Senin, 28 Maret 2016

FANFIC : SCARLET [12]


TITLE         : SCARLET [12]
GENRE        : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING       : NC-21
CAST          : Lee Donghae
Author        : @Aoirin_Sora
Summary:
Malaikat kematian berada di depan jurang. Menyeretku dalam kehampaan sekaligus kebutaan akan kegelapan. Aku meraba masa depan dalam ketidakpastianku, merasa goyah bila hanya berdiri dengan kedua kaki ini. Aku tidak ingin tertipu, namun senyumnya benar-benar menyihirku ke dalam dimensi lain. Cukup aneh untuk kukatakan aku terpesona, meski aku ketakutan setengah mati.
Dan sesuatu memberitahuku kalau ini memang cinta.
***


CHAPTER TWELVE: ROARING IN THE DARK


Aku menahan dorongan untuk muntah saat ini juga.
Ketika Donghae memegangi lenganku saat itulah aku sadar bahwa lututku benar-benar goyah. Detak jantungku memburu, berdegup minta tolong ketika menyadari bahwa pria di sebelahku tidak sedang bercanda dengan perkataannya barusan.
“Chad, tolong antar Takeshi ke ruangannya. Aku akan berkeliling sebentar.”
Dari sudut mata, aku melihat Chad mengangguk dan mempersilakan Takeshi untuk berjalan lebih dulu. Takeshi memberiku tatapan bersimpati saat ia melewatiku namun tidak mengatakan apapun.
Langkah kaki mereka bergemeletuk pelan, menggema di koridor besar ini. Bersamaan dengan siluet mereka yang menghilang, semakin kecil pula suara yang terdengar. Hingga akhirnya keheningan menguasai kami.
“Kau bisa berjalan, Miss Cardia?”
Aku mengangguk, menolak menatap bosku dan memilih memperhatikan tubuh Jennifer yang mematung di balik pintu. Wanita yang sedang mengamati kondisinya sadar bahwa ia sedang di perhatikan dan ia mengangguk sopan pada Donghae.
“Barbara adalah salah satu ahli anestesi terbaik.” Kata Donghae menjelaskan. Aku tak tertarik mendengar latar belakang wanita itu sebab yang sedang kuperhatikan adalah Jennifer. “Miss Cardia, apa yang sedang kau pikirkan?”
Lidahku rasanya memberontak untuk tetap diam tetapi aku tak bisa menahan diri lebih lama. Cuci otak? Kedengarannya gila. Bukan, maksudku, ini memang gila. Apa Lee Donghae sedang membentuk semacam pasukan teroris untuk menyerang sebuah Negara terbelakang? Kalau tidak, kenapa ia harus mencuci otak manusia? Bagian terburuknya adalah bahwa tampaknya semua orang di dalam sini mengerti dengan baik kalau mereka benar-benar sedang mencuci otak! Tidakkah mereka berpikir kalau ini semua terlarang?
“Miss Cardia, katakan sesuatu. Berdiam diri bukan kebiasaanmu.”
Aku menatap Donghae tanpa emosi apapun di wajahku. Ia balas memandangku. Matanya dingin—hampir menyamai suhu di ruangan ini.
“Aku tak pernah meminta anda menjelaskan sesuatu sebelumnya, Sir. Atau bertanya kenapa jika menyangkut pekerjaan. Tapi bisakah anda menjelaskannya kali ini?” nada suaraku terdengar hampa, dan Donghae melipat tangannya di dada.
Ia tidak segera menjawab, namun memandangku lekat-lekat, mencoba menggoyahkan tekadku dengan pesonanya—dan harus kukatakan kalau ia nyaris berhasil.
“Ikut aku.”
Aku setuju untuk mengikutinya, berjalan di belakangnya dalam diam. Kami mengarah ke atas, melewati pintu yang terkunci dengan pemindai sidik jari dan terus naik, kembali ke tempat semula. Donghae berjalan tenang, tanpa melirik ke arah para pekerja yang berada di ruangan bersekat kaca. Ia membelok di sudut lorong, dan begitu aku mengikutinya, aku melihat sebuah tangga kecil yang mengarah ke atas.
Tangganya tidak berderit—sepertinya bukan jenis tangga yang mudah berkarat—meski pijakannya terasa tak menyenangkan di kakiku. Ada sekitar sepuluh anak tangga dan sebuah koridor lagi, dengan beberapa pintu yang menutup. Di sini keadaannya lebih terang. Tetapi sangat hening. Aku tak mendengar apapun, sampai ketika Donghae berdiri di depan pintu di ujung ruangan.
Ia mendekatkan wajahnya ke pintu dan kusadari kalau ada alat pemindai retina di sana. Donghae juga meletakkan tangan di alat perekam sidik jari dan terakhir, ia mengucapkan “inverno”.
Triple lock.” Katanya menjelaskan. Aku lebih bertanya-tanya mengapa ia memilih kata ‘inverno’ sebagai sandi suara.
“Masuk.” Perintahnya saat pintu membuka.
Uap dingin keluar dari balik pintu. Donghae berjalan masuk dan ia mencari tombol lampu dalam kegelapan. Aku melangkah ragu, tetapi ketika ruangan bersinar terang karena lampu yang menyala, ketakutanku perlahan sirna.
Ruangannya cukup besar, dengan kamar mandi dan meja kecil di tengah ruangan. Ada satu set sofa kulit yang mahal dan sebuah vas bunga di atas meja. Di balik meja kerjanya, ada tirai yang menutupi sepanjang dinding. Aku melihat cahaya putih samar-samar dari sela-sela tirai itu. Dan lagi-lagi kutemukan beberapa cermin di dinding, dengan berbagai bentuk yang berjarak tak berjauhan.
“Duduk, Miss Cardia.” Katanya lagi. Ia mengambil dua gelas cangkir dan menyerahkan satu padaku. Aku mendapati kopi hangat di sana lalu menaikkan alis padanya. “Kau tamuku untuk sementara.” Ungkapnya.
Ruangan ini sangat dingin dan menggenggam cangkir kopi itu membuatku sedikit tenang. Aku tak suka menghadapi kesunyian. Terutama ketika sedang menanti sebuah fakta mengerikan. Donghae lalu duduk di lengan sofa dan menatapku lurus-lurus.
“Minum.” Ia memerintah. Aku mengernyit sebentar tetapi tetap menyeruput kopi itu. Hangat dan sedikit pahit.
“Sekarang,” katanya lebih tegas. “Katakan apa yang ingin kau ketahui?”
Aku menggeleng. “Bukan, Sir. Tapi, apa yang boleh kuketahui?
Kali ini Donghae memandangku sedikit terpana. Binaran matanya seperti menatapku geli. Ia sadar kalau aku sudah mengerti pola pikirnya—yang hanya mengijinkanku untuk memberitahu hal-hal yang perlu. Tapi akhirnya Donghae tersenyum. Sangat indah, dan nyaris membuatku juga tersenyum.
“Kau mulai mengerti,” komentarnya senang. Aku mengangguk kecil, berusaha untuk tidak larut dalam kebahagiaan aneh. “Well, mari kutunjukkan padamu.”
Donghae berjalan ke balik meja kerjanya dan menarik tali tirai itu. Aku memandangnya tanpa berkedip saat tirainya tersibak, menampilkan pemandangan laboratorium dari atas.
Ratusan orang—begitu banyak orang tampak hilir mudik di dalam ruangan. Kelihatannya apa yang kulewati tadi sama sekali tak menunjukkan seberapa besar laboratorium ini. Aku mendekati Donghae, berdiri tepat di samping tirai dan mengamati laboratoriumnya lebih jelas.
Kalau kuhitung dari atas, aku mungkin mendapatkan sekitar dua puluh ruangan besar yang di padati tiga puluh orang per ruangnya. Belum lagi beberapa pintu yang bersekat dinding dan tak bisa dilihat, aku yakin ruangan ini lebih besar dari perkiraanku.
“Selamat datang di L-PhC atau Lee Pharmaceutical Company.” Kata Donghae di sebelahku. “Dan kalau perlu kutambahkan, selamat karena kau adalah wanita pertama yang pernah masuk ke sini.”
Aku memandangnya lambat-lambat, menemukan sepasang matanya yang berwarna cokelat terang yang begitu dekat denganku. Wajahku memerah tanpa aba-aba, seakan berhasil mengingat bahwa aku pernah tenggelam dalam kedua matanya yang mempesona. Aku memindahkan pandanganku sedikit lebih ke bawah. Dan satu detik setelahnya, aku merutuki tindakanku karena kini aku bisa melihat jelas bibirnya yang tersenyum.
“Ph—Pharmaceutical? Anda men—menjalankan bisnis di bidang farmasi?” tanyaku tergagap. Dari jarak sedekat ini, aku harus menahan napas karena aroma Lee Donghae sangat menggoda.
“Benar.” Jawabnya tersenyum. “Ini adalah bisnis legal yang kujalankan tanpa pernah diketahui publik secara luas.”
“Kenapa? Apa karena anda mencuci otak orang-orang?”
Donghae menyapukan pandangannya ke bawah dan sudut bibirnya menekuk ganjil. “Mencuci otak kedengarannya terlalu kasar. Sebenarnya hampir seperti sugesti dan hipnotis. Dan kegiatan itu berpengaruh besar terhadap bisnis ini.”
“Apa yang sebenarnya anda maksudkan, Sir?”
“Lee Pharmaceutical Company sebenarnya menghasilkan obat-obatan, meneliti—well, semacam itu. Saat ini kami sedang melakukan terobosan baru dan tidak bisa kuumumkan pada publik karena akses ke perusahaanku tidak dimiliki semua orang. Perusahaan ini sejatinya bersifat rahasia, karena, Youva, kami telah menemukan obat kanker.”
Aku termangu. Belum mampu bereaksi apapun selain mengernyit bingung. Tapi Lee Donghae melanjutkan penjelasannya.
“Bukan sekedar obat yang memperlambat pertumbuhan kanker seperti yang banyak beredar. Tapi benar-benar menyembuhkannya. Tim penelitiku berhasil menemukan bagaimana caranya membunuh sel-sel kanker tanpa merusak jaringan lain dalam tubuh dan membuat sel yang terinfeksi menyembuhkan diri dalam waktu singkat.”
“Kalau begitu, itu penemuan yang hebat!” seruku akhirnya. Otakku langsung memikirkan kemungkinan akan ratusan juta orang yang bakal bisa selamat dari kanker dengan obat milik Donghae.
“Benar,” jawab bosku dengan wajah masam. “Tapi itulah permasalahannya. Kami akan mengguncang dunia medis dan tentu saja, ada banyak pihak yang merasa dirugikan dengan hal ini, Youva. Penelitian yang telah kami lakukan menghabiskan lebih dari seluruh hartaku karena kami menggunakan peralatan paling mutakhir, teramat canggih dan sangat mahal. Hingga mustahil untuk bisa ditiru orang lain tanpa kekayaan yang sebanding. Jadi aku harus merahasiakan penemuan ini untuk beberapa waktu, sampai kami berhasil memastikan kalau semuanya terkendali.”
“Tunggu, Sir. Anda bilang ada pihak yang merasa dirugikan? Tapi ini menakjubkan! Aku yakin semua orang akan merasa senang dengan penemuan ini.” Ungkapku sedikit tak percaya. Kanker adalah pembunuh manusia nomor dua di dunia dan pasti obat seperti itu sudah di cari-cari.
Donghae menghirup lagi kopinya sebelum menjawabku. “Tentu saja ada, Youva. Coba pikir, perusahaan-perusahaan farmasi lain, yang telah berdiri sejak puluhan tahun lalu dan menjadi induk dari beberapa perusahaan farmasi terkenal—Johnson and Johnson, Abbott Laboratories, Takeda Pharmaceutical, Bayer Healthcare, Boehringer-Ingelheim—total ada seribu lebih perusahaan farmasi yang terdaftar dan menjadi pemilik hak paten obat-obatan penting sehubungan dengan penyakit seperti kanker. Mereka memproduksi begitu banyak obat untuk memperlambat pertumbuhan kanker, atau mencegah penyakitnya berkembang—namun tidak untuk membunuh kankernya sendiri—dan apa yang akan terjadi kalau aku muncul dan mengumumkan penemuan itu?”
Tatapan Donghae yang tajam menembus isi otakku dan aku terpana mendengar penjelasannya. Itu benar. Sangat rasional dan realistis.
“Sekarang sedang terjadi Gelembung Ekonomi, dimana semua orang berlomba-lomba menanam saham pada seluruh penelitian yang menjanjikan keberhasilan. Tapi bagaimana jika mereka tahu kalau ternyataaku sudah menemukannya? Perusahaan-perusahaan besar itu akan bangkrut—mati, karena mereka kehilangan para investor dengan cepat. Ketika obat-obatan tak lagi dibutuhkan dunia, ratusan juta orang di phk, kehilangan pekerjaan karena perusahaan mereka tak lagi beroperasi.
“Aku bisa mengatakan kalau hanya butuh sedikit waktu bagiku untuk mendirikan seratus cabang di seluruh Amerika dan akan bertambah sepuluh kali lipat jika aku mulai mengekspansi pasar dunia. Tapi bukan itu, yang kutakutkan adalah bahwa dunia belum siap. Economic Bubble memberi dampak yang lebih parah untuk perekonomian dunia khususnya Amerika. Bayangkan jika Negara adikuasa mengalamiBubble Crash? Efeknya pasti lebih mengerikan daripada kematian manusia. Dan karena itulah, aku berada dalam incaran semua orang Youva. Jika kau pikir aku hidup santai dan melewati waktu tanpa mencemaskan apapun, kau salah. Aku berjalan di antara seratus mulut pistol yang mengarah di kepalaku.”
Donghae mengakhiri penjelasannya dengan nada tegas, hingga membuatku menahan napas tak percaya. Ia mengatakan semuanya dengan wajah datar—seakan sudah lumrah baginya untuk mendapatkan semua ancaman itu.
“Jadi, Sir,” kataku setelah terdiam selama beberapa saat. “Apa yang anda lakukan dengan penemuan itu?”
“Aku harus menjualnya—itu benar, karena kalau tidak seluruh penelitian itu akan sia-sia dan aku bisa bangkrut dengan cepat. Tapi aku tidak menjualnya secara luas pada publik. Hanya ada beberapa perusahaan terkait yang telah memperoleh izinku untuk mendapatkan obat ini. Mereka hanya boleh membisikkannya dari telinga ke telinga, dan sama sekali tak ada bukti jika mereka tidak datang langsung kepadaku. Singkatnya, aku menjualnya secara tertutup. Dan hanya miliarder yang bisa membeli obat ini untuk sekarang.”
“Miliarder?” tanyaku kaget. “Anda—memangnya berapa harga untuk obat ini?”
“Obatnya hanya berharga enam ratus juta dollar. Tapi jika mereka menginginkan penyembuhan secara menyeluruh, perawatan selama seminggu akan dikenakan biaya hingga satu miliyar dollar.”
Aku tersedak. Mataku membelalak saat mendengar harga fantastis itu. Apa ia pikir mengeluarkan uang dalam nominal super besar seperti itu sangat mudah? Tadinya aku mengira bahwa obat ini paling mahal akan dijual seharga satu juta dollar, tapi ini benar-benar kelewatan!
“Kau terkejut?” tanyanya tersenyum tipis. “Tapi itulah harga yang sebanding, Youva. Seperti yang kukatakan, kami menggunakan alat canggih yang sangat mahal. Delapan ratus tim peneliti bersertifikatluar biasa tidak bisa digaji murah. Aku menolak tawar menawar, sebab obatnya sendiri Cuma ada satu di dunia. Dan perawatannya membutuhkan lebih dari sekedar obat. Tapi harus kau ketahui bahwa hingga kini ada delapan orang yang masih dalam antrian untuk mendapatkan penyembuhan.”
Aku tak tahu harus berkomentar apapun lagi. Tampaknya aku baru saja mendapati bahwa aku sedang duduk di depan orang paling berpengaruh di Amerika. Tiba-tiba aku merasa ciut, gentar akan kekuasaan yang ia memiliki tanpa sepengetahuanku. Dan aku bertanya-tanya bagaimana ia bisa mengembangkan kesuksesannya—pemilik L-PhC, CEO PHOENIX, FROZEN Holdings Inc. dan perusahaan-perusahaan lain yang ia investasikan—dalam waktu singkat. Mustahil ia masih bisa menggoda wanita jika ternyata ia menanggung beban perusahaan yang begitu banyak.
Omong-omong tentang wanita, aku jadi ingat kalau aku belum mendapatkan penjelasan apapun tentang Jennifer dan cuci otak.
“Sir, aku penasaran, apakah L-PhC ada hubungannya dengan kegiatan cuci otak itu?”
Donghae menghela napas panjang. Mata cokelat terangnya menatapku dalam—dan lelah. Aku bisa melihat rona hitam di bawah pelupuk matanya dan dengan mendadak keinginan untuk menyentuh wajahnya membuncah dalam hatiku.
‘Sial. Fokus, Youva!’
“Seperti yang sudah kukatakan, kegiatan itu berpengaruh besar terhadap L-PhC. Malah sebenarnya tim penelitiku lebih dulu menemukan adanya korelasi antara penyembuhan kanker dan cuci otak. Aku harus mengkoreksinya lagi, cuci otak bukanlah kata yang tepat. Sebenarnya kami hanya menyembunyikan beberapa memori, bukan menghapusnya secara permanen. Dan dengan menghilangkan ingatan tentang penyakit kanker yang mereka derita, membuat kesembuhan semakin cepat.”
“Aku tak mengerti.” Kataku berterus terang. Keningku berkerut dan aku menatap Donghae bingung. Ia menarik napas lagi, berusaha bersabar karena kelambananku. Tapi kalau boleh jujur, aku merasa terganggu dengan aroma Lee Donghae. Tampaknya semakin ia meneguk kopi itu, semakin aku kehilangan konsentrasiku.
“Minum kopinya, Miss Cardia.” Katanya tiba-tiba. Aku terdiam tiga detik sebelum melakukan perintahnya. Dan entah kenapa kudapati konsentrasiku perlahan kembali terkumpul. Aku bisa berpikir dengan jelas sekarang.
“Pada dasarnya,” ucapnya lambat-lambat. “Seberat apapun penyakit seseorang, yang paling berperan penting dalam merasakan itu semua adalah otak. Kami menemukan hasil yang mengagumkan pada uji coba yang dilakukan dalam skala besar, bahwa jika orang menyadari penyakit yang dideritanya dan berpikir secara pesimis kalau mereka bisa bertahan hidup, kemampuan untuk menyembuhkan diri berkurang hingga 75%. Dan sebaliknya, jika alam bawah sadar pasien disugesti bahwa mereka sebenarnya sehat, kemungkinan penyembuhan akan meningkat menjadi 85%. Angka yang luar biasa untuk kesembuhan penyakit seperti kanker.
“Di saat yang bersamaan, Tim Penelitiku juga berhasil menemukan bagaimana caranya membunuh sel-sel kanker meskipun sel itu telah berubah mengganas. Dan penggabungan keduanya menghasilkan efek yang luar biasa terhadap kesembuhan pasien. Pada awalnya teknik sugesti itu hanya diperuntukkan untuk tujuan pengobatan, namun beberapa hal terjadi dan aku menyadari bahwa aku bisa mengembangkan teknik sugesti itu untuk keperluan bisnisku yang lain.”
Aku menatapnya lurus. Masih dalam spekulasiku yang teramat membingungkan dan bosku juga tampaknya tak keberatan untuk membiarkanku mengernyit padanya. “Anda bilang, anda menghapus memori seseorang? Bagaimana mungkin?”
“Bukan menghapusnya, Youva. Kami hanya menyembunyikannya.” Donghae meletakkan gelasnya dan merebahkan diri di sofa berlengan. Ia mengaitkan jari-jarinya lalu menyilangkan kakinya santai sambil menjelaskan segalanya padaku.
“Aku harus memberikan penghargaan tertinggi untuk Takeshi, sebab dialah pencipta semua penemuan di laboratorium ini. Dia juga yang mengetahui teknik penyembuhan dan penciptaan antigen baru untuk sel-sel kanker yang mengganas. Takeshi sebenarnya master of psychology, master of psychiater danmaster of science, karena itu aku mengajaknya bergabung dengan perusahaanku. Takeshi kemudian mengenalkanku pada teknik sugesti—penghapusan memori dan kami memikirkan kemungkinan-kemungkinan setelahnya. Kau tahu, seperti mencoba menghapus rasa takutmu karena luka di masa lalu, atau trauma yang pernah kau dapatkan karena orangtuamu pernah memukulmu—semuanya bermula dari hal-hal semacam itu. Kami mengadakan uji coba ringan, dan percobaannya berjalan lancar.
“Jadi, praktisnya semua kegiatan itu bermula di sini, di laboratorium ini. Ketika aku memutuskan untuk menjalankan sebuah bisnis baru, aku mendiskusikan beberapa hal dengan Takeshi dan dia memberiku sebuah ide bagus.”
“Ide seperti apa?” desakku tak sabar. Donghae menghela napas kecil sebelum menjawab keingintahuanku.
“Kalau ada cara lain selain pembunuhan.”
Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak untuk satu detik yang lama saat kudengar Donghae mengucapkan kata terakhir. Rasanya tubuhku menggigil tanpa bisa kucegah. Ada nada muak yang terlihat jelas dalam kalimatnya. Tapi aku tak bisa menangkap apapun setelahnya sebab pria itu kembali berujar santai.
“Aku sudah pernah menjelaskannya padamu, bahwa lebih baik melenyapkan sumber ketakutan klienku daripada melindunginya terus menerus. Itu cara yang paling praktis dan mudah. Sebab kebanyakan sumbernya adalah pembunuh bayaran yang dipesan oleh orang yang menginginkan kematian klienku. Kami akan mengamankan orang-orang yang dicurigai lalu menempatkan mereka dalam ruangan hipnotis, menyembunyikan memori mereka atau menggantinya, hingga mereka tidak akan pernah ingat kenapa mereka harus membunuh klien-klienku.”
Kalau saja aku tidak buru-buru menutup mulut, Donghae pasti bisa melihat wajahku yang menganga idiot. Penjelasannya barusan benar-benar mengguncangku. Maksudku, itu benar-benar brilian. Dengan cara seperti itu, tidak akan ada satu orangpun yang terluka atau bahkan mati.
“Dan.. tingkat keberhasilannya?”
Donghae menatap kedua mataku tajam dan berkata dalam nada absolut. “Seratus dua puluh persen.” Ujarnya mantap. “Belum pernah terjadi kegagalan satu kalipun. Kecuali…”
“Apa?”
Lee Donghae menghela napas dalam dan kedua pelipisnya bertaut. “Kecuali seseorang membongkarsemua memori yang telah kami sembunyikan.”
Napasku tertahan dan untuk sejenak aku tak bisa berkata apapun. Aku menghabiskan tiga menit penuh dalam kebisuan sebelum berhasi menemukan kembali suaraku. “Apakah itu.. mungkin?”
“Persentasenya hanya tiga persen, karena teknik yang Takeshi gunakan tidak sama dengan teknik hipnotis kebanyakan. Tapi ini kali kedua kejadian seperti itu terjadi.”
“Maksud anda, Sir?” bisikku lemah.
“Kau sudah lihat apa yang terjadi pada Jennifer, Youva. Seperti itulah yang terjadi jika seseorang berusaha membongkar ingatannya, memanipulasi memorinya lalu mencoba menghapusnya.”
Aku menggeleng cepat-cepat dan memejamkan mataku. “Tunggu, Sir—aku, maksudku—tadi anda bilang membongkar, memanipulasi dan menghapus? Aku tidak—”
Donghae berdiri dalam gerakan mendadak dan berjalan membelakangiku. Langkahnya terhenti di depan tirai di balik meja kerjanya dan ia mengintip dari balik tirai. “Jennifer adalah seorang pembunuh bayaran, Youva.”
Informasi yang baru kuterima sama sekali tidak mengguncangku, tapi entah kenapa aku bersyukur wanita itu sedang tidak sadarkan diri. Maksudku, bagaimana kalau dia tidak menyukaiku karena aku sekretaris Donghae dan memutuskan untuk menembakku saja?
“Dia ditugaskan untuk membunuhku—”
Ini baru informasi yang membuatku terperangah. Oke, bagaimana mungkin bosku bisa membiarkan pembunuh bermesraan dengan dirinya?
“—Dan yang mempekerjakannya adalah Robert Andersen.”
Kali ini rahangku terbuka lebar. Tepat saat itulah Donghae memutuskan untuk berbalik dan tersenyum ketika menemukan wajahku yang menganga takjub. “Itu benar.” Katanya ringan.
“Anda sudah mengetahuinya dari awal dan anda tetap membiarkannya begitu saja?”
“Tentu saja tidak, Youva,” katanya terdengar geli. “Aku langsung mengamankan Jennifer ketika dia ketahuan. Takeshi telah menyembunyikan memorinya, dan secara bertahap kami memberikan sugesti bahwa Jennifer benar-benar klienku dan Robert Andersen adalah seseorang yang menginginkan kematiannya. Semuanya berjalan lancar. Robert mendapatkan informasi yang keliru dan kehilangan banyak saham. Tetapi putranya lebih cerdas.”
Ada jeda panjang dan ujung jariku terasa membeku karena mengetahui bahwa kami akan segera membicarakan Johan—maksudku, Jason.
“Jason tampaknya curiga dan berusaha memancing Jennifer. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa membongkar semua ingatan yang telah kami sembunyikan, tetapi bukan hanya itu, Jason juga berhasil memanipulasi pikiran Jennifer walaupun usahanya tidak benar-benar berhasil. Dia hanya memberikan semacam dorongan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.”
“Seperti kejadian tadi malam?” selaku begitu saja.
Donghae mengangguk membenarkanku dan kedua tangannya menyisip ke dalam saku celana. “Aku tidak tahu apa yang telah dia lakukan pada Jennifer, tapi tampaknya Jason juga ingin menghapus beberapa memori wanita malang itu—yang sayangnya berdampak pada kerusakan otaknya. Takeshi sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi.. aku belum bisa memastikan apakah Jennifer bisa kembali sadarkan diri.”
“Anda bilang ini kedua kalinya? Bagaimana dengan korban yang pertama? Apakah memorinya bisa diselamatkan?”
Entah apa yang membuat wajah bosku berubah menggelap dan begitu mengerikan, namun ekspresinya membuatku ciut. Donghae mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Suaranya bergetar, penuh amarah tetapi juga sangat menderita.
“Dia mati.”
Kurasakan tubuhku membeku dan nada suara Donghae yang begitu penuh penderitaan menggangguku tanpa sebab yang pasti. Aku berusaha memikirkan topik pembicaraan lain sebab atmosfir berubah tak menyenangkan.
Dan tiba-tiba otakku langsung menangkap sebuah gagasan.
“Sir, kenapa anda tidak mengamankan Joh—maksudku, Jason, lalu menghapus memorinya? Bukankah itu masuk akal?”
Donghae memberiku tatapan dinginnya dan tengkukku langsung merinding. “Tidak bisa,” jawabnya ketus. “Mustahil untuk menghipnotisnya jika dia telah mengetahui bahwa kami akan segera menghapus memorinya. Jason lulusan terbaik SAS, Youva. Dia punya seribu cara untuk kabur dari semua mata-mataku dan menghapus ingatannya tidak akan berdampak apapun karena aku yakin dia telah meninggalkan jejak memorinya. Untuk itulah aku memberinya status bahaya, dan dia harus dibunuh jika melawan.”
Aku kembali membisu dan kekecewaan menguar keluar dari wajahku. Aku tahu Donghae sedang mengamati perubahan ekspresiku tapi aku tak bisa mengendalikan perasaanku. Setidaknya untuk saat ini. Sebab tadinya aku berharap kalau—well, barangkali Johan bisa diselamatkan. Atau setidaknya aku ingin dia kembali menjadi Johan-ku.
“Kau ingin aku menghapus ingatannya sebagai pembunuh dan membuatnya kembali bersamamu?”
Pernyataan Donghae seakan menamparku. Aku menatapnya langsung, merasa kaget karena ia tampaknya bisa membaca pikiranku.
Alih-alih menjawab, aku hanya memandang bosku dalam diam. Donghae menyunggingkan senyum sedihnya dan menggeleng.
“Itu tidak mungkin, Youva. Sebab target Jason adalah dirimu. Ingatan tentangmu-lah yang harus kami hapus dan tentu saja dia tidak akan bisa mengenalimu lagi.”
Aku masih belum menjawab apapun namun bosku terlalu lihai untuk mengungkapkan semua isi kepalaku. “Hanya ada satu pilihan, Youva. Tinggalkan dia—tinggalkan Jason.”
Kali ini kalimat Donghae terdengar seperti memohon. Pria itu mendekatiku dalam satu gerakan mudah dan telapak tangannya kini menyentuh sebelah wajahku. Jarinya mengukir gerakan di sepanjang pipiku yang dingin.
“Tak bisakah kau melihat pria lain selain dirinya?” tanyanya nyaris berbisik.
Donghae membungkukkan wajahnya menjadi persis di depan wajahku. “Lihat aku, Youva. Aku ada di sini.”
Aku merasakan dorongan emosi yang aneh yang membuatku tak bisa mengendalikan rasa panas di kedua mataku. “Aku tahu, Sir.” Jawabku parau. Kegetiran merayapi hatiku, menggantikan rasa kecewa yang tadi sempat menguasai diriku.
Bibir Donghae membentuk lengkungan senyum sedih. Ia menjatuhkan tangannya dan berbalik menghadap tingkap. Dan detik itu juga aku ingin ia kembali, membenamkan telapak tangannya yang hangat di pipiku lalu menatapku tanpa henti. Keinginan itu begitu kuat hingga aku harus menggigit lidah sebelum kelepasan untuk memohon padanya.
“Apakah ada lagi yang ingin kau ketahui?” tanyanya membelakangiku. Aku bisa melihat punggung Donghae yang menegang, meski aku tak tahu apa yang ia pikirkan sekarang. “Aku tidak bisa memberimu Jason Andersen, Youva. Kau sebaiknya berhenti berharap padanya. Dia tidak ditakdirkan untuk hidup lama.”
Aku mengernyit. Mengapa sepertinya kata-kata Donghae terdengar penuh kejengkelan? Apakah ia telah salah mengartikan kebisuanku? Dan aku tak mengerti mengapa mendengarnya memvonis Johan seperti itu membuatku dirundung dilemma. Haruskah aku bersimpati pada pembunuhku?
***
Kudengar langkah kaki Donghae yang mengetuk pelan permukaan lantai pualam di depanku. Kami berjalan dalam keheningan, mencoba bersikeras menutup mulut dan membiarkan berbagai asumsi bergumul dalam hati daripada mengutarakannya. Aku mengintip pundak Donghae yang menegang, tengkuknya nyaris menyala terang. Aku yakin ia benar-benar murka. Setidaknya setelah mendengar permintaanku lima belas menit yang lalu.
“Anda tak bisa melakukannya, Sir.” Kataku sedikit lebih keras. Donghae membiarkan tira-tirai di hadapannya berderik jatuh lalu berbalik menatapku.
“Melakukan apa maksudmu?”
Aku menaikkan dagu, meski kedua pandanganku masih tertuju ke dasar gelas. Bagus. Aku sudah menghabiskan kopinya dan entah kenapa pikiranku seratus kali lebih jernih sekarang. “Anda tak bisa membunuh Johanerm, Jason.”
Kening Donghae mengerut bingung. Jelas sekali percakapan ini adalah salah satu hal yang tak diinginkannya. Sebab berikutnya ia telah melipat kedua tangannya di dada. “Jelaskan.” Perintahnya absolut.
“Anda bilang bahwa ada cara lain selain pembunuhan. Tapi kenapa pada akhirnya anda membunuh seseorang?”
“Youva, kubilang itu dalam keadaan darurat
“Masih ada cara, Sir.” Potongku nekat. Aku melarikan bola mataku ke arahnya, namun segera kembali menatap permukaan gelasku ketika kudapati tatapan pria itu kini berubah sekeras batu. Tentu, dia masih sangat tampan. “Johan manusia, dia memiliki kekurangan. Dan yang harus kita lakukan adalah memanfaatkan kekurangan itu, Sir.”
Kudengar dengusan Donghae di ujung ruangan tapi sama sekali tak berniat mengeceknya. Aku yakin aku benar. Pria itu tengah meremehkanku. “Kita? Lucu sekali, Miss Cardia. Seingatkku aku tak pernah menyebutkan kalau kau bagian dari semua ini.”
Bibirku menekuk dan aku menjaga pandanganku agar tak menatapnya lagi. Meski jujur saja, aku benar-benar tak tahan tidak melihatnya selama lebih dari sedetik.
“Sayangnya aku tahu kelemahan Jason. Dan aku yakin informasi ini akan sangat berguna untuk Anda, Sir.”
Hanya satu milidetik, dan Donghae telah menjatuhkan kedua tangannya. Ia memberiku tatapan tak percayakali ini aku memberanikan diri untuk memandangnya hingga sebagian dari diriku bersorak penuh suka cita.
Kedua mata Donghae membulat, penuh antisipasi. Bisa kulihat gairah di wajahnya, seakan ia tengah menanti sebuah keajaiban. “Apa itu? Apa kelemahannya?”
Perlu usaha keras untuk menutupi senyum kemenanganku yang nyaris saja mengembang. Tapi aku menggeleng pada Donghae sebagai jawaban. “Aku punya syarat-syarat..”
“Sebutkan.” Selanya tak sabar.
“Pertama, aku ingin melihat teknik hipnotis dan sugesti yang kau lakukan. Kedua, aku ingin kau berjanji untuk tidak membunuh Jason seandainya usulku berhasil dan ketiga, aku ingin kau membiarkan aku yang menghipnotisnya.”
Malaikat rupawan itu terperangah menatapku. Tak ada yang aneh dari wajahnya seandainya ia tidak membelalak selama tiga detik penuh. “Kau sudah gila, ya? Darimana kau dapatkan ide seperti itu? Syarat pertama dan kedua mungkin bisa kupertimbangkan, tapi yang ketiga? Tidak, Ms. Cardia. Silahkan telan omong kosongmu. Aku tidak akan pernah setuju.”
Aku meletakkan gelasku dan berdiri. Berdebat dalam keadaan duduk membuatku sedikit terintimidasi. “Bukankah Anda bilang kalau mustahil untuk menghipnotis Johan? Itu mungkin benar hanya jika dia tahu bahwa tim anda yang akan melakukan hipnotis. Tapi dia tidak akan pernah menduga kalau ‘aku’ yang akan menghipnotisnya. Itulah sebabnya aku ingin melihat teknik melakukan hipnotis itu. Aku yakin ini akan berhasil.”
“Berhenti berkhayal dan tutup mulut, Ms. Cardia. Aku tidak terima apapun dari persyaratanmu dan—”
“Oh, ayolah. Kenapa Anda begitu pesimis?”
“Aku tidak pesimis, Youva. Aku hanya mimikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk lebih awal. Tahukah kau rencanamu akan membawa semua orang ke dalam jurang penuh bahaya? Bagaimana jika kau gagal dan ketahuan? Atau bagaimana kalau ia malah balik menghipnotismu dan mendapatkan akses informasi mengenai diriku dan perusahaan-perusahaan ini? Aku memberitahumu semua ini bukan karena aku ingin melibatkanmu, Youva. Prioritasku adalah melindungimu, bukan meletakkanmu dalam bahaya. Kau seharusnya mengerti itu.”
Rasa percaya diri dan keras kepalaku mulai menghilang. Aku nyaris tak bisa berkata apapun lagi. Donghae kelihatannya sedang menghipnotisku. Otakku mulai linglung dan tak bisa memikirkan apapun selain ketampanannya. Oh, ya ampun. Dia benar-benar mengerikan.
“Aku” Suaraku serak, menghilang ke bulan bersamaan dengan kewarasanku. Aku butuh itu sekarang, kumohon kembali lah!
“Sir,” ulangku lebih mantap. Aku memusatkan perhatianku pada gelas kopi selama dua detik sebelum akhirnya menatapnya. “Aku akan berhati-hati. Aku berjanji tak akan melibatkan anda. Yang perlu kulakukan adalah mencobanya satu kali dan jika gagal kau boleh mengasingkanku ke Mars sekalipun. Aku yakin Johan tidak akan tahu.”
Donghae menatapku dalam. Sepasang mata indahnya terus mengusik asaku yang mulai lemah. “Sebenarnya apa yang kau inginkan, Youva?” tanyanya sendu. Suaranya bergemerisik di telingaku, membuatku tak tahan untuk berharap agar waktu tak lagi berjalan.
“Kumohon, Sir.” Ujarku putus asa. Kewarasanku tinggal sedikit lagi dan aku berjuang mati-matian untuk mempertahankannya. “Biarkan aku mencoba satu kaliatau kau bisa mengujiku dulu. Aku tahu ini akan berhasil.”
“Tapi.. mengapa? Mengapa kau berusaha begitu keras, Youva?”
“Karena.. akuaku tak ingin..” aku tak bisa mengungkapkannya dan lebih memilih untuk berdiam diri setelahnya.
“Kau tak ingin Jason Andersen mati?” Perkataan Donghae terdengar dingindan hampa. Ia menatapku tak percaya dan sedetik setelahnya, wajah malaikat itu berubah menjadi kejam. “Baik. Kalau itu maumu. Kau benar-benar tak bisa dikendalikan, Ms. Cardia. Tapi jangan pernah gagal. Kau tahu aku tak selalu bermurah hati.”
Bibirku terkunci rapat, menolak membantah apapun yang diucapkan Donghae. Aku menjaga ekspresiku untuk tetap tenang terlepas dari keinginanku untuk berteriak di depannya.
‘Aku tak ingin anda menjadi seorang pembunuh, Sir..’

 ***
Ruangan ini semakin menjorok ke bawah, semakin dingin dan semakin sunyi. Aku tak mendengar bunyi apapun di sekitar sini. Hanya ada keremangan dan ruangan-ruangan aneh dengan pintu kaca gelap. Aku bahkan tak berani melirik ke arah pintu-pintu itu, sedikit takut jika salah satunya terbuka dan aku akan melihat hal-hal yang menyeramkan di dalam sana.
Donghae tak menunggu, ia terus berjalan di depanku dan seratus persen mengacuhkan kehadiranku. Aku tahu ia sedang kesal dan aku tak mengerti kenapa sudut hatiku harus bersedih karena ia tak sudi berbalik untuk melihat keadaanku. Aku ingin menyentuh punggungnya, yang berdiri sejauh dua meter di hadapanku. Tapi sebelum kegilaanku mulai mengambil alih, Donghae tiba-tiba berhenti di depan sebuah pintu kayu. Aku yakin pintu ini kelihatannya rapuh. Tapi begitu Donghae melakukan triple lock, mau tak mau aku terperangah.
“Masuk.” Perintahnya dan langsung kuikuti. Tubuhku menggigil karena udara dingin yang menyeruak keluar. Ruangannya gelap gulita, membuatku tak bisa melihat apapun. “Sebelah sini, Youva.” Ujar Donghae. Aku berusaha mencari keberadaannya, namun mendadak seseorang menarik pergelangan tanganku.
“Kemari.” Ucapnya lagi. Aku mengikutinya dengan canggung, tak berani menarik tanganku. Beberapa saat kemudian tangan Donghae melepaskanku dan ia meletakkan sebuah kacamata di wajahku. “Pakai ini.”
Kini seluruh ruangan berubah menjadi hijau. Tentu saja kacamata itu penyebabnya. Tapi kudapati bosku sedang mengamatiku dalam hening. Ia mengenakan kacamata namun aku bisa melihat kedua bola matanya dengan jelas. Agaknya ia menanti hingga aku menyesuaikan diri.
“Ini kacamata night vision, digunakan untuk melihat dalam gelap sebab ruangan ini benar-benar harus gelap gulita. Kamar yang gelap memudahkan teknik sugesti, dan para pasien harus dalam keadaan terhipnotis untuk bisa masuk ke dalam sini. Kau merasa dingin, bukan? Rasa dingin menimbulkan kenyamanan dan itu digunakan sebagai alat untuk mempermudah teknik hipnotis. Kau lihat pintu kayu di depan tadi? Ruangan ini sebenarnya terbuat dari 65% material kayu sebab kayu menyerap dingin lebih baik daripada tembok dan membuat atmosfir ruangan menjadi lebih nyaman.”
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang kini bernuansa hijau dan mendapati beberapa orang tengah berkumpul, mengamati seseorang atau sesuatu di balik sebuah cermin besar. Orang-orang yang berkerumun itu memiliki penampilan serupa; semuanya memegang tablet kecil dan beberapa orang terlihat terburu-buru mencatat hasil pengamatan mereka. Kami berjalan mendekati mereka dan kusadari mereka pasti bagian dari staf-staf peneliti sebab mereka mengenakan jas putih panjang seperti dokter—tipikal.
Donghae berjalan mendahuluiku dan berdeham—mencoba menarik perhatian para peneliti itu. Mereka berbalik dan seseorang yang berdiri paling dekat dengan bosku kemudian menjabat tangan Donghae.
“Apakah semuanya berjalan lancar, Bosh?” tanya bosku. Ia mengedik satu kali ke arah cermin besar di ujung sana—yang masih belum bisa kulihat dengan jelas karena terhalang oleh staf-staf itu.
Pria bernama Bosh itu mengangkat bahu. “Seperti biasa, tak banyak kesulitan disini. Kau bisa melihatnya sendiri, Sir.”
Donghae mengangguk pelan lalu ia berbalik padaku. “Bagaimana? Kau ingin masuk?” ujarnya tanpa mengurangi volume suara—membuat semua orang di sana berbalik menatapku.
Aku mengkerut dengan cepat dan kurasakan kedua pipiku menghangat. Beberapa pasang mata menatapku cepat, seakan baru menyadari bahwa bosku datang dengan seorang wanita. Sebagiannya cukup sopan dengan hanya melemparkan pandangan penuh tanya. Tapi bahkan Bosh memandangku sedikit tak percaya.
“Apa kau baru saja mengajak nona muda ini untuk masuk?” pertanyaannya hampir terdengar seperti protes.
Donghae melipat tangannya di dada—menunjukkan bahwa ia tak bisa dibantah—dan kedua alisnya naik tinggi. “Benar. Dan kau memiliki masalah dengan itu?”
Bosh langsung mengerutkan kening dan kudengar bisik-bisik menjalar di belakangnya. “Tapi peraturannya adalah bahwa siapapun tak boleh—”
“—membawa orang yang tidak berkepentingan untuk masuk dan menyaksikan teknik sugesti. Terima kasih, Bosh. Aku ada di sana ketika peraturan dibacakan. Dan mungkin kau harus tahu bahwa akulah yang membuat peraturan itu. Atau kau mungkin lupa kalau perusahaan ini seratus persen milikku? aku bisa mengingatkanmu kembali. Kau ilmuwan cerdas, Bosh. Aku tak berharap memorimu seburuk itu.”
Bosh berdeham satu kali dan bisik-bisik lenyap perlahan. Bosh menelan ludah gugup—jelas sekali bahwa ia ingin segera keluar dari atmosfir tak menyenangkan ini. “Tentu saja.” Ujarnya penuh kekalahan. “Kau bisa lakukan apapun yang kau mau.”
Bosku mengangguk puas. “Kalau begitu bacakan identitasnya.” Pria itu berbalik lagi padaku dan berkata dengan suara rendah. “Dengarkan baik-baik, Youva.”
Aku mengangguk dan mulai memusatkan perhatianku pada Bosh yang mulai membaca dari tabletnya.
“Namanya Irina Odenburgh. Dia mata-mata dari Serbia yang tertangkap dua hari lalu di perbatasan California. Irina diketahui memata-matai Albert Chou, salah satu pendiri Chou Co. dan ia dipekerjakan oleh Jasmine Martina, istri dari Mavis Connard yang merupakan seorang mafia dari New Mexico. Irina sudah menjalani terapi pertama dan tiga jam yang lalu ia dipindahkan ke ruangan ini. Kemajuan sugesti telah mencapai 70% dan dalam satu jam kedepan, tim Phoebe akan memulai penyisipan informasi baru.”
Faktanya, hanya aku yang bersusah payah menelan seluruh penjelasan Bosh barusan sebab tak ada seorangpun yang mengerutkan kening. Bahkan bosku pun tidak. Ia meletakkan tangannya di dagu dan menimbang sejenak.
“Baiklah.” Kata Donghae setelah beberapa saat. “Kami akan mengevaluasi keadaan di dalam dan kupikir kalian bisa menambah intensitas interval pada gelombang otaknya.”
Bosh mengangguk dan segera mengetuk beberapa kali layar tablet miliknya. Donghae mengisyaratkanku untuk mendekat dan mengikutinya. Kami memutari cermin besar itu dan aku melihat ada sebuah pintu kayu yang tampaknya sedikit mengintimidasi.
“Perhatikan.” Bisiknya di dekatku. “Dan jangan berisik.” Otomatis langkahku menjadi lebih pelan dan aku nyaris berjinjit. Donghae berhenti dan mencondongkan wajahnya padaku. “Kau tak boleh kehilangan konsentrasimu, Youva. Gigit lidahmu jika kepalamu mulai pusing dan kalau kau tak dapat menahan kesadaranmu, beritahu aku. Tapi ingat, pelankan suaramu. Kau mengerti?”
Aku mengerti, tentu saja. Tapi bukan salahku kalau aku tak mampu memberikan respon apapun. Wajah Donghae mungkin terlihat hijau dibalik kacamata ini, namun aroma tubuhnya yang mampir persis di hidungku membuatku kehilangan akses ke otakku sendiri. Pria itu mungkin tak menyadari rona wajahku yang berubah dengan cepat sebab ia telah mengulang pertanyaanya. “Miss Cardia, kau mengerti apa yang kukatakan?”
“Ya—ya, Sir. Aku mengerti.” Bisikku dengan suara nyaris menghilang sepenuhnya. Bosku mengangguk dan ia menarik tanganku.
“Itu Irina.” Ucapnya dan menunjuk seseorang di tengah ruangan. Wanita itu sedang duduk di sebuah kursi yang dilengkapi dengan kabel-kabel menjuntai dari atas. Para peneliti yang memegang tablet dan papan pencatat berada tepat di sebelahnya. Sejauh yang bisa kudengar, mereka sedang mengatakan sesuatu pada wanita itu. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas sebab posisi kami membelakanginya. Kemudian Donghae dan aku berjalan perlahan, sebisa mungkin tak mengganggu jalannya terapan sugesti yang sedang dilakukan beberapa orang di sana.
Aku mengambil kesempatan untuk mengamati ruangan ini lebih banyak. namun tak ada yang bisa kutangkap selain kegelapan yang mendominasi dan sebuah lilin berbentuk bulat yang berputar tanpa henti mengelilingi kursi Irina. Lilin itu nyaris menyerupai rembulan, bulat kecil dan pucat dengan seutas tali yang mengikatnya ke atas. Benda itu bergerak dengan kecepatan konstan, mengisi kegelapan yang menjadi satu-satunya cahaya yang ada di ruangan ini.
Kami akhirnya berdiri tepat di depan cermin besar yang kuduga tempat dimana peneliti di luar sedang mengamati Irina. Aku menahan napas ketika menyaksikan wajah Irina yang hampa. Setengah matanya terbuka tetapi ia sama sekali tak menunjukkan kesadaran apapun. Ada kabel-kabel yang menempel di dahinya dan kedua tangannya terikat pada lengan kursi. Aku tak yakin berapa usia Irina yang sebenarnya sebab sekarang ia terlihat seperti akhir lima puluhan—begitu kosong dan tak bernyawa.
Aku memperhatikan sebuah pola dalam ruangan ini. Bahwa ketika lilin itu berputar menyinari wajah Irina, saat itulah para peneliti mengajukan pertanyaan. Dan ketika aku masih belum bisa menebak mengapa, Donghae kembali berbisik di telingaku. “Kau menghitung interval (jarak) lilin? Hanya tiga detik. Perhatikan.”
Dan Donghae benar. Hanya butuh tiga detik untuk lilin itu berputar mengelilingi Irina dan kembali di depan wajahnya. “Mengapa mereka menggunakan lilin?” tanyaku berbisik.
“Lilin adalah media terbaik dalam tahap hipnotis dan sugesti. Kegelapan akan membuat pasien merasa tak berdaya sedangkan setitik nyala lilin dapat diumpamakan sebagai sebuah harapan, yang membuat pasien merasa tak punya pilihan lain selain mengungkapkan apapun, dan begitu juga sebaliknya, menerima apapun yang kami berikan. Begini, bayangkan kau berada di dalam ruangan sempit dan gelap, kau pasti akan ketakutan, kan? Kemudian bayangkan kau melihat sebuah cahaya. Secara naluriah kau pasti berlari pada arah datangnya cahaya itu sebab kau mungkin menganggapnya sebagai satu-satunya harapan yang tersisa. Namun bagaimana kalau cahaya itu tiba-tiba menghilang? Ketakutanmu kembali, sebab harapanmu tiada. Jadi kami berikan pasien beberapa tahapan interval cahaya; tiga puluh detik, dua puluh detik, sepuluh dan terakhir tiga detik.
“Pada tiga puluh detik pertama pasien biasanya masih menggunakan pertahanan alam bawah sadar mereka. Kami akan bertanya hal-hal sepele mengenai latar belakangnya, teman-teman dan hubungan percintaannya. Kebanyakan dari mereka menjawab tanpa kesulitan. Namun ketika pertanyaan yang lebih spesifik diajukan, seperti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan target yang akan dibunuh, mereka menjadi gelisah dan merasa terancam. Tanpa meraka sadari, alam bawah sadar mereka mulai merasa ketakutan, dan saat itulah kami akan memutar kembali lilinnya, untuk menunjukkan setitik harapan sekaligus menenangkan alam bawah sadar mereka. Setelah mendapatkan informasi-informasi yang kami inginkan, kami memberi jeda dan menambah interval pada gelombang otaknya untuk tetap berada dalam status netral. Dan selanjutnya tahapan sugesti diberikan dengan mendikte pasien tentang fakta-fakta baru.”
“Dengan menggunakan lilin lagi?”
“Benar.” Ungkap Donghae. “Dan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Dengar dan perhatikan apa yang sedang mereka kerjakan.”
Kami kemudian berdiam diri dan mengamati tim peneliti yang sedang mengatakan sesuatu pada Irina.
“Irina, dimana ibumu saat ini?” seorang pria paruh baya bertanya dengan nada datar, namun terdengar sedikit penasaran. Tiga orang yang lain membisu dan bersiap dengan jawaban Irina.
Kupikir Irina tak akan mampu merespon apapun jika melihat wajahnya yang tak memiliki tanda-tanda kehidupan, tapi nyatanya ia menjawab dengan pelan—nyaris berbisik di tengah keheningan. “Dia ada di San Diego bersama pacar barunya.”
Lilin berputar kebelakang dan para peneliti kembali bertanya ketika benda itu berotasi di depan wajah Irina. “Apakah Ibumu tahu bahwa kau seorang mata-mata?”
“Tidak.” Jawab Irina setelah tiga detik.
“Dia tahu bahwa kau membunuh orang-orang?”
“Tidak.”
“Dia tahu kau akan membunuh Albert Chou?”
Hening untuk enam detik yang lama dan para peneliti buru-buru mencatat hal itu. Setelah detik ke Sembilan, wanita itu menjawab dengan sedikit takut. “Tahu.”
Para peneliti itu saling bertatapan dan menaikkan alis mereka tinggi. “Bagaimana kejadiannya?” tanya pria paruh baya itu setelahnya.
“Ibuku dan Jasmine adalah teman baik di masa sekolah dulu. Satu bulan yang lalu Jasmine menyuruhku mendatangi kediamannya di New Mexico dan saat itu Ibuku sedang berlibur ke Negara itu. Aku tidak tahu kalau aku akan bertemu dengannya tetapi saat itu Jasmine mengenalkanku sebagai calon pembunuh Albert Chou pada Ibuku.”
“Bagaimana reaksinya saat itu?”
Kami mendengar bunyi piip-piip­ yang mendadak berbunyi entah darimana. Kulihat pelipis Irina berkerut dan tiba-tiba Donghae mengambil tablet milik seorang peneliti dan menekan layarnya beberapa kali. “Apakah dia memiliki riwayat penyakit tertentu?” tanya Donghae cepat. Pria itu menggeleng dan Donghae menggumamkan instruksi padanya.
“Kalau begitu beri dia tambahan dosis anestesi dan lakukan pembiusan regional. Bispectral Indexmenunjukkan angka 65 dan terus naik. Jangan sampai dia mengalami awareness. Matikan lilin dan seluruh cahaya dalam hitungan ketiga. Satu.. dua.. Tiga!”
Keheningan mencekam serasa menyudutkanku. Aroma dupa bercampur lavender tiba-tiba menyeruak begitu saja, mengirimkan rasa mual dan menakutkan. Aku masih menggunakan kacamata night vision, namun entah mengapa aku mulai tak bisa melihat dengan baik. Kepalaku pusing dan diantara ketakutanku aku bisa mendengar suara Donghae di kepalaku.
Gigit lidahmu, Youva. Jangan sampai kesadaranmu pergi!”
Aku menggigit lidahku kelewat keras hingga aku bisa merasakan amis darah di dalam mulutku. Aku mengerjap beberapa kali, mulai mendapatkan kembali akal sehatku. Tepat di depan mataku, wajah Donghae mengamatiku dengan waspada. “Tahan napas.” Bisiknya perlahan.
Udara sama sekali tak membantu. Aku mengernyit dan merasakan serangan ketakutan itu lagi. Bau dupa, lavender dan kegelapan agaknya kembali menyelimutiku dengan kuat hingga akhirnya aku tak lagi bisa mendengar apapun yang Donghae katakan. Dunia miring ke satu sisi tetapi seseorang menahanku dan meletakkan sesuatu di wajahku.
“Dengar, Miss Cardia. Tarik napasmu perlahan. Dengarkan aku. Kalau kau mengerti, anggukkan kepalamu satu kali.”
Suara itu begitu tajam, waspada dan benar-benar jernih. AKu mengangguk dan mencoba membuka mataku. Gelap. Tetapi dalam sedetik, semuanya berubah menjadi terang benderang. Begitu menyilaukan hingga aku terpaksa memejamkan mataku lagi. “Ini karena blind vision. Kau harus mengenakan kacamatamu lagi agar bisa melihat.” Jelas Donghae dan memakaikan kacamata itu padaku.
“Tindakanmu benar-benar berbahaya, Miss Cardia. Sudah kubilang untuk menahan napas, mengapa kau malah menarik napas seperti itu? Ruangan ini tadi diisi dengan gas bius, itu sebabnya kau tak boleh menarik napas selama sepuluh detik. Nyaris sekali. Untung saja Paul memiliki gas mask, kalau tidak mungkin kau sudah pingsan selama dua puluh empat jam kedepan.”
Pernyataan Donghae membuatku ngeri. Aku menekan gas mask erat-erat di wajahku, takut kalau-kalau gas bius itu menyusup dan membuatku pingsan. Tetapi agaknya pengaruh gas itu tidak berlaku untuk Donghae dan para tim peneliti , karena mereka masih terfokus pada perkembangan Irina.
Kuperhatikan ekspresi Irina yang kembali mengendur. Tarikan napasnya teratur dan peneliti-peneliti itu menggumamkan “sistem pernapasan normal dan tingkat kewaspadaan berkurang. Mulai menaikkan interval. Tanda-tanda kesadaran menurun menjadi 45%, pasien siap di sugesti dalam sepuluh detik.”
Lililn yang berbentuk Bulan mini itu kembali bercahaya dan memutar konstan. Namun kali ini intervalnya berubah menjadi sepuluh detik.
“Irina? Can you hear me?” panggil pria peneliti itu. Aku melirik jasnya yang memiliki nametag Paul. Pasti dia yang memberikanku gas mask.
Yes.”
“Jelaskan bagaimana ekspresi Ibumu saat mengetahui kalau kau akan membunuh Albert Chou.”
Irina menarik napas normal. Kali ini wajahnya tak menunjukkan perubahan berarti dan mulai berbicara.
“Kenapa dia tak bereaksi?” bisikku pada Donghae.
“Itu karena pengaruh obat bius. Paul menaikkan dosisnya untuk menurunkan kesadarannya. Dan kali ini mereka melakukan hypnotic Logic—mengatakan dengan jelas maksud dari pernyataan mereka yaitu ‘jelaskan’. Kondisi Irina sudah memasuki tahapan ketiga dimana pertanyaan berubah menjadi perintah dengan memasukkan seluruh kata kunci; Ibu, Albert Chou dan bunuh. Dalam tahapan ini alam bawah sadar Irina tidak akan bisa menolak seluruh perintah. Walaupun sebenarnya cara ini sedikit kurang efektif karena beresiko tinggi jika pasien mengidap penyakit-penyakit tertentu. Tapi sepertinya Irina bisa melalui semua ini.”
“Apa maksudmu dengan beresiko tinggi?”
Donghae menarik napas. “Karena sebenarnya alam bawah sadar tidak bisa ‘dipaksa’. Mendengar seluruh kata kunci dalam satu kalimat mungkin akan menimbulkan kegelisahan tetapi alam bawah sadarnya menekan hal itu. Pemberian anestesi dalam jumlah berlebihan memang bisa mempertahankan kerja otak pasien, tapi hal itu akan berdampak pada kesadarannya. Alam bawah sadar yang gelisah tidak bisa memacu denyut jantung karena otaknya ‘dipaksa’ untuk tenang dan jika pasien memiliki penyakit tertentu, reaksi itu akan memicu penyakitnya untuk kambuh, bahkan lebih parah. Bisa saja saat pengaruh bius hilang, tubuhnya mengalami syok dan kesadarannya tidak bisa kembali. Itu sebabnya, teknik hipnotis tidak boleh sembarangan dilakukan.”
Donghae mengakhiri penjelasannya dalam diam, membiarkan kata-katanya membekas dalam ingatanku. Keheningan yang kami ciptakan tetap bertahan sampai beberapa waktu, hingga akhirnya tim peneliti yang daritadi mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada Irina memulai sesi sugesti induksi.
Bosku menjelaskan kalau tahapan ini dibantu oleh aliran listrik, yang mengoptimalkan kinerja otak untuk menerima dan menerapkan informasi yang mereka berikan untuk pasien. Kombinasi antara pengaruh obat bius dan arus listrik akan menciptakan semacam ilusi yang berawal dari delusi. Ilusi itu akhirnya akan menetap, membentuk suatu perintah dalam otaknya bahwa semua yang ia dengar adalah nyata. Dan apapun yang ia pikirkan hanyalah mimpi atau angan. Tahapan ini setidaknya harus dilakukan berulang kali agar pasien benar-benar bisa tersugesti secara penuh. Informasi yang diberikan juga harus berurutan dan tak boleh berlainan, sebab satu kesalahan akan membuat pasien tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang mimpi.
“Sekarang dengarkan aku.” Ucap Paul dengan sedikit keras—pada fase awal sugesti, informasi harus diberikan dengan keras supaya pasien tak bisa menolak. Fase ini lama kelamaan menjadi lebih lembut, yaitu memberikan informasi dengan nada berbisik hingga setiap suku kata akan meresap di dalam otak pasien tanpa adanya pilihan selain mendengarkan. “Namamu adalah Irina Odenburgh. Kau lahir dan besar di Serbia bersama Ayahmu. Hobimu adalah memasak, berenang dan menonton film. Kau tidak bisa merajut dan benci semua acara di hari minggu.”
Tim peneliti terus memberikan informasi-informasi mendasar pada Irina. Wanita itu mendengarkan, mengulang, mendengarkan dan mengulang lagi semua informasi yang diberikan. Cukup lama baginya untuk melafalkan seluruh informasi yang didiktekan untuknya. Tapi wanita itu sama sekali tak menunjukkan perlawanan apapun. Hingga akhirnya Donghae memutuskan bahwa kami bisa meninggalkan tempat itu, aku mendengar tim peneliti mengatakan pada Irina bahwa dia terlahir bukan untuk membunuh.
“Ulangi perkataanku; Aku adalah Irina Odenburgh, yang memiliki wajah cantik dan kehidupan yang cemerlang. Aku dilahirkan untuk berbahagia, bukan untuk merampas kehidupan orang lain.”
Aku memandang wajah Donghae dengan perasaan berkecamuk. Dalam hati aku merasa penasaran kira-kira apa yang dipikirkannya tentang perkataan tim peneliti itu? Tapi bosku sama sekali tak menunjukkan emosi apapun. Ia balas menatapku sedetik yang lama lalu beralih menatap pintu keluar.
“Berikan masker itu, Youva.” Perintahnya saat kami sudah keluar dari ruangan. Aku membuka masker di wajahku dan mengulurkannya pada Donghae. Ia tidak meletakkannya di meja terdekat, namun mengamati benda itu selama beberapa saat.
“Ketika kau menghirup gas bius tadi, apa yang kau rasakan?”
Ada antisipasi dalam nada suaranya, membuatku menebak bahwa ia sebenarnya menanti jawabanku—apapun itu.
Aku menundukkan wajah, berusaha menyembunyikan wajahku yang mengernyit. “Uhm.. tidak menyenangkan.” Jawabku parau. “Rasanya seperti kegelapan yang tiada batas dan ketakutan yang seakan menelanku.” Itu benar. Aku bahkan masih bisa merasakan ketakutan itu diujung kesadaran.
Donghae menatapku. Ia menunggu jawaban lain tapi aku terus menutup mulut. Setelah beberapa saat, ia maju dan mendekatkan wajahnya padaku. Kedua pipiku menghangat ketika menemukan sepasang matanya yang berbinar tajam, namun kegugupanku harus unjuk diri. Donghae membuka mulutny dan bertanya lagi, “aroma apa yang kau cium saat itu?”
Kali ini aku tak berusaha sembunyi, aku mengernyit padanya secara terang-terangan. “Apa maksud anda, Sir? Bukankah anda juga menciumnya?”
Donghae menggeleng cepat. “Tidak, Youva. Gas bius tidak berbau. Apa yang kau cium adalah ‘aroma pribadi’ dimana setiap orang mencium aroma yang berbeda-beda—yang sebenarnya adalah efek dari alam bawah sadar—tergantung seberapa besar dan ketakutan apa yang menghantui kita.”
“Ugh—aku—kupikir aku mencium bau dupa dan lavender.”
“Dupa?”
“Ya.” Jawabku mengangguk.
Donghae menatapku sepersekian detik sebelum akhirnya bertanya lagi. “Kau yakin itu dupa? Apa kau memang menyukai aroma itu?”
Aku mengangkat bahu, tak yakin dengan pertanyaan yang diberikan Donghae. “Entahlah, Sir. Aku sebenarnya tidak tahu karena tak pernah menggunakan dupa sebelumnya. Tapi kupikir hal itu terlintas begitu saja di kepalaku. Dupa dan lavender.”
Dalam gerakan singkat, Donghae mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Siapkan mobil, kita pulang.”
“Apakah—apakah terjadi sesuatu, Sir? Apakah itu pertanda buruk?”
“Kedua-duanya belum bisa dipastikan sekarang, Miss Cardia. Kita akan mengetahuinya nanti. Tapi kemungkinan besar kita harus bersiap pada berita buruk.”
“Mengapa?”
Donghae menatapku perlahan, sepertinya menimbang dengan cermat sebelum memberitahu satu hal yang akan menggangguku. “Karena dupa dan aroma lavender adalah dua benda yang biasanya dilakukan dalam teknik hipnotis sederhana. Dan, Youva, agaknya kita harus berasumsi kalau seseorang pernah menghipnotismu sebelumnya.”
Perkataan itu mengirimkan getaran aneh di seluruh tubuhku, membuatku membatu dalam hitungan milidetik. Ketakutan yang mulai merayap naik ke sendi-sendiku seakan menghentikan denyut jantungku sendiri. Aku menatap Donghae dengan gelisah, ingin mendengar bahwa ia sedang bercanda. Tapi tak kutemukan apapun selain kedua matanya menatapku bagaikan batu granit—dingin dan tajam.
“Jangan khawatir, kita akan menemukan siapa dan mengapa orang itu menghipnotismu. Kau tak perlu cemas, Youva. Aku disini.”
Harus kuakui kalau pria itu jago dalam urusan mengenyahkan kegelisahanku. Ia mengatakannya seakan hal itu adalah hal yang mutlak, bahwa seharusnya aku tak perlu mencemaskan apapun karena ia tentu tidak akan membiarkanku terluka. Mau tak mau aku merasa aman, terhadap apapun dan siapapun yang menantiku di ujung sana. Aku memberinya senyuman kecil dan mengucapkan terima kasih yang tulus padanya.
“Nah, aku suka melihatmu kembali tersenyum. Sekarang, ayo kita pergi. Chad pasti sudah menunggu di atas.”
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya. Tiba-tiba terpikir olehku satu hal yang membuatku penasaran. Sebenarnya hal itu tak terlalu penting, tapi setelah batinku bergumul selama beberapa menit, akhirnya aku bertanya pada bosku. “Err.. Sir? Apakah anda mencium aroma tertentu saat menghirup gas bius?”
Donghae berbalik sekejap, lalu mengangkat bahu dan menjawab sambil berjalan. “Aku? Hm.. coba lihat. Setiap kali aku menghirup gas bius, baunya tetap sama.”
“Benarkah? Aroma apa yang anda cium?”
“Bau amis darah.”
***

Assalamualaikum, Halo!
Iya, iya, maaf ya karena aku tega banget ga ngepost chapter 12 secepatnya. Silahkan timpukin aku pake duit, aku rela kok~ *eh* tapi tema chapter kali ini sedikit berat, jadi aku harap ga ada yang ketiduran ya hahaha *sendirinya udah ketiduran berapa kali* dan aku jamin chapter kedepannya makin seru *berasa iklan jajanan gope*
Kali ini juga ga ada password. jadi yang mau baca tinggal baca, yang ga mau baca cukup ngayalin abang donge ajah~ *eaaa*
oiyak, satu lagi, sori banget yang udah capek-capek kirimin imel ke mycoach.coolaz@gmail.com tapi ga sempat aku bales >< abisnya sekarang imel yang masuk itu penuh sama imel kerjaan T_T) kalo ada waktu banyak, pasti aku cariin n balesin satu persatu deh. nah, sekarang aku mau lanjut tidur, eh, lanjut kerja maksudnya, hohoho
happy reading ya :D
With Love,
Aoirin_Sora

Tidak ada komentar:

Posting Komentar