GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
Summary:
Semuanya terasa aneh. Aku tak mengerti
mengapa semuanya seakan berusaha melenyapkanku begitu saja. Apakah aku benar-benar hanya sebuah eksistensi yang
tak memiliki hak apapun di dunia ini? Termasuk mencintai seseorang? Pikiran sinting ini terus berkeliaran.
Tersesat, bingung dan ketakutan. Apalagi yang akan menantiku? Siapa lagi yang
akan mencoba menginterupsi hidupku? Aku tak bisa bernapas, bahkan untuk mengerjapkan
mata pun aku tidak berani. Meskipun kenyataan malah membentang bagai kilatan
sinar mentari; menusuk tajam dengan cahaya berkilau terang. Aku tak akan pernah
siap untuk apapun yang ada di hadapanku.
Termasuk dirinya.
***
CHAPTER
NINE: EXODUS
Lagi-lagi aku memimpikan hal itu. Tapi
meski aku tahu ini hanya mimpi, aku tetap tidak bisa berhenti ketakutan.
Lee Donghae dan Johan, keduanya tergeletak
di tengah jalan. Nyala kedua mata mereka telah padam. Hampa. Kosong. Tubuh
mereka terbujur kaku. Dengan wajah bersimbah darah dan sepucuk senjata terletak
di antara mereka. Tetapi kelihatannya Johan berjuang untuk bergerak. Ia
menggeser kepalanya ke arahku, yang terpaku—sama sekali tak mampu mendekat—dan
ia mengulurkan tangannya padaku.
‘Aku
mencintaimu, Youva..’
Aku menjerit. Tenggorokanku rasanya nyeri
karena teriakanku yang begitu keras. Kurasakan seseorang mengguncang tubuhku dan
kedua mataku membuka dengan panik.
“Ada apa? Kau kenapa?”
Aku menatap Donghae yang terlihat cemas. Napasku
memburu dan separuh kesadaranku masih menggigil mengingat mimpi itu.
Kugelengkan kepala dan Donghae membantuku
untuk duduk. Kusadari tubuhku penuh peluh. Keringat menetes dari dahiku tanpa
henti hingga rambut menempel tak nyaman ke leher dan wajahku.
“Cuma mimpi.” Tegasku padanya.
Ia mengernyit dan menarik napas dalam. “Ini
sudah ketiga kalinya kau berteriak seperti itu, Youva. Itu mimpi yang sama?”
Donghae menyodorkan segelas air mineral
padaku dan segera kuhabiskan dalam sekejap. Aku tidak menjawab pertanyaannya,
hanya mengangguk sambil memandangi selimut yang kugenggam erat.
“Apa yang kau cemaskan?” desah Donghae
lalu mengerjap bingung. Ia nyaris terdengar khawatir seandainya alisnya tidak
bertautan. “Mimpi buruk biasanya manifestasi dari rasa cemas. Kau tidak akan
bisa berhenti mendapatkan mimpi seperti itu jika kau tidak berusaha
mengendalikan kecemasanmu, Youva.”
Kupandangi wajah Donghae perlahan-lahan,
mencoba menjelaskan padanya kalau aku memimpikannya. Tapi egoku lebih berkuasa hingga bibirku masih tertutup rapat
tanpa berhasil mengucapkan apapun.
Menyadari keenggananku bercerita, Donghae
kembali menghela napas. Ia melirik jam tangan Bvlgari-nya dan berkata dengan
suara lelah. “Ini masih pukul empat pagi. Kembalilah tidur, Miss Cardia. Usahakan
kau tidak menjerit lagi. Atau..” perkataan Donghae sempat menggantung sejenak, namun Donghae terlihat agak ragu saat menyelesaikannya.
“Kau butuh pil tidur?”
Aku menggeleng. Donghae mengangguk kecil
dan segera berlalu, meninggalkanku yang terlihat kusut, berantakan, dan wajah penuh
keringat di atas tempat tidurnya.
Benar, ia sama sekali tak mengijinkanku untuk
meninggalkan kamarnya sejak kemarin malam, saat ia memelukku dan berjanji bahwa
semuanya akan baik-baik saja. Menurutku bagian terbaiknya adalah saat tubuhnya mendekapku
dengan hangat. Tapi sialnya itu juga bagian terburuk, karena setelahnya aku terus
menerus memimpikannya tanpa henti. Dan tak pernah di dalam mimpiku aku
melihatnya hidup. Itu yang membuatku
takut. Apakah ia bakal terbunuh? Dengan Johan sebagai lawannya, hanya ada dua
kemungkinan besar; membunuh atau dibunuh. Yang manapun bukanlah solusi terbaik
untukku.
Selimutku kini terasa semakin berat. Uap
panas menjalar di sekujur tubuhku hingga akhirnya kuputuskan untuk mendorong
benda itu menjauh. Aku berbaring miring, melihat siluet fajar yang mulai
merekah di kaki langit. Lampu-lampu kota seakan berusaha menyaingi kekuatan sang
Surya, berkelap kelip bagai bintang di tengah kesibukan kota Los Angeles yang
tak pernah usai. Mau tak mau aku berpikir bahwa dunia akan tetap bergerak
dengan kecepatan yang sama meskipun seseorang atau sekumpulan orang tewas hari
ini. Tak ada yang berubah. Dan sambil menyesal aku menyadari bahwa kalau saja kemarin
tembakan sniper Johan mengenaiku tepat di kepala, barangkali aku tak akan
berada di sini, saat ini.
Kepalaku terasa berat, membuat kelopak
mataku bergetar karena udara yang mulai menggigit. Benakku memprotes
kedinginan, tapi belum sempat aku menarik kembali selimut tebal itu, kesadaranku
telah hanyut dan bergabung dalam mimpi..
***
Pukul delapan pagi, aku terbangun setelah
terlebih dulu menggeliat berulang kali di atas ranjang. Sinar matahari yang
menyilaukan mengisi setiap sudut kamar Donghae, membuatku harus menyipitkan
mata saat melihat sekeliling. Aku berjingkat menuju pintu, membuka sedikit
celah agar bisa mengintip keadaan di luar. Tapi sama sekali tak ada tanda-tanda
kehidupan. Jadi kuputuskan untuk keluar dan masuk ke kamar belakang, mengambil
peralatan mandiku lalu segera menghambur masuk ke kamar mandi tanpa menimbulkan
suara.
Saat aku selesai mandi, kulihat Donghae
telah duduk di konter dapur dengan tangan kiri memegang harian LA Today dan tangan kanannya menggenggam
cangkir yang tampaknya berisi kopi. Aku menggumamkan “selamat pagi,” dengan
canggung dan ia membalasku tanpa mendongakkan kepalanya. Sepertinya aku tak
cukup layak mendapat perhatiannya pagi ini.
Aku beringsut mendekat, berdiri di
sebelahnya dengan kikuk. Tentu saja ia menyadari kehadiranku tetapi
pandangannya masih tertuju pada surat kabar itu.
“Kau ingin kopi? Atau cokelat panas? Buat
dirimu nyaman, Miss Cardia. Aku sama sekali tidak keberatan kau memakai
dapurku.” Katanya tiba-tiba. Aku meliriknya singkat tetapi segera mengambil cangkir
oranye di atas meja dan membuat secangkir cokelat panas dalam waktu kurang lima
menit. Dengan ragu aku mendudukkan diriku tepat di seberangnya. Cangkirku
terasa hangat tetapi aromanya menenangkan.
“Err.. Sir? Boleh aku bertanya?”
“Tentu.” Jawabnya masih mengacuhkanku.
“Begini—uhm, aku—aku ingin tahu apakah
setelah semua ini aku masih menjadi sekretarismu atau.. yah, aku ingin tahu
saja.” Tatapanku berpindah pada permukaan cangkir saat ia perlahan memandangku.
Donghae memberiku satu tatapan menilai
yang cukup lama hingga rasanya perutku mulas. “Beritahu aku apa yang kau
inginkan,” katanya tanpa ekspresi. Aku bergerak gelisah di kursiku.
“Aku—err.. sebenarnya aku harap aku bisa
terus bekerja dengan anda, Sir.” Jawabku nyaris berbisik.
“Kenapa?” tanyanya lagi. Kali ini ia
menggeser surat kabar itu dan menatapku lekat-lekat. “Kuharap kau memiliki alasan
yang bagus.”
Sebelum menjawabnya, aku berdeham satu
kali—mencoba menutupi kegugupanku. “Karena seperti yang sudah kukatakan pada
anda sebelumnya, aku harus melunasi hutang keluargaku. Tapi kalau anda tidak
menginginkannya, Sir, aku pikir sebaiknya aku mulai mencari pekerjaan lain
sekarang.”
Donghae melipat tangannya di dada. Menimbang
alasanku dengan wajah datar dan tanpa ekspresi apapun yang bisa kuartikan
selain ketegasan. “Kau pasti ingat bahwa aku melarangmu untuk pergi kemanapun dan
aku yakin kalau aku telah menekankan bahwa eksistensimu sedang berada dalam
bahaya, Miss Cardia. Jadi katakan padaku kenapa kau memiliki ide sinting untuk
mencari pekerjaan lain.”
Aku menatapnya. Marah dan tersinggung. “Itu
bukan ide sinting ataupun tolol, Sir. Aku yakin aku telah menekankan padamu
bahwa keluargaku memiliki hutang dan aku harus segera melunasinya.” Aku sengaja
menggunakan kalimat yang sama dengan Donghae, berniat menyindirnya. Tapi pria
itu bahkan tidak terlihat kesal ataupun bereaksi seperti yang kuharapkan.
“Tenanglah, Miss Cardia. Aku tidak ingin
berkonfrontasi denganmu pagi-pagi. Tentu saja aku sudah mempertimbangkan
semuanya—termasuk masalah pekerjaanmu. Kau sekretarisku, Miss Cardia. Ya, itu
sudah pasti. Dan kau tidak perlu mengancamku untuk membiarkanku terus
mempekerjakanmu atau mencari pekerjaan lain, karena itu tindakan bodoh.”
Entah kenapa pipiku bersemu mendengar
penjelasannya. Apakah aku terdengar seperti sedang mengancamnya? Dan kebisuanku
yang begitu mendadak membuat Donghae menaikkan sudut bibirnya.
“Aku memanggilmu ‘Miss Cardia’, ingat? Itu
artinya kau masih bawahanku.” Katanya ringan—namun aku yakin ia sedang menggodaku
karena setelahnya ia menambahkan, “dan tentu, dengan begitu kita tidak akan
bisa bermesraan.”
Aku nyaris meledak karena malu. Begitu
malu hingga wajahku merah padam saat mengingat semua sentuhan-sentuhannya—ciumannya,
pelukannya dan perhatiannya yang seakan menggelepar di dadaku. Donghae
menikmati setiap perubahan di wajahku dengan senyum puas dan ia menyesap kopinya
yang masih mengepulkan uap panas. Aku tidak berani menatapnya—bahkan untuk
meliriknya sebentar saja karena aku yakin pria itu masih menanti reaksiku. Sebagai
gantinya, aku mengalihkan pembicaraan kami.
“Kalau begitu apakah kita tidak segera ke
kantor, Sir?” tanyaku menyedihkan. Maksudku, sangat menyedihkan dengan wajah
merah padam, suara serak dan pandangan masih tertanam di cangkir cokelat
panasku.
Dari sudut mata kulihat Donghae menarik korannya
lagi sebelum akhirnya menjawabku. “Tidak, kita tidak akan kemana-mana hari ini.
Setelah insiden kemarin, aku pikir sebaiknya kita tetap menghilang untuk
sementara waktu. Ngomong-ngomong, kau belum melihat berita?”
Pertanyaannya membuatku bingung. “Belum,
Sir. Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Untuk sejenak, sepasang mata cokelat muda itu
menatapku penuh arti. “Kejadian kemarin, Miss Cardia, sayangnya telah tersebar
dengan cepat. Dan agaknya aku harus berterima kasih padamu karena pagi ini
saham Andersen Co. jatuh. Meskipun tidak ada spekulasi yang mendekati kebenaran, tetapi tetap saja publik
mengetahui—seperti yang dikatakan Koran ini—‘bahwa Robert Andersen mencoba
membunuh seorang wanita muda di tengah kota kemarin siang. Wanita itu diketahui
bekerja sebagai sekretaris baru dari seorang pengusaha ekspor-impor paling berpengaruh
di Los Angeles, Lee Donghae. Hal ini menimbulkan kegelisahan bagi para pemegang
saham karena itu berarti bahwa Robert Andersen telah mendeklarasikan perang
secara terbuka.’” Donghae mengutip kalimat dari Koran yang dibacanya dan berpaling
lagi kepadaku. “Lihat? Kali ini mereka telah bertindak gegabah, tetapi dengan
begitu kita mendapat kesempatan untuk menyudutkannya.”
Aku terenyak. Berita kemarin telah
menyebar? Dan apakah… “Apakah ada nama-nama lain yang tertera di berita, Sir?”
Kembali kurasakan tatapan Donghae memandangku
dalam. “Kalau maksudmu Jason Andersen, tentu saja tidak. Bagaimanapun juga kami
adalah pebinis sejati, Miss Cardia. Sangat tidak mungkin untuk membocorkan pada
media mengenai kejadian yang sebenarnya karena hal itu akan menimbulkan sederetan
isu yang bakal berkembang lebih luas daripada yang bisa kau bayangkan.” Ia
menjelaskan dengan cepat. “Lagipula hal itu sudah di urus. Aku bahkan tidak
menyebutkan namamu dan alasan mengapa kau menjadi target pembunuhan. Tetapi aku
harus membenarkan pernyataan bahwa kau sekretarisku karena ada banyak saksi
mata yang melihatku melindungimu.”
“Apa pihak kepolisian tidak mencariku? Maksudku,
publik memberitakannya sebagai ‘percobaan pembunuhan berencana’, bukan?”
Tiba-tiba Donghae tersenyum padaku, menampilkan
binaran kekaguman lewat pandangannya kali ini. “Kau cukup tajam, Miss Cardia.
Tapi seperti yang kusebutkan, semua itu sudah diurus. Kau diberitakan masih
berada dalam kondisi ‘syok’ dan dalam perawatan lanjutan. Tidak akan ada sesi
interogasi untukmu karena aku telah menjawab semua pertanyaan yang mereka
ajukan semalam.”
“Semalam?”
“Ya, saat kau masih berada dalam pengaruh
obat penenang. Jangan khawatir, semuanya telah ditangani dengan baik.”
Setelahnya Donghae memusatkan kembali konsentrasinya pada harian LA Today dan membiarkanku bergumul
dengan pemikiran-pemikiran baru.
Pria itu menolak saat kubuatkan sepiring nasi
goreng dengan daging asap dan sosis. Ia berdalih kalau ia tidak memakan apapun selain
dua lembar roti tawar di pagi hari serta secangkir kopi organik. Aku mencatat jawabannya
dalam hati, meyakinkan diriku agar bisa menyediakan sarapan yang ia kehendaki
besok.
Seperti yang bosku katakan, ia tidak
mengijinkanku menggunakan laptop, ponsel atau bahkan melangkahkan kaki keluar
dari apartemennya sama sekali. Jadi setelah selesai mengerjakan laporan yang di
bawa Chad pukul sepuluh pagi tadi, aku hanya bisa berbaring resah di atas ranjang
putih luas milik Donghae. Pria itu sendiri masih sibuk dengan seorang klien
pria yang datang satu jam lalu dan mereka berdiskusi di dalam ruangan kerjanya.
Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Donghae juga melarangku masuk. Dan
sekarang, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengamati kamarnya.
Seluruhnya ada lima belas petak ventilasi
di langit-langit. Berbentuk petak persegi tanpa sekat apapun. Aku juga
menghitung cermin di dalam kamar ini yang mencapai dua puluh dua cermin yang
bergantungan di sepanjang dinding. Mau tak mau pikiranku membentuk komentar
miring mengenai kesukaannya. Apakah pria itu terjangkit narsisme yang begitu
parah hingga ia harus memajang puluhan cermin di kamar? Pantulan wajahku di
beberapa cermin membuatku bergidik dan aku memutuskan untuk berhenti mengamati
cermin-cermin itu.
Kamar ini benar-benar kosong. Tempat
tidurnya di letakkan di tengah ruangan dan menyisakan ruang lebar di kedua
sisinya. Dindingnya berwarna putih, begitu juga dengan tirai di pintu geser
serta selimut dan seprei. Ditambah dengan sinar matahari yang berkilauan, kamar
ini seakan bercahaya. Tetapi pendingin ruangan yang terus menyala serta angin segar
yang bertiup dari balkon menjadikan kamar ini benar-benar sejuk. Aku bisa saja
betah berlama-lama di sini—bahkan mengurung diri untuk menikmati kesendirian—kalau
saja aku tidak terlalu gelisah.
Mulanya aku hanya merebahkan diri,
menggumam kesal karena kebosanan dan keinginan untuk mendapatkan akses ke
internet. Tapi tidak lama kemudian pikiranku perlahan menjadi santai dan meskipun
aku berusaha terjaga, kelopak mataku semakin berat, mengajakku bergabung dalam kedamaian
di alam mimpi.
Rasanya baru satu detik yang lalu aku memejamkan
mata tapi saat aku terbangun, langit-langit kamar telah berubah gelap. Aku
tersentak. Benakku sibuk menghitung berapa jam aku tertidur dan terburu-buru
bangkit hingga nyaris melewatkan sebuah siluet di depan balkon. Aku memusatkan
pandanganku dan menyadari kalau seseorang itu adalah bosku, Lee Donghae.
Ia mengenakan jubah putih panjang yang berkibar
karena hembusan angin malam. Tangannya memegang sebuah gelas berkaki dan ia menggoyangkannya
perlahan. Aku membeku di tempatku berdiri, menyaksikan punggungnya yang kokoh dan
lebar. Dari belakang pun sosoknya benar-benar menggoyahkan tekadku. Ia terlihat
sempurna. Bagai lukisan seorang seniman terkenal; Berlatarkan pemandangan kota Los
Angeles yang gemerlap oleh ribuan kerlap-kerlip cahaya lampu, serta langit
malam dengan sinar bulan pucat yang menggantung sepi.
Angin berhembus lagi, membuat tirai tersibak
ke mundur, seolah memanggilku untuk segera mendekat. Aku malah ingin berlari, melingkarkan
kedua tanganku pada tubuhnya yang hangat dan membenamkan wajahku pada punggung
Donghae yang terlihat kesepian. Tapi jangankan untuk bergerak, bersuara pun aku
tidak mampu. Perhatianku benar-benar terhisap seluruhnya ke dalam pesona Lee
Donghae.
“Bergabunglah, Miss Cardia.” Bisiknya
semerdu angin. Aku menduga itu hanya ilusi sampai kulihat ia memutar kepalanya ke
arahku dan menatap dengan pandangan sendu. Well,
enggak deh. Aku sama sekali tidak sungguh-sungguh yakin kalau ia menatapku
sendu. Tapi dengan suasana gelap seperti ini, tak ada yang bisa kusimpulkan
selain itu.
Aku mendekat. Mencoba menggerakkan kakiku seperti
robot; kiri-kanan-kiri-kanan. Lalu
akhirnya aku tiba persis tiga langkah dari punggungnya yang masih terdiam.
Ingin sekali aku menyentuhnya dengan kedua tanganku tetapi kutekan hasrat
sinting itu dalam-dalam dan segera berdiri di sampingnya dengan gugup.
“Pemandangannya indah,” komentarnya sambil
menatap cakrawala. Aku menggumamkan persetujuan lemah—masih terpesona penuh
padanya—dan ia berpaling padaku lambat-lambat. “Ini,” ia menawarkan gelasnya
yang berisi wine.
“Terima kasih, Sir. Tapi aku tidak pernah minum
anggur sebelumnya—”
“Kalau begitu kau harus coba. Ini Chateau Lafite tahun 1962, Miss Cardia. Sangat
tidak kusarankan untuk menolaknya. Cobalah, dan kau akan setuju dengan perkataanku
tadi.”
Aku ragu saat mengambil gelas dari
tangannya sementara pria itu menatapku dengan antusias. Tapi kuputuskan untuk
menerima kebaikannya karena sepengetahuanku, semakin tua usia wine, maka semakin mahal harganya. Aku
baru akan berniat meneguk habis minuman itu saat tiba-tiba jemari Donghae
mencengkram pergelangan tanganku, menahan gerakanku.
“Bukan seperti itu, Miss Cardia.” Katanya
lembut. Ia menarik tanganku menjauh dari bibir dan berkata lagi dengan tangannya
masih menggenggamku. “Kau harus menggoyangkan gelasnya seperti ini—” Donghae
mencontohkannya padaku, menggerakkan tanganku di bawah kendalinya, “—lalu hirup
aromanya.”
Kuikuti perintahnya dan menghirup aroma yang
kaya dari anggur itu. Oke, rasanya mungkin sedikit pahit tapi tetap saja
menyenangkan. Ia tersenyum saat melihat ekspresiku yang terpana.
“Kau merasakannya, bukan? Aromanya begitu
kuat, memabukkan tetapi juga hangat. Ini anggur terbaik yang ditanam di perkebunan
sebelah barat Perancis, dengan penyulingan hati-hati dan penuh perhatian. Aku yakin
kau setuju denganku kalau Anggur ini sangat nikmat saat kau mencicipinya.” Kata-katanya
bergerak bagai semilir angin yang sejuk, menenangkan namun penuh gejolak.
“Rasakan di ujung lidahmu, Youva. Biarkan satu
tetesnya membuatmu merasakan indahnya pemandangan kota. Saat minuman itu
berpindah ke kerongkonganmu, panasnya akan membakar. Tetapi dalam sekejap akan
membuat tubuhmu hangat, melepaskan kegelisahanmu lalu akan mengubahnya menjadi kabut
kelegaan.”
Aku mengikuti semua perkataan Donghae. Di
bawah tatapannya yang terus menelisikku, aku mencecap minuman itu dan mendapati
semua perkataannya adalah fakta. Aku memejamkan mata, tersenyum dalam kelegaan
yang muncul begitu saja. Kudengar lagi suaranya yang merdu berbisik di
telingaku.
“Bagaimana menurutmu?”
“Rasanya lezat.” Aku mengakui dan membuka
mataku perlahan. Jantungku mungkin masih kepanasan karena efek anggur, tetapi dengan
kedua mata Donghae yang memandangku lurus, aku merasa pertahanan diriku mulai
runtuh satu persatu. “Aromanya yang terbaik. Tetapi rasanya sungguh kaya. Rasa
manis mendominasi, tetapi bersaing dengan tajamnya aroma anggur.” Jelasku
berusaha fokus. Di sebelahku, Donghae
tersenyum puas.
“Benar.” Katanya mengiyakanku. “Kau
mendeskripsikannya dengan baik sekali, Miss Cardia.”
Aku tersenyum malu mendengar perkataannya.
Sama sekali tak tahu harus berkomentar apapun.
“Ini tempat kesukaanku. Dari sini aku bisa
melihat bentangan langit Los Angeles yang di penuhi polusi, tapi biar begitu
pemandangannya tetap saja indah.”
“Anda benar, Sir. Pemandangan adalah hal
terbaiknya.”
Donghae menarik napas perlahan. Tangannya yang
berpegangan pada pembatas balkon terlihat sedikit tegang. “Kau tahu, Miss
Cardia, hidup selalu seperti ini. Terlihat indah dari kejauhan, namun begitu
penuh sesak di dalamnya. Berlika-liku hingga rasanya membuatmu lelah tak
tertahankan. Tapi saat kau berhasil berdiri di atas dan melihat ke bawah, kau
akan mengerti bahwa hidupmu adalah sebuah seni, membentuk setiap persimpangan yang
akan membawamu pada sebuah tujuan dalam hidup.”
Aku menatapnya bingung, tapi otakku tak mampu
memikirkan apapun. Nampaknya efek anggur itu semakin meracuni otakku. Sebab
kini perhatianku hanya terfokus pada helaian rambutnya yang tertiup angin, bergerak
perlahan hingga rasanya jantungku kembali berdebar keras. Aku salah, Lee
Donghae adalah hal yang terbaik untuk saat ini.
“Masuklah dan hangatkan dirimu di dalam. Udara
akan turun semakin rendah.” katanya memecah lamunanku. Aku mengerjap beberapa
kali, mencoba mendapatkan konsentrasiku kembali.
“Anda tidak ikut masuk, Sir?”
Donghae melirikku sekilas namun segera mendesah
pada bentangan pemandangan luas di depannya. “Tidak. Aku akan di sini sebentar
lagi..” ia menggigit bibirnya satu kali, terlihat gugup. “Dan kau bisa kembali
ke kamarmu, Miss Cardia. Aku pikir aku akan menggunakan kamarku malam ini. Satu
lagi, pastikan kau mengunci kamarmu ketika tidur. Aku tidak ingin terjadi hal
yang tidak kuharapkan.”
Rasanya kesadaran bergerak lambat dalam
kepalaku. Tapi saat kusadari arti perkataannya, aku menunduk malu dan hanya
mampu bergumam tidak jelas. Memangnya apa yang tidak ia harapkan? Memikirkannya
saja membuatku merasa malu setengah mati.
Tapi segera kutinggalkan pria itu sendiri
di balkon kamarnya dan menuju konter dapur. Aku tadinya kelaparan, sebelum kepalaku dipenuhi bayangan wajah dan senyum
Lee Donghae yang mempesona. Sekarang, setelah nafsu makanku minggat ke bulan,
aku hanya bisa terduduk di atas kursi dapur dan mengaduk piringku yang di
penuhi salad buah tanpa minat sama sekali.
Apakah efek anggur mahal ataukah pemandangan
malam Los Angeles yang membuatku merasa salah tingkah seperti ini? Apapun itu,
aku tahu jawabannya bukan salah satunya.
***
Selama beberapa hari ke depan, aku dan
Donghae menghabiskan waktu di apartemen dengan Chad yang datang yang datang
setiap hari. Ia membawakan laporan-laporan yang di kirim dari perusahaan dan
pria baik hati itu terkadang membantuku menyelesaikannya karena tumpukan
laporan itu benar-benar di luar batas toleransi. Kadang Chad juga membawa makanan
favoritku, croissant dan nacho, tapi saat ia membelikan pesananku—mi
ramen instan di supermarket—Donghae langsung membuang benda itu bahkan sebelum
aku membuka tutupnya.
“Jangan makan sampah di apartemenku.” Desisnya galak dan menghilang ke dalam
ruang kerjanya. Aku memutar mata lalu mencibir di balik punggungnya. Chad nyengir
melihatku dan bersama-sama kami mulai membuka laporan bagian administrasi.
Akhirnya aku mengetahui bahwa Donghae memiliki
gaya hidup sehat; kulkas penuh dengan buah-buahan dan sayur organik, satu set treadmill di salah satu ruangan—ia
selalu menyempatkan diri untuk berolahraga setiap pagi—dan juga kebiasaan menghindari
makanan junk food. Jadi saat ia
melihat Chad dan aku menggigit besar-besar potongan burger dengan keju ekstra, Donghae
memberikan tatapan jijik pada kami berdua. Lalu kami akan nyengir di
belakangnya.
Donghae juga punya kebiasaan menginterupsi
percakapanku dan Chad. Kadang ia juga ikut duduk bersama kami di ruang tengah
meski jarang sekali mengatakan sesuatu selain komentar pedas. Ia memang mengurangi
sifat diktatornya, tetapi belakangan ia semakin sering menggerutu.
“Ia benar-benar frustasi berada di sini,”
ujar Chad mengangkat bahu.
“Dia, kan, bisa saja pergi keluar kalau
mau.” Kataku heran.
“Dan meninggalkanmu sendiri? Tentu saja
tidak.”
Aku menatap Chad bingung. “Bukannya ada
kau yang menemaniku?”
Chad terlihat ragu selama sedetik, tapi ia
tersenyum. Saat itu kami berdiri di balkon ruang tengah dan mata hijaunya
berpendar terang di bawah sinar matahari. “Well,
itu cerita lain.” Jawabnya pendek lalu langsung masuk kembali saat Donghae
muncul dari kamarnya.
“Johny Verto mengundangmu secara khusus
untuk bisa hadir pada pestanya minggu depan, Miss Cardia. Meskipun aku telah mewakilimu
untuk menolaknya.” Donghae berkata ringan, tidak merasa terganggu dengan
kerutan di dahiku.
“Aku tidak bisa pergi?” tanyaku padanya.
Ia merebahkan diri di atas sofa di depanku
dan Lee Donghae melipat tangannya di dada. Aku benci itu. Sebab pria ini
menolak mengenakan apapun yang ‘pantas’ selama di apartemennya. Ia selalu
memakai kaus putih—atau biru langit—dengan potongan lengan rendah dan membuat
otot dada juga otot lengannya seakan unjuk diri jika ia menggerakkan lengannya
sedikit saja. Akibatnya aku bakal kepayahan bernapas.
Fokus,
perintahku pada otakku yang mulai membangkang.
“Kau tidak
boleh pergi. Ada pertanyaan lain?”
Aku memajukan bibirku dan membentuk
ekspresi terluka. Di sebelahku Chad menaikkan alisnya. Kuberitahu ya, baru kemarin
aku mengetahui dari Chad kalau Donghae tidak suka melihatku menggigit bibir
atau bahkan melakukan sesuatu dengan
bibirku karena pria itu bakal
menyipitkan matanya dengan galak dan memandangku penuh peringatan. Oh, please, ini kan bibirku! Tapi aku selalu
melakukannya secara sengaja, merasa sedikit terpuaskan dengan ekspresinya yang menggeram
kesal.
“Tidak bisakah aku pergi? Sebentar saja,
please?”
Seperti dugaanku, Donghae menyipitkan
matanya dan menghela napas panjang saat aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Ia
terlihat terganggu dan aku menikmatinya.
“Tidak. Dan aku tidak ingin berkompromi
apapun denganmu sekarang. Tutup mulut, Miss Cardia.” Katanya separuh membentak.
Chad bergetar menahan tawa di sampingku dan aku menyikutnya saat Donghae tidak
melihat kami.
Menyenangkan sekali seperti ini. Rasanya aku
bisa mempermainkan bosku sendiri karena biasanya ia yang terus-terusan
menggodaku. Aku masih ingat saat dua malam yang lalu ia menawariku untuk menginap
di kamarnya dan sebagai gantinya aku akan turun pangkat menjadi penjaga lobi. Kalau
saja aku tidak ingat bahwa pria itu sedang melindungiku, aku yakin aku sudah
melemparinya dengan standing lamp atau
vas bunga terdekat.
“Oke. ” Kataku pasif. Donghae mengernyit
sedikit. Mungkin ia merasa terganggu dengan nadaku tapi aku tidak sempat
memikirkannya lagi sebab Chad menginterupsi kami.
“Ngomong-ngomong, kau dapat surat, Youva.”
Ujar Chad di sofa. Ia mengeluarkan tumpukan kertas dari saku jasnya dan
meletakkannya di atas meja. Aku baru akan mengambilnya ketika Donghae lebih
dulu meraih surat-suratku.
“Surat tagihan listrik, tagihan air, tagihan—ya
ampun, kenapa kau memiliki begitu banyak tagihan? Dan ini—” Donghae mendengus
saat membaca tulisan di amplop biru. “—Undangan klub buku! Astaga kau begitu
culun, Miss Cardia.”
Aku yakin tengkukku warnanya sudah merah
terang sekarang. Dengan satu gerakan cepat, aku menyambar semua surat-surat di
tangannya dan ia mencibir padaku.
“Dan ini surat dari tetanggamu,” kata Chad
lagi. Kali ini ia menyodorkan surat itu langsung padaku, tidak mengindahkan
tatapan Donghae yang berkilat kaget.
“Tetanggamu mengirimmu surat? Yang benar
saja.” Gerutu Donghae. Tapi bisa kulihat ia penasaran. Sama penasarannya dengan
Chad yang menanti dengan wajah tegang.
“Ini pernah terjadi. Bibi Major kadang mengirimiku
surat—seperti saat aku ke Oklahoma untuk menyelesaikan penelitianku—” Aku
membuka amplopnya yang berwarna merah dan tak menyertakan alamat. “—Karena
wanita tua itu tidak memiliki siapapun untuk diajak bicara. Dan—” kalimatku
terpotong saat aku mendapati bahwa surat itu ternyata bukan dari Bibi Major. Aku
tahu persis tulisan Bibi Major yang miring dan halus, sama sekali berbeda
dengan yang ini. Tulisannya lebih
kasar, hurufnya tegas dan ada sesuatu yang membuatku amat familiar; huruf g-nya di tulis dengan dua bulatan yang saling
tumpang tindih. Dan aku tahu hanya satu orang yang kukenal yang membuat huruf
seperti itu. Johan Stavilosky.
Tapi bukan itu yang membuatku memucat
ketakutan. Tetapi rangkaian huruf di atas kertas lah yang menjadi penyebabnya. Tak
ada salam, pertanyaan remeh atau basa-basi apapun. Hanya sebuah alamat lengkap.
Bukan alamatku, tetapi alamat Ibuku
di Indonesia.
Tidak
mungkin.
“Sesuatu yang gawat?” tanya Chad tak
sabar. Tampaknya ia menyadari wajahku berubah ngeri. Aku mendongak menatapnya,
menemukan sepasang mata hijau cemerlang yang terlihat khawatir dan tegang. Lalu
tatapanku berpindah pada Donghae—yang menunjukkan wajah datar meski aku tahu ia
juga penasaran.
“Chad, kau—apa yang bibi Major katakan saat
ia menyerahkan surat ini?” suaraku nyaris bergetar. Mereka berdua menangkap ada
yang tidak beres dan saling berpandangan sejenak.
“Tidak banyak. Dia Cuma menggerutu menanyakan
keberadaanmu dan berkata kalau aku harus menyampaikan surat itu padamu secara
langsung.”
“Katakan ada apa.” Perintah Donghae dengan
nada mutlak. Aku menyerahkan surat itu dengan tubuh menggigil dan kulihat
perubahan juga terjadi pada ekspresi Donghae juga Chad.
Semuanya terjadi begitu cepat satu detik
kemudian. Donghae mengambil ponselnya dan menekan beberapa kali sebelum berpaling
pada Chad. “Sialan, Chad. Cepat hubungi Mark. Kode merah.” Chad mengangguk dan segera
melaksanakan perintah Donghae.
Aku hanya terpaku, masih berdiri di tempat
yang sama, memandangi dua orang pria di depanku yang terlihat gusar dan berbicara
dengan intonasi yang begitu cepat. Donghae meremukkan surat itu dalam kepalan
tangan dan nadanya terdengar panik saat berbicara dengan seseorang lewat
ponselnya.
“Jason mengetahui alamat Diana. Segera amankan
lokasi dari radius satu mil. Periksa seluruh daftar mencurigakan yang mungkin saja
terlibat…. Bukan, aku baru mengetahuinya beberapa menit yang lalu… Benar,
segera posisikan tim alfa-2 untuk terjun ke lokasi. Baiklah, hubungi aku dua
puluh menit lagi.”
Donghae menutup ponselnya dan aku langsung
memberondongnya dengan pertanyaan kacau. “Sir, apa yang terjadi? Kenapa—ada apa—maksudku
apakah ibuku baik-baik saja? Sir,—” Donghae mengangkat tangannya, menyuruhku
diam karena saat itu Chad baru menyelesaikan pembicaraannya.
“Sir, ini gawat. Target telah menghilang
selama dua puluh empat jam. Mark mengatakan bahwa ponselnya mati dan lokasi
terakhirnya ada di sekitar pasar tradisional, 5 kilometer dari rumahnya. Aku
telah memintanya untuk bersiaga penuh selama beberapa jam ke depan.”
“Tolong,” aku nyaris menjerit saat mengucapkannya.
“Jelaskan padaku apa yang terjadi.”
Chad memandangku gelisah, tetapi Donghae
yang menjawabku. Suaranya pelan, tegas. Tapi nadanya juga sangat khawatir. Dan
aku nyaris menangis saat ia mengatakan padaku satu kalimat singkat.
“Miss
Cardia, Ibumu diculik.”
Bumi rasanya luluh lantak di bawah kakiku,
menjadikan kedua kakiku goyah dan seketika tubuhku berubah menjadi agar-agar
lumer—tak bertenaga dan limbung ke bawah. Aku tak bisa melihat apapun. Kedua
mataku hanya menampilkan wajah ibu yang tersenyum, tertawa lebar dan kini wajahnya
menjauh.
Aku tenggelam dalam kegelapan tak berujung
saat seseorang menahanku. Tapi sudah terlambat. Tak ada yang bisa kulakukan
selain menyesal sekarang.
Maafkan
aku, Ma.
***
Napasku terasa berat. Setiap tarikannya
seakan membakarku, menyentakku ke dalam sensasi tersayat aneh hingga aku tak
bisa leluasa menghirup udara. Dengan tersengal-sengal aku mencoba dan mencoba lagi,
tetapi semakin aku mencoba untuk mencari oksigen, paru-paruku rasanya terus
menciut. Aku ingin membuka mata, tapi entah kenapa otot-otot mataku tak bekerja
seperti yang kuharapkan. Dan kusadari rasa sakit di kepalaku lah yang menjadi
sumber kelemahanku. Perlahan nyeri di kepalaku semakin hebat, membuatku
mengerang kesakitan.
“…Keadaannya
sangat memprihatinkan... aku tidak tahu karena dia terus menerus bergumam dalam
tidurnya... benarkah? Baiklah kalau begitu. Aku akan melihat perkembangannya
terlebih dahulu. Entahlah, semuanya terjadi begitu mendadak. Suhu tubuhnya
tinggi sekali dan aku takut kalau otaknya bisa rusak…
Aku yakin aku mendengar suara itu di dalam
kepalaku. Tapi aku sama sekali tak bisa memikirkan apapun. Kepalaku berdenyut
begitu mengerikan sekarang. Sendi-sendi di seluruh tubuhku seakan bakal copot
dalam sekejap. Berteriak kesakitan juga percuma, karena kerongkonganku kering
sekali, seolah terbakar oleh api tak kasat mata.
“Chad,
aku mau kau memastikan seluruh tempat aman karena kalau dia tidak sadar dalam waktu
24 jam, aku akan membawanya ke laboratorium…… Tidak, aku tidak bisa melakukan
itu, terlalu beresiko…… Kau tahu kalau Arthur sangat tertutup mengenai ide-ide
sintingnya—Ya, itu bisa terjadi
tetapi aku tidak ingin melakukan apapun sebelum dia sadar. Youva harus segera
sembuh.”
Rasanya ada aliran listrik yang mengejutkanku
karena kepalaku mulai berhenti disorientasi saat aku mendengar ia menyebut
namaku. Aku berusaha menggerakkan kelopak mataku—membuatnya mengejap lemah
beberapa kali. Tetapi tampaknya hal itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa aku
kembali sadar.
“Youva? Kau sudah sadar? Oh, terpujilah Tuhan!
Kalau kau mendengarku, bukalah matamu, Youva—”
Aku ingin menurutinya, tetapi sialnya saat
kedua mataku membuka secara penuh, lintasan kejadian berkelebat di kepalaku. Menghantamku
sedemikian rupa hingga rasanya tubuhku menggigil ketakutan.
“Ibu—”
“Sshh. Tenanglah. Kau harus—”
“Ibuku!” seruku panik. Kepalaku berdenging
keras sekali. Tapi aku mengacuhkannya dan mengumpulkan seluruh tenagaku untuk bangkit.
Donghae menahanku yang langsung limbung saat
akan melompat berdiri. Alih-alih, ia membantuku duduk. Aku mendorongnya menjauh
dan mencabut selang infus di pergelangan tanganku. Dan saat itu kusadari kalau bukan
Cuma satu infus, tapi ada tiga selang yang terpasang di tubuhku. Aku mengernyit
dan mencabut selang kedua. Namun Donghae menahanku saat aku meraih selang
ketiga.
“Kau harus tenang,” bisiknya memohon. Aku
menoleh pada pria itu dan mendapati kedua matanya memandangku lembut. Jantungku
nyaris memberontak kalau saja aku tidak memikirkan Ibu.
“Tidak. Aku harus pergi.”
“Kemana?” kali ini suaranya mulai
meninggi, tapi juga terdengar geli.
Aku terperangah. Dan sedetik kemudian
otakku memberikan jawabannya. “Flat-ku. Johan pasti ada di sana.”
“Omong kosong,” dengusnya terang-terangan.
“Anak buahku mengawasi tempat itu 24 jam penuh. Luar dalam.”
“Tapi—aku tidak bisa di sini—Ibuku—”
“Miss Cardia, tenanglah.” Kata Donghae
memerintah. Aku mengunci mulutku secara refleks, menatapnya penuh pengharapan—sekaligus
gelisah. “Ibumu baik-baik saja. Dia sekarang berada di Ohio bersama dengan sepuluh
bayi yatim piatu dan lima orang pengasuh bayinya.”
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak
menganga. “Ohio?” bisikku tak percaya. Donghae mengangguk cepat.
“Arthur memindahkannya tanpa sepengetahuanku—dan
harus kutambahkan, tanpa izinku—ke Ohio beberapa waktu yang lalu. Untuk saat
ini Diana aman di sana. Ketika aku mengetahui bahwa ia berada di bawah
perlindungan Arthur, aku segera menambahkan beberapa tenaga tambahan untuk
mengawasinya.”
Penjelasan Donghae membuat tubuhku
diliputi kelegaan yang luar biasa. “Itu bukan Johan?” gumamku lemah.
Ada sesuatu pada ekspresi Donghae yang
membuatku kembali cemas. Ia terlihat resah selama sepersekian detik, namun dengan
cekatan Donghae segera menyembunyikan semuanya dan tersenyum menatapku. “Sepertinya
dia hanya ingin memancingmu dengan mengumpankan alamat Diana.”
“Hanya itu?” tanyaku curiga. Sebagai
jawaban Donghae hanya mengangguk sambil melemparkan senyumnya yang luar biasa indah.
Aku nyaris tergoda untuk memperhatikannya—seluruh guratan di wajahnya saat
bibirnya melengkung naik, menciptakan kesan hangat di wajahnya, juga saat kedua
matanya menyipit menjadi garis tipis, menjadikannya begitu mempesona—Tapi akal
sehatku kembali berfungsi pada waktunya.
“Aku tahu ada yang tidak beres. Ceritakan
padaku.”
Dalam sekejap, wajah Donghae mengeras. Ia seakan
berganti topeng. Tetapi nadanya terdengar berhati-hati saat ia berkata padaku. “Tidak.
Kau belum siap untuk itu. Aku mau kau sembuh terlebih dulu.”
Aku kembali tercenung mendengar
penolakannya. Barulah kusadari mengapa tubuhku seakan begitu lemah. “Memangnya
aku kenapa?”
“Kau sudah tiga hari tidak sadarkan diri,
Miss Cardia. Seharusnya Cuma demam biasa, tapi kita bisa menggoreng telur di
wajahmu.”
“Kuharap tidak ada mengolesi minyak di
wajahku,” gumamku cemberut dan Donghae tertawa. Ia meremas jemariku ke dalam
telapak tangannya yang besar dan hangat.
“Aku senang kau sudah mulai baikan. Jangan
cemaskan apapun untuk saat ini, oke?”
Tadinya aku berniat untuk memprotesnya,
tetapi tampaknya tenagaku bahkan belum cukup untuk itu. Jadi aku menggigit bibirku
tanpa kusadari. Dan Donghae menggeleng padaku.
“Menggigit bibir juga jangan.” Perintahnya
kesal. Aku memberinya senyuman menyesal dan ia kelihatan kepingin mengacak-acak
rambutku tetapi tidak jadi. Cacing di perutku mengacaukannya.
“Kau lapar? Oh, tentu saja. Kau pasti
lapar. Tunggu sebentar. Akan kubawakan sesuatu.” Setelah mengucapkan itu, ia
menghilang ke luar dan kembali sekitar lima menit kemudian.
Saat pria itu masuk, ia mendorong pintu
dengan kakinya. Tangannya disibukkan dengan nampan yang berisi makanan dan
minuman. Ia meletakkan nampan itu di atas meja di sebelahku ketika aku
menginterupsinya.
“Kenapa bahkan ada alat pengukur detak
jantung di sini?”
Ia tidak segera menjawab, melainkan
menarik napas panjang dengan alisnya berkerut. “Kau mendapat serangan, Youva. Tim medis tidak bisa
menjelaskan alasannya dengan tepat selain menyimpulkan bahwa ada masalah dengan
psikologismu. Gejalanya juga aneh; kau terbangun dalam tidurmu, muntah lalu tidak
bisa bernapas. Setiap tiga jam sekali ada dokter yang memeriksamu dan mereka
mengatakan kalau kau tidak segera sadar, otakmu bakal rusak.”
Aku tahu wajahku pasti terlihat syok
karena pria itu langsung menambahkan senyum. “Tapi kau selamat.” Ujarnya
mencoba menenangkanku. “Nah, sekarang buka mulutmu.”
Segera saja aku memprotes agar ia membiarkanku
untuk makan sendiri, tetapi Donghae melotot garang padaku dan memaksaku
menurutinya. Kami nyaris bertengkar tapi akhirnya aku mengalah karena ia
mengancam tidak akan memberiku makan kalau aku tidak membiarkannya menyuapiku. Aku
sangat malu hingga rasanya wajahku terbakar, tetapi pria itu malah bersikap
biasa saja. Seakan aku adalah adiknya—temannya—atau mungkin tetangganya yang
kelaparan dan miskin.
“Apakah—err.. siapa yang membuat bubur
ini, Sir?” tanyaku saat isi piringnya tinggal setengah.
“Pembantu rumah tangga.” Jawabnya ringan.
Aku mengernyit. “Bukankah anda tidak suka ada
orang lain yang masuk ke apartemen anda?”
Donghae menatapku separuh kesal. “Benar. Tapi
aku tidak ingin meracunimu dengan masakanku. Kau puas sekarang?”
Sangat susah untuk menahan diri agar tidak
mendengus geli. Dan pria itu juga tampaknya tidak terlalu mempedulikanku karena
ia berupaya membuatku menghabiskan bubur itu namun segera kutolak
mentah-mentah. Perutku benar-benar sudah penuh dan memaksanya untuk makan lebih
banyak benar-benar ide buruk.
“Kau sangat keras kepala,” geramnya menahan
diri. “Oke, aku tidak akan memaksamu makan. Tapi ada yang ingin kutanyakan
padamu, Miss Cardia, dan kau harus menjawabku dengan jujur.”
Aku melawan godaan untuk menguap karena
mendadak kepalaku terasa ringan dan kelopak mataku semakin berat. Tapi demi
kesopanan, aku berusaha memperhatikan bosku.
“Tiga hari belakangan.. Kau terus bergumam
dalam tidurmu. Awalnya hanya igauan samar dan aku tidak mengerti sampai kemarin
malam, kau mengatakannya dengan sedikit lebih keras. Aku bertanya-tanya apa
yang kau mimpikan karena kau terlihat begitu menderita. Jawab aku, Miss Cardia.
Apa yang sebenarnya membuatmu resah?”
Perkataannya menimbulkan lubang yang
berusaha kututup di sudut hatiku. Menjadikanku gelisah dalam hitungan detik. Aku
menatap Donghae, tetapi pria itu memberiku tatapan lurus—membuatku segera
memalingkan wajah ke arah berlawanan.
“Chad berasumsi kalau kau merasa bersalah
atas penculikan Ibumu. Tadinya aku juga berpikir seperti itu, sampai tadi
malam, saat aku mendengar apa yang kau katakan dalam tidurmu.”
“Apa yang kukatakan, Sir?” tanyaku parau.
“Well,
kau tidak sedang dalam posisi bertanya, Miss Cardia.” Katanya tegas. Ia
menatapku tanpa berkedip. “Jawab aku.” Perintahnya lagi.
Aku memutuskan untuk memandangnya dan jantungku
berdetak aneh. “Aku.. aku takut, Sir.” Jawabku berbisik. “Aku melihat Johan
dalam mimpiku. Dia—dia—” Suaraku pecah di ujung kalimat.
“Apa yang dia lakukan?” desaknya lembut.
“Dia membunuh anda.” Aku bergidik
memikirkannya, tak berani menatap langsung ke kedua mata Donghae. “Tapi, Johan—dia
juga mati. Tubuhnya penuh darah. Dan—Oh, akulah
yang membunuhnya. Aku menyalahkannya karena menculik Ibuku—membunuh anda, jadi
aku menembaknya. Semuanya sangat nyata dan aku tidak bisa berhenti ketakutan.”
Tangisanku tumpah begitu saja. Meledak tanpa
terkendali. Dan aku mendengar Donghae berusaha menenangkanku. “Itu hanya mimpi,
Youva. Kau tidak perlu cemas. Bukankah sudah kubilang kalau semuanya akan
baik-baik saja? Jangan khawatirkan apapun.”
“Itulah
yang kucemaskan!” sergahku dengan suara meninggi. Air mataku tak membantu sama
sekali. “Kau bilang tak ada yang perlu kucemaskan? Tapi itu malah membuatku
semakin ketakutan. Aku bersembunyi dari mantan kekasihku yang gila dan ingin
membunuhku setiap saat, berniat menculik Ibuku dan kau bilang aku tak perlu
cemas? Apa kau sudah gila?!”
Aku menutupi wajahku yang kelihatan idiot
dan menangis keras-keras. Aku takut sekali. Padahal baru saja beberapa menit
yang lalu aku merasa lega karena ibu baik-baik saja—bahkan kepingin tidur
karena kekenyangan—dan pria itu merusak semuanya.
“Kau pikir aku akan membiarkannya membunuhmu?” aku mendengar Donghae berkata
dengan berang. Ia menarik sebelah tanganku dengan paksa. Genggamannya keras
sekali sampai aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengerang kesakitan.
“Aku
yang melindungimu, Youva.” Tegasnya lebih keras. “Tak ada yang perlu kau
takuti.” Donghae menggeram, menekan setiap suku kata.
“Aku percaya padamu, Sir. Aku yakin anda
memang akan melindungiku. Tapi bukan itu!” jeritku nelangsa. “Johan—dia masih
berkata kalau dia mencintaiku! Bahkan setelah aku menembaknya—membunuhnya—dia bilang
dia mencintaiku—bisakah anda mengerti hal itu—” Aku sadar kalau perkataanku
terdengar kacau dan semakin tidak terarah. Tapi aku benar-benar tidak bisa
mengendalikan diriku sekarang. Dengan cengkeraman Donghae yang semakin
mengeras, aku nyaris menjerit kesakitan.
Donghae menatapku nanar. Genggamannya
melemah. “Tapi itu Cuma mimpi, Youva. Itu tidak nyata.” Bisiknya parau.
“Aku tahu, Sir. Dan itulah yang membuatku sedih—”
“Kau masih mencintainya?”
Pertanyaan Donghae begitu langsung hingga
aku terperangah selama beberapa saat sebelum mampu menjawabnya. “Aku tidak
tahu. Seharusnya tidak lagi.”
“Kalau begitu berhenti menangis,” katanya memohon.
“Jangan menangisinya, Youva. Kau terlalu—dia tidak pantas untuk mendapatkan perhatianmu
seperti ini.”
Aku menyeka air mataku dengan tangan yang
satunya lagi tapi Donghae juga ikut membantu. Ia mengusapkan pipiku yang basah
karena airmata bodoh itu dan memandangiku lama sekali.
“Anda benar,” ucapku sambil tersenyum canggung.
“Aku tidak tahu kenapa aku jadi payah sekali.”
Donghae tersenyum sedikit. Masih memegangi
sebelah tanganku yang kini rasanya mulai membiru. “Kau harus belajar
mengatasinya, Youva. Lupakan Jason—atau Johan.”
Bibirku memberengut sedikit—hal ini
benar-benar di luar kendaliku—dan aku tersadar saat Donghae mengernyitkan
alisnya ketika memandangku. “Aku sungguh-sungguh ingin melupakannya. Tapi,
entahlah. Rasanya sulit sekali membuatnya hilang dari kepalaku.”
Kami berpandangan sejenak. Tapi ada
sesuatu dalam tatapan Donghae yang membuatku sedikit salah tingkah.
“Kau butuh bantuan untuk melupakannya?”
“Oh. Tidak, Sir. Tidak apa-apa. Aku yakin aku
hanya butuh waktu.” Jawabku pelan lalu tersenyum. Aku memberinya senyuman lebar,
merasa senang atas tawarannya yang kelewat baik hati.
Tetapi Donghae terpaku menatapku. Tampaknya
waktu berhenti di sekitar kami saat ia mengamatiku lekat-lekat. Dan di luar
dugaan, ia mendesah keras sebelum berkata, “aku bisa mengerti kenapa pria-pria
sialan itu menyukaimu. Tapi harus kukatakan aku tidak suka kau tersenyum
seperti itu, Miss Cardia. Apalagi menggigit bibirmu. Kau mengganggu
konsentrasiku.”
Rasanya ada yang menghantam goda tepat di hatiku
karena kini bisa kurasakan retakan benteng pertahanan diriku mulai runtuh tak
bersisa. Tatapan Donghae yang semakin intens membungkamku tanpa sedikitpun
tarikan napas. Paru-paruku megap-megap butuh udara, tapi aku bergeming. Menanti
dengan jantung menggelepar saat pria itu mendekatkan kepalanya ke arahku.
“Aku tak tahu matamu ternyata sangat cantik.
Tidak, tentu saja kau cantik. Tapi aku tak pernah bisa memahami itu sebelumnya.”
Suara Donghae semakin mengabur, sementara wajahnya terus mendekat ke wajahku.
Tubuhku membeku. Aku telah terbius dengan
tatapan Lee Donghae yang mematikan. Matanya yang berwarna cokelat muda itu benar-benar
membuatku kehilangan kesadaran. Dengan jarak sedekat ini, aku harap aku bisa
menghitung jerawat di hidungnya. Tapi wajahnya mulus tanpa cela. Membuatku iri,
sekaligus terpesona. Bibir pria itu membuka, membisikkan kata-kata yang tak
lagi bisa kudengar karena pendengaranku telah berhenti bekerja. Begitu juga
otakku. Aku yakin otakku memang sudah mencair. Meleleh karena aroma Donghae
yang memabukkan.
Wajahnya sangat tampan. Aku tak ingin menutup mata dan harus melewatkan
momen penuh sukacita saat bibirnya akan
memagutku.
Sebentar
lagi, bisikku dalam hati. Batinku berteriak kegirangan.
Aku bisa mencium aroma manis dari sapuan napasnya
sekarang. Tarikannya terdengar sedikit cepat, membuat irama dalam kepalaku. Donghae
memiringkan kepalanya sedikit dan aku hampir menutup mataku karena wajahnya
sudah sangat dekat tetapi aku mendengar sebuah suara.
“Bos, kau tidak berencana meledakkan
jantung pasien kita, bukan?”
Aku tersentak. Mengejap beberapa kali lalu
menghela napas pendek. Seketika itu juga Donghae menarik dirinya. Ia mendesah kecewa,
terlihat kesal dan melotot pada Chad. Aku bisa mendengarnya menggertakkan gigi
saat membalas perkataan Chad.
“Bisakah kau muncul lima menit lebih
lambat?” geramnya terang-terangan.
“Maaf bos, tapi kau punya tamu.” Ujar Chad
mengangkat bahu. Kemudian ia melirikku. Mata hijau cemerlangnya bersinar nakal.
“Jantungmu sangat sehat, Youva. Bunyinya bahkan terdengar sampai ke luar.” Ujarnya
menyeringai geli dan memberiku kedipan singkat.
Dalam waktu sedetik wajahku merah padam. Nyaris
menyerupai kepiting rebus hingga aku tak berani memandang siapapun sekarang.
Tapi saat Donghae keluar dan meninggalkanku sendirian, barulah kusadari bunyi pip-pip-pip dari alat di sebelah tempat
tidurku terdengar begitu nyaring dan sangat mengganggu. Pantas saja Chad
berkata seperti itu. Bagaimana mungkin aku tidak mendengarnya?
Nyaris
sekali. Sesalku dalam hati. Aku benar-benar malu. Malu sekali hingga aku
yakin akar rambutku ikut berubah merah. Benar-benar
sedikit lagi dan Chad merusaknya. Ugh.
Aku menaikkan selimut hingga ke hidung, mencoba
menghentikan debaran jantungku yang konyol itu. Menarik napas dalam-dalam
sebanyak tiga kali dan memerintahkan otakku untuk fokus.
Baru saja lewat lima menit penuh, ketika pintu
kamarku terbuka lagi. Donghae berdiri di ambang pintu dengan—oh, tentu saja—sangat
tampan. Jemarinya menyapu rambutnya yang berantakan. Ia memandangku gugup. Atau
cemas?
“Youva, Arthur—maksudku, Ayahmu—ada di
luar. Dia ingin bertemu denganmu.”
Rahangku menganga dan mataku membelalak
kaget.
Tunggu.
Apa katanya tadi?
***
Aku ingin beralasan kalau aku sedang
sakit. Terlalu lemah untuk menemui siapapun,
atau aku kepingin tidur. Aku memang—amat sangat—mengantuk dan tubuhku butuh
istirahat. Tapi setelah mereka memergoki jantungku yang menggelepar penuh
semangat setengah jam yang lalu, tidak mungkin aku bisa mengatakan satu
kebohongan pun.
Bukannya aku tidak ingin bertemu dengan
ayah kandungku, tapi tetap saja ini terlalu cepat. Aku tidak siap. Sama sekali
tidak siap meski aku punya jutaan pertanyaan sinting dan remeh untuknya. Sepuluh
menit yang lalu Donghae membantuku melepaskan selang-selang mengerikan yang semuanya
membuatku bergidik, sebagai gantinya ia membiarkan sebuah selang infus tetap melekat
di pergelangan tanganku karena menurutnya aku masih lemah.
Dan, oke, aku gugup sekali sampai rasanya
perutku mulas. Donghae memberiku waktu ‘me
time’ dan ia bilang kalau aku boleh mengambil waktu sebanyak yang kumau. Tapi
pikiranku yang selalu praktis ini menang. Tidak ada gunanya menolak bertemu dengannya—maksudku
Ayahku—karena cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Dan kapanpun waktunya,
jawabannya bakal sama; aku tidak akan pernah siap.
Aku berdiri di depan cermin setinggi satu
meter yang tampaknya di letakkan saat aku tidak sadarkan diri. Cermin itu memiliki
ukiran cantik di puncaknya, bergelung membentuk sulur tanaman dengan bunga-bunga
kecil di pinggiran kaca. Tapi meski cermin itu sangat cantik, wajah yang
terpantul di sana benar-benar terlihat kusut. Seakan sudah tiga hari tidak mendapat
perawatan yang semestinya—well, itu
benar. Jadi, sambil bergelut dengan kecemasanku, aku mulai merapikan diri.
Dan meskipun aku sudah berusaha menenangkan
diri, faktanya tetap saja aku ketakutan—juga cemas. Aku menarik napas panjang. Menghelanya
lalu menariknya lagi. Masalahnya adalah apa yang harus kukatakan saat bertemu
dengannya? Mana mungkin aku melompat keluar dengan infus bergantung di
sebelahku dan berkata dengan nada santai, “Hai,
Dad. Apa kabar? Apakah akhirnya kau ingat punya anak?”
Aku menggeleng. Tidak. Terlalu kasar. Batinku tak setuju. Atau bagaimana jika;
“Hai,
Dad. Apa kabar? Akhirnya kau punya waktu luang untuk melihatku?”
Masih terdengar kasar. Tapi setidaknya aku
bisa memperlihatkan kekecewaanku padanya. Aku masih ragu, namun ketukan di
pintu membuatku semakin cemas. Donghae masuk setelah mengetuk tiga kali. Ia sedikit
terkejut melihat ekspresiku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil
mendekat.
Aku mengangguk. Menggigit bibir dengan
gelisah. “Sepertinya tidak.” Jawabku.
“Arthur menunggumu. Apa kau tidak ingin
bertemu dengannya?”
Kupandangi Donghae tanpa berkedip. Ia
balas memandangku. Tetapi setelahnya tersenyum menenangkan, membuatku ikut
tersenyum. “Ayolah, kau pasti bisa melakukannya.” Bujuknya.
“Baiklah.” Jawabku menyerah lalu mengikutinya
keluar. Aku yakin kalau saat ini alat pengukur detak jantung di hubungkan
padaku, bunyinya pasti terdengar hingga Indonesia. Karena jantungku benar-benar
tidak bisa tenang sekarang.
Aku berjalan ke ruang tengah. Mendengar
Donghae mengatakan pada Arthur Carlos kalau aku tiba. Saat aku mencapai sofa
pertama, akhirnya aku bisa melihatnya. Sosok pria yang ternyata adalah ayahku.
Kalau aku bisa mengulang waktu, aku
kepingin merubah momen ini—di mana aku melihat wajahnya untuk pertama kali
secara langsung—karena rahangku menganga dan mataku membelalak. Arthur Carlos—Ayahku,
mengenakan setelan hitam yang menyerupai tuksedo. Di baliknya ia mengenakan kaus
putih berkerah tinggi, yang menutup separuh lehernya. Ia—wajahnya—sangat
tampan. Dan pikiran pertama yang melintas di kepalaku adalah; foto-foto yang
kulihat di Google pastilah foto lama karena ia terlihat berbeda sekali dengan
semua gambar yang berhasil kutemukan di internet.
Arthur Carlos sangat tampan—oke, aku sudah
menyebutkannya, ya?—tubuhnya tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi dari Lee Donghae.
Rambutnya hitam namun hampir separuhnya berwarna kelabu—dan sama sekali tidak
mengurangi ketampanannya. Matanya hitam pekat—berkilat tajam hingga aku yakin tatapannya
bisa membuat siapapun ketakutan—dan dibingkai sepasang alis hitam yang melengkung
sempurna. Hidungnya melancip, tanpa cela. Bibirnya tipis, tetapi sangat sensual. Dan aku bisa melihat kerutan
yang tampak jelas di sepanjang garis pipi dan matanya. Kelihatannya ia juga memelihara
rambut tipis di sepanjang telinga hingga bibirnya. Tapi tak satupun membuatnya kelihatan
jelek. Ayahku malah bisa dibilang hot.
Oke, aku nyaris lupa kalau aku anaknya.
“Youva,” panggilnya dengan suara berat. Tubuhku
mendadak bergetar aneh. Ada sebuah dorongan dari hatiku yang tiba-tiba meledak tanpa
terkendali. Ketika Ayahku menambahkan senyuman untukku, jantungku berdentam
kasar. Aku tak menyangka ia sangat kebapakan.
Aku mengulum bibir, mencoba menahan desakan
akan rasa haru di ujung mataku. Ayahku melihatku yang masih bungkam, dan mendekatiku
perlahan. Tangannya di rentangkan ketika aku tak bergerak sedikitpun. Kemudian beberapa
detik setelahnya, aku telah berada dalam pelukan Arthur Carlos.
“Syukurlah kau baik-baik saja,” bisiknya penuh
kelegaan.
Tubuhku masih membeku. Benar-benar bingung
harus bereaksi seperti apa. Kurasakan kehangatan di tubuhnya, bau parfumnya
yang lembut menggelitik hidungku. Ia melepaskan pelukannya dengan hati-hati dan
mengamatiku dengan ekspresi puas.
“Anakku sudah secantik ini.” desahnya bangga.
Aku tak tahan untuk merona dan menunduk malu. “Katakan sesuatu, Youva. Aku
ingin mendengar suaramu.”
Aku melirik sekelilingku dan menemukan Donghae
yang mengamati kami dari depan pintu kamarnya. Ia bersedekap. Ekspresinya tak
bisa dibaca tetapi kedua alisnya sedikit terangkat. Aku ingin tahu apa yang ada
dipikirannya saat ini; melihat pertemuan penuh haru antara ayah dan anak yang terpisah
selama dua puluh enam tahun.
“Err.. Terima kasih sudah mengunjungiku.” Bisikku
parau. Sial deh, kemana semua sapaan yang sudah kurancang itu?
“Terima kasih karena kau mau menemuiku, sweetheart.”
Aku menatapnya. Matanya yang hitam
sempurna itu membuatku tersadar kalau aku mewarisi separuh gennya. Termasuk
sepasang bola mata yang ia miliki. Sebab mata Ibu berwarna cokelat gelap. “Err—yah,
sama-sama.”
Ayahku memandangku penuh penyesalan. “Maafkan
aku karena telah menyebabkan semua ini.”
Ada jeda panjang sebelum aku bisa
menjawabnya. “Tidak masalah. Toh, aku sudah terbiasa hidup seperti ini.” Aku tahu
kalimatku terdengar kasar. Bahkan Donghae berdeham satu kali.
“Maafkan aku, Youva. Aku tidak pernah
punya kesempatan untuk bisa menemuimu secara langsung.”
“Aku tahu. Dan aku mengerti alasannya. Tapi
sejujurnya ada beberapa hal yang ingin kutanyakan terlebih dulu.” Sahutku menahan
napas. Ruangan hening sejenak. Kemudian Ayahku mengajakku duduk.
“Apapun yang ingin kau ketahui, sweetheart.” Janjinya disertai anggukan.
“Kenapa Ayah meninggalkan Ibu?”
Dari sudut mata kulihat Donghae berjalan
masuk ke kamarnya tetapi pria itu tidak menutup pintunya hingga rapat. Aku tahu
ia bisa mendengar percakapan kami.
“Itu—well,
ceritanya panjang.” Ayahku mendesah.
“Aku punya banyak waktu,” kataku berkeras.
Aku berani bersumpah kalau aku mendengar dengusan Donghae dari balik kamarnya. Dan
aku tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. ‘Kau sangat keras kepala, Miss Cardia.’ Pasti seperti itu. “Aku
benar-benar ingin tahu karena Ibu tak pernah menceritakan apapun padaku.”
Imbuhku lagi.
Ayahku berdeham dan bungkam cukup lama. Tapi
akhirnya ia menyerah karena aku tak berhenti menatapnya penuh permohonan. Ia
bergerak tak nyaman di sofanya—satu lagi kebiasaannya yang sama sepertiku.
“Aku bertemu Diana ketika aku melakukan kunjungan
singkat di Indonesia selama satu bulan. Dari pertama kali melihatnya, aku tahu kalau
dia sangat berbeda. Ibumu sangat cantik, tetapi bukan itu yang menarikku
padanya. Diana pintar, dengan pemikiran dan sudut pandangnya yang menakjubkan,
dia nyaris membuatku bertekuk lutut seminggu setelah kami bertemu. Tapi Ibumu
itu benar-benar selektif dalam urusan pria. Dia membuatku berusaha mati-matian untuk
mendapatkan cintanya, karena saat itu ada sekitar selusin temanku yang juga
menginginkannya.” Ayahku tersenyum mengingat masa lalunya, pandangannya menerawang
ketika ia melanjutkan bercerita.
“Akhirnya aku memutuskan untuk menetap di Indonesia.
Setiap hari mengajaknya berkencan dan semakin terpikat padanya. Kupikir setelah
berhasil mendapatkan cintanya, semuanya telah usai. Tapi kedua orangtuanya
menentangku habis-habisan. Mereka mengusirku ketika aku melamar Ibumu—oh, ya, aku
tidak berbohong, Sayang. Nenekmu sangat membenciku,” katanya saat ia melihatku
menaikkan alis tinggi. Ayahku tergelak sedikit sebelum berubah murung. “Tapi
kami juga berusaha keras. Melalui semuanya bersama-sama hingga kedua
orangtuanya merestuiku. Tadinya aku berniat membawa Ibumu ke sini setelah
menikah. Dan entah kenapa semuanya tiba-tiba berantakan. Ayahku—kakekmu—dibunuh
oleh salah satu rekan bisnisnya. Keluargaku di terror habis-habisan. Mereka
bahkan mengejarku hingga ke Australia—karena aku memutuskan untuk bersembunyi
di sana—dan aku terpaksa meninggalkan Ibumu di Indonesia.
“Tiga tahun aku berjuang sendirian,
membangun ulang perusahaan yang hampir bangkrut karena kecerobohan pamanku yang
melelang saham secara illegal dan berniat kembali ke Indonesia. Tapi saat aku mencari
Ibumu, semuanya sudah terlambat. Diana telah menikah lagi. Dia begitu marah melihatku
muncul di hadapannya dan memberiku sumpah serapah. Aku masih mencintainya—itu benar—tapi
dia juga tidak sudi mendengar penjelasan apapun. Dia tidak mengijinkanku untuk membawamu
bersamaku. Meski aku berlutut di kakinya, Diana tidak memperbolehkanku untuk melihatmu.
Aku berpikir untuk menculikmu saat itu, tapi lagi-lagi aku harus mendapat ancaman.
Mitra bisnisku yang baru mendadak menjadikanku target pembunuhannya. Mereka
menginginkan aset-aset yang kudapatkan. Dan karena aku tidak ingin mereka
mengetahui tentang kau dan Ibumu, jadi sekali lagi, aku terpaksa meninggalkanmu
bersama Ibumu di Indonesia.”
Ruangan terasa mencekam setelah Ayah
selesai bercerita. Aku menangkap seluruh perkataannya tetapi semua itu malah
membuatku ingin bertanya semakin banyak. “Ada yang membuatku penasaran. Mr. Lee
bilang kalau beasiswa ke LA, tunjangan bulanan yang kudapatkan serta flat murah
di tengah kota—itu semua sudah direncanakan?”
“Benar. Tapi sekali lagi, kumohon maafkan
aku. Aku terpaksa melakukannya. Meskipun Ibumu tidak mengijinkanku untuk berhubungan
denganmu, tapi aku selalu mengawasimu, Youva. Aku tahu kau tertarik untuk ke Amerika
dan aku memberimu jalan. Aku sangat bahagia melihatmu bisa ada di sini. Tumbuh
sehat dan berkecukupan. Karena beasiswa tidak memberimu penghasilan yang
memadai, aku memberi sumbangan pada universitasmu dan mengusulkan pada pihak yayasan
untuk memberimu semacam tunjangan bulanan karena menjadi peraih nilai tes masuk
terbaik. Dan masalah flat, well, gedung
itu milikku. Tetapi di namakan atas nama Ayahku. Jadi aku memberi sedikit ‘pengertian’
pada salah satu temanmu untuk membiarkanmu memberikan kamarnya padamu.”
Dan semuanya menjadi jelas. Itulah alasan
kenapa Sam tiba-tiba berubah pikiran dan memberikan kunci kamarnya padaku. Pria
bongsor itu memang tinggal bersama Monica, tapi aku tak pernah menduga kalau ia
mendapat—well, semacam ‘pengertian’. Apapun
maksudnya itu.
“Tapi kalau begitu kenapa Ayah memutuskan
untuk meminta perlindungan pada Mr. Lee? Bukankah selama ini semuanya berjalan
dengan baik?”
Ayahku terlihat tidak ingin menjawab, tapi
aku berhasil mendesaknya. Ia mendesah panjang dan memejamkan matanya. “Kau
benar. Meskipun aku benar-benar ingin bertemu denganmu, tapi aku berhasil
menahan diri selama beberapa tahun ini. Aku sudah puas melihatmu baik-baik
saja. Tapi belakangan aku merisaukan sesuatu. Aku tahu kau pernah didekati
beberapa pria dan aku lega kau mewarisi sifat Ibumu yang sangat selektif. Jadi
ketika aku mendengar kalau kau mulai berkencan, aku tidak keberatan. Sampai aku
mengetahui bahwa kau berkencan dengan pria yang salah.”
Napasku memburu mendengar informasi yang Ayahku
berikan. Aku tak melepas pandanganku darinya. Dan mendadak Ayahku balas
menatapku.
“Jason Andersen adalah anak dari pria yang
menginginkan nyawaku, Youva. Aku tak bisa menyimpulkan hal lain dari
kedekatannya denganmu selain untuk memperalatmu. Jason pasti akan mengetahui jati
dirimu suatu saat nanti. Jadi aku tak ingin mengambil resiko apapun. Sebelum
semuanya terlambat, aku harus melindungimu semampuku. Dan satu-satunya jalan adalah
dengan meminta bantuan dari pihak ketiga.”
Aku melirik ke arah kamar Donghae yang kelihatannya
sepi. Setelah memastikan kalau pria itu tidak mengintip, aku mencondongkan
tubuhku ke depan dan berbisik dengan suara rendah. “Kenapa Ayah mempercayainya?
Apa yang sebenarnya ia kerjakan selain menjadi CEO PHOENIX?”
Ayahku menaikkan alisnya kaget. “Kau tidak
tahu?” tanyanya tak percaya. Ia baru akan menjelaskan padaku ketika bosku sudah
berdiri di ambang pintu kamarnya.
Sial. Tampaknya ia benar-benar bisa membaca
pikiranku.
“Menurutku tidak bijak untuk
memberitahunya lebih dari ini, Arthur.” Potongnya pada kami. Ia berjalan
mendekati kami dan berdiri di belakang sofa. Tangannya menyisip di lehernya. Dan—tolong
deh, aku butuh udara.
“Kupikir Youva berhak mengetahuinya.” Jawab
Ayahku tak mau kalah. Ia terlihat tenang, namun tetap berkeras.
Donghae tersenyum kecil, melirik ke arahku
sekilas dan berkata dengan ringan. “Kalian berdua sungguh mirip.” Aku tahu apa
maksudnya. “Tapi, tidak. Youva akan mengetahui semuanya suatu saat nanti. Aku
tidak keberatan kau menceritakan seluruh hidupmu padanya, tapi dia belum siap
untuk informasi yang lebih besar. Jangan khawatir, aku sendiri yang akan
memberitahunya ketika saatnya tiba.”
Mereka berpandangan dalam diam. Bisa
kurasakan percikan api dan es yang saling menyambar. Donghae bertahan dengan
senyuman miringnya. Dan Ayahku masih melotot padanya. Aku berdeham satu kali, mencoba
mendapat perhatian mereka kembali. Akhirnya Ayah mengalah. Ia mengangkat bahu dan
menggumam sesuatu seperti, “terserah padamu.”
Senyum kemenangan terukir di bibir Donghae
tapi tak bertahan lama, sebab Ayahku mengatakan sesuatu yang mengejutkannya.
“Kau bisa bersiap-siap, Youva. Kita akan
berangkat sebentar lagi.”
Sebenarnya perkataannya bahkan membuatku
lebih terkejut. Aku hanya bisa membelalak karena Donghae yang menyuarakan pikiranku.
“Kau akan membawanya ke mana?”
“Tentu saja pulang ke rumah.” Jawab Ayahku
ringan. Seakan hal itu sudah diputuskan sejak lama.
“Rumahnya?”
tanya Donghae.
“Rumahku.
Rumah kami. Kau keberatan dengan itu?”
“Tunggu dulu, Arthur, kau tidak bisa—”
“Aku keberatan.” Selaku tiba-tiba. Kedua
pria itu menatapku secara serentak dan aku menambahkan pernyataanku. “Aku tidak
ingin kemana-mana. Err—maksudku, aku adalah sekretaris Mr. Lee. Aku tidak bisa
pindah kemanapun untuk saat ini.”
“Kau tidak perlu bekerja padanya lagi, sweetheart. Mulai saat ini kau akan
mendapatkan apapun yang kau mau dan tentu saja, aman bersamaku.” Janji Ayahku. Ia
terdengar begitu berharap tetapi aku menggeleng.
“Tidak bisa, Yah.” Kataku menyesal. “Aku—aku
harus melunasi hutang Ibu.”
Ayahku mendengus mendengar jawabanku. “Aku
akan membayarnya untukmu, sayangku. Kau tidak perlu mencemaskan hal seperti
itu.”
“Aku tidak mau. Karena Ibu pasti tidak
akan mengijinkannya. Lagipula aku tidak ingin semuanya berubah. Kau memang
ayahku, tapi aku telah terbiasa hidup mandiri. Aku berterima kasih padamu
karena telah membantuku dalam banyak hal, tapi aku juga ingin berbakti pada Ibu,
Yah. Dan lagi, Mr. Lee sudah sepakat untuk membiarkanku terus bekerja
dengannya.”
Wajah Ayah berubah kecewa. Ia menatapku dengan
pandangan terluka.
“Itu benar, Arthur. Perlu kutambahkan
juga, kalau Youva tentu akan lebih aman bersamaku. Pihak Robert sudah
mencurigainya dan dengan membawanya bersamamu akan menegaskan seluruh
kecurigaan mereka. Jadi, untuk sementara ini, aku yang akan melindungi Youva.”
Kali ini mereka berpandangan lebih lama. Ayahku
terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya sebab ia menatap Donghae dengan kedua
mata menyipit galak. Sementara bosku malah membalas Ayah dengan tatapan yang
sama. Mereka tidak mau mengalah. Tapi aku juga tidak berani mengganggu mereka. Aku
yakin mereka bakal membentakku kalau aku berusaha berdeham atau melakukan
sesuatu yang mencolok. Dan akhirnya aku hanya berhasil menarik selang infus di
sebelahku sambil menatap mereka cemas.
Rasanya sudah lama sekali ketika tiba-tiba
ponsel Ayahku berdering keras. Ia mengambil ponselnya buru-buru dan menjawab
panggilan dalam bahasa Itali—bahasa yang tidak kupahami.
“Baiklah,” katanya saat telah mematikan ponselnya.
Ia memandangku sedih, senyumnya dipaksakan tetapi Ayah mengangguk. “Kau boleh terus
bekerja bersamanya. Tapi—” Ia menekan kata terakhirnya dan beralih pada
Donghae. “—kalau aku mendengar kejadian seperti minggu lalu, atau apapun yang
menyeret Youva dalam bahaya, aku bersumpah aku akan membawa Youva pulang. Tak
peduli jika aku harus melangkahi mayatmu atau bahkan menyeretnya sekalipun. Kau
mengerti maksudku, Lee Donghae?”
Donghae menyunggingkan senyum miringnya
dan menelengkan kepalanya ke kiri. Kalau maksudnya adalah memprovokasi Ayahku,
ia berhasil. Sebab kini wajah Ayahku telah berganti warna menjadi merah padam—menahan
amarah.
“Kau tak perlu mendikteku, Arthur. Aku
bukan bayi atau bocah lima tahun. Memastikan keselamatan klien adalah peraturan
pertamaku. Dan aku tak pernah melanggarnya kecuali
kalau klien yang melanggar kesepakatan. Nah, aku juga harus menekankan padamu
kalau aku tidak mau kau berbuat sesuatu seperti memindahkan Diana ke salah satu
Negara Bagian Amerika secara mendadak dan tanpa konfirmasi dariku. Kau bisa
merusak semua rencanaku, Arthur.”
“Sejujurnya aku tidak terlalu percaya
dengan semua rencanamu, nak.” Kilah Ayahku. Donghae menatap Ayahku geli. Sama
sekali tak gentar di bawah tatapannya yang semakin mengerikan.
“Itu terserah padamu.” Jawabnya santai. “Tapi
kau yang memilih untuk datang padaku. Dan aku harap kau mau menaati kesepakatan
kita.”
Tangan Ayahku mengepal tapi ia menahannya
emosinya dengan sekuat tenaga. Donghae bergeming. Membiarkannya menarik napas panjang
lalu Ayah menoleh padaku. “Aku harus pergi, Youva. Ada meeting yang harus kupenuhi sebentar lagi.”
Aku mengangguk lalu menawarkan diri untuk
mengantarnya ke area parkiran yang terletak di lantai teratas bersama Donghae.
Di sana Ayah memelukku singkat, membalas senyumanku dan melirik Donghae yang
berada beberapa meter di belakang kami. Ia merendahkan suaranya di depan wajahku.
“Beritahu aku satu hal, Sayangku. Apa kau menyukainya—Lee
Donghae?”
Pertanyaan Ayah membuatku tersedak dan
berdeham panik beberapa kali. Wajahku memerah, aku tahu itu. Tapi sebisa
mungkin aku menyangkalnya. “Tidak seperti itu, Yah. Dia bukan—maksudku, dia adalah
bosku. Dan ada peraturan sinting yang dibuatnya kalau sekretarisnya tidak boleh
jatuh cinta padanya.”
Ayahku terlihat tidak yakin. Ia melirik
Donghae sekali lagi, memastikan pembicaraan kami berada di luar jangkauannya. “Dengar,
nak. Dia bukan pria baik-baik. Lee Donghae terkenal karena bisnis rahasia yang dia
kelola. Kau tidak boleh terpikat padanya. Mengerti?”
Aku mengangguk, berusaha menghentikan percakapan
konyol ini. Rasanya aneh sekali membahas tentang seseorang yang kusukai dengan Ayahku. Entahlah, tapi aku berani menjamin
kalau membahasnya dengan Ibu bakal lebih menyenangkan.
“Aku tahu,” jawabku pendek, merasa malu
atas apa yang kami bicarakan. Ayah melihat wajahku yang sudah semerah tomat dan
ia menepuk lenganku satu kali, berusaha berpuas diri atas jawabanku.
Ayahku masuk ke mobilnya tapi segera
menurunkan kaca mobil dan menyodorkan sebuah kotak padaku. Tepat pada saat itu,
Donghae tiba persis di sampingku.
“Ini ponsel barumu, sweetheart. Kau bisa menggunakannya, itu hadiah. Panggilan satu
adalah nomor Ibumu dan yang kedua adalah nomorku. Kalau bosmu melarangmu
menggunakannya, segera tekan nomor dua, aku akan menjeputmu di manapun kau berada.”
Ia melirik Donghae tajam.
“Oh, wow. Keren.” Komentarku senang. Ini
ponsel keluaran terbaru. Sangat canggih dan aku ragu aku bisa menggunakannya atau
tidak. “Trims, Yah.” Kataku tersenyum.
“Aku senang kau menyukainya,” katanya juga
tersenyum. “Sampai jumpa, Youva. Jaga dirimu.”
“Ayah juga.” Balasku sedikit berteriak karena
mobilnya mulai melaju. Aku melambai, meskipun mobil Ayah telah membelok ke
sudut dan menghilang di tikungan.
“Kado yang bagus.” Gumam Donghae. Aku
meliriknya takut-takut. Tapi pria itu malah tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, aku
senang kau memutuskan untuk tinggal denganku.”
Aku mengejap beberapa kali. Dan kulihat
sudut bibir Donghae bergetar menahan senyum. Mata cokelat mudanya menyelisikku tanpa
jeda, membuatku terbakar dalam hitungan detik.
“Itu karena aku adalah sekretaris anda,
Sir.” Kataku gugup.
“Benarkah?” tanyanya seakan melagu. Ia menyematkan
rambutku yang jatuh ke balik telingaku. Menggodaku habis-habisan dengan senyum
dan tatapannya. “Kalau begitu kuharap ayahmu tidak keberatan kalau aku harus memecatmu.”
“Maaf?” tanyaku kaget. Ia melempar
senyumnya yang mempesona dan berbisik manis di telingaku.
“Karena sepertinya kau nyaris jatuh cinta
padaku.” Ia mengedip padaku dan berjalan santai ke arah lift, meninggalkanku
yang terperangah dengan wajah merah terang.
Aku
tahu kau sudah melarangku, Yah. Tapi bagaimana jika aku sudah terpikat padanya?
Pada
pesona Lee Donghae yang memabukkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar