Kamis, 09 Oktober 2014

FANFIC : SCARLET [6]


TITLE                 : SCARLET [ 6 ]
GENRE                : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING               : PG-17
CAST                  : Lee Donghae
                            Youva Cardia
Author                  : @Aoirin_Sora



Summary:
Aku benci saat ia tersenyum atau saat ia menatapku begitu dalam. Rasanya sangat tidak adil jika ia menyiksaku secara perlahan-lahan seperti itu. Sebab aku tahu, aku tidak bisa memilikinya. Pria itu hanya akan menjadi mimpi tak terbalaskan dari keinginan sintingku. Aku tidak ingin ia pergi, karena punggungnya yang menjaduh dariku bukanlah hal yang kunantikan. Tapi aku juga tidak ingin ia tetap di sampingku, karena tidak mungkin kendaliku yang begitu lemah bisa bertahan dari pesonanya. Semuanya membuatku tak bisa bernapas. Baik sikapnya yang selalu memojokkanku atau daya tariknya yang mendorongku untuk berdiri di ujung jurang kehancuran.
Pria itu murni seperti malaikat. Tapi ia kejam bagai iblis.


***


CHAPTER SIX: DRAWING THE LINE



Aku membuka mata dengan detakan jantung tak beraturan. Alarmku belum berdering, itu artinya aku bangun terlalu cepat. Well, malah sebenarnya aku tidak benar-benar tertidur berapa jam belakangan. Otakku kelewat bersemangat untuk menanti pagi hari, sembari memutar ulang setiap detik ingatan saat pria itu berada di kamarku. Samar-samar bau parfumnya masih mengisi udara, membiusku dalam lonjakan hasrat aneh yang tak bisa kukendalikan. Lee Donghae merusak pertahananku. Ia menjadikannya tak berarti, meski untungnya aku berhasil—setelah berjuang begitu keras—mempertahankan pekerjaanku.
Dalam gerakan tak beraturan, aku berhasil bersiap dengan pikiran melayang kacau. Chad menjemputku pukul delapan tepat. Ia bahkan menaikkan alisnya saat melihatku berjalan masuk ke mobil dengan langkah linglung.
“Hai.” Sapaku lemah.
“Kau baik?” aku mendengar suara Chad sedikit ragu.
Sebagai jawaban, aku bergumam tak jelas. Meski wajahku terlihat kosong, jantungku malah berdetak terlampau keras. Aku benar-benar berharap Chad mengebut, agar kami bisa tiba dalam waktu sekejap dan agar aku bisa segera melihatnya.
Tetapi kenyataannya, kami tiba hampir empat puluh menit kemudian. Saat aku nyaris mengutuk keramaian di Wilshire. Deretan antrean panjang mobil-mobil yang menjamur di sepanjang jalan membuatku terus menerus berdecak gelisah. Jadi saat Chad berhenti di parkiran, aku langsung melesat keluar, meninggalkannya kebingungan.
Kakiku merangsek maju menembus lautan manusia yang memadati lobi dengan kecepatan penuh. Aku tidak mencemaskan keterlambatanku, tapi rasa aneh di dadaku lah yang membuat tungkai kakiku berjalan tergesa-gesa. Aku ingin tiba secepat mungkin, dan memastikan bahwa pria itu memang sudah pulang.
Di dalam hall PHOENIX, aku menyenggol Trace—staff Divisi II bagian Keamanan—dan ia melayangkan pandangan terkejut padaku. Sebagai permintaan maaf, aku hanya meringgis sambil tidak mengurangi kecepatan berjalanku—yang sekarang bisa didefinisikan sebagai berlari.
Pintu lift berdenting terbuka dan aku tidak meletakkan tasku seperti biasanya. Jari-jari tanganku terulur menuju pegangan pintu mahoni berukir indah yang tertutup rapat. Jantungku ingin meledak karena kekurangan suplai oksigen, tapi rasanya bakal berubah jadi debu saat kedua mataku menemukan sosoknya yang tengah duduk di balik meja. Pria itu mendongak menatapku perlahan. Sepasang mata indahnya mengamatiku yang separuh sinting—berdiri dengan napas terengah, mata tak fokus dan mulut menganga.
Lee Donghae memandangku dari atas hingga bawah lalu menaikkan alisnya tinggi. Aku balas mengerjap dan ia mendesah. “Laporanku, Miss Cardia.” Ujarnya geli.
Kesadaran menghantamku dan aku langsung keluar, meraih laporan di atas mejaku dan segera kembali ke hadapannya.
Astaga, kenapa dia begitu tampan? Batinku menggigit bibir.
“Selamat pagi, Sir.” Ujarku nyaring. Tanganku yang gemetar menyodorkan beberapa tumpuk laporan itu pada Lee Donghae.
Pria itu memandangiku lambat-lambat. Untuk sesaat tidak ada setitik ekspresipun di sana. Matanya terlihat dingin dan wajahnya datar. Tapi satu milidetik berikutnya ia tersenyum hangat. “Selamat pagi, Miss Cardia.” Balasnya menyanyi di telingaku.
Jantungku bagai dipalu dengan godam baja super besar saat ia menyuguhkan senyumannya. Wajahku kelihatan idiot dan mendamba pada saat yang bersamaan. Dan Donghae menyadari hal itu.
“Kuharap kau mendapat tidur yang cukup, Miss Cardia.” Katanya tersirat. Ujung bibirnya berkedut sedikit, membuatku yakin bahwa ia menahan tawanya.
“Err.. Aku pikir tidak, Sir.” Jawabku lambat. Aku mati-matian memerintahkan otot wajahku kembali seperti biasa tapi sialnya mataku masih menatap pria itu dengan tidak fokus.
Senyum Donghae membelah pertahananku. Pria itu meletakkan pena baja indah yang memiliki sepuhan perak pada ujungnya di atas meja dan tangannya langsung menuju dagunya. Ia membelai bibir bawahnya dengan telunjuk secara perlahan-lahan, mengamatiku sejenak dengan mata menyipit. Bisa kudengar ada yang meledak dan hancur berkeping-keping di belakang kepalaku. Betapa senyumnya merusak keseimbangan.
 “Aku menyesal untuk yang satu itu, Miss Cardia. Dan sebagai permintaan maaf, aku menawarkan padamu satu jam untuk beristirahat.”
“E—eh?” ujar tergagap.
Donghae melipat kedua tangannya di belakang kepala dan bersandar di sana. Otot dadanya langsung membuyarkan konsentrasiku. Pria tampan ini tidak mengenakan jas. Ia membiarkan ototnya yang mengagumkan itu hanya terbungkus kemeja putih dengan dasi hitam polos menggantung di lehernya.
“Istirahatlah, Miss Cardia. Kau sepertinya sangat membutuhkan itu.”
Aku bisa mendengar semacam ejekan di balik perkataannya. Belum lagi senyum miringnya yang terukir di sudut bibirnya, dan ia juga menaikkan alis!
“Err… terima kasih, Sir. Tapi aku pikir aku baik-baik saja.” Ucapku akhirnya setelah berdeham satu kali.
Donghae memandangku sedikit lama. Mencoba mendeteksi kebohongan atau keraguan dari jawabanku tapi akhirnya ia mengangkat bahu lalu menarik tumpukan laporan yang tadi kuletakkan. “Kalau begitu bacakan jadwalku hari ini.” Ujarnya kembali serius.
Aku merogoh tasku dan mengambil notes lalu mulai bersuara keras. “Sebenarnya, Sir, anda memiliki total 42 recall dari klien anda dan mereka meminta anda mengkonfirmasi tanggal pertemuan secepatnya. Pagi ini anda memiliki rapat dengan John-Well Ltd. namun mereka memundurkan rapat menjadi pukul dua belas siang ini. Briefing karyawan PHOENIX telah diubah menjadi hari rabu pagi. Dan itu artinya pagi ini jadwal anda kosong. Mr. Takeshi Kikuchi menelponku kemarin siang untuk meminta pertemuan di percepat menjadi hari ini tetapi aku belum memberikan jawaban. Kalau anda bersedia, aku akan memberitahu Mr. Kikuchi untuk membuat janji temu pukul dua lewat lima belas, Sir.”
“Pertama-tama,” kata Donghae setelah menarik napas. Aku bersiaga dengan pulpen dan notesku. “Berikan data 42 klien yang menunggu konfirmasiku. Aku akan menghubungi mereka satu persatu. Kedua, katakan pada Takeshi untuk menungguku di The Greek Teather pukul setengah dua. Aku yakin rapat dengan John-Well tidak akan memakan waktu lama. Dan ketiga, Claudia Thompson baru saja menelponku untuk menjadwalkan sebuah pertemuan mendesak dalam.. ah, lima belas menit lagi.”
Seharusnya aku bersikap biasa saja, atau paling tidak mencegah mataku melotot keluar seperti perempuan sinting karena aku bersumpah Donghae menyipitkan mata tidak suka saat melihat reaksiku. Tapi perbuatannya terhenti karena pria itu buru-buru menjawab panggilan melalui ponselnya.
“Aku tahu. Jadwalkan tiga puluh menit lagi, Miss Bundy. Dan kau selalu bisa mengandalkan sekretarisku.”
Perkataannya membuatku sedikit tersipu dan bingung. Aku tak tahu apa yang Celine Bundy diskusikan dengan bosku tetapi Donghae sepertinya tidak ingin wanita berdarah Meksiko itu menghubunginya lewat ponsel. Panggilan berlangsung singkat dan setelahnya Donghae kembali menatapku. Antisipasi berkelebat di matanya. Dan aku tahu apa yang ia tunggu.
“Aku.. Well, aku tidak akan membuat keributan, Sir.” Bisikku parau. Karena ia bosku, ia langsung bisa mendeteksi suaraku yang kelewat gugup.
“Tidak, Miss Cardia. Aku tidak ingin kau tidak membuat keributan. Aku ingin kau menunjukkan keprofesionalitas-anmu. Bisakah aku berharap itu padamu?”
Bersikap professional artinya menahan emosi, menjaga tingkah laku, menggigit lidahku sampai berdarah dan membuat kepalaku dipenuhi kabut asap. Oke, aku harus berhenti bersikap pesimis. Sedikit kadar optimisme akan membantu.
“Ya, Sir. Anda bisa mengandalkanku. Aku berjanji tidak akan mengecewakan Anda.” Jawabku setelah bersusah payah menjaga volume suaraku menjadi normal. Setidaknya aku akan mencoba.
Donghae melemparkan senyum mautnya dan berbinar menatapku. Belum-belum aku sudah menggigit lidahku kelewat keras hingga rasanya menyakitkan. Tapi senyumnya yang seperti itu benar-benar membuat hilang akal. “Terima kasih, Miss Cardia.” Ungkapnya tulus dan aku tak tahan untuk tak tersenyum.
Ganti Donghae yang terperangah menatapku dan ia menyunggingkan senyumnya lebih lebar lagi. “Aku suka kalau kau tersenyum.” Katanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia bahkan membuatku harus merasakan debaran jantungku yang terdengar hingga ke telinga. Jujur nih, aku bisa mati kalau ia tidak berhenti menggodaku.
“Err.. terima—kasih—Sir.” Jawabku gagap.
Aku sempat mendengar Donghae mendengus geli dan setelahnya ia mengibaskan tangannya ke udara. “Kau bisa kembali ke mejamu, Miss Cardia. Tolong e-mail saja ke-42 klien yang menunggu konfirmasiku.”
“Baik, Sir.” Kataku cepat dan langsung beranjak dari hadapannya.
Di mejaku, terjadi perang telepon. Aku tidak tahu apa yang membuat klien-klien Donghae seperti kesetanan, menelponku pada pukul setengah Sembilan pagi dan mendesak untuk melakukan pertemuan secepatnya. Dari Sepuluh panggilan yang menginterupsi pagiku dalam lima belas menit ini, delapan di antaranya adalah wanita. Mereka semuanya hampir mirip; mendesak, penuh emosi, dan memberiku jawaban sengit saat kubilang aku akan menjadawalkan pertemuan mereka dalam beberapa hari.
Aku membanting telepon terakhir—tentunya setelah memastikan bahwa sang penelpon terlebih dulu memutuskan panggilan—ketika pintu lift berdenting dan terbuka. Claudia muncul dengan auranya yang menyebalkan. Ia memakai sarung tangan kulit putih yang terlihat menunjang penampilannya yang mewah. Rambutnya tergerai indah dengan sedikit gelombang di ujungnya. Lipstiknya merah membara, menambah kesan sensual tubuhnya yang lagi-lagi mengenakan mesh dress. Claudia melempar desisan saat berhenti di seberang mejaku. Ia melipat tangannya di dada.
“Kenapa kau masih di sini?” nadanya jelas menghinaku. Aku terpaksa menarik napas dalam-dalam dan mengingat binaran mata Donghae yang penuh pengharapan sebelum menjawab wanita sialan itu.
“Silahkan masuk, Miss Thompson. Mr. Lee Donghae sudah menunggu anda.” Jawabku berusaha mengendalikan emosi. Aku membungkuk sedikit, mengarahkan pandanganku ke sudut meja. Berharap tatapanku tidak melubangi mejaku yang tak bersalah.
“Hemph.” Claudia mendengus menyebalkan. “Mana mulut besarmu yang biasanya, gadis miskin penerima tunjangan pemerintah?” Seperti biasa, Claudia sengaja memberi tekanan pada suku kata terakhir dengan gaya menyebalkan.
“Miss, Mr. Lee sudah menunggu anda di dalam.” Ulangku masih bersabar. Enggak, aku benar-benar marah dan tanganku gatal untuk melemparnya dengan monitor 21 inci di depanku.
“Jadi akhirnya kau tahu siapa yang berkuasa di sini, eh? Dengarkan aku, gadis miskin kurang ajar. Kau harus tahu diri. Kalau tidak, aku akan mengadukanmu pada Donghae—”
“Kau yang dengar, Claudia Thompson. Satu patah kata lagi kau berani menghina sekretarisku, kupastikan kakimu tidak akan bisa melangkah ke kantorku lagi.”
Kami—maksudku, aku dan Claudia—terperanjat dan buru-buru melihat ke arah sumber suara.
Sejak kapan Donghae berdiri di sana? Ekspresi wajahnya terlihat keras dengan bibir mengatup rapat. Ia memberikan tatapan garang pada Claudia yang tiba-tiba saja menciut menjadi seukuran bayi kucing. Wanita itu mengkeret di ujung sana dan mengejap tak nyaman.
“Aku—aku tidak—”
“Satu patah kata lagi, Claudia. Dan aku tidak bercanda untuk menendangmu keluar sekarang juga.”
Atmosfir berubah dingin selama beberapa saat. Claudia membeku di bawah tatapan mengintimidasi Donghae. Dan aku masih mencoba berakting sebagai salah satu pajangan dinding, tak berani menarik napas selagi Donghae membakar retinanya pada wanita itu.
“Beritahu aku seandainya kau menerima hinaan dari klienku, Miss Cardia. Aku tidak ingin bekerja sama dengan seseorang yang pikirannya dangkal.” Tatapan Donghae tidak beralih padaku tetapi aku yakin ia menangkap sudut bibirku yang berkedut bahagia. Belum sempat aku memberikan jawaban apapun selain mengangguk, Donghae kembali berkata. “Kalau kau bisa menghentikan sikap kekanakanmu, kau bisa masuk sekarang, Claudia.”
Claudia mendadak lega dan ia menatap penuh pemujaan pada Donghae yang tidak berhenti melotot padanya. Kupikir bahkan Claudia sekalipun benar-benar kehilangan taringnya jika Donghae telah memberikan perintah.
Donghae masuk dan Claudia mengikuti pria itu. Ia tidak melirikku, tapi aku tahu Claudia sedang menahan rasa malunya sebab tengkuknya merah terang. Dan setelahnya pintu menutup, memisahkan aku dari percakapan pribadi mereka.



Pekerjaanku mendadak menjadi dua kali lipat banyaknya; Celine Bundy datang dengan segudang laporan keuangan yang baru selesai ia analisis. Telepon dari klien-klien yang protes karena meeting terus diundur. Dan Adam Keanne memintaku untuk membereskan beberapa hal berkenaan dengan acara Briefing Event yang akan dilaksanakan besok pagi. Belum lagi laporan untuk perusahaan-perusahaan investor yang harus segera kuselesaikan. Aku yakin aku akan mati karena tidak sempat menarik napas!
Pukul dua belas kurang lima belas menit, ponselku bergetar. Aku tidak diperbolehkan untuk menggunakan ponsel saat jam bekerja, tentu. Tapi karena benda itu kembali bergetar dalam dua menit, kuputuskan untuk mengeceknya.
Sms pertama:
Hei cantik. Kau sibuk?
Dari Johan. Ya ampun. Aku tak tahan untuk tidak memutar bola mata saat melihat smsnya yang kedua.
Kuharap kau tidak keberatan untuk dinner denganku malam ini.
Aku mengetik balasan untuknya dengan kecepatan super. Kalau sampai Donghae memergokiku sedang bermalas-malasan dengan ponsel sementara pekerjaanku masih menumpuk, ia pasti bakal murka.
Yep, aku sangat sibuk. Maaf Johan, sepertinya tidak bisa malam ini. Aku harus menyiapkan laporan. Ketemu kau dalam mimpi. Dah.

Balasannya tiba tak sampai satu menit kemudian.
Semoga kau tidak mengajakku ke Disneyland di mimpimu.
PS: maaf telah menggagumu.

Bibirku melengkung membentuk senyuman. Johan masih kurang bisa mengerti seleraku yang sedikit aneh. Enggak, sama sekali enggak aneh menurutku. Bukannya wajar jika cewek mencintai Disneyland? Maksudku, tahulah, Disneyland itu kan tempat dimana semua fantasi terindah muncul; pangeran berkuda putih, kastil-kastil raja, putri dan permaisuri yang cantik jelita, tokoh-tokoh imajinasi seperti kurcaci, putri duyung bahkan nenek sihir sekalipun bisa menjadi hal yang begitu menarik yang tak mungkin ada di dunia ini. Tetapi Johan menganggap seleraku menyimpang dari wanita seusiaku. Dan waktu aku ngotot mengatakan padanya kalau tak ada batasan umur untuk mencintai Disneyland, Johan nyaris butuh semprotan asma ia karena tertawa lama sekali.

Aku senang mengecewakanmu. Karena jawabannya adalah YA dengan Bold, Underline dan  Italic.
PS: jangan memutar bola matamu saat membacanya!

Satu menit kemudian, Johan membalas.
Tidak bisakah kau membawaku ke Beverly Hotel, misalnya?
PS: Aku senang mengecewakanmu. Karena jawabannya adalah TIDAK dengan Bold, Underline dan Italic.

Kali ini aku benar-benar tertawa. Sambil membalas sms Johan, aku mengambil beberapa laporan dan membukanya di atas meja. Berharap konsentrasiku bisa terbagi dua.
Silahkan pergi dengan mimpimu, Johan. Kereta mimpiku hanya berhenti di Disneyland.
PS: Sangat tidak kreatif, Mr. Stavilosky.

Satu detik setelah aku memasukkan ponsel ke dalam saku, pintu menjeblak terbuka, membuatku terlonjak panik. Claudia yang lebih dulu muncul. Rambutnya berkibar karena langkahnya yang tergesa-gesa. Wajahnya terlihat kesal dan ia tidak berhenti untuk berbalik ke belakang, kepada Lee Donghae yang berdiri di ambang pintu.
Ekspresi Donghae tak terbaca. Ia menatap Claudia yang kini baru memasuki lift dan menekan tombol ke lantai dasar dengan bibir mengatup. Separuh kancing kemeja Donghae terlepas dan rambutnya terlihat kusut. Bahkan dasinya sudah menghilang entah kemana. Ia hanya berdiri dengan salah satu tangannya menyisip di saku celana.
“Apakah perwakilan John-Well sudah datang?”
Pertanyaannya lagi-lagi membuatku terkejut. Aku tahu ia sedang bertanya padaku meskipun tatapannya masih mengekori Claudia. Baru ketika pintu lift menutup, pria itu memberikan perhatiannya padaku.
“Eh, belum, Sir. Saya pikir mereka akan tiba beberapa menit lagi.” Jawabku tergagap.
Donghae mengangguk dan mengulum bibirnya. “Beritahu aku kalau mereka sudah tiba.” Ucapnya datar dan langsung berbalik begitu aku mengangguk patuh.
Aku bertanya-tanya apa yang membuat Claudia menjadi begitu kesal karena sangat tidak biasa melihat seorang wanita bisa kesal pada makhluk rupawan seperti Donghae. Tapi rasa penasaranku segera teralihkan begitu Chad menelponku beberapa menit setelahnya.
Hei, Youva. Bisakah kau mengatakan pada Bos kalau Johny Verto tidak bisa hadir dan Billy Verto yang akan menggantikannya?
“Oke.” Jawabku cepat dan langsung menghubungi Donghae ketika Chad memutuskan panggilannya.
Sepuluh menit kemudian, aku dan Donghae sedang berada di koridor menuju ruang rapat. Pria di depanku telah mengganti kemeja putih cemerlangnya dengan kaus putih berkerah lebar dan jas biru langit cerah. Ia menambahkan sebuah kalung Rosario di lehernya, menjuntai hingga mencapai dada.
Rambutnya basah. Lembab karena tak dikeringkan dengan hair-dryer dan warna cokelatnya yang berkilau tertimpa cahaya matahari membuat lututku lemas. Bahkan dari belakang siluetnya bisa menggoyahkan tekadku. Serius, ketampanan Lee Donghae benar-benar mengerikan.
Kami tiba di ruang meeting dan Donghae menyalami seorang pria muda dengan tampang aneh. Giginya berjejer tak rapi, ujung hidungnya merah dan matanya berair. Pria itu juga menjabat tanganku dan memperkenalkan dirinya dengan cengiran tolol dan menjijikan.
“Aku Billy Verto. Direktur Marketing Finance John-Well Ltd.”
Aku menyunggingkan senyum terpaksa di bawah tatapan penuh peringatan Donghae. “Err.. Senang bertemu dengan anda. Aku Youva Cardia. Sekretaris Mr. Lee Donghae, Sir.” Balasku berusaha professional.
Billy Verto berkedip padaku dan aku benar-benar kepingin muntah karena tampangnya yang menjijikan itu. “Pasti enak punya sekretaris cantik, eh?” ujarnya pada Donghae sambil sesekali melirikku dengan tatapan lapar. Aku bergidik dan bersumpah akan menendangnya ke Bulan kalau saja tak ada bosku. Maksudku, kalau Donghae bukan bosku.
“Apa kau pikir Sekretarisku bisa kau tiduri? Berhenti menatapnya atau kucungkil bola matamu keluar, Billy Verto. Dan sebaiknya simpan napas baumu itu karena baunya benar-benar menjijikan.”
Aku nyaris meledak tertawa karena meskipun perkataan Donghae terdengar begitu kasar, tapi kupikir ada benarnya. Serius, aku kepingin ketawa tapi aku harus menahannya. Tubuhku berguncang pelan saat menahan tawa yang ingin meledak keluar. Aku tak tahu kenapa keadaan ini sangat lucu bagiku. Donghae melotot pada pria itu, sementara wajah Billy Verto merah padam dan ia memandang Donghae dengan tatapan mencela. Tapi sejurus kemudian aku sadar kalau situasinya sedang genting. Billy Verto adalah perwakilan dari John-Well Ltd. dan melihat mereka saling melotot bukan pertanda bagus.
Di luar dugaan, Billy Verto menahan hinaan Donghae dan memilih mengalah. Meski terlihat tidak suka, pria itu tetap meneruskan diskusi mereka tentang pembaruan kontrak perusahaan dan terakhir mereka juga membahas tentang defisit FROZEN Holdings yang semakin menguasai pasar dunia.
Aku menemukan bahwa kelihaian Donghae dalam menghadapi setiap permasalahan yang di lontarkan Billy Verto semakin membuatnya disegani. Dengan tangkas pria itu membalas semua pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya dan membuat lawannya bungkam tak berdaya. Tapi rupanya Donghae tidak puas dengan hasil diskusi mereka.
“Kudengar pihak Longbo Ltd. mulai memasuki pasar Eropa dan menurut kabar yang berhembus itu semua terjadi karena pihak John-Well tidak bisa menghadapi situasi kritis. Benarkah?”
Billy Verto bergerak gelisah di kursinya. “Longbo tadinya bukan salah satu pesaing berpotensi tapi aku tak tahu apa yang membuat mereka tiba-tiba bisa mendobrak pasar Eropa. Sepertinya ada yang membantu mereka.”
“Atau.. kupikir mereka punya keberanian untuk memulai sesuatu yang berisiko tetapi bernilai besar. Kau masih belum paham dunia bisnis, Billy? Apapun yang bisa memajukan perusahaan, baik tangan malaikat atau bantuan iblis sekalipun, tetap saja pantas diperjuangkan selama bisa mendatangkan keuntungan.”
Aku melirik Donghae dengan perasaan campur aduk. Pria itu menyunggingkan senyum arogannya pada Billy Verto yang terperangah.
“Jadi apa yang membuatmu bisa sampai di titik ini? Tangan malaikat? Atau bantuan Iblis?”
Pertanyaan Billy membuat ruangan hening seketika. Jantungku bahkan ikut merasakan antisipasi atas jawaban Donghae. Namun pertanyaan Billy sama sekali tak membuatnya gentar. Donghae mendengus dan menyipitkan mata penuh arti.
“Bagaimana menurutmu?”
Billy terdiam sejenak dan balas menyipitkan matanya. “It must be the demon.” Jawabnya dan Donghae tertawa keras.
“Sepertinya kau tidak sepintar Ayahmu, Billy Verto. Biar kuberitahu satu hal penting; I’m not so picky. Angel or Demon, as long as they guarantee me a welfare, I’ll take them both.” Keheningan terasa mencekam dengan jawabannya yang menggema di ruang besar ini. “Dan aku ingin kau menjadwalkanku rapat ulang dengan Johny Verto besok siang, Miss Cardia. Aku membutuhkan lebih banyak perspektif darinya.” Aku terkesiap ketika Donghae menyebutkan namaku dan segera kucatat perintah Donghae di Notes kecil yang selalu kubawa.
Donghae berdiri dan menjabat tangan Billy hanya untuk bersikap professional. Karena setelah genggaman singkat itu, ia langsung keluar ruangan tanpa repot-repot mengucapkan salam perpisahan atau apapun. Aku mengikuti langkah Donghae yang menuju parkiran dan kami menaiki Audi, bukan Mercedes yang biasanya.
Kepalaku masih di penuhi tanda tanya mengenai pernyataannya terhadap Billy Verto tadi. Angel and Demon? Itu berarti asumsiku tidak terlalu meleset. Bosku benar-benar memiliki pemikiran yang tak bisa di tebak.
Chad mengemudikan Audi sama tenangnya ketika ia membawakan Mercedes. Ia mengecilkan volume lagu Edith Piaf - non je ne regrette rien hingga nuansa tahun 60-an tak begitu kental terasa di dalam mobil. Lagu ini sekaligus mengingatkanku ketika Donghae menghilang selama lima hari ke Paris tanpa memberitahuku. Aku meliriknya. Wajah Donghae tak berubah walaupun ia mengetahui aku mencuri pandang padanya. Tapi tiba-tiba saja Donghae melepaskan jasnya dan memberikannya padaku. Dan—oke, aku butuh pernapasan bantuan.
Kaus yang dikenakan Donghae ternyata berlengan pendek yang berarti tak ada cukup kain tersisa untuk menyembunyikan kulit lengannya yang telanjang. Dadaku bergemuruh ketika Donghae melipat tangannya—mengakibatkan urat-urat di sekujur otot lengannya bermunculan dan aku harus menggigit lidahku keras-keras.
Donghae mengambil kacamata Giordano dengan lensa dan gagang hitam sempurna. Ia juga menyematkan sebuah baseball cap untuk menutupi kepalanya. Aku masih terus melongo menatap Donghae yang mendadak bertransformasi menjadi.. entahlah. Kupikir ia baru saja berubah dari malaikat menjadi malaikat.
Tanpa kusadari mobil telah berhenti dan aku mengejap bingung ketika Donghae turun dari mobil. Ia berjalan mendahuluiku menuju pintu masuk yang tak dijaga. Aku terlambat menyadari bahwa Lee Donghae ternyata mengenakan Jeans biru pudar yang membuat penampilannya terlihat seperti sedang berjalan di atas red carpet-nya Grammy Awards dengan flash kamera mengikuti langkahnya. Ia terlihat sangat tampan dengan setelan kasual di bawah matahari Los Angeles yang menyengat.
The Greek Teather yang terletak di North Vermon Avenue di Hollywood memang selalu buka pada malam hari. Dengan panggung mewah di ujung depan dan deretan kursi berbusa empuk yang seluruhnya berwarna merah dan bisa menampung sekitar enam ribu penonton, The Greek Teather seakan tak pernah henti memikat pengunjung. Ditambah lagi pemandangan menakjubkan dari Griffith Park yang terhampar luas di sekeliling Teater, menjadikan The Greek Teather selalu terlihat indah. Tapi untuk bertemu dengan seseorang di siang hari—saat tak ada siapapun selain petugas kebersihan—menurutku memang sedikit aneh. Well, bukan Lee Donghae namanya kalau tidak menimbulkan keanehan.
Kami terus berjalan hingga ke deretan tengah dan kulihat seorang pria sedang duduk menghadap panggung dan memunggungi kami. Aku mengira bahwa Mr. Takeshi Kikuchi paling tidak berusia sekitar akhir tiga puluh karena suaranya yang enerjik ketika melakukan panggilan denganku. Tapi betapa terkejutnya aku ketika menemukan seorang pria tua dengan separuh rambutnya berwarna abu-abu dan wajah keriput sedang duduk di salah satu kursi teater.
“Maafkan aku, Takeshi. Kau menunggu lama?” ujar Donghae sambil menjabat tangan Takeshi.
Pria tua itu tersenyum ramah dan menggeleng pelan. Aku memperhatikan penampilannya yang hanya mengenakan kemeja kuning kusam dan celana hitam pudar yang sepertinya sudah dicuci kering ratusan kali. Tampak jelas kalau Takeshi bukanlah seorang pengusaha. Menurutku pria itu mungkin seorang karyawan biasa.
Tapi Donghae tiba-tiba beralih padaku dan merendahkan suaranya ketika memberiku sebuah perintah. “Miss Cardia, kami butuh sedikit privasi.” Bisiknya penuh arti.
Bibirku membentuk huruf O dan mengangguk paham. Dan dengan cepat aku berjalan menjauh lalu duduk sekitar dua puluh meter dari tempat mereka duduk. Kuperhatikan raut wajah Donghae yang terlihat berubah-ubah—dari cemas, takjub dan santai. Sementara Takeshi tampaknya lebih berhasil mengendalikan ekspresinya untuk tetap berwajah datar.
Aku sedikit penasaran dengan apa yang mereka diskusikan, tapi alam bawah sadarku dengan cepat menghalau semuanya, hanya menyisakan sebuah pikiran sinting dan idiot yang terus mengagumi sosok Lee Donghae dengan pakaian kasualnya. Semakin kuperhatikan, napasku semakin tercekat dan perasaan tak nyaman mendekapku tanpa henti. Aku harus berhenti mengaguminya, atau setidaknya berhenti berpikir betapa seksinya Lee Donghae. Jadi dengan niat lemah tak berarti, aku merogoh saku dan mengambil ponsel.
Pemandangan Griffith Park dari The Greek Teather belum pernah kusaksikan sebelumnya dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengambil beberapa gambar secara sembunyi-sembunyi. Aku bahkan memotret Donghae dan Takeshi setelah memperbesar gambar hingga tujuh kali zoom in. Ponselku memang sudah ketinggalan jaman, tapi setidaknya aku tetap bisa melihat senyum Donghae yang sedikit mengabur pada layarku sekarang.
Saat menutup aplikasi kamera, kulihat sebuah pop up pesan muncul dan aku ingat kalau aku belum membaca pesan balasan Johan. Isinya manis sekali dan langsung membuat dadaku menghangat:
Aku tidak mau pergi tanpa dirimu, Youva. Aku malah tidak ingin berpisah meskipun di dalam mimpi.
PS: Kau mencuri semua konsentrasiku, Miss Cardia. Tolong kembalikan. Dan kalau bisa sekalian kembalikan hatiku, oke? ;)

Dengan satu ketikan cepat, aku membalas sms Johan:
Dear, Mr. Stavilosky, kereta mimpiku tak akan berjalan tanpa dirimu. Sebaiknya kau bersiap-siap karena aku akan menjemputmu tengah malam nanti.
PS: Aku senang kau kehilangan konsentrasimu. Dan untuk kau ketahui, aku tidak akan mengembalikan hatimu. Haha! ;)
Dasar perayu ulung! Ha!


Aku menunggu hingga lima menit kemudian saat Johan membalas pesanku.
Hei, akhirnya kau membalas. Kupikir kau marah padaku.
Ngomong-ngomong haruskah aku membawa nachos? ;) ;)
PS: Kalau begitu kuharap kau menjaga hatiku baik-baik.

Lebih banyak smiley! Senyumku langsung terukir dan aku melirik Donghae sekilas. Ia masih terlihat serius berdiskusi dengan Takeshi.
Tentu saja tidak!
Berikan aku ekstra keju, please?
PS: Hatimu berada di tangan yang tepat, Mr. Stavilosky.

Balasan Johan sangat cepat. Cuma setengah menit.
Ekstra keju dengan milkshake cokelat? Yes, mam!
PS: Aku senang mendengarnya ;)
PS (lagi): Well, aku harus pergi sekarang, Youva. Pastikan kau makan siang dan jaga kesehatanmu, oke? I love you.

Jari-jariku berhenti di atas layar dan mengulangi kalimat terakhir Johan. Rasanya ada kesedihan aneh saat membacanya. I love you. Kalimat itu menimbulkan kesan ganda di hatiku, dan tetap saja sebagian egoku berharap kalau Johan masih menjadi milikku, hingga balasan seperti I love you too tak akan terdengar putus asa. Setelah menghabiskan lebih dari lima menit untuk memutuskan apa yang harus kukatakan, akhirnya aku menekan tombol send.
You too. Bye.
Oke, cukup bagus. Kedengarannya sedikit cuek tapi juga sulit di pahami. Aku rasa Johan tidak akan ambil pusing dengan balasanku yang singkat. Ia pasti mengerti kalau aku sedang bekerja. Ngomong-ngomgong tentang pekerjaan, Donghae ternyata telah berdiri dan terlihat akan mengakhiri percakapan dengan Takeshi. Jadi dengan cepat kuhampiri bosku tetapi dering ponsel menghentikan langkahku.
Penelponnya tak dikenal dan aku langsung menjawabnya dengan kening berkerut saat mendengar sapaan itu.

***

“Ada apa?” tanya Donghae saat kami telah tiba di dalam mobil. Aku melirik lewat kaca spion kalau Takeshi ternyata memilih untuk naik angkutan umum.
“Sir, anda memiliki rapat mendesak empat puluh lima menit lagi.” Jawabku gelisah.
Donghae melepas kacamatanya dan menatapku sambil lalu. “Dengan siapa?”
“Aaron Landberg, pengusaha properti dari Darwin co. Sekretarisnya menghubungiku sepuluh menit yang lalu.” Aku menekan rasa muak yang tetap saja terlihat saat menyebut nama itu. Dan Donghae dengan cepat menangkap semuanya.
“Dan kenapa dengan Aaron Landberg ini?” tuntutnya. Ia praktis menatapku dengan tangan terlipat di dada.
Oke, fokus. Batinku sia-sia. Pemandangan tubuhnya yang sempurna hampir membuatku hilang akal.
“Miss Cardia?” panggil Donghae memecah lamunanku. “Kau juga mengatakan bahwa rapat ini mendesak. Jelaskan.”
Aku menelan kegugupanku sebelum menjawab seperlunya. “Istri Aaron Landberg adalah sahabatku, Sir. Katherine Janne Landberg. Sekretaris Aaron mengatakan kalau hasil akuisisi saham Darwin co. beberapa hari yang lalu gagal dan mereka berencana akan membawa ini ke jalur hukum.”
Donghae menatapku lama. Ia tidak berkomentar apapun tetapi tatapannya membakarku dari dalam. Membuatku kepanasan, salah tingkah dan keringat dingin mengucur deras dari punggungku.
“Dan apa yang membuatmu tidak menyukainya?”
“Eh?” aku tak percaya. Bagaimana mungkin Donghae mengetahuinya? “Ke—kenapa anda berpikir seperti itu, Sir?”
“Itu gampang. Kau cukup mudah dibaca, Miss Cardia.” Donghae mendengus sepele dan mengibaskan tangannya. Pria itu lalu kembali memandangiku lekat-lekat, menanti jawaban keluar dari bibirku.
“Bukan seperti itu, maksudku—aku hanya tidak terlalu dekat dengan Aaron. Dan kira-kira sudah setahun yang lalu aku bertemu Janne karena—” aku menghentikan kalimatku sebelum aku kelepasan dan melirik Donghae yang mengernyit bingung. “—karena beberapa alasan pribadi.”
Ada jeda panjang sebelum akhirnya pria itu menarik napas dan menyipit melihatku yang gugup. Setelahnya ia tak bertanya apapun, hingga kami tiba di kantor PHOENIX dan Donghae memintaku mengambil jasnya.
“Sikap profesionalmu, Miss Cardia, akan menjadi acuanku.” Ujarnya tenang dengan tanpa memandangku.
“Aku mengerti, Sir.” Bisikku sedikit takut. Pria itu tampaknya bisa mengerti kegelisahanku dan sebelum beranjak keluar, Donghae menepuk pundakku pelan.

Kami mengarah ke meeting room yang terletak di lantai delapan belas dalam keheningan. Aku takut. Perasaanku tak bisa menghadapi sikap penuh permusuhan Aaron yang selalu ia tunjukkan saat kami bertemu. Dan aku sangat tidak siap melihat ekspresinya nanti. Apakah pria itu akan sedikit menghargaikuku? Bagaimana kalau ia mencelaku? Maksudku, ia memang tidak semenjengkelkan Claudia, tapi aku tidak bisa marah pada suami sahabatku. Walaupun pada kenyataannya, aku membisikkan kutukan tanpa henti saat melihatnya. Aaron bukan pria baik dan aku masih tak mengerti kenapa Janne mau menikah dengannya.
Langkah kaki Donghae yang menghujam lantai terdengar santai dan itu juga membuatku gusar. Haruskah aku memohon untuk menunggu di luar saja?
Tetapi semua pemikiranku sia-sia. Sedetik kemudian kami tiba di dalam ruang meeting. Sekitar sepuluh orang telah mengisi ruangan dan mataku dengan cepat menangkap sosok Aaron yang berada tak jauh dariku. Ia melotot tak percaya dan aku berpura-pura tak melihatnya. Dan seperti ingin merusak aktingku, Aaron malah mendekat dan berdiri persis di hadapanku.
“Youva Cardia?” tanyanya dengan mata berkilat penasaran.
Aku berdeham dan mengejap gelisah. “Y—ya, Sir.” Jawabku melengking. Detik berikutnya kudengar Aaron tertawa. Aku tahu kenapa. Ia pasti tak menyangka bakal mendengarku memanggilnya dengan ‘Sir’, karena biasanya aku hanya melontarkan makian pada pria itu.
“Kau mengenal, sekretarisku?” tanya Donghae dengan cepat mengambil alih situasi. Aku mengkeret di samping bosku dan memilih menatap lantai. Kuyakin tengkukku sudah berubah warna karena malu saat mendengar jawaban Aaron selanjutnya.
“Tentu saja. Dia dulu teman istriku. Sorry, dia sekretarismu? Wow, pasti seleramu cukup aneh untuk mempekerjakan seorang wanita pengumpat—”
“Dengan kecerdasan dan kredibilitasnya yang tinggi, aku amat sangat yakin kalau Miss Cardia berperilaku lebih beradab dan lebih sopan daripada dirimu, Aaron Landberg.”
Aaron menghentikan tawanya dengan canggung dan punggungku mendadak ringan. Beberapa orang berdeham dan Donghae melanjutkan kata-katanya. “Kalau kau tak punya cukup rasa sopan santun terhadap seorang wanita, kusarankan kau kembali ke rumahmu dan biarkan istrimu mengajarimu bagaimana caranya bersikap menjadi seorang gentleman.
Bisa kulihat rona wajah Aaron menjadi seperti rambu lalu lintas. Dengan cepat berubah dari merah ke biru lalu bergenti ke ungu tua. Tapi Aaron menahan emosinya dan ia duduk di kursi terjauh dari kami. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mendadak aku tahu kalau ia sedang menyimpan emosinya untuk seseorang.
Donghae menarikku keluar ruangan dan berbisik dengan cepat. “Miss Cardia, situasi tampaknya tidak kondusif. Apakah kau keberatan untuk menunggu di luar? Aku tidak ingin rapatnya akan kacau karena pria itu tidak bisa menutup mulutnya.”
“Aku sama sekali tidak keberatan, Sir.” Jawabku lega. “Err.. terima kasih sudah membelaku, Sir. Anda melakukannya dua kali.”
Aku merasakan tatapan Donghae berubah lembut selama sepersekian detik dan ia mengangguk sedikit. “Simpan saja rasa terima kasihmu, Miss Cardia.” Ujarnya pelan dan langsung kembali ke ruangan rapat.
Ruang itu sudah pasti kedap suara dan mencoba mencuri dengar sama sekali tak bermanfaat apapun bagiku. Aku memutuskan untuk melintasi koridor hingga ke ujung dan tenggelam dalam lamunanku. Pikiranku kembali memutar ulang ingatan saat Donghae mengunjungiku tadi malam. Senyumku terukir lebar saat mengingat ia membelaku dari hinaan Claudia juga saat Aaron nyaris meledekku di tengah staf direksi. Dadaku berdegup tak beraturan saat menghayal kalau pria itu mungkin saja memang menganggapku menarik. Ya ampun, Youva.
Tapi di ujung koridor, di sebuah ruangan tunggu yang bersekat kaca dengan motif mozaik di seluruh permukaannya, aku melihat siluet seseorang sedang duduk. Seharusnya para staff berada di ruang meeting karena rapat sudah dimulai. Tapi begitu aku membuka pintu, aku langsung mengenali sebuah wajah yang baru satu minggu lalu kutemui di parkiran PHOENIX karena kebetulan.
“Janne!” pekikku nyaring. Keterkejutanku berubah menjadi ketakutan saat melihat wajahnya ternyata dipenuhi bekas ungu tua.
Janne berusaha tersenyum, tetapi ia hanya berhasil membuatnya menjadi meringgis. “Hei.” Sapanya lemah.
Seketika saja airmataku jatuh, mengalahkan kebahagiaanku karena bertemu dengannya lagi. “Tak mungkin—pria brengsek itu—jangan katakan kalau dia—”
“Aku baik-baik saja, Youva.” Potong Janne dan ia merintih saat menyebut namaku.
“Demi Tuhan, Janne!” teriakku keras. Airmata telah membuat suaraku menjadi tak terkendali. Emosiku meluap tanpa henti sekarang. Kurasakan seluruh tubuhku gemetar karena amarah. “Kau. Tidak. Baik-baik. Saja!” Aku menekan setiap kata dan mencegah isakanku.
Airmata Janne-lah yang meluluhkanku. Aku berderap maju dan menariknya dalam pelukanku. Kami menangis. Menangisi hidup seorang Katherine Janne Watson yang cantik yang harus berada dalam kekerasan dan kekejaman. Aku mengutuk Aaron setiap menyentuh permukaan kulitnya yang dipenuhi lebam dan Janne bergidik menahan sakit. Sahabatku telah menderita begitu banyak dan ia masih berkata kalau dirinya baik-baik saja.
Rambut pirangnya sengaja ia gerai agar menutupi separuh dari luka-luka mengerikan itu. Tetapi tetap saja siapapun bisa melihat jelas bagaimana wajah cantik Janne telah dirusak dengan begitu mengenaskan.
“Dia masih melakukan ini padamu? Bukankah dia sudah berjanji?” tanyaku tak percaya.
Janne menghapus airmata di pipiku dan tersenyum lemah. “Aaron kadang tak sadar, Youva. Jangan khawatir.”
Aku menggigit bibir keras-keras, merasa kesal dengan perspektif Janne yang sangat menyimpang. “Kau menderita, Janne. Jangan biarkan pria brengsek itu mengambil hidupmu!”
“Aku istrinya, Youva. Yang bisa kulakukan adalah mematuhinya.”
“Astaga, Janne! Kita tidak hidup di jaman pra-sejarah! Lupakan semua aturan kolot itu. Dia menghajarmu dan kau harus menututnya!”
“Aku baik-baik saja.” Janne berkeras dan aku melenguh frustasi.
Itu sebabnya aku tak pernah dekat dengan Aaron. Bukan, kami sebenarnya bermusuhan. Kau tidak mungkin bisa menjadi dekat dengan pacar sahabatmu kalau ia ternyata masokis gila yang doyan kekerasan dan tak bisa menjaga tangannya. Aku tidak bercanda, Janne berpacaran sekitar satu tahun dengan Aaron dan beberapa kali aku memergoki pria itu menghajar Janne ketika mereka bertengkar. Aku murka, mengamuk dan bersumpah akan membunuh pria itu saat aku melihat tubuh Janne terkapar dengan napas satu-satu. Dan sejak saat itu Aaron melarang Janne bersahabat denganku lagi. Ia juga menikahi Janne satu bulan kemudian dan langsung melarang Janne berhubungan denganku.
Aku mencoba segalanya kepada Janne. Mulai dari menasehati ala sahabat, memohon bahkan memusuhi Janne selama tiga hari. Tapi wanita itu tetap teguh mencintai Aaron. Kadang aku melihatnya menangis seorang diri dan mengobati lukanya diam-diam karena ia takut aku mengamuk dan semakin membenci Aaron. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang membuat Janne begitu tergila-gila pada Aaron hingga ia bertahan meski pria sinting itu membuatnya menjadi babak belur. Dan akhirnya aku mengalah, hanya karena aku tak tahan untuk melihat Janne menderita berdiri di antara aku dan Aaron. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau Aaron masih terus melakukan kekerasan padanya sampai sekarang.
“Apa yang membawamu kemari, Janne? Kau seharusnya di rumah. Lebam-lebam ini membuatmu jelek, kau tahu?” ejekku separuh hati dan kulihat Janne tersenyum lemah.
“Aku ingin bertemu denganmu, Youva.” Bisiknya jujur. Aku memeluknya lagi dan Janne menambahkan. “Aaron tidak tahu kau di sini dan aku benar-benar berdoa agar aku bisa bertemu denganmu.”
Sayangnya, aku yakin ini terakhir kalinya aku bisa bertemu dengan gadisku.
“Aku merindukanmu, Janne. Ceritakan padaku semuanya.” Desakku dan Janne meringgis—aku tahu ia tersenyum.
Dan kami melanjutkan obrolan kami dengan sedikit ceria. Ralat, maksudku pura-pura ceria. Aku menceritakan dengan singkat bagaimana aku bisa bekerja pada Donghae dan selebihnya aku hanya mendengarkan Janne bercerita. Wajahnya terlihat semakin murung dan kami tak sadar kalau waktu berjalan begitu cepat.
“Kenapa kau belum hamil, Janne?” tanyaku curiga. Aku melihat Janne memejamkan matanya. “Apa Aaron melarangmu?”
“Tidak. Aaron tidak keberatan dengan bayi. Tapi aku lah yang tidak ingin punya anak.”
Oh. Wow. Sama sekali diluar dugaanku. Janne adalah tipe cewek keibuan yang bakal berisik saat melihat peralatan bayi dan berkeras untuk menggendong bayi-bayi teman kami setiap kali bertemu. Jadi mendengar bahwa ia yang menolak menginginkan bayi adalah tidak wajar.
“Kenapa? Kupikir kau bakal langsung memberiku dua belas keponakan sekaligus,” ujarku sambil menyikutnya. Tapi wajah Janne berubah keras. Ia menatap tangannya yang bertautan.
“Aku tidak mau bayiku ikut menderita, Youva.” Mata Janne beralih padaku dan ia menatapku penuh arti. Selama beberapa saat Janne terlihat bergumul dengan hatinya karena ia menggigit bibir bawahnya. “Aaron, dia—”
Perkataan Janne terputus saat tiba-tiba pintu kaca membuka dan aku melihat wajah Janne membeku.
“Hai, sayang. Rapatnya sudah selesai?” tanya Janne berusaha ceria.
Aaron mengamati kami sejenak. Tampaknya ia baru menyadari alasan Janne untuk ikut menemaninya ke perusahaan ini. Dengan langkah lebar Aaron mendatangi Janne yang ketakutan. Pupil mata Janne melebar dan tubuhnya bergidik.
“Kau akan membayarnya di rumah, Janne. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.” Bisik Aaron penuh peringatan dan kepalaku langsung membayangkan wajah Janne berlumuran darah.
Entah apa yang membuatku kehilangan kendali, tetapi aku tak bisa mencegah tanganku untuk menahan pria itu.
“Apa?” tanya Aaron tak suka. Di sebelahku, Janne memberikan tatapan memohon. Aku tak berdaya. Memprovokasi Aaron artinya menyiksa Janne lebih keras lagi.
“Aku—Aku mohon, Aaron, jangan sakiti Janne.” Ucapku terbata-bata. Lidahku terasa berat untuk memohon pada seorang Aaron Landberg.
Aaron menepis tanganku dengan kasar dan bibirnya mencebik ke bawah. “Bukan urusanmu, Youva Cardia. Tapi dengan senang hati kuberitahu kalau istriku yang cantik ini akan menerima kemarahanku atas tindakan bosmu yang telah mempermalukanku tadi. Kau puas?”
Tubuhku bergetar. Aku tak tahu apakah ini karena emosi atau karena takut jika Aaron benar-benar menambah luka-luka baru pada Janne. Tapi kemudian aku menahan lengan Aaron lagi dan airmataku tumpah.
“Kumohon, Aaron, kumohon. Jangan Janne, dia—dia sahabatku—kasihani dia—”
“Tutup mulut dan enyahlah.” Maki Aaron dan ia menepis tanganku sebelum akhirnya menarik paksa Janne yang telah menciut ketakutan.
Aku ingin mengejar mereka tetapi lututku lemas. Tubuhku langsung ambruk ke lantai dan aku menangis keras-keras, membayangkan Janne yang penuh luka.
“Miss Cardia, kau tidak apa-apa?”
Itu suara bosku yang terdengar begitu cemas. Aku membuka mata dan melihat wajah Donghae persis di atas wajahku. Pria itu kemudian membantuku duduk. Ia menyandarkan lengannya padaku dan menunggu hingga aku berhasil menguasai diri lagi.
“Apa yang terjadi?”
Aku tidak segera menjawabnya. Tapi karena tak tahan dengan tatapan Donghae yang menelisik terus menerus, akhirnya aku menceritakan segalanya. Bosku ternyata seorang pendengar yang baik. Ia sama sekali tak menyelaku yang bercerita penuh emosi dan masih tersedu-sedu menahan tangis. Donghae mendengarkan penuh perhatian. Ia juga memberiku tisu saat aku tak mampu menahan airmata.
“Kau sudah tenang?” ucapnya saat aku mengakhiri cerita. Sebagai jawaban, aku mengangguk padanya dan ia tersenyum sedih. “Aku turut prihatin dengan kondisi sahabatmu. Dan aku menyesal karena telah memancing amarahnya. Kuharap Mrs. Landberg tidak terluka parah.”
“Aku hanya tidak mengerti. Kenapa Janne harus terus bertahan? Pria itu sama sekali tidak memberinya apapun selain luka.”
Donghae menghela napas dalam. Ia terlihat bimbang tetapi akhirnya ia mengangkat bahu. “Tak pernah ada cukup alasan yang untuk mempertahankan cinta.” Aku menatap Donghae. Dan ia membalasku. “Apakah kau pernah jatuh cinta, Miss Cardia?”
Rasanya tubuhku membeku di bawah tatapannya yang dalam. Tapi setidaknya otakku masih lumayan berfungsi untuk segera menjawabnya. “Ya, Sir.. pernah..”
“Dan kenapa kau mencintai pria itu?”
“Karena… Entahlah, Sir. Rasanya matahari berputar di sekelilingnya atau seperti itulah. Membuatku selalu berotasi mengelilinginya.” Jawabku berupa bisikan.
“Dan aku yakin seperti itulah Aaron Landberg di mata Janne.”
Aku terpaku. Tetapi kali ini lebih karena aku mengagumi kesimpulan yang dibuat Donghae. Pria itu membiarkan keheningan bersama kami selama beberapa saat sebelum akhirnya menepuk pundakku pelan dan berkata lagi. “Kau harus tenang, Miss Cardia. Yang paling dibutuhkan Janne saat ini adalah semangatmu. Hanya kau yang bisa menyemangatinya.”
Aku tersenyum lemah dan mengangguk padanya. “Yes, Sir. I will definitely do that.” Janjiku mantap. Donghae berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
“Siap untuk pulang?” tanyanya kembali tersenyum.
Dan aku menyambut uluran tangan pria itu. Terasa hangat dan menenangkan dalam genggamanku.

***

Malamnya aku memutuskan untuk tidur lebih cepat setelah selesai mengerjakan seluruh laporanku. Tenagaku benar-benar terkuras habis dan mataku pasti bakal sebesar buah tomat sekarang. Jadi setelah memberi kompres air dingin untuk kedua mataku, aku naik ke tempat tidur dan baru akan memejamkan mata ketika ponselku berdering.
“Ya, Johan?”
Johan mendesah lega di ujung sambungan telepon. “Syukurlah kau belum tidur.”
“Aku baru akan tidur. Ada apa?”
“Aku ingin mendengar suaramu.”
Pipiku merona dengan cepat. Mendengar Johan berbisik kalau ia mengatakan itu membuatku mengingat saat kami masih berkencan. “Kau hanya ingin mendengar suaraku saja?”
“Oke deh, aku ngaku. Aku benar-benar merindukanmu.”
Aku memutar bola mata dan tertawa. Johan ikut terkekeh kecil dan ia menambahkan sebuah pertanyaan. “Kau tidak merindukanku?”
“Mm.. sepertinya tidak.” Bisa kubayangkan Johan menjadi muram karena jawabanku. “Soalnya aku sangat merindukanmu.” Ralatku kemudian dan kudengar Johan mendengus sambil tertawa puas.
“Kupikir kau sudah tidak merindukanku lagi. Dasar kalian chick—para gadis—memang selalu ingin membuat cowok-cowok putus asa!”
“Berhenti bilang chick! Bagian mana dari kami yang menyerupai gumpalan kuning yang makan cacing untuk camilan dan menciap-ciap?”
Johan tertawa mendengar protesku. “Ciapciapciap.” Ulangnya menirukan anak ayam, mencoba membuatku kesal.
Aku memutar bola mata dan tertawa setelahnya. “Oh, dewasa sekali, Mr. Stavilosky. Aku sangat terkesan.” Sindirku.
“Terima kasih, Miss Cardia. Aku merasa tersanjung atas pujianmu.” Johan terkekeh. “Ngomong-ngomong, bolehkah aku mengajakmu berkencan besok malam?”
Dadaku menggelepar. Aku tahu Johan menanti jawabanku, tapi lidahku sepertinya kehilangan niat untuk berkata lagi.
“Aku—well, kau tahu kan kalau aku tidak boleh berkencan? Aku terikat dengan peraturan sinting itu. Ingat?”
Kudengar Johan mendengus kesal. “Oh, yeah. Benar. Tapi, hei, bagaimana kalau sekedar berjalan bersama teman lama? Bukankah itu tidak melanggar peraturan?”
“Itu baru tawaran bagus.” Ujarku tersenyum lebar.

***

Kupikir pagi ini bakal menjadi hari yang cerah. Karena saat aku membuka mata, kulihat sms Johan yang di penuhi emoticon tersenyum. Tapi ketika aku tiba di kantor, pagiku yang sempurna langsung menggelinding ke jurang tak beralas. Tergantikan dengan sebuah berita menggemparkan.
Claudia Thompson di temukan tewas di salah satu penginapan di West Adams.
Diduga wanita itu meninggal akibat keracunan alkohol. Tapi otakku tak lagi berasumsi apapun. Paragraf demi paragraf yang kubaca di LA Today sama sekali tak melekat di kepalaku. Aku merasa déjà vu. Peristiwa ini seakan membuka kembali ingatanku satu minggu yang lalu, ketika kematian Anne J. Loombergh terjadi begitu mendadak dan sangat misterius. Jantungku berpacu. Sebuah kesimpulan gila terbesit di pikiranku sebab aku tahu baru kemarin pagi Claudia menemui bosku.
Lee Donghae.

Asumsiku membuat tubuhku gemetar saat melangkah ke ruang kerja Donghae. Pria itu baru tiba lima menit yang lalu dan seperti biasa, Donghae memintaku memberikanku segelas kopi organik sekaligus memberikan laporan.
“Selamat pagi, Miss Cardia.” Ujarnya santai. Aku melayangkan pandangan gugup dan membalas sapaannya dengan kaku.
“Pagi yang cerah.” Kata Donghae lagi.
“Sir, Adam Keanne menyampaikan bahwa Briefing Event akan di mulai pukul sepuluh.”
Donghae menatapku sebentar lalu mengambil tumpukan laporan paling atas. “Baiklah. Aku akan turun setengah jam lagi. Apakah persiapannya berjalan lancar?” Ia membaca beberapa kalimat dan membalikkan halaman dengan cepat.
“Sampai saat ini semuanya telah terorganisir dengan baik, Sir. Kupikir kedatangan anda-lah yang paling di nantikan oleh seluruh karyawan.” Sudah jelas. Tak ada satupun karyawan wanita yang tidak ingin melewatkan kesempatan untuk berlama-lama menatap Donghae.
“Begitu? Kalau begitu bagus.” Komentarnya datar. Ia meletakkan laporan pertama dan memandangiku lambat-lambat. “Ada apa, Miss Cardia?”
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Tapi Donghae juga bisa mengerti keterkejutanku.
“Aku memperhatikan, kalau kau mulai mengernyit dan terus menerus menatap lantai itu berarti kau sedang memikirkan sesuatu.”
Matanya menatapku tajam. Membuatku sedikit tersipu karena ternyata pria itu memperhatikanku. Namun aku memilih untuk menutup mulutku rapat-rapat karena aku tak yakin Donghae bakal senang dengan pemikiranku saat ini.
“Miss Cardia, kau sangat mudah di baca. Dan aku ingin kau menjawabku.” Kali ini suara Donghae terdengar penuh penekanan.
Aku menelan ludah sebelum menjawabnya. Berbohong juga bakal percuma. Pria itu pasti bisa tahu dengan cepat kalau aku tidak berkata jujur.
“Aku—aku mendengar kabar kalau Claudia Thompson telah meninggal, Sir.” Bisikku tak bernyali.
Wajah Donghae tak terbaca. Ganti ia yang membungkam, membuatku mematung dengan dada berdebar keras. Tapi kira-kira beberapa menit kemudian Donghae kembali bersikap normal.
“Kudengar juga begitu.” Jawabnya datar. “Apakah itu yang mengganggumu?”
“Ya, Sir.”
“Aku tidak percaya ini. Kau merasa terganggu dengan kematian seseorang yang kau benci dan bukannya mencemaskan keadaan sahabatmu?”
Perkataan Donghae terasa seperti tamparan keras di pipiku. Ia menghujamku dengan tatapan keras, hingga wajahku memerah karena malu dan panas karena emosi.
Thus far I do think about Janne and cry a lot. But for me, the death is a cruel thing, Sir. Though I do hate Claudia, I can’t act like everything was fine because she died.” Jawabanku terdengar tersinggung dan Donghae kembali melunak.
Okay then,” ujarnya mengangkat bahu. “Kalau begitu kenapa kau merasa terganggu?”
“Aku tidak percaya Claudia meninggal karena keracunan alkohol, Sir.”
“Jadi maksudmu Claudia dibunuh?”
“Benar.”
Kami bertatapan lama sekali. Rasanya kakiku mulai kebas dan ketika akhirnya Donghae mengalihkan pandangannya, aku menahan desahan lega.
“Dugaanmu cukup menarik,” ujarnya tersenyum. Tapi aku mengetahui bahwa senyumnya untuk menutupi kegelisahan Donghae yang mulai tampak. “Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan, Miss Cardia. Kurasa sebaiknya kita menyerahkan hal ini kepada kepolisian.”
Aku mengangguk dan mengamatinya dari sudut mataku sebelum keluar ruangan. Tapi baru beberapa langkah, Donghae memanggilku.
“Beritahu Adam Keanne untuk memberikanku seluruh konsep Briefing Event kali ini.”
“Baik, Sir.” Jawabku patuh dan langsung keluar untuk menghubungi Adam.


“Hei, Youva. Apakah ada masalah di dalam?”
Aku menoleh dan mendapati Adam baru saja menutup pintu di belakangnya. Ia terlihat bingung. Bibirnya mengerut dan ia menanti jawabanku. Aku mengangkat bahu padanya.
“Apakah bos mengatakan sesuatu padamu?” tanyaku.
Adam bersandar di ujung mejaku dan sebelah tangannya menyisir rambut dengan mengesankan. Aku akan jujur mengatakan kalau pria ini memang keren. Adam memiliki rambut pirang tembaga dan mata biru yang indah. Postur tubuhnya cukup tinggi dan ia sangat sering tersenyum. Menjadikan wajahnya selalu terlihat menyenangkan.
“Tidak, sih. Tapi sepertinya ia kelimpungan dengan semua laporan-laporan itu.”
“Seingatku aku hanya memberinya tiga laporan pagi ini.”
“Kalau begitu laporannya pasti menggandakan diri. Karena menurutku laporan itu benar-benar menggunung.” Ujarnya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya dan setelahnya kami mulai mengobrol ringan. Adam memiliki rasa humor yang bagus dan ia pintar merebut perhatian. Jadi selama sekitar sepuluh menit kemudian, kami terus mengobrol dan sesekali tertawa. Sama sekali tidak menyadari kalau Donghae ternyata memperhatikan kami.
“Bisa kita pergi sekarang, Mr. Keanne?”
Kami terlonjak kaget dan Adam buru-buru membungkuk hormat pada Donghae yang menatapnya tajam. Aku ikut berdiri dan mulai merapikan mejaku tapi Donghae memberiku perintah lain.
“Kau tinggal di sini, Miss Cardia. Johny Verto dari John-Well mungkin akan menghubungimu.”
Tubuhku masih terpaku sementara dua orang pria itu telah masuk ke dalam lift dan menghilang sejurus kemudian.
Bukankah John-Well bisa menghubungi ponselku? Kedengarannya sangat aneh Donghae memintaku untuk berjaga menunggu telepon.

***

 Pukul dua belas tepat, Johny Verto tiba di gedung PHOENIX beserta beberapa orang staff-nya termasuk Billy Verto. Aku berpura-pura tak melihatnya ketika pria itu melemparkan senyumnya yang menjijikan. Karena Donghae masih di sibukkan dengan Briefing Event, akhirnya aku harus mengantar Johny Verto dan para staffnya ke ruangan meeting.
“Miss Cardia, Craig Dale akan memberikanmu laporan hasil rapat terakhir dengan John-Well dalam lima menit. Kau bisa memberikan salinannya pada Johny Verto.”
Perintah Donghae cukup jelas. Tetapi saat kuberikan, Johny Verto malah menginginkan salinan notula diskusi antara Donghae dan Billy kemarin siang. Aku meminta mereka menunggu dan buru-buru kembali ke ruangan Donghae. Di antara tiga laporan yang kuberikan padanya pagi tadi, salah satunya berisi notula Billy Verto.
Langkahku terhenti saat tiba di depan pintu ruangan Donghae. Benakku sibuk berspekulasi, apakah aku harus menghubungi Donghae untuk meminta ijin lebih dulu? Tapi pria itu pasti mengerti kalau ini mendesak.
Saat kubuka, ruangannya benar-benar kosong dan menimbulkan kesunyian yang aneh. Aku tak pernah masuk ke ruangan ini tanpa Donghae sebelumnya. Jadi tanganku gemetar ketika aku mencari-cari laporan. Dan Adam benar. Meja Donghae di penuhi tumpukan laporan yang memenuhi setiap jengkal permukaannya, menjadikan usahaku untuk menemukan laporan itu semakin lama. Dan saat aku berhasil menarik notula rapat yang berada paling bawah, aku tak sengaja menggeser beberapa laporan hingga kertas-kertas itu berserakan di bawah meja.
Sambil merutuki kecerobohanku, aku mengutip kertas-kertas itu dan terkejut mendapati sebuah kalimat—bukan, aku bahkan tak bisa membacanya dengan benar.


Tiga huruf dengan bentuk aneh dan huruf N di tengahnya. Aku masih belum bisa memutuskan apakah kalimat itu harus dibaca seperti apa ketika mataku menangkap sebuah foto di halaman selanjutnya.
Mataku melebar tak percaya. Foto wajah Claudia yang sedang tersenyum berada di ujung kertas! Detik selanjutnya barulah aku menyadari bahwa kertas itu berisi resume dirinya. Aku membaca sekilas latar belakang Claudia dengan kepanikan di level tertinggi. Data hidupnya di tulis dengan sangat lengkap, bahkan juga berisi kebiasaannya yang unik seperti ‘menggaruk telinga bawah dengan jari kelingking’. Kubalik lagi cover laporan ini untuk memastikan apa yang sedang kubaca dan aku menemukan stempel dengan tulisan CONFIDENTIAL tertera di ujung bawahnya.
Jari-jariku kini tak bisa berhenti gemetaran. Aku membalik data diri Claudia yang mencapai lima halaman dan menemukan tanda tangan Donghae di halaman terakhir, di bawah keterangan yang baru saja di tambahkan: Dead.
. Belum cukup sampai di situ, aku juga harus di hadapkan pada sebuah informasi baru. Sebuah data diri misterius tanpa foto berada di balik resume Claudia. Rahangku nyaris jatuh saat membaca namanya:
Jason Andersen.
Sama sekali tak ada keterangan yang memadai selain keterangan yang dibubuhkan di tengah kertas:
Status: Masih dalam pencarian
Kode: Oranye
Keterangan: Bunuh jika melawan

Jason Andersen masih dalam pencarian? Bukankah Donghae telah bertemu dengannya kurang dari seminggu yang lalu? Semuanya terasa membingungkan. Kematian Anne, Claudia, dan kini Jason Andersen juga akan menjadi korban?
Dan tiba-tiba pintu menjeblak terbuka. Jantungku rasanya meloncat ke Bulan saat kedua mata Donghae menatapku terkejut. Jari-jariku tergelincir dan menjatuhkan lagi laporan yang tadi kupungut.
“Miss Cardia? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Ak—Aku mencari laporan—maksudku notula rapat, Sir.” Jawabku terbata-bata. Dahiku mengucurkan keringat deras dan darah dengan cepat surut dari wajahku.
Donghae berjalan mendekatiku dan aku segera mengambil laporan itu lalu menyisipkannya di antara tumpukan laporan-laporan yang lain sebelum pria itu mencapai meja. Ia mengernyit bingung menatapku.
“Kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali.” Tanyanya terdengar khawatir.
Aku memandanginya dan berteriak dalam hati. “Apa-apa, Sir. Aku baru saja menemukan fakta bahwa Anda lah yang membunuh Claudia!
“Aku baik-baik saja, Sir. Sepertinya kepalaku sedikit migrain. Itu saja.” Jawabku dengan suara serak.
Ia terlihat ragu tapi akhirnya percaya dengan aktingku. Dan Donghae menatap kepergianku lekat-lekat. Benar-benar berusaha mencari tahu apa yang membuatku begitu gemetaran.
Begitu pintu mahoni itu menutup di belakangku, aku langsung menarik napas panjang dan berjalan menuju lift dengan langkah sempoyongan.
Donghae benar-benar seorang pembunuh..
Haruskah aku mengadukannya? Kemana? Kenapa?
Aku tidak bisa terus berada di sini. Aku tidak ingin terlibat dengan pembunuh.
Dan aku takut.

***


8 komentar:

  1. huft setelah aku pikir eonni mogok nulis karna lama banget gak keluar akhirnya muncul juga part 6 nya. eonni~ maaf yaaa aku selalu jadi sider gara2 aku gatau mau nulis apa di kolom komentar :') tapi aku sukaaa ff nyaa. pasti akhir2 ini lagi sibuk yaa? semangaaatt~
    entahlah tapi kenapa penjelasan eonni ttg donghae itu bikin aku makin gila sama donghaeee aaaaa ganteng :")
    pertanyaan yg selalu aku pikir itu buat apa donghae ngebunuh orang2 itu? apa dendam masa lalu? mungkin biar bisnisnya lancar?
    youva harus kuaatt. ditunggu eonn lanjutannya. amat sangat ditunggu gimana akhir cerita youva sama donghae <3

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo!
      makasih ya udah ninggalin komentar hehe:) Insya Allaah aku enggak mogok nulis kok, aku kepingin bgt bisa namatin SCARLET. tapi emang bener belakangan aku sibuuuuukkkk banget T_T terima kasih semangatnya :)

      aku juga entah kenapa semakin gila sama donge. dia emang ganteng sih ya huhu T.T *kekepin*
      aaaaa i wont reveal anything hehehe not yet. sabar yak, satu persatu bakal aku ungkap kok, pokoknya aku berusaha untuk bikin cerita sebagus mungkin, supaya makin penasaran *eh*

      Hapus
  2. bingung mw comment apa
    masih penuh misteri
    makin penasaran nih ma ceritanya semangat buat cerita2 selanjutnya

    BalasHapus
  3. ceritanya penuh misteri #khas kakak
    selalu bisa bikin pembaca penasaran.. eonni memang suka story genre kayak gini yah.. masalahnya q baca semua story eonni rata-rata kayak gini genrenya teka-teki?

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah aku sama sekali nggak sadar. soalnya aku ga pinter bikin romance, jadi jatuhnya ya cerita kayak gini huhu

      Hapus
  4. Jdi bnrn ni Donghae pembunuh ny? ._.
    Duhhh masi misterii.. Penasaran sma kelanjutannyaaaa...
    Lanjut ya eon~ fighting~

    BalasHapus
  5. Wew... aku akui kontrol dirinya cardia bagus. Kalau aku diposisinya dia, mungkin udah diam membisu kyk patung. Bayangkan aja, kamu kerja bersama orang yang kamu anggap "pembunuh".. pasti takut kalau salah dikit justru dibunuh...
    eonni... i like this ff..

    BalasHapus