanya lalu mengacak-acak rambutku. Aku mendengar Donghae menggeram dan menatapnya marah. “Sorry. Just cant control my hand.” Alex mengangkat bahu dan berderap pergi dari hadapanku setelah memberiku kerlingan kecil.
“Kenapa kau menatapnya seperti itu?”
Aku tersentak mendengar suara Donghae persis di sebelahku dan buru-buru mengalihkan pandangan dari pintu—mengamati kepergian Alex.
“Alex sudah empat puluh tahun depan.” Katanya dengan sedikit tajam. Aku mengangguk dan menggumamkan “Oh,” padanya. Tapi pria itu langsung berdiri di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang. “Tak ada yang ingin kau katakan padaku?”
“Beberapa hal..” bisikku takut. Aku tak berani menatapnya saat pria itu memandangku dan mengernyit. Tapi aku bersyukur karena Chad muncul beberapa detik kemudian.
“Sir, ruangannya sudah siap. Anda bisa naik sekarang.”
Donghae tidak merespon perkataan Chad, ia masih menyiksaku dengan tatapannya. Tapi kemudian ia memberi perintah padaku. “Ikut aku, Miss Cardia.”
Aku tahu aku tak mungkin bisa lolos kali ini.
***
Ruangan ini sama besarnya dengan Apartemen Donghae yang telah hancur. Yang berbeda hanyalah tidak ada dekorasi apapun pada dinding-dindingnya. Ruangan itu tampak dingin—karena tak pernah ditinggali siapapun meski seluruh peralatan di dalamnya terisi lengkap. Dan lagi-lagi, hampir semua perabotan berwarna putih cemerlang. Termasuk juga sofa empuk di seberangku saat ini.
Aku baru akan merebahkan diri di atas sofa ketika tiba-tiba Donghae menarik tanganku dan membawaku masuk ke sebuah kamar. Ada tempat tidur berukuran sedang di ujung ruang. Dan hanya ada sebuah meja putih kecil di sebelahnya. Ruangan ini seperti kamar tamu. Begitu sederhana dan.. putih.
“Jelaskan.”
Perintah Donghae membuatku menunduk takut. Ia berdiri di depanku, dengan tangannya bersedekap, dan bibir mengatup marah.
“Aku—aku melihat Johan di sana, Sir.” Bisikku teramat pelan.
“Dan?”
“Dan aku mengikutinya.” Cicitku lemah.
“Dan kau tidak memberitahuku.” Geram Donghae marah. Ia mengepalkan tangannya. “Pernahkah kau berpikir kalau aku sedang melindungimu? Dan dengan tololnya kau malah menyerahkan diri padanya?”
Tubuhku menciut begitu cepat. Aku tahu aku pantas mendapatkan kemarahannya. Jadi aku membiarkannya mengamuk selama beberapa saat.
“Beritahu kenapa kau mendatanginya! Astaga, Youva—kau benar-benar—” ia mendengus marah.
“Aku ingin tahu kenapa dia mencoba membunuhku, Sir.” Bisikku lagi. Kali ini aku memberanikan diri untuk meliriknya sekilas.
“Dan apa yang dikatakannya?”
“Dia tidak menjawabku. Tapi..”
“Tapi apa, Youva? Bicaralah dengan jelas.”
Aku menelan ludah. Menunduk lebih dalam dan memejamkan mataku ketika menjawabnya. “Johan bilang kalau—kalau aku tak boleh mempercayai Anda. Dia juga bilang kalau anda berbahaya..bagiku.”
Aku menunggu ketika Donghae mulai melampiaskan kemarahannya lagi. Tapi aku tak menerima satu patah katapun darinya. Kusadari ruangan hening untuk sejenak dan aku mengintipnya dari sela-sela mataku.
Donghae menatapku lurus. Wajahnya kini melunak dan binar matanya tak lagi penuh amarah. “Dan kau percaya padanya?” tanyanya pelan. Aku nyaris tak mempercayai pendengaranku saat ia berkata begitu tenang—nyaris lembut.
“Tidak, Sir.” Jawabku tanpa membalas tatapannya. “Aku—kukatakan padanya kalau dialah yang berbahaya bagiku dan aku mempercayai anda. Tentu saja.”
Tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku mencoba berdeham ketika tatapan Donghae semakin membuatku salah tingkah.
“Lihat aku, Youva.” Perintahnya mutlak. Aku mendongak menatapnya, tetapi kedua bola matanya yang indah membuatku memerah dengan cepat. Aku terlalu lemah. Bahkan tak sanggup bertahan dari tatapannya.
Karena aku tak juga menurutinya, bosku lalu meraih daguku dan menggeser wajahku menjadi tepat di depan wajahnya. “Terima kasih karena mempercayaiku.” Ia tersenyum. Senyum tulus yang tak pernah kulihat sebelumnya dan aku harus menahan diri untuk menggigit bibir—tapi gagal.
“Oh, jangan, Youva. Kau tahu aku benci kalau kau melakukan itu.” Keluhnya dengan mata menyipit. Dan dengan mendadak wajahku memanas begitu saja. Memerah hingga ke folikel rambutku yang menyedihkan.
“Sir, aku—aku ingin tahu beberapa hal—maksudku, kebenaran—kalau apakah anda benar-benar err, menciumku—ahem—tiga kali?” suaraku serak. Terbata-bata. Gugup. Dan telapak tanganku berkeringat. Aku tak berani menatap pria itu selama lebih dari tiga detik. Tapi aku berhasil menangkap keterkejutan di wajahnya.
“Siapa yang mengatakan itu padamu?” tanyanya separuh berbisik.
Aku menahan debaran di dadaku yang begitu keras. Kepalaku berputar-putar tapi aku berjuang untuk bertahan. “Marven, Sir. Marven mengatakannya padaku tadi.” Jawabku juga ikut berbisik.
Donghae memutar bola matanya dan menggerutu. “Dasar pria tua menyebalkan.” Tapi ia langsung mendengus geli melihat ekspresiku yang sudah semerah tomat.
“Apakah itu benar?” tanyaku, masih berusaha mencari kebenaran.
“Benar.” Jawabnya tenang. “Apa kau marah?”
Aku mengernyit padanya—meski pandanganku langsung menuju ke bawah. “Tapi itu tidak adil, Sir. Maksudku—anda tidak boleh seperti itu.”
“Kau ingin aku minta maaf padamu karena telah menciummu tiga kali?” tanyanya manis. Ia memiringkan kepalanya ke kiri. Mengamatiku yang akan segera terbakar hebat. “Maafkan aku.”
Permintaan maafnya yang begitu lugas membuatku menatapnya cepat. Kami berpandangan dalam diam. Kuperhatikan senyum Donghae memudar perlahan saat kedua matanya menyelamiku. Aku menyadari rona hitam samar di bawah pelupuk matanya yang indah.
“Apakah aku boleh menciummu?”
Nyaris saja. Aku bisa merasa jantungku baru saja hendak meloncat keluar. Dan—Ya Tuhan—lidahku! Aku butuh membutuhkannya namun benda mungil itu memutuskan untuk ikut terpaku bersama otakku yang mulai lumpuh.
Lee Donghae maju satu langkah, menjadi begitu dekat denganku hingga aku bisa mencium seluruh aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya.
“Hmm?” Ia tersenyum menggoda, menaikkan alisnya tinggi. Pria itu terlihat tenang namun matanya menyala—mendesak dalam kebisuan.
Aku dikuasai kegirangan aneh saat kurasakan kedua lututku mulai goyah. Tetapi satu detik setelahnya, wajahku kembali memanas. Aku membuang pandanganku darinya sementara jantungku melonjak kesetanan. “Ke—kenapa Anda harus bertanya? Bukankah Anda sudah melakukannya tiga kali?” Suaraku mengabur dalam bisikan tak berujung. Kegugupanku kini telah di ujung kewarasanku. Aku tak mampu bergerak. Dengan seluruh kesadaranku menginginkan pria itu, aku tak bisa menggerakkan kakiku lagi.
Look at me, Youva.” Bisiknya memohon. Aku memindahkan pandanganku lambat-lambat, merasakan efek dari tatapannya yang seketika membekukan tubuhku.
Dan aku tak bisa melihat apapun selain sepasang manik cokelat terang di depanku.
Kedua pupil mata Lee Donghae menyempit—menjadi titik hitam kecil di antara seluruh warna cokelat terang. Matanya berkabut karena gairah, dan napasnya sedikit terengah ketika ia menarikku dengan kedua tangannya.
Dengan cepat bibir Donghae menekan bibirku. Ada ketergesaan di sana, bercampur dengan hasrat mendamba yang begitu besar. Aku merasakan napasnya dalam hidungku. Keras dan garang. Aromanya melebur dalam udara yang kuhirup—manis, menggoda, membuatku hilang akal. Tangannya menahan leherku, lalu dengan segera tiba di antara sela-sela rambutku. Donghae memiringkan kepalanya, mencoba mengakses seluruh indra pencecapku lebih jauh. Ciumannya membuat seluruh tubuhku bergetar, meledak dan hancur berkeping-keping tanpa jeda.
Ada api yang membakar di sepanjang punggungku saat ia menyapukan tangannya. Berkobar semakin besar dengan ciumannya yang melumpuhkan seluruh akal sehatku. Namun tanpa sempat berpikir, kedua tanganku menyentuh dadanya yang terbungkus kemeja dan tuksedo lalu naik ke atas, merasakan setiap jengkal permukaan leher Lee Donghae yang menawan.
Aku terbakar—tubuhku terbakar dengan begitu hebat. Gairah memercik di ujung-ujung jariku, mengirimkan keinginan tak tertangguhkan lewat sentuhan-sentuhanku. Bibir Donghae melumatku, menjadikan setiap kekhawatiranku berubah menjadi abu—mengirimnya ke sudut terjauh kepalaku dan kupastikan aku tak akan pernah menggapainya lagi. Lidahnya mencari, begitu berkuasa dan tak bisa dilawan. Aku membenamkan seluruh jari-jariku di rambutnya, merasakan betapa halusnya helaian rambut Donghae di tanganku.
Donghae menarikku semakin erat, membuat tubuh kami benar-benar rapat. Hingga rasanya jantungku telah berbagi tempat dalam rongga dadanya. Aku membalas ciumannya dengan gugup dan mendengar erangan rendah tertahan yang terlontar dari sela-sela bibirnya yang menciumiku penuh hasrat. Aku butuh udara dalam paru-paruku yang mulai mengkerut. Tapi aku tak bisa memerintahkan otakku untuk mencari oksigen. Udara tampaknya berubah memadat ketika bibirnya bergerak dengan kecepatan dan kelembutan yang tak terkira.
Aku nyaris meledak lagi, ketika tiba-tiba suara dering ponsel membuatku terperanjat dan mendorong pria itu menjauh dariku. Donghae terkejut dengan gerakan mendadakku dan dengan napas terengah yang amat sangat sensual, ia menatapku bingung. Matanya masih menggelap. Terlihat tak fokus. Lalu ia sadar apa yang sedang terjadi.
“Ugh, fuck you, CHAD!” Makinya tak bisa menahan diri. Donghae menarik napasnya tersengal-sengal, memandang ke arah pintu dengan penuh amarah yang berkobar di matanya.
Aku mengikuti pandangan Donghae dan beberapa detik kemudian Chad keluar dari sudut pintu. Tangannya terangkat di atas bahunya dan ia menggigit bibir resah. “I’m really sorry! Aku tidak bermaksud mengganggu anda, Sir. Aku mendapat panggilan mendadak dan aku bersumpah—”
Shut the fuck off and get your ass outta here, God damn it!
But, Sir, it’s urgent. Can you come with me, please?
Donghae masih menatapnya jengkel namun tak berkata apapun sementara mengikuti Chad keluar ruangan.
Aku mengamati kepergian mereka dan baru bisa menarik napas lega setelah siluet Donghae menghilang dari balik pintu. Jantungku rasanya berdetak tak beraturan, iramanya melonjak tanpa kendali, membuatku diserang kepanikan paska ciuman—oke, kedengarannya sinting tapi ini benar.
Secara instingtif tanganku meraih bibir dan debaran di dadaku bertambah hingga ratusan kali lipat. Aku menarik napas, menghembuskannya perlahan dan menyadari ada sesuatu yang berdesir di dalam dadaku. Kenyataan itu menghantamku secara tiba-tiba hingga aku tak bisa mengelak lagi.
Apakah aku memang telah jatuh cinta padanya?
Jawaban dari pertanyaanku begitu membingungkan karena aku bahkan tak bisa memastikan perasaanku sendiri. Aku tahu kedengarannya gila kalau aku tidak mengakui betapa aku menginginkan pria itu. Tapi apakah perasaan ini benar-benar cinta? Setelah kekecewaanku pada Johan, aku tak ingin tergesa-gesa mempercayai apapun. Termasuk cinta.
Aku mengitari ruangan dengan gelisah—berjalan ke sana ke mari sambil menggigit bibir. Tapi kemudian aku melihat bayanganku sendiri di depan sebuah cermin besar di belakangku. Dan aku nyaris menjerit.
Penampilanku—astaga, aku benar-benar parah. Gaunku baik-baik saja. Tapi rambutku! Ya ampun. Dengan gerakan terburu-buru aku mencoba merapikan rambutku yang kelihatan mengenaskan. Ujung-ujungnya mencuat ke segala arah, berantakan, seakan ada badai yang merusak seluruh tatanan rambutku. Tapi ingatan tentang jemari Donghae yang membenam erat di sana membuatku salah tingkah. Lagi, kembali kurasakan debaran yang mengambil alih kewarasanku.
Mengapa semuanya begitu mendebarkan?
***
Sepuluh menit kemudian Donghae kembali. Wajahnya masih sama—sangat tampan dengan dua kancing kemejanya telah terbuka dan dasi kupu-kupunya yang tak lagi terpasang. Degupan jantungku berulah. Seakan hanya memandang pria itu sudah mampu mengirimkan tenaga ekstra untuk berdetak teramat cepat.
Donghae duduk di sampingku—di atas tempat tidur yang berukuran sedang—dan memandangku sambil mengernyit.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”
Meskipun suara pria itu terdengar tenang, tapi aku tak bisa mengabaikan kecemasanku yang semakin besar. Aku tidak siap dengan berita buruk—belum.
“Apa kau masih ingin, well, berada dalam pengawasanku atau tinggal bersama Arthur?”
Aku ikut mengernyit. Memandangnya bingung. “Apakah terjadi sesuatu dengan ayahku, Sir?”
“Tidak,” katanya cepat. “Hanya saja, aku harus memastikan apa yang kau inginkan. Kau tahu Arthur sangat protektif terhadapmu dan dia pasti sudah mendengar kejadian ini.”
“Oh.” Bibirku membentuk huruf O bulat dan tersadar dengan cepat. Donghae benar, Ayahku sudah memberi peringatan kalau aku tidak boleh berada dalam bahaya lagi. Sial deh.
“Tapi aku masih ingin bersama anda, Sir.” Saat mengatakannya, aku dilanda mati otak akut hingga aku bisa melewatkan fakta bahwa pria di sebelahku ini baru saja menciumku lima belas menit yang lalu.
Donghae tersenyum. Merasa puas dengan jawaban bunuh diriku. Ia memajukan kepalanya padaku, dengan matanya yang berbinar penuh arti, ia kembali menciumku.
Aku baru akan menutup mataku ketika tiba-tiba ia menarik kepalanya. Donghae menghela napasnya kesal dan aku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang salah kali ini.
“Chad masih di luar,” katanya memutar mata lalu mendengus. Aku tertawa kecil saat menyadari fakta bahwa Chad telah mengacaukan ciuman kami dua kali. “Demi Tuhan, dia pasti tidak akan puas sebelum mengganggu yang ketiga.” Kali ini Donghae mendengus sambil tersenyum.
“Dan omong-omong, kuharap kau bisa memberitahu Arthur mengenai keputusanmu.”
Aku mengangkat bahu. “Aku bisa meyakinkannya. Tapi kupikir Dad bakal melarangku kalau kita tidak pindah untuk sementara waktu.”
Donghae mengangguk, berpikir untuk beberapa saat namun segera setelah menatapku, ia berkata dengan nada absolut. “Istirahatlah. Besok kita akan kembali bekerja.”
“Maksud Anda.. bekerja di PHOENIX?” meskipun baru dua minggu tapi tetap saja rasanya sudah berabad-abad yang lalu sejak aku duduk di balik meja sekretaris, bukannya mendekam dalam Apartemen seharian.
“Tentu saja. Lagipula aku sudah terlalu lama meninggalkan perusahaan. Dan aku tidak sabar untuk segera menginspeksi setiap meja Direktur.” Donghae tersenyum miring, mengingatkanku akan kegemarannya membuat keributan antar Direksi.
“Oke,” jawabku mengiyakannya, mengangguk kecil sementara pikiranku berkelana.
“Chad akan membawakanmu pakaian ganti. Aku punya banyak kemeja dan kaus cadangan di sini. Dan untuk seragam kerjamu, well, kau akan mendapatkannya besok pagi.”
Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk patuh saat ia kembali mengamatiku dengan sepasang matanya yang tajam. “Ada yang ingin kau tanyakan?”
Alisku melengkung naik, mencoba memikirkan sesuatu namun gagal. “Kupikir belum, Sir.”
“Baiklah, kalau begitu, selamat tidur.” Ujarnya ringan. Donghae bangkit, berdiri di depanku lalu tiba-tiba saja ia menarikku berdiri. Bibirnya mendarat di keningku perlahan, mengirimkan sejuta sinyal kebahagian yang tak bisa kujelaskan dengan pasti di antara bisikannya. “Semoga kau mimpi indah.”
Oke, tentu saja lebih dari sekedar mimpi indah.
***
Hal pertama yang kulihat pagi ini adalah—tunggu, biarkan aku menarik napas sekali lagi—bosku yang ketampanannya tidak ada duanya di dunia. Kami sedang dalam perjalanan menuju kantor pusat PHOENIX di Downtown Los Angeles. Tapi terjebak macet di sekitar perempatan Alley Ride beberapa menit yang lalu. Bosku yang tampan itu terlihat santai, sama sekali tidak terganggu dengan kemacetan yang mengganggu perjalanan kami.
Ia mengenakan kacamata hitam Calvin Klein, kemeja biru pastel dengan kerah putih yang tak berkancing dan lengan kemeja digulung hingga ke siku serta jam tangan Bvlgari Magsonic Grande Sonnerie Tourbillion yang harganya benar-benar di luar nalar: $950.000!!! Aku menahan mataku agar tak membelalak kaget saat mendengar harganya tapi tentu saja gagal. Jumlahnya bahkan mencapai tiga kali lipat dari seluruh hutang-hutang yang harus kubayar.
Donghae mengetuk-ngetukkan jarinya pelan, mengacuhkan reaksiku yang masih saja kelewat kagum dengan penampilannya pagi ini. Sesekali ia menyisir rambutnya ke belakang, membuat poni depannya jatuh ke depan dengan berantakan. Aku mengernyit, merasa terganggu dengan seluruh tanda-tanda keberadaannya di sampingku. Semua hal tentang dirinya sangat tak tertahankan; penampilan, parasnya yang rupawan, auranya yang tenang dan superior, dan tentu, aromanya.
Aku menolak mengakui semua itu, namun dengan udara pagi Los Angeles yang sedikit lembab, aroma Lee Donghae menguar mengisi udara begitu cepat. Hingga setiap inci tubuhku berjuang keras untuk tidak menghambur dalam pelukannya dan menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.
Beberapa kali Chad memergokiku sedang menatap ke arah Donghae dengan tatapan sinting dan separuh putus asa. Tapi pria itu hanya tersenyum sambil berkedip padaku, memberi semacam sinyal kalau aku pantas untuk merasa begitu. Kupikir ia mengerti kalau jiwaku yang malang ini memang benar-benar rapuh di bawah pesona bosku sendiri.
Akhirnya kami tiba di gedung PHOENIX setengah jam kemudian, saat seluruh karyawan telah berlalu lalang di sepanjang gedung. Aku melihat Trace, yang sedang memarahi beberapa pria muda sambil memegang walkie-talkie di tangannya. Ia melihat kedatangan kami dan buru-buru menghampiri Donghae.
“Selamat pagi, Sir.” Sapanya kaku. Donghae mengangguk, melipat tangannya di dada dan menanti. “Ada beberapa penyadapan di beberapa titik fatal dalam gedung, Sir. Max dan Charlie baru memberitahuku kalau mereka menemukan alat penyadap itu kemarin malam tapi kami telah membersihkan seluruh area. Kami kehilangan jejak penyadap tapi rekaman cctv akan memberikan jawabannya, Sir, jangan khawatir.”
Ekspresi bosku sama sekali tak bisa di baca sebab kacamata itu mampu menunjukkan apa yang dipikirkannya. Ia memiringkan kepalanya beberapa derajat sebelum menjawab dengan tajam. “Aku khawatir, Trace. Penyadapan adalah hal yang paling fatal. Cari tahu siapa pelakunya dan berikan laporannya padaku sebelum jam empat sore ini. Geledah seluruh ruang tapi aku tidak ingin ada campur tangan divisi lain. Bereskan tanpa kekacauan. Apakah aku bisa mengandalkanmu?”
Trace membusungkan dadanya cepat, ia menatap lurus ke depan. “Tentu, Sir. Anda bisa mengandalkanku seratus persen.” Jawabnya penuh hormat. Aku memperhatikan pria berkulit hitam itu dengan pandangan kagum.
“Aku tahu itu.” Kata Donghae dengan senyum tipis. Ia menepuk punggung Trace dua kali dan berlalu meninggalkannya.
Aku membisikkan kata-kata semangat pada Trace dan tersenyum padanya. Trace kelihatan sedikit bingung, tapi ia membalasku dengan cengiran. Aku sempat mengira kalau ia galak, tapi Trace benar-benar penuh dedikasi.
Saat kami melewati koridor, aku mendengar bisik-bisik penuh semangat di sekelilingku. Sedikit tak yakin apakah mereka membicarakan bosku atau aku. Tapi ketika kulihat wajah para wanita yang memerah, aku tahu mereka sedang menatap penuh pemujaan pada Donghae. Sementara pria itu berjalan masuk ke dalam lift dengan santai, tak menyadari bahwa ia telah menimbulkan kegemparan pagi ini.
Mejaku ternyata penuh dengan berkas laporan yang harus kuperiksa. Laporan-laporan itu menggunung hingga langit-langit dan aku mendesah keras. Semalaman bekerja tetap saja tidak akan cukup. Aku bakal membutuhkan seminggu penuh untuk menangani ini. Donghae memalingkan kepalanya padaku dan aku tahu ia sedang memikirkan sesuatu. Tapi dengan kacamata hitam itu, aku tak punya gambaran apapun tentang apa yang ia pikirkan.
Tapi saat aku duduk, aku melihat ada belasan note di layar monitorku. Separuhnya berisi tentang telepon penting dari Takeshi Kikuchi dan sisanya hanya janji temu untuk bosku seminggu lagi. Aku menekan nomor telepon Takeshi sambil bertanya-tanya, mengapa ia butuh enam note agar aku menghubungi ia secepatnya?
Percakapan dengan Takeshi sebenarnya agak menyenangkan—karena ia memiliki suara yang enerjik dan ramah. Dan ketika aku menyapanya dalam bahasa Jepang, ia tertawa dan berterima kasih karena aku menghargai bahasa Ibunya. Takeshi menyuruhku menyampaikan beberapa pesan singkat pada bosku dan memintaku untuk memastikan bahwa aku harus memberitahu Donghae secara langsung. Aku menyanggupinya dan menutup pembicaraan dengan bahasa Jepang.
“Masuk, Miss Cardia.” Kata bosku dari dalam ruangan. Aku membuka pintu dan berjalan dengan langkah canggung. Siluet Donghae dengan kilauan sinar matahari di balik punggungnya membuat jantungku megap-megap. Pria itu telah melepaskan kacamata dan menggantungnya di sela kemeja. Aku bisa mengintip dadanya yang putih dan—oke, fokus.
“Sir, aku mendapatkan pesan dari—”
Tangan Donghae terulur di udara, menahanku berbicara saat ia mendapat panggilan dari ponselnya. “Siapa? Baiklah, suruh dia masuk… Apa? Oh, sial.”
Ketika Donghae menyimpan ponselnya, detik itu juga pintu kerjanya terbuka. Aku melihat seorang wanita cantik dengan rambut di cat pirang dan kelihatan marah berderap ke arah kami—pada Donghae.
“Silahkan masuk, Marry.” Sindir bosku kalem.
Aku menyingkir, mencoba tak menarik perhatian saat wanita itu menghentakkan stiletto-nya yang runcing ke lantai. Ia berhenti di depan meja Donghae, bersedekap dan bibirnya mengatup tipis. “Bisakah kau menjelaskan yang satu ini?”
Marry membuka clutch bag­-nya dan melemparkan sebuah foto di atas meja Donghae. Bosku masih terlihat tenang. Ia mengambil foto itu dan membalikkannya hingga aku tak bisa melihat gambar apa yang wanita itu ributkan.
Donghae bangkit, menyisir rambutnya dengan gaya mengesankan dan bersandar di depan mejanya, berhadapan dengan Marry. Dari samping pun aku bisa melihat wanita itu mulai gugup. Wajahnya memerah dengan cepat saat Donghae mengamatinya lekat-lekat.
“Aku bisa menjelaskannya, Marry, tentu. Tapi—” Aku melihat jari telunjuk Donghae diam-diam mengarah padaku sementara kedua matanya terpancang pada mata Marry. Jarinya lalu menunjuk ke arah pintu. Aku tahu ia menyuruhku keluar. “—Kau harus tahu ada beberapa hal yang tak bisa kujelaskan padamu.”
Aku berdiri dalam sepuluh detik yang panjang melawan perintah bosku. Aku benar-benar tak ingin keluar. Aku benci kalau harus membiarkan pria itu berduaan dengan Marry—atau wanita manapun—dan melewatkan informasi-informasi lagi. Tapi sisa akal sehatku akhirnya menang. Aku menyerah dan melangkah ke luar dengan nelangsa, mencoba melirik ke belakang untuk yang terakhir kali, saat suara Marry yang bergetar bergaung di dalam ruangan.
“Tapi aku ingin mengetahuinya, Lee Donghae. Itu menyangkut diriku juga dan aku tak ingin adikku menjadi sasarannya kali ini—”
Dan rasa ingin tahuku nyaris mengalahkan kecemburuanku.
***
Takeshi kembali menghubungiku dalam satu jam berikutnya. Ia bertanya apakah aku sudah menyampaikan pesan yang ia berikan dan memaksaku untuk segera memberitahu Donghae. Aku beralasan kalau Donghae mendapat tamu penting dan ia membuatku berjanji kalau aku harus menyampaikannya dalam satu jam ke depan. Aku berjanji, namun tak yakin sepenuhnya. Karena sejak Chad masuk ke dalam setengah jam yang lalu, tak ada yang keluar dari sana. Baik Marry ataupun Chad. Tampaknya sedang terjadi sesuatu di dalam dan aku diam-diam merasa lega karena dengan begitu Marry tak punya kesempatan untuk berduaan dengan bosku.
Aku menunggu dengan gelisah, mencoba menyelesaikan beberapa laporan yang ternyata hanya butuh koreksi sederhana. Kebanyakan menyangkut pembaharuan kontrak dan pemeriksaan jadwal Donghae selama sebulan ke depan. Aku juga menemukan adanya laporan bulanan dari beberapa yayasan rumah penampungan di Los Angeles dan San Fransisco, permintaan untuk hadir di acara amal, dan laporan hasil investasi di perusahaan-perusahaan benefit terkemuka. Beberapa laporan memberikan rincian biaya dan aku menghitung cepat. Seluruhnya mungkin mencapai dua miliyar dollar. Dan aku sekarang mengerti kenapa bosku punya kebiasaan untuk menghambur-hamburkan uang. Serta mengapa ia memiliki jam tangan limited edition dan mobil-mobil mewah. Tidak heran bosku sangat bossy.
Pukul dua belas lewat seperempat, pintu ruang kerja Donghae terbuka. Chad keluar, wajahnya tanpa ekspresi sementara ia memapah Marry. Wanita itu terlihat begitu pucat, rona wajahnya menghilang dan ia kesulitan menarik napas. Aku berdiri secepat kilat, mencoba membantu Chad tapi Donghae menahan tanganku.
“Ada ambulans di bawah. Tidak perlu repot.” Katanya pelan dan kami mengawasi Chad masuk ke dalam lift dengan lengannya merangkul Marry.
Donghae menyuruhku masuk dan ia duduk di kursi kerjanya. Aku baru menyadari kalau wajahnya terlihat sedikit kusut. Ia membereskan beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja. “Ada yang ingin kau sampaikan?” tanyanya tanpa memandangku.
Pertanyaannya membuatku terkejut dan aku berdeham satu kali sebelum menjawabnya. Ada banyak yang ingin kutanyakan, terlebih setelah melihat Marry. Tapi aku berhasil menyingkirkan hal-hal lain dalam kepalaku. “Sir, Mr. Kikuchi memintaku untuk menyampaikan pesan pada Anda kalau ‘Evaluasi berjalan kacau dan hasilnya tidak sebagus yang diharapkan.’ Dan Anda diminta untuk melihat sendiri hasilnya, Sir. Secepatnya.”
Sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Takeshi, namun aku tak menunjukkan apapun di wajahku. Malah wajah Donghae yang berubah menggelap. Ia menautkan jari-jarinya di dagu dan berpikir dalam diam selama beberapa menit. Donghae kemudian meraih ponselnya dan meletakkan benda itu di telinga ketika ia menatapku.
“Miss Cardia, batalkan semua janji hari ini. Dan aku ingin kau bersiap dalam lima belas menit.”
Aku belum menjawab apapun, tapi Donghae telah tersambung dengan seseorang di ponselnya. “Chad, siapkan helikopter. Kita harus ke L-PhC sekarang juga.”
Donghae melihat kalau aku masih menatap bingung padanya dan ia menaikkan alis tinggi, seolah bertanya, ‘apa lagi yang kau tunggu?’
Helikopter? Memangnya kami harus ke mana dengan helikopter?
***
Aku menganga menatap baling-baling helikopter yang hanya berjarak beberapa puluh meter di depanku. Helikopter itu benar-benar siap untuk terbang. Anginnya berputar, mendorongku ke belakang dan membuat ujung kemejaku melecut-lecut liar.
Ada helikopter di sini, di atas gedung PHOENIX yang ternyata memiliki landasan helipad. Helikopter itu berwarna hitam, dengan tulisan LD berwarna putih-kuning dan logo PHOENIX di sisi kanan kirinya. Ukurannya yang besar membuatku sedikit cemas karena aku tak pernah melihat helikopter dari jarak sedekat ini.
Tapi Donghae dan Chad tampaknya telah terbiasa mengudara menggunakan helikopter sebab mereka berjalan dan naik di bagian belakang helikopter dengan tenang. Aku melirik ke bagian depan dan seorang pilot sedang memberikan instruksi-instruksi lepas landas dan titik kordinat heli. Bunyi mesinnya sangat mengganggu, namun anginnya lebih mengganggu lagi.
Donghae mengulurkan tangannya padaku dengan sabar, tampak jelas bahwa ia baru sadar kalau aku benar-benar kelihatan idiot—menganga takjub memandang helikopter dan mematung tak bergerak. Ia membantuku naik ke belakang, duduk bersamanya. Chad duduk di samping pilot, telah mengenakanheadphone yang tersambung dengan panel-panel di mesin.
Seluruhnya ada enam kursi—termasuk kursi pilot—dan bagian belakang memberikan begitu banyak ruang yang cukup untuk dimuati dua orang. Begitu aku duduk, Donghae memasangkan sabuk pengaman padaku, mengikatnya kencang di tubuhku tanpa terlihat kesulitan sedikitpun.
Sang pilot masih berbicara pada operator penerbangan namun aku tak bisa menangkap apapun. Di dalam heli ternyata lebih berisik daripada di luar. Bunyi baling-baling yang berputar membuatku tak bisa mendengar apapun. Aku menutup kedua telingaku, mencoba menyelamatkan pendengaranku dari kerusakan saat Donghae menyerahkan sebuah headpone.
Aku masih bisa mendengar mesin yang meraung namun suaranya berubah samar. Donghae juga mengenakan headphone dan aku bisa mendengarnya berbicara dengan jelas.
“Kita bisa berangkat sekarang, Jake.”
Pilot itu berbalik dan mengacungkan ibu jarinya lalu berbicara lagi pada operator. “LD PHOENIX meminta izin untuk lepas landas. L-PhC Building harap konfirmasi.” Kata-katanya kini terdengar jelas di telingaku.
L-PhC Building siap. Siaga dalam enam puluh detik.”
Roger, titik koordinat terbaca. LD PHOENIX akan lepas landas dalam tiga puluh detik.”
Helikopter bergetar, bergerak naik perlahan-lahan hingga meninggalkan kepanikan dalam diriku. Aku menggigit bibir dan menatap Jake dengan cemas. Ia masih berbicara dan sepertinya Chad juga menimpali pilot itu namun aku tak bisa mendengar mereka kali ini. Tampaknya Jake telah memutuskan komunikasi kami.
“Kau suka terbang, Miss Cardia?”
Atau tampaknya tidak. Bosku lebih memiliki peluang untuk melakukannya.
Aku mengernyit, berusaha menemukan suaraku. “Terbang dengan pesawat, ya. Tapi terbang dengan helikopter benar-benar baru buatku, Sir.”
Donghae tersenyum, merasa lucu dengan jawabanku. Ia mengangkat bahunya dan melihat ke jendela. Aku mengikuti pandangannya dan melihat titik-titik kecil jauh di bawah kami. Los Angeles terlihat begitu damai, di selimuti cahaya matahari siang yang hangat dan berkilauan.
“Terbang di malam hari bakal lebih menyenangkan.” Katanya seperti bergumam.
Aku mencoba menilik ekspresinya melalui kacamata yang ia kenakan sesaat sebelum kami menuju helipad. Donghae mengganti kacamata hitam Calven Klein-nya dengan Ray Ban, dan saat kutanya kenapa ia harus mengganti kacamata, bosku menjawab santai kalau Ray Ban lebih cocok untuk ‘diajak’ terbang. Untuk sejenak aku tak memahami arti jawabannya, tapi Chad mengatakan bahwa Ray Ban memiliki material khusus untuk menghalau sinar ultraviolet saat kami terbang.
“Kupikir juga begitu, Sir.” Aku balas menggumam. Donghae berpaling ke arahku, tapi aku tak bisa menebak apa yang di pikirkannya.
“Kita bisa terbang lain kali kalau kau mau, Youva.”
Aku mendengar nada berbeda dalam ucapan Donghae dan entah kenapa aku tersipu. Memikirkan bahwa ia mengajakku secara pribadi kedengarannya menyenangkan sekali. “Aku harap Jake cukup ahli untuk menerbangkan heli ini di malam hari.” Kataku parau. Aku berdeham beberapa kali.
Donghae mendengus geli. “Kita tidak perlu Jake. Aku bisa menerbangkannya sendiri.”
“Anda.. bisa menerbangkan helikopter?” tanyaku tak percaya. Aku membelalak padanya, merasa sedikit tak yakin dengan perkataan Donghae.
Pria itu memberiku dengusannya lagi, mengibaskan tangannya di udara seakan hal itu benar-benar sepele baginya. “Aku memiliki lisensi pilot helikopter sejak umurku empat belas tahun, Youva. Dan bahkan lisensi untuk menerbangkan pesawat pribadi saat usiaku dua puluh satu.”
Aku membayangkan Donghae yang duduk di kursi pilot, mengenakan kacamata Ray Ban dan headphone yang tersambung di panel, lalu tangannya mengendalikan cycle stick dengan tenang. Ia bakal sangat sempurna. Astaga.
“Anda benar-benar tak bisa di percaya.” Kataku tersenyum, menyadari kalau lamunanku sangat mungkin untuk menjadi nyata.
“Kau akan tahu banyak tentangku. Aku janji.”
“Termasuk kenapa kita pergi ke L-PhC, Sir?”
Donghae mengangguk singkat sebelum menjawabku. “Benar. Dan aku harus memberitahumu, Youva. Mulai sekarang kau akan.. mengetahui hal-hal yang lebih besar. Jadi aku memberimu pilihan, untuk ikut atau tetap tinggal. Dan aku akan membiarkanmu pergi jika kau memutuskan tidak menginginkannya.”
Dadaku berdegup kencang, merasakan gairah dan antisipasi yang tak ada hubungannya dengan pesona Lee Donghae saat ini. “Aku akan menerima apapun itu, Sir.” Kataku cepat-cepat. Aku menelan ludah gugup, tahu bahwa perkataanku sangat serius.
“Benarkah?” tanya Donghae sedikit ragu. Ia menyunggingkan senyumnya dan berkata lagi. “Tapi aku berbeda, Youva. Terlalu berbeda hingga aku yakin kau akan terkejut saat mengetahuinya.”
Kata-katanya terdengar sedikit getir—dengan kesedihan yang tersirat jelas dan entah mengapa itu menggangguku.
“Tidak akan.” Janjiku tanpa berpikir. Aku tahu aku benar. Sebab aku tidak mungkin bisa meninggalkan pria ini. Demi apapun.
Senyum Donghae hanya beberapa inci jauhnya dari wajahku. Ia terlihat puas—seakan memang itulah yang ingin didengarnya dariku.
“Kalau begitu, jangan bilang aku tidak memperingatkanmu, Youva Cardia.” Katanya penuh kilatan antisipasi.
Aku menebak-nebak arti perkataannya dalam hati dan tibat-tiba saja aku bisa mendengar suara Jake lagi.
“Sir, kita akan mendarat dalam lima menit.”
“Kami siap, Jake.” Kata Donghae lalu mengangguk padaku. Aku menegakkan diri dan mencengkeram sabuk pengaman di dadaku erat-erat. Kurasakan laju heli mulai melambat, menukik turun perlahan dan tubuhku sedikit limbung saat helikopter bergoyang di terpa angin.
Saat kami mendekati sebuah gedung tinggi yang sepertinya menjadi titik pendaratan kami, aku bisa melihat puncak gedungnya yang juga memiliki landasan helikopter dengan tulisan L-PhC dalam lingkaran kuning dan ada garis-garis vertical dan horizontal yang keluar dari lingkaran itu.
Jake berhasil mendaratkan helikopter ke atas helipad dengan aman. Anginnya menampar-nampar pipiku saat Chad membuka pintu. Aku meletakkan headphone dan membiarkan Donghae membantuku membuka sabuk pengaman. Well, benda itu sebenarnya seperti gesper empat arah dengan titik kunci di bagian perut. Aku ingin membuka sendiri kuncinya tapi sama sekali tak mengerti bagaimana, jadi kubiarkan bosku menolongku lagi.
Ia keluar lebih dulu, lalu aku menyusul secepat mungkin. Kakiku menapaki lantai dengan lega, dengan angin yang bergemerisik di telingaku. Aku berbalik dan melirik Jake sekilas. Ia masih berbicara dengan operator. Tapi Chad telah membukakan pintu atap untuk Donghae dan aku berlari mengejarnya.
Aku sama sekali belum pernah mendengar apa itu L-PhC sebelumnya. Kupikir itu adalah perusahaan yang bekerja sama dengan PHOENIX tapi saat aku melewati koridor-koridor gedung ini, aku di hadapkan pada sebuah kenyataan yang membingungkan.
Aku ingat logo L-PhC yang melingkar di atas helipad. Bahkan Donghae juga menyebutkan kalau kami akan pergi ke L-PhC. Tapi saat aku masuk ke dalam lift bersama Donghae dan Chad di depanku, aku melihat tulisan FROZEN Holdings Inc. terukir ketika pintunya menutup. Tapi aku menyimpan pertanyaan-pertanyaanku dan memilih untuk mengikuti Donghae dalam diam.
Lift membawa kami ke lantai dasar. Dan, setelah pintunya terbuka, Donghae memasuki sebuah lift khusus yang terletak persis di sebelah lift yang tadi. Ia meletakkan telapak tangannya pada sebuah panel untuk memindai sidik jari. Terdengar bunyi ‘tring’ pelan dan pintu lift membuka.
Bagian dalam liftnya terasa berbeda. Ada nuansa cokelat terang yang beraroma misterius di dalam sana. Aku juga melihat cermin satu arah yang terpasang di bagian pintu lift, membuat penumpangnya bisa berkaca dengan jelas. Tak ada panel angka di dinding lift, alih-alih sebuah logo L-PhC seperti yang kulihat di helipad terukir di sana. Logonya berwarna ke emasan dengan lingkaran, dua garis vertical dan dua garis horizontal yang mengarah ke luar lingkaran. Mirip seperti garis bidikan.
Kami terus turun, tapi sama sekali tak ada keterangan pada lantai berapa kami mengarah. Sepertinya lift ini hanya menuju ke satu tempat. Dan setelah kira-kira sepuluh menit, lift berdenting, membuka dan menunjukkan padaku sebuah tempat aneh.
Ingatanku langsung berkelana, mengingat bahwa Donghae pernah menyebutkan kata-kata Laboratoriumbeberapa kali dan aku mengerti bahwa kata itu bukanlah hanya kiasan.
Ruangan ini benar-benar laboratorium dalam artian yang sesungguhnya. Ada begitu banyak orang-orang yang hilir mudik mengenakan jubah putih, kacamata dan sarung tangan. Tabung-tabung reaksi, tersusun rapi di rak-rak yang menjulang tinggi. Ruangan mereka terpisah dengan dinding kaca, terkotak-kotak menjadi satu deret lurus yang terus kami lewati. Wanita-wanita yang berada di dalamnya melirik dua kali ke arah Donghae, namun langsung mengalihkan pandangannya pada benda-benda yang mereka pegang. Sepertinya mereka tak punya kesempatan untuk memperhatikan bosku lebih lama.
Kami berjalan semakin jauh, dan menuruni sebuah tangga yang lumayan panjang. Tapi semakin kami turun, keadaan di ruangan selanjutnya semakin gelap. Aku nyaris menyipitkan mata untuk melihat anak tangga di depanku. Meskipun beberapa lampu berpendar suram di dinding, aku harus mengecek langkahku berulang kali atau aku benar-benar terjungkal.
Donghae berhenti di depan sebuah pintu. Ia memindai telapak tangannya dan langsung masuk ke dalam saat pintunya membuka. Chad mempersilahkanku untuk berjalan lebih dulu, tapi tiba-tiba pintunya menutup.
“Kau harus memindai sidik jarimu juga, Youva.” Katanya menjelaskan. Aku mengikuti perkataan Chad dan menunggu saat alat itu merekam sidik jariku.
Pintu membuka, kulihat tulisan di panel itu berbunyi Accpeted. Aku masuk ke dalam ruangan separuh gelap dan pintu di belakangku langsung menutup. Tapi tak lama kemudian Chad langsung muncul.
“Sebelah sini, Youva.” Katanya menunjukkan arah. Di tengah semi kegelapan ini, aku sama sekali tak bisa menemukan siluet bosku dan memutuskan untuk mengikuti Chad. Ia tahu lebih banyak daripada aku.
Kami melewati koridor, dengan dinding-dinding dingin di kanan kiriku. Ada beberapa pintu di sana, tapi aku tak bisa melihat ke dalam—takut sebenarnya—karena ruangan di balik pintu itu terlihat gelap. Kami menemukan Donghae di ujung koridor, di depan sebuah pintu besar dengan dua gagang pintu yang terbuat dari besi. Donghae tidak sendiri, ia sedang mengobrol dengan Takeshi.
“…Tidak tahu apa yang membuatnya begitu, tapi kelihatannya dia sudah tidak bisa di selamatkan.”
Donghae melirik kedatangan Chad dan aku tapi segera mengalihkan perhatiannya lagi. Aku mengangguk pada Takeshi dan ia balas tersenyum padaku.
“Aku pikir kita harus menunggu sedikit lebih lama, Takeshi. Meskipun tak ada jaminan kalau Jennifer bisa kembali pulih, tapi aku tidak ingin melewatkan kesempatan sekecil apapun.”
Saat Donghae mengucapkan nama Jennifer, secara refleks aku mencondongkan kepala ke pintu di depan kami, mencoba mencari tanda-tanda keberadaan Jennifer di balik benda itu.
“Dia ada di dalam sana, Miss Cardia.” Kata Donghae menjawab rasa penasaranku. Ia maju, menekan beberapa huruf di panel kecil di sebelah pintu dan tiba-tiba ruangan di dalam menjadi sedikit lebih terang. Aku baru sadar kalau pintu itu ternyata terbuat dari kaca yang menyatu dengan dinding. Dan pemandangan di dalam membuatku mengernyit.
Jennifer berbaring di atas tempat tidur kecil, dengan tubuh tertutup kain tipis dan kabel-kabel menjuntai di kepalanya, juga di dada. Ada monitor yang mengukur detak jantung Jennifer persis di sebelah tempat tidur. Dan ada seorang wanita paruh baya yang mencatat di papan penjepit yang di bawanya. Aku bergidik ngeri, mengamati wajah Jennifer yang tanpa rona dan ekspresi apapun. Aku tahu matanya membuka, namun hanya mengarah kosong pada langit-langit.
“Sir, tempat apa ini? Apa—Jennifer—apa yang terjadi padanya?” Aku bertanya dengan lirih, ketakutan mengambil alih kesadaranku.
“Ini adalah bagian dari bisnis yang kukembangkan, Youva.” Jawab Donghae tenang namun terdengar berhati-hati. “Dan Jennifer sedang di cuci otak.”
Jawaban Donghae membekukan tungkai kakiku. Mengirim seluruh keterkejutan yang meledak keluar di wajahku.
Cuci otak?
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar