Senin, 28 Maret 2016

FANFIC : SCARLET [13]



TITLE         : SCARLET [13]
GENRE        : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING       : NC-21
CAST          : Lee Donghae
Author        : @Aoirin_Sora
Summary:
Sungguh menggelikan. Maksudku, bagaimana mungkin semuanya memengaruhiku seperti ini? Kata-kata cinta, puisi-puisi romantis, bahkan secangkir cokelat panas favoritku—tak ada satupun yang bisa menjelaskan perasaanku terhadapnya. Pria itu bagai gugusan bintang di langit kelam; terang benderang namun tak bisa dijangkau. Dan tentu saja senyumannya merubah warna langitku—menjadi terang berkilauan. Hingga aku tak bisa menatapnya, hingga kedua mataku buta karena cahayanya. Akankah aku bertahan? Ataukah harus berlari?
Aku tahu aku telah mencintai seseorang yang salah.
***


CHAPTER THIRTEEN: SITUATION


Langit sudah menghitam. Nyaris kelabu ditemani cahaya rembulan. Bagaikan jelaga yang menghiasi penglihatan dengan bintang-bintang yang kesepian. Tak terdengar suara apapun di dalam mobil, bahkan juga suara napas pria di sebelahku. Ia memutuskan untuk menutup bibirnya rapat-rapat tepat setelah Chad menyerahkan kunci Ferrari-nya.
Aku melongok ke arah jendela, mencoba mencari ide kemana pria ini akan membawaku namun sama sekali tak memperoleh jawaban apapun. Kami telah melintasi jalan Santa Monica dan terus mengarah ke barat, melewati jalanan dengan pantai Santa Monica yang berkilauan di ujung mata.
Pada akhirnya kami sama sekali tidak kembali ke PHOENIX, segera setelah Donghae mendengar jawabanku mengenai dupa dan lavender, pria itu langsung menyeretku untuk ikut bersamanya. Dalam hati aku berdoa agar bosku tak membawaku ke tempat yang lebih menyeramkan daripada laboratorium miliknya. Maksudku, dengan semua kegelapan, gas bius dan—yang lebih parah—kenyataan akan perusahaan ia jalani mau tak mau membuatku jantungku mencelos, bagaimana mungkin aku bisa terlibat dengan semua ini? Semuanya benar-benar membingungkan dan nyaris terdengar seperti omong kosong. Kemana perginya hari-hariku yang dulu? Seakan semuanya sudah berabad-abad tertinggal di belakangku.
Ketika akhirnya mobil melambat, aku nyaris dilanda kebosanan parah dan benar-benar ingin tidur. Ini hari yang panjang dan melelahkan. Tapi satu hal yang kuketahui, meskipun aku tak siap dengan sebuah kenyataan baru, aku harus tetap menghadapinya. Apapun itu.
***
“Kita hampir sampai.”
Itu adalah kalimat pertama Donghae setelah mengemudi selama satu jam penuh. Pria itu bahkan tidak memandangku, ia terus menatap ke depan—ke arah jalanan yang lenggang. Aku mengikuti pandangannya dan melihat siluet rumah di puncak bukit.
“Kita dimana—maksudku, kita akan kemana, Sir?” tanyaku dengan suara serak. Tampaknya bahkan suaraku pun ikut mengkhianatiku.
Donghae melirikku sekilas. “Ini di Pacific Palisades dan kita akan ke rumahku.”
Pacific Palisades? Aku tak pernah kemari sebelumnya, namun semua orang tahu kalau Pacific Palisades adalah kawasan dimana para milyader dan artis-artis Hollywood tinggal. Dan mendengar bahwa Lee Donghae memiliki salah satu dari rumah-rumah dengan harga fantastis itu tidak bisa membuatku tidakkaget. Tapi tampaknya aku sudah berada di titik paling menyedihkan hingga aku tak bisa memikirkan apapun saat ini. Kepalaku benar-benar sakit dan aku butuh istirahat. Namun mau tak mau aku terpana ketika melihat sebuah gerbang tinggi yang berada di ujung perjalanan kami.
Gerbang itu menjulang ke langit, berwarna putih dengan banyak lampu-lampu yang menyorot ke jalanan. Di kanan dan kiri kami hanya ada pepohonan yang tumbuh mengisi kekosongan, hingga suasana ini membuatku sedikit merasa tak nyaman. Ketika tiba di sekitar sepuluh meter dari gerbang itu, pintunya mendadak terbuka perlahan, seakan sudah mengetahui bahwa pemiliknya telah kembali.
Dan tebakanku benar.
“Selamat datang di kediamanku, Youva.”
Aku tak bisa memindahkan pandanganku dari rumah itu—tunggu, terlalu kelewatan jika aku mengatakan kalau itu adalah sebuah rumah. Bangunan itu lebih tepat disebut sebagai kastil. Bagaimanapun tak mungkin bangunan setinggi dan semegah itu bisa dikatagorikan sebagai ‘rumah’. Rasanya benar-benar ciut ketika membandingkannya dengan rumah ibuku—apalagi kamar mungilku.
Donghae menepi dan kedatangannya langsung disambut begitu banyak orang. Mereka berpakaian serba hitam, dengan communicator yang menggantung di telinga dan posisi membungkuk empat puluh lima derajat. Aku terlalu sibuk terpukau dengan keadaan ini, hingga tak sadar bahwa pria itu  tengah menatapku dalam diam.
“Apa yang kau pikirkan, Youva?” tanyanya nyaris berbisik, mengabaikan sekelompok orang yang telah menantinya di luar.
“Aku selalu bertanya-tanya orang seperti apa yang tinggal di tempat seperti ini. Dan, well—kupikir aku sudah mendapatkan jawabannya.” Jawabku sambil nyengir. Itu benar. Ini semua terlalu mengagumkan untuk dilihat oleh seseorang sepertiku. Sebab tak sekalipun aku pernah membayangkannya. Dalam mimpi pun tidak.
Donghae memberiku senyuman mempesonanya, lalu segera berkata lagi. “Ayo turun. Kau benar-benar butuh istirahat.” Ia membuka pintu mobil dan menyerahkan kunci pada seseorang terdekat.
“Drake,” ujarnya mengangguk. Pria yang dipanggil Drake itu membungkuk penuh hormat padanya.
“Saya sudah menyiapkan semuanya, Tuan.”
“Bagus.” Ucap Donghae dengan ekspresi puas. Dalam hati aku mulai cemas dengan sesuatu yang telah mereka siapkan. Setidaknya bisakah mereka menundanya sampai besok saja?
Donghae berpaling kepadaku. Wajahnya tampak bagaikan malaikat yang dipaksa berdiam di bumi; begitu sarat akan ketampanan namun juga tergambar kepedihan di sana. Ekspresinya tak bisa ditebak, tapi aku mengenali arti tatapannya—ia gelisah.
“Kau ingin masuk atau jalan-jalan dulu?”
Tawaran itu begitu menggoda. Bahkan dengan batinku yang sudah kelelahan, aku tetap tak bisa menolak ajakannya. Aku membuang rasa penat yang menderaku seharian dan memutuskan untuk mengikutinya. Aku ingin bersama pria itu—seterusnya begitu. Hingga aku merasa ngeri dengan pemikiranku sendiri. Apakah itu mustahil? Untuk terus bersamanya?
Donghae melepaskan jasnya dan memberikan pada salah satu pelayannya. Ia lalu mengedikkan kepalanya kepadaku, sebagai isyarat untuk berjalan bersamanya. Kami lalu berjalan dalam diam tetapi kedua mataku sibuk menatap kagum pada kediaman Donghae.
Bangunan itu berwarna putih seluruhnya, dengan ornament klasik yang sengaja diletakkan di depan area pintu masuk, aku sempat mengira bahwa rumah—maksudku, kastilnya—sengaja didesain seperti bangunan tua tapi aku salah. Seluruh bayanganku terpatahkan ketika kami mencapai selasar kanan kastil itu. Sama sekali tak ada dinding tembok dan sebagai gantinya, seluruh bagian selasar telah dipasangi kaca yang memungkinkan siapapun mengintip ke dalam sana. Dari bawah sini aku bisa melihat meja kayu panjang, dengan banyak kursi dan beberapa sofa nyaman dengan sebuah perapian di sudut. Rak-rak buku yang diatur begitu indah, karpet bulu berwarna merah yang kontras dengan lantai kayunya—semuanya menimbulkan sebuah kesan bagiku: nyaman. Benar, berbeda dari tampilan depannya yang tampak mengintimidasi, bagian dalam kastil seakan penuh dengan hal-hal yang bakal membuatmu betah di sana—begitu penuh kehangatan.
Selasar kanannya cukup luas dan seluruhnya ada empat lantai yang bisa kuhitung dari sudut selasar. Di lantai kedua aku melihat meja kerja dengan kursi berputar, buku-buku dan dokumen-dokumen penting yang disusun rapi, mengisi seluruh ruangan. Lantai ketiga tampaknya diisi dengan sebuah tempat tidur, namun aku tak bisa melihat apapun selebihnya karena jarakku tak memungkinkanku untuk mengintip lebih jauh.
“Kau menyukainya?”
Pertanyaan Donghae membuatku tersadar dari pengamatanku. Buru-buru aku mengalihkan pandangan padanya dan kali ini mataku terbelalak kaget. Aku terlalu memperhatikan kastilnya, hingga tak sadar apa yang kulewatkan.
Pemandangan akan laut yang bukan main indahnya terhampar di sebelah kananku—persis berhadapan dengan selasar itu. Ombaknya yang menggulung saling berlomba mencapai pantai masih bisa kulihat dengan jelas. Aku tidak menyadari bahwa suara ombak yang memecah laut itu terdengar begitu keras. Kukerjapkan kedua mataku, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa aku belum jatuh tertidur.
“Kuasumsikan kau menyukainya jika melihat dari ekspresimu.” Kata Donghae kemudian. Nadanya terdengar geli, namun ia masih tersenyum.
Aku menahan napasku. Tak ada yang lebih indah dari ini; rembulan yang berdiam di sudut langit, bintang-bintang yang saling bersahutan, laut biru yang dingin di malam hari, serta malaikat yang tengah tersenyum padaku—aku ingin menangis. Keindahan ini begitu memukau, tetapi juga mudah pecah. Dan aku takut aku akan kehilangannya.
Di titik ini aku menyadari bahwa aku tak akan bisa lari lagi. Pria ini sudah menjadi satu-satunya alasan bagiku untuk terus melewati hari-hariku hingga sekarang. Donghae terlihat tenang dan kemudian tatapannya berubah sendu. Aku ingin menyentuhnya, mengatakan padanya bahwa ia tak perlu cemas—walaupun akulah yang seharusnya patut dikhawatirkan.
Keheningan ini terlalu mencolok. Bersama kami terhanyut dalam pikiran masing-masing, ditemani ombak yang memanggil di kejauhan. Tetapi pria itu perlahan mendekat, tangannya menarik jemariku yang masih berdiam, tak bisa bergerak di bawah tatapannya yang menghentikan seluruh alam semestaku. Aku menanti penuh harap ketika Donghae mencium punggung tanganku—benar-benar telah tenggelam dalam pesonanya.
Tak ada kata-kata, tak ada janji-janji apapun. Semuanya terjadi begitu saja. Donghae menarikku dalam pelukannya dan dengan perlahan tangannya mencapai wajahku. Ia memandangiku begitu lama—dalam diamnya yang masih tak bisa dijelaskan. Tapi aku mengenal kedatangannya—tak secepat sebelumnya, namun tetap membuatku setengah putus asa mendambakan bibirnya.
Donghae menciumku dengan lembut. Sama sekali tanpa ketergesaan. Ia seakan mengikuti angin pantai yang bertiup; berhati-hati tetapi tulus. Kurasakan bibirnya yang hangat, jari-jarinya yang besar merengkuh wajahku—membuatnya merona merah muda. Aku terlalu gugup untuk melakukan apapun. Ketika kedua mataku menutup, aku nyaris bisa merasakan dinginnya air laut. Kubalas pelukan Donghae, berharap waktu bisa berhenti untuk beberapa saat—atau bahkan selamanya. Kusadari aku tak bisa mundur dari sebuah kenyataan yang mampir di kepalaku.
Aku menginginkannya. Tapi aku takut padanya.
Donghae menarik kepalanya, menatapku dengan senyum di ujung bibir.  Ia menyematkan rambutku ke belakang telinga dan berbisik parau. “Kau butuh tidur, Youva.”
Aku mengangguk—masih dipenuhi perasaan malu hingga tak bisa bersuara. Tetapi tepat setelahnya, sebuah sentakan di ujung jariku mengejutkanku dan dengan mendadak kepalaku terasa berat. Mataku menutup dengan sendirinya—bahkan diluar kendaliku. Dan perlahan kulihat bayangan Donghae yang menatapku menyesal.
Apa yang sedang terjadi?
***
Aku bermimpi buruk.
Benar-benar buruk hingga rasanya aku ingin muntah dalam mimpiku. Tak ada gambar-gambar menakutkan, tetapi lebih mengerikan. Hanya ada kegelapan dan bau dupa yang menyengat. Aku tak bisa mengingat atau mendengar apapun. Kepalaku terasa kosong tetapi batinku berteriak untuk waspada. Aku benci ini. Rasanya seakan seseorang mengintaimu dalam kegelapan; tahu bahwa kau tak bisa melihatnya sementara ia terus mengawasimu.
Aku nyaris menangis—atau mungkin sudah? —saat tiba-tiba kudengar suara berat kasar yang berteriak dalam kepalaku. “WHO THE HELL IS HE? TELL ME!”
Aku menjerit panik. Menjerit hingga rasanya kerongkonganku bakal pecah. Aku mencakar-cakar udara dengan putus asa, berharap sesuatu bisa membawaku keluar dari mimpi mengerikan itu. Aku ingin berlari, tetapi kedua kakiku terasa lumpuh. Yang bisa kulakukan hanya berteriak sekuat tenaga.Keluarkan aku dari sini, kumohon!
Dan mulanya sesuatu berkelip di ujung penglihatanku. Sebuah cahaya suram namun seakan memanggilku untuk mendekat, bagai menjadi perwujudan permohonanku. Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk mencapai cahaya itu. Sebab aku tahu suara-suara yang kubenci ada di belakang kepalaku, menggeram marah dan menyuruhku untuk menjawab sebuah pertanyaan. Aku menjerit lagi, menangis dengan keras untuk bisa menggerakkan kedua kakiku yang terasa seratus kali lebih berat. ‘Aku ingin keluar. Aku ingin keluar. Selamatkan aku!’
Cahaya suram itu kian melebar, lama kelamaan memipihkan kegelapan di belakangku, hingga kemudian kilatan sinar membanjiri seluruh penglihatanku..
“YOUVA!”
Suara itu.
Satu sentakan keras dan tubuhku terlonjak bangun. Airmata yang bercampur peluh bersimbah di wajahku terasa begitu lengket dan menjijikan. Aku terengah, mencoba menghirup napas dengan rakus, tak ingin paru-paruku kehilangan kesempatan untuk merasakan kehidupan.
“Youva, kau baik-baik saja?”
Suara Lee Donghae begitu merdu, terdengar cemas namun entah kenapa sebongkah perasaan muram menyelimuti sudut hatiku. Aku mengejap padanya, mencoba mengatakan sesuatu namun yang terdengar hanyalah erangan putus asa.
Ia meremas tanganku penuh simpati, sementara matanya tertuju padaku. “Tidurmu tidak begitu tenang, eh?”
Aku tak mau berusaha menjawab apapun saat ini, sebagai gantinya sebuah anggukan kuberikan padanya. Donghae mengusap punggung tanganku satu kali dan setelahnya menaikkan daguku untuk langsung memandangnya lurus.
“Aku minta maaf.” Ujarnya menyesal. Bisa kulihat ia benar-benar berniat mengatakannya. “Aku terpaksa harus menggunakan obat bius itu lagi. Keadaanmu sangat genting saat ini, Youva. Kuharap kau bisa mengerti.”
Perkataan Donghae mengulang lambat di kepalaku. Aku tak tahu apakah memang akses ke otakku menjadi begitu sulit ataukah memang ia mengatakan sesuatu yang tak kupahami?
“Kau akan mengetahuinya beberapa saat lagi.” Katanya seakan bisa membaca pikiranku. “Sekarang tidurlah. Kau membutuhkannya lebih dari  apapun.”
Aku menggeleng panik. Takut kalau aku bakal melihat mimpi itu lagi jika aku tertidur. Aku sendiri bahkan tak bisa menjelaskan mimpi apa yang kulihat tadi, tapi untuk memikirkannya saja sudah membuatku kepayahan bernapas. Kucengkeram lengan Donghae dan mendelik padanya. Ia tersenyum sedih lalu melepaskan kedua tanganku. Alih-alih mengabulkan permintaanku, Donghae malah mengatakan sesuatu yang mengerikan.
“Berikan aku obat penenangnya.”
Aku tahu perkataan itu bukan tertuju padaku melainkan untuk seseorang yang ternyata berdiri di sebelahku—di sebelah tempat tidurku—dan barulah kusadari kalau aku berada di sebuah kamar. Kamar itu putih—bahkan nyaris terang benderang—dengan petak-petak simetris di seluruh dindingnya. Mataku mengawasi dengan panik saat seseorang dengan masker hijau dan menggunakan jubah dokter menyerahkan sebuah jarum suntik pada Donghae. Cepat-cepat kutatap kedua mata Donghae—meminta pengampunan padanya.
Kumohon—” Tubuhku bergetar. Apa yang sedang terjadi benar-benar di luar penalaranku. Kenapa aku harus dibius lagi?
“Kali ini kau hanya akan tidur. Aku janji.” Bisik Donghae lembut, bersamaan dengan satu sengatan tajam di lenganku. Aku menatapnya penuh luka dan ia balas memandangiku sedih. “Aku berjanji, Youva.” lanjutnya berbisik, sebelum akhirnya kegelapan mengambil alih seluruh dunia..
*
“…Entahlah. Ini benar-benar aneh, Takeshi. Aku tak mengerti kenapa dia melakukannya. Tapi kalau asumsi kita selama ini salah, itu berarti kita harus menyusun ulang semua rencana…. Tidak, bukan begitu, maksudku akan lebih baik kalau kita mengetahui apa tujuannya lebih dulu… Ya, kupikir juga begitu. Kau benar… Apa menurutmu Youva harus melihatnya sendiri?…. Tentu, tentu, Aku tahu. Tapi aku ingin kita kembali pada tujuan semula. Baiklah, aku akan mengabarimu lagi nanti.”
Kelopak mataku bergetar, berusaha menguasai kesadaranku yang mulai terkumpul di sisa-sisa kelelahan yang dialami tubuhku. Ketika kedua mataku akhirnya membuka, aku menyaksikan cahaya terang yang membutakan penglihatanku sejenak. Lalu beberapa detik setelahnya, mataku bisa beradaptasi lebih baik.
Ini sebuah ruangan—atau lebih tepatnya sebuah kamar—dengan langit-langit berwarna coklat keemasan, dihiasi lampu gantung yang menawan. Ada sebuah kipas dengan baling-baling besar yang bergerak perlahan di sana, mengirimkan rasa sejuk yang membuatku nyaman. Aku menggeser pandanganku mengelilingi ruangan, mencari-cari sosok yang tentu saja memiliki jawaban dari semua yang terjadi padaku.
Pria itu ternyata sedang bersandar di ujung ruangan, jendela di belakang punggungnya terbuka, menunjukkan fajar yang mulai menapaki langit. Kedua mata Lee Donghae menatapku tajam, ia mengamatiku, menanti kata-kata pertama yang bakal kuucapkan padanya. Tetapi apapun yang telah kupikirkan mendadak sirna. Wajahnya terlalu indah di bawah sengatan mentari pagi, membuatku tak bisa melakukan apapun selain memandanginya.
“Sir,” bisikku parau. Donghae tak menanggapiku. Ia masih terus menatapku tanpa jemu. Aku bisa melihat kedua pelipisnya yang bertautan. Jelas sekali ia sedang berdebat dengan opininya sendiri.
Kudengar ia menarik napas panjang sebelum menjawabku. “Ya ampun, Youva. Aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa padamu.” Ia menggeleng kebingungan. Raut wajahnya yang begitu memesona memerangkapku lagi. Dengan kerutan di dahinya ia mulai mengoceh.
“Sebenarnya siapa kau? Mengapa kau telah mengalami begitu banyak hal sebelum bertemu denganku? Aku tak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, Youva. Kau.. kau terlalu penuh dengan misteri.” Donghae tak menungguku untuk memberi sanggahan, ia melimpahkan semua kegelisahannya padaku. “Aku tahu ada yang tidak beres. Kenapa Jason memilihmu? Kenapa dia ingin mengetahui siapa dirimu? Kenapa—kenapa dia harus peduli?”
Secara otomatis tubuhku merespon perkataannya. Aku merasakan debaran aneh di dalam dadaku, semacam antisipasi atas sebuah nama yang telah kukubur dalam-dalam.
Tentu saja Donghae menyadarinya, ia berjalan menuju tempatku berbaring dan matanya menyelami pikiranku.
“Siapa—bukan, tapi, apa yang dicari pria itu, Youva?” tanyanya gusar. Ia bernapas dengan berat sementara aku mengernyit bingung.
“Apa maksud Anda, Sir?” tanyaku setelah berdeham beberapa kali. Donghae menatapku frustasi. Ia duduk di tepi tempat tidur dan menggeleng tak sabar.
“Kau mengerti maksudku, Youva. Kenapa Jason menghipnotismu?”
Pertanyaan itu bagaikan tamparan di wajahku. Segera saja kesadaranku pulih dan aku merasakan pembuluh darah mengalir ke kepala, berdentam-dentam mengisi pendengaranku. “Bagaimana Anda tahu kalau Jason menghipnotisku, Sir? Apakah Anda juga menghipnotisku?”
Donghae menatapku datar, wajahnya tak bisa dibaca kali ini. Ia malah mengambil sebuah telepon interkom yang terpasang di sebelah tempat tidur. “Bawakan cokelat hangat.” Perintahnya pada seseorang di ujung sambungan. Aku nyaris melupakan bahwa aku sedang berada di salah satu kamar di kastil Donghae. Aku ingin mengamati ruangan ini, tetapi perkataan Donghae setelahnya langsung membuyarkan ide itu.
“Segera setelah keadaanmu pulih, aku akan menunjukkannya padamu.”
“Tapi—”
“Bersabarlah selama sepuluh menit, Youva. Minum cokelatnya dan tutup matamu.”
Pintu kamar membuka dan seorang gadis pelayan membawakan nampan berisi secangkir cokelat. Donghae langsung mendorongkan gelas itu padaku, memaksaku untuk menghabiskan seluruh isinya dalam sekali teguk. Aku melakukannya dengan setengah hati—sedikit merasa kesal karena pria ini masih belum bisa berhenti memerintahku seperti itu.
Selama sepuluh menit yang lama, bersabar merupakan hal tersulit dalam hidupku sementara pria ini mengintimidasiku dengan tatapannya yang sedingin es. Aku melarikan pandanganku dari tatapannya yang penuh tanya ke seluruh ruangan, mengamati setiap sudut ketika efek cokelat panas mulai menyebar ke sekujur tubuhku. Ada sensasi aneh yang bergelanyar, seakan panas cokelat itu menjalar merayapi urat-urat nadiku yang rapuh. Aku memejamkan mata dan entah kenapa kudapati pikiranku mulai tenang—sekaligus kembali jernih.
Satu kesimpulan mendadak mendarat di kepalaku; aku dalam masalah besar.
Itu benar. Karena apapun masalah yang telah kuhadapi sebelumnya, tak pernah satu kalipun bosku mengamatiku tanpa jeda. Seolah aku memiliki tiga pasang mata tambahan atau sebuah tanduk naga baru saja muncul di dahiku hingga ia harus melotot terus-terusan ke arahku. Aku mencoba untuk tak ambil pusing, tapi rasanya berat sekali membiarkannya membenamkan tatapannya padaku. Dan aku tak tahan lagi.
“Err.. Sir? Bisakah anda berhenti menatapku seperti itu? Kupikir wajahku masih manusia.”
Yang terjadi setelahnya adalah hal yang tak pernah kuduga—Lee Donghae tergelak mendengar jawabanku. Ia tertawa lama sekali, memegangi perutnya sampai terbungkuk-bungkuk. Aku tak menampik kalau ia mulai butuh istirahat. Atau sebuah gas tidur. Well, ide bagus.
“Youva,” ucapnya di sela-sela tawa. Ia menarik napas lalu tertawa kembali. Setelah akhirnya bosku puas menertawaiku, ia menatapku dengan senyum lebar. “Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau mungkin saja berubah menjadi alien?”
“Entahlah. Melihat Anda melotot seperti tadi membuatku membayangkan hal-hal semacam itu.” jawabku mengangkat bahu.
“Tetap saja,” ujar Donghae masih merasa geli. “Menurutmu aku menatapmu karena kau mirip alien? Serius, Youva, kalau kau benar-benar terlihat seperti itu, aku pasti akan membawamu ke laboratoriumku, bukannya ke kamar pribadi.”
Aku tak mempedulikan jawabannya, namun sebuah kenyataan membuatku bungkam. “Ini kamar pribadi..Anda, Sir?”
Donghae mengerjap beberapa kali, sedikit tak menduga atas pertanyaanku. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan mengangkat bahu. “Well, teknisnya bukan kamarku. Ini kamar stafku, Karl, tapi sudah beberapa tahun ia tak pernah kembali. Jadi, kurasa tak masalah meminjamnya sebentar.”
Aku mengangguk kecil, kembali mengamati ruangan yang luasnya seperti lapangan bola. Tapi tampaknya kamar ini nyaris kosong. Tak ada apapun selain sebuah tempat tidur double-king size, sebuah lemari kayu persis di sebelah satu set home teather terpasang di dinding, serta sebuah gitar listrik yang diletakkan di sudut ruangan. Aku tak melihat poster apapun, yang menunjukkan musik apa yang digemari sang pemilik kamar, ataupun foto-foto dirinya di dalam kamar ini. Yang bisa kulakukan hanyalah membayangkan sebuah wajah muda berusia awal dua puluhan yang memiliki hobi bermusik. Bahkan tak ada koleksi buku atau film apapun. Kamar ini praktis benar-benar ‘tak berpenghuni’.
“Kuharap kau tidak memikirkan sesuatu yang membuatku canggung.” Ujar Donghae penuh arti.
Aku mengernyit padanya. “Memikirkan sesuatu yang membuat Anda canggung? Is it possible?
Donghae memberiku senyum miringnya, berusaha melemahkan kembali kesadaranku dengan pesonanya yang memabukkan. “Well, misalnya kau ingin aku memelukmu? Sekedar pemberitahuan, aku tidak keberatan.” Ia mengangkat bahunya ringan, seakan menunjukkan kebenaran akan pernyataannya.
Wajahku memanas dengan cepat. Bahkan dengan cokelat panas dalam genggamanku tampaknya tak menghentikan debaran jantungku untuk tetap tenang.
Aku tahu ia hanya menggodaku. Tapi aku benar-benar tidak tahan untuk menatap wajahnya sekarang. Dan bosku yang baik hati malah memperparah keadaan, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur lalu menatapku tanpa jeda.
“Kuharap aku bisa memelukmu.” Katanya sambil mengerling. Aku mendengar jantungku mulai marathon keliling pantai hingga aku takut Donghae bisa mendengarnya. Dadaku menggembung senang mendengar perkataannya barusan. Seorang Lee Donghae ingin memelukku? Out of record.
Kuputuskan untuk membisu dan sebagai gantinya aku memandanginya tanpa berkedip. Aku memperhatikan wajahnya yang terlihat kusut, guratan senyumnya tak benar-benar penuh energi. Kedua pelupuk mata Donghae semakin gelap dan aku yakin ia membutuhkan tidur lebih daripada siapapun di dunia ini. Aku bertanya-tanya apa saja yang dipikirkannya hingga ia terlihat begitu nelangsa? Tapi tentu saja penyebab terbesarnya adalah aku.
“Kau sudah baikan?” suara Donghae membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk. Kalau ada yang menggangguku daritadi adalah siluet sinar matahari di ujung ruangan—diapit jendela kaca yang membuat warnanya berkilauan. Aku hampir-hampir bisa mendengar suara debur ombak di kejauhan, dan suasana itu membuat hatiku pilu dengan alasan yang tak bisa kujelaskan. Tapi aku tahu bosku tak bisa menunggu lebih lama. Aku tahu ia sengaja membiarkanku untuk memulihkan diri namun ketergesaan di wajahnya tetap saja menggangguku. Aku tak bisa membiarkannya terlihat terus menderita seperti itu. Dan aku juga tak bisa menghindar lebih lama lagi.
“Aku siap, Sir.” Jawabku penuh percaya diri.
***
LEE DONGHAE membawaku menelusuri kastilnya yang megah. Lantai pualamnya memantulkan bunyi langkah kaki kami yang mengisi keheningan. Tak ada satupun pelayan yang terlihat saat aku melewati koridor kastilnya, membuat perjalanan ini diisi dengan benak penuh tanya. Sejujurnya aku tak bisa menahan rasa penasaranku. Pria di depanku sama sekali tak menjelaskan apapun padaku selain memberi perintah untuk mengikutinya. Tapi belum lagi melangkah lebih jauh, kedua mataku sudah kelewat sibuk untuk memperhatikan setiap sudut kediaman Lee Donghae.
Lantainya pualam indah—seperti yang sudah kusebutkan tadi—dengan motif-motif lingkaran kecil yang membentuk bunga di tengah ruangan. Dindingnya berwarna Saddle brown, terlihat kontras dengan ukiran pada lantai. Di satu sisi dinding aku melihat sulur-sulur tanaman yang merambat dari bunga hiasan di sebuah pilar berwarna cokelat tua. Sementara di seberang dinding itu, aku melihat dinding kaca yang kuperkirakan berukuran lima meter dengan tetesan air yang mengalir dari atasnya. Aku menatap takjub pada apa yang kulihat. Bagaimana mungkin ruangan ini didesain seperti—
“Hutan.” Donghae menjawab dugaanku dengan timing yang nyaris sempurna. “Sebenarnya desainnya hanya menunjukkan kalau kita ada di selasar kiri dan kita akan mengarah ke taman pribadiku.”
Aku memutar bola mataku. “Anda mendekorasinya seperti ini hanya untuk memberitahu pengunjung kalau mereka akan segera mengunjungi taman anda?” pertanyaanku sebenarnya sedikit hiperbolis, tetapi bosku tetap menanggapinya.
“Tunggu sampai kau melihat ruangan penuh Swarovsky.” Ujarnya dengan senyum miring. Aku harus mengingatkan diriku untuk mengunci mulutku sendiri sebelum kelepasan menyindirnya lebih hebat lagi. Bagaimanapun perjalanan kami sepertinya bakal panjang.
Kami melewati taman pribadi Donghae—yang mungkin saja luasnya seperti lapangan golf kerajaan—dan tak sempat melihat apapun karena bosku buru-buru menarikku masuk dalam sebuah bangunan terpisah tepat di sebelah pintu taman. Kali ini tak ada kemewahan apapun selain lantainya yang berkilat, ukiran pada pintu yang terlihat sempurna, dan lampu hias yang di gantung di tengah ruangan besar—aku ingat Donghae menyebutnya ruang rekreasi staf. Ada bermacam-macam peralatan olahraga dan alat musik di sana, namun tampaknya tak ada seorangpun yang berniat menyentuhnya. Ada juga deretan meja penuh game komputer, beberapa rak buku menjulang hingga ke atap, bahkan dapur yang dilengkapi dengan kulkas besar.
Donghae membuka pintu di ujung ruangan namun pintu itu mengarah ke dua jalan yang berbeda. Ia berbelok ke kanan dan ketika aku menutup pintu di belakangku, ruangan menjadi gelap gulita.
“Terus saja, Youva.” Ujar Donghae di tengah kegelapan. Mudah baginya untuk berkata begitu karena ini rumahnya. Sementara aku harus menghabiskan sepuluh menit dalam kegelapan sambil meraba-raba dinding di sisi tubuhku.
Bunyi deritan pintu di depanku menjadi tanda bahwa kami akan meninggalkan koridor sialan ini dan tanpa bisa kukendalikan, euforiaku melonjak hebat. Baru kusadari kalau aku membenci kegelapan. Aku melangkah dua kali lebih cepat—sama sekali tak menghiraukan kemungkinan untuk terjatuh—hingga akhirnya aku mencapai pintu.
Cahaya membanjiri penglihatanku, kilaunya nyaris membuatku menutup mata ketika kusadari ada yang aneh dengan ruangan ini yang akhirnya membuatku bergidik ngeri.
Ini ruangan yang sama ketika Lee Donghae membiusku.
Tubuhku gemetar hebat dan aku terhuyung ke belakang, berusaha menahan dorongan untuk muntah saat ini juga. Donghae kemudian menyadari ketakutanku dan ia langsung menarik jemariku lembut.
“Jangan takut.” Katanya menenangkanku. Well, bagiku kedengarannya ia malah harus lebih kuwaspadai. “Aku hanya akan menunjukkannya padamu. Kau sudah melewati masa-masa terburukmu, Youva.”
Aku menatapnya tak percaya. Tubuhku masih belum berhenti bergetar dan itu bukan pertanda bagus. “Apa—? Apa yang akan Anda tunjukkan?” Suaraku pecah, terdengar parau dan menyedihkan. Aku tak bergerak dari posisiku sementara jari-jari Donghae masih mengait di lenganku.
“Rekamanmu, Youva. Kita hanya akan melihat rekamanmu beberapa jam yang lalu.”
Donghae terlihat tenang, ia menunggu hingga ketakutanku perlahan menghilang meski aku sama sekali tak berhenti mengernyit padanya. Aku melirik takut ke arah ruangan putih itu, mencari-cari dimana para dokter berjubah hijau atau deretan alat suntik menakutkan. Tapi tak ada apapun. Hanya ada dua sofa kecil dengan meja bundar di antaranya dan sebuah couch—semacam dipan—empuk yang terlihat dingin.
Kakiku bergerak maju satu langkah, mengawasi ruangan dengan curiga, menunggu satu gerakan kecil yang mungkin saja terjadi dengan tiba-tiba. Tapi tak ada apapun. Donghae masih menungguku sembari menaikkan alisnya. Ia mendesah panjang dan mengedikkan kepalanya ke arah sofa. Setelah menyadari keenggananku untuk mendekat, akhirnya ia menyerah dan duduk lebih dulu. Donghae mengambil telepon interkom di atas meja lalu berkata sesuatu pada seseorang di ujung sana.
“Putarkan rekamannya, Jamie.”
Dan dalam sedetik dinding kamar terbelah menjadi dua dan menampilkan sebuah monitor besar di hadapan kami. Aku mungkin bakal mengira ruangan ini semacam bioskop pribadi—mengingat besarnya layar itu—kalau saja aku tak terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan bosku.
“Ini rekamanmu ketika kau di hipnotis, Youva.”
Aku melotot padanya, masih berdiri di tempatku dan memandang layar itu dengan tak percaya. Donghae benar. Itu benar-benar rekamanku sebab aku melihat diriku sendiri yang berbaring di atas dipan di ruangan ini. Ada tiga orang berjubah hijau yang mengenakan masker yang meneliti detak jantungku, irama napasku bahkan berusaha menganalisis kesadaranku. Tak ada kabel apapun, tetapi perlahan-lahan ruangan mulai meredup.
“Untuk yang terakhir kali, duduklah, Youva.” Ujar Donghae padaku. Ia tidak menunjukkan ekspresi apapun, tapi tetap saja suaranya terdengar jengkel. “Aku bersumpah aku tidak akan melakukan sesuatu padamu!”
Aku meliriknya dalam diam dan kuputuskan untuk mengikuti kemauan Donghae. Lagipula aku tidak tahan terus-terusan berdiri. Aku yakin rekaman ini bakal panjang.
“Pilihan yang bagus.” Geram Donghae ketika aku merebahkan diri di sofa sebelahnya. Aku tak menatapnya karena tahu ia juga tidak menatapku. Sepertinya aku tak layak untuk mendapat perhatiannya kali ini. “Perhatikan baik-baik, Youva. Dan berjanjilah kalau kau merasakan sesuatu, kau akan langsung mengatakannya padaku. Paham?”
Yes, Sir.” Jawabku separuh mengejek. Aku benci intonasi suaranya yang memerintah. Aku benci jika ia mulai bersikap seperti itu. Tunggu.. kenapa aku membencinya? Tapi meski berusaha untuk kusangkal, kebencian ini terasa benar. Seakan-akan aku memang membencinya dari dulu. Aku menatap Donghae dalam gerakan mendadak. Kedua pelipisku berkerut dan perasaan benci menyeruak di dadaku. Aku tidak mungkin membenci Lee Donghae. Tapi kenapa sepertinya aku harus?
Layar di depanku berubah gelap untuk beberapa menit, hingga aku menyangsikan apakah rekaman itu masih diputar atau tidak. Namun setelahnya kulihat setitik cahaya di letakkan tepat di depan wajahku yang tengah tertidur di dalam rekaman itu dan aku bisa menyaksikan beberapa hal.
Seseorang duduk di sebelah tempat tidurku dan tangannya memegang papan pencatat. Aku cukup yakin ia pria separuh baya saat mendengar ia bertanya pada tubuhku yang tak sadarkan diri.
“Siapa namamu?” Pria tua itu memulai dengan pertanyaan remeh. Ia menanti reaksiku dan mencatat beberapa kali saat aku menjawab lemah.
“Youva Cardia.”
“Siapa nama Ibumu?”
“Noraiva Diana.”
Pria itu terus lanjut bertanya hal-hal kecil seputar kehidupan pribadiku dan aku menjawabnya tanpa keraguan. Tetapi setelah kira-kira hampir tiga puluh pertanyaan random yang ia utarakan, pria itu mendadak mengubah alur pembicaraannya.
“Kau bilang kau punya pacar? Siapa namanya?”
“Ya, aku punya. Namanya Johan Stavilovsky.”
“Apakah kau mengenal Johan Stavilovsky secara pribadi?”
Ada jeda dua detik sebelum aku menjawab, “ya.”
“Apakah kau pernah menginap di rumahnya?”
Kali ini jeda sedikit lebih panjang. “Tidak.” Jawab tubuhku pelan. Aku melihat pria itu mencatat sesuatu di sebelah tubuhku yang tertidur.
“Apakah kau pernah bertemu orang tua Johan Stavilovsky?”
Aku tahu bahkan diriku yang tengah dihipnotis merasa kebingungan dengan pertanyaan itu. Jawaban“tidak,” yang kuucapkan dalam rekaman itu sangat tidak yakin. Pria tua itu kemudian menambahkan sesuatu pada catatannya dan bertanya lebih frontal.
“Apakah kau pernah bertemu dengan Robert Andersen?”
Aku menatap ngeri ke arah rekaman itu. Pertanyaan itu sejatinya ditanyakan pada diriku yang sedang dihipnotis, tapi bahkan hingga saat ini aku tahu sesuatu tentang Robert Andersen terasa tak asing dalam kepalaku terlepas dari informasi yang kuterima dari Lee Donghae. Meskipun tak masuk akal jika aku pernah bertemu dengan Robert Andersen, faktanya rekaman itu menunjukkan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya.
“Aku—Robert Andersen—aku—ya, pernah.” Suku kata terakhir diucapkan tubuhku dengan penuh ketakutan.
“Apa yang terjadi?”
Jeda panjang mendominasi selama hampir dua menit penuh. Aku melihat tubuhku memberikan reaksi cukup nyata; mengerang, gelisah serta menggerak-gerakan kedua kaki dalam rekaman itu. Rasanya seakan dipaksa menceritakan sesuatu yang tidak kusukai tetapi itulah yang terjadi sekarang.
“Gelap. Tak bisa melihat apapun. Aku tak tahu ada di mana, semuanya gelap.”
“Ceritakan lebih lanjut.”
Aku bergidik ketika mendengar penuturan itu dari diriku sendiri. “Tak ada siapapun. Hanya lelaki itu dan…aku tak ingat.”
“Kau ingat, Youva. Ceritakan padaku.”
Tubuhku mengerang lalu merengek seperti anak bayi. Tetapi akhirnya tetap menjawab lemah. “Robert Andersen—dia..bersama seseorang—bersama Johan. Sesuatu menutup mataku dan semuanya terjadi begitu cepat. Aku tak tahu siapa namun seseorang memukulku berulang kali dengan benda berat. Rasanya menyakitkan. Aku tak suka. Hentikan. Jangan pukul aku. JANGAN PUKUL AKU! KUMOHON HENTIKAN!”
Dan ketika itu kilasan-kilasan mengerikan berkelebat di kepalaku. Aku terduduk dengan tubuh gemetaran hingga aku harus mencengkeram ujung sofa yang kududuki. Aku juga tahu Donghae sedang memperhatikan perubahan reaksiku, tapi aku masih belum ingin mengatakan apapun padanya.
“Apa yang dia cari?” Pria tua itu sangat hebat. Ia tidak menunjukkan ketertarikan apapun pada reaksiku yang berubah drastis. Ia hanya terus mencatat beberapa hal di papan lalu memperhatikan lagi ekspresi wajahku ketika menjawab.
“Tidak tahu. Aku tidak tahu. Lelaki itu tetap bertanya tentang seseorang.. tapi aku tak tahu siapa.”
“Siapa yang Robert cari?”
“Tidak tahu!” jawabku keras. “Jangan sakiti aku. Aku tidak tahu apapun, kumohon!”
“Apa yang Johan Stavilovsky lakukan di sana? Apa yang dia lakukan padamu?”
Untuk beberapa menit yang lama, tubuhku terdiam. Aku bahkan menduga kalau aku ketiduran atau apa, karena sama sekali tak ada respon. Ketika pria tua itu mengulang pertanyaan hingga dua kali, barulah aku menyadari kalau aku sedang menangis.
Suara tangisan yang begitu pilu keluar dari mulutku, yang bahkan membuat pria peneliti itu terkejut. Aku melihat pria itu bangkit lalu menghilang ke balik pintu dan satu menit kemudian ia kembali bersama Donghae. Bosku terlihat sangat cemas dan berdebat dengan pria peneliti tentang keinginannya menyentuhku.
Setelah bisik-bisik penuh ketegangan, akhirnya Donghae setuju untuk terus memperhatikan tanpa membuat kontak langsung denganku karena menurut pria peneliti itu akan sangat fatal bagi kelangsungan sesi hipnotis.
“Johan yang membawaku. Dia menghipnotisku.”
Jantungku seakan berubah menjadi serpihan debu saat mendengar rekaman itu. Aku menatap hampa ke arah layar raksasa di depanku tanpa berkedip. Terlalu kaget hingga tak sadar kalau rekaman itu telah dihentikan. Dan Lee Donghae telah terang-terangan memperhatikanku.
“Itu, Youva,” ujarnya penuh penekanan, “yang bisa kujadikan acuan dalam kasusmu. Pertanyaannya adalah kenapa dia menghipnotismu?”
Aku menoleh pada Donghae dengan amat lambat, kedua mataku bahkan masih tak fokus menatapnya. “Aku tidak tahu, Sir.” Jawabku parau.
“Kau tahu. Kau hanya tidak berani. Alam bawah sadarmu yang menutup semua ingatan itu hingga kami tak bisa mengakses setiap detail.”
Dalam temaramnya ruangan ini aku menatap Donghae lebih lama, berusaha menyampaikan ketakutanku yang merembes hingga ke seluruh sel-sel mikroskopis terkecil dalam diriku. Tetapi tampaknya bosku tidak punya cukup kesabaran untuk menunggu lebih lama.
“Jelas sekali Robert Andersen dan putranya telah menyadari sesuatu tentang dirimu, Youva. Tapi bahkan setelah memberimu dosis besar anestesi tidak membantu sama sekali. Kau masih tidak mau menjawab satu pertanyaan pun mengenai insiden itu.” Donghae menatapku penuh tanya. Ia terdengar nyaris frustasi dengan semua keganjilan ini. “Kau muntah di sesi akhir dan tak mengatakan apapun setelahnya. Apa yang terjadi, Miss Cardia?” desaknya padaku.
“Aku tidak tahu, Sir.” Jawabku sambil menggeleng. Semuanya terlalu berat bagiku dan Donghae benar,sesuatu menahanku untuk mengingat kembali ingatan itu. Sesuatu yang kutakuti..
Donghae menghela napasnya dengan berat. Ia memijat pelipisnya perlahan sambil memejamkan kedua matanya. Aku tahu ia sedang terburu-buru, dengan semua kekesalan yang berusaha ia tahan mati-matian, Donghae tak mungkin bisa lebih lebih bersabar lagi. Tapi apa yang bisa kulakukan?
“Pikirkanlah, Youva. Informasi itu benar-benar sangat penting. Keluarga Andersen sudah mengincarmu sejak lama dan aku takut semua ini hanya mempertegas dugaan-dugaanku. Paling tidak bisa memberikan aku petunjuknya, agar aku bisa melihat apa dan siapa yang dicari Andersen’s. Kuharap kau benar-benar berusaha untuk mengingatnya, karena dengan begitu semuanya akan lebih mudah..”
***
Aku menghabiskan sisa hari duduk di ujung taman Donghae yang mengarah ke pantai. Semilir angin yang berputar-putar di sekelilingku membuatku nyaman. Perkataan terakhir Donghae terus berulang di kepalaku, membuatku gelisah dan nyaris sama sekali tak menikmati deburan ombak di kejauhan. Seandainya bukan karena mantan pacarku yang gila dan ayahnya yang ingin membunuhku, aku yakin keadaan ini pasti akan menjadi surga bagiku.
“Kau tidak ingin makan malam?”
Kedatangan Chad selalu seperti bayangan; ia seakan meloncat dari ketiadaan dan dengan tiba-tiba bergabung denganku. Maksudku, tepat di sebelahku.
“Semua nafsu makanku minggat ke bulan.” Jawabku separuh hati. Aku mendorong kursi di sebelahku dengan ujung kaki tetapi Chad menolak dengan sopan. Aku tahu ia lebih suka berdiri.
“Wow, hebat. Kuharap aku bisa menjadi nafsu makanmu. Aku benar-benar butuh liburan ke bulan.”
Aku mendengus padanya dan tersenyum kecil. Benar, saat ini yang kuperlukan adalah seorang teman dan secangkir cokelat panas. “Omong-omong, kau bawa minuman?”
“Kalau alkohol termasuk minuman bagimu, maka jawabannya adalah ya.” Chad mengangkat bahu lalu mengedip jail kepadaku. “Kalau kau mau aku bisa membaginya.”
“Tidak, trims. Sebaiknya aku minum air laut saja.” Aku merenggangkan tubuhku dan menguap lebar-lebar. “Ini aneh. Kenapa aku sangat mengantuk ketika melihatmu?”
Chad tertawa mendengar pertanyaanku. Ia memasang tampang pura-pura terluka saat berkata dengan nada berlebihan. “Entahlah. Kurasa aku cicit buyut seorang peri tidur. Bahkan Bos juga sudah pergi tidur setelah melihatku.”
Aku menggantung senyumanku di udara dan menatapnya selama dua detik. “Bos? Lee Donghae? Dia pergi tidur katamu?”
“Yep.” Jawabnya mengiyakan. “Aku baru saja mengantarnya ke kamar setelah selesai dari ruang penyembuhan. Kupikir ia benar-benar butuh tidur.”
Pria itu tahu aku sama sekali tak mengerti dengan penjelasannya tapi ia bahkan tak mau repot-repot membuka mulut sampai aku bertanya. “Apa maksudmu? Apa itu ruang penyembuhan?”
Sepasang mata hijau Chad menembus diriku saat ia mendekatkan wajahnya dan berbisik nakal. “Itu yang harus kau tanyakan sendiri padanya, Youva.”
Selama setengah menit penuh, aku tak bereaksi apapun. Maksudku, aku benar-benar terhanyut oleh bisikannya barusan, yang membuatku seakan tak bisa berpikir. Aku menatap Chad terpana lalu tertawa kecil. “Hentikan leluconmu, Chad. Aku nyaris tertipu.”
Chad ikut tertawa tetapi kedua matanya sama sekali menunjukkan kalau ia serius dengan perkataannya. “Kalau kau ingin memastikannya, bos ada di ruangan nomor dua di selasar kanan tingkat teratas. Kau bisa melihatnya sendiri.” Pria berpostur tegap itu memberiku satu kedipan singkat sebelum akhirnya menghilang dengan cepat bahkan tanpa menungguku memberikan jawaban.
Aku menatap bayangan Chad yang menghilang di balik belokan taman dengan kening berkerut. Bukan informasi baru bagiku kalau ada sesuatu yang aneh tentang bosku sendiri. Tapi saat menemukan ternyata Chad juga ikut mempertegas dugaanku membuatku tak bisa berhenti penasaran. Aku tahu hari ini sangat melelahkan dan meskipun aku baru saja dilanda kepanikan paska sesi hipnotis, batinku yang kehausan mulai menerka kemungkinan-kemungkinan penyakit yang dialami Lee Donghae. Baiklah, aku tak mengetahui dengan pasti apakah itu memang penyakit atau bukan, tapi setelah mendengar Chad menyebut ruang penyembuhan, tentu saja Donghae harus sakit untuk bisa disembuhkan. Dan analoginya cocok.
Selama lima belas menit berikutnya aku menghabiskan waktu sambil bergelut dengan batinku sendiri. Haruskah aku menemuinya? Tapi Chad bilang Donghae sedang tidur, aku tak ingin mengganggunya. Atau aku harus menunggu hingga besok? Tidak—aku tak bisa menunggu selama itu, tentu saja.
Maka setelah mengelilingi taman itu hingga nyaris mencapai angka dua belas kali, aku memutuskan untuk naik ke lantai teratas. Bukan hal yang mudah sebenarnya, karena setelah melewati hall roomdengan tangga super luas—yang mungkin juga bisa berfungsi sebagai ball room—aku resmi tersesat. Tangganya mengarah ke kanan dan kiri, yang membuatku mengambil arah kanan lalu malah terkejut saat aku harus menemui beberapa pintu. Catatan; tanpa tangga apapun.
Aku berjalan hilir-mudik di depan deretan pintu itu sampai akhirnya seorang pelayan mendatangiku. Ia memakai nametag bertuliskan Devorah.
“Boleh saya tahu kemana tujuan Anda, Miss?” tanya Devorah ramah. Ia memakai sanggul besar di kepalanya dan baju kemeja dengan coat berwarna hitam. Ia kelihatan seperti penjaga daripada pelayan.
“Aku ingin melihat-lihat selasar kanan atas. Bisakah kau membawaku?”
Devorah memberiku senyuman sopan lalu menjelaskan dengan nada datar. “Maafkan saya, Miss. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan masuk ke selasar kanan atas. Anda mungkin bisa mencoba melihat ruangan lain di rumah ini. Aku yakin Anda akan tertarik melihat koleksi permata Mr. Lee.”
Ia benar. Aku memang tertarik saat ia menyebutkan permata. Donghae bilang dia punya ruangan penuh Swarovsky dan aku tak bisa membayangkan betapa menakjubkannya itu.
“Tidak bisakah kau memberiku pengecualian? Aku ingin bertemu dengan Donghae dan aku tahu dia ada di dalam sana.”
Lagi-lagi wanita itu tersenyum dan posisi tubuhnya sama sekali tak berubah. Ia terlihat seperti baru selesai menjalani latihan militer wanita. “Maaf Miss, Mr. Lee menolak semua kunjungan. Anda bisa menunggu di ruangan lain—” mendadak Devorah meraih communicator di telinganya dengan sikap waspada. Ia pasti menyetel alat itu dengan volume berlebihan karena saat ia berdiri di depanku aku masih bisa mendengar suara seorang pria yang berseru panik.
“Unit Three Force updown yang berada di kawasan aman II-C harap bersiap karena tim medis akan tiba dalam dua menit. Bos mengalami serangan.”
Aku memandang Devorah yang juga balas memandangiku. Ia tahu aku bisa mendengar perintah di telinganya dan ia langsung mengecilkan communicatornya. “Miss, silahkan ikut saya ke kamar Anda. Kami akan melayani semua kebutuhan An—”
“Biarkan aku masuk.” Kataku separuh garang. Bagaimana pun ini benar-benar tidak masuk akal. Serangan—? Ya Tuhan, memikirkannya membuatku ketakutan setengah mati. Apakah Donghae mengalami semacam serangan jantung? Stroke? Lumpuh otak? Aku tak mungkin bisa berdiri di sini sementara sesuatu yang gawat sedang terjadi.
“Maaf Miss, kau tidak boleh melawan. Ini perintah.”
Kukatupkan gigiku dan menggertak padanya dengan mata menyipit. Aku tahu tindakan itu tak berguna sama sekali sebab Devorah tak meninggalkan posisi berdirinya. Ia malah terlihat tenang. “Kuperingatkan kau untuk minggir. Aku harus menemui Donghae sekarang—”
“Ya, Dev, kau bisa rileks sedikit.” Suara Chad yang begitu mendadak mengejutkan kami berdua. Ia baru saja menaiki anak tangga terakhir dan berdiri dengan kedua tangan dalam saku. “Apa yang kau lakukan di sini, Youva? Pintu masuknya ada di bawah tangga.”
Devorah melirik Chad satu kali lalu menatapku ganjil. “Status keadaan berubah oranye, Chad. Saat ini tim medis—”
“Aku tahu, Dev,” seru Chad sambil mengibaskan tangan ke udara. “Aku yang mengirim tim medis. Lagi pula ini bukan pertama kali terjadi, jadi santai saja. Youva tamu VVIP.”
Ketika Chad tiba di belakangku, ia mengedip nakal dan berbisik rendah. “Ternyata tanpa ibu peri kau mudah sekali tersesat, ya?”
“Tapi dia ingin bertemu Mr. Lee—” Devorah masih berusaha berkeras namun lagi-lagi Chad menepisnya.
“Percayalah, kau tidak akan mau Donghae menurunkan jabatanmu lagi, Dev. Bukankah sudah kubilang kalau Youva tamu VVIP? Bahkan kalau dia minta kau untuk berjalan jongkok hingga ke Mars, kau tetap harus mematuhinya.”
Wajah Devorah merah padam karena malu dan ia menunduk menatap ujung sepatunya yang berkilat. Mendadak rasa iba menyerbuku dan aku berusaha menyelamatkan harga dirinya. “Err.. Miss Devorah? Maafkan aku tapi aku hanya ingin bertemu Lee Donghae.”
Devorah menatapku ragu dan berdeham sebelum menjawab pelan. “Aku tahu, Miss. Aku minta maaf telah bersikap kasar padamu.”
Perubahan atmosfir yang signifikan membuatku merasa bersalah pada wanita itu. Devorah cantik dan ia punya pendirian keras. Nyaris sepertiku. Kuulangi, Nyaris. “Tenang saja, aku tak akan memintamu berjalan jongkok kemanapun.” Bisikku berkomplot dan ia tersenyum berterima kasih.
Saat wanita itu pergi melewati aku dan Chad, ia memberi tatapan permusuhan pada pria di belakangku. Chad mencondongkan kepalanya di telingaku dan berbisik, “dia mencampakkanku di kencan pertama.”
Aku memutar bola mataku dan meninju pelan bahunya. “Cukup main-mainnya, Chad. Sekarang bawa aku pada Donghae. Aku dengar bos mendapat serangan? Apakah itu berbahaya? Sakit apa yang dideritanya?”
“Whoa! Tenanglah sedikit, Youva. Jangan khawatir, saat ini bos sedang ditangani tim medis pribadi. Tidak ada yang perlu dicemaskan, ini bukan masalah besar. Kau bisa memastikannya sendiri kalau kau mau.”
“Bukan masalah besar, katamu? Jadi, bos sering mendapat serangan?”
Chad mengangkat kedua tangannya di udara tanda menyerah. Ia menaikkan alisnya skeptis dan memutar bola matanya sebelum menjawab, “Aku tahu kau gadis pintar, tapi aku tak akan menjawab apapun. Kau bisa tanya langsung padanya.”
 Aku cemberut mendengar jawabannya tetapi tetap mengikutinya saat ia membawaku turun ke lantai dasar dan masuk ke koridor dengan peringatan di depan pintu. Ternyata itu sebuah lift yang akan membawa kami naik. Aku mendengus tak percaya. Bisakah seseorang mengembalikanku ke kamarku yang mungil? Aku tak tahu apakah sebuah kastil dengan lift di dalamnya atau kamar sempit di tengah kota yang lebih kuinginkan saat ini.
***
Saat Chad membawaku naik menuju lantai teratas, ia memperingatiku tentang beberapa hal penting.
“Jangan histeris. Apapun yang kau lihat, kau tak boleh berteriak atau kau akan memperparah keadaannya. Dan jangan bertanya apapun terlebih masalah pribadi. Aku jamin kau akan mengerti saat melihatnya. Yang harus kau lakukan adalah diam dan tak menarik perhatian. Itu kalau kau tak ingin cedera. Kau mengerti?”
Aku mengangguk satu kali dengan dada berdebar keras. Sepanjang koridor kami bersisian dengan para tim medis yang mengenakan jubah putih panjang. Para penjaga menatapku satu kali setelah Chad mengangguk pada mereka. Aku hanya diperbolehkan masuk hingga koridor kedua. Aku bahkan harus menunggu tim penjaga menggeledahku. Chad bilang prosesnya cukup sederhana tapi tampaknya ia berbohong padaku sebab sampai saat ini sudah ada empat orang perempuan yang menggerayangi tubuhku.
Penjaga itu menyuruhku menunggu setelah memindai tubuhku dengan stick pendeteksi benda tajam. Aku kepingin berteriak di depan wajah mereka kalau aku sama sekali tidak mungkin bisa melukai Donghae dan sebaliknya bos mereka-lah yang selalu ingin melemahkanku.Tapi kemudian pikiranku teralih saat melihat langit-langit berbentuk kubah di atasku. Ada lukisan di sepanjang atap yang menggambarkan wajah seorang perempuan cantik, tertawa hingga kedua matanya menyipit. Rambutnya yang panjang terjuntai hingga ke ujung dinding dengan bunga-bunga di sekelilingnya. Lukisan itu begitu indah, dengan pola-pola mosaik yang membentuk wajahnya, tubuhnya dan rambutnya, membuatnya seakan hidup, bersinar di tengah ruangan.
Aku bertanya pada penjaga apakah aku diperbolehkan berjalan hingga ke ujung ruangan karena aku melihat jendela besar di bawah lukisan perempuan itu. Bingkai jendelanya dipenuhi gambar berbagai macam bunga; daffodil, lily, primrose, carnation, daisy, azalea, hingga anemone. Aku cukup yakin jendela itu bakal menunjukkanku sebuah taman penuh bunga-bunga itu. Jadi saat penjaganya memberiku izin, aku langsung bergerak ke sana tetapi langkahku terhenti dengan cepat. Aku mendengar teriakan Lee Donghae.
“HENTIKAN! HENTIKAN! KUBILANG HENTIKAN! KALIAN SEMUA BAJINGAN—!”
Tubuhku membeku di tempat saat mendengar suara penuh amarah itu. Semua penjaga bersiap di tempatnya dengan gelisah. Aku mengintip dari sela-sela pintu saat Donghae keluar dari sebuah ruangan dan hanya mengenakan jubah tidur putihnya dengan wajah terbakar amarah. Ketika seorang penjaga berusaha menenangkannya, bosku mendorang jatuh pria itu dengan satu pukulannya. Ia terlihat berang bukan main—dan, oke tetap tampan namun dalam artian yang berbeda.
“KUPERINGATKAN KAU—JANGAN BAWA BENDA ITU PADAKU! SHIT! GOD DAMN IT!
Lalu Donghae masuk ke sebuah ruangan lagi dan ia membanting pintunya keras. Dari dalam ruangan itu aku mendengar teriakan panjang dan detik berikutnya, sesuatu berderak dan bunyi kaca pecah terdengar begitu keras. Aku menelan ludah dan buru-buru kabur dari ruangan itu sebelum Donghae muncul secara tiba-tiba dan memutuskan untuk mengamuk padaku.
*
Malam harinya, Chad menemuiku di ruang tengah. Ia memergokiku ketika aku melamun di depan lukisanClaude Monet—yang menurutnya sangat merendahkan karya si pelukis. Aku menyuruhnya tutup mulut sebelum ia terdengar seperti orang tua renta di galeri museum yang meributkan para pengunjung dengan teriakan-teriakan tak masuk akalnya. Chad tertawa kemudian menawariku untuk makan di ruangan makan dan aku menyesal karena telah menyetujuinya. Pelayan menyajikan makanan seakan-akan mereka kedatangan segerombolan kucing liar kelaparan. Berlimpah memenuhi meja makan.
Jadi karena tak ada yang bisa menghabiskan makanan itu, aku menyerah dan meminta segelas cokelat panas sebagai penutup. Chad mengusulkan es krim rasa mint dan stroberi tapi aku memberinya tatapan tajam dan ia berhenti mengoceh.
“Jadi apa pendapatmu tentang keadaan bos?” Chad akhirnya membuka mulut setelah mencoba menungguku menyinggung semua ini.
Aku merosot di atas kursi dan memandang lesu cokelat panasku. “Aku tidak tahu,” gumamku padanya. “Ia terlihat sangat sehat—maksudku tidak mungkin ia mendapat serangan kalau ia bisa berteriak seperti itu.”
Chad terkekeh sedikit, yang membuatku mengernyit padanya. “Bukan serangan fisik, Youva. Bos mengalami serangan psikologis.” Ujarnya kalem.
Untuk setengah menit yang lama, aku tenggelam dalam pikiranku, mencoba tertawa atas lelucon tak masuk akal yang diutarakan Chad. “Tidak mungkin,” kilahku menggeleng. “Jangan bilang bos punya masalah dengan kejiwaannya?”
“Sangat.” Chad menimpaliku cepat. Ia terlihat serius dan aku sadar kami mengarah pada pembicaraan penting.
“Jangan buat aku seperti perempuan bodoh, Chad! Beritahu aku apa yang sedang terjadi!” desakku tak tahan. Chad mengangkat bahunya dengan senyuman lalu mengerling. “Demi Tuhan, Chad. Ceritakan padaku atau kau bakal tahu bagaimana rasanya kutendang hingga Washington!”
Chad tertawa histeris. Ia memegangi perutnya dan tergelak sampai tiga menit kemudian. Dengan gaya menyeka airmatanya ia menatapku tak percaya. “Sejujurnya itu mustahil, tapi aku takut, Youva.” Ejeknya lagi.
“Oke, Chad. Aku benci kau.”
“Baik, baik. Aku akan menceritakannya padamu. Tapi aku tak berjanji aku akan mengungkapkan semuanya karena aku tak punya ijin untuk semua itu. Kalau kau mau tahu, kau bisa bertanya langsung pada bos. Dan aku memberitahumu beberapa hal penting karena sepertinya tak adil bagimu berada di tengah semua ini sementara kau tak mengerti apapun.”
“Cukup adil,” imbuhku menyetujuinya.
Kemudian Chad mengajakku keluar mengelilingi taman di selasar kiri yang luasnya menyerupai lapangan sepak bola. Kami berjalan melewati petak bunga yang di tanam di tanah dan berhati-hati untuk tidak menginjaknya. Chad membuka percakapan dengan beberapa lelucon tetapi aku langsung menyuruhnya tutup mulut.
“Jadi seperti yang kau lihat, bos mengalami serangan psikologis. Jiwanya sedikit terganggu, Youva. Itulah kenapa bos bisa jadi sangat temperamental. Kau pasti mengerti mood-nya berubah sangat cepat.”
“Semacam bipolar disorder?” tanyaku dan membayangkan penyakit itu.
“Yeah,” jawab Chad membenarkanku. “Itu hanya satu dari banyak gejala. Tapi bos memang memiliki masalah dengan mentalnya. Ia punya beberapa masalah dalam hidupnya dan itu memengaruhi kondisi kejiwaannya.”
“Masalah seperti apa maksudmu?”
“Aku tak bisa menjelaskannya padamu, Youva. Aku bahkan tak mengetahuinya dengan detail. Tapi yang kudengar bos memiliki beberapa pengalaman menyakitkan dan itu membuatnya trauma.”
“Jadi itulah alasan kenapa bos tak pernah tidur?”
Chad menoleh dan menatapku terkejut. “Oh, dia tidur, tentu saja. Manusia butuh tidur. Tapi frekuensi tidurnya telah berubah. Memang kadang bos akan terjaga beberapa hari karena penyakitnya itu, tapi diaharus tidur. Dan kalau bisa kutambahkan, proses untuk membuatnya tertidur adalah salah satu masalah besar bagi semua stafnya.”
Kakiku berhenti di sebelah pot bunga lili yang di gantung di deretan tanaman dalam kotak kaca. Chad menyadari jeda langkahku lalu berbalik. “Jadi karena itu Donghae mengamuk sore ini?”
Kami bertatapan dalam diam. Chad mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaanku dan aku menggeleng tak percaya. “Wah, aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Apa menurutmu Donghae tak bisa disembuhkan?”
Chad menghela napas panjang, ia tersenyum datar dan menatapku dingin. “Itulah yang sedang dilakukannya, selama bertahun-tahun. Dan tak ada satu pakar psikologi pun yang bisa menyembuhkannya. Mereka sudah mencoba semua terapi tetapi gagal. Bos malah semakin menderita. Rekor terpanjang ia pernah terjaga tanpa tertidur adalah tiga pekan. Saat itu kami harus bersiap dengan kerusakan hati dan gagal ginjal serta serangan jantung. Tapi hanya dalam sepuluh jam reaksi obat bius mampu bertahan dan detik berikutnya ia kembali berteriak seperti orang gila.”
“Kenapa ini semua bisa terjadi Chad? Maksudku, lihat saja dia, bukankah di terlihat baik-baik saja? Aku—aku pikir ini tidak mungkin.”
“Lee Donghae sakit. Hatinya yang sakit, Youva.”
Jawaban Chad mengirimkan perasaan aneh padaku. Ia menatapku seakan menanti sesuatu dan tiba-tiba bibirku membentuk suatu pertanyaan. “Apa yang bisa kulakukan untuk bisa membantunya?”
Chad tersenyum padaku, matanya berkilat tajam saat ia menjawab dengan tenang. “Pergi temui dia, Youva. Aku yakin Lee Donghae membutuhkanmu.”
***
Hal yang kuketahui lima belas menit kemudian adalah kedua kakiku di depan pintu kamar pribadi Donghae. Tubuhku gemetaran—seluruhnya bergetar ketakutan menanti pintu yang membuka. Aku mendengar langkah kaki dibalik pintu ini dan nyaris memutuskan untuk kabur ke bulan. Tapi belum lagi aku sempat bersiap dengan sumpah serapah yang akan dilontarkan Donghae, atau sebuah kursi yang akanmelayang ke arahku, pintu membuka dengan cepat dan hatiku mencelos ngeri.
“Apa yang—oh, hei, Youva. Ada masalah apa?”
Benarkah Lee Donghae yang berdiri di depanku saat ini? Pikiranku tertarik ke arah berlawanan dan aku tak bisa berkedip menatapnya. Bosku, yang tadinya selalu berpenampilan bak pangeran malaikat kini berdiri dengan wajah sayu, tatapannya terlihat kosong dan ia bahkan harus menopang tubuhnya dengan kedua tangan di dinding. Singkatnya ia sekarat.
Aku tak pernah melihat Lee Donghae dengan kondisi seperti ini dan rasanya sangat menyakitkan.
“Kenapa kau kemari?”
Suaranya bahkan terdengar parau, tersiksa hingga kalimat terakhirnya sedikit melengking. Aku tak sempat mengagumi bentuk tubuhnya kali ini, karena meskipun faktanya Lee Donghae tengah mengenakan seutas singlet tipis yang otomatis memamerkan seluruh aset tubuh bagian atasnya, aku tetap terfokus pada kondisinya yang amat sangat jauh dari kata baik.
“Apa yang terjadi, Sir?” tanyaku dengan desahan. Aku tak mengerti kenapa kedua mataku memanas tetapi aku benci melihatnya seperti ini. Aku ingin Lee Donghae kembali seperti dulu—berkuasa, penuh percaya diri dan memesona.
Donghae menggeser tubuhnya ke samping dan menatapku tanpa ekspresi apapun. “Kau ingin masuk?”
Sejujurnya aku ingin mengatakan tidak dan kabur ke kamarku lalu melupakan ingatan ini. Tapi aku tak mampu membayangkan kalau ia harus menderita sendirian. Jadi dengan otomatis lidahku menjawab “ya,” padanya dan ia mengangguk. Donghae menggeser pintunya lebih lebar dan menyuruhku masuk.
Kalau ada yang lebih mengejutkanku selain melihat kondisinya, itu adalah saat aku melangkahkan kaki ke kamar Donghae. Aku bahkan tak bisa menyebutnya ‘kamar’ dengan benar karena di dalam ruangan itu sama sekali tak bisa kutemukan apapun selain sebuah tempat tidur bundar dan seluruh dindingnya di lapisi cermin.
Yep, cermin.
Aku melihat pantulan diriku dari banyak sudut dan tubuhku bergidik. Ruangan ini mirip seperti studio balet—minus tempat tidurnya—tetapi dalam versi yang lebih mengerikan. Aku mengernyit melihat tempat tidurnya yang bebentuk lingkaran, yang sama sekali tak pernah kulihat sebelumnya. Ada sesuatu di ruangan ini yang membuatku ingin muntah dan aku tak mengerti kenapa Donghae bisa berdiam di sini selama berjam-jam.
“Selamat datang di kamarku, Youva. Ah, lagi-lagi kau menjadi gadis pertama yang kubawa masuk.” Ia tertawa hampa sambil menatapku. Kemudian Donghae menyeret tubuhnya duduk di atas tempat tidur dan mengisyaratkanku untuk mengikutinya.
“Sir, Anda sakit.” Tukasku tiba-tiba. Aku belum bergerak dari tempatku berdiri dan kami bertatapan lama sekali.
“Pasti Chad yang mengatakannya padamu. Dasar tukang gossip.” Imbuhnya pelan. Donghae menarik napas dan aku mendengar rintihannya. “Aku akan baik-baik saja besok. Percayalah padaku.”
Entah apa yang membuatku kehilangan kendali, tetapi aku menerjangnya dengan amarah tak tertahankan. “Tapi sampai kapan anda harus menderita seperti ini? Kau bukan Lee Donghae yang kukenal. Aku tidak mengenalmu!”
“Oh, ya? Jadi seperti apa Lee Donghae-mu?” Ia mengejekku dengan terang-terangan.
“Lee Donghae adalah pria menawan, dengan sikapnya yang tegas, disiplin dan selalu berkomitmen. Bosku tak punya gangguan kejiwaan! Bosku pria normal dengan beberapa masalah tetapi dia selalu bisa mengatasinya! Dia—”
“CUKUP!” bentak Donghae mengerikan dan tubuhku membeku dalam kebisuan. Airmataku telah tumpah dua detik yang lalu karena emosi dan rasa takut. “Kau pikir aku manusia sempurna? Dari mana kau dapatkan gambaran sinting itu? Kupikir kau cukup pintar tapi ternyata kau menyedihkan, Youva. Aku manusia. Dan aku punya kelemahan. Kau menginginkanku berlaku sempurna, tapi tidakkah kau pikir itu tak adil buatku?”
Perkataannya bagai paku yang menusukku tajam. Donghae benar, aku seharusnya tidak menilainya seperti itu. Kurasakan semburat malu menghiasi wajahku dan aku menunduk menatap lantai. “Anda benar. Maafkan aku, Sir.” Bisikku dengan airmata.
Donghae membiarkanku terisak untuk beberapa saat hingga akhirnya ia berdiri. Aku mengawasinya saat ia berjalan ke dinding—melihat pantulan dirinya dari berbagai sudut dan diriku yang masih berdiri di tempat yang sama.
“Kau tahu kenapa seluruh ruangan ini dilapisi cermin?” Ia tidak menungguku menjawab karena setelahnya Lee Donghae langsung menjelaskan. “Karena aku takut, Youva. Aku tak bisa melupakan rasa bersalah yang terus menghantuiku.”
Kugerakkan kakiku untuk mendekatinya. Butuh tekad kuat agar aku tak merosot ke lantai saking takutnya. Tetapi aku menghitung langkahku mencapai dua belas langkah sebelum akhirnya berdiri tepat di belakangnya. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Anda, Sir?”
“Kedua orangtuaku dibunuh ketika aku berusia sebelas tahun, Youva. Mereka di bunuh dengan kejam, persis di depan kedua mataku.” Donghae menyaksikan wajahku yang terkejut dan ia menambahkan lagi. “Pembunuhnya psikopat gila yang senang menyiksa sebelum menghabisi korbannya. Dan aku tahu dia sengaja membiarkanku hidup.”
Lidahku kelu tanpa bisa berkata apapun lagi. Bocah sebelas tahun harus menyaksikan kedua orangtuanya terbunuh dengan sadis? Benar-benar psikopat sinting.
“Kejadiannya malam hari, saat aku dan kedua orangtuaku berlibur ke Manhattan. Tak ada penjaga atau pengawal. Kami bertiga sedang bersiap-siap untuk makan malam ketika listrik tiba-tiba padam. Ibuku memanggil pelayan saat kami menunggu di ruang makan, tetapi kemudian ada teriakan-teriakan aneh. Kami tahu sesuatu sedang terjadi tapi tak mampu melihat apapun. Aku mendengar ayahku memerintahkanku dan ibuku untuk bersembunyi di bawah meja makan sementara beliau mencari pistolnya. Tapi hanya beberapa detik saja saat tiba-tiba listrik kembali menyala dan kudengar ayahku terlempar di atas meja. Aku mendengar teriakannya, rintihannya. Tapi seakan itu tak cukup, psikopat itu menyambar kaki ibuku dari bawah meja dan mencincang tubuhnya dengan kapak tajam. Aku menyaksikan semuanya, saat kedua orangtuaku memohon ampun, tapi dia benar-benar sudah gila dan terus mengayunkan kapaknya.
“Darah mereka memenuhi lantai, baunya bahkan tak bisa kulupakan sampai sekarang. Aku menangis ketakutan tapi ayahku yang sekarat menyuruhku diam. Beliau berteriak dalam bahasa Korea agar si pembunuh tidak mengetahuinya. Tapi aku tahu dia bisa melihatku, karena sesaat sebelum meninggalkanku di antara mayat kedua orangtuaku, dia mengerling padaku dengan senyuman di wajahnya.”
Donghae membisu untuk beberapa saat, tampaknya ia sedang menahan emosinya. Aku nyaris muntah membayangkan kejadian itu dalam kepalaku tetapi kusadari bahwa itulah yang membuatnya selalu mencium amis darah ketika menghirup gas bius. Ada keinginan aneh yang membuncah dalam dadaku untuk segera menyentuhnya, tapi aku tak ingin merusak keheningan ini. Aku bertahan kira-kira tiga menit sebelum akhirnya kelepasan bertanya. “Lalu apa yang terjadi, Sir?”
“Aku tak berani bergerak sampai dua jam ke depan, saat itu sekretaris ayahku baru tiba dari Los Angeles dan ia terkejut bukan main saat melihat isi rumah yang penuh darah. Perlu waktu satu jam lebih lama bagi mereka untuk menyadari kehadiranku. Mereka bilang aku seperti koma dengan mata terbuka, karena tak bereaksi apapun dan terus mendekap lututku, hanya menatap hampa mayat kedua orang tuaku.”
Bosku tertawa pahit, menatap kedua mataku dari pantulan cermin. “Itulah sebabnya aku butuh cermin-cermin ini. Karena aku sering bermimpi tentang kejadian itu, dan semuanya terlalu nyata hingga aku harus mencari cermin untuk bisa meyakinkan diriku kalau semuanya telah berlalu. Aku bahkan tak akan bisa tertidur tanpa cermin di dekatku, aku terlalu penakut untuk melakukannya. Benar-benar bos yang payah, kan?”
Aku tak tahan lagi. Kuraih tubuh Donghae dan memeluknya erat. Air mataku meledak dan aku menangis keras-keras. Pria itu tak melawan sama sekali, ia hanya terdiam dalam pelukanku dan mendengarkan tangisanku yang seperti bocah lima tahun. “Itu kejam sekali. Kenapa Anda harus melewati semua itu? Itu bukan salah Anda, Sir. Anda tak boleh menghukum diri sendiri seperti itu.”
“Kau tak tahu, Youva, kau tak mengerti. Orangtuaku dibantai dan aku hanya bisa duduk menyaksikannya. Kau tak tahu, bukan? Kalau aku tadinya akan punya adik? Janin dalam perut Ibuku baru satu bulan dan dia harus mati! Aku bahkan tak tahu apakah ia lelaki atau perempuan..” Suara Donghae mengabur dan ia akhirnya balas memelukku sementara aku melanjutkan tangisanku. Aku menangis untuk semua dukanya, semua ketakutannya dan semua kebahagiaan yang direnggut paksa darinya. Aku memang tak akan pernah mengerti sama sekali bagaimana perasaannya saat mengubur kedua orangtuanya di umurnya yang baru sebelas tahun. Tapi aku ingin mengurangi rasa sakitnya, aku tak ingin melihatnya berjuang sendirian.
“Maafkan aku, Sir, maafkan aku.” Isakku terbata-bata. Ia memeluk leherku dan berbisik lemah. “Kenapa kau harus minta maaf?”
Aku menangis dalam pelukannya, mendekapnya lebih erat hingga aku kesusahan bernapas. “Aku meminta maaf untuk semua yang telah Anda lalui. Aku meminta maaf karena tak pernah tahu Anda begitu menderita. Aku meminta maaf untuk semua hal dalam hidup Anda, Sir.”
“Jangan,” bisik Donghae di telingaku. “Itu bukan salahmu. Kau tak boleh meminta maaf.”
“Itu juga bukan salah Anda, Sir! Jadi kumohon berhentilah, berhenti merasa ketakutan dan bersalah atas kematian orangtua Anda.”
“Aku mencoba, Youva. Tapi rasanya sangat mengerikan. Aku tak bisa menghapus ingatan itu, tak peduli berbagai teknik hipnotis dan sugesti yang kujalani, aku tetap memimpikannya selama bertahun-tahun.” Tubuh Donghae merosot ke lantai dan ia memeluk pinggangku dengan wajahnya di perutku, mencoba menahan emosinya sendiri.
“Kalau begitu setidaknya berbagilah. Anda tak perlu merasakannya sendiri, berbagilah denganku. Aku akan menanggung rasa sakit itu, agar Anda bisa terbebas dari rasa bersalah!”
“Youva..” Aku nyaris tak bisa mendengarnya namun aku tahu ia menggumamkan sesuatu di akhir kalimatnya. “..terima kasih.”
Kami berpelukan dengan airmataku yang tak bisa berhenti mengalir. Aku sama sekali tak tertarik memperhatikan pantulan kami dari berbagai sudut cermin. Aku hanya ingin Lee Donghae sembuh. Bosku, pria paling menawan di seluruh Los Angeles sama sekali tak akan kuijinkan untuk menderita. Lee Donghae boleh saja bertopeng besi, tetapi hatinya harus terkurung di ruangan penuh cermin. Aku menyesali hidupnya yang harus diwarnai mimpi buruk selama bertahun-tahun dan bertekad untuk membantunya lepas dari semua ketakutan itu. Hingga kusadari ada perasaan aneh yang menggelegak di bawah kendaliku, di bawah alam sadarku. Tidak ada jalan untuk mundur sekarang. Tidak lagi setelah aku mengalami semua ini. Kupejam kedua mataku dan menggumam yakin.
‘Ya, aku telah jatuh cinta padanya.’
***


Assalamualaikum!
Yang uda jamuran nunggu update-an SCARLET mana suaranya? ‘-‘)/
oke aku engga mau banyak alesan toh emang ga ada alesan lagi yang bisa memaafkan daku~~ *kayang di pojok* Maaf ceritanya makin ribet. Ini salah satu efek penuaan(?) dan harap maklum kalo Donge keliatan lemah disini. Donge juga manusia~ punya rasa punya hati~ *DIEM RIN, DIEM!*
sekian dulu deh yak. kalo ada yang kangen aku, langsung aja cipika cipiki via imel: mycoach.coolaz@gmail.com atau kalo mau ubek-ubek socmed aku, bisa cari IG, Snapchat, Twitter dan Ask.fm dengan user name: @aoirin_sora
Thank you and i love you guys! *cling*
KEEP CALM AND READ SCARLET \m/
Aoirin_Sora

1 komentar:

  1. Iiiihh min tmbah bikin penasaran aja jalan ceritanya.. suka sangat ama ff ini.. semoga cepet di update buat part selanjutnya min

    BalasHapus