Sabtu, 22 November 2014

FANFIC : SCARLET [10]



TITLE       : SCARLET [10]
GENRE      : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING     : NC-21
CAST         : Lee Donghae
                   Youva Cardia
Author        : @Aoirin_Sora
 

NOTE:

Halo!
Sebelum kalian mulai baca chapter ini, aku sarankan kalian download dua lagu di bawah ini. Keduanya berhubungan sama cerita di chapter ini dan aku (amat sangat) menyarankan kalian dengerin salah satunya selama membaca.

Trust me, It works a lot! :)

Aoirin_Sora



Summary:
Ada yang berubah.
Senyumnya yang dulu terasa hangat kini telah menepi di sudut pikiranku. Berhenti bergerak menguasai hidupku dan mengubahnya kaku. Aku tahu hatiku tak pernah menipu. Tapi dengan semua fase yang kulewati, aku tak mungkin bisa tidak patah hati. Ini mungkin cinta. Tapi keseluruhan intinya telah bergeser, membentuk posisi baru pada otakku yang berteriak putus asa. Ini mungkin kerinduan. Atau mungkin cuma kekaguman. Tapi seakan menghilang ditelan kabut kekecewaan, perasaanku bergerak membentuk sebuah perasaan baru, yang hingga kini tak bisa kujelaskan dengan baik.
Apakah cinta atau kebencian yang membuatku terus memandangingnya?


***



CHAPTER TEN: DEJA SENTI


Pernah lihat seorang malaikat dengan rambut yang menetesi air dan jubah mandi panjang yang menggantung di mata kakinya? Tidak? Aku juga begitu. Sampai beberapa detik yang lalu. Ketika Lee Donghae muncul dari pintu kamarnya dan mengenakan setelan mandi dengan rambut basah dan lembab.
Aku menghirup oksigen selama dan sebanyak yang kubisa. Sebelum pria itu dengan lancang mematahkan kontrol otakku untuk bernapas. Ia melirik ke arahku satu kali, berusaha tak ambil pusing dengan tatapanku yang mengernyit padanya. Oke, aku juga tidak sadar kalau aku mengernyit. Tapi dengan penampilannya pagi ini, ia bisa membuatku harus di rawat lagi.
Sebelumnya aku tak pernah melihat Lee Donghae berpenampilan sangat menggoda—atau sensual, keduanya sama saja—sebab ia selalu menggunakan kamar mandi di kamarnya dan keluar dengan kaus putih dan celana panjang. Tapi kali ini Lee Donghae bagai memberiku uji coba dengan memamerkan keseksiannya. Rambutnya yang meneteskan air seolah layu, turun pada keningnya yang indah. Pemandangan dadanya sedikit mengintip dari celah setelan mandi putih cemerlang yang ia kenakan. Aku memiliki kendali yang lemah atas pesona pria ini. Dan ia tidak segan-segan menggilas habis seluruh pertahanan diriku sekarang.
Donghae keluar kamar dengan bertelanjang kaki. Telapak kakinya bahkan begitu indah, berubah warna menjadi merah muda saat ia melangkah di atas lantai. Ia membuat lantai dingin dan keras menjadi red carpet yang layak mendapatkan perhatian penuh. Dengan santai Donghae menuju konter dapur, mengambil segelas air mineral dan meneguknya dengan mata terpaku padaku. Alisnya melengkung naik, seakan bertanya apa yang salah.
Buru-buru aku menunduk dan merutuki wajahku yang langsung merah padam. Tentu saja Donghae menyadari perbuatanku, karena suaranya terdengar separuh geli. “Kau bangun pagi sekali, Miss Cardia.” Katanya jelas-jelas menggodaku.
Aku berdeham. Mencoba mendapatkan akses verbalku saat menjawabnya. “Aku tidak bisa tidur, Sir.”
Donghae bersedekap. Ia bersandar pada tepi konter meja dengan wajah berkilat penasaran. “Kau mencemaskan sesuatu lagi?”
“Sebenarnya cukup banyak,” ralatku dalam bisikan. Aku tak berani menatapnya langsung, dan memutuskan kalau memandang meja di depanku lebih aman dari pada menemukan sepasang matanya berbinar padaku.
“Apakah beberapa di antaranya tentang Jason Andersen?” tanyanya. Suaranya sedikit pecah, terdengar bahwa ia membenci perkataannya sendiri.
Aku menggigit bibir dalam diam, tahu kebisuanku bakal memberinya jawaban ‘ya.’
“Kau bilang kau tidak mencintainya lagi.” Itu bukan tanggapan atau pernyataan. Bagiku Donghae terdengar seperti sedang protes. Ia menahan diri untuk tidak menjadikannya seperti perintah—walau tentu saja, gagal.
“Tidak seperti itu. Maksudku—aku hanya, well, entahlah, Sir. Aku tidak bisa menjelaskannya. Aku tidak berharap aku masih mencintainya—tapi, tetap saja aku memikirkan Johan. Tidak hanya tentang percintaan—maksudku—” Aku meracau. Pikiranku sudah berteriak di kepalaku untuk segera tutup mulut. Tapi aku tidak bisa melakukannya karena dengan Lee Donghae yang menuju ke arahku, jantungku sudah menciut dan mulutku komat-kamit tanpa ampun.
“Pandang aku, Miss Cardia.” Perintahnya tegas. Nada suaranya tak bisa di bantah dan aku memindahkan pandanganku padanya. Amat lambat—karena aku berusaha untuk menyelamatkan harga diriku yang berlubang dengan menampilkan wajah datar.
“Kau masih mencintainya? Ya atau tidak?” Kalimat Donghae menyentuh sisi terdalam dari jiwaku, seakan sedang mencoba menarik alam bawah sadarku yang terkubur begitu jauh. Suaranya keras, dan meski aku berupaya menepisnya, ia juga terdengar merdu.
“Tidak.” Jawabku menahan napas. Itu bukan jawaban yang keluar dari pikiranku, atau alasan-alasan yang sebenarnya ingin kuyakini. Tapi memang itulah yang sedang kurasakan sekarang. Johan menjadi begitu jauh—tenggelam dalam kotak pandoraku yang sudah rusak—di bawah tatapan Donghae yang mengulitiku.
“Bagus.” Ujarnya lagi. Kilatan di matanya berkata bahwa ia puas dengan jawabanku. Pria itu lalu berlalu kembali ke kamarnya, meninggalkanku yang menatapnya terperangah.

Bagus, kau tidak mencintainya lagi, atau, Bagus, kau akhirnya menyerah mencintainya?

Aku tidak bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan sinting di kepalaku meskipun aku berdiam diri di ruang tengah selama setengah jam ke depan. Saat itu Donghae keluar dari kamarnya dengan mengenakan setelan olahraga—celana training hitam dengan jaket berwarna senada.
Ia melenggang masuk ke ruangan di ujung kanan, persis di samping dapur. Aku pernah masuk ke sana, dan menemukan satu set peralatan gym memenuhi ruang. Beberapa di antaranya kuketahui seperti Treadmill, yang berada di sebelah kiri, bersisian dengan alat pull up. Hampir semua alat-alat itu tampaknya rutin ia gunakan, meski aku tak pernah melihatnya langsung.
Dan sepuluh menit setelah Donghae mulai berolahraga pagi, Chad muncul, ketika aku ingin mandi.
“Oh, hai. Selamat pagi.” Sapanya riang—seperti biasa. Aku tersenyum padanya sebagai balasan. Chad memberiku tas plastik yang berisi sekotak sereal.
Saat aku menaikkan alisku tinggi, ia memberiku jawaban. “Mr. Carlos yang menyuruhku mengantarnya padamu,” katanya nyengir lalu menatap ke arah pintu. “Sebenarnya masih ada beberapa hal lagi, tapi aku harus tanya bos dulu.”
Aku mengangguk dengan wajah sedikit tak setuju. Bahkan hak-hak pribadi seperti menerima hadiah dari Ayahku sendiri harus di filter. Tapi aku tak bisa menyalahkan sikap mereka yang dua kali lebih berhati-hati. Kupikir ini adalah salah satu bentuk pengawasan yang mereka kerahkan padaku.
Chad pergi ke ruang gym dan baru kembali satu jam kemudian bersama Donghae. Saat itu aku telah berpakaian rapi dan bersih. Aku duduk dengan tegang di atas sofa, menggenggam ponselku yang baru ketika Donghae menatapku dengan sebotol air di tangannya.
“Kuasumsikan kau sudah mendengar kalau Arthur mengirimimu beberapa barang?” katanya dengan nada bertanya di akhir kalimat.
Ketika aku mengangguk sebagai jawaban, Donghae menggeleng. Ia menghela napas. “Maaf, tapi aku harus mengembalikan semua itu padanya.”
Tubuhku memberikan reaksi spontan, jauh melebihi reaksi normalku. “Kenapa?” Aku tidak mengerti ada yang salah.
“Karena,” katanya enggan. “Jason Andersen sedang mengamatimu, Youva. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya begitu tertarik mengamatimu. Tapi seorang informanku mengatakan kalau dia terlihat tidak jauh dari sini kemarin sore.”
Perutku mengejang aneh. Membayangkan Johan dengan mata birunya, wajah rupawan—yang kini hanya menyisakan kekejaman, berdiri menatap gedung ini dengan pandangan curiga. Rasa mendambaku yang nyaris tersisa satu tetes tiba-tiba buyar. Tubuhku menggigil. Tapi kebingungan mengambil alih pikiranku yang sedang tercabik pada dua hal; merindukannya atau membencinya.
“Jadi, karena aku tidak ingin menambah kecurigaannya, aku akan mengembalikan semua barang-barang pemberian Arthur. Kau boleh menyimpan ponselnya, tapi yang lain—well, maafkan aku, aku tidak punya pilihan untuk sementara ini.”
Donghae menatapku tepat di mata. Menunggu reaksiku. Atau menungguku kembali ke alam nyata karena aku sedang tersesat dalam pikiranku sendiri. Tanganku yang berkeringat segera membasahi layar ponsel dalam sekejap.
“Baiklah,” kataku akhirnya. Aku masih menolak memandang Donghae dengan memindahkan tatapanku pada Chad yang terlihat bersimpati.
“Bagaimana dengan tambahan uang di rekeningnya?” tanya Chad tiba-tiba, beralih pada Donghae.
Oh, aku mendapatkan uang tambahan?
“Bekukan.” Jawab Donghae cepat, tidak mengindahkan ekspresi terkejutku. “Kita akan buka dua rekening baru. Dengan nama Youva dan atas nama lain. Aku tidak ingin timbul kecurigaan apapun.”
“Baik, Sir.” Sahut Chad. Ia mengambil ponselnya dan langsung menghubungi seseorang dengan suara rendah.
Donghae duduk di seberangku. Ia meneguk botol airnya perlahan. Kepalanya mendongak, menatap ke langit Los Angeles yang terhampar di balkon. Aku mengamati pria itu secara sembunyi-sembunyi. Lehernya yang putih terlihat kokoh dan mengagumkan—Adam’s Apple-nya bergerak naik-turun saat ia menenggak air. Menciptakan bunyi degukan pelan yang entah kenapa membuatku kehilangan konsentrasi.
“Apa Arthur sudah menghubungimu?” tanya Donghae tiba-tiba. Dan aku tak sempat membuang muka untuk menghindari tatapannya yang menangkapku dengan senyuman berpuas diri.
Aku mengangguk, berdeham. “Kemarin malam. Ayahku menelponku untuk menanyakan apakah kondisiku sudah membaik.” Chad kemudian bergabung duduk di sofa sebelahku. “Dan aku juga sudah menelpon Ibuku, Sir. Jika anda ingin tahu,” kataku lagi.
“Apa Diana baik-baik saja?”
“Ya,” jawabku merasa lega. “Ibuku cemas—tentu saja—dan juga takut saat beberapa orang muncul dan membawanya paksa. Tapi, sepertinya Ibu baik-baik saja. Karena Ibu mengeluh padaku kalau ia tidak suka berada di jauh dari rumah. Katanya Bahasa Inggris sangat susah dan Ibu benci harus membawa kamus untuk membeli sebutir telur.”
Mata Donghae menyipit sedikit saat ia tersenyum mendengar perkataanku. “Apa yang terjadi padanya? Bukankah Diana menguasai bahasa Inggris?”
“Tidak, tidak,” sanggahku cepat. “Bukan menguasai, Sir. Ibuku Cuma ‘mengerti’ beberapa kalimat saja sekarang. Aku bisa membayangkan saat Ibu pergi ke pasar dan bertanya pada penjualnya apa ia bisa mendapatkan satu kardus telur dan penjaga toko akan balik bertanya, apakah Ibu akan membeli telur segar, atau ingin membeli telur yang sudah lama dengan diskon lima puluh persen. Pasti makan waktu seharian sampai Ibu bisa mengerti seluruh ucapannya.”
Donghae tertawa kecil, begitu juga dengan Chad. Mereka tampak rileks untuk sejenak. Kulirik Donghae dengan sedikit takut. Sebenarnya aku takut kalau wajahku bakal memerah lagi. Karena sejak ia menggodaku dua hari yang lalu di area parkiran, aku tak bisa bertahan menatapnya lebih dari tiga detik.
Tapi karena suasana hati Donghae tampaknya berubah positif, aku memberanikan diri untuk memulai percakapan serius.
“Sir, bisakah aku mendiskusikan beberapa hal dengan Anda?”
“Tentu.”
Aku menarik napas, berusaha menampilkan seulas senyum saat aku mencoba menatapnya. “Ini tentang pesta Mr. Verto.” Perkataanku bahkan belum selesai dan Donghae memandangku tajam. “Bolehkah—bolehkah aku pergi?” tanyaku takut.
Selama satu menit ruangan menjadi hening. Aku menahan napas ketika bosku menjawab dengan nada tak suka. “Kalau ini yang kau maksud diskusi, kau harus mengoreksinya, Miss Cardia. Karena bagiku kedengarannya seperti negosiasi.”
Ada sedikit kejengkelan dalam kalimatnya, tapi aku tidak bisa mundur lagi sekarang. “Aku benar-benar ingin hadir.” Bisikku takut.
“Aku tidak mau berdebat. Jawabannya tetap tidak. Kau tidak akan mendengarku berubah pikiran.” Ia mengernyit sambil memejamkan matanya.
Aku berjuang, mengumpulkan sisa-sisa keberanianku dan memandang Chad untuk meminta dukungan. Chad menaikkan bahunya, seolah ia tak punya pilihan lain selain mematuhi Donghae.
Please? Aku tidak pernah datang ke pesta, Sir.” Kataku memohon. Kulihat Donghae membuka matanya perlahan dan memandangku dalam. “Aku benar-benar ingin pergi. Kumohon, biarkan aku pergi sekali ini saja, Sir.”
Donghae menimbang, meneliti wajahku yang mulai memerah—memerah dengan idiot karena aku tak tahan dengan tatapannya. Tapi setelah beberapa menit, ia menjawab permohonanku dengan bisikan berbahaya.
“Baik,” katanya lambat-lambat. “Tapi aku punya syarat.”
Batinku langsung bergidik ngeri membayangkan persyaratan yang diutarakan pria itu.

***

Cahaya matahari yang keemasan mulai menyirami setiap jengkal sudut kota. Warnanya berkilauan, terang benderang, membuat langit berubah warna semakin jingga. Dan dari atas sini kesibukan Los Angeles masih bisa terdengar. Bunyi deru mobil, klakson di setiap perempatan, bahkan ingar bingar percakapan penuh semangat di bawah gedung.
Waktu memang sudah bergerak ke arah tujuh tepat, tapi langit masih terang. Agaknya musim semi memperlambat laju matahari. Pepohonan yang berbisik, bergoyang kecil diterpa tiupan angin. Daunnya melambai ke sana kemari. Bunga-bunga di setiap taman bermekaran, menyebarkan kebahagiaan pada siapapun yang memandangnya.
Aku membayangkan taman itu dalam kepalaku, merindukan bunga-bunga, pohon-pohonnya, bahkan bangku taman yang dulu sering kusinggahi. Aku sering menghabiskan waktu berjam-jam di taman. Sekedar melapangkan pikiran, atau mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Aku juga sering mengobrol dengan Eddie—penjual eskrim di taman—dan sesekali ia bakal berbaik hati memberiku eskrim gratis.
Berbaur dengan penduduk Los Angeles adalah usaha yang sedikit sulit. Benar, jika kau adalah seorang gadis Asia yang senang menyendiri dan jarang bersedia untuk ikut pesta yang setiap minggu diadakan teman sekampus mu, apalagi menolak semua gelas-gelas beer yang terangkat di udara, maka berbaur adalah salah satu hal yang tampaknya mustahil. Aku benar-benar lebih memilih meringkuk di dalam selimutku setiap Jumat malam daripada memakai pakaian trendy—yang sayangnya lebih mirip bikini ketimbang kausku yang lusuh—dan muntah bergantian di baskom lalu menari seperti orang gila.
Oh, aku enggak bermaksud mengatakan kalau teman-temanku semuanya gila. Tapi dalam banyak kasus, siapapun yang mabuk umumnya bertingkah gila. Tahu kan, maksudku, mereka pasti meracau, melakukan hal-hal nekat—yang bakal mempermalukan diri setelah mereka sadar nanti—atau malah mencari keributan. Bukannya aku sama sekali tidak pernah menghadiri pesta semacam itu. Aku pernah, tapi nyaris. Dulu Janne dan Kim Hanna berkeras mengajakku untuk bergabung di pesta Friday Night-nya Ailen yang katanya bakal ‘heboh’.
Tapi aku bahkan tidak sempat masuk lebih jauh karena di pintu masuk rumahnya, aku berpapasan dengan seorang cewek kutu buku pemalu di kampus kami, tengah mengeluarkan separuh payudaranya dengan sebelah tangan menggenggam sebotol besar Brendy. Cewek itu berlari ke tengah kerumunan di sekitar kolam renang Ailen sambil nyengir tolol sementara semua orang menyemangatinya untuk melucuti pakaiannya satu persatu.
Dan setelah melihat itu, aku langsung memesan taksi pulang, memandang ngeri pada kumpulan orang-orang mabuk dan menolak mendengar bujukan Janne dan Hanna yang mencoba sekuat tenaga.
Jadi, saat aku mengitari ruangan tengah Apartemen bosku dengan bimbang, kembali kuyakinkan diriku bahwa pestanya tidak mungkin sama dengan crazy party all the night yang sering dibicarakan teman-teman kampusku dulu. Aku mengernyit resah, mencoba memikirkan solusi tapi semuanya sia-sia. Tapi, setidaknya aku menemukan hal positifnya; aku bisa keluar dari Apartemen ini.
Setelah melalui pembicaraan rumit dan melelahkan untuk membujuk bosku, akhirnya Donghae setuju untuk membiarkanku menghadiri undangan Johny Verto malam ini. Percakapan kami menghasilkan banyak kesepakatan, yang salah satunya adalah tidak membiarkanku bergerak kemanapun sejauh lima belas inci dari Donghae. Aku sudah begitu frustasi memohon padanya hingga menyetujui persyaratan terakhir yang ia berikan; gaun terusan dengan belahan fantastis dan make up penuh di wajah.
Aku baru saja siap mengenakan gaun sialan ini dan berdandan habis-habisan. Kubilang sialan karena bentuknya benar-benar melecehkanku sebagai seorang wanita. Lihat saja potongan dadanya yang rendah—hingga aku berusaha menutupnya dengan syal namun gagal—serta belahan di bagian bawah gaun yang mencapai pahaku. Aku merasa seperti ditelanjangi secara halus dan aku hampir menangis. Bagaimana jika semua orang berpendapat kalau aku murahan? Make up tebal di wajahku bakal mendukung semua pemikiran negatif itu.
Kakiku terayun ke kanan lalu kembali lagi ke kiri, mengitari ruangan dengan perasaan nelangsa. Rasanya sudah berabad-abad ketika akhirnya Donghae selesai mengenakan pakaian dan membuka pintu kamarnya dengan wajah luar biasa mengagumkan.
Kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang mengelilingi kerah, tuksedo hitam yang memiliki potongan pas di tubuhnya dan—oh Tuhan—wajahnya bahkan dua kali lipat lebih tampan. Donghae menata rambutnya ke belakang, menyisirnya rapi hingga mengekspos dahinya yang indah. Matanya—seperti biasa—menatap tajam namun dalam. Senyumnya terbingkai indah, tetapi langsung berganti dengan ekspresi kaget.
Aku bisa mengatakan bahwa ia adalah malaikat. Benar-benar sangat rupawan kalau saja ia tidak mengeluarkan suara marah.
“Kenapa kau mengenakan pakaian itu?” geramnya tiba-tiba, membuatku terkesiap dari lamunan bodohku.
“Ap—bukankah anda yang memintaku untuk mengenakannya?” kataku bingung.
Selama dua detik, Donghae melihat sekeliling kami dengan pandangan waspada. Ia lalu beringsut mendekatiku dan dalam sekejap, Donghae telah berdiri tepat di depanku. Ia menyapukan pandangannya ke tubuhku—mengamatiku dari atas hingga ke bawah lalu menelan ludah.
“Miss Cardia,” panggilnya mencoba menahan diri. Ia memejamkan mata dan menarik napas beberapa kali. “Kau—ganti pakaianmu. Dan cuci muka—astaga.”
Aku terperangah menatapnya. Ia membalas tatapanku kemudian menggigit bibir. “Tapi, Sir—”
“Aku tahu,” selanya tanpa menunggu kalimatku selesai. “Aku tidak menyangka kau benar-benar mau memakai gaun itu dengan sukarela.”
“Anda yang memerintahkan ini semua, bukan? Itu kesepakatannya. Aku tidak mengerti.” Kataku dengan pelipis bertaut.
Donghae menarik napas lagi. Ia kelihatan semakin gugup. “Kau benar. Tapi aku tidak mengira kau akan setuju. Aku mengajukan persyaratan seperti itu karena—tunggu, kau sungguh-sungguh sangat ingin menghadiri pestanya?”
“Tentu saja, Sir. Aku sungguh ingin ke sana. Apakah tadinya anda berniat untuk melihatku menyerah? Dari awal Anda memang tidak ingin aku pergi, bukan?”
Kelembaban yang tak di undang mulai menguasai sudut mataku. Aku amat kesal dan lebih dari itu, aku kecewa dengan keputusannya yang mempermainkanku. Benar-benar bodoh, berdandan seperti pelacur murahan hanya untuk mendengarnya mengatakan kalau aku tidak boleh ikut.
“Jangan menangis.”
“Aku tidak menangis.” Balasku keras kepala. Aku menahan air mata konyol ini dan menatapnya tanpa berkedip. Tapi mataku langsung perih karena hembusan angin yang sejuk mengitari kami. Aku mengejap, dan tanpa aba-aba, setitik air bening langsung mengalir turun melewati pipiku.
Aku ingin menghapusnya secepat mungkin, tetapi Donghae jauh lebih cepat. Jarinya telah mengusap pipiku dengan lembut. Setelahnya ia menarik wajahku mendekat dan berbisik pelan.
“Jangan seperti ini, Youva. Kau membuatku tidak bisa menahan diri. Kau harus tahu kalau aku manusia. Dan melihatmu dengan gaun ini hanya menyisakan dua pilihan untukmu: bercinta denganku sepanjang malam atau ganti pakaianmu sekarang juga.”
Tubuhku mengejang kaku. Itu perintah sekaligus penawaran yang sinting. Rahangku membeku tanpa bisa berkata apapun. Aku menatapnya setengah takut, tapi kedua matanya berbinar aneh, memandangku dengan arti yang tidak bisa kujelaskan. Aku menelan ludah, mengamatinya sebentar sebelum akhirnya bisa bersuara kembali.
“Apakah tidak ada pilihan yang membuatku bisa ikut?” tanyaku dengan suara serak. Sebenarnya jantungku mulai berdentam kasar, seakan ingin meledakkan diriku sendiri. Dan dengan bersusah payah, aku menelan ludah untuk menyelamatkan pita suaraku yang menyedihkan.
Donghae memiringkan kepalanya, senyumnya muncul beberapa detik kemudian dan ia mendengus. “Aku tidak akan pernah bisa merubah pikiranmu, bukan?” tanyanya dengan senyum miring yang khas. “Tapi bagaimana kalau aku ingin membuatmu tetap tinggal?” kedua matanya menyipit saat menarikku dengan tiba-tiba.
Ia membuka pintu kamarku dan menutupnya kasar. Donghae lalu mendorongku hingga punggungku yang telanjang menyentuh dinding. Jantungku ingin melompat keluar ketika Donghae meletakkan kedua tangannya di sebelah tubuhku, bersandar pada dinding yang berada tepat di belakangku. Kami berdiri begitu dekat—nyaris rapat.
Astaga. Aku tidak bakal bisa menahan diri kalau ia menyerangku kali ini. Mana mungkin aku mampu mengucapkan penolakan apapun di bawah tatapannya yang meluluhkan hati. Belum lagi aromanya yang membuatku pusing. Rasanya seakan seluruh atom oksigen di tubuhku terlempar keluar dan berganti dengan aroma Donghae yang luar biasa menggoda. Tarikan napasku mulai kepayahan—terdengar terengah-engah karena ketakutan, namun di saat yang bersamaan ingin menjejalkan seluruh aroma tubuh Donghae di udara masuk ke dalam paru-paruku.
Aku menginginkannya, tetapi aku takut menghadapi kenyataannya.
“Miss Cardia, dengar. Aku tidak ingin kau berbohong. Jawab aku. Aku ingin kau menjawab semua pertanyaanku dengan jujur.”
Lidahku kelu. Mustahil bisa merespon apapun dengan bibirnya yang hanya berjarak beberapa senti dariku.
“Aku mau kau jujur. Atau kalau tidak, aku akan menciummu hingga kau memohon ampun padaku. Dengarkan aku, aku tidak sedang bercanda. Katakan sesuatu jika kau mengerti maksudku.” Katanya lagi. Matanya menyipit mengerikan.
Tubuhku memanas dengan cepat. Kata-katanya barusan menimbulkan gairah yang memercik di ujung kulitku. “Bagaimana—bagaimana jika aku sengaja berbohong?” tanyaku tanpa berpikir. Otakku yang idiot tampaknya sudah berhenti bekerja. Baru setelah aku menyelesaikannya, aku menyesal setengah mati. Karena pria itu tengah tersenyum geli di depanku. Wajah Lee Donghae yang tampan dan menggoda itu mengamatiku dengan tertarik.
Well, kau pasti sudah tahu apa konsekuensinya, Sekretarisku tersayang.” Senyumnya begitu indah, menampilkan giginya yang berderet rapi dan cemerlang.
Aku tersentak. Sadar akan maksudnya. Tentu saja itu berarti aku tidak akan bisa bekerja lagi dengannya.
“Nah, jawab aku. Kenapa kau bersikeras untuk pergi? Johny Verto bukanlah seseorang yang kau kenal secara pribadi. Aku tahu kau bahkan tidak menyukai ide seperti pesta atau apapun yang berkaitan dengan botol sampanye.”
“Kena—maksudku, dari mana anda bisa berasumsi seperti itu?” gagapku bodoh.
“Kau mengatakannya kemarin malam, ingat? Kau bilang kau benci pemabuk. Dan pada dasarnya kau adalah seseorang yang praktis—atau bisa kusebut sebagai pemalas—karena tidak pernah mau mengenakan make up apapun kalau terpaksa. Jadi, aku sengaja memberikan persyaratan seperti itu padamu. Aku tahu kau pasti benci memakai gaun ini, juga make up tebal di wajahmu. Tapi, aku tidak mengerti kenapa kau tetap mau memakainya.”
Aku menelan ludah. Perasaan gugup menggumpal di ujung tenggorokanku. “Aku—hanya—”
“Kau ingin menemuinya, bukan?”
Kedua mataku menatap Donghae separuh terkejut, tetapi pria itu memandangku dingin. Aku tahu siapa yang dibicarakannya.
“Bukan, Sir. Tidak seperti itu. Aku hanya ingin—mencari udara—maksudku, melihat dunia luar—”
“Miss Cardia.” Geramnya lagi. Aku bisa melihat kilatan di matanya dan tubuhku menciut. “Kau sudah mendengar peringatan yang kuberikan padamu. Kau juga sudah mengetahui kalau kesabaranku benar-benar sedikit. Jadi, apa kau berniat mengujiku? Kau ingin aku merobek gaun sialan ini dengan tanganku sendiri? Kau harus tahu kalau aku tidak akan berhenti meskipun kau menangis dan memohon padaku.”
“Baik! Baik! Aku mengaku!” teriakku putus asa. Di luar kesadaranku, tubuhku menggigil ketika membayangkan ancamannya. Aku tidak tahu apakah pria ini akan benar-benar bersikap seperti itu seandainya aku terus tutup mulut. Tapi, karena ia adalah Lee Donghae. Maka semuanya menjadi mungkin baginya.
“Aku juga tidak tahu apa yang kuharapkan tapi aku memang ingin melihatnya. Bukan melihatnya karena aku mencintainya—tentu tidak. Aku hanya ingin menunjukkan pada Johan kalau aku baik-baik saja. Kalau aku tidak terpengaruh oleh usahanya yang mengancamku. Aku ingin mengatakan padanya kalau aku lebih kuat darinya. Dan aku tidak lagi mencintainya. Semuanya telah berlalu.”
Napasku memburu saat aku menyelesaikan kalimatku. Sebersit luka merayap di hatiku ketika aku mengakui bahwa semuanya—semua yang pernah kurasakan saat bersama best man-ku telah berlalu. Tetapi sebagiannya lagi dipenuhi rasa jengkel karena aku benar-benar ingin unjuk diri di hadapannya. Aku tidak kepingin Johan mengira bahwa ia berhasil mengancamku atau bahkan menduga kalau aku ketakutan, meskipun faktanya aku masih menggigil setiap mengingat tatapannya saat sedang berusaha membunuhku.
Ada jeda lama sebelum aku berani melirik Donghae lagi. Bosku masih berdiri di depanku, mengurungku ke dinding dengan kedua lengannya di sisi tubuhku tetapi matanya menyelami kebenaran akan perkataanku.
“Kenapa kau tidak bilang dari awal?” suaranya menggema di kepalaku. Nafasnya yang beraroma mint segar memenuhi penciuman.
“Kalau aku mengatakannya, Anda tidak akan setuju. Anda pasti berpikir kalau tindakanku kelewat nekat. Lalu akan mengurungku dalam apartemen anda selamanya.”
“Memang benar aku tidak akan setuju. Tapi setidaknya aku bisa mempertimbangkannya. Ayo, kita tunjukkan padanya kalau kau ada.”
“Anda—maksudku, aku boleh ikut?” tanyaku tak percaya.
Donghae mengangguk singkat, tersenyum melihat ketidakpercayaanku. “Tapi pertama-tama, aku ingin kau mengganti pakaianmu. Cuci muka dan pastikan kau memakai make up natural. Itu kalau kau masih ingin pergi.”
“Aku mau.” Sambarku bersemangat. Donghae mengeryit mendengar antisipasi dalam suaraku. Ia memiringkan wajahnya.
“Apa itu berarti aku tidak punya kesempatan untuk bercinta denganmu?”
Aku tersedak. Wajahku langsung berubah merah padam. Terbakar oleh senyumnya serta wajahnya yang kelihatan polos. “Sir, aku harus—maaf, tapi—”
“Bagaimana kalau aku membantumu membuka kancing gaunnya saja?” godanya lagi. Aku mengerjap. Kehabisan kata-kata karena aku menyadari kalau ia tengah mengerjaiku. Lalu setelahnya Donghae tertawa keras. Guratan di sekeliling matanya membentuk garis indah. Matanya menyipit dalam satu tarikan lurus. Giginya yang berderet rapi itu begitu mengagumkan, hingga aku berusaha menyingkirkan pikiran sinting dalam kepalaku.
Ia mundur dengan wajah puas. Puas karena akhirnya wajahku bisa menyaingi tomat. Merah padam yang mendominasi hingga ke akar-akar rambutku.

***

Kupikir semuanya bakal berjalan lancar. Tapi tidak. Tidak mungkin malamku bisa berlalu dengan seperti yang kuharapkan jika aku menggandeng pria dengan ketampanan menyaingi malaikat.
Hingga saat ini aku masih tidak mengetahui pesta apa yang sebenarnya diadakan Johny Verto. Aku tidak sempat bertanya pada Donghae—sebenarnya aku juga tidak mengerti karena ia yang menyiapkan semuanya. Menghadiri pesta dengan dress code sama sekali belum pernah kuketahui sebelumnya. Aku Cuma bisa melakukan apa yang bosku perintahkan padaku. Ia menyodorkan sebuah gaun abu-abu cemerlang yang belakangan kuketahui kalau itu adalah gaun paling fashionable dari Alexander McQueen.
Gaunku mengundang banyak tatapan kagum, tentu—meski benar-benar jauh jika dibandingkan kehadiran Lee Donghae yang menarik seluruh pasang mata. Ekor gaun yang sedikit panjang terseret di belakangku, sementara bagian depannya lebih pendek, hingga menampilkan separuh betisku. Gaun ini menutup seluruh leherku, menyisakan potongan bagi kedua lenganku untuk terjulur keluar. Dan yang paling menyilaukan adalah detail pada bagian dada—permata-permata swarovski yang berkilat di bawah sinar lampu.
Donghae juga memberiku sebuah clutch bag Christian Dior berwarna perak, terlihat di hiasi glitter-glitter yang berpendar saat aku mengamitnya dalam lenganku. Dan—oh, Tuhan—sepatuku panjangnya lima belas senti! Haknya yang runcing membuatku harus berkonsentrasi penuh untuk tidak terjungkal dan terkapar di atas lantai dengan gaya mengenaskan. Tapi bosku sepertinya mengetahui kegelisahanku, karena ia dengan sukarela menarik pinggangku selama kami berjalan turun dari mobil.
Kami tiba di kediaman Johny Verto pukul tujuh. Chad mengantar kami persis ke depan pintu masuk rumah Johny dan berkata ia akan menunggu di dalam mobil. Aku menganga takjub melihat rumah mewah di depanku. Johny tinggal di sebuah rumah Federasi besar dan luas dengan halaman yang bisa membuatku memutuskan untuk memanggil klub sepak bola. Meskipun gaya bangunannya terlihat hampir mirip dengan beberapa rumah di sekitarnya, tapi sepertinya hanya rumah keluarga Verto-lah yang memiliki halaman paling luas, dengan kolam renang dan lapangan tenis pribadi.
Rumah Keluarga Verto tidak memiliki pagar dengan jeruji-jeruji tinggi, ia memelihara semak bunga rendah untuk memberikan batas pada sekeliling rumahnya—persis seperti rumah yang lain—serta membiarkan beberapa anjing penjaga berkeliaran sebagai ganti satu unit penjaga professional. Yang aku sukai dari tempat ini adalah karena kelihatannya Johny Verto senang dengan rumah yang asri—ditilik dari banyaknya pepohonan di sekitar rumah.
Pesta Johny sendiri tergolong mewah. Ia mengadakan pesta di sebuah hall dalam rumahnya yang besar dan terhubung langsung dengan kebunnya. Aku melihat deretan lukisan-lukisan mahal di sepanjang ruangan, ratusan pelayan yang hilir mudik menawarkan makanan dan minuman, serta para tamu undangan yang sudah memenuhi ruangan. Bisa kupastikan hampir seluruh tamu undangan mengenal satu sama lain, karena mereka bercakap-cakap layaknya teman lama.
Tapi percakapan mereka langsung terhenti saat Donghae dan aku muncul. Awalnya para wanita yang paling depan mematung begitu melihat wajah bosku, kemudian dalam hitungan detik, bisik-bisik menyebar begitu riuh, menjadikan ruangan berdengung bagai dipenuhi lebah pengumpul madu.
Donghae menikmati efek kemunculannya. Ia begitu percaya diri, melangkah dengan laju ringan dan angkuh. Seakan tak ada satupun di dunia ini yang mampu membuatnya menundukkan diri. Sementara aku? Dengan langkahku yang canggung dan kikuk di sebelahnya, wajahku tak pernah berhenti menatap lantai, menganggap diriku tak kasat mata dan menyesal setengah mati kenapa aku pernah ingin datang kemari.
Langkahku kikuk, mulai bergerak tak beraturan saat jari-jari Donghae berada di pinggulku. Wajahku memerah, merasa bodoh untuk membayangkan telapak tangannya yang menempel di tubuhku.
“Santailah, Miss Cardia,” bisik pria itu di telingaku. Aku ingin mengutuknya, karena saat ia melakukan itu, seluruh aromanya tumpah ke dalam penciumanku. Dan kulit wajahku yang idiot langsung berkilau merah.
Donghae berjalan melewati penonton yang tak henti-hentinya memandang kagum padanya, dan melempar pandangan membunuh padaku. Beberapa orang wanita terlihat menggigit bibir mereka kesal dan aku bersumpah aku mendengar bisikan para gadis yang ingin menghujaniku dengan koktail di tangan mereka.
“Oh! Lee Donghae! Youva Cardia! Akhirnya kalian datang—mari, mari, kuperkenalkan pada para tamuku.” Johny Verto mendatangi kami. Wajahnya berseri-seri dan aku bertanya-tanya apakah itu karena ia melihat kami atau karena segelas sampanye dalam genggamannya.
Aku mengangguk, tersenyum ramah pada beberapa orang di sekitar Johny. Donghae sendiri tampaknya sudah mengenal mereka, sebab bosku langsung berjabat tangan dan menggumamkan sapaan formal. Hanya aku yang tampaknya tak mengetahui apapun.
“Tuan-tuan, kalian pasti sudah mengenal Lee Donghae dengan baik, tentu. Siapa yang tak mengetahuinya,” Ia terkekeh dengan perkataannya sendiri. Tapi setelahnya Johny berpaling padaku. “Sementara gadis di sebelahnya ini adalah Youva Cardia. Dan, Youva, ini Canon Lambert, pengusaha pertambangan di Afrika. Sinichi Matsumoto, pemilik cabang Matsumoto Corporation di Los Angeles. Dan ini Riodez Gustavalo dari Italia, shareholders of AVEXX.” Suara Johny terdengar amat puas, seakan ia bangga bisa mengenal orang penting seperti mereka.
“Halo, Sir. Apa kabar?” kataku ramah. Tiba-tiba pria tua yang dipanggil Canon itu menjabat tanganku. Senyumnya sedikit aneh dan kusadari cengkeraman Donghae di pinggulku terasa lebih keras.
“Kau cantik sekali, Miss Cardia.” Kata Canon. Aku nyaris mengernyit melihat binar aneh di matanya. Garis-garis penuaan begitu jelas mengitari kelopak matanya dan—dan pria tua itu sedang mengedip padaku? Demi Tuhan.
“Dia bersamaku, Canon.” Ucapan Donghae yang sedikit tajam langsung menimbulkan kesunyian. Canon terlihat salah tingkah di bawah tatapan Donghae yang misterius. “Dan ngomong-ngomong, Johny, aku tidak sempat bertanya padamu mengenai alasan kau mengundang sekretarisku secara pribadi dan memperkenalkannya dengan tamu-tamumu yang penting.”
Wajah Johny masih ceria. Aku merasa bahwa pria itu memang sedang menunggu kalau ada seseorang yang menanyakan hal itu padanya. “Well, well, Aku harus jujur padamu, nak. Miss Cardia telah menarik perhatianku sejak aku bertemu dengannya.” Ungkap Johny berbinar dan aku menunduk malu. “Aku benar-benar ingin Youva bisa menjadi menantuku. Pasti menyenangkan kalau aku memiliki Youva sebagai anakku.”
Perkataan Johny menimbulkan sebuah gambaran mendadak padaku—seorang pemuda bertampang aneh dengan gigi berjejer tak rapi, ujung hidung merah dan mata berair. Aku bergidik ngeri. Billy Verto tak pernah menjadi seseorang yang kupertimbangkan bahkan dalam mimpi burukku.
Tapi seakan menganggap penjelasan Johny begitu menggelikan, Donghae tertawa keras. Membuat seluruh orang bertanya-tanya hal lucu apa yang telah mereka lewatkan. Termasuk aku.
“Maafkan aku, Johny, karena tampaknya aku harus mematahkan impianmu. Sayang sekali, Sekretarisku yang cantik tidak akan pernah menjadi menantumu. Dia istimewa—teramat istimewa hingga aku tak akan membiarkannya jatuh pada pria manapun. Apalagi Billy-mu.
Johny Verto memerah dalam sekejap. Tapi ia menguasai dirinya dengan baik. Keadaan berubah canggung selama beberapa saat. Begitu juga dengan tubuhku yang mengejang. Kurasakan Donghae menarikku semakin mendekat padanya. Aku tak berani menatap ke manapun selain pada lantai yang dilapisi karpet merah tua. Wajahku pasti sama merahnya dengan karpet itu.
“Bisakah aku berasumsi kalau kalian terlibat hubungan asmara?”
Donghae menyipitkan matanya sementara ia menahan senyuman. “Kau tahu aku tidak suka mengumbar kehidupan pribadiku, Johny.” Jawabnya penuh misteri.
 Kulihat Sinichi menyembunyikan senyum dengan berpura-pura meneguk sampanyenya. “Tapi kupikir kau tidak keberatan untuk mengekspos kehidupan asmaramu,” katanya separuh geli.
Bosku memindahkan tatapannya pada Sinichi. Merasa tak peduli dengan sindiran halusnya. “Itu karena mereka yang ingin mempublikasikannya, Sinichi. Tak pernah ada satu patah katapun dari mulutku, bukan?”
Para pria itu tergelak, mereka membuatku mereka ulang setiap pertanyaan dan jawaban Donghae di kepalaku. Aku sama sekali tak menangkap sesuatu yang bisa dijadikan lelucon untuk ditertawakan. Tapi Riodez, pria separuh baya asal Italia itu memberikan jawabannya padaku.
“Itu benar. Aku masih tidak mengerti kenapa wanita selalu ingin mengumumkan hubungan mereka pada seluruh dunia. Bersikap seakan mereka mendapatkan mainan baru untuk di pamerkan.”
Seluruh pria mengangguk menyetujui perkataan Riodez, sambil tertawa kecil. Kecuali bosku. Ia terlihat cukup tenang, tidak membiarkan emosinya terlempar keluar dan hanya menyunggingkan senyum miring.
“Aku bisa saja setuju dengan ucapanmu, Riodez. Tapi maafkan aku karena aku harus memberikan pengecualian.” Kata-katanya terdengar tenang dan percaya diri. “Gadisku malah tidak ingin hubungan kami tercium media.” Setelah mengatakan itu, ia menghirup rambutku perlahan sambil memandang mereka hingga memberikan efek menakjubkan.
Kulitku bergidik—merasa perbuatan Donghae barusan mempengaruhi kendali diriku yang memang telah mencapai titik terujung. Aku menggigit bibir, merasa malu dengan seluruh tatapan pria di depanku yang terpana oleh sikapnya sekaligus nyaris melayang bahagia saat ia mengatasnamakan diriku sebagai miliknya.
“Kalau begitu sepertinya aku tidak punya kesempatan,” gumam Johny Verto setelah berdeham canggung.
“Nah, maaf aku harus mengecewakan kalian, Tuan-tuan yang baik. Aku melihat Thomas baru saja tiba dan aku pikir aku harus menyapanya sebentar.” Donghae memberikan seulas senyum saat Johny mengangguk setuju.
“Tentu, nak. Silahkan. Dan nikmati pestanya.” Katanya bersungguh-sungguh lalu menjabat tangan kami sebelum pergi.
Kami beralih pada sekelompok (lagi-lagi) pria paruh baya dengan sampanye di tangan dan tertawa dengan pandangan curiga satu sama lain. Donghae mulai membuka obrolan. Senyumnya yang mematikan bahkan membuat para lelaki ikut tersenyum. Mereka tampak menikmati pembicaraan—menurutku kedengarannya malah seperti rapat dadakan—mengenai lonjakan saham, penurunan devisa perusahaan dan lain-lainnya.
Aku berkeriut di sebelah Donghae. Mulai merasa tak nyaman dengan obrolan mereka. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya mereka katakan—dan sama sekali tak ingin mengetahuinya. Dan benakku sibuk membentuk opini aneh bahwa semua pesta para pengusaha seharusnya hanya menyediakan sofa, laptop, cemilan dan laporan. Karena mereka pasti tak akan repot-repot untuk mengubah topik lain di luar perkembangan bisnis.
Tapi untuk sekilas aku merasa telah melihat seseorang yang kukenal.
Tempo napasku naik dalam sekejap. Mataku terpancang kuat pada satu titik yang berada di ujung ruangan—terlihat nyaris tak kasat mata, hanya bayangan samar yang anehnya langsung kukenali. Aku bisa membayangkan sepasang mata biru cerah yang sedang menatap ke arahku lekat-lekat, berdiri tak mencolok di tengah kerumunan orang yang saling mengobrol.
Debaran jantungku kian meningkat. Aku harus pergi.


***

“Kau mau ke mana?”
Wajah Donghae yang rupawan mendekat di telingaku. Tengkukku menggigil saat ia menyapukan napasnya di sana. Aku balas berbisik padanya.
“Aku ingin ke toilet. Tidak lama—hanya, anda pasti tahu, Sir, girl’s business.” Kataku beralasan.
Donghae menimbang selama beberapa detik. Namun ketika kutunjukkan padanya raut wajah memohon, ia tak punya pilihan selain membiarkanku pergi. “Jangan terlalu lama.” Katanya menegaskan ekspresinya yang tajam.
Aku mengangguk. Mencoba terlihat wajar—meskipun tanganku rasanya berkeringat karena antisipasi yang bergejolak di perutku. Aku tahu aku idiot. Bodoh. Sinting. Tolol. Dan juga gila. Aku mengerti dengan baik konsekuesi apa yang menungguku jika aku berani menemuinya. Tapi aku tak bisa menjelaskan mengapa kakiku terus saja bergerak menuju dirinya, mengikutinya dalam diam dan keremangan.
Langkahku nyaris ragu saat aku tiba di depan sebuah pintu di balik tirai di ujung hall. Aku menyentuh kenopnya yang terasa dingin di kulitku, mendorong pintunya perlahan—mencoba mengantisipasi apapun yang muncul dari baliknya. Tapi ruangan itu kosong. Hanya ada beberapa pigura—sebenarnya cukup banyak namun aku tak sempat memperhatikannya—dan separuhnya di tutupi tirai hitam yang menjulang hingga ke langit-langit.
Aku ingin berbalik dan segera keluar dari ruangan itu ketika kudengar suara dari balik tirai di depanku.
“Hei,” bayangan pria itu tiba-tiba muncul. Aku mendapati sepasang mata biru cerah itu perlahan keluar dari balik tirai, sesenyap dan sepelan perkataannya mengalir. “I’m glad you are alive.
Mataku melotot tak percaya. Aku mendengus padanya. Mencoba menahan emosi dan mengendalikan tanganku agar tak kelepasan untuk menghabisinya dengan hak sepatuku.
“Are you a freakin psychopath? Never expected you will say you are glad to see me alive.
But it’s true.” Katanya terdengar tulus. Aku memaki hatiku yang mudah goyah. “So you are alive.”
And that means you are really a psychopath.” Aku menggigit bibir, mencoba untuk tak terlalu memprovokasinya. Bagaimanapun aku tidak siap jika ia harus menembakku detik ini juga.
Are you mad with me?”
Aku melempar desisan mencela padanya. Mataku menyipit marah. “More than that. I HATE you, Johan. Oh, wait. No, no. I should call you ‘Jason’, right?
Mata Johan menatapku sejenak. Ia menyisipkan kedua tangannya di saku. Aku baru menyadari kalau pria di hadapanku itu mengenakan setelan hitam—celana panjang hitam, kaus lengan panjang dan sepatu yang juga berwarna sama. Ia seakan menyatu dengan tirai di belakangnya. Hanya nyala di mata Johan yang membuatku yakin kalau pria itu bukan patung.
You still love me.” Katanya singkat.
Senyum tipis mengukir di wajahku. “I used to love you. But it’s officially over when you tried to kill me with your damn sniper, Jason
That’s not what I intended to do, Youva.” Johan memberiku pandangan keras. Ia terlihat tak suka bagaimana aku membalas perkataannya. “And my name’s Johan.
“No, you are Jason Andersen.” Kataku tak kalah cepat. Alisku melengkung naik saat menambahkan perkataanku. “Son of Robert and Caroline Andersen. Or you want to tell me that you have twins?
Perkataanku menimbulkan kebisuan mendadak. Ruangan teramat hening, seakan terpisah jarak ribuan tahun cahaya dari ruangan di belakangku, yang penuh dengan hiruk pikuk dan dentingan garpu dengan pisau. Aku menahan pandanganku pada Johan, yang masih membungkam mulutnya sebelum akhirnya ia mengatakan sesuatu.
You don’t believe in me.” Katanya pelan. Suaranya terdengar begitu... terluka? Aku benci itu. Karena Johan tahu persis bagaimana caranya menggoyahkan tekadku dengan kekecewaan. “So, why do you believe him?
Aku tahu Johan sedang membicarakan Lee Donghae. Samar-samar otakku mencari jawaban atas  pertanyaan Johan. Dan kutemui dinding buntu di sana. Kenapa aku bisa mempercayainya?
“Aku mempercayai apa yang kulihat dan kuketahui, Johan.” Jawabku mantap. Nyala di kedua mata Johan tampak sedikit berkilau—ia sedang memikirkan sesuatu. “Dan aku tidak mempercayaimu. Tentu saja.”
Ekspresi Johan menguap. Ia sedikit kaget, tapi pria itu sangat ahli untuk menyingkirkan amarahnya. “Kau tidak boleh mempercayainya, Youva. Lee Donghae bukan seseorang seperti yang kau pikirkan. Dia berbahaya—”
You are the only one I have to be worried about.” Kataku tajam. Aku menelan ludah dengan gugup, berusaha untuk tidak kelihatan ketakutan di bawah tatapannya yang berubah keras. “Kau lah ancaman terbesarku.”
Johan terenyak. Ekspresinya menunjukkan kalau ia tak siap mendengar pengakuanku. “Kau tidak tahu apapun, Youva.”
“Aku tahu.” Sergahku keras kepala. “Kenyataannya cukup menyakitkan, memang. Tapi aku tidak bodoh, Johan. Aku tahu. Kau mencoba membunuhku, memerperalatku, dan ingin menculik ibuku—oh, kenyataan yang hebat, ya? Dan kau bilang kalau aku masih mencintaimu? Aku bukan psikopat sepertimu, Johan Stavilosky—atau Jason Andersen. Semuanya sudah berakhir.”
Alis Johan bertaut. Ada keraguan di wajahnya, namun ia berusaha tidak menunjukkannya. “Kau—Bukan, bukan itu maksudku, Youva. Kau tidak mengerti. Kau-lah yang sedang terancam bahaya—”
“Cukup. Tutup mulutmu—”
“—Lee Donghae berbahaya.  Kau harus mendengarkanku!” Katanya mulai kehilangan kesabaran. Aku menutup mulutku yang baru akan menyelanya. Wajah Johan merah padam. Tapi dengan cepat ia mengendalikan dirinya lagi. “Dengar. Kau tidak boleh mempercayainya. Lee Donghae menginginkan sesuatu darimu, Youva. Percayalah padaku. Kau tidak mengenalnya sebaik aku.”
“Setidaknya dia tidak menginginkan nyawaku.” Sambarku ketus. Sepasang bola mata Johan menatapku berubah-ubah. Selama sepersekian detik aku melihat kobaran amarah di sana, berpijar terang hingga membuatku sedikit gentar. Tapi setelahnya berganti menjadi kekhawatiran—tidak, itu Cuma perasaanku saja. Tak ada alasan bagi Johan untuk mengkhawatirkanku.
“Kalau aku menginginkanmu mati, sudah kulakukan jauh-jauh hari, Youva.” Nadanya tajam, menggores sisi kewarasanku saat aku menyadarai sebersit kekecewaan menghantui ucapannya.
“Beritahu aku kalau kau ingin membunuhku. Jadi aku bisa bersiap-siap.” Kataku lagi. Aku menatapnya jengkel, mencoba mengusahakan untuk memperpanjang hidupku sebagai ganti menutup mulutku yang tak bisa lagi terkoneksi dengan baik ke otakku.
Tapi tiba-tiba saja Johan melirik ke balik pundakku. Wajahnya berubah tegang. “Ada yang datang.” Bisiknya pelan sekali, hingga aku nyaris membaca gerakan di bibirnya. “Dengarkan aku, apapun yang terjadi, kau tidak boleh mempercayainya.”
“Aku memutuskan untuk mempercayai siapa yang bisa kupercaya. Tak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Dan sama sekali tak ada alasan bagiku untuk mempercayai perkataanmu.”
Johan menatapku sedetik. “Kau percaya padaku.” Katanya yakin. “Karena kau mengikutiku. Aku tahu kau mempercayaiku.”
Aku memandangnya berang. Gigiku berkeretak saat aku membalasnya. “Itu karena aku ingin tahu kenapa kau mencoba membunuhku saat itu? Apa yang membuatmu melakukan semua ini padaku?!”
Ia tak segera menjawab, namun lagi-lagi memandang ke arah pintu di belakangku. Aku tahu aku tidak menutup pintu itu dengan rapat.
“Kau tidak akan melihatku untuk beberapa lama, Youva.” Katanya nyaris tak terdengar. Menolak menjawab pertanyaan penting dariku. “But I’ll take care of you.. Berhati-hatilah, Youva.. Jaga dirimu.”
Johan mundur, menghilang kembali ke dalam lekukan tirai hitam dalam perlahan. Aku masih bisa melihat sepasang titik biru cerah yang bergabung bersama kegelapan. Tatapan Johan terasa seakan menembus kulitku, membuat sebuah celah baru dari hatiku yang telah kututup rapat-rapat. Tanganku menggapai ke arahnya, dan dengan tanpa persetujuan dari otakku yang melarang keras, kakiku bergerak maju mengejar Johan.
Kusibakkan tirai itu dengan tangan gemetaran. Namun yang kutemukan hanyalah bingkai jendela yang terbuka lebar, mengirimkan hembusan angin malam yang seketika membuat tengkukku meremang. Persis ketika itu, seseorang telah berdiri di belakangku. Aku tahu siapa ia.
“Ada apa?” tanyanya terdengar penuh kontrol sekaligus waspada.
Aku menatap jendela itu dengan nanar. “Tidak ada,” dustaku lancar.
Donghae memutar tubuhku dengan satu gerakan mudah. Sepasang bola matanya yang berwarna cokelat itu terlihat sedang mencari kebenaran dari kebohonganku. Tentu saja ia akan segera tahu. Karena ia bosku. Dan ia bisa mengasumsikan apapun yang ia inginkan.
“Kau berbohong. Aku tidak mentolerir yang satu itu, Miss Cardia.” Katanya sedikit jengkel. “Katakan ada apa.” Perintahnya tegas.
Aku menggigit bibir—merasa ingin melakukannya karena aku ketakutan, bukan karena ingin menyiksanya. “Ibuku.” Jawabku berbisik. Aku tahu aku boleh memberinya penjelasan lengkap. Dan satu-satunya cara untuk menyembunyikan kebohonganku adalah membiarkan emosiku mengalir.
“Ada apa dengan Diana?”
“Ibu benci berada di sini.” Kataku bergetar. “Dan aku—aku masih tidak bisa mengerti, maksudku, kenapa semua ini harus terjadi? Aku benar-benar ingin menganggap semua ini hanya mimpi.”
Donghae menatapku lama. Aku mendengar tarikan napasnya yang teratur. Tetapi manik matanya kemudian berubah lesu. “Dan kau juga ingin menganggapku Cuma mimpi?”
Aku tak menjawabnya. Tak bisa. Rasanya tak tertanggungkan. Lee Donghae terdengar begitu kecewa dan aku tak tahu apa yang salah sampai akhirnya ia menjelaskan padaku.
“Beritahu aku, Youva.” Pintanya terdengar frustasi. “Bagaimana—Oh, demi Tuhan—bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan hatimu?”
Kali ini lidahku rasanya tak lagi bisa di gerakkan. Otakku yang murni idiot ini hanya mampu membisu. Bersama kami menghadapi kejengkelan pria itu, yang jelas-jelas sangat tidak mungkin untuk kuraih namun ia malah ingin meraihku. Mustahil.
“Kau berbeda—entahlah. Aku tak pernah bertemu seseorang sepertimu, Youva. Beritahu aku, apa yang harus kulakukan?” Wajah Donghae terlihat gusar. Ia mengalihkan pandangannya dariku lalu menyapukan rambutnya dengan jari-jarinya.
Apakah—oke, aku tahu aku kelewat percaya diri, tapi—apakah ini seperti sebuah pernyataan cinta?
“Anda—” Suaraku terdengar parau. Jadi aku mengulangnya lagi setelah berdeham satu kali. “Aku harus mengenal anda, Sir. Aku tidak akan jatuh cinta dengan seseorang yang tidak ku kenal.” Berkebalikan dengan isi kepalaku yang kacau, suaraku terdengar cukup tenang dan kuat.
Donghae memberiku tatapannya lagi. Ia memandangku—dalam dan begitu lugas. Jauh dari kepura-puraan dan sifat tukang perintahnya. Matanya memancarkan seribu arti yang tak bisa kupahami dengan baik. Membuatku lumpuh, segera jatuh dalam perangkapnya yang sempurna.
Lee Donghae memang sempurna.
“Benar.” Katanya kemudian, setelah puas membuatku gugup setengah mati. “Kau harus mengenalku.”
Kemudian ia menarikku keluar. Kurasakan telapak tangannya yang hangat seakan memberiku kejutan listrik. Ia sedikit tergesa-gesa. Melewati gadis-gadis yang terpana dengan tak acuh—bahkan tidak mengindahkan sapaan dari beberapa orang pengusaha. Ia menarikku, membuatku nyaris jatuh seandainya aku tak berkonsentrasi penuh pada hamparan karpet merah di bawahku.
“Marven,” panggilnya. Aku menengadah, menemukan sosok Marven yang baru saja berbalik pada kami.
Senyum Marven terukir penuh di wajahnya. Ia menaikkan alisnya padaku, lalu dengan segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar—menyambutku ramah.
“Aku senang kau baik-baik saja, Youva.” Marven memelukku sedikit erat. Aku tersenyum dan menggumamkan terima kasih.
“Bisakah kau menemaninya sebentar?” Tanya Donghae, menginterupsi pelukan singkat kami.
Bersama, aku dan Marven menatapnya bingung. “Kau mau ke mana?”
Donghae memberinya tatapan penuh arti namun tak memberikan jawaban apapaun. Dan untuk sejenak aku merasa takut kalau Donghae menyadari pertemuanku dengan Johan tadi. Aku berusaha terlihat sama bingungnya dengan Marven. Tapi bosku bahkan tidak melikku sama sekali. Ia langsung pergi begitu Marven mengangguk kecil.
Marven menawariku segelas sampanye dan aku segera menolak dengan menyesal. Ia tertawa mendengar alasanku saat kukatakan padanya kalau aku sama sekali tidak diizinkan untuk mabuk oleh Ibuku. Marven lalu bercanda kalau aku bisa menjadi istri yang baik karena aku tak akan pernah mabuk.
“Tapi aku pernah mencoba wine.” Ungkapku mengangkat bahu. “Mr. Lee menawariku segelas winenya kira-kira seminggu yang lalu. Untungnya aku tidak benar-benar kolaps.”
Marven tersenyum lagi, tapi matanya berkilat penasaran. “Jadi dia pernah menawarimu minum dan kemudian melepaskanmu begitu saja?”
Keningku berkerut bingung, tapi aku berusaha menahan rasa penasaranku dengan sopan. “Sebenarnya, ya, Marven. Walaupun harus kukatakan aku tidak mengerti maksudmu.”
“Donghae.. kupikir dia sedikit berubah.” Ujar Marven mengedip padaku. Aku membalasnya dengan tatapan bingung. “Akan sangat menyenangkan melihatnya berubah meski aku tidak tahu pasti apa yang ada di kepalanya. Tapi aku tak pernah salah menilai seseorang sebelumnya, Youva. Aku tahu kau memiliki potensi besar.”
Wajahku menghangat dengan cepat. Aku tak tahu harus menanggapinya seperti apa. “Aku tidak seistimewa itu, Marven.” Bisikku lirih kendati wajahku memerah.
Marven tersenyum hingga matanya nyaris menyipit. “Kau tidak tahu kalau orang-orang menginginkanmu, Youva. Termasuk Donghae.”
Sentakan di perutku membuatku kesusahan bernapas. Tampaknya ada ratusan kupu-kupu yang berdesing di rongga dadaku. Aku mengalihkan pandanganku pada lantai, berharap wajahku tak terlalu jelas terbaca.
“Tidak mungkin.” Biskku lagi. “Pasti salah. Kau salah, Marven. Mr. Lee tidak menginginkanku seperti itu.”
Marven mengangkat daguku. “Dia menginginkanmu, sayangku. Tidakkah kau melihat di matanya? Caranya berbicara padamu? Saat dia menjagamu? Oh, tentu saja kau tidak sadar saat dia terus duduk mengawasimu sepanjang hari ketika kau tak kunjung bangun. Dan, kuberi kau satu rahasia penting—” pria itu menarik napasnya sejenak, sementara aku menanti tak berkedip. “—alasan mengapa dia tidak suka kau menggigit bibirmu. Itu membuatnya frustasi. Kau tahu kenapa?”
Aku menggeleng cepat-cepat. Seluruh partikel di tubuhku menunggu dengan tegang. Jantungku berdentam kasar di dalam sana, hendak kabur ke langit malam saat Marven memberiku senyuman nakalnya.
“Maafkan aku, karena meskipun ini bersifat pribadi, tapi aku ingin tahu, apakah kalian pernah berciuman sebelumnya?”
Wajahku memanas. Rasanya kilasan ciuman Lee Donghae berkelebat tanpa jeda di kepalaku. Menggilasku tanpa ampun. “Satu kali..” jawabku menggumam malu.
“Kalau begitu dia telah tiga kali menciummu. Aku melihatnya sendiri.” Kata Marven saat aku memandangnya tak percaya. “Dan itu menjelaskan banyak hal. Salah satunya adalah kalau dia menahan perasaannya padamu.”
Tiga kali? Enggak. Mustahil. Tidak MUNGKIN!
“Kapan—” suaraku bergetar, pecah karena debaran jantungku yang menggila. Tiga kali ia mendaratkan bibirnya padaku? Ya Tuhan.
“Ketika kau sakit, tentu saja.” Jawab Marven santai, seakan kami sedang membicarakan cuaca malam ini. “Kau menggumam terus dalam tidurmu. Terlihat sangat kesakitan dan—kupikir dia juga ikut menderita karena keadaanmu.”
Aku membeku tak percaya. Otakku mencoba memberikan penjelasan-penjelasan yang masuk akal, namun semuanya segera menguap. Berganti dengan serangan ingatan di mana ia menyapukan bibirnya padaku.
“Tidak biasa bagi Donghae untuk menahan perasaannya terhadap wanita, kau pasti mengetahuinya juga. Dan itulah alasan kenapa aku senang melihatnya sedikit berubah, juga kenapa dia tidak suka kau menggigit bibirmu. Dia menginginkanmu, Youva.”
“Bagaimana kau bisa tahu? Apakah dia mengatakannya secara langsung?”
Marven memandangku sejenak. “Kami bercerita beberapa hal, tapi tidak semuanya. Aku hidup dengan naluriku, Youva. Aku bisa tahu kapan seseorang berubah, serta apa yang menjadi penyebabnya. Dan aku selalu benar. Kau mau buktinya? Lihat di sana.”
Ia menunjuk ke belakangku, membuatku menoleh pada arah yang ia maksud dan nyaris terperangah.
Lee Donghae telah duduk di depan sebuah grand piano putih di ujung ruangan. Ada semacam panggung di sana yang tadinya memainkan beberapa musik klasik, tapi kini tak kulihat lagi seorangpun di sana selain Lee Donghae.
 Seluruh orang di sekitarnya menjauh, memberi jarak baginya untuk memulai permainan. Tapi pria itu menatapku lama, seakan memberikan kepastian kalau ia ingin aku mendengarnya. Bisik-bisik penuh semangat menjalar di seantero ruangan, hingga sedikit riuh.
Sebuah nada.. indah. Berdenting dengan merdu. Membuatku menahan napas saat ia berulang kali menatapku penuh arti. Aku tak mengenal nada yang mengalir dari jari-jarinya yang panjang, tapi aku bisa merasakan lukanya yang dalam. Hanya satu menit dan permainannya berakhir.
Penonton memberinya applause dengan meriah—dan para wanitanya bertepuk tangan kelewat semangat karena mereka melonjak-lonjak—tapi Lee Donghae menaikkan tangannya ke atas, memberi isyarat agar mereka menghentikan apresiasi mereka.
Lagi, Lee Donghae menatapku. Ia tersenyum sedikit—di ujung bibirnya, menciptakan ledakan emosi di setiap inci tubuhku. Dan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya tiba-tiba saja terjadi. Pria itu menekan tuts piano tanpa cela, lalu bibirnya membuka, mengalunkan bait demi bait lagu yang bergaung tanpa henti di kepalaku. 

Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more
Wait on me,
Come a little closer
Wanna be the one to explore
A little trouble never hurt nobody
Oh I wanna feel your body
Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more


Take it, take it I'll give my heart to you for free girl
don't you break it, break it along with every piece of me,
I'll go the distance but not all of the way
Say what you mean to me and mean what you say,
I never wanna be your ex-man I'll never make you feel ignored
You can go and find your next man but I know what you're waiting for


Aku pernah mendengar lagu ini—tentu saja siapapun pernah mendengarnya. Lagu aslinya bertempo lebih cepat, namun Donghae mengubah beberapa nada, menggantinya dengan versi sederhana dan sangat indah. Tapi bukan itu yang menjadi penilaianku saat ini. Melainkan liriknya. Tubuhku terasa terbakar. Dengan matanya yang menatapku intens, aku nyaris tak bisa bernapas. Membeku dalam hasrat Lee Donghae yang memerangkapku hidup-hidup.


Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more
Wait on me
Come a little closer
Wanna be the one to explore
A little trouble never hurt nobody
Oh I wanna feel your body
Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more, some more, some more

Oh, say it, say it I know there's something on your mind girl
And I hate it, hate it when you just act like you're okay
 I wanna be the one to know what you need
 I'll listen to your heart I know how it speaks
 I never wanna be your ex-man I'll never make you feel ignored
You can go and find your next man but I know what you're waiting for

Suara Lee Donghae membius ratusan pasang mata. Begitu memukau. Indah. Dan tak terbalaskan. Ia mengalahkan penyanyi aslinya, membuat mereka seakan Cuma memperagakan lagu itu untuk dibawakan oleh pria ini. Sebab Lee Donghae seakan menguasai lagu ini dengan seluruh jiwanya. Ia bernyanyi, menekan tuts piano dengan lihai dan terus menatap padaku.

Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more
Wait on me
Come a little closer
Wanna be the one to explore
A little trouble never hurt nobody
Oh I wanna feel your body
Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more, some more, some more

I wanna love you some more
Come closer, you know yeah, don't feel like before
I'll give you what you want, so you wanted more
In your head, in your heart like never before
If a good thing is what you're waiting for
Then don't you look no more

Donghae memberi jeda. Setelah tadi memberikan improvisasi pada beberapa nada, kini Ia menekan tuts-nya perlahan, memperdengarkan melodi yang tajam, berkarakter namun ringkih—karena rasanya emosi menguasaiku secara berkala. Dan dengan satu hentakan, ia menaikkan tempo. Ketukannya lebih keras, seakan ia menumpahkan seluruh perasaannya dalam lagu itu.

Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more
Wait on me
Come a little closer
Wanna be the one to explore
A little trouble never hurt nobody
Oh I wanna feel your body
Wait on me, I know how to love you
And I wanna love you some more, some more, some more

Lee Donghae benar-benar tak bisa kusebut manusia sekarang. Ia terlalu sempurna.
Ia masih menatapku, di tengah standing applause yang meriah dan di antara pekikan penuh semangat dari para wanita. Ia menatapku persis di mata. Menyiksaku dengan degupan jantungku yang semakin tak terkendali. Kalau ia bermaksud ingin membuatku mati berdiri, ia bisa mewujudkannya. Tapi pria itu mendadak bagun, berjalan dengan langkah pelan ke arahku.
Kerumunan orang secara otomatis memberikan jalan untuknya dan rasanya dunia bergerak dalam dimensi yang teramat berbeda. Aku masih menyadari kehadiran Marven di sebelahku, dengan tangannya yang menggenggam segelas sampanye. Tapi aku tak bisa melihatnya. Aku mendengar bisikan menjalar ke seluruh ruangan, namun semuanya teredam tanpa sebab. Dengan cepat melumpuhkan seluruh indraku saat pria itu melangkah dengan pasti menuju tubuhku yang mematung sempurna.
Hanya jantungku yang bergerak. Tak ada yang lainnya.
Lee Donghae berhenti di depanku. Senyumnya menyusul beberapa detik kemudian. Kurasakan lonjakan hasratku mengamuk bersama batinku. Betapa aku ingin menyentuhnya!
Sepasang mata Donghae menatapku dalam, mengirimku langsung ke sebuah negeri antah berantah yang tak kuketahui. Ia lalu mencondongkan wajahnya mendekat—terlalu dekat! Wajahku memanas, dan aku bisa merasakan panas tubuhku sendiri.
Wait on me,” bisiknya merdu. Napasku tertahan. Jutaan kupu-kupu yang tiba-tiba berlipat ganda memenuhi tenggorokanku. Menari-nari di dasar perut dengan penuh semangat. “Because I know how to love you..
Kata-katanya berdengung di dalam sanubariku, tak akan bisa kabur kemanapun lagi. Aku tahu aku sudah kalah. Tapi salah satu sudut di relung hatiku mendadak terbangun, meneriakkan kembali peringatan-peringatan yang diberikan Ayahku—diberikan Johan beberapa saat yang lalu. Dan seakan menolak semua omong kosong itu, pikiranku menutup diri. Tidak membiarkan apapun menginterupsi kekagumanku pada pria di depanku saat ini.
Aku mengangguk tanpa sadar, telah terperangkap dalam tatapannya yang menguasai, tak mampu beranjak ke manapun. Aku telah terkunci rapat di dalamnya.
Donghae menarik jemariku dalam genggamannya. Ia tersenyum sedikit—tapi tak sampai menyentuh matanya—dan kembali berbisik menggoda, hingga aku harus memperingatkan jantungku untuk memelankan detaknya sebelum seluruh orang bisa mendengarkan.
A little trouble never hurt nobody. And I wanna feel you body..”
Semuanya mengabur. Termasuk pikiranku. Aku tak bisa mendengar, melihat atau merasakan sekelilingku sekarang. Yang kutahu hanyalah jemari Donghae yang menarikku padanya. Membawaku menjauh dari alam nyata.
Aku tenggelam dalam pesonanya.

***

Copyright © 2014 RIXTON – Wait On Me. Interscope Records – U.K.

4 komentar:

  1. Bagus.. kata kata enggak sebaiknya diubah menjadi tidak

    BalasHapus
  2. Wahh.. Donghae uda mulai tertarik ya sama Youva gilaa bkin melting :3
    Oh ya, maaf ya eon coment di chap 6 stop langsung terbang ke chap 10 :3
    Chap lanjutannya bsa bca dimna ya eon? :3 keep writing yaa fightingg

    BalasHapus
  3. bagus eon..!, aku suka banget sama karakter donghae disini. bikin mabok. hehehe. keep writting eon..!

    BalasHapus