Kamis, 06 November 2014

FANFIC : SCARLET [9]

TITLE            : SCARLET [9]
GENRE           : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING          : NC-21
CAST              : Lee Donghae
                         Youva Cardia
Author             : @Aoirin_Sora



Summary:
Semuanya terasa aneh. Aku tak mengerti mengapa semuanya seakan berusaha melenyapkanku begitu saja. Apakah aku benar-benar hanya sebuah eksistensi yang tak memiliki hak apapun di dunia ini? Termasuk mencintai seseorang?  Pikiran sinting ini terus berkeliaran. Tersesat, bingung dan ketakutan. Apalagi yang akan menantiku? Siapa lagi yang akan mencoba menginterupsi hidupku? Aku tak bisa bernapas, bahkan untuk mengerjapkan mata pun aku tidak berani. Meskipun kenyataan malah membentang bagai kilatan sinar mentari; menusuk tajam dengan cahaya berkilau terang. Aku tak akan pernah siap untuk apapun yang ada di hadapanku.
Termasuk dirinya.


***


CHAPTER NINE: EXODUS



Lagi-lagi aku memimpikan hal itu. Tapi meski aku tahu ini hanya mimpi, aku tetap tidak bisa berhenti ketakutan.
Lee Donghae dan Johan, keduanya tergeletak di tengah jalan. Nyala kedua mata mereka telah padam. Hampa. Kosong. Tubuh mereka terbujur kaku. Dengan wajah bersimbah darah dan sepucuk senjata terletak di antara mereka. Tetapi kelihatannya Johan berjuang untuk bergerak. Ia menggeser kepalanya ke arahku, yang terpaku—sama sekali tak mampu mendekat—dan ia mengulurkan tangannya padaku.
‘Aku mencintaimu, Youva..’

Aku menjerit. Tenggorokanku rasanya nyeri karena teriakanku yang begitu keras. Kurasakan seseorang mengguncang tubuhku dan kedua mataku membuka dengan panik.
“Ada apa? Kau kenapa?”
Aku menatap Donghae yang terlihat cemas. Napasku memburu dan separuh kesadaranku masih menggigil mengingat mimpi itu.
Kugelengkan kepala dan Donghae membantuku untuk duduk. Kusadari tubuhku penuh peluh. Keringat menetes dari dahiku tanpa henti hingga rambut menempel tak nyaman ke leher dan wajahku.
“Cuma mimpi.” Tegasku padanya.
Ia mengernyit dan menarik napas dalam. “Ini sudah ketiga kalinya kau berteriak seperti itu, Youva. Itu mimpi yang sama?”
Donghae menyodorkan segelas air mineral padaku dan segera kuhabiskan dalam sekejap. Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengangguk sambil memandangi selimut yang kugenggam erat.
“Apa yang kau cemaskan?” desah Donghae lalu mengerjap bingung. Ia nyaris terdengar khawatir seandainya alisnya tidak bertautan. “Mimpi buruk biasanya manifestasi dari rasa cemas. Kau tidak akan bisa berhenti mendapatkan mimpi seperti itu jika kau tidak berusaha mengendalikan kecemasanmu, Youva.”
Kupandangi wajah Donghae perlahan-lahan, mencoba menjelaskan padanya kalau aku memimpikannya. Tapi egoku lebih berkuasa hingga bibirku masih tertutup rapat tanpa berhasil mengucapkan apapun.
Menyadari keenggananku bercerita, Donghae kembali menghela napas. Ia melirik jam tangan Bvlgari-nya dan berkata dengan suara lelah. “Ini masih pukul empat pagi. Kembalilah tidur, Miss Cardia. Usahakan kau tidak menjerit lagi. Atau..” perkataan Donghae sempat menggantung sejenak,  namun Donghae terlihat agak ragu saat menyelesaikannya. “Kau butuh pil tidur?”
Aku menggeleng. Donghae mengangguk kecil dan segera berlalu, meninggalkanku yang terlihat kusut, berantakan, dan wajah penuh keringat di atas tempat tidurnya.
Benar, ia sama sekali tak mengijinkanku untuk meninggalkan kamarnya sejak kemarin malam, saat ia memelukku dan berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja. Menurutku bagian terbaiknya adalah saat tubuhnya mendekapku dengan hangat. Tapi sialnya itu juga bagian terburuk, karena setelahnya aku terus menerus memimpikannya tanpa henti. Dan tak pernah di dalam mimpiku aku melihatnya hidup. Itu yang membuatku takut. Apakah ia bakal terbunuh? Dengan Johan sebagai lawannya, hanya ada dua kemungkinan besar; membunuh atau dibunuh. Yang manapun bukanlah solusi terbaik untukku.
Selimutku kini terasa semakin berat. Uap panas menjalar di sekujur tubuhku hingga akhirnya kuputuskan untuk mendorong benda itu menjauh. Aku berbaring miring, melihat siluet fajar yang mulai merekah di kaki langit. Lampu-lampu kota seakan berusaha menyaingi kekuatan sang Surya, berkelap kelip bagai bintang di tengah kesibukan kota Los Angeles yang tak pernah usai. Mau tak mau aku berpikir bahwa dunia akan tetap bergerak dengan kecepatan yang sama meskipun seseorang atau sekumpulan orang tewas hari ini. Tak ada yang berubah. Dan sambil menyesal aku menyadari bahwa kalau saja kemarin tembakan sniper Johan mengenaiku tepat di kepala, barangkali aku tak akan berada di sini, saat ini.
Kepalaku terasa berat, membuat kelopak mataku bergetar karena udara yang mulai menggigit. Benakku memprotes kedinginan, tapi belum sempat aku menarik kembali selimut tebal itu, kesadaranku telah hanyut dan bergabung dalam mimpi..

***

Pukul delapan pagi, aku terbangun setelah terlebih dulu menggeliat berulang kali di atas ranjang. Sinar matahari yang menyilaukan mengisi setiap sudut kamar Donghae, membuatku harus menyipitkan mata saat melihat sekeliling. Aku berjingkat menuju pintu, membuka sedikit celah agar bisa mengintip keadaan di luar. Tapi sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan. Jadi kuputuskan untuk keluar dan masuk ke kamar belakang, mengambil peralatan mandiku lalu segera menghambur masuk ke kamar mandi tanpa menimbulkan suara.
Saat aku selesai mandi, kulihat Donghae telah duduk di konter dapur dengan tangan kiri memegang harian LA Today dan tangan kanannya menggenggam cangkir yang tampaknya berisi kopi. Aku menggumamkan “selamat pagi,” dengan canggung dan ia membalasku tanpa mendongakkan kepalanya. Sepertinya aku tak cukup layak mendapat perhatiannya pagi ini.
Aku beringsut mendekat, berdiri di sebelahnya dengan kikuk. Tentu saja ia menyadari kehadiranku tetapi pandangannya masih tertuju pada surat kabar itu.
“Kau ingin kopi? Atau cokelat panas? Buat dirimu nyaman, Miss Cardia. Aku sama sekali tidak keberatan kau memakai dapurku.” Katanya tiba-tiba. Aku meliriknya singkat tetapi segera mengambil cangkir oranye di atas meja dan membuat secangkir cokelat panas dalam waktu kurang lima menit. Dengan ragu aku mendudukkan diriku tepat di seberangnya. Cangkirku terasa hangat tetapi aromanya menenangkan.
“Err.. Sir? Boleh aku bertanya?”
“Tentu.” Jawabnya masih mengacuhkanku.
“Begini—uhm, aku—aku ingin tahu apakah setelah semua ini aku masih menjadi sekretarismu atau.. yah, aku ingin tahu saja.” Tatapanku berpindah pada permukaan cangkir saat ia perlahan memandangku.
Donghae memberiku satu tatapan menilai yang cukup lama hingga rasanya perutku mulas. “Beritahu aku apa yang kau inginkan,” katanya tanpa ekspresi. Aku bergerak gelisah di kursiku.
“Aku—err.. sebenarnya aku harap aku bisa terus bekerja dengan anda, Sir.” Jawabku nyaris berbisik.
“Kenapa?” tanyanya lagi. Kali ini ia menggeser surat kabar itu dan menatapku lekat-lekat. “Kuharap kau memiliki alasan yang bagus.”
Sebelum menjawabnya, aku berdeham satu kali—mencoba menutupi kegugupanku. “Karena seperti yang sudah kukatakan pada anda sebelumnya, aku harus melunasi hutang keluargaku. Tapi kalau anda tidak menginginkannya, Sir, aku pikir sebaiknya aku mulai mencari pekerjaan lain sekarang.”
Donghae melipat tangannya di dada. Menimbang alasanku dengan wajah datar dan tanpa ekspresi apapun yang bisa kuartikan selain ketegasan. “Kau pasti ingat bahwa aku melarangmu untuk pergi kemanapun dan aku yakin kalau aku telah menekankan bahwa eksistensimu sedang berada dalam bahaya, Miss Cardia. Jadi katakan padaku kenapa kau memiliki ide sinting untuk mencari pekerjaan lain.”
Aku menatapnya. Marah dan tersinggung. “Itu bukan ide sinting ataupun tolol, Sir. Aku yakin aku telah menekankan padamu bahwa keluargaku memiliki hutang dan aku harus segera melunasinya.” Aku sengaja menggunakan kalimat yang sama dengan Donghae, berniat menyindirnya. Tapi pria itu bahkan tidak terlihat kesal ataupun bereaksi seperti yang kuharapkan.
“Tenanglah, Miss Cardia. Aku tidak ingin berkonfrontasi denganmu pagi-pagi. Tentu saja aku sudah mempertimbangkan semuanya—termasuk masalah pekerjaanmu. Kau sekretarisku, Miss Cardia. Ya, itu sudah pasti. Dan kau tidak perlu mengancamku untuk membiarkanku terus mempekerjakanmu atau mencari pekerjaan lain, karena itu tindakan bodoh.”
Entah kenapa pipiku bersemu mendengar penjelasannya. Apakah aku terdengar seperti sedang mengancamnya? Dan kebisuanku yang begitu mendadak membuat Donghae menaikkan sudut bibirnya.
“Aku memanggilmu ‘Miss Cardia’, ingat? Itu artinya kau masih bawahanku.” Katanya ringan—namun aku yakin ia sedang menggodaku karena setelahnya ia menambahkan, “dan tentu, dengan begitu kita tidak akan bisa bermesraan.”
Aku nyaris meledak karena malu. Begitu malu hingga wajahku merah padam saat mengingat semua sentuhan-sentuhannya—ciumannya, pelukannya dan perhatiannya yang seakan menggelepar di dadaku. Donghae menikmati setiap perubahan di wajahku dengan senyum puas dan ia menyesap kopinya yang masih mengepulkan uap panas. Aku tidak berani menatapnya—bahkan untuk meliriknya sebentar saja karena aku yakin pria itu masih menanti reaksiku. Sebagai gantinya, aku mengalihkan pembicaraan kami.
“Kalau begitu apakah kita tidak segera ke kantor, Sir?” tanyaku menyedihkan. Maksudku, sangat menyedihkan dengan wajah merah padam, suara serak dan pandangan masih tertanam di cangkir cokelat panasku.
Dari sudut mata kulihat Donghae menarik korannya lagi sebelum akhirnya menjawabku. “Tidak, kita tidak akan kemana-mana hari ini. Setelah insiden kemarin, aku pikir sebaiknya kita tetap menghilang untuk sementara waktu. Ngomong-ngomong, kau belum melihat berita?”
Pertanyaannya membuatku bingung. “Belum, Sir. Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Untuk sejenak, sepasang mata cokelat muda itu menatapku penuh arti. “Kejadian kemarin, Miss Cardia, sayangnya telah tersebar dengan cepat. Dan agaknya aku harus berterima kasih padamu karena pagi ini saham Andersen Co. jatuh. Meskipun tidak ada spekulasi yang mendekati kebenaran, tetapi tetap saja publik mengetahui—seperti yang dikatakan Koran ini—‘bahwa Robert Andersen mencoba membunuh seorang wanita muda di tengah kota kemarin siang. Wanita itu diketahui bekerja sebagai sekretaris baru dari seorang pengusaha ekspor-impor paling berpengaruh di Los Angeles, Lee Donghae. Hal ini menimbulkan kegelisahan bagi para pemegang saham karena itu berarti bahwa Robert Andersen telah mendeklarasikan perang secara terbuka.’” Donghae mengutip kalimat dari Koran yang dibacanya dan berpaling lagi kepadaku. “Lihat? Kali ini mereka telah bertindak gegabah, tetapi dengan begitu kita mendapat kesempatan untuk menyudutkannya.”
Aku terenyak. Berita kemarin telah menyebar? Dan apakah… “Apakah ada nama-nama lain yang tertera di berita, Sir?”
Kembali kurasakan tatapan Donghae memandangku dalam. “Kalau maksudmu Jason Andersen, tentu saja tidak. Bagaimanapun juga kami adalah pebinis sejati, Miss Cardia. Sangat tidak mungkin untuk membocorkan pada media mengenai kejadian yang sebenarnya karena hal itu akan menimbulkan sederetan isu yang bakal berkembang lebih luas daripada yang bisa kau bayangkan.” Ia menjelaskan dengan cepat. “Lagipula hal itu sudah di urus. Aku bahkan tidak menyebutkan namamu dan alasan mengapa kau menjadi target pembunuhan. Tetapi aku harus membenarkan pernyataan bahwa kau sekretarisku karena ada banyak saksi mata yang melihatku melindungimu.”
“Apa pihak kepolisian tidak mencariku? Maksudku, publik memberitakannya sebagai ‘percobaan pembunuhan berencana’, bukan?”
Tiba-tiba Donghae tersenyum padaku, menampilkan binaran kekaguman lewat pandangannya kali ini. “Kau cukup tajam, Miss Cardia. Tapi seperti yang kusebutkan, semua itu sudah diurus. Kau diberitakan masih berada dalam kondisi ‘syok’ dan dalam perawatan lanjutan. Tidak akan ada sesi interogasi untukmu karena aku telah menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan semalam.”
“Semalam?”
“Ya, saat kau masih berada dalam pengaruh obat penenang. Jangan khawatir, semuanya telah ditangani dengan baik.” Setelahnya Donghae memusatkan kembali konsentrasinya pada harian LA Today dan membiarkanku bergumul dengan pemikiran-pemikiran baru.
Pria itu menolak saat kubuatkan sepiring nasi goreng dengan daging asap dan sosis. Ia berdalih kalau ia tidak memakan apapun selain dua lembar roti tawar di pagi hari serta secangkir kopi organik. Aku mencatat jawabannya dalam hati, meyakinkan diriku agar bisa menyediakan sarapan yang ia kehendaki besok.



Seperti yang bosku katakan, ia tidak mengijinkanku menggunakan laptop, ponsel atau bahkan melangkahkan kaki keluar dari apartemennya sama sekali. Jadi setelah selesai mengerjakan laporan yang di bawa Chad pukul sepuluh pagi tadi, aku hanya bisa berbaring resah di atas ranjang putih luas milik Donghae. Pria itu sendiri masih sibuk dengan seorang klien pria yang datang satu jam lalu dan mereka berdiskusi di dalam ruangan kerjanya. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Donghae juga melarangku masuk. Dan sekarang, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengamati kamarnya.
Seluruhnya ada lima belas petak ventilasi di langit-langit. Berbentuk petak persegi tanpa sekat apapun. Aku juga menghitung cermin di dalam kamar ini yang mencapai dua puluh dua cermin yang bergantungan di sepanjang dinding. Mau tak mau pikiranku membentuk komentar miring mengenai kesukaannya. Apakah pria itu terjangkit narsisme yang begitu parah hingga ia harus memajang puluhan cermin di kamar? Pantulan wajahku di beberapa cermin membuatku bergidik dan aku memutuskan untuk berhenti mengamati cermin-cermin itu.
Kamar ini benar-benar kosong. Tempat tidurnya di letakkan di tengah ruangan dan menyisakan ruang lebar di kedua sisinya. Dindingnya berwarna putih, begitu juga dengan tirai di pintu geser serta selimut dan seprei. Ditambah dengan sinar matahari yang berkilauan, kamar ini seakan bercahaya. Tetapi pendingin ruangan yang terus menyala serta angin segar yang bertiup dari balkon menjadikan kamar ini benar-benar sejuk. Aku bisa saja betah berlama-lama di sini—bahkan mengurung diri untuk menikmati kesendirian—kalau saja aku tidak terlalu gelisah.
Mulanya aku hanya merebahkan diri, menggumam kesal karena kebosanan dan keinginan untuk mendapatkan akses ke internet. Tapi tidak lama kemudian pikiranku perlahan menjadi santai dan meskipun aku berusaha terjaga, kelopak mataku semakin berat, mengajakku bergabung dalam kedamaian di alam mimpi.

Rasanya baru satu detik yang lalu aku memejamkan mata tapi saat aku terbangun, langit-langit kamar telah berubah gelap. Aku tersentak. Benakku sibuk menghitung berapa jam aku tertidur dan terburu-buru bangkit hingga nyaris melewatkan sebuah siluet di depan balkon. Aku memusatkan pandanganku dan menyadari kalau seseorang itu adalah bosku, Lee Donghae.
Ia mengenakan jubah putih panjang yang berkibar karena hembusan angin malam. Tangannya memegang sebuah gelas berkaki dan ia menggoyangkannya perlahan. Aku membeku di tempatku berdiri, menyaksikan punggungnya yang kokoh dan lebar. Dari belakang pun sosoknya benar-benar menggoyahkan tekadku. Ia terlihat sempurna. Bagai lukisan seorang seniman terkenal; Berlatarkan pemandangan kota Los Angeles yang gemerlap oleh ribuan kerlap-kerlip cahaya lampu, serta langit malam dengan sinar bulan pucat yang menggantung sepi.
Angin berhembus lagi, membuat tirai tersibak ke mundur, seolah memanggilku untuk segera mendekat. Aku malah ingin berlari, melingkarkan kedua tanganku pada tubuhnya yang hangat dan membenamkan wajahku pada punggung Donghae yang terlihat kesepian. Tapi jangankan untuk bergerak, bersuara pun aku tidak mampu. Perhatianku benar-benar terhisap seluruhnya ke dalam pesona Lee Donghae.
“Bergabunglah, Miss Cardia.” Bisiknya semerdu angin. Aku menduga itu hanya ilusi sampai kulihat ia memutar kepalanya ke arahku dan menatap dengan pandangan sendu. Well, enggak deh. Aku sama sekali tidak sungguh-sungguh yakin kalau ia menatapku sendu. Tapi dengan suasana gelap seperti ini, tak ada yang bisa kusimpulkan selain itu.
Aku mendekat. Mencoba menggerakkan kakiku seperti robot; kiri-kanan-kiri-kanan. Lalu akhirnya aku tiba persis tiga langkah dari punggungnya yang masih terdiam. Ingin sekali aku menyentuhnya dengan kedua tanganku tetapi kutekan hasrat sinting itu dalam-dalam dan segera berdiri di sampingnya dengan gugup.
“Pemandangannya indah,” komentarnya sambil menatap cakrawala. Aku menggumamkan persetujuan lemah—masih terpesona penuh padanya—dan ia berpaling padaku lambat-lambat. “Ini,” ia menawarkan gelasnya yang berisi wine.
“Terima kasih, Sir. Tapi aku tidak pernah minum anggur sebelumnya—”
“Kalau begitu kau harus coba. Ini Chateau Lafite tahun 1962, Miss Cardia. Sangat tidak kusarankan untuk menolaknya. Cobalah, dan kau akan setuju dengan perkataanku tadi.”
Aku ragu saat mengambil gelas dari tangannya sementara pria itu menatapku dengan antusias. Tapi kuputuskan untuk menerima kebaikannya karena sepengetahuanku, semakin tua usia wine, maka semakin mahal harganya. Aku baru akan berniat meneguk habis minuman itu saat tiba-tiba jemari Donghae mencengkram pergelangan tanganku, menahan gerakanku.
“Bukan seperti itu, Miss Cardia.” Katanya lembut. Ia menarik tanganku menjauh dari bibir dan berkata lagi dengan tangannya masih menggenggamku. “Kau harus menggoyangkan gelasnya seperti ini—” Donghae mencontohkannya padaku, menggerakkan tanganku di bawah kendalinya, “—lalu hirup aromanya.”
Kuikuti perintahnya dan menghirup aroma yang kaya dari anggur itu. Oke, rasanya mungkin sedikit pahit tapi tetap saja menyenangkan. Ia tersenyum saat melihat ekspresiku yang terpana.
“Kau merasakannya, bukan? Aromanya begitu kuat, memabukkan tetapi juga hangat. Ini anggur terbaik yang ditanam di perkebunan sebelah barat Perancis, dengan penyulingan hati-hati dan penuh perhatian. Aku yakin kau setuju denganku kalau Anggur ini sangat nikmat saat kau mencicipinya.” Kata-katanya bergerak bagai semilir angin yang sejuk, menenangkan namun penuh gejolak.
“Rasakan di ujung lidahmu, Youva. Biarkan satu tetesnya membuatmu merasakan indahnya pemandangan kota. Saat minuman itu berpindah ke kerongkonganmu, panasnya akan membakar. Tetapi dalam sekejap akan membuat tubuhmu hangat, melepaskan kegelisahanmu lalu akan mengubahnya menjadi kabut kelegaan.”
Aku mengikuti semua perkataan Donghae. Di bawah tatapannya yang terus menelisikku, aku mencecap minuman itu dan mendapati semua perkataannya adalah fakta. Aku memejamkan mata, tersenyum dalam kelegaan yang muncul begitu saja. Kudengar lagi suaranya yang merdu berbisik di telingaku.
“Bagaimana menurutmu?”
“Rasanya lezat.” Aku mengakui dan membuka mataku perlahan. Jantungku mungkin masih kepanasan karena efek anggur, tetapi dengan kedua mata Donghae yang memandangku lurus, aku merasa pertahanan diriku mulai runtuh satu persatu. “Aromanya yang terbaik. Tetapi rasanya sungguh kaya. Rasa manis mendominasi, tetapi bersaing dengan tajamnya aroma anggur.” Jelasku berusaha fokus.  Di sebelahku, Donghae tersenyum puas.
“Benar.” Katanya mengiyakanku. “Kau mendeskripsikannya dengan baik sekali, Miss Cardia.”
Aku tersenyum malu mendengar perkataannya. Sama sekali tak tahu harus berkomentar apapun.
“Ini tempat kesukaanku. Dari sini aku bisa melihat bentangan langit Los Angeles yang di penuhi polusi, tapi biar begitu pemandangannya tetap saja indah.”
“Anda benar, Sir. Pemandangan adalah hal terbaiknya.”
Donghae menarik napas perlahan. Tangannya yang berpegangan pada pembatas balkon terlihat sedikit tegang. “Kau tahu, Miss Cardia, hidup selalu seperti ini. Terlihat indah dari kejauhan, namun begitu penuh sesak di dalamnya. Berlika-liku hingga rasanya membuatmu lelah tak tertahankan. Tapi saat kau berhasil berdiri di atas dan melihat ke bawah, kau akan mengerti bahwa hidupmu adalah sebuah seni, membentuk setiap persimpangan yang akan membawamu pada sebuah tujuan dalam hidup.”
  Aku menatapnya bingung, tapi otakku tak mampu memikirkan apapun. Nampaknya efek anggur itu semakin meracuni otakku. Sebab kini perhatianku hanya terfokus pada helaian rambutnya yang tertiup angin, bergerak perlahan hingga rasanya jantungku kembali berdebar keras. Aku salah, Lee Donghae adalah hal yang terbaik untuk saat ini.
“Masuklah dan hangatkan dirimu di dalam. Udara akan turun semakin rendah.” katanya memecah lamunanku. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba mendapatkan konsentrasiku kembali.
“Anda tidak ikut masuk, Sir?”
Donghae melirikku sekilas namun segera mendesah pada bentangan pemandangan luas di depannya. “Tidak. Aku akan di sini sebentar lagi..” ia menggigit bibirnya satu kali, terlihat gugup. “Dan kau bisa kembali ke kamarmu, Miss Cardia. Aku pikir aku akan menggunakan kamarku malam ini. Satu lagi, pastikan kau mengunci kamarmu ketika tidur. Aku tidak ingin terjadi hal yang tidak kuharapkan.”
Rasanya kesadaran bergerak lambat dalam kepalaku. Tapi saat kusadari arti perkataannya, aku menunduk malu dan hanya mampu bergumam tidak jelas. Memangnya apa yang tidak ia harapkan? Memikirkannya saja membuatku merasa malu setengah mati.
Tapi segera kutinggalkan pria itu sendiri di balkon kamarnya dan menuju konter dapur. Aku tadinya kelaparan, sebelum kepalaku dipenuhi bayangan wajah dan senyum Lee Donghae yang mempesona. Sekarang, setelah nafsu makanku minggat ke bulan, aku hanya bisa terduduk di atas kursi dapur dan mengaduk piringku yang di penuhi salad buah tanpa minat sama sekali.
Apakah efek anggur mahal ataukah pemandangan malam Los Angeles yang membuatku merasa salah tingkah seperti ini? Apapun itu, aku tahu jawabannya bukan salah satunya.

***


Selama beberapa hari ke depan, aku dan Donghae menghabiskan waktu di apartemen dengan Chad yang datang yang datang setiap hari. Ia membawakan laporan-laporan yang di kirim dari perusahaan dan pria baik hati itu terkadang membantuku menyelesaikannya karena tumpukan laporan itu benar-benar di luar batas toleransi. Kadang Chad juga membawa makanan favoritku, croissant dan nacho, tapi saat ia membelikan pesananku—mi ramen instan di supermarket—Donghae langsung membuang benda itu bahkan sebelum aku membuka tutupnya.
“Jangan makan sampah di apartemenku.” Desisnya galak dan menghilang ke dalam ruang kerjanya. Aku memutar mata lalu mencibir di balik punggungnya. Chad nyengir melihatku dan bersama-sama kami mulai membuka laporan bagian administrasi.
Akhirnya aku mengetahui bahwa Donghae memiliki gaya hidup sehat; kulkas penuh dengan buah-buahan dan sayur organik, satu set treadmill di salah satu ruangan—ia selalu menyempatkan diri untuk berolahraga setiap pagi—dan juga kebiasaan menghindari makanan junk food. Jadi saat ia melihat Chad dan aku menggigit besar-besar potongan burger dengan keju ekstra, Donghae memberikan tatapan jijik pada kami berdua. Lalu kami akan nyengir di belakangnya.
Donghae juga punya kebiasaan menginterupsi percakapanku dan Chad. Kadang ia juga ikut duduk bersama kami di ruang tengah meski jarang sekali mengatakan sesuatu selain komentar pedas. Ia memang mengurangi sifat diktatornya, tetapi belakangan ia semakin sering menggerutu.
“Ia benar-benar frustasi berada di sini,” ujar Chad mengangkat bahu.
“Dia, kan, bisa saja pergi keluar kalau mau.” Kataku heran.
“Dan meninggalkanmu sendiri? Tentu saja tidak.”
Aku menatap Chad bingung. “Bukannya ada kau yang menemaniku?”
Chad terlihat ragu selama sedetik, tapi ia tersenyum. Saat itu kami berdiri di balkon ruang tengah dan mata hijaunya berpendar terang di bawah sinar matahari. “Well, itu cerita lain.” Jawabnya pendek lalu langsung masuk kembali saat Donghae muncul dari kamarnya.
“Johny Verto mengundangmu secara khusus untuk bisa hadir pada pestanya minggu depan, Miss Cardia. Meskipun aku telah mewakilimu untuk menolaknya.” Donghae berkata ringan, tidak merasa terganggu dengan kerutan di dahiku.
“Aku tidak bisa pergi?” tanyaku padanya.
Ia merebahkan diri di atas sofa di depanku dan Lee Donghae melipat tangannya di dada. Aku benci itu. Sebab pria ini menolak mengenakan apapun yang ‘pantas’ selama di apartemennya. Ia selalu memakai kaus putih—atau biru langit—dengan potongan lengan rendah dan membuat otot dada juga otot lengannya seakan unjuk diri jika ia menggerakkan lengannya sedikit saja. Akibatnya aku bakal kepayahan bernapas.
Fokus, perintahku pada otakku yang mulai membangkang.
“Kau tidak boleh pergi. Ada pertanyaan lain?”
Aku memajukan bibirku dan membentuk ekspresi terluka. Di sebelahku Chad menaikkan alisnya. Kuberitahu ya, baru kemarin aku mengetahui dari Chad kalau Donghae tidak suka melihatku menggigit bibir atau bahkan melakukan sesuatu dengan bibirku karena pria itu bakal menyipitkan matanya dengan galak dan memandangku penuh peringatan. Oh, please, ini kan bibirku! Tapi aku selalu melakukannya secara sengaja, merasa sedikit terpuaskan dengan ekspresinya yang menggeram kesal.
“Tidak bisakah aku pergi? Sebentar saja, please?”
Seperti dugaanku, Donghae menyipitkan matanya dan menghela napas panjang saat aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Ia terlihat terganggu dan aku menikmatinya.
“Tidak. Dan aku tidak ingin berkompromi apapun denganmu sekarang. Tutup mulut, Miss Cardia.” Katanya separuh membentak. Chad bergetar menahan tawa di sampingku dan aku menyikutnya saat Donghae tidak melihat kami.
Menyenangkan sekali seperti ini. Rasanya aku bisa mempermainkan bosku sendiri karena biasanya ia yang terus-terusan menggodaku. Aku masih ingat saat dua malam yang lalu ia menawariku untuk menginap di kamarnya dan sebagai gantinya aku akan turun pangkat menjadi penjaga lobi. Kalau saja aku tidak ingat bahwa pria itu sedang melindungiku, aku yakin aku sudah melemparinya dengan standing lamp atau vas bunga terdekat.
“Oke. ” Kataku pasif. Donghae mengernyit sedikit. Mungkin ia merasa terganggu dengan nadaku tapi aku tidak sempat memikirkannya lagi sebab Chad menginterupsi kami.
“Ngomong-ngomong, kau dapat surat, Youva.” Ujar Chad di sofa. Ia mengeluarkan tumpukan kertas dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. Aku baru akan mengambilnya ketika Donghae lebih dulu meraih surat-suratku.
“Surat tagihan listrik, tagihan air, tagihan—ya ampun, kenapa kau memiliki begitu banyak tagihan? Dan ini—” Donghae mendengus saat membaca tulisan di amplop biru. “—Undangan klub buku! Astaga kau begitu culun, Miss Cardia.”
Aku yakin tengkukku warnanya sudah merah terang sekarang. Dengan satu gerakan cepat, aku menyambar semua surat-surat di tangannya dan ia mencibir padaku.
“Dan ini surat dari tetanggamu,” kata Chad lagi. Kali ini ia menyodorkan surat itu langsung padaku, tidak mengindahkan tatapan Donghae yang berkilat kaget.
“Tetanggamu mengirimmu surat? Yang benar saja.” Gerutu Donghae. Tapi bisa kulihat ia penasaran. Sama penasarannya dengan Chad yang menanti dengan wajah tegang.
“Ini pernah terjadi. Bibi Major kadang mengirimiku surat—seperti saat aku ke Oklahoma untuk menyelesaikan penelitianku—” Aku membuka amplopnya yang berwarna merah dan tak menyertakan alamat. “—Karena wanita tua itu tidak memiliki siapapun untuk diajak bicara. Dan—” kalimatku terpotong saat aku mendapati bahwa surat itu ternyata bukan dari Bibi Major. Aku tahu persis tulisan Bibi Major yang miring dan halus, sama sekali berbeda dengan yang ini. Tulisannya lebih kasar, hurufnya tegas dan ada sesuatu yang membuatku amat familiar; huruf g-nya di tulis dengan dua bulatan yang saling tumpang tindih. Dan aku tahu hanya satu orang yang kukenal yang membuat huruf seperti itu. Johan Stavilosky.
Tapi bukan itu yang membuatku memucat ketakutan. Tetapi rangkaian huruf di atas kertas lah yang menjadi penyebabnya. Tak ada salam, pertanyaan remeh atau basa-basi apapun. Hanya sebuah alamat lengkap. Bukan alamatku, tetapi alamat Ibuku di Indonesia.
Tidak mungkin.
“Sesuatu yang gawat?” tanya Chad tak sabar. Tampaknya ia menyadari wajahku berubah ngeri. Aku mendongak menatapnya, menemukan sepasang mata hijau cemerlang yang terlihat khawatir dan tegang. Lalu tatapanku berpindah pada Donghae—yang menunjukkan wajah datar meski aku tahu ia juga penasaran.
“Chad, kau—apa yang bibi Major katakan saat ia menyerahkan surat ini?” suaraku nyaris bergetar. Mereka berdua menangkap ada yang tidak beres dan saling berpandangan sejenak.
“Tidak banyak. Dia Cuma menggerutu menanyakan keberadaanmu dan berkata kalau aku harus menyampaikan surat itu padamu secara langsung.”
“Katakan ada apa.” Perintah Donghae dengan nada mutlak. Aku menyerahkan surat itu dengan tubuh menggigil dan kulihat perubahan juga terjadi pada ekspresi Donghae juga Chad.
Semuanya terjadi begitu cepat satu detik kemudian. Donghae mengambil ponselnya dan menekan beberapa kali sebelum berpaling pada Chad. “Sialan, Chad. Cepat hubungi Mark. Kode merah.” Chad mengangguk dan segera melaksanakan perintah Donghae.
Aku hanya terpaku, masih berdiri di tempat yang sama, memandangi dua orang pria di depanku yang terlihat gusar dan berbicara dengan intonasi yang begitu cepat. Donghae meremukkan surat itu dalam kepalan tangan dan nadanya terdengar panik saat berbicara dengan seseorang lewat ponselnya.
“Jason mengetahui alamat Diana. Segera amankan lokasi dari radius satu mil. Periksa seluruh daftar mencurigakan yang mungkin saja terlibat…. Bukan, aku baru mengetahuinya beberapa menit yang lalu… Benar, segera posisikan tim alfa-2 untuk terjun ke lokasi. Baiklah, hubungi aku dua puluh menit lagi.”
Donghae menutup ponselnya dan aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan kacau. “Sir, apa yang terjadi? Kenapa—ada apa—maksudku apakah ibuku baik-baik saja? Sir,—” Donghae mengangkat tangannya, menyuruhku diam karena saat itu Chad baru menyelesaikan pembicaraannya.
“Sir, ini gawat. Target telah menghilang selama dua puluh empat jam. Mark mengatakan bahwa ponselnya mati dan lokasi terakhirnya ada di sekitar pasar tradisional, 5 kilometer dari rumahnya. Aku telah memintanya untuk bersiaga penuh selama beberapa jam ke depan.”
“Tolong,” aku nyaris menjerit saat mengucapkannya. “Jelaskan padaku apa yang terjadi.”
Chad memandangku gelisah, tetapi Donghae yang menjawabku. Suaranya pelan, tegas. Tapi nadanya juga sangat khawatir. Dan aku nyaris menangis saat ia mengatakan padaku satu kalimat singkat.
 “Miss Cardia, Ibumu diculik.”
Bumi rasanya luluh lantak di bawah kakiku, menjadikan kedua kakiku goyah dan seketika tubuhku berubah menjadi agar-agar lumer—tak bertenaga dan limbung ke bawah. Aku tak bisa melihat apapun. Kedua mataku hanya menampilkan wajah ibu yang tersenyum, tertawa lebar dan kini wajahnya menjauh.
Aku tenggelam dalam kegelapan tak berujung saat seseorang menahanku. Tapi sudah terlambat. Tak ada yang bisa kulakukan selain menyesal sekarang. 
Maafkan aku, Ma.

***

Napasku terasa berat. Setiap tarikannya seakan membakarku, menyentakku ke dalam sensasi tersayat aneh hingga aku tak bisa leluasa menghirup udara. Dengan tersengal-sengal aku mencoba dan mencoba lagi, tetapi semakin aku mencoba untuk mencari oksigen, paru-paruku rasanya terus menciut. Aku ingin membuka mata, tapi entah kenapa otot-otot mataku tak bekerja seperti yang kuharapkan. Dan kusadari rasa sakit di kepalaku lah yang menjadi sumber kelemahanku. Perlahan nyeri di kepalaku semakin hebat, membuatku mengerang kesakitan.
“…Keadaannya sangat memprihatinkan... aku tidak tahu karena dia terus menerus bergumam dalam tidurnya... benarkah? Baiklah kalau begitu. Aku akan melihat perkembangannya terlebih dahulu. Entahlah, semuanya terjadi begitu mendadak. Suhu tubuhnya tinggi sekali dan aku takut kalau otaknya bisa rusak…
Aku yakin aku mendengar suara itu di dalam kepalaku. Tapi aku sama sekali tak bisa memikirkan apapun. Kepalaku berdenyut begitu mengerikan sekarang. Sendi-sendi di seluruh tubuhku seakan bakal copot dalam sekejap. Berteriak kesakitan juga percuma, karena kerongkonganku kering sekali, seolah terbakar oleh api tak kasat mata.
“Chad, aku mau kau memastikan seluruh tempat aman karena kalau dia tidak sadar dalam waktu 24 jam, aku akan membawanya ke laboratorium…… Tidak, aku tidak bisa melakukan itu, terlalu beresiko…… Kau tahu kalau Arthur sangat tertutup mengenai ide-ide sintingnyaYa, itu bisa terjadi tetapi aku tidak ingin melakukan apapun sebelum dia sadar. Youva harus segera sembuh.”
Rasanya ada aliran listrik yang mengejutkanku karena kepalaku mulai berhenti disorientasi saat aku mendengar ia menyebut namaku. Aku berusaha menggerakkan kelopak mataku—membuatnya mengejap lemah beberapa kali. Tetapi tampaknya hal itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa aku kembali sadar.
“Youva? Kau sudah sadar? Oh, terpujilah Tuhan! Kalau kau mendengarku, bukalah matamu, Youva—”
Aku ingin menurutinya, tetapi sialnya saat kedua mataku membuka secara penuh, lintasan kejadian berkelebat di kepalaku. Menghantamku sedemikian rupa hingga rasanya tubuhku menggigil ketakutan.
“Ibu—”
“Sshh. Tenanglah. Kau harus—”
“Ibuku!” seruku panik. Kepalaku berdenging keras sekali. Tapi aku mengacuhkannya dan mengumpulkan seluruh tenagaku untuk bangkit.
Donghae menahanku yang langsung limbung saat akan melompat berdiri. Alih-alih, ia membantuku duduk. Aku mendorongnya menjauh dan mencabut selang infus di pergelangan tanganku. Dan saat itu kusadari kalau bukan Cuma satu infus, tapi ada tiga selang yang terpasang di tubuhku. Aku mengernyit dan mencabut selang kedua. Namun Donghae menahanku saat aku meraih selang ketiga.
“Kau harus tenang,” bisiknya memohon. Aku menoleh pada pria itu dan mendapati kedua matanya memandangku lembut. Jantungku nyaris memberontak kalau saja aku tidak memikirkan Ibu.
“Tidak. Aku harus pergi.”
“Kemana?” kali ini suaranya mulai meninggi, tapi juga terdengar geli.
Aku terperangah. Dan sedetik kemudian otakku memberikan jawabannya. “Flat-ku. Johan pasti ada di sana.”
“Omong kosong,” dengusnya terang-terangan. “Anak buahku mengawasi tempat itu 24 jam penuh. Luar dalam.”
“Tapi—aku tidak bisa di sini—Ibuku—”
“Miss Cardia, tenanglah.” Kata Donghae memerintah. Aku mengunci mulutku secara refleks, menatapnya penuh pengharapan—sekaligus gelisah. “Ibumu baik-baik saja. Dia sekarang berada di Ohio bersama dengan sepuluh bayi yatim piatu dan lima orang pengasuh bayinya.”
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menganga. “Ohio?” bisikku tak percaya. Donghae mengangguk cepat.
“Arthur memindahkannya tanpa sepengetahuanku—dan harus kutambahkan, tanpa izinku—ke Ohio beberapa waktu yang lalu. Untuk saat ini Diana aman di sana. Ketika aku mengetahui bahwa ia berada di bawah perlindungan Arthur, aku segera menambahkan beberapa tenaga tambahan untuk mengawasinya.”
Penjelasan Donghae membuat tubuhku diliputi kelegaan yang luar biasa. “Itu bukan Johan?” gumamku lemah.
Ada sesuatu pada ekspresi Donghae yang membuatku kembali cemas. Ia terlihat resah selama sepersekian detik, namun dengan cekatan Donghae segera menyembunyikan semuanya dan tersenyum menatapku. “Sepertinya dia hanya ingin memancingmu dengan mengumpankan alamat Diana.”
“Hanya itu?” tanyaku curiga. Sebagai jawaban Donghae hanya mengangguk sambil melemparkan senyumnya yang luar biasa indah. Aku nyaris tergoda untuk memperhatikannya—seluruh guratan di wajahnya saat bibirnya melengkung naik, menciptakan kesan hangat di wajahnya, juga saat kedua matanya menyipit menjadi garis tipis, menjadikannya begitu mempesona—Tapi akal sehatku kembali berfungsi pada waktunya.
“Aku tahu ada yang tidak beres. Ceritakan padaku.”
Dalam sekejap, wajah Donghae mengeras. Ia seakan berganti topeng. Tetapi nadanya terdengar berhati-hati saat ia berkata padaku. “Tidak. Kau belum siap untuk itu. Aku mau kau sembuh terlebih dulu.”
Aku kembali tercenung mendengar penolakannya. Barulah kusadari mengapa tubuhku seakan begitu lemah. “Memangnya aku kenapa?”
“Kau sudah tiga hari tidak sadarkan diri, Miss Cardia. Seharusnya Cuma demam biasa, tapi kita bisa menggoreng telur di wajahmu.”
“Kuharap tidak ada mengolesi minyak di wajahku,” gumamku cemberut dan Donghae tertawa. Ia meremas jemariku ke dalam telapak tangannya yang besar dan hangat.
“Aku senang kau sudah mulai baikan. Jangan cemaskan apapun untuk saat ini, oke?”
Tadinya aku berniat untuk memprotesnya, tetapi tampaknya tenagaku bahkan belum cukup untuk itu. Jadi aku menggigit bibirku tanpa kusadari. Dan Donghae menggeleng padaku.
“Menggigit bibir juga jangan.” Perintahnya kesal. Aku memberinya senyuman menyesal dan ia kelihatan kepingin mengacak-acak rambutku tetapi tidak jadi. Cacing di perutku mengacaukannya.
“Kau lapar? Oh, tentu saja. Kau pasti lapar. Tunggu sebentar. Akan kubawakan sesuatu.” Setelah mengucapkan itu, ia menghilang ke luar dan kembali sekitar lima menit kemudian.
Saat pria itu masuk, ia mendorong pintu dengan kakinya. Tangannya disibukkan dengan nampan yang berisi makanan dan minuman. Ia meletakkan nampan itu di atas meja di sebelahku ketika aku menginterupsinya.
“Kenapa bahkan ada alat pengukur detak jantung di sini?”
Ia tidak segera menjawab, melainkan menarik napas panjang dengan alisnya berkerut. “Kau mendapat serangan, Youva. Tim medis tidak bisa menjelaskan alasannya dengan tepat selain menyimpulkan bahwa ada masalah dengan psikologismu. Gejalanya juga aneh; kau terbangun dalam tidurmu, muntah lalu tidak bisa bernapas. Setiap tiga jam sekali ada dokter yang memeriksamu dan mereka mengatakan kalau kau tidak segera sadar, otakmu bakal rusak.”
Aku tahu wajahku pasti terlihat syok karena pria itu langsung menambahkan senyum. “Tapi kau selamat.” Ujarnya mencoba menenangkanku. “Nah, sekarang buka mulutmu.”
Segera saja aku memprotes agar ia membiarkanku untuk makan sendiri, tetapi Donghae melotot garang padaku dan memaksaku menurutinya. Kami nyaris bertengkar tapi akhirnya aku mengalah karena ia mengancam tidak akan memberiku makan kalau aku tidak membiarkannya menyuapiku. Aku sangat malu hingga rasanya wajahku terbakar, tetapi pria itu malah bersikap biasa saja. Seakan aku adalah adiknya—temannya—atau mungkin tetangganya yang kelaparan dan miskin.
“Apakah—err.. siapa yang membuat bubur ini, Sir?” tanyaku saat isi piringnya tinggal setengah.
“Pembantu rumah tangga.” Jawabnya ringan.
Aku mengernyit. “Bukankah anda tidak suka ada orang lain yang masuk ke apartemen anda?”
Donghae menatapku separuh kesal. “Benar. Tapi aku tidak ingin meracunimu dengan masakanku. Kau puas sekarang?”
Sangat susah untuk menahan diri agar tidak mendengus geli. Dan pria itu juga tampaknya tidak terlalu mempedulikanku karena ia berupaya membuatku menghabiskan bubur itu namun segera kutolak mentah-mentah. Perutku benar-benar sudah penuh dan memaksanya untuk makan lebih banyak benar-benar ide buruk.
“Kau sangat keras kepala,” geramnya menahan diri. “Oke, aku tidak akan memaksamu makan. Tapi ada yang ingin kutanyakan padamu, Miss Cardia, dan kau harus menjawabku dengan jujur.”
Aku melawan godaan untuk menguap karena mendadak kepalaku terasa ringan dan kelopak mataku semakin berat. Tapi demi kesopanan, aku berusaha memperhatikan bosku.
“Tiga hari belakangan.. Kau terus bergumam dalam tidurmu. Awalnya hanya igauan samar dan aku tidak mengerti sampai kemarin malam, kau mengatakannya dengan sedikit lebih keras. Aku bertanya-tanya apa yang kau mimpikan karena kau terlihat begitu menderita. Jawab aku, Miss Cardia. Apa yang sebenarnya membuatmu resah?”
Perkataannya menimbulkan lubang yang berusaha kututup di sudut hatiku. Menjadikanku gelisah dalam hitungan detik. Aku menatap Donghae, tetapi pria itu memberiku tatapan lurus—membuatku segera memalingkan wajah ke arah berlawanan.
“Chad berasumsi kalau kau merasa bersalah atas penculikan Ibumu. Tadinya aku juga berpikir seperti itu, sampai tadi malam, saat aku mendengar apa yang kau katakan dalam tidurmu.”
“Apa yang kukatakan, Sir?” tanyaku parau.
Well, kau tidak sedang dalam posisi bertanya, Miss Cardia.” Katanya tegas. Ia menatapku tanpa berkedip. “Jawab aku.” Perintahnya lagi.
Aku memutuskan untuk memandangnya dan jantungku berdetak aneh. “Aku.. aku takut, Sir.” Jawabku berbisik. “Aku melihat Johan dalam mimpiku. Dia—dia—” Suaraku pecah di ujung kalimat.
“Apa yang dia lakukan?” desaknya lembut.
“Dia membunuh anda.” Aku bergidik memikirkannya, tak berani menatap langsung ke kedua mata Donghae. “Tapi, Johan—dia juga mati. Tubuhnya penuh darah. Dan—Oh, akulah yang membunuhnya. Aku menyalahkannya karena menculik Ibuku—membunuh anda, jadi aku menembaknya. Semuanya sangat nyata dan aku tidak bisa berhenti ketakutan.”
Tangisanku tumpah begitu saja. Meledak tanpa terkendali. Dan aku mendengar Donghae berusaha menenangkanku. “Itu hanya mimpi, Youva. Kau tidak perlu cemas. Bukankah sudah kubilang kalau semuanya akan baik-baik saja? Jangan khawatirkan apapun.”
Itulah yang kucemaskan!” sergahku dengan suara meninggi. Air mataku tak membantu sama sekali. “Kau bilang tak ada yang perlu kucemaskan? Tapi itu malah membuatku semakin ketakutan. Aku bersembunyi dari mantan kekasihku yang gila dan ingin membunuhku setiap saat, berniat menculik Ibuku dan kau bilang aku tak perlu cemas? Apa kau sudah gila?!”
Aku menutupi wajahku yang kelihatan idiot dan menangis keras-keras. Aku takut sekali. Padahal baru saja beberapa menit yang lalu aku merasa lega karena ibu baik-baik saja—bahkan kepingin tidur karena kekenyangan—dan pria itu merusak semuanya.
“Kau pikir aku akan membiarkannya membunuhmu?” aku mendengar Donghae berkata dengan berang. Ia menarik sebelah tanganku dengan paksa. Genggamannya keras sekali sampai aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengerang kesakitan.
Aku yang melindungimu, Youva.” Tegasnya lebih keras. “Tak ada yang perlu kau takuti.” Donghae menggeram, menekan setiap suku kata.
“Aku percaya padamu, Sir. Aku yakin anda memang akan melindungiku. Tapi bukan itu!” jeritku nelangsa. “Johan—dia masih berkata kalau dia mencintaiku! Bahkan setelah aku menembaknya—membunuhnya—dia bilang dia mencintaiku—bisakah anda mengerti hal itu—” Aku sadar kalau perkataanku terdengar kacau dan semakin tidak terarah. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku sekarang. Dengan cengkeraman Donghae yang semakin mengeras, aku nyaris menjerit kesakitan.
Donghae menatapku nanar. Genggamannya melemah. “Tapi itu Cuma mimpi, Youva. Itu tidak nyata.” Bisiknya parau.
“Aku tahu, Sir. Dan itulah yang membuatku sedih—”
“Kau masih mencintainya?”
Pertanyaan Donghae begitu langsung hingga aku terperangah selama beberapa saat sebelum mampu menjawabnya. “Aku tidak tahu. Seharusnya tidak lagi.”
“Kalau begitu berhenti menangis,” katanya memohon. “Jangan menangisinya, Youva. Kau terlalu—dia tidak pantas untuk mendapatkan perhatianmu seperti ini.”
Aku menyeka air mataku dengan tangan yang satunya lagi tapi Donghae juga ikut membantu. Ia mengusapkan pipiku yang basah karena airmata bodoh itu dan memandangiku lama sekali.
“Anda benar,” ucapku sambil tersenyum canggung. “Aku tidak tahu kenapa aku jadi payah sekali.”
Donghae tersenyum sedikit. Masih memegangi sebelah tanganku yang kini rasanya mulai membiru. “Kau harus belajar mengatasinya, Youva. Lupakan Jason—atau Johan.”
Bibirku memberengut sedikit—hal ini benar-benar di luar kendaliku—dan aku tersadar saat Donghae mengernyitkan alisnya ketika memandangku. “Aku sungguh-sungguh ingin melupakannya. Tapi, entahlah. Rasanya sulit sekali membuatnya hilang dari kepalaku.”
Kami berpandangan sejenak. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Donghae yang membuatku sedikit salah tingkah.
“Kau butuh bantuan untuk melupakannya?”
“Oh. Tidak, Sir. Tidak apa-apa. Aku yakin aku hanya butuh waktu.” Jawabku pelan lalu tersenyum. Aku memberinya senyuman lebar, merasa senang atas tawarannya yang kelewat baik hati.
Tetapi Donghae terpaku menatapku. Tampaknya waktu berhenti di sekitar kami saat ia mengamatiku lekat-lekat. Dan di luar dugaan, ia mendesah keras sebelum berkata, “aku bisa mengerti kenapa pria-pria sialan itu menyukaimu. Tapi harus kukatakan aku tidak suka kau tersenyum seperti itu, Miss Cardia. Apalagi menggigit bibirmu. Kau mengganggu konsentrasiku.”
Rasanya ada yang menghantam goda tepat di hatiku karena kini bisa kurasakan retakan benteng pertahanan diriku mulai runtuh tak bersisa. Tatapan Donghae yang semakin intens membungkamku tanpa sedikitpun tarikan napas. Paru-paruku megap-megap butuh udara, tapi aku bergeming. Menanti dengan jantung menggelepar saat pria itu mendekatkan kepalanya ke arahku.
“Aku tak tahu matamu ternyata sangat cantik. Tidak, tentu saja kau cantik. Tapi aku tak pernah bisa memahami itu sebelumnya.” Suara Donghae semakin mengabur, sementara wajahnya terus mendekat ke wajahku.
Tubuhku membeku. Aku telah terbius dengan tatapan Lee Donghae yang mematikan. Matanya yang berwarna cokelat muda itu benar-benar membuatku kehilangan kesadaran. Dengan jarak sedekat ini, aku harap aku bisa menghitung jerawat di hidungnya. Tapi wajahnya mulus tanpa cela. Membuatku iri, sekaligus terpesona. Bibir pria itu membuka, membisikkan kata-kata yang tak lagi bisa kudengar karena pendengaranku telah berhenti bekerja. Begitu juga otakku. Aku yakin otakku memang sudah mencair. Meleleh karena aroma Donghae yang memabukkan.
Wajahnya sangat tampan. Aku tak ingin menutup mata dan harus melewatkan momen penuh sukacita saat bibirnya akan memagutku.
Sebentar lagi, bisikku dalam hati. Batinku berteriak kegirangan.
Aku bisa mencium aroma manis dari sapuan napasnya sekarang. Tarikannya terdengar sedikit cepat, membuat irama dalam kepalaku. Donghae memiringkan kepalanya sedikit dan aku hampir menutup mataku karena wajahnya sudah sangat dekat tetapi aku mendengar sebuah suara.
“Bos, kau tidak berencana meledakkan jantung pasien kita, bukan?”
Aku tersentak. Mengejap beberapa kali lalu menghela napas pendek. Seketika itu juga Donghae menarik dirinya. Ia mendesah kecewa, terlihat kesal dan melotot pada Chad. Aku bisa mendengarnya menggertakkan gigi saat membalas perkataan Chad.
“Bisakah kau muncul lima menit lebih lambat?” geramnya terang-terangan.
“Maaf bos, tapi kau punya tamu.” Ujar Chad mengangkat bahu. Kemudian ia melirikku. Mata hijau cemerlangnya bersinar nakal. “Jantungmu sangat sehat, Youva. Bunyinya bahkan terdengar sampai ke luar.” Ujarnya menyeringai geli dan memberiku kedipan singkat.
Dalam waktu sedetik wajahku merah padam. Nyaris menyerupai kepiting rebus hingga aku tak berani memandang siapapun sekarang. Tapi saat Donghae keluar dan meninggalkanku sendirian, barulah kusadari bunyi pip-pip-pip­ dari alat di sebelah tempat tidurku terdengar begitu nyaring dan sangat mengganggu. Pantas saja Chad berkata seperti itu. Bagaimana mungkin aku tidak mendengarnya?
Nyaris sekali. Sesalku dalam hati. Aku benar-benar malu. Malu sekali hingga aku yakin akar rambutku ikut berubah merah. Benar-benar sedikit lagi dan Chad merusaknya. Ugh.
Aku menaikkan selimut hingga ke hidung, mencoba menghentikan debaran jantungku yang konyol itu. Menarik napas dalam-dalam sebanyak tiga kali dan memerintahkan otakku untuk fokus.
Baru saja lewat lima menit penuh, ketika pintu kamarku terbuka lagi. Donghae berdiri di ambang pintu dengan—oh, tentu saja—sangat tampan. Jemarinya menyapu rambutnya yang berantakan. Ia memandangku gugup. Atau cemas?
“Youva, Arthur—maksudku, Ayahmu—ada di luar. Dia ingin bertemu denganmu.”
Rahangku menganga dan mataku membelalak kaget.

Tunggu. Apa katanya tadi?


***


Aku ingin beralasan kalau aku sedang sakit. Terlalu lemah untuk menemui siapapun, atau aku kepingin tidur. Aku memang—amat sangat—mengantuk dan tubuhku butuh istirahat. Tapi setelah mereka memergoki jantungku yang menggelepar penuh semangat setengah jam yang lalu, tidak mungkin aku bisa mengatakan satu kebohongan pun.
Bukannya aku tidak ingin bertemu dengan ayah kandungku, tapi tetap saja ini terlalu cepat. Aku tidak siap. Sama sekali tidak siap meski aku punya jutaan pertanyaan sinting dan remeh untuknya. Sepuluh menit yang lalu Donghae membantuku melepaskan selang-selang mengerikan yang semuanya membuatku bergidik, sebagai gantinya ia membiarkan sebuah selang infus tetap melekat di pergelangan tanganku karena menurutnya aku masih lemah.
Dan, oke, aku gugup sekali sampai rasanya perutku mulas. Donghae memberiku waktu ‘me time’ dan ia bilang kalau aku boleh mengambil waktu sebanyak yang kumau. Tapi pikiranku yang selalu praktis ini menang. Tidak ada gunanya menolak bertemu dengannya—maksudku Ayahku—karena cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Dan kapanpun waktunya, jawabannya bakal sama; aku tidak akan pernah siap.
Aku berdiri di depan cermin setinggi satu meter yang tampaknya di letakkan saat aku tidak sadarkan diri. Cermin itu memiliki ukiran cantik di puncaknya, bergelung membentuk sulur tanaman dengan bunga-bunga kecil di pinggiran kaca. Tapi meski cermin itu sangat cantik, wajah yang terpantul di sana benar-benar terlihat kusut. Seakan sudah tiga hari tidak mendapat perawatan yang semestinya—well, itu benar. Jadi, sambil bergelut dengan kecemasanku, aku mulai merapikan diri.

Dan meskipun aku sudah berusaha menenangkan diri, faktanya tetap saja aku ketakutan—juga cemas. Aku menarik napas panjang. Menghelanya lalu menariknya lagi. Masalahnya adalah apa yang harus kukatakan saat bertemu dengannya? Mana mungkin aku melompat keluar dengan infus bergantung di sebelahku dan berkata dengan nada santai, “Hai, Dad. Apa kabar? Apakah akhirnya kau ingat punya anak?
Aku menggeleng. Tidak. Terlalu kasar. Batinku tak setuju. Atau bagaimana jika;
“Hai, Dad. Apa kabar? Akhirnya kau punya waktu luang untuk melihatku?”
Masih terdengar kasar. Tapi setidaknya aku bisa memperlihatkan kekecewaanku padanya. Aku masih ragu, namun ketukan di pintu membuatku semakin cemas. Donghae masuk setelah mengetuk tiga kali. Ia sedikit terkejut melihat ekspresiku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil mendekat.
Aku mengangguk. Menggigit bibir dengan gelisah. “Sepertinya tidak.” Jawabku.
“Arthur menunggumu. Apa kau tidak ingin bertemu dengannya?”
Kupandangi Donghae tanpa berkedip. Ia balas memandangku. Tetapi setelahnya tersenyum menenangkan, membuatku ikut tersenyum. “Ayolah, kau pasti bisa melakukannya.” Bujuknya.
“Baiklah.” Jawabku menyerah lalu mengikutinya keluar. Aku yakin kalau saat ini alat pengukur detak jantung di hubungkan padaku, bunyinya pasti terdengar hingga Indonesia. Karena jantungku benar-benar tidak bisa tenang sekarang.
Aku berjalan ke ruang tengah. Mendengar Donghae mengatakan pada Arthur Carlos kalau aku tiba. Saat aku mencapai sofa pertama, akhirnya aku bisa melihatnya. Sosok pria yang ternyata adalah ayahku.
Kalau aku bisa mengulang waktu, aku kepingin merubah momen ini—di mana aku melihat wajahnya untuk pertama kali secara langsung—karena rahangku menganga dan mataku membelalak. Arthur Carlos—Ayahku, mengenakan setelan hitam yang menyerupai tuksedo. Di baliknya ia mengenakan kaus putih berkerah tinggi, yang menutup separuh lehernya. Ia—wajahnya—sangat tampan. Dan pikiran pertama yang melintas di kepalaku adalah; foto-foto yang kulihat di Google pastilah foto lama karena ia terlihat berbeda sekali dengan semua gambar yang berhasil kutemukan di internet.
Arthur Carlos sangat tampan—oke, aku sudah menyebutkannya, ya?—tubuhnya tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi dari Lee Donghae. Rambutnya hitam namun hampir separuhnya berwarna kelabu—dan sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Matanya hitam pekat—berkilat tajam hingga aku yakin tatapannya bisa membuat siapapun ketakutan—dan dibingkai sepasang alis hitam yang melengkung sempurna. Hidungnya melancip, tanpa cela. Bibirnya tipis, tetapi sangat sensual. Dan aku bisa melihat kerutan yang tampak jelas di sepanjang garis pipi dan matanya. Kelihatannya ia juga memelihara rambut tipis di sepanjang telinga hingga bibirnya. Tapi tak satupun membuatnya kelihatan jelek. Ayahku malah bisa dibilang hot. Oke, aku nyaris lupa kalau aku anaknya.
“Youva,” panggilnya dengan suara berat. Tubuhku mendadak bergetar aneh. Ada sebuah dorongan dari hatiku yang tiba-tiba meledak tanpa terkendali. Ketika Ayahku menambahkan senyuman untukku, jantungku berdentam kasar. Aku tak menyangka ia sangat kebapakan.
Aku mengulum bibir, mencoba menahan desakan akan rasa haru di ujung mataku. Ayahku melihatku yang masih bungkam, dan mendekatiku perlahan. Tangannya di rentangkan ketika aku tak bergerak sedikitpun. Kemudian beberapa detik setelahnya, aku telah berada dalam pelukan Arthur Carlos.
“Syukurlah kau baik-baik saja,” bisiknya penuh kelegaan.
Tubuhku masih membeku. Benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa. Kurasakan kehangatan di tubuhnya, bau parfumnya yang lembut menggelitik hidungku. Ia melepaskan pelukannya dengan hati-hati dan mengamatiku dengan ekspresi puas.
“Anakku sudah secantik ini.” desahnya bangga. Aku tak tahan untuk merona dan menunduk malu. “Katakan sesuatu, Youva. Aku ingin mendengar suaramu.”
Aku melirik sekelilingku dan menemukan Donghae yang mengamati kami dari depan pintu kamarnya. Ia bersedekap. Ekspresinya tak bisa dibaca tetapi kedua alisnya sedikit terangkat. Aku ingin tahu apa yang ada dipikirannya saat ini; melihat pertemuan penuh haru antara ayah dan anak yang terpisah selama dua puluh enam tahun.
“Err.. Terima kasih sudah mengunjungiku.” Bisikku parau. Sial deh, kemana semua sapaan yang sudah kurancang itu?
“Terima kasih karena kau mau menemuiku, sweetheart.”
Aku menatapnya. Matanya yang hitam sempurna itu membuatku tersadar kalau aku mewarisi separuh gennya. Termasuk sepasang bola mata yang ia miliki. Sebab mata Ibu berwarna cokelat gelap. “Err—yah, sama-sama.”
Ayahku memandangku penuh penyesalan. “Maafkan aku karena telah menyebabkan semua ini.”
Ada jeda panjang sebelum aku bisa menjawabnya. “Tidak masalah. Toh, aku sudah terbiasa hidup seperti ini.” Aku tahu kalimatku terdengar kasar. Bahkan Donghae berdeham satu kali.
“Maafkan aku, Youva. Aku tidak pernah punya kesempatan untuk bisa menemuimu secara langsung.”
“Aku tahu. Dan aku mengerti alasannya. Tapi sejujurnya ada beberapa hal yang ingin kutanyakan terlebih dulu.” Sahutku menahan napas. Ruangan hening sejenak. Kemudian Ayahku mengajakku duduk.
“Apapun yang ingin kau ketahui, sweetheart.” Janjinya disertai anggukan.
“Kenapa Ayah meninggalkan Ibu?”
Dari sudut mata kulihat Donghae berjalan masuk ke kamarnya tetapi pria itu tidak menutup pintunya hingga rapat. Aku tahu ia bisa mendengar percakapan kami.
“Itu—well, ceritanya panjang.” Ayahku mendesah.
“Aku punya banyak waktu,” kataku berkeras. Aku berani bersumpah kalau aku mendengar dengusan Donghae dari balik kamarnya. Dan aku tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. ‘Kau sangat keras kepala, Miss Cardia.’ Pasti seperti itu. “Aku benar-benar ingin tahu karena Ibu tak pernah menceritakan apapun padaku.” Imbuhku lagi.
Ayahku berdeham dan bungkam cukup lama. Tapi akhirnya ia menyerah karena aku tak berhenti menatapnya penuh permohonan. Ia bergerak tak nyaman di sofanya—satu lagi kebiasaannya yang sama sepertiku.
“Aku bertemu Diana ketika aku melakukan kunjungan singkat di Indonesia selama satu bulan. Dari pertama kali melihatnya, aku tahu kalau dia sangat berbeda. Ibumu sangat cantik, tetapi bukan itu yang menarikku padanya. Diana pintar, dengan pemikiran dan sudut pandangnya yang menakjubkan, dia nyaris membuatku bertekuk lutut seminggu setelah kami bertemu. Tapi Ibumu itu benar-benar selektif dalam urusan pria. Dia membuatku berusaha mati-matian untuk mendapatkan cintanya, karena saat itu ada sekitar selusin temanku yang juga menginginkannya.” Ayahku tersenyum mengingat masa lalunya, pandangannya menerawang ketika ia melanjutkan bercerita.
“Akhirnya aku memutuskan untuk menetap di Indonesia. Setiap hari mengajaknya berkencan dan semakin terpikat padanya. Kupikir setelah berhasil mendapatkan cintanya, semuanya telah usai. Tapi kedua orangtuanya menentangku habis-habisan. Mereka mengusirku ketika aku melamar Ibumu—oh, ya, aku tidak berbohong, Sayang. Nenekmu sangat membenciku,” katanya saat ia melihatku menaikkan alis tinggi. Ayahku tergelak sedikit sebelum berubah murung. “Tapi kami juga berusaha keras. Melalui semuanya bersama-sama hingga kedua orangtuanya merestuiku. Tadinya aku berniat membawa Ibumu ke sini setelah menikah. Dan entah kenapa semuanya tiba-tiba berantakan. Ayahku—kakekmu—dibunuh oleh salah satu rekan bisnisnya. Keluargaku di terror habis-habisan. Mereka bahkan mengejarku hingga ke Australia—karena aku memutuskan untuk bersembunyi di sana—dan aku terpaksa meninggalkan Ibumu di Indonesia.
“Tiga tahun aku berjuang sendirian, membangun ulang perusahaan yang hampir bangkrut karena kecerobohan pamanku yang melelang saham secara illegal dan berniat kembali ke Indonesia. Tapi saat aku mencari Ibumu, semuanya sudah terlambat. Diana telah menikah lagi. Dia begitu marah melihatku muncul di hadapannya dan memberiku sumpah serapah. Aku masih mencintainya—itu benar—tapi dia juga tidak sudi mendengar penjelasan apapun. Dia tidak mengijinkanku untuk membawamu bersamaku. Meski aku berlutut di kakinya, Diana tidak memperbolehkanku untuk melihatmu. Aku berpikir untuk menculikmu saat itu, tapi lagi-lagi aku harus mendapat ancaman. Mitra bisnisku yang baru mendadak menjadikanku target pembunuhannya. Mereka menginginkan aset-aset yang kudapatkan. Dan karena aku tidak ingin mereka mengetahui tentang kau dan Ibumu, jadi sekali lagi, aku terpaksa meninggalkanmu bersama Ibumu di Indonesia.”
Ruangan terasa mencekam setelah Ayah selesai bercerita. Aku menangkap seluruh perkataannya tetapi semua itu malah membuatku ingin bertanya semakin banyak. “Ada yang membuatku penasaran. Mr. Lee bilang kalau beasiswa ke LA, tunjangan bulanan yang kudapatkan serta flat murah di tengah kota—itu semua sudah direncanakan?”
“Benar. Tapi sekali lagi, kumohon maafkan aku. Aku terpaksa melakukannya. Meskipun Ibumu tidak mengijinkanku untuk berhubungan denganmu, tapi aku selalu mengawasimu, Youva. Aku tahu kau tertarik untuk ke Amerika dan aku memberimu jalan. Aku sangat bahagia melihatmu bisa ada di sini. Tumbuh sehat dan berkecukupan. Karena beasiswa tidak memberimu penghasilan yang memadai, aku memberi sumbangan pada universitasmu dan mengusulkan pada pihak yayasan untuk memberimu semacam tunjangan bulanan karena menjadi peraih nilai tes masuk terbaik. Dan masalah flat, well, gedung itu milikku. Tetapi di namakan atas nama Ayahku. Jadi aku memberi sedikit ‘pengertian’ pada salah satu temanmu untuk membiarkanmu memberikan kamarnya padamu.”
Dan semuanya menjadi jelas. Itulah alasan kenapa Sam tiba-tiba berubah pikiran dan memberikan kunci kamarnya padaku. Pria bongsor itu memang tinggal bersama Monica, tapi aku tak pernah menduga kalau ia mendapat—well, semacam ‘pengertian’. Apapun maksudnya itu.
“Tapi kalau begitu kenapa Ayah memutuskan untuk meminta perlindungan pada Mr. Lee? Bukankah selama ini semuanya berjalan dengan baik?”
Ayahku terlihat tidak ingin menjawab, tapi aku berhasil mendesaknya. Ia mendesah panjang dan memejamkan matanya. “Kau benar. Meskipun aku benar-benar ingin bertemu denganmu, tapi aku berhasil menahan diri selama beberapa tahun ini. Aku sudah puas melihatmu baik-baik saja. Tapi belakangan aku merisaukan sesuatu. Aku tahu kau pernah didekati beberapa pria dan aku lega kau mewarisi sifat Ibumu yang sangat selektif. Jadi ketika aku mendengar kalau kau mulai berkencan, aku tidak keberatan. Sampai aku mengetahui bahwa kau berkencan dengan pria yang salah.”
Napasku memburu mendengar informasi yang Ayahku berikan. Aku tak melepas pandanganku darinya. Dan mendadak Ayahku balas menatapku.
“Jason Andersen adalah anak dari pria yang menginginkan nyawaku, Youva. Aku tak bisa menyimpulkan hal lain dari kedekatannya denganmu selain untuk memperalatmu. Jason pasti akan mengetahui jati dirimu suatu saat nanti. Jadi aku tak ingin mengambil resiko apapun. Sebelum semuanya terlambat, aku harus melindungimu semampuku. Dan satu-satunya jalan adalah dengan meminta bantuan dari pihak ketiga.”
Aku melirik ke arah kamar Donghae yang kelihatannya sepi. Setelah memastikan kalau pria itu tidak mengintip, aku mencondongkan tubuhku ke depan dan berbisik dengan suara rendah. “Kenapa Ayah mempercayainya? Apa yang sebenarnya ia kerjakan selain menjadi CEO PHOENIX?”
Ayahku menaikkan alisnya kaget. “Kau tidak tahu?” tanyanya tak percaya. Ia baru akan menjelaskan padaku ketika bosku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.
Sial. Tampaknya ia benar-benar bisa membaca pikiranku.
“Menurutku tidak bijak untuk memberitahunya lebih dari ini, Arthur.” Potongnya pada kami. Ia berjalan mendekati kami dan berdiri di belakang sofa. Tangannya menyisip di lehernya. Dan—tolong deh, aku butuh udara.
“Kupikir Youva berhak mengetahuinya.” Jawab Ayahku tak mau kalah. Ia terlihat tenang, namun tetap berkeras.
Donghae tersenyum kecil, melirik ke arahku sekilas dan berkata dengan ringan. “Kalian berdua sungguh mirip.” Aku tahu apa maksudnya. “Tapi, tidak. Youva akan mengetahui semuanya suatu saat nanti. Aku tidak keberatan kau menceritakan seluruh hidupmu padanya, tapi dia belum siap untuk informasi yang lebih besar. Jangan khawatir, aku sendiri yang akan memberitahunya ketika saatnya tiba.”
Mereka berpandangan dalam diam. Bisa kurasakan percikan api dan es yang saling menyambar. Donghae bertahan dengan senyuman miringnya. Dan Ayahku masih melotot padanya. Aku berdeham satu kali, mencoba mendapat perhatian mereka kembali. Akhirnya Ayah mengalah. Ia mengangkat bahu dan menggumam sesuatu seperti, “terserah padamu.”
Senyum kemenangan terukir di bibir Donghae tapi tak bertahan lama, sebab Ayahku mengatakan sesuatu yang mengejutkannya.
“Kau bisa bersiap-siap, Youva. Kita akan berangkat sebentar lagi.”
Sebenarnya perkataannya bahkan membuatku lebih terkejut. Aku hanya bisa membelalak karena Donghae yang menyuarakan pikiranku.
“Kau akan membawanya ke mana?”
“Tentu saja pulang ke rumah.” Jawab Ayahku ringan. Seakan hal itu sudah diputuskan sejak lama.
“Rumahnya?” tanya Donghae.
“Rumahku. Rumah kami. Kau keberatan dengan itu?”
“Tunggu dulu, Arthur, kau tidak bisa—”
“Aku keberatan.” Selaku tiba-tiba. Kedua pria itu menatapku secara serentak dan aku menambahkan pernyataanku. “Aku tidak ingin kemana-mana. Err—maksudku, aku adalah sekretaris Mr. Lee. Aku tidak bisa pindah kemanapun untuk saat ini.”
“Kau tidak perlu bekerja padanya lagi, sweetheart. Mulai saat ini kau akan mendapatkan apapun yang kau mau dan tentu saja, aman bersamaku.” Janji Ayahku. Ia terdengar begitu berharap tetapi aku menggeleng.
“Tidak bisa, Yah.” Kataku menyesal. “Aku—aku harus melunasi hutang Ibu.”
Ayahku mendengus mendengar jawabanku. “Aku akan membayarnya untukmu, sayangku. Kau tidak perlu mencemaskan hal seperti itu.”
“Aku tidak mau. Karena Ibu pasti tidak akan mengijinkannya. Lagipula aku tidak ingin semuanya berubah. Kau memang ayahku, tapi aku telah terbiasa hidup mandiri. Aku berterima kasih padamu karena telah membantuku dalam banyak hal, tapi aku juga ingin berbakti pada Ibu, Yah. Dan lagi, Mr. Lee sudah sepakat untuk membiarkanku terus bekerja dengannya.”
Wajah Ayah berubah kecewa. Ia menatapku dengan pandangan terluka.
“Itu benar, Arthur. Perlu kutambahkan juga, kalau Youva tentu akan lebih aman bersamaku. Pihak Robert sudah mencurigainya dan dengan membawanya bersamamu akan menegaskan seluruh kecurigaan mereka. Jadi, untuk sementara ini, aku yang akan melindungi Youva.”
Kali ini mereka berpandangan lebih lama. Ayahku terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya sebab ia menatap Donghae dengan kedua mata menyipit galak. Sementara bosku malah membalas Ayah dengan tatapan yang sama. Mereka tidak mau mengalah. Tapi aku juga tidak berani mengganggu mereka. Aku yakin mereka bakal membentakku kalau aku berusaha berdeham atau melakukan sesuatu yang mencolok. Dan akhirnya aku hanya berhasil menarik selang infus di sebelahku sambil menatap mereka cemas.
Rasanya sudah lama sekali ketika tiba-tiba ponsel Ayahku berdering keras. Ia mengambil ponselnya buru-buru dan menjawab panggilan dalam bahasa Itali—bahasa yang tidak kupahami.
“Baiklah,” katanya saat telah mematikan ponselnya. Ia memandangku sedih, senyumnya dipaksakan tetapi Ayah mengangguk. “Kau boleh terus bekerja bersamanya. Tapi—” Ia menekan kata terakhirnya dan beralih pada Donghae. “—kalau aku mendengar kejadian seperti minggu lalu, atau apapun yang menyeret Youva dalam bahaya, aku bersumpah aku akan membawa Youva pulang. Tak peduli jika aku harus melangkahi mayatmu atau bahkan menyeretnya sekalipun. Kau mengerti maksudku, Lee Donghae?”
Donghae menyunggingkan senyum miringnya dan menelengkan kepalanya ke kiri. Kalau maksudnya adalah memprovokasi Ayahku, ia berhasil. Sebab kini wajah Ayahku telah berganti warna menjadi merah padam—menahan amarah.
“Kau tak perlu mendikteku, Arthur. Aku bukan bayi atau bocah lima tahun. Memastikan keselamatan klien adalah peraturan pertamaku. Dan aku tak pernah melanggarnya kecuali kalau klien yang melanggar kesepakatan. Nah, aku juga harus menekankan padamu kalau aku tidak mau kau berbuat sesuatu seperti memindahkan Diana ke salah satu Negara Bagian Amerika secara mendadak dan tanpa konfirmasi dariku. Kau bisa merusak semua rencanaku, Arthur.”
“Sejujurnya aku tidak terlalu percaya dengan semua rencanamu, nak.” Kilah Ayahku. Donghae menatap Ayahku geli. Sama sekali tak gentar di bawah tatapannya yang semakin mengerikan.
“Itu terserah padamu.” Jawabnya santai. “Tapi kau yang memilih untuk datang padaku. Dan aku harap kau mau menaati kesepakatan kita.”
Tangan Ayahku mengepal tapi ia menahannya emosinya dengan sekuat tenaga. Donghae bergeming. Membiarkannya menarik napas panjang lalu Ayah menoleh padaku. “Aku harus pergi, Youva. Ada meeting yang harus kupenuhi sebentar lagi.”
Aku mengangguk lalu menawarkan diri untuk mengantarnya ke area parkiran yang terletak di lantai teratas bersama Donghae. Di sana Ayah memelukku singkat, membalas senyumanku dan melirik Donghae yang berada beberapa meter di belakang kami. Ia merendahkan suaranya di depan wajahku.
“Beritahu aku satu hal, Sayangku. Apa kau menyukainya—Lee Donghae?”
Pertanyaan Ayah membuatku tersedak dan berdeham panik beberapa kali. Wajahku memerah, aku tahu itu. Tapi sebisa mungkin aku menyangkalnya. “Tidak seperti itu, Yah. Dia bukan—maksudku, dia adalah bosku. Dan ada peraturan sinting yang dibuatnya kalau sekretarisnya tidak boleh jatuh cinta padanya.”
Ayahku terlihat tidak yakin. Ia melirik Donghae sekali lagi, memastikan pembicaraan kami berada di luar jangkauannya. “Dengar, nak. Dia bukan pria baik-baik. Lee Donghae terkenal karena bisnis rahasia yang dia kelola. Kau tidak boleh terpikat padanya. Mengerti?”
Aku mengangguk, berusaha menghentikan percakapan konyol ini. Rasanya aneh sekali membahas tentang seseorang yang kusukai dengan Ayahku. Entahlah, tapi aku berani menjamin kalau membahasnya dengan Ibu bakal lebih menyenangkan.
“Aku tahu,” jawabku pendek, merasa malu atas apa yang kami bicarakan. Ayah melihat wajahku yang sudah semerah tomat dan ia menepuk lenganku satu kali, berusaha berpuas diri atas jawabanku.
Ayahku masuk ke mobilnya tapi segera menurunkan kaca mobil dan menyodorkan sebuah kotak padaku. Tepat pada saat itu, Donghae tiba persis di sampingku.
“Ini ponsel barumu, sweetheart. Kau bisa menggunakannya, itu hadiah. Panggilan satu adalah nomor Ibumu dan yang kedua adalah nomorku. Kalau bosmu melarangmu menggunakannya, segera tekan nomor dua, aku akan menjeputmu di manapun kau berada.” Ia melirik Donghae tajam.
“Oh, wow. Keren.” Komentarku senang. Ini ponsel keluaran terbaru. Sangat canggih dan aku ragu aku bisa menggunakannya atau tidak. “Trims, Yah.” Kataku tersenyum.
“Aku senang kau menyukainya,” katanya juga tersenyum. “Sampai jumpa, Youva. Jaga dirimu.”
“Ayah juga.” Balasku sedikit berteriak karena mobilnya mulai melaju. Aku melambai, meskipun mobil Ayah telah membelok ke sudut dan menghilang di tikungan.
“Kado yang bagus.” Gumam Donghae. Aku meliriknya takut-takut. Tapi pria itu malah tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, aku senang kau memutuskan untuk tinggal denganku.”
Aku mengejap beberapa kali. Dan kulihat sudut bibir Donghae bergetar menahan senyum. Mata cokelat mudanya menyelisikku tanpa jeda, membuatku terbakar dalam hitungan detik.
“Itu karena aku adalah sekretaris anda, Sir.” Kataku gugup.
“Benarkah?” tanyanya seakan melagu. Ia menyematkan rambutku yang jatuh ke balik telingaku. Menggodaku habis-habisan dengan senyum dan tatapannya. “Kalau begitu kuharap ayahmu tidak keberatan kalau aku harus memecatmu.”
“Maaf?” tanyaku kaget. Ia melempar senyumnya yang mempesona dan berbisik manis di telingaku.
“Karena sepertinya kau nyaris jatuh cinta padaku.” Ia mengedip padaku dan berjalan santai ke arah lift, meninggalkanku yang terperangah dengan wajah merah terang.


Aku tahu kau sudah melarangku, Yah. Tapi bagaimana jika aku sudah terpikat padanya?
Pada pesona Lee Donghae yang memabukkan.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar