TITLE : SCARLET [8]
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
Summary:
Kenyataan yang menghampiriku datang dengan
begitu cepat, mengurungku dalam disorientasi parah dan membuatku kesusahan
untuk bernapas. Aku tak ingin melangkah maju, tapi semuanya bergerak
mendahuluiku, hingga aku harus terus berjalan atau aku akan tertinggal. Bersama
dengan kegelapan yang menakutkan. Aku ingin lari, tetapi tubuhku terlalu
ringkih untuk merespon otakku. Batinku berteriak dengan sia-sia, bahwa aku
kelelahan. Bahwa aku harus beristirahat dari semua permasalahan ini. Tapi tak ada
yang mendengarku, kecuali dia.
Dan entah sejak kapan bayangannya yang selalu
berada di sampingku membuatku merasa aman.
CHAPTER
EIGHT: ONE MOMENT IN TIME
Aku terbangun dengan napas terengah. Punggungku
basah oleh keringat dan rambutku terasa lengket di kening. Tubuhku menggigil
hebat, berusaha mencari sesuatu untuk bisa kupegangi namun ujung jariku hanya
mampu mencapai selimut yang menggulung aneh di pinggir tempat tidur.
‘Tarik
napas,’ ujarku dalam hati.
Mimpiku seakan benar-benar nyata. Kengeriannya
begitu terasa hingga menembus kulitku dan aku bergidik sebelum bangkit.
Mulutku kering dan aku butuh minum. Tapi saat
kakiku menjejak di atas permukaan karpet bulu, kudengar suara Donghae yang sedang
berkata di kejauhan.
“Benar,
dia masih istirahat.. Kurasa dia masih mengalami stress pasca-trauma… Entahlah,
aku akan mengurus sisanya dari sini. Aku tidak ingin mengambil resiko… Aku tahu.
Dan informasikan pada semua alfa-1 untuk bersiaga penuh. Kesalahan apapun tak
akan bisa di tolerir… kosongkan laboratorium untuk beberapa saat… Benar..
Baiklah.”
Keningku berkerut bingung saat
mengupingnya. Lee Donghae pasti sedang berbicara dengan seseorang melalui
telepon karena sesudahnya langkah kakinya berderap menjauh. Aku mengitari ruangan
berukuran lima kali lima meter itu dengan gusar. Haruskah aku menyelinap? Aku
meninggalkan ponselku di dalam tas di mobil Donghae dan aku tidak ingin ia tahu
kalau aku membutuhkan ponselku atau kuyakin Donghae bakal menyitanya.
Johan adalah Jason Andersen. Dan ia akan
dibunuh oleh Donghae. Tidak mungkin aku bisa tetap berdiam diri di sini.
Setelah lima belas menit menghabiskan waktu
memikirkan rencana-rencana sinting dan kelihatan mustahil, akhirnya aku
memberanikan diri untuk keluar dari kamar itu.
Ruang tengah terlihat kosong. Bahkan tak
terdengar suara apapun dari apartemen ini. Tidak juga titik-titik air di
westafel—yang biasanya menjadi bunyi kontinu di flatku—ataupun suara langkah
kaki Donghae. Tapi saat aku mencapai sofa terujung, aku melihat Lee Donghae
sedang duduk di sebuah kursi di depan beranda—memunggungi pemandangan pagi Los
Angeles yang menakjubkan dan ia sedang memangku laptopnya.
“Selamat pagi,” ujarnya datar. Dan tanpa
repot-repot menatapku. “Kuasumsikan kau mencari tasmu?” tanyanya masih tanpa ekspresi.
“Err.. itu—sebenarnya, ya, Sir. Aku
membutuhkan tasku.” Jawabku gugup.
Donghae menengadah sekilas dan mengisyaratkanku
untuk mendekat. Dan karena alasan yang tak bisa kujelaskan, tanganku tiba-tiba berusaha
memperbaiki rambutku yang megar. Sudut hatiku berbisik parau kalau aku tidak
ingin terlihat jelek di depannya.
Saat aku tiba di depannya, ia menyerahkan sebuah
bungkusan plastik hitam yang ternyata berisi tasku yang basah. “Tak ada yang
bisa di selamatkan”. Ujar Donghae ringan.
Seketika jari-jariku merogoh tasku dengan
panik. Dan seperti tahu apa yang sedang kupikirkan, Donghae menambahkan
kalimatnya. “Bahkan juga ponselmu.”
Batinku mencelos dan ketika tanganku
berhasil meraih ponselku, benda itu terlihat padam dengan genangan air memenuhi
layarnya. Aku mengeluarkan desahan dan berpikir cepat bagaimana aku bisa
menghubungi Johan.
“Untuk beberapa saat, kau bisa memakai
ponselku jika kau mau menghubungi ibumu. Tapi aku tidak memberimu ijin untuk
menelpon Jason Andersen. Apalagi menemuinya.”
Aku mengernyit menatap Lee Donghae meski
ia masih memandang laptopnya dengan fokus. “Kenapa anda selalu mengasumsikan
sesuatu secepat itu?” tanyaku tak percaya. Ia memandangku lambat-lambat, seakan
tak terganggu dengan nadaku yang kesal.
“Itu gampang. Karena aku bosmu dan aku
bisa mengasumsikan apapun yang kuinginkan.” Jawabnya tegas.
Aku mengatupkan bibir dan menggenggam tasku
erat-erat. “Bagaimana kalau aku berhenti menjadi sekretarismu? Kau tidak bisa
lagi memerintah atau melarangku, Lee Donghae!”
Donghae menggeser laptopnya ke atas meja
dan ia bangkit dengan satu gerakan cepat. Ia mengenakan jubah tidur yang
menjuntai hingga lututnya dan aku melihat ia hanya mengenakan singlet putih tipis
di balik jubah itu. Seluruh pakaiannya berwarna putih cemerlang, begitu juga
dengan celana tidur dan slipper yang
dipakainya.
Dan jantungku berhenti berdetak.
“Kenapa kau sangat keras kepala, Youva? Apa
aku harus menciummu lagi agar kau bisa menjadi penurut?”
Suaranya terdengar lembut tetapi aku tahu
ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya karena aku bisa melihat kilatan di
kedua bola mata Donghae saat ia menatapku tajam.
Aku menelan ludah dan alam sadarku mengangguk
begitu bersemangat mendengarnya. Tapi kakiku bergerak lebih cepat. Tubuhku mundur
ke belakang dan aku menggenggam tasku dengan gelisah.
Donghae memajukan tubuhnya dan ia
mendekatkan wajah.
“Sir—Anda—tidak bisa—” gagapku tolol.
“Aku bisa, Youva. Aku bisa melakukan
apapun yang kuinginkan.” Bisiknya berbahaya.
Darah berdesir di pembuluh darahku,
melonjak kesetanan saat pria itu menangkap pergelangan tanganku dan meraih
tasku. Ia melempar tasku jauh-jauh, hingga benda itu menghilang lewat balkon
yang terbuka lebar. Aku baru akan protes saat ia juga menangkap wajahku dan
menguncinya dengan telapak tangannya yang besar dan hangat. Batinku bersorak
kegirangan, merasa haus akan sentuhannya.
“Sir—”
“Diam.” Potongnya kasar.
Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat
jelas lingkaran hitam yang semakin pekat di bawah kedua matanya. Wajah pria ini
benar-benar tak tergores apapun. Bersih, berkilau dan sangat lembut di bawah jari-jariku—dan
aku menekan keinginanku untuk menyentuhnya saat ini juga.
Tapi degup jantungku yang kembali melonjak
hingga ratusan kali lebih kuat tiba-tiba nyaris meledak kaget saat mendengar
bunyi bel di pintu. Wajah Donghae terlihat sedikit kesal. Ia menyipitkan
matanya memandangku penuh arti. Tapi sedetik kemudian, ia melepaskan
genggamannya dan berjalan menjauh.
Kakiku hampir ambruk di lantai saat
mengamati kepergiannya. Ujung jubah Donghae berkibar pelan dan aku
menyaksikannya bagai sedang melihat seorang malaikat yang melayang. Ia berjalan
dengan anggun, mengitari sudut sofa dengan tanpa menyentuh sudutnya. Lee Donghae
tiba di depan pintu dan memeriksa tamu dari panel cctv di samping pintu
apartemen.
“Cuma itu?” tanya Donghae kaget saat melihat
Chad muncul dan menenteng dua buah tas besar. Aku berdiri mematung di tempat
yang sama.
Chad mengangkat bahu dan berjalan melewati
Donghae. “Ini sudah semuanya, Sir. Oh, hai, Youva.” Ia mengedipkan matanya dan
nyengir lebar.
Bibirku berkedut ingin tersenyum tapi
kutemukan kedua mata tajam Donghae mengamatiku lekat-lekat. Seketika pikiranku mengarah
ke kejadian semalam, saat ia memberiku ultimatum kalau ia akan menciumku jika
aku melanggar perintahnya. Dan wajahku malah memerah hebat ketika mengingat ciumannya.
“Hei, kenapa wajahmu merah sekali?”
komentar Chad saat ia meletakkan kedua tas itu di atas sofa. Donghae mendekat
dan melipat tangannya di dada. Ia menatapku tajam dan aku memilih menunduk
daripada harus terlihat bodoh.
“Barang-barangmu sedikit sekali, Miss
Cardia.” Ujar bosku tak suka.
Aku terkejut dan melihat ke arah tas yang
berada di atas sofa dan berganti menatap Chad. Pria itu mengangguk sedikit,
seakan membenarkan perkataan Donghae. “Seluruh pakaianmu muat dalam satu tas.”
“Pakaian..?” suaraku menghilang setelahnya.
“Pakaianmu, Miss Cardia. Kau butuh baju
ganti, bukan? Atau kau memang lebih suka memakai kemejaku?” ujar Donghae ringan
dan Chad melirik kami berdua dengan geli.
Dengan putus asa aku membuka tas yang
berisi pakaian dan melihat bahwa perkataan Chad benar. Ia mengemasi seluruh
pakaianku dengan rapi. Bahkan juga pakaian dalamku. Dan terima kasih pada pria
itu, ia meletakkan pakaian dalamku di tempat teratas. Jadi, begitu aku membuka
tas, siapapun bisa melihat benda pribadiku.
Kudengar Donghae mendengus dan ia menahan
senyumnya. Wajahku sudah terlalu merah untuk berubah warna lebih pekat dari
sekedar merah tua. Aku menggigit bibir dan Chad langsung menyadari kegetiranku.
“Oh, maafkan aku.” Katanya menyesal. “Aku
tidak punya pilihan, Youva. Aku berkemas dengan cepat karena kedua tetanggamu sangat
aneh. Ada wanita tua yang mencibir padaku dan pria di sebelah kamarmu malah bertanya
apakah aku mau minum teh dengannya.” Chad bergidik mengingatnya dan aku tahu bahwa
mereka adalah Bibi Major dan David Roowie.
“David seorang Gay.” Jelasku dan Chad menggerutu
kesal.
“Tetanggamu seorang gay?” tanya Donghae yang
kini berdiri di ujung konter dapur. Tangannya menggenggam cangkir oranye.
Aku menolak menjawab dan bersikap tak
mendengar komentar Donghae. “Aku akan mandi dan ganti baju.” Bisikku lalu
langsung melangkah masuk ke kamar mandi bersama kedua tasku.
Sebelum menutup pintu kamar mandi, aku
mendengar seseorang berkomentar, “pakaian dalamnya sangat menyedihkan.” Dengan setengah
kesal, aku membanting pintu kelewat keras, berharap kekesalanku akan berkurang.
***
Aroma shampoo dan sabun lavenderku begitu
menenangkan hingga rasanya aku bisa berpikir jernih di bawah siraman shower
milik Donghae. Aku berhasil memikirkan beberapa prioritas dalam permasalahan
yang sedang kuhadapi. Terutama yang berhubungan dengan keselamatanku dan apa
yang sebenarnya sedang terjadi. Siapa sebenarnya Johan dan Lee Donghae, juga kenapa
pria otoriter itu terus-terusan membatasi gerak-gerikku?
Aku merutuki ponselku yang sudah padam tak
bisa diselamatkan. Jadi permasalahanku sekarang adalah menemukan cara agar aku
bisa berkomunikasi dengan Johan. Aku masih yakin ada kesalahpahaman yang
terjadi antara Johan—Jason—dan Donghae. Mereka tak harus bertikai atau yang
lebih buruk, membunuh satu sama lain.
Ketika ketakutan tampaknya bergerak
terlalu jauh, aku mematikan shower dan mengeringkan tubuhku. Kemeja Donghae
yang besar namun nyaman itu segera kuletakkan di keranjang cucian dan aku
membongkar tasku untuk mencari baju yang ingin kukenakan.
Beberapa menit kemudian, aku keluar dengan
rambut tertutup handuk yang lembab. Kedua pria itu masih berbicara di sofa
berlengan dan mereka menatapku secara bersamaan. Wajah keduanya menunjukkan
keterkejutan. Namun Donghae yang sadar lebih dulu.
“Itukah yang bisa kau kenakan, Miss
Cardia?”
Aku menunduk menatap pakaian yang
kukenakan dan mengernyit bingung. Menurutku tak ada yang salah dengan bajuku. Aku
memakai sweater ungu muda yang besar dan legging
hitam panjang.
Donghae berjalan mendekatiku. Ia bersedekap
dan alisnya bertaut. “Ganti.” Perintahnya.
“Apakah kita akan pergi ke suatu tempat.” Tanyaku
cepat. Pria itu memiringkan kepalanya dan menatapku tajam.
“Jawab aku, Youva. Apakah semua pakaianmu
seperti ini?”
Aku mengejap beberapa kali dan
mengiyakannya. Detik berikutnya, ia langsung menoleh pada Chad yang kelihatan
sigap.
“Bawa seluruh pakaian dari Boutique terdekat serta pakaian dalam,
sepatu dan beberapa produk perawatan tubuh. Aku mau seluruh pakaian ‘itu’ minggat
dari apartemenku sekarang juga.”
Wajahku menghangat dan aku memandang pria
itu kesal. “Aku memakai apa yang ingin kupakai.” Kataku berkeras.
Lee Donghae berbalik menatapku dan
tatapannya tak bisa dibantah. “Apartemenku, peraturanku.”
“Baik, aku akan pergi kalau begitu.” Balasku
tak mau mengalah.
Kami bertatapan lama sekali dan berusaha
mengintimidasi satu sama lain. Karena Prioritas pertamaku adalah mencari tahu
apa yang sedang terjadi, maka aku tak boleh mengalah.
“Satu langkah dan kau akan menyesal karena
membantahku, Miss Cardia.”
Aku meninggikan wajahku—sebenarnya aku
ingin membuat agar tinggi kami sejajar, namun saat bibirnya persis di depan
mataku, otakku yang idiot langsung memberikan kilasan kejadian semalam dan batinku
bangun mendadak.
Itu
bibirnya!
Oh, sial.
“Aku tidak akan kemana-mana jika kau
menjelaskanku mengenai kejadian semalam, Lee Donghae.”
Bibir Donghae mengatup dan wajahnya
berang. Sisi kewarasanku menciut ketakutan di bawah tatapannya yang tajam.
“Tutup mulut saja, Youva.” Geram Donghae dan
kulihat sudut matanya menyipit.
Tubuhku mulai gemetaran tapi aku
memaksakan keberuntunganku. “Aku tidak akan tutup mulut sampai kau memberitahu
segalanya padaku!”
“Aku benar-benar ingin menutup bibir itu.”
geramnya lagi.
Dengan panik aku mundur beberapa langkah dan
saat itu juga Chad bangun dan melerai kami. Ia berdiri di depan Donghae dan
menahan pria itu sebelum ia menerjangku sebab wajahnya sudah mengeras.
“Sir, kupikir tidak bijaksana jika anda bertengkar
dengannya. Youva benar, setidaknya dia harus tahu beberapa hal. Bagaimanapun,
dia terlibat dengan semua ini.”
Perkataan Chad berhasil membuat Donghae menarik
napas panjang dan ia memejamkan mata. “Baik. Beritahu dia. Hanya beberapa hal
penting.” Setelahnya Donghae duduk di salah satu sofa sambil memandang ke luar,
ke arah matahari yang semakin meninggi. Bahunya masih mengejang kaku.
Chad kemudian menarikku untuk duduk dan ia
terlihat serius. “Apa yang ingin kau ketahui?”
“Semuanya.”
Ia mendesah dan menggeleng. “Bukankah kau
sudah dengar kalau Mr. Lee bilang kau hanya boleh tahu beberapa hal penting?”
“Baiklah, kalau begitu pertama-tama,
beritahu aku siapa itu Jason Andersen. Serta kenapa Johan dituduh sebagai Jason.”
Donghae mendengus dan aku mendengar ia menggumam,
“sudah kuduga, pasti pria itu.”
Chad terlihat gelisah. Ia berdeham
beberapa kali saat aku mengamatinya tak berkedip. “Begini,” ia memulai tetapi
langsung menarik napas panjang. “Johan Stavilosky itu tidak ada, Youva. Nama
asli pria itu adalah Jason Andersen. Tapi, sebelumnya aku ingin bertanya
padamu. Apa kau mengenalnya dengan baik, si Johan Stavilosky ini?”
Aku tertegun mendapat pertanyaan seperti
itu. “Tentu,” sergahku langsung.
“Kalau begitu, apa kau tahu dimana dia bekerja?”
“Aku tahu. Johan bilang dia bekerja di Hudson
Co.”
“Dan kau pernah melihatnya bekerja?”
Chad memandangku. Ia pasti menyadari kebingunganku.
“Ti..dak..” jawabku pelan.
“Tentu saja kau tidak pernah melihatnya
bekerja karena dia tidak pernah menjadi bagian dari Hudson Co. Johan—bukan,
Jason Andersen adalah putra angkat dari pasangan Robert dan Caroline Andersen,
pemilik Andersen Corporation. Dia diangkat anak pada saat umurnya tujuh tahun
dari panti asuhan setempat. Pasangan Andersen tidak punya anak jadi seluruh
orang berasumsi kalau mereka membutuhkan calon penerus. Tapi kemudian aku
berhasil mengetahui bahwa Jason dilatih untuk menjadi seorang pembunuh professional.”
Napasku menghilang begitu saja. Bukan
seperti itu. Johan bilang kalau kedua Ibunya adalah orang Jerman dan Ayahnya
orang Rusia. Itu sebabnya marganya adalah Stavilosky.
“Jason sangat jarang muncul di hadapan publik
dan Mr. Andersen menjaganya dengan ketat bahkan mengirimnya untuk berlatih
khusus. Tapi ketika aku bergabung dengan Mr. Lee, aku mengetahui beberapa fakta
penting yang tak kusadari saat Alex masih bersama dengannya di Camp—”
“Dengan Johan?” selaku tak sabar. Chad
mengangguk dan meneruskan ceritanya.
“Kau mungkin harus tahu kalau aku adalah
mantan anggota CIA sedangkan Alex adalah mantan anggota SAS (Special Air Service)—pasukan Elit khusus
Inggris. Alex adalah Coach (pelatih)
Divisi Teknik Penyerangan dan Pertahanan Diri di SAS. Dia juga pernah menjabat
sebagai Coach Ahli Tempur. Alex
berada di SAS selama tujuh tahun sebelum keluar dan bergabung dengan Mr. Lee. Tetapi
Jason juga pernah menempuh pendidikan di sana, menjadi murid Alex.”
SAS—pasukan khusus—Teknik Penyerangan—Ahli
Tempur—CIA. Itu semua membuatku bingung dan ingin muntah. “Tapi Johan baru saja
menyelesaikan pendidikan S2-nya!” seruku putus asa. Kembali kudengar Donghae
mendengus dan aku mengabaikannya lagi.
“Kau tahu kapan dia lahir?”
“21 Januari 1988.” Jawabku tanpa berpikir.
Di sebelah Chad, Donghae menaikkan alis kagum.
“Salah.” Ujar Chad tak kalah cepat. “Menurut
data dari Panti Asuhan Los Angeles, Jason Andersen lahir tanggal 21 November 1985.
Ia di tinggalkan di depan pintu dan dibesarkan tujuh tahun penuh di Panti
Asuhan. Begitu lulus dari McClean Private School, Jason langsung ditempa di SAS
selama empat tahun. Dia meninggalkan SAS pada umur 22 tahun, melanjutkan S1 di Unversity
of California dan baru melanjutkan S2 pada umur 27 jika dihitung berdasarkan tanggal
lahir aslinya.”
Chad membaca kesedihanku dan ia mendesah. “Inilah
kenyataannya, Youva. Robert Andersen tidak hanya memiliki perusahaan industri,
tetapi juga membuat sebuah organisasi gelap yang berusaha merebut kekayaan
seluruh pengusaha di Los Angeles yang biasanya pemilik saham tunggal dan saham
tak bergerak. Jadi, seringnya Robert memerintahkan Jason untuk mengamankan semua
pemilik saham itu dan melemparkan kesalahannya pada pihak lain. Mungkin kau
sudah menebak beberapa, seperti Anne J. Loombergh dan Claudia Thompson yang
baru saja tewas. Robert membuatnya seakan-akan Mr. Lee yang membunuh mereka.”
Mataku bergerak, memperhatikan Donghae
yang masih menatap cakrawala. Ekspresinya tak bisa ditebak dan ia tidak melihatku.
“Dan.. Jason yang membunuh mereka semua?”
“Tidak juga. Setelah penyelidikan yang
melelahkan, akhirnya kami berhasil menarik kesimpulan bahwa Robert menggunakan
Jason hanya untuk tugas khusus. Sebab bukan dia yang membunuh Anne. Tapi memang
benar bahwa dialah yang membunuh Claudia dua malam lalu.”
“Tugas khusus seperti apa maksudmu?”
“Aku belum bisa memastikan, tapi dugaan
terbaikku Cuma satu; Jason sangat pintar merayu wanita dan Robert memanfaatkan ketampanannya
untuk mendapatkan informasi penting dari wanita-wanita pemilik saham atau yang
belakangan sedang terjadi, informasi mengenai Mr. Lee Donghae.”
Dadaku seakan terhimpit beton dan
paru-paruku menciut. Aku tahu apa yang dimaksud Chad. Juga ketika Donghae
berdeham setelahnya. Rasanya udara menguar dari seluruh pori-pori tubuhku dan
meninggalkan rongga dadaku yang semakin sesak. Gumpalan air mulai menggenang di
sudut mataku tapi aku tak ingin menangis di depan mereka.
“Sebenarnya terjadi beberapa keganjilan. Kami
telah memastikan kalau Claudia sudah, err—kami amankan, tetapi entah kenapa Claudia
malah berubah di hari terakhir dia bertemu Mr. Lee. Wanita itu menuntut
beberapa penjelasan terperinci yang tak akan pernah ditanyakan seorang Claudia
Thompson. Jadi kami berasumsi kalau Jason-lah yang merayu Claudia agar mendapatkan
informasi yang Robert inginkan.”
Airmataku akhirnya lolos juga. Tapi sebisa
mungkin kutahan isakanku. “Akulah.. yang membunuh Claudia.”
Akhirnya Donghae menoleh padaku. Mulanya ia
memandangku tajam, tetapi saat melihat kedua mataku yang basah, tatapan Donghae
berubah lembut.
“Aku yang memberikan informasi tentang Claudia
pada Johan.. Aku menceritakan padanya kalau—kalau Claudia juga klien Lee
Donghae dan—aku—sama sekali tak sadar kalau Johan terus menerus bertanya tentang
hal itu. Kupikir—Oh, aku pikir dia Cuma merasa tertarik karena Claudia itu
menggelikan. Tapi tidak—Oh, aku benar-benar bodoh.” Racauku sambil menangis.
Bodoh sekali. Dipermainkan begitu saja
tanpa tahu bahwa akulah yang menggelikan.
Chad memberikan tisu padaku dan aku mengambilnya
dengan tangan gemetaran. Ia menunggu setelah aku sedikit tenang dan bertanya
padaku. “Jadi, bisakah kau memberitahu kami apa saja yang tepatnya kau katakan pada
Jason?”
“Oh.” Ucapku tersadar dan aku segera
diliputi kepanikan. Aku mulai bercerita pada Chad dengan perasaan takut kalau informasi
yang kuberikan pada Johan akan membawa Donghae dalam kesulitan. Tapi kulihat
Donghae beranjak dari sofanya dan pergi meninggalkan kami saat aku masih
bercerita. Aku dirundung perasaan bersalah dan separuh kesadaranku memberontak
untuk mengejar pria itu.
“Cuma itu?” tanya Chad. Aku mengangguk. Takut
menanti vonis yang akan diberikan olehnya. Tapi Donghae kembali membawa
secangkir cokelat hangat untukku. Aku menatapnya terkejut dan ia duduk di
sebelahku.
“Kupikir tidak ada yang harus di cemaskan
untuk sementara,” ujar Donghae. Ia menyesap minumannya sejenak.
“Aku pikir juga begitu, Sir.” Chad
menimpalinya. “Kau hanya melihat dua resume itu saja?” ia bertanya padaku
sekarang.
Lagi, aku mengangguk cepat dan kedua pria
itu mendesah lega. “Untung saja kalau begitu.”
“Kenapa?” tanyaku tanpa bisa kucegah. Tetapi
bukan jawaban, mereka memberiku tatapan penuh arti.
“Kau sudah mendapatkan jawabanmu tentang Jason
Andersen, bukan?” kata Chad.
“Benar, tapi aku masih ingin tahu kenapa
kau bilang aku terlibat dengan semua ini.” Jawabku setelah mengerti tatapan
Chad yang penuh arti.
Ia mengangguk dan di sebelahku Donghae mendadak
bungkam. “Karena kalau kau melihat resume ketiga, kau pasti akan lebih terkejut,
Youva. Resume itu berisi tentang dirimu.”
Jawaban Chad membuatku terdiam. Aku
menunggunya berkata “Bohong!” atau paling tidak cengiran lebarnya. Tapi aku malah
mendapatkan tatapan lagi.
“Bukankah aku pernah berjanji padamu kalau
aku akan menemukan ayah kandungmu?” Donghae menatapku lembut. Tapi entah kenapa
bulu kudukku meremang. “Maafkan aku, tapi aku sudah mengetahui jauh sebelumnya
kalau kau adalah putri tunggal Arthur Carlos, pemilik Carlos Foundation yang
memiliki seratus cabang di semenanjung Amerika.”
Airmataku masih menggenang tapi aku tak
bisa menahan euforia untuk tertawa mendengar penjelasan Donghae. “Oke, berhenti
bercanda. Benar-benar lucu.” Ujarku separuh kesal karena mereka malah
mempermainkanku seperti ini.
Baik Donghae dan Chad sama-sama
melemparkan tatapan aku-serius padaku
dan dengan cepat wajahku memucat. “Enggak—kalian salah orang. Aku bukan putri Arthur
Carlos. Pria itu terlalu kaya, terlalu hebat dan—dan terlalu mustahil untuk
menjadi ayahku, oke? Jadi kalian pasti
salah orang.”
Donghae menghela napas dan ia memijat
pelipisnya. Tapi Chad yang menjawabku. “Kami tidak salah orang, Youva. Malah
sebenarnya Sir Arthur yang meminta kami untuk—eh, menjagamu. Kami tidak bisa
memberitahumu karena ini sangat rahasia. jadi—”
“Tidak mungkin.” Sergahku keras kepala. “Begini,
kalau dia memang ayahku, bisakah kalian jelaskan kenapa dia tidak pernah mau menemuiku? Atau setidaknya aku tidak
akan hidup di flat kumuh sementara ayahku seorang milyarder, kan?”
Chad menarik napas dan berusaha bersabar. Tetapi
Donghae benar, kesabarannya hanya seujung kuku hingga pria itu lebih dulu menjawabku
sebelum Chad mampu membuka mulut. “Kau pikir semua itu kebetulan? Beasiswa ke Los
Angeles? Tunjangan bulanan pemerintah? Flat murah? Pekerjaanmu sebagai sekretarisku? Itu semua sudah di atur, Youva. Arthur Carlos
yang mengaturnya untukmu.”
Bibirku membuka, membiarkan atom-atom oksigen
masuk ke mengisi paru-paruku dan bergerak naik menuju otak karena otakku
rasanya berhenti berjalan. Tidak mungkin. Semua itu bukan kebetulan? Maksudku………
entahlah, aku tidak bisa berpikir.
“Sebenarnya, Youva, Mr. Carlos sudah
menjadi target Robert sejak lama. Tapi Mr. Carlos sudah melimpahkan seluruh
kekayaannya pada keturunannya. Sementara tak ada satu orangpun yang mengetahui siapa
dan dimana keturunan Arthur Carlos. Awalnya kami mengira ia punya beberapa anak
dan membagi saham serta kekayaannya, tapi belum lama Arthur mendatangi kami dan
menjelaskan semuanya.”
Penjelasan Chad membuat otakku dua kali
lebih macet. Tapi aku berjuang. “Termasuk tentang kenapa dia tak pernah
mengunjungiku selama dua puluh enam tahun?” suaraku terdengar lirih. Dan aku
melihat Donghae mengernyit.
“Sadarkah kau kalau dia mengunjungimu maka
target Robert akan berubah arah padamu? Kau harus bersyukur karena hingga saat
ini pihak Robert masih belum mengetahui apapun tentang dirimu. Dan bisakah kau
bayangkan apa yang akan dipikirkan orang-orang jika Arthur mengirimi seorang
gadis Asia sejumlah uang untuk menyewa apartemen mewah? Atau memberimu
fasilitas-fasilitas kelas satu tanpa menimbulkan berita? Dia menyelamatkanmu
dalam banyak hal, Youva. Dan jika kau belum yakin juga, kau harus tahu kalau nama
Cardia adalah kependekan dari Carlos dan Diana. Kau boleh menelpon Ibumu untuk
memastikan kalau ia dulu bernama Noraiva Diana.”
Nafasku tercekat. Aku menatap Donghae dan
Chad yang juga menatapku dengan pandangan serius. Mereka membiarkanku terpaku tak
bersuara, membuatku semakin kelimpungan menerima semua kenyataan dalam satu
waktu.
“Aku.. ingin bertemu dengannya.” Kataku
dengan suara parau. “Aku tetap tidak percaya sampai aku melihatnya sendiri.”
Chad melirik Donghae gugup. Tetapi bosku
malah menatapku lurus-lurus. “Ada batasan-batasan yang harus kau pahami saat
ini, Youva. Arthur di bawah pengawasan dua belah pihak dan aku yakin kejadian
semalam membuat Jason semakin curiga. Untuk saat ini kau tidak boleh melakukan
apapun yang menimbulkan perspektif baru bagi mereka.”
Hatiku sedikit ciut, memikirkan bahwa
hidupku ternyata sedang dipermainkan. Aku merasa bodoh, berjalan ke sana
kemari, melewati setiap hari tanpa pernah tahu bahwa hidupku ternyata telah di
atur oleh orang-orang di atasku. Aku ingin marah, tapi aku tidak tahu kepada
siapa aku harus melemparkan kemarahan ini. Aku takut, dan aku tidak tahu siapa
yang bisa kupercayai.
“Apakah aku bisa mempercayaimu? Bahwa kau
tidak sedang berbohong padaku?” Aku menatap Donghae getir. Berusaha mencari
tahu kebenaran yang muncul di wajahnya.
Tetapi Donghae segera memasang wajah datar
dan menjawab dengan dingin. “Aku tidak punya kepentingan untuk berbohong
padamu, Youva.”
“Tapi.. aku ingin mengetahui satu hal
lagi.” Bisikku pada Chad, tak berani berkata pada Donghae meskipun ia yang selanjutnya
bertanya.
“Apa?”
“Siapa sebenarnya.. Lee Donghae?”
Senyum Donghae merekah dan ia mendengus geli.
Chad sepertinya tampak lega. Ia bahkan mendesah terang-terangan di depanku. Dan
aku yakin ada hal lain yang mereka tutupi dariku.
“Aku, Lee Donghae, adalah bosmu, Youva
Cardia. CEO PHOENIX Corporation, perusahaan Ekspor-Impor paling berpengaruh di
Los Angeles. Apa informasi yang baru kau terima membuatmu amnesia?” sindirnya langsung.
“Bukan itu,” jawabku. Aku memberanikan
diri menatap Donghae dengan wajah cemberut. “Maksudku, anda—apa yang anda
kerjakan selain menjadi CEO?”
“Apa kau tidak mencari informasi terlebih
dulu sebelum memutuskan untuk bekerja denganku?”
“Tentu saja aku sudah mencarinya. Tapi,
beberapa kejadian membuatku semakin curiga. Informasi yang kuperoleh dari
Internet menambah rasa curigaku—”
“Seperti apa, misalnya?”
Aku menelan ludah. “Anda.. melakukan pekerjaan
illegal.”
Dari sudut mata, kulihat Chad mulai gugup.
Ia menggaruk lehernya dengan tidak nyaman dan menginterupsi Donghae. “Bukan pekerjaan
illegal, Youva. Tetapi—err.. sesuatu yang bersifat rahasia.”
“Rahasia? Jadi maksudmu membunuh
orang-orang tidak termasuk illegal?”
Wajah Donghae mengeras dan aku tahu aku
sudah salah bicara. Pertanyaanku terkesan menuduhnya. Ia terlihat tidak senang.
“Aku tidak membunuh orang-orang, Youva. Kuharap kau bisa mengingat percakapan
penting yang baru sepuluh menit yang lalu kukatakan bahwa Robert yang membunuh semua
wanita-wanita itu. Bukan aku.”
“Jadi, bisakah anda menjelaskanku kenapa anda
mempekerjakan mantan agen CIA dan pasukan khusus? Kenapa wanita-wanita itu
harus mati setelah dua belas jam bertemu dengan anda? Kenapa Jennifer meminta
anda untuk melindunginya? dan—”
“Miss Cardia, tarik napas.” Sela Donghae
dan aku menurutinya. Napasku terengah, setelah bertanya tanpa jeda seperti itu.
“Aku tidak bisa menjelaskan semuanya padamu, sebab kau sama sekali
tidak punya kepentingan untuk mengetahui hal-hal seperti itu. Prioritas kami
adalah melindungimu, bukan memberimu seluruh informasi. Aku tidak ingin kau
bisa menyalahgunakan semua informasi yang kuberikan.”
“Memberitahu Johan, maksudmu? Lucu sekali.”
Ujarku marah. “Beritahu aku, Lee Donghae, dan akan kuputuskan aku bisa
memercayaimu atau tidak.”
Keheningan yang menyusul perkataanku terpecah
ketika kudengar Donghae tertawa keras sambil menggeleng pelan. “Kau benar-benar
wanita paling keras kepala yang pernah kutemui, Miss Cardia.”
“Terima kasih, Sir. Anda membuatku
tersanjung.” Jawabku tanpa emosi.
Ia menatapku dengan bola mata berkilat
takjub. Aku melihat sudut bibirnya mencoba menahan senyum dan setelahnya ia
mendesah. “Baik,” ujar Donghae. “Aku memang memiliki pekerjaan lain selain
menjadi CEO dan pemegang saham beberapa perusahaan, tapi itu bukan pekerjaan illegal,
Miss Cardia. Aku mempekerjakan Chad dan Alex karena alasan keamanan. Jennifer meminta
perlindunganku karena dia merasa tidak aman dengan segala harta yang
dimilikinya.”
“Oke, kalau begitu, seandainya kau memang mengatakan
Jennifer meminta perlindunganmu karena dia merasa tidak aman, apa yang kalian
lakukan hanya mengawalnya sepanjang hari?”
“Kira-kira seperti itu.” Jawab Donghae
mengangkat bahu. “Tapi kami juga mencari solusinya. Akan lebih praktis jika
menyingkirkan apapun yang membuat Jennifer takut.”
“Jadi itu yang akan kalian lakukan padaku?”
“Benar.” Jawab Donghae tegas.
“Dan kalian anda menyingkirkan Johan?”
Chad berdeham. Tampak gelisah dengan pertanyaan
langsung yang kuutarakan.
“Tidak secara harfiah, tapi kami akan
mencoba untuk membungkamnya lebih dulu.”
“Tapi aku melihat di resume itu, anda akan membunuh Johan jika dia melawan.” Suaraku
bergetar saat mengucapkannya dan Donghae merasa tak nyaman dengan bagaimana
caraku mengatakannya. Aku tahu aku idiot, tapi tetap saja aku tak bisa
membayangkan tubuh Johan yang tergeletak tak bernyawa.
“Kau membuatnya terdengar seolah-olah aku
adalah maniak gila yang membunuh demi kesenangan.” Tuduhan Donghae yang
eksplisit membuatku tersadar dan menundukkan pandangan ke lantai.
“Anda—anda bilang padanya semalam bahwa ‘ini
semua belum selesai’, apalagi yang harus kuasumsikan kalau begitu? Apakah anda sebelumnya
memiliki masalah dengan Johan?”
Aku tidak tahu apa yang sudah memancing kemarahan
Donghae begitu hebat karena setelahnya ia mendadak bangkit dan wajahnya
kelihatan murka. “Bagaimana kalau kau tutup mulut saja, Youva? Aku benar-benar tidak
ingin mendengar pertanyaan-pertanyaan sinting itu lagi.” Donghae berjalan dan
membanting cangkirnya ke bak cuci piring. Ia kemudian masuk ke kamarnya dengan
marah, membuatku diliputi kecemasan.
“Kau sudah menyinggung topik sensitif,
Youva.” Ujar Chad mendesah. Aku menatap bingung padanya. Dan ia memberiku tisu.
Aku tidak menyadari kalau airmataku turun
begitu saja, tanpa bisa kucegah. Dan aku memutuskan untuk menangis. Chad
bergeser ke sebelahku dan ia meminjamkan lengannya ketika aku membiarkan seluruh
kesedihanku berubah menjadi airmata.
“Aku takut, Chad.” Bisikku sambil terisak.
“Kenapa harus aku? Maksudku, aku tidak ingin percaya semua ini. Johan adalah
pacarku, sahabatku. Dia bukan pembunuh dan—aku tidak bisa memikirkan apapun
yang masuk akal. Semuanya membuatku ketakutan—”
“Istirahatlah, Youva. Tenangkan dirimu.” Chad
menepuk pundakku. “Yang harus kau ingat adalah, Mr. Lee benar-benar akan
melindungimu.”
“Bisakah—bisakah kalian tidak membunuhnya?
Please?”
Chad menatapku getir. Ia menyisir
rambutnya gugup. “Itulah rencananya, tapi kami tidak punya pilihan lain kalau
ia melawan, Youva.”
Dan tangisanku berubah semakin keras.
***
Aku.. putri Arthur Carlos?
Berulang kali aku memikirkannya, tetap
saja informasi ini lebih tidak masuk akal dibanding fakta bahwa Johan yang ternyata adalah Jason Andersen. Aku
baru saja menelpon Ibu—dengan ponsel Chad karena aku tidak berani meminjam
ponsel Donghae—dan setelah dipaksa, Ibu akhirnya mengaku kalau nama gadisnya
adalah Noraiva Diana. Tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk mengatakan
apapun tentang Arthur Carlos. Bagaimanapun aku tidak ingin membuat Ibu
bersedih.
Laptop di depanku masih menyala, mencoba
memberitahuku beberapa fakta penting mengenai Arthur Carlos melalui bantuan
Google. Tapi sama sekali tidak ada informasi spesifik mengenai dirinya. Penjelasan
yang ada hanya berkisar tentang Carlos Foundation, berapa banyak cabang di
seluruh Benua Amerika dan rencana-rencana mengenai ekspansi ke Eropa dan Asia.
Tapi aku berhasil menemukan sebuah berita
yang menyebutkan bahwa Arthur Carlos pernah menikah dua puluh tujuh tahun yang
lalu namun pernikahannya dilakukan secara sembunyi dan sama sekali tidak ada kabar
lebih jauh mengenai istrinya. Dan hingga sekarang Carlos tidak pernah terlihat
berjalan bersama istrinya, atau apakah mereka sudah bercerai atau belum, tak ada
yang tahu persis. Arthur menyembunyikan semuanya.
Wajah Arthur Carlos yang tersenyum sengaja
kuperbesar, membuatku mengamati Ayahku
lebih lama. Ia memiliki bola mata hitam dengan rambut yang juga berwarna hitam,
dan kulitnya putih bersih. Dalam hati aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin
pria itu adalah ayahku? Bahkan wajahku sama sekali tidak mirip dengannya. Oke,
memang aku lebih mirip Ibu dalam banyak hal. Tapi masa aku tidak mewarisi kulit
putih pria itu?
Sebuah notifikasi muncul di ujung layar, tanda
dari SNS yang baru saja ku log in.
Aku melihat nama Johan di layar dan jantungku menggila.
Johan_SV:
Hei, kabar baik?
Jariku gemetar saat mengetik balasan.
Youva_C:
Baik. Kau?
Johan_SV:
enggak :(
aku merindukanmu.
Kepalaku berputar kebingungan. Pria itu
masih mengatakan kalau ia merindukanku? Ada jutaan pertanyaan yang ingin
kutanyakan padanya, tapi setelah mengetik dan menghapus selama beberapa menit,
akhirnya kuputuskan untuk berpura-pura tidak tahu apapun.
Youva_C:
Aku juga merindukanmu.
Johan_SV: :) :)
Btw, Kau dimana?
Youva_C:
di kantor, bekerja seperti biasa.
Aku berbohong. Dan hatiku merasa bersalah.
Tapi aku tidak ingin Johan curiga padaku.
Johan_SV:
Kalau begitu bisakah kau menemuiku di jam makan siang? Ada sesuatu yang ingin kukatakan
padamu.
Jari-jariku mengambang di atas keyboard. Sesuatu
yang ingin ia katakan padaku? Apakah itu mengenai jati dirinya? Atau kenapa ia
menyembunyikan segalanya? Aku nyaris mengatakan tidak, tapi segera kuhapus jawabanku
dan mengubahnya:
Youva_C:
Oke, kita bertemu di tempat biasa pukul dua.
Johan_SV:
See ya!
Buru-buru kututup laptopku dan melirik
gusar ke arah jam. Pukul dua belas tepat. Aku punya dua jam penuh untuk mencari
cara agar kabur dari tempat ini tanpa diketahui Donghae. Tindakanku kelewat
nekat, tapi aku harus mencari tahu dengan mata kepalaku sendiri. Apakah Lee
Donghae atau Johan Stavilosky yang bisa kupercayai.
***
“Kau tidak akan pergi kemana-mana.”
“Tapi aku harus! Bukankah kemarin Johny Verto sudah berulang kali menekankan bahwa
laporan itu harus di kirim hari ini juga?”
Donghae bersedekap. Matanya menyipit kesal
dan bibirnya mengatup. “Biar Craig Dale yang mengantarnya.”
“Johny Verto yang memintaku untuk memberikannya
secara langsung, Sir.” Aku berusaha terdengar bersungguh-sungguh dengan perkataanku,
tak mengedipkan mataku atau bahkan menggigit bibir. Hingga akhirnya Donghae
menyerah.
“Baik. Tapi Chad akan pergi bersamamu.”
“Tentu,” jawabku mengangkat bahu.
Aku berjalan kembali ke kamar tamu dan
duduk di depan cermin. ‘Bagus’, bisikku
dalam hati. ‘Kau hanya perlu mengantar salinan
laporan itu lalu menyelinap untuk bisa keluar. Bagus.’
Kuingat kembali seluruh ide sinting yang
berkelebat di kepalaku. Kesempatanku kecil untuk bisa lolos dengan Chad yang
mengikutiku. Tapi setidaknya masih lebih baik dibanding jika Donghae yang
memutuskan untuk ikut serta.
Pukul setengah satu, aku dan Chad
meninggalkan pelataran parkir gedung Apartemen dengan mata Donghae mengekoriku.
Aku mengabaikan tatapannya yang mengintimidasi dan berlalu tanpa mengucapkan
apapun.
Chad mengantarku ke kantor untuk mengambil
laporan yang kutinggalkan di meja kerja dan tepat pukul satu kami tiba di gedung
John-Well Ltd. Chad ikut turun bersamaku. Ia juga mengenakan mantel hitam
panjang dan kacamata hitam. Terlihat seperti bodyguard di sampingku.
“Bisakah kau melepas kacamata itu? Kita di
dalam gedung, Chad.” Aku berbisik padanya di bawah tatapan orang-orang yang
penasaran.
“Tidak bisa, maaf. Ini perintah.” Jawab
Chad tanpa keraguan, tidak mengindahkan rasa maluku.
Johny Verto ternyata menyambut
kedatanganku dengan ramah, berbanding terbalik dengan sikapnya kemarin, saat ia
melemparkan kalimat-kalimat sinis di tengah ruang rapat. Pria tua itu
menawariku black tea dan mengajakku
mengobrol ringan. Aku menjawab sebisaku, meski berulang kali melirik cemas ke
arah jam.
“Ada yang membuatmu gelisah, Miss Cardia? Kau
terus melihat jam.”
“Oh. Tidak, Sir. Hanya saja.. aku memiliki
janji pukul dua.” Jawabku pelan, takut kedengaran Chad yang menunggu di luar.
Johny Verto mengangkat alisnya tinggi. “Oh,
maafkan aku karena telah menahanmu begitu lama. Kau pasti memiliki janji lain, tentu.”
“Maafkan aku, Sir. Kuharap anda tidak
keberatan.”
“Tidak, tentu tidak. Aku lah yang harus
minta maaf. Senang berbincang denganmu, Miss Cardia. Kuharap kau akan sering
mampir.” Ujar Johny Verto tersenyum dan aku membalasnya.
“Aku juga, Sir. Kuharap anda terus bekerja
sama dengan PHOENIX.” Kataku lalu menjabat tangannya.
Sudah pukul dua kurang lima belas menit. Dengan
Chad terus mengekor di sampingku, aku tidak bakal bisa kemanapun. Jadi pada
saat kami tiba di lantai dasar, aku mengatakan padanya kalau aku akan ke toilet
sebentar. Ia ingin mengantarku tapi aku melotot garang padanya dan memintanya
untuk menunggu di mobil. Aku beruntung. Chad menurutiku dan berpesan agar aku tidak
terlalu lama.
Ketika aku melihatnya menghilang ke arah
parkiran, kugunakan kesempatan itu untuk bertanya pada seorang penjaga. Ia
menunjukkan arah ke pintu darurat, pintu belakang yang biasanya hanya di
gunakan petugas kebersihan dan membiarkanku melewatinya ketika kubilang aku harus
ke Rosemore dalam waktu lima menit.
Kuberikan penjaga itu tip dan mengucapkan terima
kasih. Ia melambai padaku lalu menutup pintu darurat itu. Dan aku menyusuri petak-petak
kecil jalan yang di apit dinding gedung yang bersebelahan dengan John-Well
dalam ketergesaan.
Aku tiba di Summer Means Everything Café lima belas menit kemudian, membayar
ongkos taksi lalu mencari Johan di antara pengunjung kafe. Tidak susah
sebenarnya, sebab ia selalu duduk di tempat yang sama. Hanya saja kali ini ia
mengenakan kacamata hitam. Rambutnya tertiup angin dan ia kelihatan sangat
tampan dengan kemeja hitam yang membalut tubuh atletisnya.
Johan memberiku senyuman lebar saat
melihatku duduk di hadapannya. “Aku senang kau baik-baik saja.” Ia melepaskan kacamatanya,
meletakkannya di atas meja dengan perlahan.
Setelah tersenyum kecil, aku bertanya padanya.
“Kau baru dari kantormu?”
“Yep. Kau?”
Aku mengangguk cepat. “Bolehkah aku datang
ke kantormu? Aku ingin seperti apa ruanganmu bekerja.”
Johan menatapku selama sepersekian detik. Ada
guratan keterkejutan di sana, saat aku membalas tatapannya. “Pesanlah sesuatu,
Youva. Kau harus makan.”
“Aku tidak lapar.” Kilahku berusaha tetap
wajar. Tapi dengan cepat Johan menangkap kebohongan yang kusembunyikan.
“Apa yang terjadi semalam? Setelah bosmu
membawamu begitu saja?”
“Tidak ada.” Dustaku lancar. Aku mengalihkan
pandanganku ke sudut meja.
“Youva, jangan berbohong. Aku tahu kau—”
“Enggak.” Selaku cepat. “Kau tidak sedang
menginterogasiku, Johan. Kau bilang ada sesuatu yang harus kau katakan, bukan?”
Johan memiringkan kepalanya. Ia mengernyit
padaku. “Benar,” jawabnya setelah bungkam beberapa saat.
“Jadi, cepat katakan.” Ujarku datar.
“Well,
aku serius dengan perkataanku semalam, Youva. Berhentilah bekerja dengan Lee
Donghae dan kembali padaku.”
Aku menatapnya dalam hitungan mili detik. Menemukan
kedua bola matanya yang menghujamku lurus. Napasku sedikit terengah, dengan seluruh
perkataan Donghae dan Chad di kepalaku, aku nyaris meledak karena hampir gila. “Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu, Youva Cardia. Aku
tidak ingin kau bersama Lee Donghae.”
Airmata sudah menggenang di sudut mataku,
tapi aku berjuang begitu keras untuk menahannya. Sangat menyakitkan mendengarnya
mengatakan bahwa ia mencintaiku padahal yang ia inginkan adalah nyawaku.
“Tapi kenapa kau berbohong, Johan? Atau sekarang
aku harus memanggilmu Jason Andersen?” bisikku dengan suara bergetar.
Wajah Johan mengeras. Aku melihat matanya
memandangku dingin. Jari-jari Johan mengetuk meja dengan cepat sementara air mukanya
berubah kasar. Aku menggigil. Angin bertiup kencang melewati kami dan rambutku berterbangan
tapi aku tak bergerak, menanti jawaban Johan dengan jantung berdegup kencang.
“Maafkan aku, Youva. Kau tidak memberiku
pilihan.” Ujarnya datar dan hanya satu detik, baru satu detik berlalu saat
kudengar peluru berdesing di telingaku.
Mataku tak menangkap apapun, tetapi rasa
panas di pipi kiriku membuatku tak bisa menarik napas. Dan semuanya berjalan dengan
lambat.
Detik selanjutnya aku melihat Johan
mengernyit menatapku, tapi matanya langsung melebar. Dan tiba-tiba saja tubuhku
yang masih terpaku di tarik paksa dari belakang lalu di hentakkan dengan kasar
ke lantai. Aku tak bisa bersuara karena otakku tak lagi berfungsi dengan baik. Aku
disorientasi. Hanya mataku yang menangkap semuanya. Dan keributan yang pecah di
sekeliling kami lah yang menyadarkanku.
Johan melompat ke belakang dan ia mengeluarkan
sesuatu di sakunya—sebuah pistol laras pendek. Ia mengarahkannya pada seseorang
yang kini berdiri di depanku—sementara aku masih terbaring di lantai kafe dengan
tubuh gemetaran.
Lee Donghae dengan pistol di tangannya. Mengarah
tepat pada Johan yang juga mengacungkan pistol padanya.
Napasku memburu dengan cepat. Aku ingin
mengatakan sesuatu tetapi kepanikan mengalahkan segalanya. Kemudian aku
mendengar Donghae berkata dengan nada berbahaya.
“Letakkan senjatamu, Jason.”
Johan tidak bergerak. Tangannya masih menggenggam
erat senjata itu.
“Kau tidak bisa kabur. Letakkan senjata
itu. Aku tidak ingin ada yang terluka.” Ulang Donghae lagi.
Johan menarik sudut bibirnya ke atas—membentuk
sebuah seringaian licik dan ia menatapku. “Tidak ada yang terluka. Kecuali
Youva. Benar, kan?”
Aku tersentak dan rasa sakit di pipiku muncul
lagi. Tanganku meraba permukaan wajahku dan jantungku meloncat keluar ketika aku
menemukan darah di sana. Aku melihat Donghae yang memandangku terkejut dan baru
akan menoleh pada Johan tapi tak berhasil sebab pria itu telah menerjang meja
di depannya ke arah Donghae.
Tubuhku meringkuk secara refleks—saat meja
itu melayang di udara, kurasakan tubuh seseorang melindungiku dari hantaman
meja itu dengan cepat. Aku mendengar napas berderu di telingaku dan kusadari seseorang
yang meringkuk di atasku adalah Lee Donghae.
“Sial.” Umpat pria itu di telingaku dan ia
langsung bangkit ketika Johan berlari ke dalam kafe, menghilang dalam waktu singkat.
Aku masih meringkuk, dengan darah di wajah
dan tubuh gemetaran. Mulutku terasa pahit. Otakku buntu. Segalanya membuatku kesulitan
bernapas.
“Miss Cardia, kau bisa bangun?” suara
Donghae terdengar panik. Ia membalikkan tubuhku yang masih bergidik ketakutan
lalu berkata dengan jarinya menempel di telinga. “Perintahkan tim Alfa untuk menyapu
bersih kawasan ini. Dan aku butuh tim medis dalam tiga menit.”
“Anda—Johan—” gagapku panik. Aku melihat
ke sekitarku dan mendapati orang-orang berkerumun penasaran.
“Jangan bergerak, Miss Cardia,” perintah Donghae.
Ia menahan tubuhku yang menggeliat.
Aku menatap pria itu—yang lengannya kini
di leherku—dan sebuah perasaan aneh menjalar ke seluruh tubuh saat melihatnya begitu
khawatir. “Johan.. ingin membunuhku..” bisikku tanpa sadar.
Donghae menghela napas frustasi. Ia mengejap
beberapa kali dan baru akan mengatakan sesuatu ketika beberapa orang berlari ke
arah kami. “Cepat.” Ujarnya pada orang-orang itu.
Tiga orang laki-laki berpakaian putih mengelilingi
kami dan aku bahkan tak sempat mengatakan apapun pada Donghae saat sebuah tusukan
tajam di lenganku mengambil alih seluruh kesadaranku.
“Tidurlah,
Miss Cardia. Kau akan aman.”
Dan berikutnya aku melihat kegelapan tak
berujung.
***
Saat aku membuka mata yang bisa kulihat
adalah warna putih. Tetapi warna itu membuatku ketakutan. Aku menyukai warna putih,
namun entah mengapa kali ini warna itu seakan mengintimidasiku. Mengirimku pada
sebuah firasat aneh dan aku memutuskan untuk kembali memejamkan mata.
Kudengar suara langkah kaki berjalan mendekatiku
tapi aku tidak ingin bertemu dengan siapapun sekarang. Aku ingin menyendiri. Aku
juga tidak ingin berbicara saat ini. Kesedihan telah mengambil alih seluruh emosiku
yang tersisa. Tapi saat kudengar suara itu, entah kenapa tubuhku menjadi lega. Seluruh
sarafku bergetar di bawah sentuhannya.
“Kau sudah bangun, Youva?”
Aku mengangguk. Butiran airmata jatuh dan
langsung menghilang melewati sudut pipiku. Kedua mataku masih terpejam. Dan
kurasakan pria itu mengusap airmataku yang masih menetes.
“Jangan khawatir, kau aman sekarang.” Bisiknya
merdu, mencoba meyakinkanku. Yang aneh adalah aku langsung mempercayainya. Aku benar-benar
merasa aman berada di dekatnya meski aku tak bisa menjelaskan mengapa.
“Kenapa kau menangis? Apakah pipimu masih
terasa sakit?”
Aku mengejapkan mata. Bulu mataku basah
karena airmataku yang belum berhenti. Tapi jantungku rasanya kehilangan kekuatannya
sebab begitu aku membuka mata, kutemukan sepasang bola mata cokelat teduh yang
memandangku lembut. Aku menarik napas, namun yang kulakukan malah membuat seluruh
indra penciumanku di penuhi aromanya. Begitu menggoda hingga rasanya aku
melupakan kesedihanku untuk sejenak.
“Sir,” gumamku terpesona. Wajah Lee
Donghae masih terlihat seperti malaikat. Ia tersenyum padaku dan aku tak bisa
merasakan apapun yang lebih hebat daripada itu.
“Ya, Miss Cardia? Ada yang ingin kau
sampaikan?” tanyanya manis sekali. Saat kedua matanya menatapku dalam, pusaran
kegilaan aneh membawaku pada sebuah hasrat sinting untuk menyentuhnya. Tapi kesadaranku
muncul dengan cepat.
“Kita di mana?”
Donghae memberiku senyumannya dan aku menahan
napas. “Di kamarku, Miss Cardia.”
Aku tersentak dan menatap ke sekeliling. Wajahku
memerah dengan cepat saat kusadari kebenaran dari perkataan Donghae. Ini sebuah
kamar. Dengan warna putih yang mendominasi seluruh ruangan, ventilasi berupa petak-petak
kecil di bawah atap, berderetan hingga membentuk satu garis panjang. Sebuah balkon
berukuran tiga pintu di sekat dengan pintu kaca yang bisa di geser. Balkonnya
menghadap ke barat, ke arah matahari terbenam yang mulai menjejakkan kaki di
ujung cakrawala. Dan selebihnya tak ada apapun selain berbagai macam kaca yang terpajang
di dinding kamar. Bahkan juga tidak ada lemari. Hanya ada ranjang yang sedang
kutiduri.
“Kenapa kita ada di kamar anda, Sir?”
tanyaku parau. Aku merutuki kebodohanku yang tampak jelas.
Kudengar Donghae mendengus geli. Ia menatapku
miring dengan senyum yang masih terukir jelas. “Kau lebih suka kita di kamarmu?”
ia balas bertanya, namun pertanyaannya membuat wajahku semakin merah padam.
“Bukan begitu,” sanggahku kikuk. Aku
menggeliat bangun dan Donghae membantuku untuk duduk. Ia memandangku
lekat-lekat tapi aku memilih menatap selimutnya.
“Kau kelihatan cantik kalau wajahmu memerah
seperti itu.” ujarnya menguji pertahanan diriku. Aku memberengut menatap
selimut dan ia tertawa. “Maaf, aku tidak bisa menahan diri untuk menggodamu.”
Aku merasa bodoh sekali. Jelas-jelas bosku
yang rupawan sedang menggodaku dan wajahku kontan memerah tanpa aba-aba. Aku
tidak ikut tertawa, membiarkan kekesalanku terlihat jelas. Donghae menyadari perbuatanku
dan tiba-tiba ia ikut duduk di sebelahku.
“Dengarkan aku, Miss Cardia,” katanya berubah
serius. Aku mendongak perlahan, menemukan matanya yang memandangku tajam. “Aku
tidak ingin melihatmu melakukan tindakan bodoh seperti tadi. Mulai detik ini
seluruh tindakanmu akan diawasi ketat dan seluruh gerakanmu akan dipantau
dengan cermat. Tak ada panggilan keluar, tak ada komunikasi melalui internet,
ataupun janji temu tanpa seizinku. Dan aku harus menekankan kalau kau
benar-benar dalam bahaya, Miss Cardia. Informanku
menyebutkan bahwa pihak Robert sedang mencurigai dirimu terlibat dalam kekacauan
ini karena Jason Andersen sudah membuktikan bahwa kau berada dalam
perlindunganku. Tapi aku tidak bisa memastikan apakah mereka mengetahui kalau
kau adalah putri Arthur.”
Penjelasan Donghae membungkamku dalam
sekejap. Kilasan kejadian di kafe itu berkelebat dalam kepalaku. Rasanya bagai
mimpi—aku nyaris menganggap semuanya mimpi kalau saja tanganku tak merasakan
plaster sepanjang dua sentimeter menutupi luka di pipiku yang terluka. Lukanya
bahkan tidak lagi terasa sakit, tetapi dadaku nyeri. Aku benci mengakuinya. Bahwa
Johan Stavilosky ternyata sedang mencoba
membunuhku.
“Kenapa anda bisa ada disana?” tanyaku setelah
beberapa saat terdiam.
“Aku melacakmu. Butuh selusin analis untuk
menemukanmu dalam waktu lima belas menit. Orang-orangku bahkan harus melacakmu melalui
satelit militer Amerika.”
Aku menatapnya tak percaya. Dan Donghae
melanjutkan perkataannya. “Kau beruntung aku tiba tepat waktu. Karena
kalau tidak..”
“Johan akan membunuhku.” Sambungku getir. Aku
mengusap pipiku yang terluka sekali lagi. Mengingat rasa sakit yang ditimbulkan
dari luka itu.
“Jangan khawatir, lukamu tidak dalam. Sepertinya
sniper Jason tidak memperhitungkan
arah angin yang terlalu kencang. Pelurunya meleset dan hanya mengenai pipimu.”
Aku mengernyit. “Johan membawa sniper?” tanyaku kaget.
“Benar, karena tidak mungkin dia bisa membunuhmu
di tengah ratusan orang. Satu-satunya hal pintar yang kau lakukan adalah
membuat janji temu di pinggir jalan, membuatku lebih cepat menemukanmu.”
“Bagus sekali,” dengusku sarkastis. “Johan
dengan sniper sialannya. Benar-benar keberuntungan yang hebat.”
Donghae menangkap kegetiranku. Ia meletakkan
tanganku dalam telapak tangannya yang besar dan hangat. “Tenanglah. Snipernya
telah berhasil di amankan.. walaupun Jason Andersen berhasil kabur.”
“Dan aku yakin akan ada cukup banyak sniper di rumahnya untuk membunuhku
setiap saat.” Aku menggigit bibir keras-keras, mencoba mengendalikan emosiku
yang berhamburan keluar. Tapi tidak mudah. Aku sedang mengelabui seorang pria tampan
yang tampaknya memiliki kekuatan supranatural yang bisa membaca pikiran orang
lain.
Pria itu menarikku dalam pelukannya sementara ia membiarkan tangisanku meledak
seperti bocah lima tahun. Aku merasakan tubuhnya yang hangat, menyelimuti semua
ketakutanku yang mencuat keluar. Tangannya melingkari punggungku, seakan memberiku
kekuatan untuk tetap menghadapi dunia.
“Kau akan baik-baik saja, Youva. Percayalah
padaku.”
Perkataan Donghae mengirimkan keyakinan mutlak
pada diriku, membuatku melepaskan seluruh ketakutan dan menggantinya dengan sebuah
keyakinan baru. Bahwa pria ini akan melindungiku, bahwa tangannya yang hangat akan
selalu ada untukku.
Dan aku mempercayainya tanpa keraguan.
***
Well, di part ini aku bner-bner gemes sm youva...
BalasHapus