TITLE : SCARLET [ 6 ]
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
PG-17
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
Summary:
Aku benci saat ia tersenyum atau saat ia
menatapku begitu dalam. Rasanya sangat tidak adil jika ia menyiksaku secara
perlahan-lahan seperti itu. Sebab aku tahu, aku tidak bisa memilikinya. Pria
itu hanya akan menjadi mimpi tak terbalaskan dari keinginan sintingku. Aku
tidak ingin ia pergi, karena punggungnya yang menjaduh dariku bukanlah hal yang
kunantikan. Tapi aku juga tidak ingin ia tetap di sampingku, karena tidak mungkin
kendaliku yang begitu lemah bisa bertahan dari pesonanya. Semuanya membuatku
tak bisa bernapas. Baik sikapnya yang selalu memojokkanku atau daya tariknya
yang mendorongku untuk berdiri di ujung jurang kehancuran.
Pria itu murni seperti malaikat. Tapi ia kejam
bagai iblis.
***
CHAPTER
SIX: DRAWING THE LINE
Aku membuka mata dengan detakan jantung
tak beraturan. Alarmku belum berdering, itu artinya aku bangun terlalu cepat. Well, malah sebenarnya aku tidak
benar-benar tertidur berapa jam belakangan. Otakku kelewat bersemangat untuk
menanti pagi hari, sembari memutar ulang setiap detik ingatan saat pria itu berada
di kamarku. Samar-samar bau parfumnya masih mengisi udara, membiusku dalam lonjakan
hasrat aneh yang tak bisa kukendalikan. Lee Donghae merusak pertahananku. Ia
menjadikannya tak berarti, meski untungnya aku berhasil—setelah berjuang begitu
keras—mempertahankan pekerjaanku.
Dalam gerakan tak beraturan, aku berhasil bersiap
dengan pikiran melayang kacau. Chad menjemputku pukul delapan tepat. Ia bahkan menaikkan
alisnya saat melihatku berjalan masuk ke mobil dengan langkah linglung.
“Hai.” Sapaku lemah.
“Kau baik?” aku mendengar suara Chad sedikit
ragu.
Sebagai jawaban, aku bergumam tak jelas. Meski
wajahku terlihat kosong, jantungku malah berdetak terlampau keras. Aku
benar-benar berharap Chad mengebut, agar kami bisa tiba dalam waktu sekejap dan
agar aku bisa segera melihatnya.
Tetapi kenyataannya, kami tiba hampir empat
puluh menit kemudian. Saat aku nyaris mengutuk keramaian di Wilshire. Deretan antrean
panjang mobil-mobil yang menjamur di sepanjang jalan membuatku terus menerus
berdecak gelisah. Jadi saat Chad berhenti di parkiran, aku langsung melesat
keluar, meninggalkannya kebingungan.
Kakiku merangsek maju menembus lautan
manusia yang memadati lobi dengan kecepatan penuh. Aku tidak mencemaskan keterlambatanku,
tapi rasa aneh di dadaku lah yang membuat tungkai kakiku berjalan tergesa-gesa.
Aku ingin tiba secepat mungkin, dan memastikan bahwa pria itu memang sudah pulang.
Di dalam hall PHOENIX, aku menyenggol
Trace—staff Divisi II bagian Keamanan—dan ia melayangkan pandangan terkejut
padaku. Sebagai permintaan maaf, aku hanya meringgis sambil tidak mengurangi
kecepatan berjalanku—yang sekarang bisa didefinisikan sebagai berlari.
Pintu lift berdenting terbuka dan aku tidak
meletakkan tasku seperti biasanya. Jari-jari tanganku terulur menuju pegangan
pintu mahoni berukir indah yang tertutup rapat. Jantungku ingin meledak karena
kekurangan suplai oksigen, tapi rasanya bakal berubah jadi debu saat kedua mataku
menemukan sosoknya yang tengah duduk di balik meja. Pria itu mendongak
menatapku perlahan. Sepasang mata indahnya mengamatiku yang separuh sinting—berdiri
dengan napas terengah, mata tak fokus dan mulut menganga.
Lee Donghae memandangku dari atas hingga
bawah lalu menaikkan alisnya tinggi. Aku balas mengerjap dan ia mendesah. “Laporanku,
Miss Cardia.” Ujarnya geli.
Kesadaran menghantamku dan aku langsung
keluar, meraih laporan di atas mejaku dan segera kembali ke hadapannya.
Astaga,
kenapa dia begitu tampan? Batinku menggigit bibir.
“Selamat pagi, Sir.” Ujarku nyaring. Tanganku
yang gemetar menyodorkan beberapa tumpuk laporan itu pada Lee Donghae.
Pria itu memandangiku lambat-lambat. Untuk
sesaat tidak ada setitik ekspresipun di sana. Matanya terlihat dingin dan
wajahnya datar. Tapi satu milidetik berikutnya ia tersenyum hangat. “Selamat
pagi, Miss Cardia.” Balasnya menyanyi di telingaku.
Jantungku bagai dipalu dengan godam baja
super besar saat ia menyuguhkan senyumannya. Wajahku kelihatan idiot dan mendamba
pada saat yang bersamaan. Dan Donghae menyadari hal itu.
“Kuharap kau mendapat tidur yang cukup,
Miss Cardia.” Katanya tersirat. Ujung bibirnya berkedut sedikit, membuatku yakin
bahwa ia menahan tawanya.
“Err.. Aku pikir tidak, Sir.” Jawabku
lambat. Aku mati-matian memerintahkan otot wajahku kembali seperti biasa tapi sialnya
mataku masih menatap pria itu dengan tidak fokus.
Senyum Donghae membelah pertahananku. Pria
itu meletakkan pena baja indah yang memiliki sepuhan perak pada ujungnya di
atas meja dan tangannya langsung menuju dagunya. Ia membelai bibir bawahnya
dengan telunjuk secara perlahan-lahan, mengamatiku sejenak dengan mata
menyipit. Bisa kudengar ada yang meledak dan hancur berkeping-keping di
belakang kepalaku. Betapa senyumnya merusak keseimbangan.
“Aku
menyesal untuk yang satu itu, Miss Cardia. Dan sebagai permintaan maaf, aku menawarkan
padamu satu jam untuk beristirahat.”
“E—eh?” ujar tergagap.
Donghae melipat kedua tangannya di
belakang kepala dan bersandar di sana. Otot dadanya langsung membuyarkan
konsentrasiku. Pria tampan ini tidak mengenakan jas. Ia membiarkan ototnya yang
mengagumkan itu hanya terbungkus kemeja putih dengan dasi hitam polos menggantung
di lehernya.
“Istirahatlah, Miss Cardia. Kau sepertinya
sangat membutuhkan itu.”
Aku bisa mendengar semacam ejekan di balik
perkataannya. Belum lagi senyum miringnya yang terukir di sudut bibirnya, dan ia
juga menaikkan alis!
“Err… terima kasih, Sir. Tapi aku pikir aku
baik-baik saja.” Ucapku akhirnya setelah berdeham satu kali.
Donghae memandangku sedikit lama. Mencoba
mendeteksi kebohongan atau keraguan dari jawabanku tapi akhirnya ia mengangkat
bahu lalu menarik tumpukan laporan yang tadi kuletakkan. “Kalau begitu bacakan
jadwalku hari ini.” Ujarnya kembali serius.
Aku merogoh tasku dan mengambil notes lalu
mulai bersuara keras. “Sebenarnya, Sir, anda memiliki total 42 recall dari klien anda dan mereka
meminta anda mengkonfirmasi tanggal pertemuan secepatnya. Pagi ini anda memiliki
rapat dengan John-Well Ltd. namun mereka memundurkan rapat menjadi pukul dua
belas siang ini. Briefing karyawan PHOENIX
telah diubah menjadi hari rabu pagi. Dan itu artinya pagi ini jadwal anda
kosong. Mr. Takeshi Kikuchi menelponku kemarin siang untuk meminta pertemuan di
percepat menjadi hari ini tetapi aku belum memberikan jawaban. Kalau anda bersedia,
aku akan memberitahu Mr. Kikuchi untuk membuat janji temu pukul dua lewat lima
belas, Sir.”
“Pertama-tama,” kata Donghae setelah menarik
napas. Aku bersiaga dengan pulpen dan notesku. “Berikan data 42 klien yang
menunggu konfirmasiku. Aku akan menghubungi mereka satu persatu. Kedua, katakan
pada Takeshi untuk menungguku di The
Greek Teather pukul setengah dua. Aku yakin rapat dengan John-Well tidak
akan memakan waktu lama. Dan ketiga, Claudia Thompson baru saja menelponku untuk
menjadwalkan sebuah pertemuan mendesak dalam.. ah, lima belas menit lagi.”
Seharusnya aku bersikap biasa saja, atau paling
tidak mencegah mataku melotot keluar seperti perempuan sinting karena aku
bersumpah Donghae menyipitkan mata tidak suka saat melihat reaksiku. Tapi perbuatannya
terhenti karena pria itu buru-buru menjawab panggilan melalui ponselnya.
“Aku tahu. Jadwalkan tiga puluh menit
lagi, Miss Bundy. Dan kau selalu bisa mengandalkan sekretarisku.”
Perkataannya membuatku sedikit tersipu dan
bingung. Aku tak tahu apa yang Celine Bundy diskusikan dengan bosku tetapi Donghae
sepertinya tidak ingin wanita berdarah Meksiko itu menghubunginya lewat ponsel.
Panggilan berlangsung singkat dan setelahnya Donghae kembali menatapku.
Antisipasi berkelebat di matanya. Dan aku tahu apa yang ia tunggu.
“Aku.. Well,
aku tidak akan membuat keributan, Sir.” Bisikku parau. Karena ia bosku, ia
langsung bisa mendeteksi suaraku yang kelewat gugup.
“Tidak, Miss Cardia. Aku tidak ingin kau tidak membuat keributan. Aku ingin kau menunjukkan
keprofesionalitas-anmu. Bisakah aku berharap itu padamu?”
Bersikap professional artinya menahan
emosi, menjaga tingkah laku, menggigit lidahku sampai berdarah dan membuat
kepalaku dipenuhi kabut asap. Oke, aku harus berhenti bersikap pesimis. Sedikit
kadar optimisme akan membantu.
“Ya, Sir. Anda bisa mengandalkanku. Aku
berjanji tidak akan mengecewakan Anda.” Jawabku setelah bersusah payah menjaga volume
suaraku menjadi normal. Setidaknya aku akan mencoba.
Donghae melemparkan senyum mautnya dan
berbinar menatapku. Belum-belum aku sudah menggigit lidahku kelewat keras hingga
rasanya menyakitkan. Tapi senyumnya yang seperti itu benar-benar membuat hilang
akal. “Terima kasih, Miss Cardia.” Ungkapnya tulus dan aku tak tahan untuk tak
tersenyum.
Ganti Donghae yang terperangah menatapku
dan ia menyunggingkan senyumnya lebih lebar lagi. “Aku suka kalau kau
tersenyum.” Katanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia bahkan membuatku harus
merasakan debaran jantungku yang terdengar hingga ke telinga. Jujur nih, aku
bisa mati kalau ia tidak berhenti menggodaku.
“Err.. terima—kasih—Sir.” Jawabku gagap.
Aku sempat mendengar Donghae mendengus
geli dan setelahnya ia mengibaskan tangannya ke udara. “Kau bisa kembali ke
mejamu, Miss Cardia. Tolong e-mail saja ke-42 klien yang menunggu konfirmasiku.”
“Baik, Sir.” Kataku cepat dan langsung
beranjak dari hadapannya.
Di mejaku, terjadi perang telepon. Aku
tidak tahu apa yang membuat klien-klien Donghae seperti kesetanan, menelponku pada
pukul setengah Sembilan pagi dan mendesak untuk melakukan pertemuan secepatnya. Dari Sepuluh panggilan yang menginterupsi
pagiku dalam lima belas menit ini, delapan di antaranya adalah wanita. Mereka semuanya
hampir mirip; mendesak, penuh emosi, dan memberiku jawaban sengit saat kubilang
aku akan menjadawalkan pertemuan mereka dalam beberapa hari.
Aku membanting telepon terakhir—tentunya
setelah memastikan bahwa sang penelpon terlebih dulu memutuskan panggilan—ketika
pintu lift berdenting dan terbuka. Claudia muncul dengan auranya yang
menyebalkan. Ia memakai sarung tangan kulit putih yang terlihat menunjang
penampilannya yang mewah. Rambutnya tergerai indah dengan sedikit gelombang di
ujungnya. Lipstiknya merah membara, menambah kesan sensual tubuhnya yang lagi-lagi
mengenakan mesh dress. Claudia
melempar desisan saat berhenti di seberang mejaku. Ia melipat tangannya di
dada.
“Kenapa kau masih di sini?” nadanya jelas
menghinaku. Aku terpaksa menarik napas dalam-dalam dan mengingat binaran mata
Donghae yang penuh pengharapan sebelum menjawab wanita sialan itu.
“Silahkan masuk, Miss Thompson. Mr. Lee
Donghae sudah menunggu anda.” Jawabku berusaha mengendalikan emosi. Aku
membungkuk sedikit, mengarahkan pandanganku ke sudut meja. Berharap tatapanku
tidak melubangi mejaku yang tak bersalah.
“Hemph.” Claudia mendengus menyebalkan. “Mana
mulut besarmu yang biasanya, gadis miskin penerima tunjangan pemerintah?” Seperti
biasa, Claudia sengaja memberi tekanan pada suku kata terakhir dengan gaya
menyebalkan.
“Miss, Mr. Lee sudah menunggu anda di
dalam.” Ulangku masih bersabar. Enggak, aku benar-benar marah dan tanganku gatal
untuk melemparnya dengan monitor 21 inci di depanku.
“Jadi akhirnya kau tahu siapa yang
berkuasa di sini, eh? Dengarkan aku, gadis miskin kurang ajar. Kau harus tahu
diri. Kalau tidak, aku akan mengadukanmu pada Donghae—”
“Kau yang dengar, Claudia Thompson. Satu
patah kata lagi kau berani menghina sekretarisku, kupastikan kakimu tidak akan
bisa melangkah ke kantorku lagi.”
Kami—maksudku, aku dan Claudia—terperanjat
dan buru-buru melihat ke arah sumber suara.
Sejak kapan Donghae berdiri di sana? Ekspresi
wajahnya terlihat keras dengan bibir mengatup rapat. Ia memberikan tatapan garang
pada Claudia yang tiba-tiba saja menciut menjadi seukuran bayi kucing. Wanita
itu mengkeret di ujung sana dan mengejap tak nyaman.
“Aku—aku tidak—”
“Satu patah kata lagi, Claudia. Dan aku
tidak bercanda untuk menendangmu keluar sekarang juga.”
Atmosfir berubah dingin selama beberapa
saat. Claudia membeku di bawah tatapan mengintimidasi Donghae. Dan aku masih mencoba
berakting sebagai salah satu pajangan dinding, tak berani menarik napas selagi Donghae
membakar retinanya pada wanita itu.
“Beritahu aku seandainya kau menerima hinaan
dari klienku, Miss Cardia. Aku tidak ingin bekerja sama dengan seseorang yang pikirannya
dangkal.” Tatapan Donghae tidak beralih padaku tetapi aku yakin ia menangkap
sudut bibirku yang berkedut bahagia. Belum sempat aku memberikan jawaban apapun
selain mengangguk, Donghae kembali berkata. “Kalau kau bisa menghentikan sikap
kekanakanmu, kau bisa masuk sekarang, Claudia.”
Claudia mendadak lega dan ia menatap penuh
pemujaan pada Donghae yang tidak berhenti melotot padanya. Kupikir bahkan
Claudia sekalipun benar-benar kehilangan taringnya jika Donghae telah
memberikan perintah.
Donghae masuk dan Claudia mengikuti pria
itu. Ia tidak melirikku, tapi aku tahu Claudia sedang menahan rasa malunya
sebab tengkuknya merah terang. Dan setelahnya pintu menutup, memisahkan aku
dari percakapan pribadi mereka.
Pekerjaanku mendadak menjadi dua kali
lipat banyaknya; Celine Bundy datang dengan segudang laporan keuangan yang baru
selesai ia analisis. Telepon dari klien-klien yang protes karena meeting terus
diundur. Dan Adam Keanne memintaku untuk membereskan beberapa hal berkenaan
dengan acara Briefing Event yang akan dilaksanakan besok pagi.
Belum lagi laporan untuk perusahaan-perusahaan investor yang harus segera
kuselesaikan. Aku yakin aku akan mati karena tidak sempat menarik napas!
Pukul dua belas kurang lima belas menit, ponselku
bergetar. Aku tidak diperbolehkan untuk menggunakan ponsel saat jam bekerja,
tentu. Tapi karena benda itu kembali bergetar dalam dua menit, kuputuskan untuk
mengeceknya.
Sms pertama:
Hei
cantik. Kau sibuk?
Dari Johan. Ya ampun. Aku tak tahan untuk
tidak memutar bola mata saat melihat smsnya yang kedua.
Kuharap
kau tidak keberatan untuk dinner denganku
malam ini.
Aku mengetik balasan untuknya dengan
kecepatan super. Kalau sampai Donghae memergokiku sedang bermalas-malasan
dengan ponsel sementara pekerjaanku masih menumpuk, ia pasti bakal murka.
Yep,
aku sangat sibuk. Maaf Johan, sepertinya tidak bisa malam ini. Aku harus menyiapkan
laporan. Ketemu kau dalam mimpi. Dah.
Balasannya tiba tak sampai satu menit
kemudian.
Semoga
kau tidak mengajakku ke Disneyland di mimpimu.
PS: maaf
telah menggagumu.
Bibirku melengkung membentuk senyuman. Johan
masih kurang bisa mengerti seleraku yang sedikit aneh. Enggak, sama sekali
enggak aneh menurutku. Bukannya wajar jika cewek mencintai Disneyland? Maksudku, tahulah, Disneyland itu kan tempat dimana
semua fantasi terindah muncul; pangeran berkuda putih, kastil-kastil raja, putri
dan permaisuri yang cantik jelita, tokoh-tokoh imajinasi seperti kurcaci, putri
duyung bahkan nenek sihir sekalipun bisa menjadi hal yang begitu menarik yang
tak mungkin ada di dunia ini. Tetapi Johan menganggap seleraku menyimpang dari wanita seusiaku. Dan
waktu aku ngotot mengatakan padanya kalau tak ada batasan umur untuk mencintai Disneyland,
Johan nyaris butuh semprotan asma ia karena tertawa lama sekali.
Aku
senang mengecewakanmu. Karena jawabannya adalah YA dengan Bold, Underline dan Italic.
PS: jangan
memutar bola matamu saat membacanya!
Satu menit kemudian, Johan membalas.
Tidak
bisakah kau membawaku ke Beverly Hotel, misalnya?
PS:
Aku senang mengecewakanmu. Karena jawabannya adalah TIDAK dengan Bold,
Underline dan Italic.
Kali ini aku benar-benar tertawa. Sambil
membalas sms Johan, aku mengambil beberapa laporan dan membukanya di atas meja.
Berharap konsentrasiku bisa terbagi dua.
Silahkan
pergi dengan mimpimu, Johan. Kereta mimpiku hanya berhenti di Disneyland.
PS: Sangat
tidak kreatif, Mr. Stavilosky.
Satu detik setelah aku memasukkan ponsel
ke dalam saku, pintu menjeblak terbuka, membuatku terlonjak panik. Claudia yang
lebih dulu muncul. Rambutnya berkibar karena langkahnya yang tergesa-gesa. Wajahnya
terlihat kesal dan ia tidak berhenti untuk berbalik ke belakang, kepada Lee
Donghae yang berdiri di ambang pintu.
Ekspresi Donghae tak terbaca. Ia menatap Claudia
yang kini baru memasuki lift dan menekan tombol ke lantai dasar dengan bibir
mengatup. Separuh kancing kemeja Donghae terlepas dan rambutnya terlihat kusut.
Bahkan dasinya sudah menghilang entah kemana. Ia hanya berdiri dengan salah
satu tangannya menyisip di saku celana.
“Apakah perwakilan John-Well sudah datang?”
Pertanyaannya lagi-lagi membuatku
terkejut. Aku tahu ia sedang bertanya padaku meskipun tatapannya masih mengekori
Claudia. Baru ketika pintu lift menutup, pria itu memberikan perhatiannya
padaku.
“Eh, belum, Sir. Saya pikir mereka akan
tiba beberapa menit lagi.” Jawabku tergagap.
Donghae mengangguk dan mengulum bibirnya. “Beritahu
aku kalau mereka sudah tiba.” Ucapnya datar dan langsung berbalik begitu aku
mengangguk patuh.
Aku bertanya-tanya apa yang membuat
Claudia menjadi begitu kesal karena sangat tidak biasa melihat seorang wanita bisa kesal pada makhluk rupawan seperti
Donghae. Tapi rasa penasaranku segera teralihkan begitu Chad menelponku beberapa
menit setelahnya.
“Hei,
Youva. Bisakah kau mengatakan pada Bos kalau Johny Verto tidak bisa hadir dan Billy
Verto yang akan menggantikannya?”
“Oke.” Jawabku cepat dan langsung
menghubungi Donghae ketika Chad memutuskan panggilannya.
Sepuluh menit kemudian, aku dan Donghae sedang
berada di koridor menuju ruang rapat. Pria di depanku telah mengganti kemeja
putih cemerlangnya dengan kaus putih berkerah lebar dan jas biru langit cerah. Ia
menambahkan sebuah kalung Rosario di lehernya, menjuntai hingga mencapai dada.
Rambutnya basah. Lembab karena tak
dikeringkan dengan hair-dryer dan warna
cokelatnya yang berkilau tertimpa cahaya matahari membuat lututku lemas. Bahkan
dari belakang siluetnya bisa menggoyahkan tekadku. Serius, ketampanan Lee
Donghae benar-benar mengerikan.
Kami tiba di ruang meeting dan Donghae menyalami seorang pria muda dengan tampang aneh.
Giginya berjejer tak rapi, ujung hidungnya merah dan matanya berair. Pria itu
juga menjabat tanganku dan memperkenalkan dirinya dengan cengiran tolol dan
menjijikan.
“Aku Billy Verto. Direktur Marketing Finance John-Well Ltd.”
Aku menyunggingkan senyum terpaksa di
bawah tatapan penuh peringatan Donghae. “Err.. Senang bertemu dengan anda. Aku
Youva Cardia. Sekretaris Mr. Lee Donghae, Sir.” Balasku berusaha professional.
Billy Verto berkedip padaku dan aku
benar-benar kepingin muntah karena tampangnya yang menjijikan itu. “Pasti enak
punya sekretaris cantik, eh?” ujarnya pada Donghae sambil sesekali melirikku
dengan tatapan lapar. Aku bergidik dan bersumpah akan menendangnya ke Bulan
kalau saja tak ada bosku. Maksudku, kalau Donghae bukan bosku.
“Apa kau pikir Sekretarisku bisa kau tiduri?
Berhenti menatapnya atau kucungkil bola matamu keluar, Billy Verto. Dan
sebaiknya simpan napas baumu itu karena baunya benar-benar menjijikan.”
Aku nyaris meledak tertawa karena meskipun
perkataan Donghae terdengar begitu kasar, tapi kupikir ada benarnya. Serius, aku
kepingin ketawa tapi aku harus menahannya. Tubuhku berguncang pelan saat menahan
tawa yang ingin meledak keluar. Aku tak tahu kenapa keadaan ini sangat lucu
bagiku. Donghae melotot pada pria itu, sementara wajah Billy Verto merah padam
dan ia memandang Donghae dengan tatapan mencela. Tapi sejurus kemudian aku sadar
kalau situasinya sedang genting. Billy Verto adalah perwakilan dari John-Well Ltd.
dan melihat mereka saling melotot bukan pertanda bagus.
Di luar dugaan, Billy Verto menahan hinaan
Donghae dan memilih mengalah. Meski terlihat tidak suka, pria itu tetap meneruskan
diskusi mereka tentang pembaruan kontrak perusahaan dan terakhir mereka juga membahas
tentang defisit FROZEN Holdings yang semakin menguasai pasar dunia.
Aku menemukan bahwa kelihaian Donghae
dalam menghadapi setiap permasalahan yang di lontarkan Billy Verto semakin membuatnya
disegani. Dengan tangkas pria itu membalas semua pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya
dan membuat lawannya bungkam tak berdaya. Tapi rupanya Donghae tidak puas
dengan hasil diskusi mereka.
“Kudengar pihak Longbo Ltd. mulai memasuki
pasar Eropa dan menurut kabar yang berhembus itu semua terjadi karena pihak
John-Well tidak bisa menghadapi situasi kritis. Benarkah?”
Billy Verto bergerak gelisah di kursinya. “Longbo
tadinya bukan salah satu pesaing berpotensi tapi aku tak tahu apa yang membuat
mereka tiba-tiba bisa mendobrak pasar Eropa. Sepertinya ada yang membantu
mereka.”
“Atau.. kupikir mereka punya keberanian
untuk memulai sesuatu yang berisiko tetapi bernilai besar. Kau masih belum
paham dunia bisnis, Billy? Apapun yang bisa memajukan perusahaan, baik tangan
malaikat atau bantuan iblis sekalipun, tetap saja pantas diperjuangkan selama bisa
mendatangkan keuntungan.”
Aku melirik Donghae dengan perasaan campur
aduk. Pria itu menyunggingkan senyum arogannya pada Billy Verto yang
terperangah.
“Jadi apa yang membuatmu bisa sampai di
titik ini? Tangan malaikat? Atau bantuan Iblis?”
Pertanyaan Billy membuat ruangan hening
seketika. Jantungku bahkan ikut merasakan antisipasi atas jawaban Donghae. Namun
pertanyaan Billy sama sekali tak membuatnya gentar. Donghae mendengus dan
menyipitkan mata penuh arti.
“Bagaimana menurutmu?”
Billy terdiam sejenak dan balas
menyipitkan matanya. “It must be the demon.”
Jawabnya dan Donghae tertawa keras.
“Sepertinya kau tidak sepintar Ayahmu,
Billy Verto. Biar kuberitahu satu hal penting; I’m not so picky. Angel or
Demon, as long as they guarantee me a welfare, I’ll take them both.” Keheningan
terasa mencekam dengan jawabannya yang menggema di ruang besar ini. “Dan aku ingin
kau menjadwalkanku rapat ulang dengan Johny Verto besok siang, Miss Cardia. Aku
membutuhkan lebih banyak perspektif darinya.” Aku terkesiap ketika Donghae
menyebutkan namaku dan segera kucatat perintah Donghae di Notes kecil yang
selalu kubawa.
Donghae berdiri dan menjabat tangan Billy
hanya untuk bersikap professional. Karena setelah genggaman singkat itu, ia langsung
keluar ruangan tanpa repot-repot mengucapkan salam perpisahan atau apapun. Aku
mengikuti langkah Donghae yang menuju parkiran dan kami menaiki Audi, bukan
Mercedes yang biasanya.
Kepalaku masih di penuhi tanda tanya
mengenai pernyataannya terhadap Billy Verto tadi. Angel and Demon? Itu berarti asumsiku tidak terlalu meleset. Bosku
benar-benar memiliki pemikiran yang tak bisa di tebak.
Chad mengemudikan Audi sama tenangnya
ketika ia membawakan Mercedes. Ia mengecilkan volume lagu Edith Piaf - non je ne regrette
rien hingga nuansa tahun 60-an tak begitu kental terasa di dalam mobil. Lagu
ini sekaligus mengingatkanku ketika Donghae menghilang selama lima hari ke
Paris tanpa memberitahuku. Aku meliriknya. Wajah Donghae tak berubah walaupun
ia mengetahui aku mencuri pandang padanya. Tapi tiba-tiba saja Donghae melepaskan
jasnya dan memberikannya padaku. Dan—oke, aku butuh pernapasan bantuan.
Kaus yang dikenakan Donghae ternyata
berlengan pendek yang berarti tak ada cukup kain tersisa untuk menyembunyikan kulit
lengannya yang telanjang. Dadaku bergemuruh ketika Donghae melipat tangannya—mengakibatkan
urat-urat di sekujur otot lengannya bermunculan dan aku harus menggigit lidahku
keras-keras.
Donghae mengambil kacamata Giordano dengan
lensa dan gagang hitam sempurna. Ia juga menyematkan sebuah baseball cap untuk menutupi kepalanya. Aku
masih terus melongo menatap Donghae yang mendadak bertransformasi menjadi..
entahlah. Kupikir ia baru saja berubah dari
malaikat menjadi malaikat.
Tanpa kusadari mobil telah berhenti dan aku
mengejap bingung ketika Donghae turun dari mobil. Ia berjalan mendahuluiku menuju
pintu masuk yang tak dijaga. Aku terlambat menyadari bahwa Lee Donghae ternyata
mengenakan Jeans biru pudar yang membuat penampilannya terlihat seperti sedang berjalan
di atas red carpet-nya Grammy Awards dengan flash kamera mengikuti langkahnya. Ia
terlihat sangat tampan dengan setelan kasual di bawah matahari Los Angeles yang
menyengat.
The
Greek Teather yang terletak di North Vermon Avenue di Hollywood memang selalu
buka pada malam hari. Dengan panggung mewah di ujung depan dan deretan kursi berbusa
empuk yang seluruhnya berwarna merah dan bisa menampung sekitar enam ribu
penonton, The Greek Teather seakan tak
pernah henti memikat pengunjung. Ditambah lagi pemandangan menakjubkan dari Griffith
Park yang terhampar luas di sekeliling Teater, menjadikan The Greek Teather selalu terlihat indah. Tapi untuk bertemu dengan
seseorang di siang hari—saat tak ada siapapun selain petugas kebersihan—menurutku
memang sedikit aneh. Well, bukan Lee Donghae
namanya kalau tidak menimbulkan keanehan.
Kami terus berjalan hingga ke deretan
tengah dan kulihat seorang pria sedang duduk menghadap panggung dan memunggungi
kami. Aku mengira bahwa Mr. Takeshi Kikuchi paling tidak berusia sekitar akhir tiga
puluh karena suaranya yang enerjik ketika melakukan panggilan denganku. Tapi
betapa terkejutnya aku ketika menemukan seorang pria tua dengan separuh
rambutnya berwarna abu-abu dan wajah keriput sedang duduk di salah satu kursi
teater.
“Maafkan aku, Takeshi. Kau menunggu lama?”
ujar Donghae sambil menjabat tangan Takeshi.
Pria tua itu tersenyum ramah dan
menggeleng pelan. Aku memperhatikan penampilannya yang hanya mengenakan kemeja kuning
kusam dan celana hitam pudar yang sepertinya sudah dicuci kering ratusan kali. Tampak
jelas kalau Takeshi bukanlah seorang pengusaha. Menurutku pria itu mungkin
seorang karyawan biasa.
Tapi Donghae tiba-tiba beralih padaku dan
merendahkan suaranya ketika memberiku sebuah perintah. “Miss Cardia, kami butuh
sedikit privasi.” Bisiknya penuh arti.
Bibirku membentuk huruf O dan mengangguk
paham. Dan dengan cepat aku berjalan menjauh lalu duduk sekitar dua puluh meter
dari tempat mereka duduk. Kuperhatikan raut wajah Donghae yang terlihat
berubah-ubah—dari cemas, takjub dan santai. Sementara Takeshi tampaknya lebih berhasil
mengendalikan ekspresinya untuk tetap berwajah datar.
Aku sedikit penasaran dengan apa yang
mereka diskusikan, tapi alam bawah sadarku dengan cepat menghalau semuanya,
hanya menyisakan sebuah pikiran sinting dan idiot yang terus mengagumi sosok
Lee Donghae dengan pakaian kasualnya. Semakin kuperhatikan, napasku semakin
tercekat dan perasaan tak nyaman mendekapku tanpa henti. Aku harus berhenti
mengaguminya, atau setidaknya berhenti berpikir betapa seksinya Lee Donghae. Jadi
dengan niat lemah tak berarti, aku merogoh saku dan mengambil ponsel.
Pemandangan Griffith Park dari The Greek
Teather belum pernah kusaksikan sebelumnya dan aku tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk mengambil beberapa gambar secara sembunyi-sembunyi. Aku bahkan
memotret Donghae dan Takeshi setelah memperbesar gambar hingga tujuh kali zoom in. Ponselku memang sudah
ketinggalan jaman, tapi setidaknya aku tetap bisa melihat senyum Donghae yang sedikit
mengabur pada layarku sekarang.
Saat menutup aplikasi kamera, kulihat
sebuah pop up pesan muncul dan aku ingat kalau aku belum membaca pesan balasan Johan.
Isinya manis sekali dan langsung membuat dadaku menghangat:
Aku
tidak mau pergi tanpa dirimu, Youva. Aku malah tidak ingin berpisah meskipun di
dalam mimpi.
PS: Kau
mencuri semua konsentrasiku, Miss Cardia. Tolong kembalikan. Dan kalau bisa
sekalian kembalikan hatiku, oke? ;)
Dengan satu ketikan cepat, aku membalas
sms Johan:
Dear,
Mr. Stavilosky, kereta mimpiku tak akan berjalan tanpa dirimu. Sebaiknya kau
bersiap-siap karena aku akan menjemputmu tengah malam nanti.
PS: Aku
senang kau kehilangan konsentrasimu. Dan untuk kau ketahui, aku tidak akan
mengembalikan hatimu. Haha! ;)
Dasar perayu ulung! Ha!
Aku menunggu hingga lima menit kemudian
saat Johan membalas pesanku.
Hei,
akhirnya kau membalas. Kupikir kau marah padaku.
Ngomong-ngomong
haruskah aku membawa nachos? ;) ;)
PS:
Kalau begitu kuharap kau menjaga hatiku baik-baik.
Lebih banyak smiley! Senyumku langsung terukir dan aku melirik Donghae sekilas. Ia
masih terlihat serius berdiskusi dengan Takeshi.
Tentu
saja tidak!
Berikan
aku ekstra keju, please?
PS:
Hatimu berada di tangan yang tepat, Mr. Stavilosky.
Balasan Johan sangat cepat. Cuma setengah
menit.
Ekstra
keju dengan milkshake cokelat? Yes, mam!
PS: Aku
senang mendengarnya ;)
PS
(lagi): Well, aku harus pergi sekarang, Youva. Pastikan kau makan siang dan jaga
kesehatanmu, oke? I love you.
Jari-jariku berhenti di atas layar dan
mengulangi kalimat terakhir Johan. Rasanya ada kesedihan aneh saat membacanya. I love you. Kalimat itu menimbulkan
kesan ganda di hatiku, dan tetap saja sebagian egoku berharap kalau Johan masih menjadi milikku, hingga balasan
seperti I love you too tak akan
terdengar putus asa. Setelah menghabiskan lebih dari lima menit untuk
memutuskan apa yang harus kukatakan, akhirnya aku menekan tombol send.
You
too. Bye.
Oke, cukup bagus. Kedengarannya sedikit
cuek tapi juga sulit di pahami. Aku rasa Johan tidak akan ambil pusing dengan
balasanku yang singkat. Ia pasti mengerti kalau aku sedang bekerja. Ngomong-ngomgong
tentang pekerjaan, Donghae ternyata telah berdiri dan terlihat akan mengakhiri percakapan
dengan Takeshi. Jadi dengan cepat kuhampiri bosku tetapi dering ponsel menghentikan
langkahku.
Penelponnya tak dikenal dan aku langsung menjawabnya
dengan kening berkerut saat mendengar sapaan itu.
***
“Ada apa?” tanya Donghae saat kami telah
tiba di dalam mobil. Aku melirik lewat kaca spion kalau Takeshi ternyata memilih
untuk naik angkutan umum.
“Sir, anda memiliki rapat mendesak empat
puluh lima menit lagi.” Jawabku gelisah.
Donghae melepas kacamatanya dan menatapku sambil
lalu. “Dengan siapa?”
“Aaron Landberg, pengusaha properti dari Darwin
co. Sekretarisnya menghubungiku sepuluh menit yang lalu.” Aku menekan rasa muak
yang tetap saja terlihat saat menyebut nama itu. Dan Donghae dengan cepat
menangkap semuanya.
“Dan kenapa dengan Aaron Landberg ini?”
tuntutnya. Ia praktis menatapku dengan tangan terlipat di dada.
Oke,
fokus. Batinku sia-sia. Pemandangan tubuhnya yang sempurna hampir membuatku
hilang akal.
“Miss Cardia?” panggil Donghae memecah
lamunanku. “Kau juga mengatakan bahwa rapat ini mendesak. Jelaskan.”
Aku menelan kegugupanku sebelum menjawab seperlunya.
“Istri Aaron Landberg adalah sahabatku, Sir. Katherine Janne Landberg. Sekretaris
Aaron mengatakan kalau hasil akuisisi saham Darwin co. beberapa hari yang lalu
gagal dan mereka berencana akan membawa ini ke jalur hukum.”
Donghae menatapku lama. Ia tidak
berkomentar apapun tetapi tatapannya membakarku dari dalam. Membuatku
kepanasan, salah tingkah dan keringat dingin mengucur deras dari punggungku.
“Dan apa yang membuatmu tidak menyukainya?”
“Eh?” aku tak percaya. Bagaimana mungkin
Donghae mengetahuinya? “Ke—kenapa anda berpikir seperti itu, Sir?”
“Itu gampang. Kau cukup mudah dibaca, Miss
Cardia.” Donghae mendengus sepele dan mengibaskan tangannya. Pria itu lalu
kembali memandangiku lekat-lekat, menanti jawaban keluar dari bibirku.
“Bukan seperti itu, maksudku—aku hanya
tidak terlalu dekat dengan Aaron. Dan kira-kira sudah setahun yang lalu aku
bertemu Janne karena—” aku menghentikan kalimatku sebelum aku kelepasan dan
melirik Donghae yang mengernyit bingung. “—karena beberapa alasan pribadi.”
Ada jeda panjang sebelum akhirnya pria itu
menarik napas dan menyipit melihatku yang gugup. Setelahnya ia tak bertanya
apapun, hingga kami tiba di kantor PHOENIX dan Donghae memintaku mengambil
jasnya.
“Sikap profesionalmu, Miss Cardia, akan
menjadi acuanku.” Ujarnya tenang dengan tanpa memandangku.
“Aku mengerti, Sir.” Bisikku sedikit
takut. Pria itu tampaknya bisa mengerti kegelisahanku dan sebelum beranjak keluar,
Donghae menepuk pundakku pelan.
Kami mengarah ke meeting room yang terletak di lantai delapan belas dalam
keheningan. Aku takut. Perasaanku tak bisa menghadapi sikap penuh permusuhan
Aaron yang selalu ia tunjukkan saat kami bertemu. Dan aku sangat tidak siap melihat
ekspresinya nanti. Apakah pria itu akan sedikit menghargaikuku? Bagaimana kalau
ia mencelaku? Maksudku, ia memang tidak semenjengkelkan Claudia, tapi aku tidak
bisa marah pada suami sahabatku. Walaupun pada kenyataannya, aku membisikkan
kutukan tanpa henti saat melihatnya. Aaron bukan pria baik dan aku masih tak
mengerti kenapa Janne mau menikah dengannya.
Langkah kaki Donghae yang menghujam lantai
terdengar santai dan itu juga membuatku gusar. Haruskah aku memohon untuk
menunggu di luar saja?
Tetapi semua pemikiranku sia-sia. Sedetik
kemudian kami tiba di dalam ruang meeting. Sekitar sepuluh orang telah mengisi
ruangan dan mataku dengan cepat menangkap sosok Aaron yang berada tak jauh
dariku. Ia melotot tak percaya dan aku berpura-pura tak melihatnya. Dan seperti
ingin merusak aktingku, Aaron malah mendekat dan berdiri persis di hadapanku.
“Youva Cardia?” tanyanya dengan mata berkilat
penasaran.
Aku berdeham dan mengejap gelisah. “Y—ya,
Sir.” Jawabku melengking. Detik berikutnya kudengar Aaron tertawa. Aku tahu
kenapa. Ia pasti tak menyangka bakal mendengarku memanggilnya dengan ‘Sir’,
karena biasanya aku hanya melontarkan makian pada pria itu.
“Kau mengenal, sekretarisku?” tanya
Donghae dengan cepat mengambil alih situasi. Aku mengkeret di samping bosku dan
memilih menatap lantai. Kuyakin tengkukku sudah berubah warna karena malu saat
mendengar jawaban Aaron selanjutnya.
“Tentu saja. Dia dulu teman istriku. Sorry, dia sekretarismu? Wow, pasti seleramu
cukup aneh untuk mempekerjakan seorang wanita pengumpat—”
“Dengan kecerdasan dan kredibilitasnya
yang tinggi, aku amat sangat yakin kalau Miss Cardia berperilaku lebih beradab
dan lebih sopan daripada dirimu, Aaron Landberg.”
Aaron menghentikan tawanya dengan canggung
dan punggungku mendadak ringan. Beberapa orang berdeham dan Donghae melanjutkan
kata-katanya. “Kalau kau tak punya cukup rasa sopan santun terhadap seorang
wanita, kusarankan kau kembali ke rumahmu dan biarkan istrimu mengajarimu
bagaimana caranya bersikap menjadi seorang gentleman.”
Bisa kulihat rona wajah Aaron menjadi
seperti rambu lalu lintas. Dengan cepat berubah dari merah ke biru lalu bergenti
ke ungu tua. Tapi Aaron menahan emosinya dan ia duduk di kursi terjauh dari
kami. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mendadak aku tahu kalau ia sedang
menyimpan emosinya untuk seseorang.
Donghae menarikku keluar ruangan dan
berbisik dengan cepat. “Miss Cardia, situasi tampaknya tidak kondusif. Apakah
kau keberatan untuk menunggu di luar? Aku tidak ingin rapatnya akan kacau
karena pria itu tidak bisa menutup mulutnya.”
“Aku sama sekali tidak keberatan, Sir.” Jawabku
lega. “Err.. terima kasih sudah membelaku, Sir. Anda melakukannya dua kali.”
Aku merasakan tatapan Donghae berubah
lembut selama sepersekian detik dan ia mengangguk sedikit. “Simpan saja rasa
terima kasihmu, Miss Cardia.” Ujarnya pelan dan langsung kembali ke ruangan
rapat.
Ruang itu sudah pasti kedap suara dan mencoba
mencuri dengar sama sekali tak bermanfaat apapun bagiku. Aku memutuskan untuk
melintasi koridor hingga ke ujung dan tenggelam dalam lamunanku. Pikiranku kembali
memutar ulang ingatan saat Donghae mengunjungiku tadi malam. Senyumku terukir lebar
saat mengingat ia membelaku dari hinaan Claudia juga saat Aaron nyaris
meledekku di tengah staf direksi. Dadaku berdegup tak beraturan saat menghayal
kalau pria itu mungkin saja memang
menganggapku menarik. Ya ampun, Youva.
Tapi di ujung koridor, di sebuah ruangan tunggu
yang bersekat kaca dengan motif mozaik di seluruh permukaannya, aku melihat
siluet seseorang sedang duduk. Seharusnya para staff berada di ruang meeting karena rapat sudah dimulai. Tapi
begitu aku membuka pintu, aku langsung mengenali sebuah wajah yang baru satu
minggu lalu kutemui di parkiran PHOENIX karena kebetulan.
“Janne!” pekikku nyaring. Keterkejutanku
berubah menjadi ketakutan saat melihat wajahnya ternyata dipenuhi bekas ungu
tua.
Janne berusaha tersenyum, tetapi ia hanya
berhasil membuatnya menjadi meringgis. “Hei.” Sapanya lemah.
Seketika saja airmataku jatuh, mengalahkan
kebahagiaanku karena bertemu dengannya lagi. “Tak mungkin—pria brengsek itu—jangan
katakan kalau dia—”
“Aku baik-baik saja, Youva.” Potong Janne dan
ia merintih saat menyebut namaku.
“Demi Tuhan, Janne!” teriakku keras. Airmata
telah membuat suaraku menjadi tak terkendali. Emosiku meluap tanpa henti
sekarang. Kurasakan seluruh tubuhku gemetar karena amarah. “Kau. Tidak. Baik-baik.
Saja!” Aku menekan setiap kata dan mencegah isakanku.
Airmata Janne-lah yang meluluhkanku. Aku
berderap maju dan menariknya dalam pelukanku. Kami menangis. Menangisi hidup
seorang Katherine Janne Watson yang cantik yang harus berada dalam kekerasan
dan kekejaman. Aku mengutuk Aaron setiap menyentuh permukaan kulitnya yang
dipenuhi lebam dan Janne bergidik menahan sakit. Sahabatku telah menderita
begitu banyak dan ia masih berkata kalau dirinya baik-baik saja.
Rambut pirangnya sengaja ia gerai agar
menutupi separuh dari luka-luka mengerikan itu. Tetapi tetap saja siapapun bisa
melihat jelas bagaimana wajah cantik Janne telah dirusak dengan begitu
mengenaskan.
“Dia masih melakukan ini padamu? Bukankah
dia sudah berjanji?” tanyaku tak percaya.
Janne menghapus airmata di pipiku dan
tersenyum lemah. “Aaron kadang tak sadar, Youva. Jangan khawatir.”
Aku menggigit bibir keras-keras, merasa
kesal dengan perspektif Janne yang sangat menyimpang. “Kau menderita, Janne. Jangan
biarkan pria brengsek itu mengambil hidupmu!”
“Aku istrinya, Youva. Yang bisa kulakukan
adalah mematuhinya.”
“Astaga, Janne! Kita tidak hidup di jaman pra-sejarah!
Lupakan semua aturan kolot itu. Dia menghajarmu dan kau harus menututnya!”
“Aku baik-baik saja.” Janne berkeras dan
aku melenguh frustasi.
Itu sebabnya aku tak pernah dekat dengan
Aaron. Bukan, kami sebenarnya bermusuhan. Kau tidak mungkin bisa menjadi dekat
dengan pacar sahabatmu kalau ia ternyata masokis gila yang doyan kekerasan dan
tak bisa menjaga tangannya. Aku tidak bercanda, Janne berpacaran sekitar satu
tahun dengan Aaron dan beberapa kali aku memergoki pria itu menghajar Janne ketika
mereka bertengkar. Aku murka, mengamuk dan bersumpah akan membunuh pria itu saat
aku melihat tubuh Janne terkapar dengan napas satu-satu. Dan sejak saat itu Aaron
melarang Janne bersahabat denganku lagi. Ia juga menikahi Janne satu bulan
kemudian dan langsung melarang Janne berhubungan denganku.
Aku mencoba segalanya kepada Janne. Mulai dari
menasehati ala sahabat, memohon bahkan memusuhi Janne selama tiga hari. Tapi
wanita itu tetap teguh mencintai Aaron. Kadang aku melihatnya menangis seorang
diri dan mengobati lukanya diam-diam karena ia takut aku mengamuk dan semakin
membenci Aaron. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang membuat Janne begitu
tergila-gila pada Aaron hingga ia bertahan meski pria sinting itu membuatnya
menjadi babak belur. Dan akhirnya aku mengalah, hanya karena aku tak tahan
untuk melihat Janne menderita berdiri di antara aku dan Aaron. Tapi aku
benar-benar tidak menyangka kalau Aaron masih terus melakukan kekerasan padanya
sampai sekarang.
“Apa yang membawamu kemari, Janne? Kau
seharusnya di rumah. Lebam-lebam ini membuatmu jelek, kau tahu?” ejekku separuh
hati dan kulihat Janne tersenyum lemah.
“Aku ingin bertemu denganmu, Youva.” Bisiknya
jujur. Aku memeluknya lagi dan Janne menambahkan. “Aaron tidak tahu kau di sini
dan aku benar-benar berdoa agar aku bisa bertemu denganmu.”
Sayangnya, aku yakin ini terakhir kalinya
aku bisa bertemu dengan gadisku.
“Aku merindukanmu, Janne. Ceritakan padaku
semuanya.” Desakku dan Janne meringgis—aku tahu ia tersenyum.
Dan kami melanjutkan obrolan kami dengan
sedikit ceria. Ralat, maksudku pura-pura ceria. Aku menceritakan dengan singkat
bagaimana aku bisa bekerja pada Donghae dan selebihnya aku hanya mendengarkan
Janne bercerita. Wajahnya terlihat semakin murung dan kami tak sadar kalau
waktu berjalan begitu cepat.
“Kenapa kau belum hamil, Janne?” tanyaku curiga.
Aku melihat Janne memejamkan matanya. “Apa Aaron melarangmu?”
“Tidak. Aaron tidak keberatan dengan bayi.
Tapi aku lah yang tidak ingin punya anak.”
Oh. Wow. Sama sekali diluar dugaanku. Janne
adalah tipe cewek keibuan yang bakal berisik saat melihat peralatan bayi dan berkeras
untuk menggendong bayi-bayi teman kami setiap kali bertemu. Jadi mendengar
bahwa ia yang menolak menginginkan bayi adalah tidak wajar.
“Kenapa? Kupikir kau bakal langsung memberiku
dua belas keponakan sekaligus,” ujarku sambil menyikutnya. Tapi wajah Janne berubah
keras. Ia menatap tangannya yang bertautan.
“Aku tidak mau bayiku ikut menderita, Youva.”
Mata Janne beralih padaku dan ia menatapku penuh arti. Selama beberapa saat
Janne terlihat bergumul dengan hatinya karena ia menggigit bibir bawahnya. “Aaron,
dia—”
Perkataan Janne terputus saat tiba-tiba pintu
kaca membuka dan aku melihat wajah Janne membeku.
“Hai, sayang. Rapatnya sudah selesai?”
tanya Janne berusaha ceria.
Aaron mengamati kami sejenak. Tampaknya ia
baru menyadari alasan Janne untuk ikut menemaninya ke perusahaan ini. Dengan langkah
lebar Aaron mendatangi Janne yang ketakutan. Pupil mata Janne melebar dan
tubuhnya bergidik.
“Kau akan membayarnya di rumah, Janne. Aku
tidak akan melepaskanmu begitu saja.” Bisik Aaron penuh peringatan dan kepalaku
langsung membayangkan wajah Janne berlumuran darah.
Entah apa yang membuatku kehilangan
kendali, tetapi aku tak bisa mencegah tanganku untuk menahan pria itu.
“Apa?” tanya Aaron tak suka. Di sebelahku,
Janne memberikan tatapan memohon. Aku tak berdaya. Memprovokasi Aaron artinya menyiksa
Janne lebih keras lagi.
“Aku—Aku mohon, Aaron, jangan sakiti Janne.”
Ucapku terbata-bata. Lidahku terasa berat untuk memohon pada seorang Aaron
Landberg.
Aaron menepis tanganku dengan kasar dan bibirnya
mencebik ke bawah. “Bukan urusanmu, Youva Cardia. Tapi dengan senang hati
kuberitahu kalau istriku yang cantik ini akan menerima kemarahanku atas tindakan
bosmu yang telah mempermalukanku tadi. Kau puas?”
Tubuhku bergetar. Aku tak tahu apakah ini
karena emosi atau karena takut jika Aaron benar-benar menambah luka-luka baru
pada Janne. Tapi kemudian aku menahan lengan Aaron lagi dan airmataku tumpah.
“Kumohon, Aaron, kumohon. Jangan Janne,
dia—dia sahabatku—kasihani dia—”
“Tutup mulut dan enyahlah.” Maki Aaron dan
ia menepis tanganku sebelum akhirnya menarik paksa Janne yang telah menciut
ketakutan.
Aku ingin mengejar mereka tetapi lututku
lemas. Tubuhku langsung ambruk ke lantai dan aku menangis keras-keras,
membayangkan Janne yang penuh luka.
“Miss Cardia, kau tidak apa-apa?”
Itu suara bosku yang terdengar begitu
cemas. Aku membuka mata dan melihat wajah Donghae persis di atas wajahku. Pria
itu kemudian membantuku duduk. Ia menyandarkan lengannya padaku dan menunggu
hingga aku berhasil menguasai diri lagi.
“Apa yang terjadi?”
Aku tidak segera menjawabnya. Tapi karena
tak tahan dengan tatapan Donghae yang menelisik terus menerus, akhirnya aku
menceritakan segalanya. Bosku ternyata seorang pendengar yang baik. Ia sama
sekali tak menyelaku yang bercerita penuh emosi dan masih tersedu-sedu menahan
tangis. Donghae mendengarkan penuh perhatian. Ia juga memberiku tisu saat aku
tak mampu menahan airmata.
“Kau sudah tenang?” ucapnya saat aku mengakhiri
cerita. Sebagai jawaban, aku mengangguk padanya dan ia tersenyum sedih. “Aku
turut prihatin dengan kondisi sahabatmu. Dan aku menyesal karena telah
memancing amarahnya. Kuharap Mrs. Landberg tidak terluka parah.”
“Aku hanya tidak mengerti. Kenapa Janne
harus terus bertahan? Pria itu sama sekali tidak memberinya apapun selain luka.”
Donghae menghela napas dalam. Ia terlihat
bimbang tetapi akhirnya ia mengangkat bahu. “Tak pernah ada cukup alasan yang untuk
mempertahankan cinta.” Aku menatap Donghae. Dan ia membalasku. “Apakah kau
pernah jatuh cinta, Miss Cardia?”
Rasanya tubuhku membeku di bawah
tatapannya yang dalam. Tapi setidaknya otakku masih lumayan berfungsi untuk
segera menjawabnya. “Ya, Sir.. pernah..”
“Dan kenapa kau mencintai pria itu?”
“Karena… Entahlah, Sir. Rasanya matahari
berputar di sekelilingnya atau seperti itulah. Membuatku selalu berotasi mengelilinginya.”
Jawabku berupa bisikan.
“Dan aku yakin seperti itulah Aaron
Landberg di mata Janne.”
Aku terpaku. Tetapi kali ini lebih karena
aku mengagumi kesimpulan yang dibuat Donghae. Pria itu membiarkan keheningan
bersama kami selama beberapa saat sebelum akhirnya menepuk pundakku pelan dan berkata
lagi. “Kau harus tenang, Miss Cardia. Yang paling dibutuhkan Janne saat ini
adalah semangatmu. Hanya kau yang bisa menyemangatinya.”
Aku tersenyum lemah dan mengangguk
padanya. “Yes, Sir. I will definitely do
that.” Janjiku mantap. Donghae berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
“Siap untuk pulang?” tanyanya kembali tersenyum.
Dan aku menyambut uluran tangan pria itu. Terasa
hangat dan menenangkan dalam genggamanku.
***
Malamnya aku memutuskan untuk tidur lebih
cepat setelah selesai mengerjakan seluruh laporanku. Tenagaku benar-benar
terkuras habis dan mataku pasti bakal sebesar buah tomat sekarang. Jadi setelah
memberi kompres air dingin untuk kedua mataku, aku naik ke tempat tidur dan baru
akan memejamkan mata ketika ponselku berdering.
“Ya, Johan?”
Johan mendesah lega di ujung sambungan
telepon. “Syukurlah kau belum tidur.”
“Aku baru akan tidur. Ada apa?”
“Aku
ingin mendengar suaramu.”
Pipiku merona dengan cepat. Mendengar Johan
berbisik kalau ia mengatakan itu membuatku mengingat saat kami masih berkencan.
“Kau hanya ingin mendengar suaraku saja?”
“Oke
deh, aku ngaku. Aku benar-benar merindukanmu.”
Aku memutar bola mata dan tertawa. Johan
ikut terkekeh kecil dan ia menambahkan sebuah pertanyaan. “Kau tidak merindukanku?”
“Mm.. sepertinya tidak.” Bisa kubayangkan Johan
menjadi muram karena jawabanku. “Soalnya aku sangat merindukanmu.” Ralatku kemudian dan kudengar Johan mendengus
sambil tertawa puas.
“Kupikir
kau sudah tidak merindukanku lagi. Dasar kalian chick—para gadis—memang selalu ingin membuat cowok-cowok putus
asa!”
“Berhenti bilang chick! Bagian mana dari kami yang menyerupai gumpalan kuning yang
makan cacing untuk camilan dan menciap-ciap?”
Johan tertawa mendengar protesku. “Ciap—ciap—ciap.” Ulangnya menirukan
anak ayam, mencoba membuatku kesal.
Aku memutar bola mata dan tertawa
setelahnya. “Oh, dewasa sekali, Mr. Stavilosky. Aku sangat terkesan.” Sindirku.
“Terima
kasih, Miss Cardia. Aku merasa tersanjung atas pujianmu.” Johan terkekeh. “Ngomong-ngomong, bolehkah aku mengajakmu
berkencan besok malam?”
Dadaku menggelepar. Aku tahu Johan menanti
jawabanku, tapi lidahku sepertinya kehilangan niat untuk berkata lagi.
“Aku—well,
kau tahu kan kalau aku tidak boleh berkencan? Aku terikat dengan peraturan
sinting itu. Ingat?”
Kudengar Johan mendengus kesal. “Oh, yeah. Benar. Tapi, hei, bagaimana kalau sekedar
berjalan bersama teman lama? Bukankah itu tidak melanggar peraturan?”
“Itu baru tawaran bagus.” Ujarku tersenyum
lebar.
***
Kupikir pagi ini bakal menjadi hari yang
cerah. Karena saat aku membuka mata, kulihat sms Johan yang di penuhi emoticon tersenyum. Tapi ketika aku tiba
di kantor, pagiku yang sempurna langsung menggelinding ke jurang tak beralas. Tergantikan
dengan sebuah berita menggemparkan.
Claudia Thompson di temukan tewas di salah
satu penginapan di West Adams.
Diduga wanita itu meninggal akibat
keracunan alkohol. Tapi otakku tak lagi berasumsi apapun. Paragraf demi paragraf
yang kubaca di LA Today sama sekali tak
melekat di kepalaku. Aku merasa déjà vu. Peristiwa ini seakan membuka kembali
ingatanku satu minggu yang lalu, ketika kematian Anne J. Loombergh terjadi
begitu mendadak dan sangat misterius. Jantungku berpacu. Sebuah kesimpulan gila
terbesit di pikiranku sebab aku tahu baru kemarin pagi Claudia menemui bosku.
Lee Donghae.
Asumsiku membuat tubuhku gemetar saat
melangkah ke ruang kerja Donghae. Pria itu baru tiba lima menit yang lalu dan
seperti biasa, Donghae memintaku memberikanku segelas kopi organik sekaligus
memberikan laporan.
“Selamat pagi, Miss Cardia.” Ujarnya
santai. Aku melayangkan pandangan gugup dan membalas sapaannya dengan kaku.
“Pagi yang cerah.” Kata Donghae lagi.
“Sir, Adam Keanne menyampaikan bahwa Briefing Event akan di mulai pukul sepuluh.”
Donghae menatapku sebentar lalu mengambil
tumpukan laporan paling atas. “Baiklah. Aku akan turun setengah jam lagi. Apakah
persiapannya berjalan lancar?” Ia membaca beberapa kalimat dan membalikkan
halaman dengan cepat.
“Sampai saat ini semuanya telah
terorganisir dengan baik, Sir. Kupikir kedatangan anda-lah yang paling di
nantikan oleh seluruh karyawan.” Sudah jelas. Tak ada satupun karyawan wanita
yang tidak ingin melewatkan kesempatan untuk berlama-lama menatap Donghae.
“Begitu? Kalau begitu bagus.” Komentarnya datar.
Ia meletakkan laporan pertama dan memandangiku lambat-lambat. “Ada apa, Miss
Cardia?”
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Tapi
Donghae juga bisa mengerti keterkejutanku.
“Aku memperhatikan, kalau kau mulai mengernyit
dan terus menerus menatap lantai itu berarti kau sedang memikirkan sesuatu.”
Matanya menatapku tajam. Membuatku sedikit
tersipu karena ternyata pria itu memperhatikanku. Namun aku memilih untuk menutup
mulutku rapat-rapat karena aku tak yakin Donghae bakal senang dengan
pemikiranku saat ini.
“Miss Cardia, kau sangat mudah di baca. Dan
aku ingin kau menjawabku.” Kali ini suara Donghae terdengar penuh penekanan.
Aku menelan ludah sebelum menjawabnya. Berbohong
juga bakal percuma. Pria itu pasti bisa tahu dengan cepat kalau aku tidak berkata
jujur.
“Aku—aku mendengar kabar kalau Claudia
Thompson telah meninggal, Sir.” Bisikku tak bernyali.
Wajah Donghae tak terbaca. Ganti ia yang
membungkam, membuatku mematung dengan dada berdebar keras. Tapi kira-kira beberapa
menit kemudian Donghae kembali bersikap normal.
“Kudengar juga begitu.” Jawabnya datar. “Apakah
itu yang mengganggumu?”
“Ya, Sir.”
“Aku tidak percaya ini. Kau merasa
terganggu dengan kematian seseorang yang kau benci dan bukannya mencemaskan
keadaan sahabatmu?”
Perkataan Donghae terasa seperti tamparan
keras di pipiku. Ia menghujamku dengan tatapan keras, hingga wajahku memerah
karena malu dan panas karena emosi.
“Thus
far I do think about Janne and cry a lot. But for me, the death is a cruel
thing, Sir. Though I do hate Claudia, I can’t act like everything was fine
because she died.” Jawabanku terdengar tersinggung dan Donghae kembali
melunak.
“Okay
then,” ujarnya mengangkat bahu. “Kalau begitu kenapa kau merasa terganggu?”
“Aku tidak percaya Claudia meninggal
karena keracunan alkohol, Sir.”
“Jadi maksudmu Claudia dibunuh?”
“Benar.”
Kami bertatapan lama sekali. Rasanya kakiku
mulai kebas dan ketika akhirnya Donghae mengalihkan pandangannya, aku menahan desahan
lega.
“Dugaanmu cukup menarik,” ujarnya tersenyum.
Tapi aku mengetahui bahwa senyumnya untuk menutupi kegelisahan Donghae yang mulai
tampak. “Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan, Miss Cardia. Kurasa sebaiknya
kita menyerahkan hal ini kepada kepolisian.”
Aku mengangguk dan mengamatinya dari sudut
mataku sebelum keluar ruangan. Tapi baru beberapa langkah, Donghae memanggilku.
“Beritahu Adam Keanne untuk memberikanku seluruh
konsep Briefing Event kali ini.”
“Baik, Sir.” Jawabku patuh dan langsung
keluar untuk menghubungi Adam.
“Hei, Youva. Apakah ada masalah di dalam?”
Aku menoleh dan mendapati Adam baru saja
menutup pintu di belakangnya. Ia terlihat bingung. Bibirnya mengerut dan ia
menanti jawabanku. Aku mengangkat bahu padanya.
“Apakah bos mengatakan sesuatu padamu?”
tanyaku.
Adam bersandar di ujung mejaku dan sebelah
tangannya menyisir rambut dengan mengesankan. Aku akan jujur mengatakan kalau
pria ini memang keren. Adam memiliki rambut pirang tembaga dan mata biru yang
indah. Postur tubuhnya cukup tinggi dan ia sangat sering tersenyum. Menjadikan
wajahnya selalu terlihat menyenangkan.
“Tidak, sih. Tapi sepertinya ia
kelimpungan dengan semua laporan-laporan itu.”
“Seingatku aku hanya memberinya tiga
laporan pagi ini.”
“Kalau begitu laporannya pasti menggandakan
diri. Karena menurutku laporan itu benar-benar menggunung.” Ujarnya sambil
tersenyum.
Aku membalas senyumnya dan setelahnya kami
mulai mengobrol ringan. Adam memiliki rasa humor yang bagus dan ia pintar merebut
perhatian. Jadi selama sekitar sepuluh menit kemudian, kami terus mengobrol dan
sesekali tertawa. Sama sekali tidak menyadari kalau Donghae ternyata
memperhatikan kami.
“Bisa kita pergi sekarang, Mr. Keanne?”
Kami terlonjak kaget dan Adam buru-buru membungkuk
hormat pada Donghae yang menatapnya tajam. Aku ikut berdiri dan mulai merapikan
mejaku tapi Donghae memberiku perintah lain.
“Kau tinggal di sini, Miss Cardia. Johny Verto
dari John-Well mungkin akan menghubungimu.”
Tubuhku masih terpaku sementara dua orang
pria itu telah masuk ke dalam lift dan menghilang sejurus kemudian.
Bukankah John-Well bisa menghubungi ponselku?
Kedengarannya sangat aneh Donghae memintaku untuk berjaga menunggu telepon.
***
Pukul
dua belas tepat, Johny Verto tiba di gedung PHOENIX beserta beberapa orang
staff-nya termasuk Billy Verto. Aku berpura-pura tak melihatnya ketika pria itu
melemparkan senyumnya yang menjijikan. Karena Donghae masih di sibukkan dengan Briefing Event, akhirnya aku harus mengantar
Johny Verto dan para staffnya ke ruangan meeting.
“Miss
Cardia, Craig Dale akan memberikanmu laporan hasil rapat terakhir dengan John-Well
dalam lima menit. Kau bisa memberikan salinannya pada Johny Verto.”
Perintah Donghae cukup jelas. Tetapi saat
kuberikan, Johny Verto malah menginginkan salinan notula diskusi antara Donghae
dan Billy kemarin siang. Aku meminta mereka menunggu dan buru-buru kembali ke ruangan
Donghae. Di antara tiga laporan yang kuberikan padanya pagi tadi, salah satunya
berisi notula Billy Verto.
Langkahku terhenti saat tiba di depan
pintu ruangan Donghae. Benakku sibuk berspekulasi, apakah aku harus menghubungi
Donghae untuk meminta ijin lebih dulu? Tapi pria itu pasti mengerti kalau ini
mendesak.
Saat kubuka, ruangannya benar-benar kosong
dan menimbulkan kesunyian yang aneh. Aku tak pernah masuk ke ruangan ini tanpa Donghae
sebelumnya. Jadi tanganku gemetar ketika aku mencari-cari laporan. Dan Adam
benar. Meja Donghae di penuhi tumpukan laporan yang memenuhi setiap jengkal
permukaannya, menjadikan usahaku untuk menemukan laporan itu semakin lama. Dan
saat aku berhasil menarik notula rapat yang berada paling bawah, aku tak
sengaja menggeser beberapa laporan hingga kertas-kertas itu berserakan di bawah
meja.
Sambil merutuki kecerobohanku, aku
mengutip kertas-kertas itu dan terkejut mendapati sebuah kalimat—bukan, aku
bahkan tak bisa membacanya dengan benar.
Tiga huruf dengan bentuk aneh dan huruf N di tengahnya. Aku masih belum bisa memutuskan apakah kalimat itu harus dibaca seperti apa ketika mataku menangkap sebuah foto di halaman selanjutnya.
Tiga huruf dengan bentuk aneh dan huruf N di tengahnya. Aku masih belum bisa memutuskan apakah kalimat itu harus dibaca seperti apa ketika mataku menangkap sebuah foto di halaman selanjutnya.
Mataku melebar tak percaya. Foto wajah
Claudia yang sedang tersenyum berada di ujung kertas! Detik selanjutnya barulah
aku menyadari bahwa kertas itu berisi resume
dirinya. Aku membaca sekilas latar belakang Claudia dengan kepanikan di level
tertinggi. Data hidupnya di tulis dengan sangat lengkap, bahkan juga berisi kebiasaannya
yang unik seperti ‘menggaruk telinga bawah dengan jari kelingking’. Kubalik
lagi cover laporan ini untuk
memastikan apa yang sedang kubaca dan aku menemukan stempel dengan tulisan CONFIDENTIAL
tertera di ujung bawahnya.
Jari-jariku kini tak bisa berhenti
gemetaran. Aku membalik data diri Claudia yang mencapai lima halaman dan menemukan
tanda tangan Donghae di halaman terakhir, di bawah keterangan yang baru saja di
tambahkan: Dead.
. Belum cukup sampai di situ, aku juga harus
di hadapkan pada sebuah informasi baru. Sebuah data diri misterius tanpa foto berada
di balik resume Claudia. Rahangku
nyaris jatuh saat membaca namanya:
Jason Andersen.
Sama sekali tak ada keterangan yang
memadai selain keterangan yang dibubuhkan di tengah kertas:
Status:
Masih dalam pencarian
Kode:
Oranye
Keterangan:
Bunuh jika melawan
Jason Andersen masih dalam pencarian? Bukankah
Donghae telah bertemu dengannya kurang dari seminggu yang lalu? Semuanya terasa
membingungkan. Kematian Anne, Claudia, dan kini Jason Andersen juga akan
menjadi korban?
Dan tiba-tiba pintu menjeblak terbuka. Jantungku
rasanya meloncat ke Bulan saat kedua mata Donghae menatapku terkejut. Jari-jariku
tergelincir dan menjatuhkan lagi laporan yang tadi kupungut.
“Miss Cardia? Apa yang kau lakukan di
sini?”
“Ak—Aku mencari laporan—maksudku notula
rapat, Sir.” Jawabku terbata-bata. Dahiku mengucurkan keringat deras dan darah dengan
cepat surut dari wajahku.
Donghae berjalan mendekatiku dan aku
segera mengambil laporan itu lalu menyisipkannya di antara tumpukan
laporan-laporan yang lain sebelum pria itu mencapai meja. Ia mengernyit bingung
menatapku.
“Kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali.”
Tanyanya terdengar khawatir.
Aku memandanginya dan berteriak dalam
hati. “Apa-apa, Sir. Aku baru saja
menemukan fakta bahwa Anda lah yang membunuh Claudia!”
“Aku baik-baik saja, Sir. Sepertinya kepalaku
sedikit migrain. Itu saja.” Jawabku dengan suara serak.
Ia terlihat ragu tapi akhirnya percaya
dengan aktingku. Dan Donghae menatap kepergianku lekat-lekat. Benar-benar
berusaha mencari tahu apa yang membuatku begitu gemetaran.
Begitu pintu mahoni itu menutup di
belakangku, aku langsung menarik napas panjang dan berjalan menuju lift dengan langkah
sempoyongan.
Donghae benar-benar seorang pembunuh..
Haruskah aku mengadukannya? Kemana? Kenapa?
Aku tidak bisa terus berada di sini. Aku
tidak ingin terlibat dengan pembunuh.
Dan aku takut.
***

huft setelah aku pikir eonni mogok nulis karna lama banget gak keluar akhirnya muncul juga part 6 nya. eonni~ maaf yaaa aku selalu jadi sider gara2 aku gatau mau nulis apa di kolom komentar :') tapi aku sukaaa ff nyaa. pasti akhir2 ini lagi sibuk yaa? semangaaatt~
BalasHapusentahlah tapi kenapa penjelasan eonni ttg donghae itu bikin aku makin gila sama donghaeee aaaaa ganteng :")
pertanyaan yg selalu aku pikir itu buat apa donghae ngebunuh orang2 itu? apa dendam masa lalu? mungkin biar bisnisnya lancar?
youva harus kuaatt. ditunggu eonn lanjutannya. amat sangat ditunggu gimana akhir cerita youva sama donghae <3
halo!
Hapusmakasih ya udah ninggalin komentar hehe:) Insya Allaah aku enggak mogok nulis kok, aku kepingin bgt bisa namatin SCARLET. tapi emang bener belakangan aku sibuuuuukkkk banget T_T terima kasih semangatnya :)
aku juga entah kenapa semakin gila sama donge. dia emang ganteng sih ya huhu T.T *kekepin*
aaaaa i wont reveal anything hehehe not yet. sabar yak, satu persatu bakal aku ungkap kok, pokoknya aku berusaha untuk bikin cerita sebagus mungkin, supaya makin penasaran *eh*
bingung mw comment apa
BalasHapusmasih penuh misteri
makin penasaran nih ma ceritanya semangat buat cerita2 selanjutnya
Makasih~^^
Hapusceritanya penuh misteri #khas kakak
BalasHapusselalu bisa bikin pembaca penasaran.. eonni memang suka story genre kayak gini yah.. masalahnya q baca semua story eonni rata-rata kayak gini genrenya teka-teki?
wah aku sama sekali nggak sadar. soalnya aku ga pinter bikin romance, jadi jatuhnya ya cerita kayak gini huhu
HapusJdi bnrn ni Donghae pembunuh ny? ._.
BalasHapusDuhhh masi misterii.. Penasaran sma kelanjutannyaaaa...
Lanjut ya eon~ fighting~
Wew... aku akui kontrol dirinya cardia bagus. Kalau aku diposisinya dia, mungkin udah diam membisu kyk patung. Bayangkan aja, kamu kerja bersama orang yang kamu anggap "pembunuh".. pasti takut kalau salah dikit justru dibunuh...
BalasHapuseonni... i like this ff..