TITLE :
SCARLET [10]
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
NOTE:
Halo!
Sebelum
kalian mulai baca chapter ini, aku sarankan kalian download dua lagu di bawah
ini. Keduanya berhubungan sama cerita di chapter ini dan aku (amat sangat)
menyarankan kalian dengerin salah satunya selama membaca.
Trust me, It works a
lot! :)
Aoirin_Sora
Summary:
Ada yang berubah.
Senyumnya yang dulu terasa hangat kini telah
menepi di sudut pikiranku. Berhenti bergerak menguasai hidupku dan mengubahnya kaku.
Aku tahu hatiku tak pernah menipu. Tapi dengan semua fase yang kulewati, aku
tak mungkin bisa tidak patah hati. Ini mungkin cinta. Tapi keseluruhan intinya
telah bergeser, membentuk posisi baru pada otakku yang berteriak putus asa. Ini
mungkin kerinduan. Atau mungkin cuma kekaguman. Tapi seakan menghilang ditelan
kabut kekecewaan, perasaanku bergerak membentuk sebuah perasaan baru, yang
hingga kini tak bisa kujelaskan dengan baik.
Apakah cinta atau kebencian yang membuatku
terus memandangingnya?
***
CHAPTER
TEN: DEJA SENTI
Pernah lihat seorang malaikat dengan
rambut yang menetesi air dan jubah mandi panjang yang menggantung di mata
kakinya? Tidak? Aku juga begitu. Sampai beberapa detik yang lalu. Ketika Lee
Donghae muncul dari pintu kamarnya dan mengenakan setelan mandi dengan rambut
basah dan lembab.
Aku menghirup oksigen selama dan sebanyak
yang kubisa. Sebelum pria itu dengan lancang mematahkan kontrol otakku untuk
bernapas. Ia melirik ke arahku satu kali, berusaha tak ambil pusing dengan
tatapanku yang mengernyit padanya. Oke, aku juga tidak sadar kalau aku mengernyit.
Tapi dengan penampilannya pagi ini, ia bisa membuatku harus di rawat lagi.
Sebelumnya aku tak pernah melihat Lee
Donghae berpenampilan sangat menggoda—atau
sensual, keduanya sama saja—sebab ia selalu menggunakan kamar mandi di kamarnya
dan keluar dengan kaus putih dan celana panjang. Tapi kali ini Lee Donghae
bagai memberiku uji coba dengan
memamerkan keseksiannya. Rambutnya yang meneteskan air seolah layu, turun pada
keningnya yang indah. Pemandangan dadanya sedikit mengintip dari celah setelan
mandi putih cemerlang yang ia kenakan. Aku memiliki kendali yang lemah atas pesona
pria ini. Dan ia tidak segan-segan menggilas habis seluruh pertahanan diriku
sekarang.
Donghae keluar kamar dengan bertelanjang
kaki. Telapak kakinya bahkan begitu indah, berubah warna menjadi merah muda
saat ia melangkah di atas lantai. Ia membuat lantai dingin dan keras menjadi red carpet yang layak mendapatkan
perhatian penuh. Dengan santai Donghae menuju konter dapur, mengambil segelas
air mineral dan meneguknya dengan mata terpaku padaku. Alisnya melengkung naik,
seakan bertanya apa yang salah.
Buru-buru aku menunduk dan merutuki
wajahku yang langsung merah padam. Tentu saja Donghae menyadari perbuatanku,
karena suaranya terdengar separuh geli. “Kau bangun pagi sekali, Miss Cardia.” Katanya
jelas-jelas menggodaku.
Aku berdeham. Mencoba mendapatkan akses
verbalku saat menjawabnya. “Aku tidak bisa tidur, Sir.”
Donghae bersedekap. Ia bersandar pada tepi
konter meja dengan wajah berkilat penasaran. “Kau mencemaskan sesuatu lagi?”
“Sebenarnya cukup banyak,” ralatku dalam
bisikan. Aku tak berani menatapnya langsung, dan memutuskan kalau memandang
meja di depanku lebih aman dari pada menemukan sepasang matanya berbinar
padaku.
“Apakah beberapa di antaranya tentang
Jason Andersen?” tanyanya. Suaranya sedikit pecah, terdengar bahwa ia membenci
perkataannya sendiri.
Aku menggigit bibir dalam diam, tahu
kebisuanku bakal memberinya jawaban ‘ya.’
“Kau bilang kau tidak mencintainya lagi.” Itu
bukan tanggapan atau pernyataan. Bagiku Donghae terdengar seperti sedang
protes. Ia menahan diri untuk tidak menjadikannya seperti perintah—walau tentu
saja, gagal.
“Tidak seperti itu. Maksudku—aku hanya, well, entahlah, Sir. Aku tidak bisa menjelaskannya.
Aku tidak berharap aku masih mencintainya—tapi, tetap saja aku memikirkan
Johan. Tidak hanya tentang percintaan—maksudku—” Aku meracau. Pikiranku sudah
berteriak di kepalaku untuk segera tutup mulut. Tapi aku tidak bisa
melakukannya karena dengan Lee Donghae yang menuju ke arahku, jantungku sudah
menciut dan mulutku komat-kamit tanpa ampun.
“Pandang aku, Miss Cardia.” Perintahnya tegas.
Nada suaranya tak bisa di bantah dan aku memindahkan pandanganku padanya. Amat
lambat—karena aku berusaha untuk menyelamatkan harga diriku yang berlubang dengan
menampilkan wajah datar.
“Kau masih mencintainya? Ya atau tidak?” Kalimat
Donghae menyentuh sisi terdalam dari jiwaku, seakan sedang mencoba menarik alam
bawah sadarku yang terkubur begitu jauh. Suaranya keras, dan meski aku berupaya
menepisnya, ia juga terdengar merdu.
“Tidak.” Jawabku menahan napas. Itu bukan
jawaban yang keluar dari pikiranku, atau alasan-alasan yang sebenarnya ingin kuyakini.
Tapi memang itulah yang sedang kurasakan sekarang. Johan menjadi begitu jauh—tenggelam
dalam kotak pandoraku yang sudah rusak—di bawah tatapan Donghae yang mengulitiku.
“Bagus.” Ujarnya lagi. Kilatan di matanya berkata
bahwa ia puas dengan jawabanku. Pria itu lalu berlalu kembali ke kamarnya, meninggalkanku
yang menatapnya terperangah.
Bagus,
kau tidak mencintainya lagi, atau, Bagus,
kau akhirnya menyerah mencintainya?
Aku tidak bisa mendapatkan jawaban dari
pertanyaan sinting di kepalaku meskipun aku berdiam diri di ruang tengah selama
setengah jam ke depan. Saat itu Donghae keluar dari kamarnya dengan mengenakan setelan
olahraga—celana training hitam dengan jaket berwarna senada.
Ia melenggang masuk ke ruangan di ujung kanan,
persis di samping dapur. Aku pernah masuk ke sana, dan menemukan satu set
peralatan gym memenuhi ruang. Beberapa di antaranya kuketahui seperti Treadmill, yang berada di sebelah kiri, bersisian
dengan alat pull up. Hampir semua
alat-alat itu tampaknya rutin ia gunakan, meski aku tak pernah melihatnya
langsung.
Dan sepuluh menit setelah Donghae mulai berolahraga
pagi, Chad muncul, ketika aku ingin mandi.
“Oh, hai. Selamat pagi.” Sapanya riang—seperti
biasa. Aku tersenyum padanya sebagai balasan. Chad memberiku tas plastik yang
berisi sekotak sereal.
Saat aku menaikkan alisku tinggi, ia memberiku
jawaban. “Mr. Carlos yang menyuruhku mengantarnya padamu,” katanya nyengir lalu
menatap ke arah pintu. “Sebenarnya masih ada beberapa hal lagi, tapi aku harus
tanya bos dulu.”
Aku mengangguk dengan wajah sedikit tak
setuju. Bahkan hak-hak pribadi seperti menerima hadiah dari Ayahku sendiri
harus di filter. Tapi aku tak bisa
menyalahkan sikap mereka yang dua kali lebih berhati-hati. Kupikir ini adalah
salah satu bentuk pengawasan yang mereka kerahkan padaku.
Chad pergi ke ruang gym dan baru kembali satu jam kemudian bersama Donghae. Saat itu
aku telah berpakaian rapi dan bersih. Aku duduk dengan tegang di atas sofa, menggenggam
ponselku yang baru ketika Donghae menatapku dengan sebotol air di tangannya.
“Kuasumsikan kau sudah mendengar kalau Arthur
mengirimimu beberapa barang?” katanya dengan nada bertanya di akhir kalimat.
Ketika aku mengangguk sebagai jawaban,
Donghae menggeleng. Ia menghela napas. “Maaf, tapi aku harus mengembalikan
semua itu padanya.”
Tubuhku memberikan reaksi spontan, jauh
melebihi reaksi normalku. “Kenapa?” Aku tidak mengerti ada yang salah.
“Karena,” katanya enggan. “Jason Andersen sedang
mengamatimu, Youva. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya begitu tertarik
mengamatimu. Tapi seorang informanku mengatakan kalau dia terlihat tidak jauh
dari sini kemarin sore.”
Perutku mengejang aneh. Membayangkan Johan
dengan mata birunya, wajah rupawan—yang kini hanya menyisakan kekejaman, berdiri
menatap gedung ini dengan pandangan curiga. Rasa mendambaku yang nyaris tersisa
satu tetes tiba-tiba buyar. Tubuhku menggigil. Tapi kebingungan mengambil alih pikiranku
yang sedang tercabik pada dua hal; merindukannya atau membencinya.
“Jadi, karena aku tidak ingin menambah
kecurigaannya, aku akan mengembalikan semua barang-barang pemberian Arthur. Kau
boleh menyimpan ponselnya, tapi yang lain—well,
maafkan aku, aku tidak punya pilihan untuk sementara ini.”
Donghae menatapku tepat di mata. Menunggu
reaksiku. Atau menungguku kembali ke alam nyata karena aku sedang tersesat
dalam pikiranku sendiri. Tanganku yang berkeringat segera membasahi layar
ponsel dalam sekejap.
“Baiklah,” kataku akhirnya. Aku masih
menolak memandang Donghae dengan memindahkan tatapanku pada Chad yang terlihat
bersimpati.
“Bagaimana dengan tambahan uang di
rekeningnya?” tanya Chad tiba-tiba, beralih pada Donghae.
Oh, aku
mendapatkan uang tambahan?
“Bekukan.” Jawab Donghae cepat, tidak
mengindahkan ekspresi terkejutku. “Kita akan buka dua rekening baru. Dengan
nama Youva dan atas nama lain. Aku tidak ingin timbul kecurigaan apapun.”
“Baik, Sir.” Sahut Chad. Ia mengambil
ponselnya dan langsung menghubungi seseorang dengan suara rendah.
Donghae duduk di seberangku. Ia meneguk
botol airnya perlahan. Kepalanya mendongak, menatap ke langit Los Angeles yang
terhampar di balkon. Aku mengamati pria itu secara sembunyi-sembunyi. Lehernya
yang putih terlihat kokoh dan mengagumkan—Adam’s
Apple-nya bergerak naik-turun saat ia menenggak air. Menciptakan bunyi
degukan pelan yang entah kenapa membuatku kehilangan konsentrasi.
“Apa Arthur sudah menghubungimu?” tanya
Donghae tiba-tiba. Dan aku tak sempat membuang muka untuk menghindari
tatapannya yang menangkapku dengan senyuman berpuas diri.
Aku mengangguk, berdeham. “Kemarin malam.
Ayahku menelponku untuk menanyakan apakah kondisiku sudah membaik.” Chad kemudian
bergabung duduk di sofa sebelahku. “Dan aku juga sudah menelpon Ibuku, Sir.
Jika anda ingin tahu,” kataku lagi.
“Apa Diana baik-baik saja?”
“Ya,” jawabku merasa lega. “Ibuku cemas—tentu
saja—dan juga takut saat beberapa orang muncul dan membawanya paksa. Tapi, sepertinya
Ibu baik-baik saja. Karena Ibu mengeluh padaku kalau ia tidak suka berada di jauh
dari rumah. Katanya Bahasa Inggris sangat susah dan Ibu benci harus membawa
kamus untuk membeli sebutir telur.”
Mata Donghae menyipit sedikit saat ia
tersenyum mendengar perkataanku. “Apa yang terjadi padanya? Bukankah Diana
menguasai bahasa Inggris?”
“Tidak, tidak,” sanggahku cepat. “Bukan
menguasai, Sir. Ibuku Cuma ‘mengerti’ beberapa kalimat saja sekarang. Aku bisa
membayangkan saat Ibu pergi ke pasar dan bertanya pada penjualnya apa ia bisa
mendapatkan satu kardus telur dan penjaga toko akan balik bertanya, apakah Ibu
akan membeli telur segar, atau ingin membeli telur yang sudah lama dengan
diskon lima puluh persen. Pasti makan waktu seharian sampai Ibu bisa mengerti
seluruh ucapannya.”
Donghae tertawa kecil, begitu juga dengan
Chad. Mereka tampak rileks untuk sejenak. Kulirik Donghae dengan sedikit takut.
Sebenarnya aku takut kalau wajahku bakal memerah lagi. Karena sejak ia
menggodaku dua hari yang lalu di area parkiran, aku tak bisa bertahan menatapnya
lebih dari tiga detik.
Tapi karena suasana hati Donghae tampaknya
berubah positif, aku memberanikan diri untuk memulai percakapan serius.
“Sir, bisakah aku mendiskusikan beberapa
hal dengan Anda?”
“Tentu.”
Aku menarik napas, berusaha menampilkan
seulas senyum saat aku mencoba menatapnya. “Ini tentang pesta Mr. Verto.” Perkataanku
bahkan belum selesai dan Donghae memandangku tajam. “Bolehkah—bolehkah aku pergi?”
tanyaku takut.
Selama satu menit ruangan menjadi hening. Aku
menahan napas ketika bosku menjawab dengan nada tak suka. “Kalau ini yang kau
maksud diskusi, kau harus mengoreksinya, Miss Cardia. Karena bagiku
kedengarannya seperti negosiasi.”
Ada sedikit kejengkelan dalam kalimatnya,
tapi aku tidak bisa mundur lagi sekarang. “Aku benar-benar ingin hadir.” Bisikku
takut.
“Aku tidak mau berdebat. Jawabannya tetap
tidak. Kau tidak akan mendengarku berubah pikiran.” Ia mengernyit sambil
memejamkan matanya.
Aku berjuang, mengumpulkan sisa-sisa
keberanianku dan memandang Chad untuk meminta dukungan. Chad menaikkan bahunya,
seolah ia tak punya pilihan lain selain mematuhi Donghae.
“Please?
Aku tidak pernah datang ke pesta, Sir.” Kataku memohon. Kulihat Donghae membuka
matanya perlahan dan memandangku dalam. “Aku benar-benar ingin pergi. Kumohon,
biarkan aku pergi sekali ini saja, Sir.”
Donghae menimbang, meneliti wajahku yang
mulai memerah—memerah dengan idiot karena aku tak tahan dengan tatapannya. Tapi
setelah beberapa menit, ia menjawab permohonanku dengan bisikan berbahaya.
“Baik,” katanya lambat-lambat. “Tapi aku
punya syarat.”
Batinku langsung bergidik ngeri
membayangkan persyaratan yang diutarakan pria itu.
***
Cahaya matahari yang keemasan mulai
menyirami setiap jengkal sudut kota. Warnanya berkilauan, terang benderang,
membuat langit berubah warna semakin jingga. Dan dari atas sini kesibukan Los
Angeles masih bisa terdengar. Bunyi deru mobil, klakson di setiap perempatan, bahkan
ingar bingar percakapan penuh semangat di bawah gedung.
Waktu memang sudah bergerak ke arah tujuh
tepat, tapi langit masih terang. Agaknya musim semi memperlambat laju matahari.
Pepohonan yang berbisik, bergoyang kecil diterpa tiupan angin. Daunnya melambai
ke sana kemari. Bunga-bunga di setiap taman bermekaran, menyebarkan kebahagiaan
pada siapapun yang memandangnya.
Aku membayangkan taman itu dalam kepalaku,
merindukan bunga-bunga, pohon-pohonnya, bahkan bangku taman yang dulu sering kusinggahi. Aku sering
menghabiskan waktu berjam-jam di taman. Sekedar melapangkan pikiran, atau mengamati
orang-orang yang berlalu-lalang. Aku juga sering mengobrol dengan Eddie—penjual
eskrim di taman—dan sesekali ia bakal berbaik hati memberiku eskrim gratis.
Berbaur dengan penduduk Los Angeles adalah
usaha yang sedikit sulit. Benar, jika kau adalah seorang gadis Asia yang senang
menyendiri dan jarang bersedia untuk ikut pesta yang setiap minggu diadakan teman
sekampus mu, apalagi menolak semua gelas-gelas beer yang terangkat di udara, maka berbaur adalah salah satu hal
yang tampaknya mustahil. Aku benar-benar lebih memilih meringkuk di dalam
selimutku setiap Jumat malam daripada memakai pakaian trendy—yang sayangnya lebih mirip bikini ketimbang kausku yang
lusuh—dan muntah bergantian di baskom lalu menari seperti orang gila.
Oh, aku enggak bermaksud mengatakan kalau
teman-temanku semuanya gila. Tapi dalam banyak kasus, siapapun yang mabuk
umumnya bertingkah gila. Tahu kan, maksudku,
mereka pasti meracau, melakukan hal-hal nekat—yang bakal mempermalukan diri setelah
mereka sadar nanti—atau malah mencari keributan. Bukannya aku sama sekali tidak
pernah menghadiri pesta semacam itu. Aku pernah, tapi nyaris. Dulu Janne dan Kim Hanna berkeras mengajakku untuk
bergabung di pesta Friday Night-nya Ailen
yang katanya bakal ‘heboh’.
Tapi aku bahkan tidak sempat masuk lebih jauh
karena di pintu masuk rumahnya, aku berpapasan dengan seorang cewek kutu buku
pemalu di kampus kami, tengah mengeluarkan separuh payudaranya dengan sebelah
tangan menggenggam sebotol besar Brendy.
Cewek itu berlari ke tengah kerumunan di sekitar kolam renang Ailen sambil nyengir
tolol sementara semua orang menyemangatinya untuk melucuti pakaiannya satu
persatu.
Dan setelah melihat itu, aku langsung
memesan taksi pulang, memandang ngeri pada kumpulan orang-orang mabuk dan menolak
mendengar bujukan Janne dan Hanna yang mencoba sekuat tenaga.
Jadi, saat aku mengitari ruangan tengah Apartemen
bosku dengan bimbang, kembali kuyakinkan diriku bahwa pestanya tidak mungkin
sama dengan crazy party all the night
yang sering dibicarakan teman-teman kampusku dulu. Aku mengernyit resah, mencoba
memikirkan solusi tapi semuanya sia-sia. Tapi, setidaknya aku menemukan hal
positifnya; aku bisa keluar dari Apartemen ini.
Setelah melalui pembicaraan rumit dan
melelahkan untuk membujuk bosku, akhirnya Donghae setuju untuk membiarkanku
menghadiri undangan Johny Verto malam ini. Percakapan kami menghasilkan banyak
kesepakatan, yang salah satunya adalah tidak membiarkanku bergerak kemanapun sejauh lima belas inci dari
Donghae. Aku sudah begitu frustasi memohon padanya hingga menyetujui persyaratan
terakhir yang ia berikan; gaun terusan dengan belahan fantastis dan make up penuh
di wajah.
Aku baru saja siap mengenakan gaun sialan
ini dan berdandan habis-habisan. Kubilang sialan karena bentuknya benar-benar
melecehkanku sebagai seorang wanita. Lihat saja potongan dadanya yang rendah—hingga
aku berusaha menutupnya dengan syal namun gagal—serta belahan di bagian bawah
gaun yang mencapai pahaku. Aku merasa seperti ditelanjangi secara halus dan aku hampir menangis. Bagaimana
jika semua orang berpendapat kalau aku murahan? Make up tebal di wajahku bakal
mendukung semua pemikiran negatif itu.
Kakiku terayun ke kanan lalu kembali lagi
ke kiri, mengitari ruangan dengan perasaan nelangsa. Rasanya sudah berabad-abad
ketika akhirnya Donghae selesai mengenakan pakaian dan membuka pintu kamarnya
dengan wajah luar biasa mengagumkan.
Kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang
mengelilingi kerah, tuksedo hitam yang memiliki potongan pas di tubuhnya dan—oh
Tuhan—wajahnya bahkan dua kali lipat lebih tampan. Donghae menata rambutnya ke
belakang, menyisirnya rapi hingga mengekspos dahinya yang indah. Matanya—seperti
biasa—menatap tajam namun dalam. Senyumnya terbingkai indah, tetapi langsung berganti
dengan ekspresi kaget.
Aku bisa mengatakan bahwa ia adalah
malaikat. Benar-benar sangat rupawan kalau saja ia tidak mengeluarkan suara
marah.
“Kenapa kau mengenakan pakaian itu?”
geramnya tiba-tiba, membuatku terkesiap dari lamunan bodohku.
“Ap—bukankah anda yang memintaku untuk
mengenakannya?” kataku bingung.
Selama dua detik, Donghae melihat
sekeliling kami dengan pandangan waspada. Ia lalu beringsut mendekatiku dan
dalam sekejap, Donghae telah berdiri tepat di depanku. Ia menyapukan pandangannya
ke tubuhku—mengamatiku dari atas hingga ke bawah lalu menelan ludah.
“Miss Cardia,” panggilnya mencoba menahan diri.
Ia memejamkan mata dan menarik napas beberapa kali. “Kau—ganti pakaianmu. Dan
cuci muka—astaga.”
Aku terperangah menatapnya. Ia membalas
tatapanku kemudian menggigit bibir. “Tapi, Sir—”
“Aku tahu,” selanya tanpa menunggu kalimatku
selesai. “Aku tidak menyangka kau benar-benar mau memakai gaun itu dengan
sukarela.”
“Anda yang memerintahkan ini semua, bukan?
Itu kesepakatannya. Aku tidak mengerti.” Kataku dengan pelipis bertaut.
Donghae menarik napas lagi. Ia kelihatan semakin
gugup. “Kau benar. Tapi aku tidak mengira kau akan setuju. Aku mengajukan
persyaratan seperti itu karena—tunggu, kau sungguh-sungguh sangat ingin menghadiri
pestanya?”
“Tentu saja, Sir. Aku sungguh ingin ke
sana. Apakah tadinya anda berniat untuk melihatku menyerah? Dari awal Anda memang
tidak ingin aku pergi, bukan?”
Kelembaban yang tak di undang mulai
menguasai sudut mataku. Aku amat kesal dan lebih dari itu, aku kecewa dengan keputusannya
yang mempermainkanku. Benar-benar bodoh, berdandan seperti pelacur murahan hanya
untuk mendengarnya mengatakan kalau aku tidak boleh ikut.
“Jangan menangis.”
“Aku tidak menangis.” Balasku keras kepala.
Aku menahan air mata konyol ini dan menatapnya tanpa berkedip. Tapi mataku langsung
perih karena hembusan angin yang sejuk mengitari kami. Aku mengejap, dan tanpa
aba-aba, setitik air bening langsung mengalir turun melewati pipiku.
Aku ingin menghapusnya secepat mungkin,
tetapi Donghae jauh lebih cepat. Jarinya telah mengusap pipiku dengan lembut. Setelahnya
ia menarik wajahku mendekat dan berbisik pelan.
“Jangan seperti ini, Youva. Kau membuatku tidak
bisa menahan diri. Kau harus tahu kalau aku manusia. Dan melihatmu dengan gaun
ini hanya menyisakan dua pilihan untukmu: bercinta denganku sepanjang malam atau
ganti pakaianmu sekarang juga.”
Tubuhku mengejang kaku. Itu perintah
sekaligus penawaran yang sinting. Rahangku membeku tanpa bisa berkata apapun. Aku
menatapnya setengah takut, tapi kedua matanya berbinar aneh, memandangku dengan
arti yang tidak bisa kujelaskan. Aku menelan ludah, mengamatinya sebentar
sebelum akhirnya bisa bersuara kembali.
“Apakah tidak ada pilihan yang membuatku
bisa ikut?” tanyaku dengan suara serak. Sebenarnya jantungku mulai berdentam
kasar, seakan ingin meledakkan diriku sendiri. Dan dengan bersusah payah, aku menelan
ludah untuk menyelamatkan pita suaraku yang menyedihkan.
Donghae memiringkan kepalanya, senyumnya muncul
beberapa detik kemudian dan ia mendengus. “Aku tidak akan pernah bisa merubah pikiranmu,
bukan?” tanyanya dengan senyum miring yang khas. “Tapi bagaimana kalau aku ingin
membuatmu tetap tinggal?” kedua matanya menyipit saat menarikku dengan
tiba-tiba.
Ia membuka pintu kamarku dan menutupnya kasar.
Donghae lalu mendorongku hingga punggungku yang telanjang menyentuh dinding. Jantungku
ingin melompat keluar ketika Donghae meletakkan kedua tangannya di sebelah
tubuhku, bersandar pada dinding yang berada tepat di belakangku. Kami berdiri begitu
dekat—nyaris rapat.
Astaga. Aku tidak bakal bisa menahan diri kalau
ia menyerangku kali ini. Mana mungkin aku mampu mengucapkan penolakan apapun di
bawah tatapannya yang meluluhkan hati. Belum lagi aromanya yang membuatku
pusing. Rasanya seakan seluruh atom oksigen di tubuhku terlempar keluar dan
berganti dengan aroma Donghae yang luar biasa menggoda. Tarikan napasku mulai
kepayahan—terdengar terengah-engah karena ketakutan, namun di saat yang
bersamaan ingin menjejalkan seluruh aroma tubuh Donghae di udara masuk ke dalam
paru-paruku.
Aku menginginkannya, tetapi aku takut
menghadapi kenyataannya.
“Miss Cardia, dengar. Aku tidak ingin kau
berbohong. Jawab aku. Aku ingin kau menjawab semua pertanyaanku dengan jujur.”
Lidahku kelu. Mustahil bisa merespon
apapun dengan bibirnya yang hanya berjarak beberapa senti dariku.
“Aku mau kau jujur. Atau kalau tidak, aku
akan menciummu hingga kau memohon ampun padaku. Dengarkan aku, aku tidak sedang
bercanda. Katakan sesuatu jika kau mengerti maksudku.” Katanya lagi. Matanya
menyipit mengerikan.
Tubuhku memanas dengan cepat. Kata-katanya
barusan menimbulkan gairah yang memercik di ujung kulitku. “Bagaimana—bagaimana
jika aku sengaja berbohong?” tanyaku tanpa berpikir. Otakku yang idiot
tampaknya sudah berhenti bekerja. Baru setelah aku menyelesaikannya, aku
menyesal setengah mati. Karena pria itu tengah tersenyum geli di depanku. Wajah
Lee Donghae yang tampan dan menggoda itu mengamatiku dengan tertarik.
“Well,
kau pasti sudah tahu apa konsekuensinya, Sekretarisku tersayang.” Senyumnya
begitu indah, menampilkan giginya yang berderet rapi dan cemerlang.
Aku tersentak. Sadar akan maksudnya. Tentu
saja itu berarti aku tidak akan bisa bekerja lagi dengannya.
“Nah, jawab aku. Kenapa kau bersikeras
untuk pergi? Johny Verto bukanlah seseorang yang kau kenal secara pribadi. Aku
tahu kau bahkan tidak menyukai ide seperti pesta atau apapun yang berkaitan
dengan botol sampanye.”
“Kena—maksudku, dari mana anda bisa
berasumsi seperti itu?” gagapku bodoh.
“Kau mengatakannya kemarin malam, ingat?
Kau bilang kau benci pemabuk. Dan pada dasarnya kau adalah seseorang yang praktis—atau
bisa kusebut sebagai pemalas—karena tidak pernah mau mengenakan make up apapun kalau
terpaksa. Jadi, aku sengaja memberikan persyaratan seperti itu padamu. Aku tahu
kau pasti benci memakai gaun ini, juga make up tebal di wajahmu. Tapi, aku
tidak mengerti kenapa kau tetap mau memakainya.”
Aku menelan ludah. Perasaan gugup menggumpal
di ujung tenggorokanku. “Aku—hanya—”
“Kau ingin menemuinya, bukan?”
Kedua mataku menatap Donghae separuh
terkejut, tetapi pria itu memandangku dingin. Aku tahu siapa yang dibicarakannya.
“Bukan, Sir. Tidak seperti itu. Aku hanya ingin—mencari
udara—maksudku, melihat dunia luar—”
“Miss Cardia.” Geramnya lagi. Aku bisa
melihat kilatan di matanya dan tubuhku menciut. “Kau sudah mendengar peringatan
yang kuberikan padamu. Kau juga sudah mengetahui kalau kesabaranku benar-benar
sedikit. Jadi, apa kau berniat mengujiku? Kau ingin aku merobek gaun sialan ini
dengan tanganku sendiri? Kau harus tahu kalau aku tidak akan berhenti meskipun
kau menangis dan memohon padaku.”
“Baik! Baik! Aku mengaku!” teriakku putus
asa. Di luar kesadaranku, tubuhku menggigil ketika membayangkan ancamannya. Aku
tidak tahu apakah pria ini akan benar-benar bersikap seperti itu seandainya aku
terus tutup mulut. Tapi, karena ia adalah Lee Donghae. Maka semuanya menjadi
mungkin baginya.
“Aku juga tidak tahu apa yang kuharapkan
tapi aku memang ingin melihatnya. Bukan melihatnya karena aku mencintainya—tentu
tidak. Aku hanya ingin menunjukkan pada Johan kalau aku baik-baik saja. Kalau
aku tidak terpengaruh oleh usahanya yang mengancamku. Aku ingin mengatakan
padanya kalau aku lebih kuat darinya. Dan aku tidak lagi mencintainya. Semuanya
telah berlalu.”
Napasku memburu saat aku menyelesaikan
kalimatku. Sebersit luka merayap di hatiku ketika aku mengakui bahwa semuanya—semua
yang pernah kurasakan saat bersama best
man-ku telah berlalu. Tetapi sebagiannya lagi dipenuhi rasa jengkel karena
aku benar-benar ingin unjuk diri di hadapannya. Aku tidak kepingin Johan
mengira bahwa ia berhasil mengancamku atau bahkan menduga kalau aku ketakutan,
meskipun faktanya aku masih menggigil setiap mengingat tatapannya saat sedang
berusaha membunuhku.
Ada jeda lama sebelum aku berani melirik
Donghae lagi. Bosku masih berdiri di depanku, mengurungku ke dinding dengan kedua
lengannya di sisi tubuhku tetapi matanya menyelami kebenaran akan perkataanku.
“Kenapa kau tidak bilang dari awal?” suaranya
menggema di kepalaku. Nafasnya yang beraroma mint segar memenuhi penciuman.
“Kalau aku mengatakannya, Anda tidak akan
setuju. Anda pasti berpikir kalau tindakanku kelewat nekat. Lalu akan
mengurungku dalam apartemen anda selamanya.”
“Memang benar aku tidak akan setuju. Tapi
setidaknya aku bisa mempertimbangkannya. Ayo, kita tunjukkan padanya kalau kau ada.”
“Anda—maksudku, aku boleh ikut?” tanyaku
tak percaya.
Donghae mengangguk singkat, tersenyum
melihat ketidakpercayaanku. “Tapi pertama-tama, aku ingin kau mengganti
pakaianmu. Cuci muka dan pastikan kau memakai make up natural. Itu kalau kau
masih ingin pergi.”
“Aku mau.” Sambarku bersemangat. Donghae
mengeryit mendengar antisipasi dalam suaraku. Ia memiringkan wajahnya.
“Apa itu berarti aku tidak punya
kesempatan untuk bercinta denganmu?”
Aku tersedak. Wajahku langsung berubah
merah padam. Terbakar oleh senyumnya serta wajahnya yang kelihatan polos. “Sir,
aku harus—maaf, tapi—”
“Bagaimana kalau aku membantumu membuka
kancing gaunnya saja?” godanya lagi. Aku mengerjap. Kehabisan kata-kata karena
aku menyadari kalau ia tengah mengerjaiku. Lalu setelahnya Donghae tertawa
keras. Guratan di sekeliling matanya membentuk garis indah. Matanya menyipit dalam
satu tarikan lurus. Giginya yang berderet rapi itu begitu mengagumkan, hingga
aku berusaha menyingkirkan pikiran sinting dalam kepalaku.
Ia mundur dengan wajah puas. Puas karena
akhirnya wajahku bisa menyaingi tomat. Merah padam yang mendominasi hingga ke
akar-akar rambutku.
***
Kupikir semuanya bakal berjalan lancar. Tapi
tidak. Tidak mungkin malamku bisa berlalu dengan seperti yang kuharapkan jika
aku menggandeng pria dengan ketampanan menyaingi malaikat.
Hingga saat ini aku masih tidak mengetahui
pesta apa yang sebenarnya diadakan Johny Verto. Aku tidak sempat bertanya pada
Donghae—sebenarnya aku juga tidak mengerti karena ia yang menyiapkan semuanya. Menghadiri
pesta dengan dress code sama sekali
belum pernah kuketahui sebelumnya. Aku Cuma bisa melakukan apa yang bosku
perintahkan padaku. Ia menyodorkan sebuah gaun abu-abu cemerlang yang
belakangan kuketahui kalau itu adalah gaun paling fashionable dari Alexander McQueen.
Gaunku mengundang banyak tatapan kagum, tentu—meski
benar-benar jauh jika dibandingkan kehadiran Lee Donghae yang menarik seluruh
pasang mata. Ekor gaun yang sedikit panjang terseret di belakangku, sementara bagian
depannya lebih pendek, hingga menampilkan separuh betisku. Gaun ini menutup seluruh
leherku, menyisakan potongan bagi kedua lenganku untuk terjulur keluar. Dan yang
paling menyilaukan adalah detail pada bagian dada—permata-permata swarovski yang berkilat di bawah sinar
lampu.
Donghae juga memberiku sebuah clutch bag Christian Dior berwarna perak,
terlihat di hiasi glitter-glitter yang
berpendar saat aku mengamitnya dalam lenganku. Dan—oh, Tuhan—sepatuku
panjangnya lima belas senti! Haknya yang runcing membuatku harus berkonsentrasi
penuh untuk tidak terjungkal dan terkapar di atas lantai dengan gaya
mengenaskan. Tapi bosku sepertinya mengetahui kegelisahanku, karena ia dengan
sukarela menarik pinggangku selama kami berjalan turun dari mobil.
Kami tiba di kediaman Johny Verto pukul
tujuh. Chad mengantar kami persis ke depan pintu masuk rumah Johny dan berkata
ia akan menunggu di dalam mobil. Aku menganga takjub melihat rumah mewah di
depanku. Johny tinggal di sebuah rumah Federasi besar dan luas dengan halaman
yang bisa membuatku memutuskan untuk memanggil klub sepak bola. Meskipun gaya
bangunannya terlihat hampir mirip dengan beberapa rumah di sekitarnya, tapi
sepertinya hanya rumah keluarga Verto-lah yang memiliki halaman paling luas,
dengan kolam renang dan lapangan tenis pribadi.
Rumah Keluarga Verto tidak memiliki pagar
dengan jeruji-jeruji tinggi, ia memelihara semak bunga rendah untuk memberikan
batas pada sekeliling rumahnya—persis seperti rumah yang lain—serta membiarkan
beberapa anjing penjaga berkeliaran sebagai ganti satu unit penjaga professional.
Yang aku sukai dari tempat ini adalah karena kelihatannya Johny Verto senang
dengan rumah yang asri—ditilik dari banyaknya pepohonan di sekitar rumah.
Pesta Johny sendiri tergolong mewah. Ia
mengadakan pesta di sebuah hall dalam rumahnya yang besar dan terhubung
langsung dengan kebunnya. Aku melihat deretan lukisan-lukisan mahal di
sepanjang ruangan, ratusan pelayan yang hilir mudik menawarkan makanan dan
minuman, serta para tamu undangan yang sudah memenuhi ruangan. Bisa kupastikan
hampir seluruh tamu undangan mengenal satu sama lain, karena mereka bercakap-cakap
layaknya teman lama.
Tapi percakapan mereka langsung terhenti
saat Donghae dan aku muncul. Awalnya para wanita yang paling depan mematung
begitu melihat wajah bosku, kemudian dalam hitungan detik, bisik-bisik menyebar
begitu riuh, menjadikan ruangan berdengung bagai dipenuhi lebah pengumpul madu.
Donghae menikmati efek kemunculannya. Ia
begitu percaya diri, melangkah dengan laju ringan dan angkuh. Seakan tak ada
satupun di dunia ini yang mampu membuatnya menundukkan diri. Sementara aku? Dengan
langkahku yang canggung dan kikuk di sebelahnya, wajahku tak pernah berhenti menatap
lantai, menganggap diriku tak kasat mata dan menyesal setengah mati kenapa aku pernah
ingin datang kemari.
Langkahku kikuk, mulai bergerak tak
beraturan saat jari-jari Donghae berada di pinggulku. Wajahku memerah, merasa
bodoh untuk membayangkan telapak tangannya yang menempel di tubuhku.
“Santailah, Miss Cardia,” bisik pria itu
di telingaku. Aku ingin mengutuknya, karena saat ia melakukan itu, seluruh
aromanya tumpah ke dalam penciumanku. Dan kulit wajahku yang idiot langsung berkilau
merah.
Donghae berjalan melewati penonton yang
tak henti-hentinya memandang kagum padanya, dan melempar pandangan membunuh
padaku. Beberapa orang wanita terlihat menggigit bibir mereka kesal dan aku
bersumpah aku mendengar bisikan para gadis yang ingin menghujaniku dengan
koktail di tangan mereka.
“Oh! Lee Donghae! Youva Cardia! Akhirnya
kalian datang—mari, mari, kuperkenalkan pada para tamuku.” Johny Verto mendatangi
kami. Wajahnya berseri-seri dan aku bertanya-tanya apakah itu karena ia melihat
kami atau karena segelas sampanye dalam genggamannya.
Aku mengangguk, tersenyum ramah pada
beberapa orang di sekitar Johny. Donghae sendiri tampaknya sudah mengenal mereka,
sebab bosku langsung berjabat tangan dan menggumamkan sapaan formal. Hanya aku
yang tampaknya tak mengetahui apapun.
“Tuan-tuan, kalian pasti sudah mengenal Lee
Donghae dengan baik, tentu. Siapa yang tak mengetahuinya,” Ia terkekeh dengan
perkataannya sendiri. Tapi setelahnya Johny berpaling padaku. “Sementara gadis
di sebelahnya ini adalah Youva Cardia. Dan, Youva, ini Canon Lambert, pengusaha
pertambangan di Afrika. Sinichi Matsumoto, pemilik cabang Matsumoto Corporation
di Los Angeles. Dan ini Riodez Gustavalo dari Italia, shareholders of AVEXX.” Suara Johny terdengar amat puas, seakan ia
bangga bisa mengenal orang penting seperti mereka.
“Halo, Sir. Apa kabar?” kataku ramah. Tiba-tiba
pria tua yang dipanggil Canon itu menjabat tanganku. Senyumnya sedikit aneh dan
kusadari cengkeraman Donghae di pinggulku terasa lebih keras.
“Kau cantik sekali, Miss Cardia.” Kata Canon.
Aku nyaris mengernyit melihat binar aneh di matanya. Garis-garis penuaan begitu
jelas mengitari kelopak matanya dan—dan pria tua itu sedang mengedip padaku? Demi Tuhan.
“Dia bersamaku, Canon.” Ucapan Donghae yang
sedikit tajam langsung menimbulkan kesunyian. Canon terlihat salah tingkah di
bawah tatapan Donghae yang misterius. “Dan ngomong-ngomong, Johny, aku tidak
sempat bertanya padamu mengenai alasan kau mengundang sekretarisku secara
pribadi dan memperkenalkannya dengan tamu-tamumu yang penting.”
Wajah Johny masih ceria. Aku merasa bahwa
pria itu memang sedang menunggu kalau ada seseorang yang menanyakan hal itu
padanya. “Well, well, Aku harus jujur
padamu, nak. Miss Cardia telah menarik perhatianku sejak aku bertemu dengannya.”
Ungkap Johny berbinar dan aku menunduk malu. “Aku benar-benar ingin Youva bisa
menjadi menantuku. Pasti menyenangkan kalau aku memiliki Youva sebagai anakku.”
Perkataan Johny menimbulkan sebuah
gambaran mendadak padaku—seorang pemuda bertampang aneh dengan gigi berjejer
tak rapi, ujung hidung merah dan mata berair. Aku bergidik ngeri. Billy Verto
tak pernah menjadi seseorang yang kupertimbangkan bahkan dalam mimpi burukku.
Tapi seakan menganggap penjelasan Johny begitu
menggelikan, Donghae tertawa keras. Membuat seluruh orang bertanya-tanya hal
lucu apa yang telah mereka lewatkan. Termasuk aku.
“Maafkan aku, Johny, karena tampaknya aku harus
mematahkan impianmu. Sayang sekali, Sekretarisku yang cantik tidak akan pernah
menjadi menantumu. Dia istimewa—teramat istimewa hingga aku tak akan
membiarkannya jatuh pada pria manapun. Apalagi Billy-mu.”
Johny Verto memerah dalam sekejap. Tapi ia
menguasai dirinya dengan baik. Keadaan berubah canggung selama beberapa saat. Begitu
juga dengan tubuhku yang mengejang. Kurasakan Donghae menarikku semakin
mendekat padanya. Aku tak berani menatap ke manapun selain pada lantai yang dilapisi
karpet merah tua. Wajahku pasti sama merahnya dengan karpet itu.
“Bisakah aku berasumsi kalau kalian terlibat
hubungan asmara?”
Donghae menyipitkan matanya sementara ia
menahan senyuman. “Kau tahu aku tidak suka mengumbar kehidupan pribadiku,
Johny.” Jawabnya penuh misteri.
Kulihat
Sinichi menyembunyikan senyum dengan berpura-pura meneguk sampanyenya. “Tapi
kupikir kau tidak keberatan untuk mengekspos kehidupan asmaramu,” katanya
separuh geli.
Bosku memindahkan tatapannya pada Sinichi.
Merasa tak peduli dengan sindiran halusnya. “Itu karena mereka yang ingin mempublikasikannya, Sinichi. Tak pernah ada satu
patah katapun dari mulutku, bukan?”
Para pria itu tergelak, mereka membuatku mereka
ulang setiap pertanyaan dan jawaban Donghae di kepalaku. Aku sama sekali tak
menangkap sesuatu yang bisa dijadikan lelucon untuk ditertawakan. Tapi Riodez,
pria separuh baya asal Italia itu memberikan jawabannya padaku.
“Itu benar. Aku masih tidak mengerti
kenapa wanita selalu ingin mengumumkan hubungan mereka pada seluruh dunia. Bersikap
seakan mereka mendapatkan mainan baru untuk di pamerkan.”
Seluruh pria mengangguk menyetujui perkataan
Riodez, sambil tertawa kecil. Kecuali bosku. Ia terlihat cukup tenang, tidak
membiarkan emosinya terlempar keluar dan hanya menyunggingkan senyum miring.
“Aku bisa saja setuju dengan ucapanmu,
Riodez. Tapi maafkan aku karena aku harus memberikan pengecualian.” Kata-katanya
terdengar tenang dan percaya diri. “Gadisku
malah tidak ingin hubungan kami tercium media.” Setelah mengatakan itu, ia menghirup
rambutku perlahan sambil memandang mereka hingga memberikan efek menakjubkan.
Kulitku bergidik—merasa perbuatan Donghae barusan
mempengaruhi kendali diriku yang memang telah mencapai titik terujung. Aku
menggigit bibir, merasa malu dengan seluruh tatapan pria di depanku yang terpana
oleh sikapnya sekaligus nyaris melayang bahagia saat ia mengatasnamakan diriku
sebagai miliknya.
“Kalau begitu sepertinya aku tidak punya
kesempatan,” gumam Johny Verto setelah berdeham canggung.
“Nah, maaf aku harus mengecewakan kalian, Tuan-tuan
yang baik. Aku melihat Thomas baru saja tiba dan aku pikir aku harus menyapanya
sebentar.” Donghae memberikan seulas senyum saat Johny mengangguk setuju.
“Tentu, nak. Silahkan. Dan nikmati
pestanya.” Katanya bersungguh-sungguh lalu menjabat tangan kami sebelum pergi.
Kami beralih pada sekelompok (lagi-lagi)
pria paruh baya dengan sampanye di tangan dan tertawa dengan pandangan curiga
satu sama lain. Donghae mulai membuka obrolan. Senyumnya yang mematikan bahkan
membuat para lelaki ikut tersenyum. Mereka tampak menikmati pembicaraan—menurutku
kedengarannya malah seperti rapat dadakan—mengenai lonjakan saham, penurunan
devisa perusahaan dan lain-lainnya.
Aku berkeriut di sebelah Donghae. Mulai
merasa tak nyaman dengan obrolan mereka. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya
mereka katakan—dan sama sekali tak ingin mengetahuinya. Dan benakku sibuk
membentuk opini aneh bahwa semua pesta para pengusaha seharusnya hanya
menyediakan sofa, laptop, cemilan dan laporan. Karena mereka pasti tak akan
repot-repot untuk mengubah topik lain di luar perkembangan bisnis.
Tapi untuk sekilas aku merasa telah
melihat seseorang yang kukenal.
Tempo napasku naik dalam sekejap. Mataku
terpancang kuat pada satu titik yang berada di ujung ruangan—terlihat nyaris tak
kasat mata, hanya bayangan samar yang anehnya langsung kukenali. Aku bisa
membayangkan sepasang mata biru cerah yang sedang menatap ke arahku
lekat-lekat, berdiri tak mencolok di tengah kerumunan orang yang saling
mengobrol.
Debaran jantungku kian meningkat. Aku
harus pergi.
***
“Kau mau ke mana?”
Wajah Donghae yang rupawan mendekat di
telingaku. Tengkukku menggigil saat ia menyapukan napasnya di sana. Aku balas
berbisik padanya.
“Aku ingin ke toilet. Tidak lama—hanya,
anda pasti tahu, Sir, girl’s business.”
Kataku beralasan.
Donghae menimbang selama beberapa detik. Namun
ketika kutunjukkan padanya raut wajah memohon, ia tak punya pilihan selain
membiarkanku pergi. “Jangan terlalu lama.” Katanya menegaskan ekspresinya yang
tajam.
Aku mengangguk. Mencoba terlihat wajar—meskipun
tanganku rasanya berkeringat karena antisipasi yang bergejolak di perutku. Aku
tahu aku idiot. Bodoh. Sinting. Tolol. Dan juga gila. Aku mengerti dengan baik
konsekuesi apa yang menungguku jika aku berani menemuinya. Tapi aku tak bisa
menjelaskan mengapa kakiku terus saja bergerak menuju dirinya, mengikutinya
dalam diam dan keremangan.
Langkahku nyaris ragu saat aku tiba di
depan sebuah pintu di balik tirai di ujung hall.
Aku menyentuh kenopnya yang terasa dingin di kulitku, mendorong pintunya perlahan—mencoba
mengantisipasi apapun yang muncul dari baliknya. Tapi ruangan itu kosong. Hanya
ada beberapa pigura—sebenarnya cukup banyak namun aku tak sempat
memperhatikannya—dan separuhnya di tutupi tirai hitam yang menjulang hingga ke
langit-langit.
Aku ingin berbalik dan segera keluar dari ruangan
itu ketika kudengar suara dari balik tirai di depanku.
“Hei,” bayangan pria itu tiba-tiba muncul.
Aku mendapati sepasang mata biru cerah itu perlahan keluar dari balik tirai, sesenyap
dan sepelan perkataannya mengalir. “I’m
glad you are alive.”
Mataku melotot tak percaya. Aku mendengus
padanya. Mencoba menahan emosi dan mengendalikan tanganku agar tak kelepasan
untuk menghabisinya dengan hak sepatuku.
“Are
you a freakin psychopath? Never expected you will say you are glad to see me
alive.”
“But
it’s true.” Katanya terdengar tulus. Aku memaki hatiku yang mudah goyah. “So you are alive.”
“And
that means you are really a psychopath.” Aku menggigit bibir, mencoba untuk
tak terlalu memprovokasinya. Bagaimanapun aku tidak siap jika ia harus
menembakku detik ini juga.
“Are
you mad with me?”
Aku melempar desisan mencela padanya. Mataku
menyipit marah. “More than that. I HATE
you, Johan. Oh, wait. No, no. I should call you ‘Jason’, right?”
Mata Johan menatapku sejenak. Ia menyisipkan
kedua tangannya di saku. Aku baru menyadari kalau pria di hadapanku itu mengenakan
setelan hitam—celana panjang hitam, kaus lengan panjang dan sepatu yang juga
berwarna sama. Ia seakan menyatu dengan tirai di belakangnya. Hanya nyala di
mata Johan yang membuatku yakin kalau pria itu bukan patung.
“You
still love me.” Katanya singkat.
Senyum tipis mengukir di wajahku. “I used to love you. But it’s officially over
when you tried to kill me with your damn sniper, Jason”
“That’s
not what I intended to do, Youva.” Johan memberiku pandangan keras. Ia terlihat
tak suka bagaimana aku membalas perkataannya. “And my name’s Johan.”
“No,
you are Jason Andersen.” Kataku tak kalah cepat. Alisku melengkung naik
saat menambahkan perkataanku. “Son of Robert
and Caroline Andersen. Or you want to tell me that you have twins?”
Perkataanku menimbulkan kebisuan mendadak.
Ruangan teramat hening, seakan terpisah jarak ribuan tahun cahaya dari ruangan
di belakangku, yang penuh dengan hiruk pikuk dan dentingan garpu dengan pisau. Aku
menahan pandanganku pada Johan, yang masih membungkam mulutnya sebelum akhirnya
ia mengatakan sesuatu.
“You
don’t believe in me.” Katanya pelan. Suaranya terdengar begitu... terluka? Aku
benci itu. Karena Johan tahu persis bagaimana caranya menggoyahkan tekadku
dengan kekecewaan. “So, why do you
believe him?”
Aku tahu Johan sedang membicarakan Lee
Donghae. Samar-samar otakku mencari jawaban atas pertanyaan Johan. Dan kutemui dinding buntu di
sana. Kenapa aku bisa mempercayainya?
“Aku mempercayai apa yang kulihat dan kuketahui, Johan.” Jawabku mantap. Nyala di kedua mata Johan tampak
sedikit berkilau—ia sedang memikirkan sesuatu. “Dan aku tidak mempercayaimu. Tentu
saja.”
Ekspresi Johan menguap. Ia sedikit kaget,
tapi pria itu sangat ahli untuk menyingkirkan amarahnya. “Kau tidak boleh
mempercayainya, Youva. Lee Donghae bukan seseorang seperti yang kau pikirkan. Dia
berbahaya—”
“You
are the only one I have to be worried about.” Kataku tajam. Aku menelan
ludah dengan gugup, berusaha untuk tidak kelihatan ketakutan di bawah
tatapannya yang berubah keras. “Kau lah ancaman terbesarku.”
Johan terenyak. Ekspresinya menunjukkan
kalau ia tak siap mendengar pengakuanku. “Kau tidak tahu apapun, Youva.”
“Aku tahu.” Sergahku keras kepala. “Kenyataannya
cukup menyakitkan, memang. Tapi aku tidak bodoh, Johan. Aku tahu. Kau mencoba membunuhku, memerperalatku,
dan ingin menculik ibuku—oh, kenyataan yang hebat, ya? Dan kau bilang kalau aku
masih mencintaimu? Aku bukan psikopat sepertimu, Johan Stavilosky—atau Jason
Andersen. Semuanya sudah berakhir.”
Alis Johan bertaut. Ada keraguan di
wajahnya, namun ia berusaha tidak menunjukkannya. “Kau—Bukan, bukan itu
maksudku, Youva. Kau tidak mengerti. Kau-lah yang sedang terancam bahaya—”
“Cukup. Tutup mulutmu—”
“—Lee Donghae berbahaya. Kau harus mendengarkanku!” Katanya mulai kehilangan
kesabaran. Aku menutup mulutku yang baru akan menyelanya. Wajah Johan merah
padam. Tapi dengan cepat ia mengendalikan dirinya lagi. “Dengar. Kau tidak
boleh mempercayainya. Lee Donghae menginginkan sesuatu darimu, Youva.
Percayalah padaku. Kau tidak mengenalnya sebaik aku.”
“Setidaknya dia tidak menginginkan
nyawaku.” Sambarku ketus. Sepasang bola mata Johan menatapku berubah-ubah. Selama
sepersekian detik aku melihat kobaran amarah di sana, berpijar terang hingga
membuatku sedikit gentar. Tapi setelahnya berganti menjadi kekhawatiran—tidak,
itu Cuma perasaanku saja. Tak ada alasan bagi Johan untuk mengkhawatirkanku.
“Kalau aku menginginkanmu mati, sudah
kulakukan jauh-jauh hari, Youva.” Nadanya tajam, menggores sisi kewarasanku
saat aku menyadarai sebersit kekecewaan menghantui ucapannya.
“Beritahu aku kalau kau ingin membunuhku. Jadi
aku bisa bersiap-siap.” Kataku lagi. Aku menatapnya jengkel, mencoba mengusahakan
untuk memperpanjang hidupku sebagai ganti menutup mulutku yang tak bisa lagi
terkoneksi dengan baik ke otakku.
Tapi tiba-tiba saja Johan melirik ke balik
pundakku. Wajahnya berubah tegang. “Ada yang datang.” Bisiknya pelan sekali,
hingga aku nyaris membaca gerakan di bibirnya. “Dengarkan aku, apapun yang
terjadi, kau tidak boleh mempercayainya.”
“Aku memutuskan untuk mempercayai siapa
yang bisa kupercaya. Tak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Dan sama sekali
tak ada alasan bagiku untuk mempercayai perkataanmu.”
Johan menatapku sedetik. “Kau percaya
padaku.” Katanya yakin. “Karena kau mengikutiku.
Aku tahu kau mempercayaiku.”
Aku memandangnya berang. Gigiku berkeretak
saat aku membalasnya. “Itu karena aku ingin tahu kenapa kau mencoba membunuhku
saat itu? Apa yang membuatmu melakukan semua ini padaku?!”
Ia tak segera menjawab, namun lagi-lagi
memandang ke arah pintu di belakangku. Aku tahu aku tidak menutup pintu itu
dengan rapat.
“Kau tidak akan melihatku untuk beberapa
lama, Youva.” Katanya nyaris tak terdengar. Menolak menjawab pertanyaan penting
dariku. “But I’ll take care of you..
Berhati-hatilah, Youva.. Jaga dirimu.”
Johan mundur, menghilang kembali ke dalam lekukan
tirai hitam dalam perlahan. Aku masih bisa melihat sepasang titik biru cerah
yang bergabung bersama kegelapan. Tatapan Johan terasa seakan menembus kulitku,
membuat sebuah celah baru dari hatiku yang telah kututup rapat-rapat. Tanganku
menggapai ke arahnya, dan dengan tanpa persetujuan dari otakku yang melarang
keras, kakiku bergerak maju mengejar Johan.
Kusibakkan tirai itu dengan tangan
gemetaran. Namun yang kutemukan hanyalah bingkai jendela yang terbuka lebar, mengirimkan
hembusan angin malam yang seketika membuat tengkukku meremang. Persis ketika
itu, seseorang telah berdiri di belakangku. Aku tahu siapa ia.
“Ada apa?” tanyanya terdengar penuh kontrol
sekaligus waspada.
Aku menatap jendela itu dengan nanar. “Tidak
ada,” dustaku lancar.
Donghae memutar tubuhku dengan satu gerakan
mudah. Sepasang bola matanya yang berwarna cokelat itu terlihat sedang mencari kebenaran
dari kebohonganku. Tentu saja ia akan segera tahu. Karena ia bosku. Dan ia bisa
mengasumsikan apapun yang ia inginkan.
“Kau berbohong. Aku tidak mentolerir yang
satu itu, Miss Cardia.” Katanya sedikit jengkel. “Katakan ada apa.” Perintahnya
tegas.
Aku menggigit bibir—merasa ingin
melakukannya karena aku ketakutan, bukan karena ingin menyiksanya. “Ibuku.” Jawabku
berbisik. Aku tahu aku boleh memberinya penjelasan lengkap. Dan satu-satunya
cara untuk menyembunyikan kebohonganku adalah membiarkan emosiku mengalir.
“Ada apa dengan Diana?”
“Ibu benci berada di sini.” Kataku bergetar.
“Dan aku—aku masih tidak bisa mengerti, maksudku, kenapa semua ini harus
terjadi? Aku benar-benar ingin menganggap semua ini hanya mimpi.”
Donghae menatapku lama. Aku mendengar tarikan
napasnya yang teratur. Tetapi manik matanya kemudian berubah lesu. “Dan kau juga
ingin menganggapku Cuma mimpi?”
Aku tak menjawabnya. Tak bisa. Rasanya tak
tertanggungkan. Lee Donghae terdengar begitu kecewa dan aku tak tahu apa yang
salah sampai akhirnya ia menjelaskan padaku.
“Beritahu aku, Youva.” Pintanya terdengar
frustasi. “Bagaimana—Oh, demi Tuhan—bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan
hatimu?”
Kali ini lidahku rasanya tak lagi bisa di
gerakkan. Otakku yang murni idiot ini hanya mampu membisu. Bersama kami
menghadapi kejengkelan pria itu, yang jelas-jelas sangat tidak mungkin untuk kuraih namun ia malah ingin meraihku. Mustahil.
“Kau berbeda—entahlah. Aku tak pernah bertemu
seseorang sepertimu, Youva. Beritahu aku, apa yang harus kulakukan?” Wajah
Donghae terlihat gusar. Ia mengalihkan pandangannya dariku lalu menyapukan
rambutnya dengan jari-jarinya.
Apakah—oke, aku tahu aku kelewat percaya
diri, tapi—apakah ini seperti sebuah pernyataan cinta?
“Anda—” Suaraku terdengar parau. Jadi aku mengulangnya
lagi setelah berdeham satu kali. “Aku harus mengenal
anda, Sir. Aku tidak akan jatuh cinta dengan seseorang yang tidak ku kenal.” Berkebalikan
dengan isi kepalaku yang kacau, suaraku terdengar cukup tenang dan kuat.
Donghae memberiku tatapannya lagi. Ia
memandangku—dalam dan begitu lugas. Jauh dari kepura-puraan dan sifat tukang
perintahnya. Matanya memancarkan seribu arti yang tak bisa kupahami dengan
baik. Membuatku lumpuh, segera jatuh dalam perangkapnya yang sempurna.
Lee Donghae memang sempurna.
“Benar.” Katanya kemudian, setelah puas
membuatku gugup setengah mati. “Kau harus mengenalku.”
Kemudian ia menarikku keluar. Kurasakan
telapak tangannya yang hangat seakan memberiku kejutan listrik. Ia sedikit
tergesa-gesa. Melewati gadis-gadis yang terpana dengan tak acuh—bahkan tidak
mengindahkan sapaan dari beberapa orang pengusaha. Ia menarikku, membuatku nyaris
jatuh seandainya aku tak berkonsentrasi penuh pada hamparan karpet merah di
bawahku.
“Marven,” panggilnya. Aku menengadah,
menemukan sosok Marven yang baru saja berbalik pada kami.
Senyum Marven terukir penuh di wajahnya. Ia
menaikkan alisnya padaku, lalu dengan segera merentangkan kedua tangannya
lebar-lebar—menyambutku ramah.
“Aku senang kau baik-baik saja, Youva.” Marven
memelukku sedikit erat. Aku tersenyum dan menggumamkan terima kasih.
“Bisakah kau menemaninya sebentar?” Tanya
Donghae, menginterupsi pelukan singkat kami.
Bersama, aku dan Marven menatapnya
bingung. “Kau mau ke mana?”
Donghae memberinya tatapan penuh arti
namun tak memberikan jawaban apapaun. Dan untuk sejenak aku merasa takut kalau
Donghae menyadari pertemuanku dengan Johan tadi. Aku berusaha terlihat sama
bingungnya dengan Marven. Tapi bosku bahkan tidak melikku sama sekali. Ia
langsung pergi begitu Marven mengangguk kecil.
Marven menawariku segelas sampanye dan aku
segera menolak dengan menyesal. Ia tertawa mendengar alasanku saat kukatakan
padanya kalau aku sama sekali tidak diizinkan untuk mabuk oleh Ibuku. Marven
lalu bercanda kalau aku bisa menjadi istri yang baik karena aku tak akan pernah
mabuk.
“Tapi aku pernah mencoba wine.” Ungkapku mengangkat bahu. “Mr.
Lee menawariku segelas winenya
kira-kira seminggu yang lalu. Untungnya aku tidak benar-benar kolaps.”
Marven tersenyum lagi, tapi matanya
berkilat penasaran. “Jadi dia pernah menawarimu minum dan kemudian melepaskanmu
begitu saja?”
Keningku berkerut bingung, tapi aku
berusaha menahan rasa penasaranku dengan sopan. “Sebenarnya, ya, Marven. Walaupun
harus kukatakan aku tidak mengerti maksudmu.”
“Donghae.. kupikir dia sedikit berubah.” Ujar
Marven mengedip padaku. Aku membalasnya dengan tatapan bingung. “Akan sangat
menyenangkan melihatnya berubah meski aku tidak tahu pasti apa yang ada di
kepalanya. Tapi aku tak pernah salah menilai seseorang sebelumnya, Youva. Aku
tahu kau memiliki potensi besar.”
Wajahku menghangat dengan cepat. Aku tak
tahu harus menanggapinya seperti apa. “Aku tidak seistimewa itu, Marven.” Bisikku
lirih kendati wajahku memerah.
Marven tersenyum hingga matanya nyaris
menyipit. “Kau tidak tahu kalau orang-orang menginginkanmu, Youva. Termasuk
Donghae.”
Sentakan di perutku membuatku kesusahan
bernapas. Tampaknya ada ratusan kupu-kupu yang berdesing di rongga dadaku. Aku
mengalihkan pandanganku pada lantai, berharap wajahku tak terlalu jelas
terbaca.
“Tidak mungkin.” Biskku lagi. “Pasti
salah. Kau salah, Marven. Mr. Lee tidak menginginkanku seperti itu.”
Marven mengangkat daguku. “Dia
menginginkanmu, sayangku. Tidakkah kau melihat di matanya? Caranya berbicara
padamu? Saat dia menjagamu? Oh, tentu saja kau tidak sadar saat dia terus duduk
mengawasimu sepanjang hari ketika kau tak kunjung bangun. Dan, kuberi kau satu
rahasia penting—” pria itu menarik napasnya sejenak, sementara aku menanti tak
berkedip. “—alasan mengapa dia tidak suka
kau menggigit bibirmu. Itu membuatnya frustasi. Kau tahu kenapa?”
Aku menggeleng cepat-cepat. Seluruh
partikel di tubuhku menunggu dengan tegang. Jantungku berdentam kasar di dalam
sana, hendak kabur ke langit malam saat Marven memberiku senyuman nakalnya.
“Maafkan aku, karena meskipun ini bersifat
pribadi, tapi aku ingin tahu, apakah kalian pernah berciuman sebelumnya?”
Wajahku memanas. Rasanya kilasan ciuman
Lee Donghae berkelebat tanpa jeda di kepalaku. Menggilasku tanpa ampun. “Satu
kali..” jawabku menggumam malu.
“Kalau begitu dia telah tiga kali menciummu. Aku melihatnya
sendiri.” Kata Marven saat aku memandangnya tak percaya. “Dan itu menjelaskan
banyak hal. Salah satunya adalah kalau dia menahan perasaannya padamu.”
Tiga kali? Enggak. Mustahil. Tidak
MUNGKIN!
“Kapan—” suaraku bergetar, pecah karena debaran
jantungku yang menggila. Tiga kali ia mendaratkan bibirnya padaku? Ya Tuhan.
“Ketika kau sakit, tentu saja.” Jawab
Marven santai, seakan kami sedang membicarakan cuaca malam ini. “Kau menggumam
terus dalam tidurmu. Terlihat sangat kesakitan dan—kupikir dia juga ikut
menderita karena keadaanmu.”
Aku membeku tak percaya. Otakku mencoba
memberikan penjelasan-penjelasan yang masuk akal, namun semuanya segera
menguap. Berganti dengan serangan ingatan di mana ia menyapukan bibirnya padaku.
“Tidak biasa bagi Donghae untuk menahan
perasaannya terhadap wanita, kau pasti mengetahuinya juga. Dan itulah alasan
kenapa aku senang melihatnya sedikit berubah, juga kenapa dia tidak suka kau
menggigit bibirmu. Dia menginginkanmu, Youva.”
“Bagaimana kau bisa tahu? Apakah dia
mengatakannya secara langsung?”
Marven memandangku sejenak. “Kami
bercerita beberapa hal, tapi tidak semuanya. Aku hidup dengan naluriku, Youva.
Aku bisa tahu kapan seseorang berubah, serta apa yang menjadi penyebabnya. Dan
aku selalu benar. Kau mau buktinya?
Lihat di sana.”
Ia menunjuk ke belakangku, membuatku
menoleh pada arah yang ia maksud dan nyaris terperangah.
Lee Donghae telah duduk di depan sebuah
grand piano putih di ujung ruangan. Ada semacam panggung di sana yang tadinya
memainkan beberapa musik klasik, tapi kini tak kulihat lagi seorangpun di sana
selain Lee Donghae.
Seluruh
orang di sekitarnya menjauh, memberi jarak baginya untuk memulai permainan.
Tapi pria itu menatapku lama, seakan memberikan kepastian kalau ia ingin aku
mendengarnya. Bisik-bisik penuh semangat menjalar di seantero ruangan, hingga
sedikit riuh.
Sebuah nada.. indah. Berdenting dengan
merdu. Membuatku menahan napas saat ia berulang kali menatapku penuh arti. Aku
tak mengenal nada yang mengalir dari jari-jarinya yang panjang, tapi aku bisa
merasakan lukanya yang dalam. Hanya satu menit dan permainannya berakhir.
Penonton memberinya applause dengan meriah—dan para wanitanya bertepuk tangan kelewat
semangat karena mereka melonjak-lonjak—tapi Lee Donghae menaikkan tangannya ke
atas, memberi isyarat agar mereka menghentikan apresiasi mereka.
Lagi, Lee Donghae menatapku. Ia tersenyum
sedikit—di ujung bibirnya, menciptakan ledakan emosi di setiap inci tubuhku. Dan
yang tak pernah kubayangkan sebelumnya tiba-tiba saja terjadi. Pria itu menekan
tuts piano tanpa cela, lalu bibirnya membuka, mengalunkan bait demi bait lagu
yang bergaung tanpa henti di kepalaku.
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you
some more
Wait on me,
Come a little closer
Wanna be the one to
explore
A little trouble never
hurt nobody
Oh I wanna feel your
body
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you some
more
Take it, take it I'll
give my heart to you for free girl
don't you break it,
break it along with every piece of me,
I'll go the distance
but not all of the way
Say what you mean to
me and mean what you say,
I never wanna be your
ex-man I'll never make you feel ignored
You can go and find
your next man but I know what you're waiting for
Aku pernah mendengar lagu ini—tentu saja
siapapun pernah mendengarnya. Lagu aslinya bertempo lebih cepat, namun Donghae
mengubah beberapa nada, menggantinya dengan versi sederhana dan sangat indah. Tapi
bukan itu yang menjadi penilaianku saat ini. Melainkan liriknya. Tubuhku terasa terbakar. Dengan matanya yang menatapku
intens, aku nyaris tak bisa bernapas. Membeku dalam hasrat Lee Donghae yang memerangkapku
hidup-hidup.
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you
some more
Wait on me
Come a little closer
Wanna be the one to
explore
A little trouble never
hurt nobody
Oh I wanna feel your
body
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you
some more, some more, some more
Oh, say it, say it I
know there's something on your mind girl
And I hate it, hate it
when you just act like you're okay
I wanna be the one to know what you need
I'll listen to your heart I know how it speaks
I never wanna be your ex-man I'll never make
you feel ignored
You can go and find
your next man but I know what you're waiting for
Suara Lee Donghae membius ratusan pasang
mata. Begitu memukau. Indah. Dan tak terbalaskan. Ia mengalahkan penyanyi
aslinya, membuat mereka seakan Cuma memperagakan lagu itu untuk dibawakan oleh
pria ini. Sebab Lee Donghae seakan menguasai lagu ini dengan seluruh jiwanya. Ia
bernyanyi, menekan tuts piano dengan lihai dan terus menatap padaku.
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you
some more
Wait on me
Come a little closer
Wanna be the one to
explore
A little trouble never
hurt nobody
Oh I wanna feel your
body
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you
some more, some more, some more
I wanna love you some
more
Come closer, you know
yeah, don't feel like before
I'll give you what you
want, so you wanted more
In your head, in your
heart like never before
If a good thing is
what you're waiting for
Then don't you look no
more
Donghae memberi jeda. Setelah tadi
memberikan improvisasi pada beberapa nada, kini Ia menekan tuts-nya perlahan, memperdengarkan
melodi yang tajam, berkarakter namun ringkih—karena rasanya emosi menguasaiku
secara berkala. Dan dengan satu hentakan, ia menaikkan tempo. Ketukannya lebih
keras, seakan ia menumpahkan seluruh perasaannya dalam lagu itu.
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you
some more
Wait on me
Come a little closer
Wanna be the one to
explore
A little trouble never
hurt nobody
Oh I wanna feel your body
Wait on me, I know how
to love you
And I wanna love you
some more, some more, some more
Lee Donghae benar-benar tak bisa kusebut
manusia sekarang. Ia terlalu sempurna.
Ia masih menatapku, di tengah standing applause yang meriah dan di
antara pekikan penuh semangat dari para wanita. Ia menatapku persis di mata. Menyiksaku
dengan degupan jantungku yang semakin tak terkendali. Kalau ia bermaksud ingin membuatku
mati berdiri, ia bisa mewujudkannya. Tapi pria itu mendadak bagun, berjalan
dengan langkah pelan ke arahku.
Kerumunan orang secara otomatis memberikan
jalan untuknya dan rasanya dunia bergerak dalam dimensi yang teramat berbeda. Aku
masih menyadari kehadiran Marven di sebelahku, dengan tangannya yang menggenggam
segelas sampanye. Tapi aku tak bisa melihatnya. Aku mendengar bisikan menjalar
ke seluruh ruangan, namun semuanya teredam tanpa sebab. Dengan cepat melumpuhkan
seluruh indraku saat pria itu melangkah dengan pasti menuju tubuhku yang
mematung sempurna.
Hanya jantungku yang bergerak. Tak ada
yang lainnya.
Lee Donghae berhenti di depanku. Senyumnya
menyusul beberapa detik kemudian. Kurasakan lonjakan hasratku mengamuk bersama
batinku. Betapa aku ingin menyentuhnya!
Sepasang mata Donghae menatapku dalam, mengirimku
langsung ke sebuah negeri antah berantah yang tak kuketahui. Ia lalu mencondongkan
wajahnya mendekat—terlalu dekat! Wajahku memanas, dan aku bisa merasakan panas
tubuhku sendiri.
“Wait
on me,” bisiknya merdu. Napasku tertahan. Jutaan kupu-kupu yang tiba-tiba
berlipat ganda memenuhi tenggorokanku. Menari-nari di dasar perut dengan penuh semangat.
“Because I know how to love you..”
Kata-katanya berdengung di dalam sanubariku,
tak akan bisa kabur kemanapun lagi. Aku tahu aku sudah kalah. Tapi salah satu
sudut di relung hatiku mendadak terbangun, meneriakkan kembali
peringatan-peringatan yang diberikan Ayahku—diberikan Johan beberapa saat yang
lalu. Dan seakan menolak semua omong kosong itu, pikiranku menutup diri. Tidak
membiarkan apapun menginterupsi kekagumanku
pada pria di depanku saat ini.
Aku mengangguk tanpa sadar, telah terperangkap
dalam tatapannya yang menguasai, tak mampu beranjak ke manapun. Aku telah terkunci
rapat di dalamnya.
Donghae menarik jemariku dalam genggamannya.
Ia tersenyum sedikit—tapi tak sampai menyentuh matanya—dan kembali berbisik menggoda,
hingga aku harus memperingatkan jantungku untuk memelankan detaknya sebelum
seluruh orang bisa mendengarkan.
“A
little trouble never hurt nobody. And I wanna feel you body..”
Semuanya mengabur. Termasuk pikiranku. Aku
tak bisa mendengar, melihat atau merasakan sekelilingku sekarang. Yang kutahu
hanyalah jemari Donghae yang menarikku padanya. Membawaku menjauh dari alam
nyata.
Aku tenggelam dalam pesonanya.
***
Copyright © 2014 RIXTON – Wait On
Me. Interscope Records – U.K.
Bagus.. kata kata enggak sebaiknya diubah menjadi tidak
BalasHapusterima kasih sarannya :)
HapusWahh.. Donghae uda mulai tertarik ya sama Youva gilaa bkin melting :3
BalasHapusOh ya, maaf ya eon coment di chap 6 stop langsung terbang ke chap 10 :3
Chap lanjutannya bsa bca dimna ya eon? :3 keep writing yaa fightingg
bagus eon..!, aku suka banget sama karakter donghae disini. bikin mabok. hehehe. keep writting eon..!
BalasHapus