GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
PG-17
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
Summary:
Aku tahu semuanya bakal berakhir suatu
saat nanti. Entah itu karena aku tertangkap jatuh cinta padanya, atau karena
aku sudah berhasil melunasi seluruh hutang Ibuku. Tapi aku pasti tidak akan
bisa berhenti untuk terpesona padanya. Pria itu membuatku nyaris melewati
setiap malam dengan hasrat sinting yang tak mungkin bisa terpenuhi. Wajahnya
terlalu rupawan, terlalu memikat untuk bisa di lupakan. Tubuhnya adalah keindahan,
bukti nyata dari ciptaan Tuhan yang sempurna. Dan dengan sia-sia aku mencoba bernapas
dari semua terror yang ia berikan, berharap kewarasan akan bersamaku sampai
akhir.
Tapi bagaimana aku bisa meloloskan diri dari
senyumannya?
***
CHAPTER
FIVE: THE TRUTH IS INSIDE
Kukatupkan gigiku keras-keras, mencoba
menghalau teriakan yang mungkin bakal mewarnai perjalananku—maksudku, bosku dan
aku—yang menuai umpatan dari berbagai pengendara lain. Aku tahu mobil ini bisa membawaku
langsung menuju Surga kalau bosku tidak berencana menginjak rem lagi. Dan
sekedar pemberitahuan, kami sedang melaju di jalan Santa Monica yang terkenal
padat dengan kecepatan mendekati 180 km/jam. Tebak siapa yang mulai sinting?
Tanganku menggenggam sabuk pengaman seakan
benda itu bisa melepaskanku dari kematian. Aku tak berani melirik Donghae—bahkan
tak berani melirik kemanapun selain ke arah jalanan di depanku. Semuanya seakan
mengabur dalam bayangan, ketika kami menerjang jalanan dengan raungan Ferrari
yang menderu dan orang-orang berteriak marah di belakang kami. Aku berusaha
berpikir, tapi sialnya kebutuhan rohani mendahului segalanya—mulutku
komat-kamit mengucapkan doa pada Tuhan, memohon dengan sangat agar aku bisa
melalui sore ini tanpa luka-luka akibat kecelakaan.
Kupikir pria itu tak akan pernah
menghentikan mobilnya lagi, tapi tiba-tiba ia menginjak rem dalam-dalam,
membuatku nyaris menukik ke dasbor kalau saja sabuk pengaman yang tidak
menahanku.
Belum lagi aku sempat mencerna apapun, Donghae
telah turun dengan mendadak, meninggalkanku yang belum pulih dari syok yang
baru saja kualami. Tapi suaranya segera menyeretku ke alam nyata.
“KAU AKAN MEMBAYARNYA!” teriak pria itu mengalahkan
keributan kota.
Kepalaku mencari-cari sosoknya dengan cepat
dan menemukan Donghae berdiri tak jauh dari mobil bersama dengan seorang pria
berambut tembaga. Pria itu melotot pada Donghae dan kelihatannya mereka sedang beradu
argumen. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka karena setelahnya Donghae tak
lagi berteriak. Kulihat persiteruan mereka semakin memanas karena sebelah
tangan Donghae telah mencengkeram kerah pria itu. Sebagai balasan, pria itu mendorong
tubuh Donghae kasar, membuat bosku terhuyung mundur. Aku bahkan tak sempat menarik
napas karena detik berikutnya pria berambut tembaga itu berlari ke arah
keramaian.
“SIALAN!” umpatnya penuh emosi saat
kembali ke dalam mobil. Ia tidak segera menyalakan mobil, melainkan mengambil
ponselnya dan beberapa detik kemudian, ia bersuara keras—maksudku berteriak.
“Damn
it, Marven!” makinya dan tubuhku menciut. Pria itu mengepalkan tangan dan
giginya berkeretak. “Cepat jawab panggilanku!” desisnya lagi.
Setelah beberapa menit yang panjang,
akhirnya Marven menjawab panggilan Donghae karena samar-samar aku bisa
mendengar suaranya yang ramah.
“Marven, dimanapun kau berada, segera
datang ke kantorku!” Sembur Donghae dalam satu tarikan napas. Ia terdiam
mendengar jawaban Marven namun langsung mengumpat lagi. “Persetan dengan
rapatmu! Aku tidak peduli, cepat datang!” lalu menyisipkan ponselnya dalam
saku. Matanya menyipit marah dan dengan satu tarikan pada persneling, mobil
kembali melompat dalam keramaian.
Perjalanan kami setelahnya bahkan lebih
mengerikan lagi.
Donghae menambah kecepatannya sekaligus berhasil
mengelak dari tiga kecelakaan yang di timbulkan oleh pejalan kaki dan seorang
pengemudi sepeda motor yang menyelinap dari arah kiri. Aku telah pasrah, mengganti
doa agar kematianku tak berlangsung lama dan prosesnya tidak menyakitkan.
Tapi setelah sepuluh menit yang mencekam, dengan
bunyi rem mendadak yang kuyakin bakal terdengar sampai ke San Fransisco, Donghae
menghentikan mobilnya dengan satu putaran penuh di parkiran VIP. Ban berdecit
saat mobil berputar, menghasilkan kepulan asap dan jejak ban langsung terukir
di aspal.
Ya
ampun. Sepertinya pria ini kebanyakan nonton film. Desisku dalam hati. Kepalaku
pusing bukan main dan aku ingin muntah.
Ferrari ini sendiri sudah menarik
perhatian, membuatnya melakukan aksi di tengah banyak orang di sore hari hanya
akan menambah bisik-bisik kagum dan tatapan penasaran. Aku tak berani bergerak.
Mataku masih terpaku ke arah depan, yang mulai di penuhi kerumunan manusia-manusia
ingin tahu. Di sebelahku, Donghae bernapas dengan tenang.
Lalu tiba-tiba saja pria itu berbalik ke
arahku. Tatapannya terlihat murka, keras dan sama sekali tak bersahabat. “Miss
Cardia. Turun.” Geramnya berbahaya.
Tubuhku terlonjak kaget. Kalimatnya memang
ringkas, namun intonasinya seakan sedang mengatakan kau dalam masalah besar. Matanya yang berwarna kecokelatan menjadi
begitu kejam dan aku tak berani menarik napas. Tanganku meraba pintu dan
berencana menjawab perintahnya, tapi tenggorokanku tercekat—terlalu takut untuk
bisa mengatakan apapun—hingga aku terdengar seperti cegukan parah.
Mengikutiku, Donghae keluar dari mobil dan
membanting pintu dengan kasar. Orang-orang memberi tatapan mencela padaku
alih-alih pada pria itu. Seakan akulah yang mengebut, meninggalkan jejak ban di
sepanjang parkiran, dan membanting pintu dengan marah. Tubuhku gemetaran, berjalan
di belakang Donghae dengan langkah gentar.
Sebenarnya apa yang sudah kuperbuat? Kenapa
tiba-tiba ia menjadi begitu marah? Aku bahkan tidak sempat mengatakan apapun
untuk membela diri bahwa Johan hanyalah temanku. Ia menjadi begitu murka setelahnya
dan mengebut seperti orang sinting. Dan lagi, siapa pria tadi? Meskipun wajah Donghae
terlihat di penuhi emosi yang seakan siap membunuh seseorang, tapi aku masih
bisa melihat kegusarannya. Ada sesuatu yang mengganggunya. Aku tahu itu.
Kami baru tiba di lantai teratas setelah batinku
kenyang menghadapi sikapnya yang gusar di dalam lift. Pria itu mengatupkan
bibirnya hingga menjadi satu garis tipis dan tengkuknya menyala terang. Bahkan di
dalam lift pun, ia masih sangat mengintimidasi. Donghae masuk ke ruangannya
tepat ketika lift kedua berdenting dan Marven keluar dengan wajah baik hati—juga
tabah.
“Halo, Youva. Senang melihatmu lagi.” Ujarnya
hangat dan merentangkan tangannya.
Aku membalas pelukannya dengan canggung,
karena rasanya rohku masih berada di angkasa. “Aku juga, Marven.” Jawabku dengan
senyum kecut.
Marven melihat kegetiranku dan ia
memiringkan wajahnya sedikit. “Apa yang terjadi?” tanyanya bingung. Aku mengangkat
bahu dan melirik ke arah pintu dengan cemas. Pria tua itu mengerti maksudku dan
tanpa berkata apapun, ia langsung beranjak ke ruangan Donghae.
Marven bahkan belum sempat menutup pintu
kerja Donghae ketika bosku langsung menyumpah seperti orang sinting.
“Damn!
Damn! Marven kau pasti tidak akan percaya ini! Aku—Aarggghhh!! Sial! SIAAAL!!”
Aku tak bergerak di kursiku, menanti
percakapan mereka yang mungkin memberikan sedikit petunjuk kenapa Donghae
mengamuk.
“Tenanglah
nak. Kau harus memelankan suaramu.”
“Bagaimana
aku bisa tenang? Marven, aku bertemu dengannya! Bisakah kau percaya itu?”
“Siapa
yang kau maksud?”
“Pria
sialan itu—Jason Andersen! Demi
Tuhan, Marven, aku bersumpah akan membunuhnya—”
“LEE
DONGHAE! PELANKAN SUARAMU!”
Aku tahu mereka mulai menyadari bahwa
pintu masih terbuka karena setelahnya pintu langsung menutup dan berakhirlah satu-satunya
cara yang bisa kudapatkan untuk mengetahui sebab kemarahan bosku. Tapi tubuhku
segera menegang, ketakutan menjalar begitu cepat memenuhi pembuluh darahku.
Jason Andersen? Itukah nama pria berambut
tembaga tadi? Kenapa Donghae ingin membunuhnya?
Rasa penasaran menggelitikku sampai ke
alam bawah sadar, tahu bahwa semuanya saling berkaitan. Anne J. Loombergh, Jennifer
C. Houston, Alex Kennedy bahkan Renne, Natalie dan Carmen, semuanya memiliki hubungan
yang bersumber dari satu titik yang sama. Dan oh, Marven dan Chad juga pasti terlibat
dengan semua ini. Pembunuhan itu.. menjelaskan beberapa hal. Salah satunya adalah
alasan kenapa Ronnald O’Connel datang menginterogasi Donghae. Dan satunya lagi,
memberiku kesimpulan bahwa bosku memang seorang pembunuh.
Jason Andersen. Pria itu pasti akan mati
beberapa hari lagi. Atau besok. Atau mungkin malam ini. Jantungku berdetak tak
normal saat memikirkan kemungkinan yang ingin sekali kutepis. Aku tak ingin membayangkan
Donghae sebagai pembunuh. Tapi semua yang bukti yang kudapatkan mengarahkanku
pada satu kesimpulan mutlak; bosku benar-benar pembunuh.
Mungkinkah itu?
***
Aku masih tenggelam dalam
spekulatif-spekulatif sinting—yang bahkan mulai melibatkan teori vampire di
situs yang kulihat kemarin—ketika pintu terbuka dan Marven keluar dengan wajah
yang sama gusarnya dengan bosku tadi. Mereka menghabiskan setengah jam penuh
untuk berdiskusi secara eksklusif—aku lebih suka menggunakan kata tertutup—dan mengakhiri pembicaraan
mereka saat jarum jam berpindah ke angka enam tepat.
Senyumku terukir hangat, namun Marven malah
menatapku khawatir. Tak ada senyuman atau bahkan tatapannya yang jenaka. Ia hanya
mengangkat sudut bibirnya sedikit saat melihat senyumku berubah bingung.
“Apakah ada yang salah, Marven?” tanyaku takut.
Aku memperhatikan ekspresinya yang langsung berganti pura-pura ceria.
“Tidak, Youva yang cantik. Sama sekali
tidak ada yang salah.” Jawabnya terdengar palsu. “Ngomong-ngomong, kau harus mematuhi
perkataan Donghae padamu, nak.”
Aku mengernyit. Bertambah bingung. “Maksud
anda, Sir?”
Marven maju dan menggenggam tanganku. Tiba-tiba
ia terlihat tua. Senyumnya menunjukkan kesedihan dan kecemasan di saat yang
bersamaan. “Berjanjilah padaku, kau akan menuruti semua perintah Donghae.
Maukah kau?”
Ada yang aneh. Maksudku, setelah setengah
jam berdiskusi untuk menghabisi nyawa seorang Jason Andersen, mengapa Marven
tiba-tiba memintaku untuk mematuhi bosku?
“Tentu, Marven. Lagipula Mr. Lee adalah
bosku dan dia sudah menekankan betapa aku harus mematuhi perintahnya dalam lima
peraturan absolutnya, Sir.”
Lengan Marven menarikku dalam pelukan
singkatnya. “Aku senang kau mengerti, Youva.” Ujarnya lega. “Pastikan kau selalu
menyalakan ponselmu. Oke?”
Dan kenapa Marven jadi mencemaskanku?
“Oke.” Jawabku singkat dan Marven langsung
menuju ke dalam lift. Ia menyempatkan tersenyum padaku dan aku membalasnya ragu-ragu.
Begitu lift membawa pria tua itu ke lantai
bawah, telepon berdering.
“Masuk.” Perintah Donghae seperti biasa. Ia
tak menunggu jawabanku hingga aku tak lagi berniat memberikan jawaban.
Kali ini Donghae duduk di kursinya dengan
waspada. Matanya yang sekeras batu granit menghujamku dalam, memberikan maksud
yang tak bisa kuterjemahkan selain kemarahan. Tapi karena suaranya sudah berada
dalam volume normal, ketakutanku kini terpusat pada tatapannya yang mengerikan.
Kedua siku Donghae bertumpu di atas meja dan
tangannya bertautan di depan bibirnya yang mengatup. Lama sekali ia menyiksaku dengan
pandangannya yang seolah membuatku lumer saat akhirnya ia bersuara.
“Miss Cardia, mulai hari ini Chad akan mengantar
dan menjeputmu.” Suaranya rendah, tenang, juga berbahaya.
Kupaksakan untuk membalas tatapannya. “Tapi,
Sir, kena—maksudku, Chad adalah supir pribadimu.”
“Dan menurutmu aku tak bisa memerintahkannya
untuk mengantarmu?”
“Tentu anda bisa, tapi—”
“Kalau begitu sudah diputuskan. Kau pulang
bersama Chad dan dia akan menjeputmu besok pagi.”
Mulutku menganga. Rasa penasaranku
berganti dengan kemarahan. Apa sih yang dipikirkan pria ini?
“Miss Cardia, bibirmu terbuka. Tutuplah.”
Dengan cepat kulaksanakan perintah Donghae
dan semburat malu menjalar di pipiku. Aku berjuang mengucapkan sebuah penolakan
tetapi pria itu mendahuluiku.
“Aku tak menerima kata tidak. Sekarang kau
bisa pulang dan besok pagi Chad akan menjeputmu pukul delapan.”
“Sir—”
“Selamat malam, Miss Cardia.” Ujar Donghae
penuh penekanan dan aku sadar bahwa aku harus segera pergi. Tatapannya
mengikuti keluar ruangan dan aku memandangnya untuk terakhir kali, sebelum pintu
kayu mahogani berukir itu memisahkan kami.
Ketika aku tiba di parkiran, Chad nyengir
lebar padaku dan membukakan pintu mobil. Aku membalasnya setengah hati dan langsung
mendesah tanpa sungkan.
“Hari yang berat?” candanya sambil
mengunyah permen karet.
“Sangat.” Ucapku datar.
Kudengar Chad terkekeh geli dan ia menyalakan
mobil. “Pasti berat sekali sampai bos meninggalkan jejak roda di sepanjang
parkiran.”
Ia baru menginjak mobil lagi namun segera mengerem.
Aku mendongak, melihat apa yang membuat Chad mengerem mendadak. Dan hatiku seolah
jungkir balik saat menemukan Donghae berjalan melewati mobil dengan
pandangannya tertuju pada kami. Bukan, ia hanya memandangku. Kupikir pria itu
akan ikut bergabung tetapi segera saja ia berbelok ke arah mobil yang terpakir
di depan kami—sebuah Audi konvertibel yang mencolok—dan masuk ke dalamnya. Dan
ketika di dalam mobil pun, aku masih bisa merasakan tatapan Donghae yang
jelas-jelas mengarah padaku. Tapi pria itu kemudian memutuskan untuk membuatku
penasaran dengan memakai kacamata hitam.
Chad membiarkan mobil Donghae berjalan
lebih dulu. Baru kusadari bahwa ia berada di kursi penumpang dan itu berarti
seseorang menyetir mobilnya.
“Sebenarnya berapa mobil yang ia punya?” gumamku
pelan.
Pria di sebelahku menyahut dengan tertawa kecil.
“Percayalah padaku, menghitung kekayaannya akan sangat membuang waktu.”
Aku mencibir. Dan Chad mengemudi dengan
perlahan. Terlihat santai hingga aku memberanikan diri untuk memulai
pembicaraan serius.
“Chad?” panggilku.
“Silahkan bertanya, Youva.” Ujarnya
langsung. Aku menaikkan alis dan Chad mengerling padaku. “Satu hal yang
kupelajari darimu adalah kau memiliki masalah dengan rasa ingin tahu.” Godanya
tersenyum.
Mau tak mau aku tersenyum padanya. Namun raut
wajahku tetap menegang. “Kau tahu siapa itu Jason Andersen?”
Ini dia. Aku sengaja menatap Chad
lurus-lurus saat bertanya hingga aku mengetahui perubahan ekspresi yang terjadi
di wajahnya meskipun hanya satu kerutan samar.
“Kenapa kau bertanya?” balasnya tanpa
mengalihkan pandangan dari jalanan.
“Kalau kau mau tahu kenapa ada bekas ban
yang tertanam di parkiran, pria itulah penyebabnya. Dan bisakah kau
memberitahuku siapa dia? Aku benci harus berasumsi tanpa bukti.”
Chad bungkam. Ia menghentikan mobil saat
kemacetan menyerang kami di perempatan Alley Road. Aku berusaha memberikan jarak
agar pria itu bisa berpikir, sambil berharap bahwa ia akan memberitahuku sedikit
fakta.
“Aku tak bisa mengatakan apapun padamu,
Youva.” Jawabnya pelan. Hatiku mencelos dan ia menambahkan kalimatnya lagi. “Tapi
yang harus kau lakukan adalah menjauhinya.”
“Kenapa aku bahkan harus mendekatinya? Aku
tidak mengenal siapa itu Jason Andersen.”
Chad tersenyum. Tapi wajahnya segera waspada.
“Itu bagus. Sebab Jason Andersen bukanlah pria baik.”
Aku membayangkan pria dengan rambut
tembaga yang memiliki tatapan mengerikan tadi. Ia mungkin bakal terlihat menakutkan
kalau wajahnya tetap seperti itu. Tapi pria itu memiliki wajah karismatik dan membayangkannya
menjadi seorang pria jahat tampaknya sebuah kesalahan.
Chad kemudian menutup mulutnya, tak mau
menjelaskan apapun lagi padaku. Ia membiarkan alunan musik gubahan Rachmaninoff
mengisi keheningan hingga kami berhenti persis di depan sebuah gedung tua yang
kelihatan menyedihkan.
“Selamat malam, Youva.” Ujarnya dan
melambai dari dalam mobil saat aku telah mencapai anak tangga pertama flatku. Kubalas
lambaiannya dan tersenyum lebar, menanti hingga Chad menghilang dari pandangan.
Hari ketiga aku bekerja pada Lee Donghae
dan berbagai macam informasi membuatku kewalahan. Setidaknya aku butuh air
hangat. Segera.
***
Di dalam kamar, aku memutuskan untuk memikirkan
ulang dan mengaitkan semua fakta yang kuketahui—sekaligus kudengar—dalam tiga
hari belakangan. Aku sudah bertekad tidak akan ikut campur dalam hidupnya, tapi
tetap saja aku harus mengetahui sejauh mana aku akan terlibat dengan pria itu. Sebab
aku tidak ingin hidupku bakal kacau hanya karena aku terjebak dalam stigma misterius
Lee Donghae.
Di hari pertamaku bekerja, pria itu
memberikan sederet peraturan ajaib yang harus kupatuhi. Pikiranku melayang
kembali dimana pria itu mendiktekan peraturan nomor lima; tidak boleh jatuh
cinta padanya. Peraturan itu tidak hanya terdengar aneh, tapi juga menggelikan.
Maksudku, aku tahu kesempurnaannya bakal membuat semua gadis normal pingsan—dan
ya ampun, efeknya nyaris terlihat padaku—tapi sepertinya memang ada beberapa
alasan mengapa seorang Lee Donghae tidak ingin sekretarisnya jatuh cinta
padanya.
Dan lagi, pria itu jelas-jelas memiliki
tendensi untuk berhubungan fisik dengan kliennya sendiri. Lihat saja Anne J.
Loombergh, Jennifer C. Houston dan bisa kulihat Claudia juga menempati posisi
yang sama dengan mereka. Oke, ia tampan—amat tampan—dan kebiasaannya berganti
teman kencan mungkin masih bisa di tolerir. Tapi bagaimana mungkin ia berganti
wanita setiap satu hari?
Hari kedua di mulai dengan pemberitaan Anne—wanita
Skandinavia yang angkuh—yang diduga tewas akibat tembakan di kepalanya. Polisi
masih belum bisa mengusut tuntas kasus itu meski hampir dipastikan bahwa wanita
itu bunuh diri dengan sebuah pistol di samping tubuhnya. Tapi setelahnya terjadi
hal-hal yang begitu mencurigakan. Situs yang kutemukan menyebutkan bahwa bosku
pernah terlibat beberapa kasus pembunuhan walaupun tak ada yang terbukti benar.
Tetap saja semua itu menambah kecurigaanku padanya. Belum lagi percakapan-percakapan
mencurigakannya dengan Marven serta beberapa fakta baru yang kutemukan—Donghae dengan
lingkaran hitam di bawah matanya dan ia bahkan mengidap suatu penyakit yang katanya
bukan penyakit berbahaya!
Dan hari ini benar-benar membuatku pusing.
Setelah makan siang pukul empat sore di Restoran Italia, mendengarkan pengakuan
bahwa ia mengira aku bekerja padanya karena ketampanannya, bosku tiba-tiba mengamuk.
Memberiku perintah sinting lainnya agar aku tidak bertemu dengan Johan lagi. Bagian
ini membuatku hilang akal. Kemarin sore Donghae memerintahkanku agar tidak
tersenyum pada orang lain dan hari ini ia mengatakan aku tak boleh bertemu
Johan. Serius deh, Donghae cemburu? Tidak mungkin. Pasti ada yang salah. Kenapa
ia harus cemburu? Oke, karena tidak ada satupun alasan yang mendukung teori
bodoh itu, aku harus berhenti berspekulasi.
Menurutku memang ada yang aneh padanya, pria
dengan ketampanan dan kekayaan yang mengerikan, Lee Donghae. Aku tak bisa mengikutinya.
Mood pria itu selalu berubah-ubah dengan cepat. Beberapa kali ia tersenyum
menggoda lalu tiba-tiba berubah dingin. Aku tidak bisa menebak isi hatinya. Donghae
bisa sangat berbahaya jika ia meledak marah tetapi juga bisa menjadi sangat memabukkan.
Dan separuh dari akal sehatku menolaknya, meski separuhnya lagi mulai merasakan
rasa haus yang aneh.
Aku bergelung di dalam selimutku karena
cuaca berubah semakin dingin. Pikiranku masih di penuhi Lee Donghae tepat
ketika ponselku berbunyi nyaring dan segera kulihat siapa yang menelponku.
Lee
Donghae.
Oh, tidak. Bahkan pria itu bisa tahu kapan
aku memikirkannya!
“Halo?” ucapku ragu-ragu. Di ujung sana
terdengar dentuman musik yang aneh dan keras lalu langsung senyap.
“Miss
Cardia, kaukah itu?”
Aku memutar mataku karena tahu pria itu
tidak bisa melihatnya. Tentu saja. Jawabku
dalam hati.
“Ya, Sir, ini aku.”
“Dengarkan
aku baik-baik. Mulai besok, begitu kau tiba di kantor, jangan sekali-sekali
masuk ke dalam ruanganku. Duduklah di mejamu dan atur semua masalah pekerjaan tanpa
menemuiku. Mengerti?”
“Err… baiklah, Sir.”
“Jika
kau ingin mendiskusikan sesuatu, kau bisa menghubungi nomor ini. Kau boleh
pulang pukul enam tepat dan jangan repot-repot memberitahuku. Chad akan tetap
mengantarmu.”
Ada jeda panjang yang membuat Donghae
menyerukan namaku karena ia pikir aku tak bisa mendengarnya. “Aku mengerti,
Sir.”
“Bagus.
Dan Miss Cardia, atur ulang semua janji temu dan rapat. Bilang pada siapapun
yang membuat janji, aku akan menghubungi mereka kapan tepatnya aku ingin
bertemu.”
“Ya, Sir. Aku mengerti.”
“Aku
senang mendengarnya. Selamat malam.”
Satu lagi perintah aneh dari bosku. Menyuruhku
bekerja tanpa boleh masuk ke dalam ruangannya. Baik, Lee Donghae benar-benar sangat susah di tebak. Tapi entah kenapa
sebagian dari diriku tertantang untuk mengikuti sejauh mana ia akan bersikap
menjengkelkan—maksudku, bersikap aneh.
***
“Hei, sudah siap?”
Aku tersenyum mengiyakan Chad dan bergegas
naik ke mobil. Tapi pria dengan mata hijau cemerlang itu malah membukakan pintu
penumpang bagiku, hingga aku menaikkan alisku tinggi saat menatapnya.
“Maaf, tapi ini perintah bos.” Jawabnya
kalem. Begitu aku masuk, perubahan di dalam mobil membuatku terperangah. Sebuah
sekat kaca transparan tebal terpasang di belakang kursi Chad, memisahkan penumpang
dan sopir. Menjadikanku nyaris mustahil untuk berbincang dengannya.
Aku memberengut dan menatap jalanan dengan
marah. Setelah melarangku untuk bertemu dengannya, bosku juga tidak
memperbolehkanku untuk ngobrol dengan
Chad! Oke, kalau begitu Chad pasti ngadu padanya dan sebagai antisipasi atas
rasa penasaranku yang terlalu banyak, Donghae sengaja membatasi gerak-gerikku.
Sial deh.
Saat kami tiba di parkiran pun, Chad tidak
ikut turun. Ia berdiam di balik kemudi dan meski aku mencoba untuk mengetuk jendela
di sebelahnya, Chad tetap bergeming. Jadi, dengan perasaan jengkel dan
frustasi, aku berderap menuju meja kerjaku di lantai teratas.
Aku baru akan meletakkan tas ketika
ponselku berbunyi. Hanya Lee Donghae yang akan menghubungiku pada jam segini.
“Miss
Cardia, berikan seluruh laporan itu pada Celine Bundy di bagian Keuangan dan katakan
padanya aku ingin dia meninjau ulang setiap pemasukan dan pengeluaran sebulan
belakangan. Aku juga ingin dia menganalisis kebocoran dana yang terjadi di
sektor perusahaan konfeksi dan meminimalkannya secepat mungkin.”
“Baik, Sir.” Jawabku patuh. Aku melihat
sekilas ke arah pintu mahogani indah di belakangku sebelum akhirnya aku pergi menyerahkan
laporan pada Celine dan bertanya-tanya masalah apalagi yang kuperbuat hingga
pria itu menolak bertemu denganku.
Sisa hari itu berjalan dengan sangat
lambat. Aku nyaris menjamur di kursiku kalau saja tak harus mengangkat telepon
setiap satu jam sekali dan menerima kekesalan para klien yang sudah memiliki janji
dengan pria itu—yang kebanyakan adalah wanita.
Dan Donghae masih betah mengurung diri di
ruangannya.
Aku memang menuruti perintahnya untuk
berdiam di mejaku dan menjauhkan tanganku dari gagang pintu ruangannya. Tapi
mau tak mau rasa heran—sekaligus iri—mengusikku, ketika Chad malah memasuki
ruangan itu dengan tergesa-gesa. Ia Cuma nyengir dan menaikkan alisnya saat
melewati mejaku dan langsung kabur sebelum aku bisa menyapanya.
Pada pukul enam tepat, aku berdiri dengan
gelisah. Semalam Donghae mengatakan agar aku segera pulang tanpa perlu
memberitahunya lebih dulu. Tapi setelah seharian tidak bertemu dengannya
membuatku tak nyaman. Tanganku nyaris mengetuk pintu tetapi aku tak ingin
menambah kekesalan pria itu dengan mengganggunya. Jadi, kukerahkan tenagaku
untuk melangkah menjauhi ruangan Donghae yang terlihat dingin.
Tidak hanya hari itu, aku mendapati
Donghae sama sekali tak pernah keluar dari ruangannya di hari-hari berikutnya.
Aku sempat berpikir pria itu marah padaku dan menolak menemuiku karena Ia hanya
menginstruksikan apa yang harus kulakukan melalui telepon singkat dan tidak
membiarkanku bertanya sedikitpun. Begitu juga dengan Chad. Pria itu terus saja
mengunjungi ruangan Donghae dengan tergesa-gesa. Awalnya ia masih memberikanku
cengirannya dan terkadang aku membalasnya. Tapi akhirnya aku berhasil
mencegatnya persis di depan lift dan bertanya beberapa hal.
“Kumohon Youva, aku sedang buru-buru.” Kilahnya
sambil memencet tombol lift.
Aku menahan pintunya dengan kedua tanganku
dan memberengut menatapnya. “Aku Cuma ingin bertanya sesuatu.” Kerasku tak mau
kalah. “Kenapa Bos tak mau keluar ruangan? Dan kenapa kau selalu mondar-mandir di ruangannya?”
Chad melirik sekilas ke arah kamera
pengawas dengan gugup sebelum menjawabku. “Kau tidak tahu kalau bos sedang
keluar negeri? Dia sedang di Perancis, Youva. Dan dia menyuruhku melakukan
beberapa hal untuknya. Ngomong-ngomong, aku harus pergi sekarang.” Tandasnya lalu menghilang begitu pintu lift berdenting
menutup.
Aku kembali ke mejaku dengan kecewa.
Benarkah itu? Donghae berada di Perancis selama beberapa hari ini dan ia sama
sekali tak memberitahuku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengusikku selama
sisa hari dan berakhir pada pertanyaan yang lebih besar; Apakah Donghae
benar-benar menganggapku sebagai sekretarisnya? Kenapa ia malah menyembunyikan
hal itu dariku? Aku ingin marah, tapi kemudian aku sadar bahwa aku tak memiliki
hak apapun untuk bisa menuntut penjelasannya.
Dan kenyataan itulah yang membuatku muram
sepanjang hari.
***
Aku mengecek kalender di ponselku dan
harus berusaha menahan cengiran lebar.
Sunday.
Itu yang tertulis di layar dan tubuhku
melonjak bahagia. Bagus, hari ini weekend
pertamaku setelah seminggu bekerja dan seperti biasa, aku menyerahkan diri pada
kasurku yang terlalu sering kutinggalkan. Aku baru akan kembali menutup mata
dan langsung menuju alam mimpi ketika ponselku berdering nyaring, membuatku
segera terjaga.
“Hei,
cantik. Sudah bangun, belum?”
Aku memberengut. “Belum.” Jawabku singkat.
Tapi bibirku tak tahan untuk tidak nyengir.
“Uh,
ayolah. Tidakkah weekend pertama seharusnya lebih berarti dibanding berada
seharian di tempat tidur?”
“Johan,” desahku lambat. “Cepat katakan ada
apa.”
Johan menunggu beberapa saat sebelum
menjawab. “Snowbell merindukanmu.”
Lagi, bibirku nyengir lebar. “Jujur
sajalah, Snowbell atau kau yang
merindukanku?”
Dari ujung sambungan, aku mendengar tawa
Johan yang merdu. Aku bahkan bisa membayangkan seperti apa guratan di wajahnya
ketika ia tertawa. “Oke, aku ngaku.
Snowbell memang merindukanmu, tapi aku lebih merindukan dirimu daripada dia.”
“Aku tahu.” Jawabku yakin. Dan tawa Johan
berderai lagi.
“Jadi..
tempat biasa di jam yang sama?”
tawarnya kemudian.
Aku mengecek jam di ponselku dan berpikir
cepat. “Baiklah. Tapi pastikan kau membawa Snowbell. Perutku sakit karena
terlalu merindukannya.” Tandasku dan begitu Johan menutup panggilannya, aku
berlari ke kamar mandi.
Kami bertemu di sebuah kafetaria di tengah
kota satu jam kemudian. Sudah pukul sebelas dan seharusnya aku melepaskan
mantel ini, tapi udara Los Angeles ternyata berubah mendung. Dan berhubung aku
tidak ingin alergiku kambuh, sebaiknya aku tetap memakainya.
Johan mengenakan kaus abu-abu pudar dengan
kerah tinggi dan ia masih sama tampannya seperti ketika terakhir kali kami
bertemu. Aku melirik sekelilingnya dan mendapati beberapa gadis muda mencuri
pandang padanya. Johan cukup—oke, enggak, maksudku, sangat—tampan. Jangan samakan ketampanannya dengan Lee Donghae,
karena menurutku mereka berdua berada dalam katagori yang berbeda. Sebagai
contoh, kalau senyum Donghae beracun,
maka senyum Johan adalah penawarnya.
Wajahnya begitu lembut, teduh dan menenangkan. Tak ada yang bisa mengalahkan
pesonanya yang begitu memikat. Ia memiliki mata, hidung, bibir, bahkan tubuh
yang seakan di pahat dengan sempurna. Dan aku mencintai pria itu.
Harus kuakui, aku mendambakannya,
merindukannya bahkan memuja Johan. Meski
begitu, aku harus menerima kenyataan bahwa ia tak akan pernah menjadi milikku.
Maksudku, kami memang pernah berpacaran dan melalui masa-masa sindrom-kasmaran-akut, tapi setelah beberapa
bulan, kami setuju untuk putus dan menjadi teman baik. Perubahan status itu
membuatku terkadang terjaga di tengah malam, berusaha menahan rinduku yang
menyiksa dan terasa salah tempat. Tapi keputusan untuk mengakhiri hubungan
percintaan kami sama sekali bukan karena perasaan kami mendingin, melainkan
beberapa alasan yang bersifat mendesak dan pribadi.
Johan keturunan Jerman dan Rusia. Perpaduan
dua Negara itu terasa begitu sempurna, hingga kadang ia selalu di kerubungi
para gadis-gadis. Aku ingat ia pernah mengeluh padaku karena ketampanannya
membuatnya kewalahan sebab para gadis terus berdatangan dan mengacaukan ritme
hidupnya. Dari Johan jugalah aku belajar bahasa Jerman dengan hingga ke level Exellent. Biar begitu, ia lebih senang
tinggal di Los Angeles karena menurutnya matahari di Jerman terlalu dingin.
“Bisakah kau berhenti bengong dan memesan sesuatu?
Aku kelaparan.” Ujarnya geli dan bersedekap sementara Snowbell bergelung di kedua
pahanya.
Aku memutar mataku dan ia tertawa. “Aku
mau croissant dan hot chocolate.” Kataku cepat. Johan lalu
mengucapkan pesananku pada pramusaji.
“Pernahkah kau makan apapun selain croissant?” tanyanya sarkastis. Sebagai
jawaban aku menjulingkan mataku, membuatnya tertawa lagi.
Aku menghela napas panjang dan menarik Snowbell.
Kucing itu menggeram lalu mendengkur senang saat aku menggaruk leher bawahnya. “Oh,
kau semakin berat!” ujarku terpana. Johan tertawa dan ia mengusap kepala
Snowbell lembut.
“Kalau saja kau lihat betapa rakusnya dia belakangan ini!
Dia nyaris menghabiskan persediaan makanan sebulan hanya dalam seminggu.”
Kucing itu menatapku dengan pandangan
memelas, seakan mencoba berkata bahwa Johan berbohong. “Aku tahu, kucing manis.
Johan sangat melebih-lebihkan. Kau terlihat
keren, kok. Beritahu aku kalau Johan menyuruhmu diet, oke? Aku akan menuntutnya.”
Snowbell mengeong mengiyakan dan Johan memutar
mata lagi. Kami tertawa saat Snowbell meluncur ke bawah dan berputar-putar di
kakiku, menghindari tangkapan Johan yang pura-pura marah. Snowbell tadinya
kucingku, hadiah dari Johan untukku karena ia tahu aku mencintai binatang
dengan bulu-bulu lembut dan mata cemerlang itu. Tapi karena kami sepakat untuk berpisah
dan aku akhirnya mendapatkan pekerjaan purnawaktu, Johan menawarkan diri untuk
merawatnya karena ia yakin Snowbell akan kesepian jika ditinggal sendirian
selama seharian. Lagipula aku takkan bisa mengurusnya, memberi mulut lain untuk
diberi makan tidak cukup bijak untuk kondisiku sekarang.
“Jadi, semuanya baik?” desak Johan
membuyarkan lamunanku. Ia menatapku dengan mata abu-abu berkilau yang terlihat cemas.
“Baik.” Jawabku muram. Pikiranku kembali
pada sebuah pintu mahogani berukir yang tak boleh kubuka. Sudah tiga hari aku
tidak bertemu dengan Donghae dan kenyataan bahwa pria itu pergi tanpa
memberitahuku membuatku terluka.
“Oke, aku bisa melihat kau menutupi
sesuatu, Youva.”
“Entahlah, Johan. Aku sendiri tidak yakin apa
semuanya baik-baik saja.” Aku mendesah dan menatap Hot Chocolate yang baru di bawa pramusaji.
“Apa yang terjadi setelah kita bertemu
waktu itu? Bosmu marah padamu?”
Aku menatap Johan dan menarik napas lagi. “Dia
mengamuk dan mengatakan agar aku berhenti menemuimu.”
Johan mengangkat alisnya. Ekspresinya
terlihat kaget dan geli. “Benarkah?” tanyanya tak percaya. Aku mengangguk dan
ia bertanya lagi. “Jadi kenapa kau masih menemuiku?”
“Kau kan temanku. Kenapa aku tidak boleh
bertemu dengan temanku?” ujarku kesal dan Johan tersenyum lebar. Dadaku
berdegup saat melihatnya memandangku begitu dalam. Ada seberkas rasa terima
kasih tulus dari pandangannya dan aku membalas senyuman itu.
“Aku senang kau tidak menurutinya.” Johan meremas
tanganku pelan. “Jujur saja, meurutku ada yang aneh dengan bosmu.” Imbuhnya
sambil mengangkat bahu.
Aku mengernyit dan meneguk hot chocolate-ku sebelum menanggapinya. “Menuruku
juga begitu. Entahlah.. terlalu banyak hal yang terjadi dalam seminggu
belakangan dan aku nyaris tak bisa bernapas. Bosku memiliki kehidupan yang
penuh dengan misteri.” Ungkapku berterus terang dan Johan menaikkan alisnya
tinggi.
“Seperti apa misalnya?”
Dan rentetan penjelasan panjang mengalir
dari bibirku. Aku tak bisa terus menyimpan semua keanehan Donghae sendirian, dan
sebenarnya aku memang benar-benar membutuhkan seseorang untuk diajak berbagi atau
mungkin mendapatkan sedikit penjelasan atas sikap bosku yang kelewat nyentrik. Biasanya
aku akan bercerita pada Janne, karena gadis itu bakal bersikap suportif dan memberiku
komentar-komentar jujur terhadap semua pemikiranku. Tapi sejak Janne menikah, Johan-lah
yang menjadi pendengar setiaku. Pria itu memang tak bersikap seoptimis Janne,
tapi ia tetap memberikan solusi.
“Jadi, kenapa kau tidak mencari tahu?” usulnya
saat aku selesai membeberkan keanehan atas kematian Anne J. Loombergh dengan artikel
yang menyebutkan bahwa Donghae adalah pembunuh.
“Percayalah padaku, Johan. Aku sudah
berusaha. Tapi Lee Donghae membatasi semua gerak-gerikku. Aku bahkan tidak di
perbolehkan lagi berbicara dengan sopirnya.”
Johan menghela napas panjang. Matanya berkilat
jail saat mengatakan sebuah usul untukku. “Oh, itu gampang. Cobalah untuk masuk
ke ruangannya saat ia tidak ada di sana. Di dalam lemari atau laci yang berisi
dokumen, kau bisa menemukan apa yang kau cari, Youva.”
Aku tertegun. “Maksudmu, aku harus menjadi
penyusup?”
“Bukan, kau Cuma akan mencari tahu. Kau
tidak ingin terlibat dengan pembunuh, kan?” Johan terkekeh saat melihat wajahku
berubah bingung.
“Apa menurutmu Donghae benar-benar seorang
pembunuh?”
Johan mengangkat bahu. “Aku tidak tahu,
Youva. Penampilan seseorang bisa sangat menipu.”
Dan setelahnya Johan membiarkanku menghabiskan
croissant dan hot chocolate-ku dalam diam. Ia bersiul pelan saat sinar matahari
mulai menerpa kulitku, menjadikan udara menghangat secara tiba-tiba.
“Ngomong-ngomong, sudahkah aku cerita kalau
Claudia Thompson juga salah satu pemuja Lee Donghae? Aku bertemu dengannya di
kantor beberapa hari yang lalu.” ujarku dan Johan membelalak terkejut.
“Claudia yang itu?” tanyanya tersedak. Begitu aku mengangguk, tawa Johan berderai.
“Kenapa aku tak mendengar apapun tentang yang satu itu?” tuntutnya nyengir
padaku.
Aku memutar bola mata dan mulai bercerita
bagaimana persisnya kejadian saat itu. Johan menikmati semua yang kuceritakan. Jelas
sekali ia berusaha menahan tawanya—meski berulang kali mendengus dan mengibaskan
tangan.
“Kupikir seleranya semakin membaik.” Komentar
Johan saat aku selesai berbicara. Aku ikut tertawa bersamanya saat pembicaraan
kami berbalik pada masa kuliah beberapa bulan yang lalu.
Johan dan aku bertemu di Perpustakaan Kota
Los Angeles saat aku mulai menjadikan gedung tiga lantai itu sebagai rumah
keduaku. Aku sedang mengumpulkan data untuk tesisku yang belum rampung dan saat
itulah Johan muncul. Ia menghabiskan sepanjang siang dengan para gadis yang
mengerubunginya tanpa kenal lelah. Awalnya aku sama sekali tak ingin melakukan
apapun selain menjauh dari dirinya karena gadis-gadis itu sangat berisik. Tapi
setelah seminggu, Johan tiba-tiba saja mendatangiku dan langsung berlutut di bawah
meja. Ia bahkan memohon agar aku mengatakan kepada para penggemarnya kalau ia sedang
berada di seksi Pengetahuan Metafisika di lantai teratas.
Praktis, kami menjadi dekat sejak saat
itu. Aku mendapati bahwa ternyata Johan adalah pria dengan selera humor luar
biasa dan terkadang sikapnya sedikit sarkastis. Ditambah dengan wajahnya yang tampan,
dengan cepat pria itu merebut perhatianku. Johan dan aku mulai berkencan satu
bulan kemudian, ketika kami telah menghabiskan tujuh hari dalam seminggu untuk
bertemu di perpustakaan dan membahas semua hal—dari sekedar perbincangan
pribadi hingga hal-hal tak masuk akal seperti; ‘Apa menurutmu bumi akan meledak suatu hari nanti?’
Tak pernah sekalipun dalam hubungan kami
yang singkat, aku dan Johan bertengkar atau bahkan merasa kesal padanya. Johan
pria baik dan sopan, dan ia senang menghujaniku dengan perhatian-perhatiannya. Kami
melakukan banyak hal bersama dan ia menjagaku seperti seorang pria terhormat. Aku
tadinya hampir berharap bahwa hubungan kami akan berlangsung lama, tapi kemudian
kenyataan menghantamku. Ibuku mengabarkan kalau Rumah Panti Asuhan yang
dikelola Ibu terlibat hutang dan akan disita dalam enam bulan. Aku di hadapkan
pada pilihan berat; bekerja untuk membayar hutang-hutang itu atau tetap berada
di sisi Johan. Tapi kemudian ia juga harus memilih karena perusahaan yang di
bangun ayahnya membutuhkan tenaga ekstra.
Johan pria cerdas dan Ayahnya ingin ia
menduduki posisi General Manager saat itu juga. Ia menawariku untuk bergabung
dengan perusahaannya namun aku menolak. Aku tak akan bisa bekerja jika aku
terus bertemu dengannya. Tapi Johan kemudian memberiku saran untuk bekerja pada
seorang pengusaha muda kaya yang sedang membutuhkan sekretaris baru. Dan sejak
saat itu kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan resmi. Aku tidak
bisa bersikap patah hati karena sebenarnya rasa cintaku padanya masih sama. Meskipun
hatiku tetap saja sakit saat mengatakan bahwa kami hanya berteman dan aku harus
membiasakan diri pada hal itu.
“Serius, Youva. Kau benar-benar culun
waktu pertama kali aku melihatmu di perpustakaan.” Ejeknya dengan tawa nyaring.
“Tebak siapa yang jatuh cinta pada cewek
culun itu?” balasku dan ia nyengir. Johan mengedipkan matanya dan aku
menjulurkan lidah. Kami selalu bertingkah seperti ini dan rasanya sangat
menyenangkan.
“Baik deh, aku ngaku. Tapi aku masih tetap
lebih suka melihatmu natural, Youva. Aku
benar-benar pangling saat melihatmu di Restoran itu.”
Aku menggerutu dan memajukan bibirku. “Itu
peraturan, Johan. Kau pikir aku memakainya dengan sukarela?”
“Dan ngomong-ngomong, kau sudah terpesona
olehnya, belum?”
“Maksudmu Lee Donghae?”
Johan memandangku. Mata nakalnya bersinar
ingin tahu. “Entahlah. Tapi aku tidak bisa menyangkal kalau dia benar-benar
tampan.” Saat aku mengatakan itu, wajah Johan meredup. “Jangan cemburu, Johan Stavilosky,
tapi kau punya saingan.”
Aku tertawa melihat raut wajahnya dan ia
memaksakan senyum sinis sebelum bertanya, “menurutmu siapa yang lebih tampan,
aku atau Lee Donghae?”
“Kau.” Jawabku pura-pura malu. Wajah Johan
berubah cerah dan ia memajukan wajahnya antusias.
“Siapa yang lebih kau sukai? Aku atau
bosmu?” tanyanya lagi.
Aku membiarkan Johan menunggu selama
beberapa saat dan menjawab ketika ia mengernyit padaku. “Tentu saja kau, tuan Stavilosky.”
Ucapku memutar bola mata dan senyum puas terkembang di wajah tampannya.
Johan menegapkan diri, merasa tersanjung karena
pengakuan jujurku dan ia memutuskan untuk mentraktirku makan siang.
“Kuharap kau tidak berubah pikiran.” Ujarnya
saat kami menaiki bus dengan Snowbell dalam pelukanku.
“Kuharap begitu.” Balasku tersenyum.
***
Setelah seharian bersama Johan, aku merasa
semangatku meluap. Tapi aku sadar seluruh energi positif yang kudapatkan akan
segera hilang dalam waktu singkat. Saat kakiku berhenti tepat di depan sebuah
pintu mahogani dengan gagang kuningan, saat itu juga wajahku kembali murung. Donghae
belum menghubungiku dan itu artinya aku tak boleh melakukan apapun selain
berdiam di mejaku.
Tengah hari, saat kulihat Chad melesat
masuk ke dalam ruangan dan keluar dengan membawa tumpukan kertas di tangannya,
rasa penasaranku timbul. Haruskah aku mengintip ke dalam? Seharusnya tak ada
siapapun di dalam sana. Dan jika Donghae melarangku masuk, sudah pasti ada yang
sedang ia sembunyikan dariku.
Aku bergerak gelisah dan mencoba memutuskan
untuk mengikuti saran Johan. Tapi aku tak pernah menjadi seorang penyusup atau melakukan hal-hal seperti merusak
privasi orang lain sebelumnya. Jadi segera kutemukan bahwa menerobos masuk ke
dalam ruangan Donghae benar-benar nyaris mustahil bagiku. Hingga pukul enam
sore, aku masih tak berhasil membiarkan rasa ingin tahu mengalahkan rasa
takutku dan akhirnya sambil menyesal, aku membiarkan Chad mengantarku pulang.
Satu minggu aku bekerja dengannya dan sudah
lima hari aku tidak bertatap muka dengan bosku sendiri. Aku sedikit
merindukannya—benar-benar sedikit—dan aku berharap ia segera pulang dari Paris.
Tapi aku tak tahu kapan ia akan kembali. Pria itu tak memberiku kesempatan
untuk bertanya. Ia menolak panggilanku dan mengatakan semua perintahnya dalam satu
ketukan cepat. Tanpa basa-basi, tanpa ingin tahu apakah aku memiliki pertanyaan
untuknya. Dan sikapnya membuatku tertekan.
Aku mengirim e-mail untuk ibu dan beranjak
naik ke tempat tidurku yang hangat. Udara cukup dingin tapi aku melepas
piyamaku dan menyisakan tank top sebagai
pakaian tidur. Biasanya aku akan berkeringat kalau mengenakan pakaian tebal di
malam hari. Jadi, setelah mematikan lampu dan menarik selimut hingga ke dagu, aku
memejamkan mata, berdoa dalam hati agar besok menjadi hari yang indah.
Sepertinya baru beberapa menit aku
mengarungi mimpi tak berujung ketika suara ponselku membuyarkan semuanya. Membuatku
terjaga dengan cepat dan diliputi perasaan jengkel setengah mati. Aku benci
jika dibangunkan saat sedang tidur. Tapi kejengkelanku langsung berubah panik saat
mendengar suara dalam dan merdu milik bosku—Lee Donghae.
“Miss
Cardia, apa kau sudah tidur?”
Aku memekik kaget dan langsung terduduk. Kulirik
lagi layar ponselku dan memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. “Ya, Sir.” Jawabku
parau. Sial deh. Suaraku tidak pernah menjadi seksi ketika bangun tidur.
“Bisakah
kau membuka pintumu? Aku berada di luar.”
Perkataannya membuatku terpaku untuk
beberapa saat. Pintu yang mana? Di luar mana?
“Miss
Cardia? Kau mendengarku?”
“Y—ya, Sir.” Kataku tergagap. Aku berjalan
pelan ke arah pintu kamarku dan membuka kunci teratas. Kuputar kunci pintu yang
menggantung di lubangnya dengan perasaan ragu. Lee Donghae berada di depan
kamarku? Mustahil.
Kutarik pintu itu sedikit dan mengintip
dari celahnya. Tak perlu seseorang untuk memberitahu bahwa aku benar-benar
sedang melihat seorang pria tampan dengan ponsel di telinganya sedang berdiri
persis di depan pintu kamarku dan segera kututup pintu itu tanpa sadar.
Astaga—Oh, Tuhan! Lee Donghae berada di depan
kamarku!
“Miss
Cardia, aku mulai kedinginan.” Ucap Donghae di telingaku dan dalam kepanikan,
aku menyambar piyama dan menendang selimutku yang jatuh saat menuju pintu.
“Apa yang membuatmu begitu lama?” decaknya
tanpa terlihat sebal ketika aku membuka pintuku untuk kedua kali.
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Pria
yang berdiri di depanku telah menghilang selama lima hari dan kini ia kembali
dengan wajah ratusan kali lebih tampan dan lebih menawan daripada sebelumnya. Aku
menatap Donghae dengan pandangan tak percaya. Kantukku segera minggat ke Bulan,
tergantikan oleh perasaan panik aneh yang tinggal di sekujur tubuh. Aku bahkan tak
sempat lagi merasa jengkel karena melihat sosoknya yang memesona membuat amarahku
langsung menguap.
Sesuatu di dalam diriku melonjak bahagia saat
melihatnya. Lee Donghae sedang berdiri di ambang pintu kamarku yang menyedihkan.
Terlihat salah tempat saat ia berdiri di depanku. Ia seperti malaikat yang baru
saja turun dari langit malam yang dingin. Wajahnya pucat, dengan rambut yang berantakan
dan senyum yang membuatku lupa menarik napas. Ia mengenakan mantel abu-abu terang
yang menjuntai hingga lututnya. Rambutnya telah teracak-acak, matanya masih
cokelat muda yang menyiratkan beribu arti dan bibirnya melengkung membentuk
senyuman percaya diri. Biar begitu pun, tak ada cukup kata yang tepat untuk menggambarkan
betapa mendebarkannya ia.
Pria itu menelengkan kepalanya dan bibirnya
terkulum—terlihat menanti sesuatu dariku. “Ngomong-ngomong, kau tidak mempersilakanku
masuk?”
Aku mengejap beberapa kali dan kesadaran mulai
mengambil alih pikiranku yang kacau. “Err… silahkan masuk, Sir.” Ujarku terbata-bata.
Ya ampun,
Lee Donghae sedang berada di kamarku!
Perasaan bahagia aneh menyusup ke hatiku. Dan
kusadari aku benar-benar merindukannya. Merindukan bosku yang baru saja menghempaskan
diri ke atas tempat tidurku—bersikap seakan-akan akulah tamunya.
Aku berusaha bersikap wajar namun gagal. Maksudku,
mana mungkin mendapati Lee Donghae sedang berada di kamarku pada pukul satu dini
hari membuatku bisa bersikap wajar. Mataku mengikuti wajahnya yang dari tadi mengitari
setiap sudut rumahku yang kecil. Kusadari wajah Donghae terlihat kelelahan. Lingkaran
hitam di bawah matanya semakin terlihat jelas.
“Ini
benar-benar sebuah rumah?” tanyanya tidak percaya.
Aku menahan keinginan untuk mencibir dan memutar bola mata. Ia melirikku sebentar tapi segera mengalihkan
pandangannya.
“Katakan padaku, Miss Cardia. Apa kau selalu
membiarkan seorang pria mengunjungimu pada malam hari?”
Kata-katanya membuatku semakin jengkel dan
aku menatapnya marah. “Tentu saja tidak, Sir. Aku bahkan tak pernah mengijinkan
seorang pria masuk ke kamarku sebelumnya.” Jawabku tersinggung.
Donghae memindahkan tatapannya padaku dan ia
menunggu beberapa saat. “Jadi, kenapa aku bisa berada di dalam kamarmu, Miss
Cardia?”
“Anda bosku, dan anda telah mengatakan
agar aku menuruti semua perintah tanpa pernah mengatakan tidak.” Ujarku kesal. Donghae
tampaknya melihat kekesalanku sebab ia tersenyum setelahnya.
“Kau benar.” Ujarnya tenang. Ia menatapku.
Terus menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun hingga rasanya pipiku
memerah karena malu. “Aku tidak pernah tahu kalau wajah bangun tidurmu sangat
menarik.”
Kuputuskan untuk tidak menggubris
perkataannya kendati wajahku memanas lalu menunduk menatap lantai. Kuharap aku sempat
menyisir rambutku yang pasti kelihatan seperti singa sekarang. Dan kuharap aku juga
sempat cuci muka. Ya ampun.
Donghae menghela napas tanpa memindahkan
pandangannya dariku. “Miss Cardia, bicaralah. Aku ingin mendengar suaramu.”
Jantungku berdegup aneh saat mendengar
permintaannya dan kepalaku bergerak pelan menatap Donghae. Selama beberapa detik,
aku tak bisa menarik napas karena tatapan Lee Donghae benar-benar
melumpuhkanku. Aku berusaha keras untuk menahan diriku agar tetap menjauh
darinya karena bisa saja kendaliku runtuh dan aku akan.. entahlah. Apa yang bisa
kulakukan padanya di kamarku sendiri?
“Sir, anda pergi ke Perancis.”
Itu bukan pertanyaan apalagi pernyataan
yang benar. Kalimatku terkesan marah dan tersirat jelas kekecewaan di dalamnya.
Aku tak sadar dengan apa yang kuucapkan karena lidahku bergerak sendiri. Kesadaranku
bergerak lambat—selambat ketika Donghae menatapku menyesal.
“Benar.” Ucapnya pelan. “Aku tahu aku
bersikap tidak adil padamu belakangan ini.”
Perasaan sentimental menguasaiku dan aku
mendorong jauh keinginan untuk menangis. Sebab mendengar Donghae berkata penuh
penyesalan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Pria itu bahkan menyadari bahwa
ia telah bersikap tidak pantas padaku.
“Apakah anda marah padaku? Kenapa anda
tidak memberitahuku kalau anda pergi ke Eropa?” Karena aku tak bisa lagi
menyembunyikan apapun, akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan kegelisahan
yang kupendam.
Donghae menyisir rambutnya dengan sebelah
tangan dan menatapku gelisah. “Aku tidak marah padamu, Youva. Aku hanya ingin
kau aman.”
“Aku tidak sedang berada di medan perang,
Sir. Anda tidak perlu mencemaskan keselamatanku, terima kasih.” Jawabku cepat dan masih dikuasai emosi.
Ia tertawa mendengar kalimat balasanku dan
menggeleng pelan. “Kau benar-benar susah untuk di kendalikan, Miss Cardia.” Ujarnya
takjub. Matanya menelusuri wajahku yang kaku.
“Aku selalu berasumsi anda membenciku—dengan
sebab yang tak kuketahui—dan mencoba membuatku mengundurkan diri dari pekerjaan
itu secara tidak langsung.”
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanyanya
terkejut. Alisnya bertaut dan ia menatapku bingung.
“Karena anda tidak pernah memberitahuku
apapun selain tentang apa yang harus kukerjakan sepanjang hari itu, Sir. Aku
benar-benar tidak menyadari kalau anda sedang di luar negeri seandainya Chad tidak
mengatakannya padaku.” Jawabku jujur.
Tubuh Donghae menegang, matanya menatapku
waspada. Tapi penyesalannya langsung terlihat ketika ia menghela napas. “Kau harus
mengerti.. ada beberapa hal yang tak bisa kukatakan padamu, Youva. Paling tidak
untuk saat ini.”
“Kenapa?”
Mata Donghae menatapku tajam. Agaknya ia menahan
amarahnya karena aku berani bertanya mengapa. Tapi aku tidak menarik kembali kata-kataku.
Ini rumahku dan kupikir aku berhak untuk tahu.
“Karena terlalu berbahaya jika kau mengetahui
terlalu banyak, Miss Cardia. Percayalah, aku sedang berusaha menyelamatkanmu.” Tegasnya
dengan rahang terkatup. Dan seketika aku menyesali pertanyaanku yang idiot.
“Tapi anda berusaha menyelamatkanku dari apa,
Sir? Penjelasan anda tidak membuatku mengerti sedikitpun.”
“Memang itulah tujuanku.” Jawabnya dengan nada
tak bisa dibantah. “Jangan paksa aku untuk menjelaskannya padamu, Miss Cardia. Karena
aku tidak akan mengatakan apapun.” Ia mulai kesal dan memejamkan matanya—seakan
mencoba menahan amarah.
Aku menatapnya marah tapi tak mengatakan apapun.
Ia balas menatapku seakan memerintahkanku untuk tetap tutup mulut. Tentu saja aku
penasaran dengan apa yang disembunyikannya dan penjelasan Donghae yang kabur itu
jelas menyiratkan kalau aku dalam bahaya. Tapi bahaya dari apa?
Setelah mengintimidasiku dengan tatapannya
yang dingin, Donghae bangkit dari ranjangku dan mengitari kamarku perlahan-lahan.
Tangannya bertaut di belakang tubuhnya, sementara kakinya mencoba melangkah di lantaiku
yang tertutup karpet. Dan ternyata pria itu masuk ke dalam kamarku dengan sepatunya.
“Ini foto keluargamu?”
Aku mendongak, melihat arah tatapan Donghae
yang sedang memandang sebuah pigura di dinding. “Benar, Sir.” Jawabku.
Donghae membisu sejenak, tapi ia segera berkata
lagi. “Wanita yang di sebelahmu ini Ibumu? Kenapa ia lebih cantik?” komentarnya
sambil mendengus geli.
“Terima kasih atas pujiannya, Sir.” Balasku
sarkastis. Donghae berbalik padaku dan melemparkan senyuman menggodanya.
“Tapi bisa kulihat kalian mirip.” Imbuhnya
tersenyum manis—oke, manis sekali sampai rasanya aku ingin membalasnya. “Dan ini
ayahmu?”
Aku tak segera menjawab hingga Donghae menatapku
lagi. “Itu ayah tiriku.” Jawabku sedikit muram. Padahal aku sudah berusaha untuk
menjawab dengan santai, tapi nyatanya usahaku tak berhasil. Donghae menyadari keenggananku
dan ia malah beringsut mendekat.
“Maafkan aku. Aku tak tahu kalau orangtuamu sudah berpisah.”
Ujarnya penuh penyesalan. Aku menggeleng dan menatapnya dengan tersenyum semampuku.
Mencoba agar tak terlihat sedih saat membicarakan ayah kandungku.
“Bukan berpisah. Lebih tepatnya Ayahku meninggalkan
Ibu saat umurku dua bulan.” Jelasku sedikit muak. “Aku tidak pernah bertemu dengannya.
Ibu juga tidak pernah memperlihatkan foto Ayah. Aku bahkan tak mengetahui namanya.”
Donghae terdiam. Ia telah duduk persis di depanku—tepatnya
di atas meja serbagunaku—dan memandangku lama sekali. “Kenapa..?” tanyanya setelah
berhasil menemukan suaranya.
“Aku tidak tahu.” Jawabku menggeleng. “Ibu
tak suka jika aku mengungkit-ungkit hal itu. Kupikir.. Ibu menyesal bertemu dengannya.
Dan aku benci kalau Ibu bersedih.”
“Apa kau ingin bertemu dengan ayah kandungmu?”
“Tidak tahu.” Jawabku jujur. Donghae menaikkan
alisnya tinggi dan aku menambahkan lagi. “Tapi setidaknya aku ingin lihat seperti
apa wajahnya.”
“Aku bisa mencarinya untukmu.”
Pernyataan Donghae membuat mataku melebar hingga
pria itu tersenyum melihat kilat antisipasi berkelebat di kedua mataku. “Benarkah?”
tanyaku tak percaya. Nyaris menggumam.
“Benar, Miss Cardia. Aku berjanji.” Sahutnya
pasti. “Dan sudah berapa lama kau belum menelpon Ibumu?”
“Eh?” gumamku tergagap. “Err.. sepertinya dua
bulan.” Jawabku sambil menghitung. Tarif telepon langsung ke Indonesia benar-benar
mahal dan aku harus menahan keinginanku untuk berbicara dengan Ibuku karena aku
harus menabung.
“Kalau kau mau, kau boleh menelpon menggunakan
ponselku, Miss Cardia.”
Mulutku menganga tak percaya, gabungan antara
keterkejutan dan kebahagiaan di saat yang bersamaan. Dan beberapa menit kemudian,
ponsel Donghae telah tersambung ke ponsel pribadi Ibuku. Ia berdiri menjulang di
depanku—yang masih saja terperangah tak berkedip—dengan ponselnya di telinga sebelah
kanan.
“Good
evening, Mrs. Noraiva Cardia.” Ujar Donghae dan kudengar Ibuku membalas sapaannya.
“I am
Lee Donghae, CEO of company that Youva works on it. I am sorry to bother you, Mam.
But Youva has something to tell you and she wants to talk directly by phone.”
Dan setelahnya pria itu mengulurkan ponselnya padaku.
“Youva?”
tanya Ibu sedikit tak percaya.
“Hai, Ma.” Jawabku dengan suara pecah. Aku
tak bisa menahan tangisanku dan tertawa dengan airmata berlinang saat Ibu memekik
kegirangan. Aku menatap Donghae, yang telah menciptakan keajaiban padaku malam ini,
membuatku tersenyum berterima kasih padanya.
“Take
your time.” Bisiknya tak kentara, kendati membalas senyumku dan duduk dengan
kaki bersila. Ia membiarkanku mengobrol lama dengan Ibu dan tak sekalipun terlihat
kesal. Donghae hanya memandangku, tersenyum saat aku tertawa mendengar kalimat Ibu
dan memperhatikanku lekat-lekat saat aku terdiam.
“Entahlah, Ma. Bosku baik. Dia memperbolehkanku
menelponmu karena kubilang aku tak punya cukup uang untuk menelpon.” Jawabku sambil
mencuri pandang ke arah Donghae. Ia menaikkan alisnya, merasa penasaran dengan apa
yang kuucapkan karena pasti Donghae tak mengerti bahasa Indonesia.
“Kalau
begitu kau tidak boleh bersikap kasar padanya. Hormati dia dan lakukan yang terbaik
yang bisa kau lakukan, Youva.”
“Aku tahu, Ma.” Jawabku meringgis. “Err.. sepertinya
kita sudah bicara cukup lama, Ma. Kupikir bosku harus menggunakan ponselnya.”
“Baiklah,
nak. Tolong berikan ponselnya pada bosmu, dan Mama harap kau akan selalu baik-baik
saja, Youva sayang. Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu, Ma.” Desahku menahan
airmata dan mengembalikan ponsel Donghae. Pria itu melirik layar ponselnya yang
masih tersambung dengan panggilan Ibuku dan ia meletakkannya di telinga.
“Yes,
Mrs. Cardia?” panggil Donghae. Pria itu terdiam namun wajahnya perlahan tersenyum.
“Don’t worry, I will do that for you. As you
pleased, Mrs. Cardia.”
Dan sadarlah aku Ibuku sedang mengatakan sesuatu
tentang diriku karena bosku memandangku penuh arti. Sudut bibirnya bahkan terangkat,
membentuk sebuah senyuman kecil yang berusaha mengejekku.
“Thank
you, Mrs. Cardia. Nice to know you…. Yeah, me too.. And—okay, I will inform her.. Good evening.”
Dengan satu sentuhan kecil di layar ponselnya, Donghae mengakhiri panggilannya dengan
Ibuku. Ia memberiku tatapan puas yang aneh dan aku berusaha menahan lidahku untuk
bertanya.
“Kuharap aku bisa bertemu Ibumu, Miss Cardia.”
Ejeknya dengan seringaian.
“Ibuku tidak mengatakan sesuatu yang aneh,
kan, Sir?” tanyaku kelepasan. Ia melipat tangannya di dada dan menutup mulutnya
sejenak—membiarkan perutku mulas karena menantinya.
“Tidak,” jawabnya singkat. “Ia Cuma mengatakan
agar aku menjagamu, memastikan kau baik-baik saja dan menyerahkan dirimu sepenuhnya dalam pengawasanku. Dan Ia juga
berpesan agar kau memakai baju hangat karena udara dingin. Sepertinya Ibumu juga
berharap aku mengahangatkanmu.”
Aku tersedak dan wajahku langsung seperti lobster
rebus—merah menyala dengan uap di sekitar kepalaku. Donghae terbahak melihat ekspresiku
yang memalukan dan ia membiarkanku menyembunyikan wajahku yang malu setengah mati.
“Ibuku pasti salah bicara, Sir. Bahasa Inggrisnya
tidak sebagus dulu.” Kilahku tanpa menatapnya—walaupun aku tahu ia masih menatapku
geli.
Donghae berdiri dan mendekatiku. Ia berlutut
di depanku dan menarik daguku ke atas—memaksaku untuk menatapnya. “Kupikir juga
begitu, Miss Cardia. Karena kalau tidak, aku tidak akan keberatan melakukannya.”
Senyumnya terukir dengan sengaja, membuatku menelan ludah karena tatapannya yang
membunuh dan kata-katanya yang penuh makna.
Jantungku meronta minta di bebaskan, tapi kukatupkan
bibirku rapat-rapat, mencoba mengalahkan keinginan untuk mengiyakan pria itu. “Kupikir
anda hanya mau memeluk wanita cantik, Sir.” Gumamku tanpa bisa kucegah. Sepertinya
lidahku tak lagi tersambung dengan otakku malam ini. Dan sepertinya Donghae juga
benar-benar dalam mood yang amat baik.
“Faktanya adalah aku tak keberatan untuk memeluk
semua wanita di dunia ini. Termasuk dirimu.”
Kurasakan jantungku berpacu gila-gilaan. Aku
tahu bosku sedang mengujiku—untuk melihat apakah aku telah jatuh dalam kesalahan
atas pelanggaran peraturan nomor lima—tetapi tetap saja kepalaku pusing bukan main
ketika melihat rentangan tangan Donghae yang membuka lebar, seakan berniat menyambut
diriku.
“Aku bahkan tidak keberatan untuk memelukmu
juga, Miss Cardia.” Ujarnya manis sekali. Aku menggigit lidahku keras-keras hingga
aku bisa merasakan rasa amis darah di lidahku. Mudah sekali. Yang perlu kulakukan
hanya mengangguk dan aku akan bisa merasakan dada bidang pria itu, menemukan kehangatan
dalam pelukannya dan menikmati sentuhan Lee Donghae yang mengagumkan.
“Tidak.” Lidahku yang mulai berdarah itu kembali
berucap tanpa berkompromi dengan otakku—sebenarnya otakku bahkan sudah berhenti
bekerja hingga aku terpaksa berpikir dengan hasratku.
Donghae menatapku sedikit terkejut. Tetapi
ia langsung memiringkan kepalanya ke kiri, menatapku dengan kelewat intens. “Kau
yakin?” tanyanya menggoda.
Aku harus menelan kegugupanku dua kali sebelum
akhirnya mengangguk—dan separuh pikiranku menyesali jawaban tololku.
Donghae mendekatkan bibirnya perlahan hingga
aku memejamkan kedua mataku tanpa sadar. “Sayang sekali kalau begitu.” Bisiknya
merayu. Membuat batinku berkecamuk hebat. Aku nyaris kehilangan kontrol atas kedua
tanganku yang jelas-jelas sangat ingin meraih wajahnya. Tetapi setelah pergulatan
melawan hasratku yang begitu keras, akhirnya akal sehatku menang—menang dengan begitu
menyedihkan karena ternyata separuh dari tubuhku benar-benar menginginkan lelaki
itu.
Donghae bangkit dengan matanya masih menjejaki
bola mataku yang tak fokus. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya
ia berubah pikiran. Donghae mengulum bibirnya yang membuatku disorientasi penuh
dan ia melangkah ke tepi pintu.
“Selamat malam, Youva. Selamat tidur. Semoga
kau.. mimpi indah.” Bisiknya seperti Dewa Angin, pelan dan merdu. Membuat jantungku
riuh. Menghilangkan kewarasanku. Dan dengan satu tarikan pada pintuku, semuanya
terasa bagai mimpi. Kamarku kembali tenang dan sepi. Yang tertinggal hanyalah aroma
tubuhnya yang memenuhi ruangan, mengitari setiap sudut, membuatku terpelosok dalam
keterpurukan karena aku ingin pria itu kembali. Detik ini juga.
Ya Tuhan,
apakah ini benar-benar mimpi?
***
huwa....ni ff bikin tambah penasaran
BalasHapusceritanya g bisa ditebak
sempet nebak2 sendiri ceritanya,
duh.... sumpah ni mesti harus cepet dipost next partnya, klo g mau mati penasaran hahahaha
eehh jangan mati duluu hahahha
HapusDuhhh :3 itu mimpi atau kenyataan yaa? Omonaaa Donghae bkin melting bangettt >< lanjut ya eon~ fighting~
BalasHapusOppa arghhhh!!
BalasHapusjadi kasian sama youva TT.TT
Please oppa,jangan merayu lagi.. kasian sekretarismu lho digodain terus..