Jumat, 17 Oktober 2014

FANFIC : SCARLET [8]


TITLE             : SCARLET [8]
GENRE           : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING          : NC21
CAST              : Lee Donghae
                          Youva Cardia
Author              : @Aoirin_Sora



Summary:
Kenyataan yang menghampiriku datang dengan begitu cepat, mengurungku dalam disorientasi parah dan membuatku kesusahan untuk bernapas. Aku tak ingin melangkah maju, tapi semuanya bergerak mendahuluiku, hingga aku harus terus berjalan atau aku akan tertinggal. Bersama dengan kegelapan yang menakutkan. Aku ingin lari, tetapi tubuhku terlalu ringkih untuk merespon otakku. Batinku berteriak dengan sia-sia, bahwa aku kelelahan. Bahwa aku harus beristirahat dari semua permasalahan ini. Tapi tak ada yang mendengarku, kecuali dia.
Dan entah sejak kapan bayangannya yang selalu berada di sampingku membuatku merasa aman.


***


CHAPTER EIGHT: ONE MOMENT IN TIME


Aku terbangun dengan napas terengah. Punggungku basah oleh keringat dan rambutku terasa lengket di kening. Tubuhku menggigil hebat, berusaha mencari sesuatu untuk bisa kupegangi namun ujung jariku hanya mampu mencapai selimut yang menggulung aneh di pinggir tempat tidur.
Tarik napas,’ ujarku dalam hati.
Mimpiku seakan benar-benar nyata. Kengeriannya begitu terasa hingga menembus kulitku dan aku bergidik sebelum bangkit.
Mulutku kering dan aku butuh minum. Tapi saat kakiku menjejak di atas permukaan karpet bulu, kudengar suara Donghae yang sedang berkata di kejauhan.
Benar, dia masih istirahat.. Kurasa dia masih mengalami stress pasca-trauma… Entahlah, aku akan mengurus sisanya dari sini. Aku tidak ingin mengambil resiko… Aku tahu. Dan informasikan pada semua alfa-1 untuk bersiaga penuh. Kesalahan apapun tak akan bisa di tolerir… kosongkan laboratorium untuk beberapa saat… Benar.. Baiklah.”
Keningku berkerut bingung saat mengupingnya. Lee Donghae pasti sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon karena sesudahnya langkah kakinya berderap menjauh. Aku mengitari ruangan berukuran lima kali lima meter itu dengan gusar. Haruskah aku menyelinap? Aku meninggalkan ponselku di dalam tas di mobil Donghae dan aku tidak ingin ia tahu kalau aku membutuhkan ponselku atau kuyakin Donghae bakal menyitanya.
Johan adalah Jason Andersen. Dan ia akan dibunuh oleh Donghae. Tidak mungkin aku bisa tetap berdiam diri di sini.
Setelah lima belas menit menghabiskan waktu memikirkan rencana-rencana sinting dan kelihatan mustahil, akhirnya aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar itu.
Ruang tengah terlihat kosong. Bahkan tak terdengar suara apapun dari apartemen ini. Tidak juga titik-titik air di westafel—yang biasanya menjadi bunyi kontinu di flatku—ataupun suara langkah kaki Donghae. Tapi saat aku mencapai sofa terujung, aku melihat Lee Donghae sedang duduk di sebuah kursi di depan beranda—memunggungi pemandangan pagi Los Angeles yang menakjubkan dan ia sedang memangku laptopnya.
“Selamat pagi,” ujarnya datar. Dan tanpa repot-repot menatapku. “Kuasumsikan kau mencari tasmu?” tanyanya masih tanpa ekspresi.
“Err.. itu—sebenarnya, ya, Sir. Aku membutuhkan tasku.” Jawabku gugup.
Donghae menengadah sekilas dan mengisyaratkanku untuk mendekat. Dan karena alasan yang tak bisa kujelaskan, tanganku tiba-tiba berusaha memperbaiki rambutku yang megar. Sudut hatiku berbisik parau kalau aku tidak ingin terlihat jelek di depannya.
Saat aku tiba di depannya, ia menyerahkan sebuah bungkusan plastik hitam yang ternyata berisi tasku yang basah. “Tak ada yang bisa di selamatkan”. Ujar Donghae ringan.
Seketika jari-jariku merogoh tasku dengan panik. Dan seperti tahu apa yang sedang kupikirkan, Donghae menambahkan kalimatnya. “Bahkan juga ponselmu.”
Batinku mencelos dan ketika tanganku berhasil meraih ponselku, benda itu terlihat padam dengan genangan air memenuhi layarnya. Aku mengeluarkan desahan dan berpikir cepat bagaimana aku bisa menghubungi Johan.
“Untuk beberapa saat, kau bisa memakai ponselku jika kau mau menghubungi ibumu. Tapi aku tidak memberimu ijin untuk menelpon Jason Andersen. Apalagi menemuinya.”
Aku mengernyit menatap Lee Donghae meski ia masih memandang laptopnya dengan fokus. “Kenapa anda selalu mengasumsikan sesuatu secepat itu?” tanyaku tak percaya. Ia memandangku lambat-lambat, seakan tak terganggu dengan nadaku yang kesal.
“Itu gampang. Karena aku bosmu dan aku bisa mengasumsikan apapun yang kuinginkan.” Jawabnya tegas.
Aku mengatupkan bibir dan menggenggam tasku erat-erat. “Bagaimana kalau aku berhenti menjadi sekretarismu? Kau tidak bisa lagi memerintah atau melarangku, Lee Donghae!”
Donghae menggeser laptopnya ke atas meja dan ia bangkit dengan satu gerakan cepat. Ia mengenakan jubah tidur yang menjuntai hingga lututnya dan aku melihat ia hanya mengenakan singlet putih tipis di balik jubah itu. Seluruh pakaiannya berwarna putih cemerlang, begitu juga dengan celana tidur dan slipper yang dipakainya.
Dan jantungku berhenti berdetak.
“Kenapa kau sangat keras kepala, Youva? Apa aku harus menciummu lagi agar kau bisa menjadi penurut?”
Suaranya terdengar lembut tetapi aku tahu ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya karena aku bisa melihat kilatan di kedua bola mata Donghae saat ia menatapku tajam.
Aku menelan ludah dan alam sadarku mengangguk begitu bersemangat mendengarnya. Tapi kakiku bergerak lebih cepat. Tubuhku mundur ke belakang dan aku menggenggam tasku dengan gelisah.
Donghae memajukan tubuhnya dan ia mendekatkan wajah.
“Sir—Anda—tidak bisa—” gagapku tolol.
“Aku bisa, Youva. Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan.” Bisiknya berbahaya.
Darah berdesir di pembuluh darahku, melonjak kesetanan saat pria itu menangkap pergelangan tanganku dan meraih tasku. Ia melempar tasku jauh-jauh, hingga benda itu menghilang lewat balkon yang terbuka lebar. Aku baru akan protes saat ia juga menangkap wajahku dan menguncinya dengan telapak tangannya yang besar dan hangat. Batinku bersorak kegirangan, merasa haus akan sentuhannya.
“Sir—”
“Diam.” Potongnya kasar.
Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat jelas lingkaran hitam yang semakin pekat di bawah kedua matanya. Wajah pria ini benar-benar tak tergores apapun. Bersih, berkilau dan sangat lembut di bawah jari-jariku—dan aku menekan keinginanku untuk menyentuhnya saat ini juga.
Tapi degup jantungku yang kembali melonjak hingga ratusan kali lebih kuat tiba-tiba nyaris meledak kaget saat mendengar bunyi bel di pintu. Wajah Donghae terlihat sedikit kesal. Ia menyipitkan matanya memandangku penuh arti. Tapi sedetik kemudian, ia melepaskan genggamannya dan berjalan menjauh.
Kakiku hampir ambruk di lantai saat mengamati kepergiannya. Ujung jubah Donghae berkibar pelan dan aku menyaksikannya bagai sedang melihat seorang malaikat yang melayang. Ia berjalan dengan anggun, mengitari sudut sofa dengan tanpa menyentuh sudutnya. Lee Donghae tiba di depan pintu dan memeriksa tamu dari panel cctv di samping pintu apartemen.
“Cuma itu?” tanya Donghae kaget saat melihat Chad muncul dan menenteng dua buah tas besar. Aku berdiri mematung di tempat yang sama.
Chad mengangkat bahu dan berjalan melewati Donghae. “Ini sudah semuanya, Sir. Oh, hai, Youva.” Ia mengedipkan matanya dan nyengir lebar.
Bibirku berkedut ingin tersenyum tapi kutemukan kedua mata tajam Donghae mengamatiku lekat-lekat. Seketika pikiranku mengarah ke kejadian semalam, saat ia memberiku ultimatum kalau ia akan menciumku jika aku melanggar perintahnya. Dan wajahku malah memerah hebat ketika mengingat ciumannya.
“Hei, kenapa wajahmu merah sekali?” komentar Chad saat ia meletakkan kedua tas itu di atas sofa. Donghae mendekat dan melipat tangannya di dada. Ia menatapku tajam dan aku memilih menunduk daripada harus terlihat bodoh.
“Barang-barangmu sedikit sekali, Miss Cardia.” Ujar bosku tak suka.
Aku terkejut dan melihat ke arah tas yang berada di atas sofa dan berganti menatap Chad. Pria itu mengangguk sedikit, seakan membenarkan perkataan Donghae. “Seluruh pakaianmu muat dalam satu tas.”
“Pakaian..?” suaraku menghilang setelahnya.
“Pakaianmu, Miss Cardia. Kau butuh baju ganti, bukan? Atau kau memang lebih suka memakai kemejaku?” ujar Donghae ringan dan Chad melirik kami berdua dengan geli.
Dengan putus asa aku membuka tas yang berisi pakaian dan melihat bahwa perkataan Chad benar. Ia mengemasi seluruh pakaianku dengan rapi. Bahkan juga pakaian dalamku. Dan terima kasih pada pria itu, ia meletakkan pakaian dalamku di tempat teratas. Jadi, begitu aku membuka tas, siapapun bisa melihat benda pribadiku.
Kudengar Donghae mendengus dan ia menahan senyumnya. Wajahku sudah terlalu merah untuk berubah warna lebih pekat dari sekedar merah tua. Aku menggigit bibir dan Chad langsung menyadari kegetiranku.
“Oh, maafkan aku.” Katanya menyesal. “Aku tidak punya pilihan, Youva. Aku berkemas dengan cepat karena kedua tetanggamu sangat aneh. Ada wanita tua yang mencibir padaku dan pria di sebelah kamarmu malah bertanya apakah aku mau minum teh dengannya.” Chad bergidik mengingatnya dan aku tahu bahwa mereka adalah Bibi Major dan David Roowie.
“David seorang Gay.” Jelasku dan Chad menggerutu kesal.
“Tetanggamu seorang gay?” tanya Donghae yang kini berdiri di ujung konter dapur. Tangannya menggenggam cangkir oranye.
Aku menolak menjawab dan bersikap tak mendengar komentar Donghae. “Aku akan mandi dan ganti baju.” Bisikku lalu langsung melangkah masuk ke kamar mandi bersama kedua tasku.
Sebelum menutup pintu kamar mandi, aku mendengar seseorang berkomentar, “pakaian dalamnya sangat menyedihkan.” Dengan setengah kesal, aku membanting pintu kelewat keras, berharap kekesalanku akan berkurang.

***

Aroma shampoo dan sabun lavenderku begitu menenangkan hingga rasanya aku bisa berpikir jernih di bawah siraman shower milik Donghae. Aku berhasil memikirkan beberapa prioritas dalam permasalahan yang sedang kuhadapi. Terutama yang berhubungan dengan keselamatanku dan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Siapa sebenarnya Johan dan Lee Donghae, juga kenapa pria otoriter itu terus-terusan membatasi gerak-gerikku?
Aku merutuki ponselku yang sudah padam tak bisa diselamatkan. Jadi permasalahanku sekarang adalah menemukan cara agar aku bisa berkomunikasi dengan Johan. Aku masih yakin ada kesalahpahaman yang terjadi antara Johan—Jason—dan Donghae. Mereka tak harus bertikai atau yang lebih buruk, membunuh satu sama lain.
Ketika ketakutan tampaknya bergerak terlalu jauh, aku mematikan shower dan mengeringkan tubuhku. Kemeja Donghae yang besar namun nyaman itu segera kuletakkan di keranjang cucian dan aku membongkar tasku untuk mencari baju yang ingin kukenakan.
Beberapa menit kemudian, aku keluar dengan rambut tertutup handuk yang lembab. Kedua pria itu masih berbicara di sofa berlengan dan mereka menatapku secara bersamaan. Wajah keduanya menunjukkan keterkejutan. Namun Donghae yang sadar lebih dulu.
“Itukah yang bisa kau kenakan, Miss Cardia?”
Aku menunduk menatap pakaian yang kukenakan dan mengernyit bingung. Menurutku tak ada yang salah dengan bajuku. Aku memakai sweater ungu muda yang besar dan legging hitam panjang.
Donghae berjalan mendekatiku. Ia bersedekap dan alisnya bertaut. “Ganti.” Perintahnya.
“Apakah kita akan pergi ke suatu tempat.” Tanyaku cepat. Pria itu memiringkan kepalanya dan menatapku tajam.
“Jawab aku, Youva. Apakah semua pakaianmu seperti ini?”
Aku mengejap beberapa kali dan mengiyakannya. Detik berikutnya, ia langsung menoleh pada Chad yang kelihatan sigap.
“Bawa seluruh pakaian dari Boutique terdekat serta pakaian dalam, sepatu dan beberapa produk perawatan tubuh. Aku mau seluruh pakaian ‘itu’ minggat dari apartemenku sekarang juga.”
Wajahku menghangat dan aku memandang pria itu kesal. “Aku memakai apa yang ingin kupakai.” Kataku berkeras.
Lee Donghae berbalik menatapku dan tatapannya tak bisa dibantah. “Apartemenku, peraturanku.”
“Baik, aku akan pergi kalau begitu.” Balasku tak mau mengalah.
Kami bertatapan lama sekali dan berusaha mengintimidasi satu sama lain. Karena Prioritas pertamaku adalah mencari tahu apa yang sedang terjadi, maka aku tak boleh mengalah.
“Satu langkah dan kau akan menyesal karena membantahku, Miss Cardia.”
Aku meninggikan wajahku—sebenarnya aku ingin membuat agar tinggi kami sejajar, namun saat bibirnya persis di depan mataku, otakku yang idiot langsung memberikan kilasan kejadian semalam dan batinku bangun mendadak.
Itu bibirnya!
Oh, sial.
“Aku tidak akan kemana-mana jika kau menjelaskanku mengenai kejadian semalam, Lee Donghae.”
Bibir Donghae mengatup dan wajahnya berang. Sisi kewarasanku menciut ketakutan di bawah tatapannya yang tajam.
“Tutup mulut saja, Youva.” Geram Donghae dan kulihat sudut matanya menyipit.
Tubuhku mulai gemetaran tapi aku memaksakan keberuntunganku. “Aku tidak akan tutup mulut sampai kau memberitahu segalanya padaku!”
“Aku benar-benar ingin menutup bibir itu.” geramnya lagi.
Dengan panik aku mundur beberapa langkah dan saat itu juga Chad bangun dan melerai kami. Ia berdiri di depan Donghae dan menahan pria itu sebelum ia menerjangku sebab wajahnya sudah mengeras.
“Sir, kupikir tidak bijaksana jika anda bertengkar dengannya. Youva benar, setidaknya dia harus tahu beberapa hal. Bagaimanapun, dia terlibat dengan semua ini.”
Perkataan Chad berhasil membuat Donghae menarik napas panjang dan ia memejamkan mata. “Baik. Beritahu dia. Hanya beberapa hal penting.” Setelahnya Donghae duduk di salah satu sofa sambil memandang ke luar, ke arah matahari yang semakin meninggi. Bahunya masih mengejang kaku.
Chad kemudian menarikku untuk duduk dan ia terlihat serius. “Apa yang ingin kau ketahui?”
“Semuanya.”
Ia mendesah dan menggeleng. “Bukankah kau sudah dengar kalau Mr. Lee bilang kau hanya boleh tahu beberapa hal penting?”
“Baiklah, kalau begitu pertama-tama, beritahu aku siapa itu Jason Andersen. Serta kenapa Johan dituduh sebagai Jason.”
Donghae mendengus dan aku mendengar ia menggumam, “sudah kuduga, pasti pria itu.”
Chad terlihat gelisah. Ia berdeham beberapa kali saat aku mengamatinya tak berkedip. “Begini,” ia memulai tetapi langsung menarik napas panjang. “Johan Stavilosky itu tidak ada, Youva. Nama asli pria itu adalah Jason Andersen. Tapi, sebelumnya aku ingin bertanya padamu. Apa kau mengenalnya dengan baik, si Johan Stavilosky ini?”
Aku tertegun mendapat pertanyaan seperti itu. “Tentu,” sergahku langsung.
“Kalau begitu, apa kau tahu dimana dia bekerja?”
“Aku tahu. Johan bilang dia bekerja di Hudson Co.”
“Dan kau pernah melihatnya bekerja?”
Chad memandangku. Ia pasti menyadari kebingunganku. “Ti..dak..” jawabku pelan.
“Tentu saja kau tidak pernah melihatnya bekerja karena dia tidak pernah menjadi bagian dari Hudson Co. Johan—bukan, Jason Andersen adalah putra angkat dari pasangan Robert dan Caroline Andersen, pemilik Andersen Corporation. Dia diangkat anak pada saat umurnya tujuh tahun dari panti asuhan setempat. Pasangan Andersen tidak punya anak jadi seluruh orang berasumsi kalau mereka membutuhkan calon penerus. Tapi kemudian aku berhasil mengetahui bahwa Jason dilatih untuk menjadi seorang pembunuh professional.”
Napasku menghilang begitu saja. Bukan seperti itu. Johan bilang kalau kedua Ibunya adalah orang Jerman dan Ayahnya orang Rusia. Itu sebabnya marganya adalah Stavilosky.
“Jason sangat jarang muncul di hadapan publik dan Mr. Andersen menjaganya dengan ketat bahkan mengirimnya untuk berlatih khusus. Tapi ketika aku bergabung dengan Mr. Lee, aku mengetahui beberapa fakta penting yang tak kusadari saat Alex masih bersama dengannya di Camp—”
“Dengan Johan?” selaku tak sabar. Chad mengangguk dan meneruskan ceritanya.
“Kau mungkin harus tahu kalau aku adalah mantan anggota CIA sedangkan Alex adalah mantan anggota SAS (Special Air Service)—pasukan Elit khusus Inggris. Alex adalah Coach (pelatih) Divisi Teknik Penyerangan dan Pertahanan Diri di SAS. Dia juga pernah menjabat sebagai Coach Ahli Tempur. Alex berada di SAS selama tujuh tahun sebelum keluar dan bergabung dengan Mr. Lee. Tetapi Jason juga pernah menempuh pendidikan di sana, menjadi murid Alex.”
SAS—pasukan khusus—Teknik Penyerangan—Ahli Tempur—CIA. Itu semua membuatku bingung dan ingin muntah. “Tapi Johan baru saja menyelesaikan pendidikan S2-nya!” seruku putus asa. Kembali kudengar Donghae mendengus dan aku mengabaikannya lagi.
“Kau tahu kapan dia lahir?”
“21 Januari 1988.” Jawabku tanpa berpikir. Di sebelah Chad, Donghae menaikkan alis kagum.
“Salah.” Ujar Chad tak kalah cepat. “Menurut data dari Panti Asuhan Los Angeles, Jason Andersen lahir tanggal 21 November 1985. Ia di tinggalkan di depan pintu dan dibesarkan tujuh tahun penuh di Panti Asuhan. Begitu lulus dari McClean Private School, Jason langsung ditempa di SAS selama empat tahun. Dia meninggalkan SAS pada umur 22 tahun, melanjutkan S1 di Unversity of California dan baru melanjutkan S2 pada umur 27 jika dihitung berdasarkan tanggal lahir aslinya.”
Chad membaca kesedihanku dan ia mendesah. “Inilah kenyataannya, Youva. Robert Andersen tidak hanya memiliki perusahaan industri, tetapi juga membuat sebuah organisasi gelap yang berusaha merebut kekayaan seluruh pengusaha di Los Angeles yang biasanya pemilik saham tunggal dan saham tak bergerak. Jadi, seringnya Robert memerintahkan Jason untuk mengamankan semua pemilik saham itu dan melemparkan kesalahannya pada pihak lain. Mungkin kau sudah menebak beberapa, seperti Anne J. Loombergh dan Claudia Thompson yang baru saja tewas. Robert membuatnya seakan-akan Mr. Lee yang membunuh mereka.”
Mataku bergerak, memperhatikan Donghae yang masih menatap cakrawala. Ekspresinya tak bisa ditebak dan ia tidak melihatku. “Dan.. Jason yang membunuh mereka semua?”
“Tidak juga. Setelah penyelidikan yang melelahkan, akhirnya kami berhasil menarik kesimpulan bahwa Robert menggunakan Jason hanya untuk tugas khusus. Sebab bukan dia yang membunuh Anne. Tapi memang benar bahwa dialah yang membunuh Claudia dua malam lalu.”
“Tugas khusus seperti apa maksudmu?”
“Aku belum bisa memastikan, tapi dugaan terbaikku Cuma satu; Jason sangat pintar merayu wanita dan Robert memanfaatkan ketampanannya untuk mendapatkan informasi penting dari wanita-wanita pemilik saham atau yang belakangan sedang terjadi, informasi mengenai Mr. Lee Donghae.”
Dadaku seakan terhimpit beton dan paru-paruku menciut. Aku tahu apa yang dimaksud Chad. Juga ketika Donghae berdeham setelahnya. Rasanya udara menguar dari seluruh pori-pori tubuhku dan meninggalkan rongga dadaku yang semakin sesak. Gumpalan air mulai menggenang di sudut mataku tapi aku tak ingin menangis di depan mereka.
“Sebenarnya terjadi beberapa keganjilan. Kami telah memastikan kalau Claudia sudah, err—kami amankan, tetapi entah kenapa Claudia malah berubah di hari terakhir dia bertemu Mr. Lee. Wanita itu menuntut beberapa penjelasan terperinci yang tak akan pernah ditanyakan seorang Claudia Thompson. Jadi kami berasumsi kalau Jason-lah yang merayu Claudia agar mendapatkan informasi yang Robert inginkan.”
Airmataku akhirnya lolos juga. Tapi sebisa mungkin kutahan isakanku. “Akulah.. yang membunuh Claudia.”
Akhirnya Donghae menoleh padaku. Mulanya ia memandangku tajam, tetapi saat melihat kedua mataku yang basah, tatapan Donghae berubah lembut.
“Aku yang memberikan informasi tentang Claudia pada Johan.. Aku menceritakan padanya kalau—kalau Claudia juga klien Lee Donghae dan—aku—sama sekali tak sadar kalau Johan terus menerus bertanya tentang hal itu. Kupikir—Oh, aku pikir dia Cuma merasa tertarik karena Claudia itu menggelikan. Tapi tidak—Oh, aku benar-benar bodoh.” Racauku sambil menangis.
Bodoh sekali. Dipermainkan begitu saja tanpa tahu bahwa akulah yang menggelikan.
Chad memberikan tisu padaku dan aku mengambilnya dengan tangan gemetaran. Ia menunggu setelah aku sedikit tenang dan bertanya padaku. “Jadi, bisakah kau memberitahu kami apa saja yang tepatnya kau katakan pada Jason?”
“Oh.” Ucapku tersadar dan aku segera diliputi kepanikan. Aku mulai bercerita pada Chad dengan perasaan takut kalau informasi yang kuberikan pada Johan akan membawa Donghae dalam kesulitan. Tapi kulihat Donghae beranjak dari sofanya dan pergi meninggalkan kami saat aku masih bercerita. Aku dirundung perasaan bersalah dan separuh kesadaranku memberontak untuk mengejar pria itu.
“Cuma itu?” tanya Chad. Aku mengangguk. Takut menanti vonis yang akan diberikan olehnya. Tapi Donghae kembali membawa secangkir cokelat hangat untukku. Aku menatapnya terkejut dan ia duduk di sebelahku.
“Kupikir tidak ada yang harus di cemaskan untuk sementara,” ujar Donghae. Ia menyesap minumannya sejenak.
“Aku pikir juga begitu, Sir.” Chad menimpalinya. “Kau hanya melihat dua resume itu saja?” ia bertanya padaku sekarang.
Lagi, aku mengangguk cepat dan kedua pria itu mendesah lega. “Untung saja kalau begitu.”
“Kenapa?” tanyaku tanpa bisa kucegah. Tetapi bukan jawaban, mereka memberiku tatapan penuh arti.
“Kau sudah mendapatkan jawabanmu tentang Jason Andersen, bukan?” kata Chad.
“Benar, tapi aku masih ingin tahu kenapa kau bilang aku terlibat dengan semua ini.” Jawabku setelah mengerti tatapan Chad yang penuh arti.
Ia mengangguk dan di sebelahku Donghae mendadak bungkam. “Karena kalau kau melihat resume ketiga, kau pasti akan lebih terkejut, Youva. Resume itu berisi tentang dirimu.”
Jawaban Chad membuatku terdiam. Aku menunggunya berkata “Bohong!” atau paling tidak cengiran lebarnya. Tapi aku malah mendapatkan tatapan lagi.
“Bukankah aku pernah berjanji padamu kalau aku akan menemukan ayah kandungmu?” Donghae menatapku lembut. Tapi entah kenapa bulu kudukku meremang. “Maafkan aku, tapi aku sudah mengetahui jauh sebelumnya kalau kau adalah putri tunggal Arthur Carlos, pemilik Carlos Foundation yang memiliki seratus cabang di semenanjung Amerika.”
Airmataku masih menggenang tapi aku tak bisa menahan euforia untuk tertawa mendengar penjelasan Donghae. “Oke, berhenti bercanda. Benar-benar lucu.” Ujarku separuh kesal karena mereka malah mempermainkanku seperti ini.
Baik Donghae dan Chad sama-sama melemparkan tatapan aku-serius padaku dan dengan cepat wajahku memucat. “Enggak—kalian salah orang. Aku bukan putri Arthur Carlos. Pria itu terlalu kaya, terlalu hebat dan—dan terlalu mustahil untuk menjadi ayahku, oke? Jadi kalian pasti salah orang.”
Donghae menghela napas dan ia memijat pelipisnya. Tapi Chad yang menjawabku. “Kami tidak salah orang, Youva. Malah sebenarnya Sir Arthur yang meminta kami untuk—eh, menjagamu. Kami tidak bisa memberitahumu karena ini sangat rahasia. jadi—”
“Tidak mungkin.” Sergahku keras kepala. “Begini, kalau dia memang ayahku, bisakah kalian jelaskan kenapa dia tidak pernah mau menemuiku? Atau setidaknya aku tidak akan hidup di flat kumuh sementara ayahku seorang milyarder, kan?”
Chad menarik napas dan berusaha bersabar. Tetapi Donghae benar, kesabarannya hanya seujung kuku hingga pria itu lebih dulu menjawabku sebelum Chad mampu membuka mulut. “Kau pikir semua itu kebetulan? Beasiswa ke Los Angeles? Tunjangan bulanan pemerintah? Flat murah? Pekerjaanmu sebagai sekretarisku? Itu semua sudah di atur, Youva. Arthur Carlos yang mengaturnya untukmu.”
Bibirku membuka, membiarkan atom-atom oksigen masuk ke mengisi paru-paruku dan bergerak naik menuju otak karena otakku rasanya berhenti berjalan. Tidak mungkin. Semua itu bukan kebetulan? Maksudku……… entahlah, aku tidak bisa berpikir.
“Sebenarnya, Youva, Mr. Carlos sudah menjadi target Robert sejak lama. Tapi Mr. Carlos sudah melimpahkan seluruh kekayaannya pada keturunannya. Sementara tak ada satu orangpun yang mengetahui siapa dan dimana keturunan Arthur Carlos. Awalnya kami mengira ia punya beberapa anak dan membagi saham serta kekayaannya, tapi belum lama Arthur mendatangi kami dan menjelaskan semuanya.”
Penjelasan Chad membuat otakku dua kali lebih macet. Tapi aku berjuang. “Termasuk tentang kenapa dia tak pernah mengunjungiku selama dua puluh enam tahun?” suaraku terdengar lirih. Dan aku melihat Donghae mengernyit.
“Sadarkah kau kalau dia mengunjungimu maka target Robert akan berubah arah padamu? Kau harus bersyukur karena hingga saat ini pihak Robert masih belum mengetahui apapun tentang dirimu. Dan bisakah kau bayangkan apa yang akan dipikirkan orang-orang jika Arthur mengirimi seorang gadis Asia sejumlah uang untuk menyewa apartemen mewah? Atau memberimu fasilitas-fasilitas kelas satu tanpa menimbulkan berita? Dia menyelamatkanmu dalam banyak hal, Youva. Dan jika kau belum yakin juga, kau harus tahu kalau nama Cardia adalah kependekan dari Carlos dan Diana. Kau boleh menelpon Ibumu untuk memastikan kalau ia dulu bernama Noraiva Diana.”
Nafasku tercekat. Aku menatap Donghae dan Chad yang juga menatapku dengan pandangan serius. Mereka membiarkanku terpaku tak bersuara, membuatku semakin kelimpungan menerima semua kenyataan dalam satu waktu.
“Aku.. ingin bertemu dengannya.” Kataku dengan suara parau. “Aku tetap tidak percaya sampai aku melihatnya sendiri.”
Chad melirik Donghae gugup. Tetapi bosku malah menatapku lurus-lurus. “Ada batasan-batasan yang harus kau pahami saat ini, Youva. Arthur di bawah pengawasan dua belah pihak dan aku yakin kejadian semalam membuat Jason semakin curiga. Untuk saat ini kau tidak boleh melakukan apapun yang menimbulkan perspektif baru bagi mereka.”
Hatiku sedikit ciut, memikirkan bahwa hidupku ternyata sedang dipermainkan. Aku merasa bodoh, berjalan ke sana kemari, melewati setiap hari tanpa pernah tahu bahwa hidupku ternyata telah di atur oleh orang-orang di atasku. Aku ingin marah, tapi aku tidak tahu kepada siapa aku harus melemparkan kemarahan ini. Aku takut, dan aku tidak tahu siapa yang bisa kupercayai.
“Apakah aku bisa mempercayaimu? Bahwa kau tidak sedang berbohong padaku?” Aku menatap Donghae getir. Berusaha mencari tahu kebenaran yang muncul di wajahnya.
Tetapi Donghae segera memasang wajah datar dan menjawab dengan dingin. “Aku tidak punya kepentingan untuk berbohong padamu, Youva.”
“Tapi.. aku ingin mengetahui satu hal lagi.” Bisikku pada Chad, tak berani berkata pada Donghae meskipun ia yang selanjutnya bertanya.
“Apa?”
“Siapa sebenarnya.. Lee Donghae?”
Senyum Donghae merekah dan ia mendengus geli. Chad sepertinya tampak lega. Ia bahkan mendesah terang-terangan di depanku. Dan aku yakin ada hal lain yang mereka tutupi dariku.
“Aku, Lee Donghae, adalah bosmu, Youva Cardia. CEO PHOENIX Corporation, perusahaan Ekspor-Impor paling berpengaruh di Los Angeles. Apa informasi yang baru kau terima membuatmu amnesia?” sindirnya langsung.
“Bukan itu,” jawabku. Aku memberanikan diri menatap Donghae dengan wajah cemberut. “Maksudku, anda—apa yang anda kerjakan selain menjadi CEO?”
“Apa kau tidak mencari informasi terlebih dulu sebelum memutuskan untuk bekerja denganku?”
“Tentu saja aku sudah mencarinya. Tapi, beberapa kejadian membuatku semakin curiga. Informasi yang kuperoleh dari Internet menambah rasa curigaku—”
“Seperti apa, misalnya?”
Aku menelan ludah. “Anda.. melakukan pekerjaan illegal.”
Dari sudut mata, kulihat Chad mulai gugup. Ia menggaruk lehernya dengan tidak nyaman dan menginterupsi Donghae. “Bukan pekerjaan illegal, Youva. Tetapi—err.. sesuatu yang bersifat rahasia.”
“Rahasia? Jadi maksudmu membunuh orang-orang tidak termasuk illegal?”
Wajah Donghae mengeras dan aku tahu aku sudah salah bicara. Pertanyaanku terkesan menuduhnya. Ia terlihat tidak senang. “Aku tidak membunuh orang-orang, Youva. Kuharap kau bisa mengingat percakapan penting yang baru sepuluh menit yang lalu kukatakan bahwa Robert yang membunuh semua wanita-wanita itu. Bukan aku.”
“Jadi, bisakah anda menjelaskanku kenapa anda mempekerjakan mantan agen CIA dan pasukan khusus? Kenapa wanita-wanita itu harus mati setelah dua belas jam bertemu dengan anda? Kenapa Jennifer meminta anda untuk melindunginya? dan—”
“Miss Cardia, tarik napas.” Sela Donghae dan aku menurutinya. Napasku terengah, setelah bertanya tanpa jeda seperti itu.
“Aku tidak bisa menjelaskan semuanya padamu, sebab kau sama sekali tidak punya kepentingan untuk mengetahui hal-hal seperti itu. Prioritas kami adalah melindungimu, bukan memberimu seluruh informasi. Aku tidak ingin kau bisa menyalahgunakan semua informasi yang kuberikan.”
“Memberitahu Johan, maksudmu? Lucu sekali.” Ujarku marah. “Beritahu aku, Lee Donghae, dan akan kuputuskan aku bisa memercayaimu atau tidak.”
Keheningan yang menyusul perkataanku terpecah ketika kudengar Donghae tertawa keras sambil menggeleng pelan. “Kau benar-benar wanita paling keras kepala yang pernah kutemui, Miss Cardia.”
“Terima kasih, Sir. Anda membuatku tersanjung.” Jawabku tanpa emosi.
Ia menatapku dengan bola mata berkilat takjub. Aku melihat sudut bibirnya mencoba menahan senyum dan setelahnya ia mendesah. “Baik,” ujar Donghae. “Aku memang memiliki pekerjaan lain selain menjadi CEO dan pemegang saham beberapa perusahaan, tapi itu bukan pekerjaan illegal, Miss Cardia. Aku mempekerjakan Chad dan Alex karena alasan keamanan. Jennifer meminta perlindunganku karena dia merasa tidak aman dengan segala harta yang dimilikinya.”
“Oke, kalau begitu, seandainya kau memang mengatakan Jennifer meminta perlindunganmu karena dia merasa tidak aman, apa yang kalian lakukan hanya mengawalnya sepanjang hari?”
“Kira-kira seperti itu.” Jawab Donghae mengangkat bahu. “Tapi kami juga mencari solusinya. Akan lebih praktis jika menyingkirkan apapun yang membuat Jennifer takut.”
“Jadi itu yang akan kalian lakukan padaku?”
“Benar.” Jawab Donghae tegas.
“Dan kalian anda menyingkirkan Johan?”
Chad berdeham. Tampak gelisah dengan pertanyaan langsung yang kuutarakan.
“Tidak secara harfiah, tapi kami akan mencoba untuk membungkamnya lebih dulu.”
“Tapi aku melihat di resume itu, anda akan membunuh Johan jika dia melawan.” Suaraku bergetar saat mengucapkannya dan Donghae merasa tak nyaman dengan bagaimana caraku mengatakannya. Aku tahu aku idiot, tapi tetap saja aku tak bisa membayangkan tubuh Johan yang tergeletak tak bernyawa.
“Kau membuatnya terdengar seolah-olah aku adalah maniak gila yang membunuh demi kesenangan.” Tuduhan Donghae yang eksplisit membuatku tersadar dan menundukkan pandangan ke lantai.
“Anda—anda bilang padanya semalam bahwa ‘ini semua belum selesai’, apalagi yang harus kuasumsikan kalau begitu? Apakah anda sebelumnya memiliki masalah dengan Johan?”
Aku tidak tahu apa yang sudah memancing kemarahan Donghae begitu hebat karena setelahnya ia mendadak bangkit dan wajahnya kelihatan murka. “Bagaimana kalau kau tutup mulut saja, Youva? Aku benar-benar tidak ingin mendengar pertanyaan-pertanyaan sinting itu lagi.” Donghae berjalan dan membanting cangkirnya ke bak cuci piring. Ia kemudian masuk ke kamarnya dengan marah, membuatku diliputi kecemasan.
“Kau sudah menyinggung topik sensitif, Youva.” Ujar Chad mendesah. Aku menatap bingung padanya. Dan ia memberiku tisu.
Aku tidak menyadari kalau airmataku turun begitu saja, tanpa bisa kucegah. Dan aku memutuskan untuk menangis. Chad bergeser ke sebelahku dan ia meminjamkan lengannya ketika aku membiarkan seluruh kesedihanku berubah menjadi airmata.
“Aku takut, Chad.” Bisikku sambil terisak. “Kenapa harus aku? Maksudku, aku tidak ingin percaya semua ini. Johan adalah pacarku, sahabatku. Dia bukan pembunuh dan—aku tidak bisa memikirkan apapun yang masuk akal. Semuanya membuatku ketakutan—”
“Istirahatlah, Youva. Tenangkan dirimu.” Chad menepuk pundakku. “Yang harus kau ingat adalah, Mr. Lee benar-benar akan melindungimu.”
“Bisakah—bisakah kalian tidak membunuhnya? Please?”
Chad menatapku getir. Ia menyisir rambutnya gugup. “Itulah rencananya, tapi kami tidak punya pilihan lain kalau ia melawan, Youva.”
Dan tangisanku berubah semakin keras.


***


Aku.. putri Arthur Carlos?
Berulang kali aku memikirkannya, tetap saja informasi ini lebih tidak masuk akal dibanding fakta bahwa  Johan yang ternyata adalah Jason Andersen. Aku baru saja menelpon Ibu—dengan ponsel Chad karena aku tidak berani meminjam ponsel Donghae—dan setelah dipaksa, Ibu akhirnya mengaku kalau nama gadisnya adalah Noraiva Diana. Tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk mengatakan apapun tentang Arthur Carlos. Bagaimanapun aku tidak ingin membuat Ibu bersedih.
Laptop di depanku masih menyala, mencoba memberitahuku beberapa fakta penting mengenai Arthur Carlos melalui bantuan Google. Tapi sama sekali tidak ada informasi spesifik mengenai dirinya. Penjelasan yang ada hanya berkisar tentang Carlos Foundation, berapa banyak cabang di seluruh Benua Amerika dan rencana-rencana mengenai ekspansi ke Eropa dan Asia.
Tapi aku berhasil menemukan sebuah berita yang menyebutkan bahwa Arthur Carlos pernah menikah dua puluh tujuh tahun yang lalu namun pernikahannya dilakukan secara sembunyi dan sama sekali tidak ada kabar lebih jauh mengenai istrinya. Dan hingga sekarang Carlos tidak pernah terlihat berjalan bersama istrinya, atau apakah mereka sudah bercerai atau belum, tak ada yang tahu persis. Arthur menyembunyikan semuanya.
Wajah Arthur Carlos yang tersenyum sengaja kuperbesar, membuatku mengamati Ayahku lebih lama. Ia memiliki bola mata hitam dengan rambut yang juga berwarna hitam, dan kulitnya putih bersih. Dalam hati aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin pria itu adalah ayahku? Bahkan wajahku sama sekali tidak mirip dengannya. Oke, memang aku lebih mirip Ibu dalam banyak hal. Tapi masa aku tidak mewarisi kulit putih pria itu?
Sebuah notifikasi muncul di ujung layar, tanda dari SNS yang baru saja ku log in. Aku melihat nama Johan di layar dan jantungku menggila.
Johan_SV: Hei, kabar baik?

Jariku gemetar saat mengetik balasan.
Youva_C: Baik. Kau?
Johan_SV: enggak :( aku merindukanmu.

Kepalaku berputar kebingungan. Pria itu masih mengatakan kalau ia merindukanku? Ada jutaan pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya, tapi setelah mengetik dan menghapus selama beberapa menit, akhirnya kuputuskan untuk berpura-pura tidak tahu apapun.
Youva_C: Aku juga merindukanmu.
Johan_SV: :) :) Btw, Kau dimana?
Youva_C: di kantor, bekerja seperti biasa.

Aku berbohong. Dan hatiku merasa bersalah. Tapi aku tidak ingin Johan curiga padaku.
Johan_SV: Kalau begitu bisakah kau menemuiku di jam makan siang? Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.

Jari-jariku mengambang di atas keyboard. Sesuatu yang ingin ia katakan padaku? Apakah itu mengenai jati dirinya? Atau kenapa ia menyembunyikan segalanya? Aku nyaris mengatakan tidak, tapi segera kuhapus jawabanku dan mengubahnya:
Youva_C: Oke, kita bertemu di tempat biasa pukul dua.
Johan_SV: See ya!

Buru-buru kututup laptopku dan melirik gusar ke arah jam. Pukul dua belas tepat. Aku punya dua jam penuh untuk mencari cara agar kabur dari tempat ini tanpa diketahui Donghae. Tindakanku kelewat nekat, tapi aku harus mencari tahu dengan mata kepalaku sendiri. Apakah Lee Donghae atau Johan Stavilosky yang bisa kupercayai.

***


“Kau tidak akan pergi kemana-mana.”
“Tapi aku harus! Bukankah kemarin Johny Verto sudah berulang kali menekankan bahwa laporan itu harus di kirim hari ini juga?”
Donghae bersedekap. Matanya menyipit kesal dan bibirnya mengatup. “Biar Craig Dale yang mengantarnya.”
“Johny Verto yang memintaku untuk memberikannya secara langsung, Sir.” Aku berusaha terdengar bersungguh-sungguh dengan perkataanku, tak mengedipkan mataku atau bahkan menggigit bibir. Hingga akhirnya Donghae menyerah.
“Baik. Tapi Chad akan pergi bersamamu.”
“Tentu,” jawabku mengangkat bahu.
Aku berjalan kembali ke kamar tamu dan duduk di depan cermin. ‘Bagus’, bisikku dalam hati. ‘Kau hanya perlu mengantar salinan laporan itu lalu menyelinap untuk bisa keluar. Bagus.’
Kuingat kembali seluruh ide sinting yang berkelebat di kepalaku. Kesempatanku kecil untuk bisa lolos dengan Chad yang mengikutiku. Tapi setidaknya masih lebih baik dibanding jika Donghae yang memutuskan untuk ikut serta.
Pukul setengah satu, aku dan Chad meninggalkan pelataran parkir gedung Apartemen dengan mata Donghae mengekoriku. Aku mengabaikan tatapannya yang mengintimidasi dan berlalu tanpa mengucapkan apapun.
Chad mengantarku ke kantor untuk mengambil laporan yang kutinggalkan di meja kerja dan tepat pukul satu kami tiba di gedung John-Well Ltd. Chad ikut turun bersamaku. Ia juga mengenakan mantel hitam panjang dan kacamata hitam. Terlihat seperti bodyguard di sampingku.
“Bisakah kau melepas kacamata itu? Kita di dalam gedung, Chad.” Aku berbisik padanya di bawah tatapan orang-orang yang penasaran.
“Tidak bisa, maaf. Ini perintah.” Jawab Chad tanpa keraguan, tidak mengindahkan rasa maluku.
Johny Verto ternyata menyambut kedatanganku dengan ramah, berbanding terbalik dengan sikapnya kemarin, saat ia melemparkan kalimat-kalimat sinis di tengah ruang rapat. Pria tua itu menawariku black tea dan mengajakku mengobrol ringan. Aku menjawab sebisaku, meski berulang kali melirik cemas ke arah jam.
“Ada yang membuatmu gelisah, Miss Cardia? Kau terus melihat jam.”
“Oh. Tidak, Sir. Hanya saja.. aku memiliki janji pukul dua.” Jawabku pelan, takut kedengaran Chad yang menunggu di luar.
Johny Verto mengangkat alisnya tinggi. “Oh, maafkan aku karena telah menahanmu begitu lama. Kau pasti memiliki janji lain, tentu.”
“Maafkan aku, Sir. Kuharap anda tidak keberatan.”
“Tidak, tentu tidak. Aku lah yang harus minta maaf. Senang berbincang denganmu, Miss Cardia. Kuharap kau akan sering mampir.” Ujar Johny Verto tersenyum dan aku membalasnya.
“Aku juga, Sir. Kuharap anda terus bekerja sama dengan PHOENIX.” Kataku lalu menjabat tangannya.
Sudah pukul dua kurang lima belas menit. Dengan Chad terus mengekor di sampingku, aku tidak bakal bisa kemanapun. Jadi pada saat kami tiba di lantai dasar, aku mengatakan padanya kalau aku akan ke toilet sebentar. Ia ingin mengantarku tapi aku melotot garang padanya dan memintanya untuk menunggu di mobil. Aku beruntung. Chad menurutiku dan berpesan agar aku tidak terlalu lama.
Ketika aku melihatnya menghilang ke arah parkiran, kugunakan kesempatan itu untuk bertanya pada seorang penjaga. Ia menunjukkan arah ke pintu darurat, pintu belakang yang biasanya hanya di gunakan petugas kebersihan dan membiarkanku melewatinya ketika kubilang aku harus ke Rosemore dalam waktu lima menit.
Kuberikan penjaga itu tip dan mengucapkan terima kasih. Ia melambai padaku lalu menutup pintu darurat itu. Dan aku menyusuri petak-petak kecil jalan yang di apit dinding gedung yang bersebelahan dengan John-Well dalam ketergesaan.


Aku tiba di Summer Means Everything Café lima belas menit kemudian, membayar ongkos taksi lalu mencari Johan di antara pengunjung kafe. Tidak susah sebenarnya, sebab ia selalu duduk di tempat yang sama. Hanya saja kali ini ia mengenakan kacamata hitam. Rambutnya tertiup angin dan ia kelihatan sangat tampan dengan kemeja hitam yang membalut tubuh atletisnya.
Johan memberiku senyuman lebar saat melihatku duduk di hadapannya. “Aku senang kau baik-baik saja.” Ia melepaskan kacamatanya, meletakkannya di atas meja dengan perlahan.
Setelah tersenyum kecil, aku bertanya padanya. “Kau baru dari kantormu?”
“Yep. Kau?”
Aku mengangguk cepat. “Bolehkah aku datang ke kantormu? Aku ingin seperti apa ruanganmu bekerja.”
Johan menatapku selama sepersekian detik. Ada guratan keterkejutan di sana, saat aku membalas tatapannya. “Pesanlah sesuatu, Youva. Kau harus makan.”
“Aku tidak lapar.” Kilahku berusaha tetap wajar. Tapi dengan cepat Johan menangkap kebohongan yang kusembunyikan.
“Apa yang terjadi semalam? Setelah bosmu membawamu begitu saja?”
“Tidak ada.” Dustaku lancar. Aku mengalihkan pandanganku ke sudut meja.
“Youva, jangan berbohong. Aku tahu kau—”
“Enggak.” Selaku cepat. “Kau tidak sedang menginterogasiku, Johan. Kau bilang ada sesuatu yang harus kau katakan, bukan?”
Johan memiringkan kepalanya. Ia mengernyit padaku. “Benar,” jawabnya setelah bungkam beberapa saat.
“Jadi, cepat katakan.” Ujarku datar.
Well, aku serius dengan perkataanku semalam, Youva. Berhentilah bekerja dengan Lee Donghae dan kembali padaku.”
Aku menatapnya dalam hitungan mili detik. Menemukan kedua bola matanya yang menghujamku lurus. Napasku sedikit terengah, dengan seluruh perkataan Donghae dan Chad di kepalaku, aku nyaris meledak karena hampir gila. “Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu, Youva Cardia. Aku tidak ingin kau bersama Lee Donghae.”
Airmata sudah menggenang di sudut mataku, tapi aku berjuang begitu keras untuk menahannya. Sangat menyakitkan mendengarnya mengatakan bahwa ia mencintaiku padahal yang ia inginkan adalah nyawaku.
“Tapi kenapa kau berbohong, Johan? Atau sekarang aku harus memanggilmu Jason Andersen?” bisikku dengan suara bergetar.
Wajah Johan mengeras. Aku melihat matanya memandangku dingin. Jari-jari Johan mengetuk meja dengan cepat sementara air mukanya berubah kasar. Aku menggigil. Angin bertiup kencang melewati kami dan rambutku berterbangan tapi aku tak bergerak, menanti jawaban Johan dengan jantung berdegup kencang.
“Maafkan aku, Youva. Kau tidak memberiku pilihan.” Ujarnya datar dan hanya satu detik, baru satu detik berlalu saat kudengar peluru berdesing di telingaku.
Mataku tak menangkap apapun, tetapi rasa panas di pipi kiriku membuatku tak bisa menarik napas. Dan semuanya berjalan dengan lambat.
Detik selanjutnya aku melihat Johan mengernyit menatapku, tapi matanya langsung melebar. Dan tiba-tiba saja tubuhku yang masih terpaku di tarik paksa dari belakang lalu di hentakkan dengan kasar ke lantai. Aku tak bisa bersuara karena otakku tak lagi berfungsi dengan baik. Aku disorientasi. Hanya mataku yang menangkap semuanya. Dan keributan yang pecah di sekeliling kami lah yang menyadarkanku.
Johan melompat ke belakang dan ia mengeluarkan sesuatu di sakunya—sebuah pistol laras pendek. Ia mengarahkannya pada seseorang yang kini berdiri di depanku—sementara aku masih terbaring di lantai kafe dengan tubuh gemetaran.
Lee Donghae dengan pistol di tangannya. Mengarah tepat pada Johan yang juga mengacungkan pistol padanya.
Napasku memburu dengan cepat. Aku ingin mengatakan sesuatu tetapi kepanikan mengalahkan segalanya. Kemudian aku mendengar Donghae berkata dengan nada berbahaya.
“Letakkan senjatamu, Jason.”
Johan tidak bergerak. Tangannya masih menggenggam erat senjata itu.
“Kau tidak bisa kabur. Letakkan senjata itu. Aku tidak ingin ada yang terluka.” Ulang Donghae lagi.
Johan menarik sudut bibirnya ke atas—membentuk sebuah seringaian licik dan ia menatapku. “Tidak ada yang terluka. Kecuali Youva. Benar, kan?”
Aku tersentak dan rasa sakit di pipiku muncul lagi. Tanganku meraba permukaan wajahku dan jantungku meloncat keluar ketika aku menemukan darah di sana. Aku melihat Donghae yang memandangku terkejut dan baru akan menoleh pada Johan tapi tak berhasil sebab pria itu telah menerjang meja di depannya ke arah Donghae.
Tubuhku meringkuk secara refleks—saat meja itu melayang di udara, kurasakan tubuh seseorang melindungiku dari hantaman meja itu dengan cepat. Aku mendengar napas berderu di telingaku dan kusadari seseorang yang meringkuk di atasku adalah Lee Donghae.
“Sial.” Umpat pria itu di telingaku dan ia langsung bangkit ketika Johan berlari ke dalam kafe, menghilang dalam waktu singkat.
Aku masih meringkuk, dengan darah di wajah dan tubuh gemetaran. Mulutku terasa pahit. Otakku buntu. Segalanya membuatku kesulitan bernapas.
“Miss Cardia, kau bisa bangun?” suara Donghae terdengar panik. Ia membalikkan tubuhku yang masih bergidik ketakutan lalu berkata dengan jarinya menempel di telinga. “Perintahkan tim Alfa untuk menyapu bersih kawasan ini. Dan aku butuh tim medis dalam tiga menit.”
“Anda—Johan—” gagapku panik. Aku melihat ke sekitarku dan mendapati orang-orang berkerumun penasaran.
“Jangan bergerak, Miss Cardia,” perintah Donghae. Ia menahan tubuhku yang menggeliat.
Aku menatap pria itu—yang lengannya kini di leherku—dan sebuah perasaan aneh menjalar ke seluruh tubuh saat melihatnya begitu khawatir. “Johan.. ingin membunuhku..” bisikku tanpa sadar.
Donghae menghela napas frustasi. Ia mengejap beberapa kali dan baru akan mengatakan sesuatu ketika beberapa orang berlari ke arah kami. “Cepat.” Ujarnya pada orang-orang itu.
Tiga orang laki-laki berpakaian putih mengelilingi kami dan aku bahkan tak sempat mengatakan apapun pada Donghae saat sebuah tusukan tajam di lenganku mengambil alih seluruh kesadaranku.
Tidurlah, Miss Cardia. Kau akan aman.”
Dan berikutnya aku melihat kegelapan tak berujung.

***

Saat aku membuka mata yang bisa kulihat adalah warna putih. Tetapi warna itu membuatku ketakutan. Aku menyukai warna putih, namun entah mengapa kali ini warna itu seakan mengintimidasiku. Mengirimku pada sebuah firasat aneh dan aku memutuskan untuk kembali memejamkan mata.
Kudengar suara langkah kaki berjalan mendekatiku tapi aku tidak ingin bertemu dengan siapapun sekarang. Aku ingin menyendiri. Aku juga tidak ingin berbicara saat ini. Kesedihan telah mengambil alih seluruh emosiku yang tersisa. Tapi saat kudengar suara itu, entah kenapa tubuhku menjadi lega. Seluruh sarafku bergetar di bawah sentuhannya.
“Kau sudah bangun, Youva?”
Aku mengangguk. Butiran airmata jatuh dan langsung menghilang melewati sudut pipiku. Kedua mataku masih terpejam. Dan kurasakan pria itu mengusap airmataku yang masih menetes.
“Jangan khawatir, kau aman sekarang.” Bisiknya merdu, mencoba meyakinkanku. Yang aneh adalah aku langsung mempercayainya. Aku benar-benar merasa aman berada di dekatnya meski aku tak bisa menjelaskan mengapa.
“Kenapa kau menangis? Apakah pipimu masih terasa sakit?”
Aku mengejapkan mata. Bulu mataku basah karena airmataku yang belum berhenti. Tapi jantungku rasanya kehilangan kekuatannya sebab begitu aku membuka mata, kutemukan sepasang bola mata cokelat teduh yang memandangku lembut. Aku menarik napas, namun yang kulakukan malah membuat seluruh indra penciumanku di penuhi aromanya. Begitu menggoda hingga rasanya aku melupakan kesedihanku untuk sejenak.
“Sir,” gumamku terpesona. Wajah Lee Donghae masih terlihat seperti malaikat. Ia tersenyum padaku dan aku tak bisa merasakan apapun yang lebih hebat daripada itu.
“Ya, Miss Cardia? Ada yang ingin kau sampaikan?” tanyanya manis sekali. Saat kedua matanya menatapku dalam, pusaran kegilaan aneh membawaku pada sebuah hasrat sinting untuk menyentuhnya. Tapi kesadaranku muncul dengan cepat.
“Kita di mana?”
Donghae memberiku senyumannya dan aku menahan napas. “Di kamarku, Miss Cardia.”
Aku tersentak dan menatap ke sekeliling. Wajahku memerah dengan cepat saat kusadari kebenaran dari perkataan Donghae. Ini sebuah kamar. Dengan warna putih yang mendominasi seluruh ruangan, ventilasi berupa petak-petak kecil di bawah atap, berderetan hingga membentuk satu garis panjang. Sebuah balkon berukuran tiga pintu di sekat dengan pintu kaca yang bisa di geser. Balkonnya menghadap ke barat, ke arah matahari terbenam yang mulai menjejakkan kaki di ujung cakrawala. Dan selebihnya tak ada apapun selain berbagai macam kaca yang terpajang di dinding kamar. Bahkan juga tidak ada lemari. Hanya ada ranjang yang sedang kutiduri.
“Kenapa kita ada di kamar anda, Sir?” tanyaku parau. Aku merutuki kebodohanku yang tampak jelas.
Kudengar Donghae mendengus geli. Ia menatapku miring dengan senyum yang masih terukir jelas. “Kau lebih suka kita di kamarmu?” ia balas bertanya, namun pertanyaannya membuat wajahku semakin merah padam.
“Bukan begitu,” sanggahku kikuk. Aku menggeliat bangun dan Donghae membantuku untuk duduk. Ia memandangku lekat-lekat tapi aku memilih menatap selimutnya.
“Kau kelihatan cantik kalau wajahmu memerah seperti itu.” ujarnya menguji pertahanan diriku. Aku memberengut menatap selimut dan ia tertawa. “Maaf, aku tidak bisa menahan diri untuk menggodamu.”
Aku merasa bodoh sekali. Jelas-jelas bosku yang rupawan sedang menggodaku dan wajahku kontan memerah tanpa aba-aba. Aku tidak ikut tertawa, membiarkan kekesalanku terlihat jelas. Donghae menyadari perbuatanku dan tiba-tiba ia ikut duduk di sebelahku.
“Dengarkan aku, Miss Cardia,” katanya berubah serius. Aku mendongak perlahan, menemukan matanya yang memandangku tajam. “Aku tidak ingin melihatmu melakukan tindakan bodoh seperti tadi. Mulai detik ini seluruh tindakanmu akan diawasi ketat dan seluruh gerakanmu akan dipantau dengan cermat. Tak ada panggilan keluar, tak ada komunikasi melalui internet, ataupun janji temu tanpa seizinku. Dan aku harus menekankan kalau kau benar-benar dalam bahaya, Miss Cardia. Informanku menyebutkan bahwa pihak Robert sedang mencurigai dirimu terlibat dalam kekacauan ini karena Jason Andersen sudah membuktikan bahwa kau berada dalam perlindunganku. Tapi aku tidak bisa memastikan apakah mereka mengetahui kalau kau adalah putri Arthur.”
Penjelasan Donghae membungkamku dalam sekejap. Kilasan kejadian di kafe itu berkelebat dalam kepalaku. Rasanya bagai mimpi—aku nyaris menganggap semuanya mimpi kalau saja tanganku tak merasakan plaster sepanjang dua sentimeter menutupi luka di pipiku yang terluka. Lukanya bahkan tidak lagi terasa sakit, tetapi dadaku nyeri. Aku benci mengakuinya. Bahwa Johan Stavilosky ternyata sedang mencoba membunuhku.
“Kenapa anda bisa ada disana?” tanyaku setelah beberapa saat terdiam.
“Aku melacakmu. Butuh selusin analis untuk menemukanmu dalam waktu lima belas menit. Orang-orangku bahkan harus melacakmu melalui satelit militer Amerika.”
Aku menatapnya tak percaya. Dan Donghae melanjutkan perkataannya. “Kau beruntung aku tiba tepat waktu. Karena kalau tidak..”
“Johan akan membunuhku.” Sambungku getir. Aku mengusap pipiku yang terluka sekali lagi. Mengingat rasa sakit yang ditimbulkan dari luka itu.
“Jangan khawatir, lukamu tidak dalam. Sepertinya sniper Jason tidak memperhitungkan arah angin yang terlalu kencang. Pelurunya meleset dan hanya mengenai pipimu.”
Aku mengernyit. “Johan membawa sniper?” tanyaku kaget.
“Benar, karena tidak mungkin dia bisa membunuhmu di tengah ratusan orang. Satu-satunya hal pintar yang kau lakukan adalah membuat janji temu di pinggir jalan, membuatku lebih cepat menemukanmu.”
“Bagus sekali,” dengusku sarkastis. “Johan dengan sniper sialannya. Benar-benar keberuntungan yang hebat.”
Donghae menangkap kegetiranku. Ia meletakkan tanganku dalam telapak tangannya yang besar dan hangat. “Tenanglah. Snipernya telah berhasil di amankan.. walaupun Jason Andersen berhasil kabur.”
“Dan aku yakin akan ada cukup banyak sniper di rumahnya untuk membunuhku setiap saat.” Aku menggigit bibir keras-keras, mencoba mengendalikan emosiku yang berhamburan keluar. Tapi tidak mudah. Aku sedang mengelabui seorang pria tampan yang tampaknya memiliki kekuatan supranatural yang bisa membaca pikiran orang lain.
Pria itu menarikku dalam pelukannya sementara ia membiarkan tangisanku meledak seperti bocah lima tahun. Aku merasakan tubuhnya yang hangat, menyelimuti semua ketakutanku yang mencuat keluar. Tangannya melingkari punggungku, seakan memberiku kekuatan untuk tetap menghadapi dunia.
“Kau akan baik-baik saja, Youva. Percayalah padaku.”
Perkataan Donghae mengirimkan keyakinan mutlak pada diriku, membuatku melepaskan seluruh ketakutan dan menggantinya dengan sebuah keyakinan baru. Bahwa pria ini akan melindungiku, bahwa tangannya yang hangat akan selalu ada untukku.
Dan aku mempercayainya tanpa keraguan.

***

1 komentar: