Minggu, 14 September 2014

FANFIC : SCARLET [5]

TITLE         : SCARLET []
GENRE        : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING       : PG-17
CAST           : Lee Donghae
                     Youva Cardia
Author          : @Aoirin_Sora




Summary:
Aku tahu semuanya bakal berakhir suatu saat nanti. Entah itu karena aku tertangkap jatuh cinta padanya, atau karena aku sudah berhasil melunasi seluruh hutang Ibuku. Tapi aku pasti tidak akan bisa berhenti untuk terpesona padanya. Pria itu membuatku nyaris melewati setiap malam dengan hasrat sinting yang tak mungkin bisa terpenuhi. Wajahnya terlalu rupawan, terlalu memikat untuk bisa di lupakan. Tubuhnya adalah keindahan, bukti nyata dari ciptaan Tuhan yang sempurna. Dan dengan sia-sia aku mencoba bernapas dari semua terror yang ia berikan, berharap kewarasan akan bersamaku sampai akhir.
Tapi bagaimana aku bisa meloloskan diri dari senyumannya?



***



CHAPTER FIVE: THE TRUTH IS INSIDE




Kukatupkan gigiku keras-keras, mencoba menghalau teriakan yang mungkin bakal mewarnai perjalananku—maksudku, bosku dan aku—yang menuai umpatan dari berbagai pengendara lain. Aku tahu mobil ini bisa membawaku langsung menuju Surga kalau bosku tidak berencana menginjak rem lagi. Dan sekedar pemberitahuan, kami sedang melaju di jalan Santa Monica yang terkenal padat dengan kecepatan mendekati 180 km/jam. Tebak siapa yang mulai sinting?
Tanganku menggenggam sabuk pengaman seakan benda itu bisa melepaskanku dari kematian. Aku tak berani melirik Donghae—bahkan tak berani melirik kemanapun selain ke arah jalanan di depanku. Semuanya seakan mengabur dalam bayangan, ketika kami menerjang jalanan dengan raungan Ferrari yang menderu dan orang-orang berteriak marah di belakang kami. Aku berusaha berpikir, tapi sialnya kebutuhan rohani mendahului segalanya—mulutku komat-kamit mengucapkan doa pada Tuhan, memohon dengan sangat agar aku bisa melalui sore ini tanpa luka-luka akibat kecelakaan.
Kupikir pria itu tak akan pernah menghentikan mobilnya lagi, tapi tiba-tiba ia menginjak rem dalam-dalam, membuatku nyaris menukik ke dasbor kalau saja sabuk pengaman yang tidak menahanku.
Belum lagi aku sempat mencerna apapun, Donghae telah turun dengan mendadak, meninggalkanku yang belum pulih dari syok yang baru saja kualami. Tapi suaranya segera menyeretku ke alam nyata.
“KAU AKAN MEMBAYARNYA!” teriak pria itu mengalahkan keributan kota.
Kepalaku mencari-cari sosoknya dengan cepat dan menemukan Donghae berdiri tak jauh dari mobil bersama dengan seorang pria berambut tembaga. Pria itu melotot pada Donghae dan kelihatannya mereka sedang beradu argumen. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka karena setelahnya Donghae tak lagi berteriak. Kulihat persiteruan mereka semakin memanas karena sebelah tangan Donghae telah mencengkeram kerah pria itu. Sebagai balasan, pria itu mendorong tubuh Donghae kasar, membuat bosku terhuyung mundur. Aku bahkan tak sempat menarik napas karena detik berikutnya pria berambut tembaga itu berlari ke arah keramaian.
“SIALAN!” umpatnya penuh emosi saat kembali ke dalam mobil. Ia tidak segera menyalakan mobil, melainkan mengambil ponselnya dan beberapa detik kemudian, ia bersuara keras—maksudku berteriak.
Damn it, Marven!” makinya dan tubuhku menciut. Pria itu mengepalkan tangan dan giginya berkeretak. “Cepat jawab panggilanku!” desisnya lagi.
Setelah beberapa menit yang panjang, akhirnya Marven menjawab panggilan Donghae karena samar-samar aku bisa mendengar suaranya yang ramah.
“Marven, dimanapun kau berada, segera datang ke kantorku!” Sembur Donghae dalam satu tarikan napas. Ia terdiam mendengar jawaban Marven namun langsung mengumpat lagi. “Persetan dengan rapatmu! Aku tidak peduli, cepat datang!” lalu menyisipkan ponselnya dalam saku. Matanya menyipit marah dan dengan satu tarikan pada persneling, mobil kembali melompat dalam keramaian.
Perjalanan kami setelahnya bahkan lebih mengerikan lagi.
Donghae menambah kecepatannya sekaligus berhasil mengelak dari tiga kecelakaan yang di timbulkan oleh pejalan kaki dan seorang pengemudi sepeda motor yang menyelinap dari arah kiri. Aku telah pasrah, mengganti doa agar kematianku tak berlangsung lama dan prosesnya tidak menyakitkan.
Tapi setelah sepuluh menit yang mencekam, dengan bunyi rem mendadak yang kuyakin bakal terdengar sampai ke San Fransisco, Donghae menghentikan mobilnya dengan satu putaran penuh di parkiran VIP. Ban berdecit saat mobil berputar, menghasilkan kepulan asap dan jejak ban langsung terukir di aspal.
Ya ampun. Sepertinya pria ini kebanyakan nonton film. Desisku dalam hati. Kepalaku pusing bukan main dan aku ingin muntah.
Ferrari ini sendiri sudah menarik perhatian, membuatnya melakukan aksi di tengah banyak orang di sore hari hanya akan menambah bisik-bisik kagum dan tatapan penasaran. Aku tak berani bergerak. Mataku masih terpaku ke arah depan, yang mulai di penuhi kerumunan manusia-manusia ingin tahu. Di sebelahku, Donghae bernapas dengan tenang.
Lalu tiba-tiba saja pria itu berbalik ke arahku. Tatapannya terlihat murka, keras dan sama sekali tak bersahabat. “Miss Cardia. Turun.” Geramnya berbahaya.
Tubuhku terlonjak kaget. Kalimatnya memang ringkas, namun intonasinya seakan sedang mengatakan kau dalam masalah besar. Matanya yang berwarna kecokelatan menjadi begitu kejam dan aku tak berani menarik napas. Tanganku meraba pintu dan berencana menjawab perintahnya, tapi tenggorokanku tercekat—terlalu takut untuk bisa mengatakan apapun—hingga aku terdengar seperti cegukan parah.
Mengikutiku, Donghae keluar dari mobil dan membanting pintu dengan kasar. Orang-orang memberi tatapan mencela padaku alih-alih pada pria itu. Seakan akulah yang mengebut, meninggalkan jejak ban di sepanjang parkiran, dan membanting pintu dengan marah. Tubuhku gemetaran, berjalan di belakang Donghae dengan langkah gentar.
Sebenarnya apa yang sudah kuperbuat? Kenapa tiba-tiba ia menjadi begitu marah? Aku bahkan tidak sempat mengatakan apapun untuk membela diri bahwa Johan hanyalah temanku. Ia menjadi begitu murka setelahnya dan mengebut seperti orang sinting. Dan lagi, siapa pria tadi? Meskipun wajah Donghae terlihat di penuhi emosi yang seakan siap membunuh seseorang, tapi aku masih bisa melihat kegusarannya. Ada sesuatu yang mengganggunya. Aku tahu itu.
Kami baru tiba di lantai teratas setelah batinku kenyang menghadapi sikapnya yang gusar di dalam lift. Pria itu mengatupkan bibirnya hingga menjadi satu garis tipis dan tengkuknya menyala terang. Bahkan di dalam lift pun, ia masih sangat mengintimidasi. Donghae masuk ke ruangannya tepat ketika lift kedua berdenting dan Marven keluar dengan wajah baik hati—juga tabah.
“Halo, Youva. Senang melihatmu lagi.” Ujarnya hangat dan merentangkan tangannya.
Aku membalas pelukannya dengan canggung, karena rasanya rohku masih berada di angkasa. “Aku juga, Marven.” Jawabku dengan senyum kecut.
Marven melihat kegetiranku dan ia memiringkan wajahnya sedikit. “Apa yang terjadi?” tanyanya bingung. Aku mengangkat bahu dan melirik ke arah pintu dengan cemas. Pria tua itu mengerti maksudku dan tanpa berkata apapun, ia langsung beranjak ke ruangan Donghae.
Marven bahkan belum sempat menutup pintu kerja Donghae ketika bosku langsung menyumpah seperti orang sinting.
“Damn! Damn! Marven kau pasti tidak akan percaya ini! AkuAarggghhh!! Sial! SIAAAL!!”
Aku tak bergerak di kursiku, menanti percakapan mereka yang mungkin memberikan sedikit petunjuk kenapa Donghae mengamuk.
“Tenanglah nak. Kau harus memelankan suaramu.”
“Bagaimana aku bisa tenang? Marven, aku bertemu dengannya! Bisakah kau percaya itu?”
“Siapa yang kau maksud?”
“Pria sialan ituJason Andersen! Demi Tuhan, Marven, aku bersumpah akan membunuhnya—”
“LEE DONGHAE! PELANKAN SUARAMU!”
Aku tahu mereka mulai menyadari bahwa pintu masih terbuka karena setelahnya pintu langsung menutup dan berakhirlah satu-satunya cara yang bisa kudapatkan untuk mengetahui sebab kemarahan bosku. Tapi tubuhku segera menegang, ketakutan menjalar begitu cepat memenuhi pembuluh darahku.
Jason Andersen? Itukah nama pria berambut tembaga tadi? Kenapa Donghae ingin membunuhnya?
Rasa penasaran menggelitikku sampai ke alam bawah sadar, tahu bahwa semuanya saling berkaitan. Anne J. Loombergh, Jennifer C. Houston, Alex Kennedy bahkan Renne, Natalie dan Carmen, semuanya memiliki hubungan yang bersumber dari satu titik yang sama. Dan oh, Marven dan Chad juga pasti terlibat dengan semua ini. Pembunuhan itu.. menjelaskan beberapa hal. Salah satunya adalah alasan kenapa Ronnald O’Connel datang menginterogasi Donghae. Dan satunya lagi, memberiku kesimpulan bahwa bosku memang seorang pembunuh.
Jason Andersen. Pria itu pasti akan mati beberapa hari lagi. Atau besok. Atau mungkin malam ini. Jantungku berdetak tak normal saat memikirkan kemungkinan yang ingin sekali kutepis. Aku tak ingin membayangkan Donghae sebagai pembunuh. Tapi semua yang bukti yang kudapatkan mengarahkanku pada satu kesimpulan mutlak; bosku benar-benar pembunuh.
Mungkinkah itu?

***


Aku masih tenggelam dalam spekulatif-spekulatif sinting—yang bahkan mulai melibatkan teori vampire di situs yang kulihat kemarin—ketika pintu terbuka dan Marven keluar dengan wajah yang sama gusarnya dengan bosku tadi. Mereka menghabiskan setengah jam penuh untuk berdiskusi secara eksklusif—aku lebih suka menggunakan kata tertutup—dan mengakhiri pembicaraan mereka saat jarum jam berpindah ke angka enam tepat.
Senyumku terukir hangat, namun Marven malah menatapku khawatir. Tak ada senyuman atau bahkan tatapannya yang jenaka. Ia hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit saat melihat senyumku berubah bingung.
“Apakah ada yang salah, Marven?” tanyaku takut. Aku memperhatikan ekspresinya yang langsung berganti pura-pura ceria.
“Tidak, Youva yang cantik. Sama sekali tidak ada yang salah.” Jawabnya terdengar palsu. “Ngomong-ngomong, kau harus mematuhi perkataan Donghae padamu, nak.”
Aku mengernyit. Bertambah bingung. “Maksud anda, Sir?”
Marven maju dan menggenggam tanganku. Tiba-tiba ia terlihat tua. Senyumnya menunjukkan kesedihan dan kecemasan di saat yang bersamaan. “Berjanjilah padaku, kau akan menuruti semua perintah Donghae. Maukah kau?”
Ada yang aneh. Maksudku, setelah setengah jam berdiskusi untuk menghabisi nyawa seorang Jason Andersen, mengapa Marven tiba-tiba memintaku untuk mematuhi bosku?
“Tentu, Marven. Lagipula Mr. Lee adalah bosku dan dia sudah menekankan betapa aku harus mematuhi perintahnya dalam lima peraturan absolutnya, Sir.”
Lengan Marven menarikku dalam pelukan singkatnya. “Aku senang kau mengerti, Youva.” Ujarnya lega. “Pastikan kau selalu menyalakan ponselmu. Oke?”
Dan kenapa Marven jadi mencemaskanku?
“Oke.” Jawabku singkat dan Marven langsung menuju ke dalam lift. Ia menyempatkan tersenyum padaku dan aku membalasnya ragu-ragu.
Begitu lift membawa pria tua itu ke lantai bawah, telepon berdering.
“Masuk.” Perintah Donghae seperti biasa. Ia tak menunggu jawabanku hingga aku tak lagi berniat memberikan jawaban.
Kali ini Donghae duduk di kursinya dengan waspada. Matanya yang sekeras batu granit menghujamku dalam, memberikan maksud yang tak bisa kuterjemahkan selain kemarahan. Tapi karena suaranya sudah berada dalam volume normal, ketakutanku kini terpusat pada tatapannya yang mengerikan.
Kedua siku Donghae bertumpu di atas meja dan tangannya bertautan di depan bibirnya yang mengatup. Lama sekali ia menyiksaku dengan pandangannya yang seolah membuatku lumer saat akhirnya ia bersuara.
“Miss Cardia, mulai hari ini Chad akan mengantar dan menjeputmu.” Suaranya rendah, tenang, juga berbahaya.
Kupaksakan untuk membalas tatapannya. “Tapi, Sir, kena—maksudku, Chad adalah supir pribadimu.”
“Dan menurutmu aku tak bisa memerintahkannya untuk mengantarmu?”
“Tentu anda bisa, tapi—”
“Kalau begitu sudah diputuskan. Kau pulang bersama Chad dan dia akan menjeputmu besok pagi.”
Mulutku menganga. Rasa penasaranku berganti dengan kemarahan. Apa sih yang dipikirkan pria ini?
“Miss Cardia, bibirmu terbuka. Tutuplah.”
Dengan cepat kulaksanakan perintah Donghae dan semburat malu menjalar di pipiku. Aku berjuang mengucapkan sebuah penolakan tetapi pria itu mendahuluiku.
“Aku tak menerima kata tidak. Sekarang kau bisa pulang dan besok pagi Chad akan menjeputmu pukul delapan.”
“Sir—”
“Selamat malam, Miss Cardia.” Ujar Donghae penuh penekanan dan aku sadar bahwa aku harus segera pergi. Tatapannya mengikuti keluar ruangan dan aku memandangnya untuk terakhir kali, sebelum pintu kayu mahogani berukir itu memisahkan kami.




Ketika aku tiba di parkiran, Chad nyengir lebar padaku dan membukakan pintu mobil. Aku membalasnya setengah hati dan langsung mendesah tanpa sungkan.
“Hari yang berat?” candanya sambil mengunyah permen karet.
“Sangat.” Ucapku datar.
Kudengar Chad terkekeh geli dan ia menyalakan mobil. “Pasti berat sekali sampai bos meninggalkan jejak roda di sepanjang parkiran.”
Ia baru menginjak mobil lagi namun segera mengerem. Aku mendongak, melihat apa yang membuat Chad mengerem mendadak. Dan hatiku seolah jungkir balik saat menemukan Donghae berjalan melewati mobil dengan pandangannya tertuju pada kami. Bukan, ia hanya memandangku. Kupikir pria itu akan ikut bergabung tetapi segera saja ia berbelok ke arah mobil yang terpakir di depan kami—sebuah Audi konvertibel yang mencolok—dan masuk ke dalamnya. Dan ketika di dalam mobil pun, aku masih bisa merasakan tatapan Donghae yang jelas-jelas mengarah padaku. Tapi pria itu kemudian memutuskan untuk membuatku penasaran dengan memakai kacamata hitam.
Chad membiarkan mobil Donghae berjalan lebih dulu. Baru kusadari bahwa ia berada di kursi penumpang dan itu berarti seseorang menyetir mobilnya.
“Sebenarnya berapa mobil yang ia punya?” gumamku pelan.
Pria di sebelahku menyahut dengan tertawa kecil. “Percayalah padaku, menghitung kekayaannya akan sangat membuang waktu.”
Aku mencibir. Dan Chad mengemudi dengan perlahan. Terlihat santai hingga aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan serius.
“Chad?” panggilku.
“Silahkan bertanya, Youva.” Ujarnya langsung. Aku menaikkan alis dan Chad mengerling padaku. “Satu hal yang kupelajari darimu adalah kau memiliki masalah dengan rasa ingin tahu.” Godanya tersenyum.
Mau tak mau aku tersenyum padanya. Namun raut wajahku tetap menegang. “Kau tahu siapa itu Jason Andersen?”
Ini dia. Aku sengaja menatap Chad lurus-lurus saat bertanya hingga aku mengetahui perubahan ekspresi yang terjadi di wajahnya meskipun hanya satu kerutan samar.
“Kenapa kau bertanya?” balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
“Kalau kau mau tahu kenapa ada bekas ban yang tertanam di parkiran, pria itulah penyebabnya. Dan bisakah kau memberitahuku siapa dia? Aku benci harus berasumsi tanpa bukti.”
Chad bungkam. Ia menghentikan mobil saat kemacetan menyerang kami di perempatan Alley Road. Aku berusaha memberikan jarak agar pria itu bisa berpikir, sambil berharap bahwa ia akan memberitahuku sedikit fakta.
“Aku tak bisa mengatakan apapun padamu, Youva.” Jawabnya pelan. Hatiku mencelos dan ia menambahkan kalimatnya lagi. “Tapi yang harus kau lakukan adalah menjauhinya.”
“Kenapa aku bahkan harus mendekatinya? Aku tidak mengenal siapa itu Jason Andersen.”
Chad tersenyum. Tapi wajahnya segera waspada. “Itu bagus. Sebab Jason Andersen bukanlah pria baik.”
Aku membayangkan pria dengan rambut tembaga yang memiliki tatapan mengerikan tadi. Ia mungkin bakal terlihat menakutkan kalau wajahnya tetap seperti itu. Tapi pria itu memiliki wajah karismatik dan membayangkannya menjadi seorang pria jahat tampaknya sebuah kesalahan.
Chad kemudian menutup mulutnya, tak mau menjelaskan apapun lagi padaku. Ia membiarkan alunan musik gubahan Rachmaninoff mengisi keheningan hingga kami berhenti persis di depan sebuah gedung tua yang kelihatan menyedihkan.
“Selamat malam, Youva.” Ujarnya dan melambai dari dalam mobil saat aku telah mencapai anak tangga pertama flatku. Kubalas lambaiannya dan tersenyum lebar, menanti hingga Chad menghilang dari pandangan.
Hari ketiga aku bekerja pada Lee Donghae dan berbagai macam informasi membuatku kewalahan. Setidaknya aku butuh air hangat. Segera.

***

Di dalam kamar, aku memutuskan untuk memikirkan ulang dan mengaitkan semua fakta yang kuketahui—sekaligus kudengar—dalam tiga hari belakangan. Aku sudah bertekad tidak akan ikut campur dalam hidupnya, tapi tetap saja aku harus mengetahui sejauh mana aku akan terlibat dengan pria itu. Sebab aku tidak ingin hidupku bakal kacau hanya karena aku terjebak dalam stigma misterius Lee Donghae.
Di hari pertamaku bekerja, pria itu memberikan sederet peraturan ajaib yang harus kupatuhi. Pikiranku melayang kembali dimana pria itu mendiktekan peraturan nomor lima; tidak boleh jatuh cinta padanya. Peraturan itu tidak hanya terdengar aneh, tapi juga menggelikan. Maksudku, aku tahu kesempurnaannya bakal membuat semua gadis normal pingsan—dan ya ampun, efeknya nyaris terlihat padaku—tapi sepertinya memang ada beberapa alasan mengapa seorang Lee Donghae tidak ingin sekretarisnya jatuh cinta padanya.
Dan lagi, pria itu jelas-jelas memiliki tendensi untuk berhubungan fisik dengan kliennya sendiri. Lihat saja Anne J. Loombergh, Jennifer C. Houston dan bisa kulihat Claudia juga menempati posisi yang sama dengan mereka. Oke, ia tampan—amat tampan—dan kebiasaannya berganti teman kencan mungkin masih bisa di tolerir. Tapi bagaimana mungkin ia berganti wanita setiap satu hari?
Hari kedua di mulai dengan pemberitaan Anne—wanita Skandinavia yang angkuh—yang diduga tewas akibat tembakan di kepalanya. Polisi masih belum bisa mengusut tuntas kasus itu meski hampir dipastikan bahwa wanita itu bunuh diri dengan sebuah pistol di samping tubuhnya. Tapi setelahnya terjadi hal-hal yang begitu mencurigakan. Situs yang kutemukan menyebutkan bahwa bosku pernah terlibat beberapa kasus pembunuhan walaupun tak ada yang terbukti benar. Tetap saja semua itu menambah kecurigaanku padanya. Belum lagi percakapan-percakapan mencurigakannya dengan Marven serta beberapa fakta baru yang kutemukan—Donghae dengan lingkaran hitam di bawah matanya dan ia bahkan mengidap suatu penyakit yang katanya bukan penyakit berbahaya!
Dan hari ini benar-benar membuatku pusing. Setelah makan siang pukul empat sore di Restoran Italia, mendengarkan pengakuan bahwa ia mengira aku bekerja padanya karena ketampanannya, bosku tiba-tiba mengamuk. Memberiku perintah sinting lainnya agar aku tidak bertemu dengan Johan lagi. Bagian ini membuatku hilang akal. Kemarin sore Donghae memerintahkanku agar tidak tersenyum pada orang lain dan hari ini ia mengatakan aku tak boleh bertemu Johan. Serius deh, Donghae cemburu? Tidak mungkin. Pasti ada yang salah. Kenapa ia harus cemburu? Oke, karena tidak ada satupun alasan yang mendukung teori bodoh itu, aku harus berhenti berspekulasi.
Menurutku memang ada yang aneh padanya, pria dengan ketampanan dan kekayaan yang mengerikan, Lee Donghae. Aku tak bisa mengikutinya. Mood pria itu selalu berubah-ubah dengan cepat. Beberapa kali ia tersenyum menggoda lalu tiba-tiba berubah dingin. Aku tidak bisa menebak isi hatinya. Donghae bisa sangat berbahaya jika ia meledak marah tetapi juga bisa menjadi sangat memabukkan. Dan separuh dari akal sehatku menolaknya, meski separuhnya lagi mulai merasakan rasa haus yang aneh.
Aku bergelung di dalam selimutku karena cuaca berubah semakin dingin. Pikiranku masih di penuhi Lee Donghae tepat ketika ponselku berbunyi nyaring dan segera kulihat siapa yang menelponku.
Lee Donghae.
Oh, tidak. Bahkan pria itu bisa tahu kapan aku memikirkannya!
“Halo?” ucapku ragu-ragu. Di ujung sana terdengar dentuman musik yang aneh dan keras lalu langsung senyap.
Miss Cardia, kaukah itu?
Aku memutar mataku karena tahu pria itu tidak bisa melihatnya. Tentu saja. Jawabku dalam hati.
“Ya, Sir, ini aku.”
Dengarkan aku baik-baik. Mulai besok, begitu kau tiba di kantor, jangan sekali-sekali masuk ke dalam ruanganku. Duduklah di mejamu dan atur semua masalah pekerjaan tanpa menemuiku. Mengerti?”
“Err… baiklah, Sir.”
Jika kau ingin mendiskusikan sesuatu, kau bisa menghubungi nomor ini. Kau boleh pulang pukul enam tepat dan jangan repot-repot memberitahuku. Chad akan tetap mengantarmu.”
Ada jeda panjang yang membuat Donghae menyerukan namaku karena ia pikir aku tak bisa mendengarnya. “Aku mengerti, Sir.”
Bagus. Dan Miss Cardia, atur ulang semua janji temu dan rapat. Bilang pada siapapun yang membuat janji, aku akan menghubungi mereka kapan tepatnya aku ingin bertemu.”
“Ya, Sir. Aku mengerti.”
Aku senang mendengarnya. Selamat malam.

Satu lagi perintah aneh dari bosku. Menyuruhku bekerja tanpa boleh masuk ke dalam ruangannya. Baik, Lee Donghae benar-benar sangat susah di tebak. Tapi entah kenapa sebagian dari diriku tertantang untuk mengikuti sejauh mana ia akan bersikap menjengkelkan—maksudku, bersikap aneh.

***

“Hei, sudah siap?”
Aku tersenyum mengiyakan Chad dan bergegas naik ke mobil. Tapi pria dengan mata hijau cemerlang itu malah membukakan pintu penumpang bagiku, hingga aku menaikkan alisku tinggi saat menatapnya.
“Maaf, tapi ini perintah bos.” Jawabnya kalem. Begitu aku masuk, perubahan di dalam mobil membuatku terperangah. Sebuah sekat kaca transparan tebal terpasang di belakang kursi Chad, memisahkan penumpang dan sopir. Menjadikanku nyaris mustahil untuk berbincang dengannya.
Aku memberengut dan menatap jalanan dengan marah. Setelah melarangku untuk bertemu dengannya, bosku juga tidak memperbolehkanku untuk ngobrol dengan Chad! Oke, kalau begitu Chad pasti ngadu padanya dan sebagai antisipasi atas rasa penasaranku yang terlalu banyak, Donghae sengaja membatasi gerak-gerikku.
Sial deh.
Saat kami tiba di parkiran pun, Chad tidak ikut turun. Ia berdiam di balik kemudi dan meski aku mencoba untuk mengetuk jendela di sebelahnya, Chad tetap bergeming. Jadi, dengan perasaan jengkel dan frustasi, aku berderap menuju meja kerjaku di lantai teratas.
Aku baru akan meletakkan tas ketika ponselku berbunyi. Hanya Lee Donghae yang akan menghubungiku pada jam segini.
Miss Cardia, berikan seluruh laporan itu pada Celine Bundy di bagian Keuangan dan katakan padanya aku ingin dia meninjau ulang setiap pemasukan dan pengeluaran sebulan belakangan. Aku juga ingin dia menganalisis kebocoran dana yang terjadi di sektor perusahaan konfeksi dan meminimalkannya secepat mungkin.
“Baik, Sir.” Jawabku patuh. Aku melihat sekilas ke arah pintu mahogani indah di belakangku sebelum akhirnya aku pergi menyerahkan laporan pada Celine dan bertanya-tanya masalah apalagi yang kuperbuat hingga pria itu menolak bertemu denganku.
Sisa hari itu berjalan dengan sangat lambat. Aku nyaris menjamur di kursiku kalau saja tak harus mengangkat telepon setiap satu jam sekali dan menerima kekesalan para klien yang sudah memiliki janji dengan pria itu—yang kebanyakan adalah wanita.
Dan Donghae masih betah mengurung diri di ruangannya.
Aku memang menuruti perintahnya untuk berdiam di mejaku dan menjauhkan tanganku dari gagang pintu ruangannya. Tapi mau tak mau rasa heran—sekaligus iri—mengusikku, ketika Chad malah memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa. Ia Cuma nyengir dan menaikkan alisnya saat melewati mejaku dan langsung kabur sebelum aku bisa menyapanya.
Pada pukul enam tepat, aku berdiri dengan gelisah. Semalam Donghae mengatakan agar aku segera pulang tanpa perlu memberitahunya lebih dulu. Tapi setelah seharian tidak bertemu dengannya membuatku tak nyaman. Tanganku nyaris mengetuk pintu tetapi aku tak ingin menambah kekesalan pria itu dengan mengganggunya. Jadi, kukerahkan tenagaku untuk melangkah menjauhi ruangan Donghae yang terlihat dingin.


Tidak hanya hari itu, aku mendapati Donghae sama sekali tak pernah keluar dari ruangannya di hari-hari berikutnya. Aku sempat berpikir pria itu marah padaku dan menolak menemuiku karena Ia hanya menginstruksikan apa yang harus kulakukan melalui telepon singkat dan tidak membiarkanku bertanya sedikitpun. Begitu juga dengan Chad. Pria itu terus saja mengunjungi ruangan Donghae dengan tergesa-gesa. Awalnya ia masih memberikanku cengirannya dan terkadang aku membalasnya. Tapi akhirnya aku berhasil mencegatnya persis di depan lift dan bertanya beberapa hal.
“Kumohon Youva, aku sedang buru-buru.” Kilahnya sambil memencet tombol lift.
Aku menahan pintunya dengan kedua tanganku dan memberengut menatapnya. “Aku Cuma ingin bertanya sesuatu.” Kerasku tak mau kalah. “Kenapa Bos tak mau keluar ruangan? Dan kenapa kau selalu mondar-mandir di ruangannya?”
Chad melirik sekilas ke arah kamera pengawas dengan gugup sebelum menjawabku. “Kau tidak tahu kalau bos sedang keluar negeri? Dia sedang di Perancis, Youva. Dan dia menyuruhku melakukan beberapa hal untuknya. Ngomong-ngomong, aku harus pergi sekarang.” Tandasnya lalu menghilang begitu pintu lift berdenting menutup.
Aku kembali ke mejaku dengan kecewa. Benarkah itu? Donghae berada di Perancis selama beberapa hari ini dan ia sama sekali tak memberitahuku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengusikku selama sisa hari dan berakhir pada pertanyaan yang lebih besar; Apakah Donghae benar-benar menganggapku sebagai sekretarisnya? Kenapa ia malah menyembunyikan hal itu dariku? Aku ingin marah, tapi kemudian aku sadar bahwa aku tak memiliki hak apapun untuk bisa menuntut penjelasannya.
Dan kenyataan itulah yang membuatku muram sepanjang hari.

***


Aku mengecek kalender di ponselku dan harus berusaha menahan cengiran lebar.
Sunday.
Itu yang tertulis di layar dan tubuhku melonjak bahagia. Bagus, hari ini weekend pertamaku setelah seminggu bekerja dan seperti biasa, aku menyerahkan diri pada kasurku yang terlalu sering kutinggalkan. Aku baru akan kembali menutup mata dan langsung menuju alam mimpi ketika ponselku berdering nyaring, membuatku segera terjaga.
“Hei, cantik. Sudah bangun, belum?”
Aku memberengut. “Belum.” Jawabku singkat. Tapi bibirku tak tahan untuk tidak nyengir.
“Uh, ayolah. Tidakkah weekend pertama seharusnya lebih berarti dibanding berada seharian di tempat tidur?”
“Johan,” desahku lambat. “Cepat katakan ada apa.”
Johan menunggu beberapa saat sebelum menjawab. “Snowbell merindukanmu.”
Lagi, bibirku nyengir lebar. “Jujur sajalah, Snowbell atau kau yang merindukanku?”
Dari ujung sambungan, aku mendengar tawa Johan yang merdu. Aku bahkan bisa membayangkan seperti apa guratan di wajahnya ketika ia tertawa. “Oke, aku ngaku. Snowbell memang merindukanmu, tapi aku lebih merindukan dirimu daripada dia.”
“Aku tahu.” Jawabku yakin. Dan tawa Johan berderai lagi.
“Jadi.. tempat biasa di jam yang sama?”  tawarnya kemudian.
Aku mengecek jam di ponselku dan berpikir cepat. “Baiklah. Tapi pastikan kau membawa Snowbell. Perutku sakit karena terlalu merindukannya.” Tandasku dan begitu Johan menutup panggilannya, aku berlari ke kamar mandi.



Kami bertemu di sebuah kafetaria di tengah kota satu jam kemudian. Sudah pukul sebelas dan seharusnya aku melepaskan mantel ini, tapi udara Los Angeles ternyata berubah mendung. Dan berhubung aku tidak ingin alergiku kambuh, sebaiknya aku tetap memakainya.
Johan mengenakan kaus abu-abu pudar dengan kerah tinggi dan ia masih sama tampannya seperti ketika terakhir kali kami bertemu. Aku melirik sekelilingnya dan mendapati beberapa gadis muda mencuri pandang padanya. Johan cukup—oke, enggak, maksudku, sangat—tampan. Jangan samakan ketampanannya dengan Lee Donghae, karena menurutku mereka berdua berada dalam katagori yang berbeda. Sebagai contoh, kalau senyum Donghae beracun, maka senyum Johan adalah penawarnya. Wajahnya begitu lembut, teduh dan menenangkan. Tak ada yang bisa mengalahkan pesonanya yang begitu memikat. Ia memiliki mata, hidung, bibir, bahkan tubuh yang seakan di pahat dengan sempurna. Dan aku mencintai pria itu.
Harus kuakui, aku mendambakannya, merindukannya bahkan memuja Johan. Meski begitu, aku harus menerima kenyataan bahwa ia tak akan pernah menjadi milikku. Maksudku, kami memang pernah berpacaran dan melalui masa-masa sindrom-kasmaran-akut, tapi setelah beberapa bulan, kami setuju untuk putus dan menjadi teman baik. Perubahan status itu membuatku terkadang terjaga di tengah malam, berusaha menahan rinduku yang menyiksa dan terasa salah tempat. Tapi keputusan untuk mengakhiri hubungan percintaan kami sama sekali bukan karena perasaan kami mendingin, melainkan beberapa alasan yang bersifat mendesak dan pribadi.
Johan keturunan Jerman dan Rusia. Perpaduan dua Negara itu terasa begitu sempurna, hingga kadang ia selalu di kerubungi para gadis-gadis. Aku ingat ia pernah mengeluh padaku karena ketampanannya membuatnya kewalahan sebab para gadis terus berdatangan dan mengacaukan ritme hidupnya. Dari Johan jugalah aku belajar bahasa Jerman dengan hingga ke level Exellent. Biar begitu, ia lebih senang tinggal di Los Angeles karena menurutnya matahari di Jerman terlalu dingin.
“Bisakah kau berhenti bengong dan memesan sesuatu? Aku kelaparan.” Ujarnya geli dan bersedekap sementara Snowbell bergelung di kedua pahanya.
Aku memutar mataku dan ia tertawa. “Aku mau croissant dan hot chocolate.” Kataku cepat. Johan lalu mengucapkan pesananku pada pramusaji.
“Pernahkah kau makan apapun selain croissant?” tanyanya sarkastis. Sebagai jawaban aku menjulingkan mataku, membuatnya tertawa lagi.
Aku menghela napas panjang dan menarik Snowbell. Kucing itu menggeram lalu mendengkur senang saat aku menggaruk leher bawahnya. “Oh, kau semakin berat!” ujarku terpana. Johan tertawa dan ia mengusap kepala Snowbell lembut.
“Kalau saja kau lihat betapa rakusnya dia belakangan ini! Dia nyaris menghabiskan persediaan makanan sebulan hanya dalam seminggu.”
Kucing itu menatapku dengan pandangan memelas, seakan mencoba berkata bahwa Johan berbohong. “Aku tahu, kucing manis. Johan sangat melebih-lebihkan. Kau terlihat keren, kok. Beritahu aku kalau Johan menyuruhmu diet, oke? Aku akan menuntutnya.”
Snowbell mengeong mengiyakan dan Johan memutar mata lagi. Kami tertawa saat Snowbell meluncur ke bawah dan berputar-putar di kakiku, menghindari tangkapan Johan yang pura-pura marah. Snowbell tadinya kucingku, hadiah dari Johan untukku karena ia tahu aku mencintai binatang dengan bulu-bulu lembut dan mata cemerlang itu. Tapi karena kami sepakat untuk berpisah dan aku akhirnya mendapatkan pekerjaan purnawaktu, Johan menawarkan diri untuk merawatnya karena ia yakin Snowbell akan kesepian jika ditinggal sendirian selama seharian. Lagipula aku takkan bisa mengurusnya, memberi mulut lain untuk diberi makan tidak cukup bijak untuk kondisiku sekarang.
“Jadi, semuanya baik?” desak Johan membuyarkan lamunanku. Ia menatapku dengan mata abu-abu berkilau yang terlihat cemas.
“Baik.” Jawabku muram. Pikiranku kembali pada sebuah pintu mahogani berukir yang tak boleh kubuka. Sudah tiga hari aku tidak bertemu dengan Donghae dan kenyataan bahwa pria itu pergi tanpa memberitahuku membuatku terluka.
“Oke, aku bisa melihat kau menutupi sesuatu, Youva.”
“Entahlah, Johan. Aku sendiri tidak yakin apa semuanya baik-baik saja.” Aku mendesah dan menatap Hot Chocolate yang baru di bawa pramusaji.
“Apa yang terjadi setelah kita bertemu waktu itu? Bosmu marah padamu?”
Aku menatap Johan dan menarik napas lagi. “Dia mengamuk dan mengatakan agar aku berhenti menemuimu.”
Johan mengangkat alisnya. Ekspresinya terlihat kaget dan geli. “Benarkah?” tanyanya tak percaya. Aku mengangguk dan ia bertanya lagi. “Jadi kenapa kau masih menemuiku?”
“Kau kan temanku. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan temanku?” ujarku kesal dan Johan tersenyum lebar. Dadaku berdegup saat melihatnya memandangku begitu dalam. Ada seberkas rasa terima kasih tulus dari pandangannya dan aku membalas senyuman itu.
“Aku senang kau tidak menurutinya.” Johan meremas tanganku pelan. “Jujur saja, meurutku ada yang aneh dengan bosmu.” Imbuhnya sambil mengangkat bahu.
Aku mengernyit dan meneguk hot chocolate-ku sebelum menanggapinya. “Menuruku juga begitu. Entahlah.. terlalu banyak hal yang terjadi dalam seminggu belakangan dan aku nyaris tak bisa bernapas. Bosku memiliki kehidupan yang penuh dengan misteri.” Ungkapku berterus terang dan Johan menaikkan alisnya tinggi.
“Seperti apa misalnya?”
Dan rentetan penjelasan panjang mengalir dari bibirku. Aku tak bisa terus menyimpan semua keanehan Donghae sendirian, dan sebenarnya aku memang benar-benar membutuhkan seseorang untuk diajak berbagi atau mungkin mendapatkan sedikit penjelasan atas sikap bosku yang kelewat nyentrik. Biasanya aku akan bercerita pada Janne, karena gadis itu bakal bersikap suportif dan memberiku komentar-komentar jujur terhadap semua pemikiranku. Tapi sejak Janne menikah, Johan-lah yang menjadi pendengar setiaku. Pria itu memang tak bersikap seoptimis Janne, tapi ia tetap memberikan solusi.
“Jadi, kenapa kau tidak mencari tahu?” usulnya saat aku selesai membeberkan keanehan atas kematian Anne J. Loombergh dengan artikel yang menyebutkan bahwa Donghae adalah pembunuh.
“Percayalah padaku, Johan. Aku sudah berusaha. Tapi Lee Donghae membatasi semua gerak-gerikku. Aku bahkan tidak di perbolehkan lagi berbicara dengan sopirnya.”
Johan menghela napas panjang. Matanya berkilat jail saat mengatakan sebuah usul untukku. “Oh, itu gampang. Cobalah untuk masuk ke ruangannya saat ia tidak ada di sana. Di dalam lemari atau laci yang berisi dokumen, kau bisa menemukan apa yang kau cari, Youva.”
Aku tertegun. “Maksudmu, aku harus menjadi penyusup?”
“Bukan, kau Cuma akan mencari tahu. Kau tidak ingin terlibat dengan pembunuh, kan?” Johan terkekeh saat melihat wajahku berubah bingung.
“Apa menurutmu Donghae benar-benar seorang pembunuh?”
Johan mengangkat bahu. “Aku tidak tahu, Youva. Penampilan seseorang bisa sangat menipu.”
Dan setelahnya Johan membiarkanku menghabiskan croissant dan hot chocolate-ku dalam diam. Ia bersiul pelan saat sinar matahari mulai menerpa kulitku, menjadikan udara menghangat secara tiba-tiba.
“Ngomong-ngomong, sudahkah aku cerita kalau Claudia Thompson juga salah satu pemuja Lee Donghae? Aku bertemu dengannya di kantor beberapa hari yang lalu.” ujarku dan Johan membelalak terkejut.
“Claudia yang itu?” tanyanya tersedak. Begitu aku mengangguk, tawa Johan berderai. “Kenapa aku tak mendengar apapun tentang yang satu itu?” tuntutnya nyengir padaku.
Aku memutar bola mata dan mulai bercerita bagaimana persisnya kejadian saat itu. Johan menikmati semua yang kuceritakan. Jelas sekali ia berusaha menahan tawanya—meski berulang kali mendengus dan mengibaskan tangan.
“Kupikir seleranya semakin membaik.” Komentar Johan saat aku selesai berbicara. Aku ikut tertawa bersamanya saat pembicaraan kami berbalik pada masa kuliah beberapa bulan yang lalu.
Johan dan aku bertemu di Perpustakaan Kota Los Angeles saat aku mulai menjadikan gedung tiga lantai itu sebagai rumah keduaku. Aku sedang mengumpulkan data untuk tesisku yang belum rampung dan saat itulah Johan muncul. Ia menghabiskan sepanjang siang dengan para gadis yang mengerubunginya tanpa kenal lelah. Awalnya aku sama sekali tak ingin melakukan apapun selain menjauh dari dirinya karena gadis-gadis itu sangat berisik. Tapi setelah seminggu, Johan tiba-tiba saja mendatangiku dan langsung berlutut di bawah meja. Ia bahkan memohon agar aku mengatakan kepada para penggemarnya kalau ia sedang berada di seksi Pengetahuan Metafisika di lantai teratas.
Praktis, kami menjadi dekat sejak saat itu. Aku mendapati bahwa ternyata Johan adalah pria dengan selera humor luar biasa dan terkadang sikapnya sedikit sarkastis. Ditambah dengan wajahnya yang tampan, dengan cepat pria itu merebut perhatianku. Johan dan aku mulai berkencan satu bulan kemudian, ketika kami telah menghabiskan tujuh hari dalam seminggu untuk bertemu di perpustakaan dan membahas semua hal—dari sekedar perbincangan pribadi hingga hal-hal tak masuk akal seperti; ‘Apa menurutmu bumi akan meledak suatu hari nanti?’
Tak pernah sekalipun dalam hubungan kami yang singkat, aku dan Johan bertengkar atau bahkan merasa kesal padanya. Johan pria baik dan sopan, dan ia senang menghujaniku dengan perhatian-perhatiannya. Kami melakukan banyak hal bersama dan ia menjagaku seperti seorang pria terhormat. Aku tadinya hampir berharap bahwa hubungan kami akan berlangsung lama, tapi kemudian kenyataan menghantamku. Ibuku mengabarkan kalau Rumah Panti Asuhan yang dikelola Ibu terlibat hutang dan akan disita dalam enam bulan. Aku di hadapkan pada pilihan berat; bekerja untuk membayar hutang-hutang itu atau tetap berada di sisi Johan. Tapi kemudian ia juga harus memilih karena perusahaan yang di bangun ayahnya membutuhkan tenaga ekstra.
Johan pria cerdas dan Ayahnya ingin ia menduduki posisi General Manager saat itu juga. Ia menawariku untuk bergabung dengan perusahaannya namun aku menolak. Aku tak akan bisa bekerja jika aku terus bertemu dengannya. Tapi Johan kemudian memberiku saran untuk bekerja pada seorang pengusaha muda kaya yang sedang membutuhkan sekretaris baru. Dan sejak saat itu kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan resmi. Aku tidak bisa bersikap patah hati karena sebenarnya rasa cintaku padanya masih sama. Meskipun hatiku tetap saja sakit saat mengatakan bahwa kami hanya berteman dan aku harus membiasakan diri pada hal itu.
“Serius, Youva. Kau benar-benar culun waktu pertama kali aku melihatmu di perpustakaan.” Ejeknya dengan tawa nyaring.
“Tebak siapa yang jatuh cinta pada cewek culun itu?” balasku dan ia nyengir. Johan mengedipkan matanya dan aku menjulurkan lidah. Kami selalu bertingkah seperti ini dan rasanya sangat menyenangkan.
“Baik deh, aku ngaku. Tapi aku masih tetap lebih suka melihatmu natural, Youva. Aku benar-benar pangling saat melihatmu di Restoran itu.”
Aku menggerutu dan memajukan bibirku. “Itu peraturan, Johan. Kau pikir aku memakainya dengan sukarela?”
“Dan ngomong-ngomong, kau sudah terpesona olehnya, belum?”
“Maksudmu Lee Donghae?”
Johan memandangku. Mata nakalnya bersinar ingin tahu. “Entahlah. Tapi aku tidak bisa menyangkal kalau dia benar-benar tampan.” Saat aku mengatakan itu, wajah Johan meredup. “Jangan cemburu, Johan Stavilosky, tapi kau punya saingan.”
Aku tertawa melihat raut wajahnya dan ia memaksakan senyum sinis sebelum bertanya, “menurutmu siapa yang lebih tampan, aku atau Lee Donghae?”
“Kau.” Jawabku pura-pura malu. Wajah Johan berubah cerah dan ia memajukan wajahnya antusias.
“Siapa yang lebih kau sukai? Aku atau bosmu?” tanyanya lagi.
Aku membiarkan Johan menunggu selama beberapa saat dan menjawab ketika ia mengernyit padaku. “Tentu saja kau, tuan Stavilosky.” Ucapku memutar bola mata dan senyum puas terkembang di wajah tampannya.
Johan menegapkan diri, merasa tersanjung karena pengakuan jujurku dan ia memutuskan untuk mentraktirku makan siang.
“Kuharap kau tidak berubah pikiran.” Ujarnya saat kami menaiki bus dengan Snowbell dalam pelukanku.
“Kuharap begitu.” Balasku tersenyum.


***

Setelah seharian bersama Johan, aku merasa semangatku meluap. Tapi aku sadar seluruh energi positif yang kudapatkan akan segera hilang dalam waktu singkat. Saat kakiku berhenti tepat di depan sebuah pintu mahogani dengan gagang kuningan, saat itu juga wajahku kembali murung. Donghae belum menghubungiku dan itu artinya aku tak boleh melakukan apapun selain berdiam di mejaku.
Tengah hari, saat kulihat Chad melesat masuk ke dalam ruangan dan keluar dengan membawa tumpukan kertas di tangannya, rasa penasaranku timbul. Haruskah aku mengintip ke dalam? Seharusnya tak ada siapapun di dalam sana. Dan jika Donghae melarangku masuk, sudah pasti ada yang sedang ia sembunyikan dariku.
Aku bergerak gelisah dan mencoba memutuskan untuk mengikuti saran Johan. Tapi aku tak pernah menjadi seorang penyusup atau melakukan hal-hal seperti merusak privasi orang lain sebelumnya. Jadi segera kutemukan bahwa menerobos masuk ke dalam ruangan Donghae benar-benar nyaris mustahil bagiku. Hingga pukul enam sore, aku masih tak berhasil membiarkan rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutku dan akhirnya sambil menyesal, aku membiarkan Chad mengantarku pulang.
Satu minggu aku bekerja dengannya dan sudah lima hari aku tidak bertatap muka dengan bosku sendiri. Aku sedikit merindukannya—benar-benar sedikit—dan aku berharap ia segera pulang dari Paris. Tapi aku tak tahu kapan ia akan kembali. Pria itu tak memberiku kesempatan untuk bertanya. Ia menolak panggilanku dan mengatakan semua perintahnya dalam satu ketukan cepat. Tanpa basa-basi, tanpa ingin tahu apakah aku memiliki pertanyaan untuknya. Dan sikapnya membuatku tertekan.
Aku mengirim e-mail untuk ibu dan beranjak naik ke tempat tidurku yang hangat. Udara cukup dingin tapi aku melepas piyamaku dan menyisakan tank top sebagai pakaian tidur. Biasanya aku akan berkeringat kalau mengenakan pakaian tebal di malam hari. Jadi, setelah mematikan lampu dan menarik selimut hingga ke dagu, aku memejamkan mata, berdoa dalam hati agar besok menjadi hari yang indah.



Sepertinya baru beberapa menit aku mengarungi mimpi tak berujung ketika suara ponselku membuyarkan semuanya. Membuatku terjaga dengan cepat dan diliputi perasaan jengkel setengah mati. Aku benci jika dibangunkan saat sedang tidur. Tapi kejengkelanku langsung berubah panik saat mendengar suara dalam dan merdu milik bosku—Lee Donghae.
Miss Cardia, apa kau sudah tidur?
Aku memekik kaget dan langsung terduduk. Kulirik lagi layar ponselku dan memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. “Ya, Sir.” Jawabku parau. Sial deh. Suaraku tidak pernah menjadi seksi ketika bangun tidur.
Bisakah kau membuka pintumu? Aku berada di luar.
Perkataannya membuatku terpaku untuk beberapa saat. Pintu yang mana? Di luar mana?
Miss Cardia? Kau mendengarku?
“Y—ya, Sir.” Kataku tergagap. Aku berjalan pelan ke arah pintu kamarku dan membuka kunci teratas. Kuputar kunci pintu yang menggantung di lubangnya dengan perasaan ragu. Lee Donghae berada di depan kamarku? Mustahil.
Kutarik pintu itu sedikit dan mengintip dari celahnya. Tak perlu seseorang untuk memberitahu bahwa aku benar-benar sedang melihat seorang pria tampan dengan ponsel di telinganya sedang berdiri persis di depan pintu kamarku dan segera kututup pintu itu tanpa sadar.
AstagaOh, Tuhan! Lee Donghae berada di depan kamarku!
Miss Cardia, aku mulai kedinginan.” Ucap Donghae di telingaku dan dalam kepanikan, aku menyambar piyama dan menendang selimutku yang jatuh saat menuju pintu.
“Apa yang membuatmu begitu lama?” decaknya tanpa terlihat sebal ketika aku membuka pintuku untuk kedua kali.
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Pria yang berdiri di depanku telah menghilang selama lima hari dan kini ia kembali dengan wajah ratusan kali lebih tampan dan lebih menawan daripada sebelumnya. Aku menatap Donghae dengan pandangan tak percaya. Kantukku segera minggat ke Bulan, tergantikan oleh perasaan panik aneh yang tinggal di sekujur tubuh. Aku bahkan tak sempat lagi merasa jengkel karena melihat sosoknya yang memesona membuat amarahku langsung menguap.
Sesuatu di dalam diriku melonjak bahagia saat melihatnya. Lee Donghae sedang berdiri di ambang pintu kamarku yang menyedihkan. Terlihat salah tempat saat ia berdiri di depanku. Ia seperti malaikat yang baru saja turun dari langit malam yang dingin. Wajahnya pucat, dengan rambut yang berantakan dan senyum yang membuatku lupa menarik napas. Ia mengenakan mantel abu-abu terang yang menjuntai hingga lututnya. Rambutnya telah teracak-acak, matanya masih cokelat muda yang menyiratkan beribu arti dan bibirnya melengkung membentuk senyuman percaya diri. Biar begitu pun, tak ada cukup kata yang tepat untuk menggambarkan betapa mendebarkannya ia.
Pria itu menelengkan kepalanya dan bibirnya terkulum—terlihat menanti sesuatu dariku. “Ngomong-ngomong, kau tidak mempersilakanku masuk?”
Aku mengejap beberapa kali dan kesadaran mulai mengambil alih pikiranku yang kacau. “Err… silahkan masuk, Sir.” Ujarku terbata-bata.
Ya ampun, Lee Donghae sedang berada di kamarku!
Perasaan bahagia aneh menyusup ke hatiku. Dan kusadari aku benar-benar merindukannya. Merindukan bosku yang baru saja menghempaskan diri ke atas tempat tidurku—bersikap seakan-akan akulah tamunya.
Aku berusaha bersikap wajar namun gagal. Maksudku, mana mungkin mendapati Lee Donghae sedang berada di kamarku pada pukul satu dini hari membuatku bisa bersikap wajar. Mataku mengikuti wajahnya yang dari tadi mengitari setiap sudut rumahku yang kecil. Kusadari wajah Donghae terlihat kelelahan. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin terlihat jelas.
 “Ini benar-benar sebuah rumah?” tanyanya tidak percaya.
Aku menahan keinginan untuk mencibir dan memutar bola mata. Ia melirikku sebentar tapi segera mengalihkan pandangannya.
“Katakan padaku, Miss Cardia. Apa kau selalu membiarkan seorang pria mengunjungimu pada malam hari?”
Kata-katanya membuatku semakin jengkel dan aku menatapnya marah. “Tentu saja tidak, Sir. Aku bahkan tak pernah mengijinkan seorang pria masuk ke kamarku sebelumnya.” Jawabku tersinggung.
Donghae memindahkan tatapannya padaku dan ia menunggu beberapa saat. “Jadi, kenapa aku bisa berada di dalam kamarmu, Miss Cardia?”
“Anda bosku, dan anda telah mengatakan agar aku menuruti semua perintah tanpa pernah mengatakan tidak.” Ujarku kesal. Donghae tampaknya melihat kekesalanku sebab ia tersenyum setelahnya.
“Kau benar.” Ujarnya tenang. Ia menatapku. Terus menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun hingga rasanya pipiku memerah karena malu. “Aku tidak pernah tahu kalau wajah bangun tidurmu sangat menarik.”
Kuputuskan untuk tidak menggubris perkataannya kendati wajahku memanas lalu menunduk menatap lantai. Kuharap aku sempat menyisir rambutku yang pasti kelihatan seperti singa sekarang. Dan kuharap aku juga sempat cuci muka. Ya ampun.
Donghae menghela napas tanpa memindahkan pandangannya dariku. “Miss Cardia, bicaralah. Aku ingin mendengar suaramu.”
Jantungku berdegup aneh saat mendengar permintaannya dan kepalaku bergerak pelan menatap Donghae. Selama beberapa detik, aku tak bisa menarik napas karena tatapan Lee Donghae benar-benar melumpuhkanku. Aku berusaha keras untuk menahan diriku agar tetap menjauh darinya karena bisa saja kendaliku runtuh dan aku akan.. entahlah. Apa yang bisa kulakukan padanya di kamarku sendiri?
“Sir, anda pergi ke Perancis.”
Itu bukan pertanyaan apalagi pernyataan yang benar. Kalimatku terkesan marah dan tersirat jelas kekecewaan di dalamnya. Aku tak sadar dengan apa yang kuucapkan karena lidahku bergerak sendiri. Kesadaranku bergerak lambat—selambat ketika Donghae menatapku menyesal.
“Benar.” Ucapnya pelan. “Aku tahu aku bersikap tidak adil padamu belakangan ini.”
Perasaan sentimental menguasaiku dan aku mendorong jauh keinginan untuk menangis. Sebab mendengar Donghae berkata penuh penyesalan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Pria itu bahkan menyadari bahwa ia telah bersikap tidak pantas padaku.
“Apakah anda marah padaku? Kenapa anda tidak memberitahuku kalau anda pergi ke Eropa?” Karena aku tak bisa lagi menyembunyikan apapun, akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan kegelisahan yang kupendam.
Donghae menyisir rambutnya dengan sebelah tangan dan menatapku gelisah. “Aku tidak marah padamu, Youva. Aku hanya ingin kau aman.”
“Aku tidak sedang berada di medan perang, Sir. Anda tidak perlu mencemaskan keselamatanku, terima kasih.” Jawabku cepat dan masih dikuasai emosi.
Ia tertawa mendengar kalimat balasanku dan menggeleng pelan. “Kau benar-benar susah untuk di kendalikan, Miss Cardia.” Ujarnya takjub. Matanya menelusuri wajahku yang kaku.
“Aku selalu berasumsi anda membenciku—dengan sebab yang tak kuketahui—dan mencoba membuatku mengundurkan diri dari pekerjaan itu secara tidak langsung.”
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanyanya terkejut. Alisnya bertaut dan ia menatapku bingung.
“Karena anda tidak pernah memberitahuku apapun selain tentang apa yang harus kukerjakan sepanjang hari itu, Sir. Aku benar-benar tidak menyadari kalau anda sedang di luar negeri seandainya Chad tidak mengatakannya padaku.” Jawabku jujur.
Tubuh Donghae menegang, matanya menatapku waspada. Tapi penyesalannya langsung terlihat ketika ia menghela napas. “Kau harus mengerti.. ada beberapa hal yang tak bisa kukatakan padamu, Youva. Paling tidak untuk saat ini.”
“Kenapa?”
Mata Donghae menatapku tajam. Agaknya ia menahan amarahnya karena aku berani bertanya mengapa. Tapi aku tidak menarik kembali kata-kataku. Ini rumahku dan kupikir aku berhak untuk tahu.
“Karena terlalu berbahaya jika kau mengetahui terlalu banyak, Miss Cardia. Percayalah, aku sedang berusaha menyelamatkanmu.” Tegasnya dengan rahang terkatup. Dan seketika aku menyesali pertanyaanku yang idiot.
“Tapi anda berusaha menyelamatkanku dari apa, Sir? Penjelasan anda tidak membuatku mengerti sedikitpun.”
“Memang itulah tujuanku.” Jawabnya dengan nada tak bisa dibantah. “Jangan paksa aku untuk menjelaskannya padamu, Miss Cardia. Karena aku tidak akan mengatakan apapun.” Ia mulai kesal dan memejamkan matanya—seakan mencoba menahan amarah.
Aku menatapnya marah tapi tak mengatakan apapun. Ia balas menatapku seakan memerintahkanku untuk tetap tutup mulut. Tentu saja aku penasaran dengan apa yang disembunyikannya dan penjelasan Donghae yang kabur itu jelas menyiratkan kalau aku dalam bahaya. Tapi bahaya dari apa?
Setelah mengintimidasiku dengan tatapannya yang dingin, Donghae bangkit dari ranjangku dan mengitari kamarku perlahan-lahan. Tangannya bertaut di belakang tubuhnya, sementara kakinya mencoba melangkah di lantaiku yang tertutup karpet. Dan ternyata pria itu masuk ke dalam kamarku dengan sepatunya.
“Ini foto keluargamu?”
Aku mendongak, melihat arah tatapan Donghae yang sedang memandang sebuah pigura di dinding. “Benar, Sir.” Jawabku.
Donghae membisu sejenak, tapi ia segera berkata lagi. “Wanita yang di sebelahmu ini Ibumu? Kenapa ia lebih cantik?” komentarnya sambil mendengus geli.
“Terima kasih atas pujiannya, Sir.” Balasku sarkastis. Donghae berbalik padaku dan melemparkan senyuman menggodanya.
“Tapi bisa kulihat kalian mirip.” Imbuhnya tersenyum manis—oke, manis sekali sampai rasanya aku ingin membalasnya. “Dan ini ayahmu?”
Aku tak segera menjawab hingga Donghae menatapku lagi. “Itu ayah tiriku.” Jawabku sedikit muram. Padahal aku sudah berusaha untuk menjawab dengan santai, tapi nyatanya usahaku tak berhasil. Donghae menyadari keenggananku dan ia malah beringsut mendekat.
“Maafkan aku.  Aku tak tahu kalau orangtuamu sudah berpisah.” Ujarnya penuh penyesalan. Aku menggeleng dan menatapnya dengan tersenyum semampuku. Mencoba agar tak terlihat sedih saat membicarakan ayah kandungku.
“Bukan berpisah. Lebih tepatnya Ayahku meninggalkan Ibu saat umurku dua bulan.” Jelasku sedikit muak. “Aku tidak pernah bertemu dengannya. Ibu juga tidak pernah memperlihatkan foto Ayah. Aku bahkan tak mengetahui namanya.”
Donghae terdiam. Ia telah duduk persis di depanku—tepatnya di atas meja serbagunaku—dan memandangku lama sekali. “Kenapa..?” tanyanya setelah berhasil menemukan suaranya.
“Aku tidak tahu.” Jawabku menggeleng. “Ibu tak suka jika aku mengungkit-ungkit hal itu. Kupikir.. Ibu menyesal bertemu dengannya. Dan aku benci kalau Ibu bersedih.”
“Apa kau ingin bertemu dengan ayah kandungmu?”
“Tidak tahu.” Jawabku jujur. Donghae menaikkan alisnya tinggi dan aku menambahkan lagi. “Tapi setidaknya aku ingin lihat seperti apa wajahnya.”
“Aku bisa mencarinya untukmu.”
Pernyataan Donghae membuat mataku melebar hingga pria itu tersenyum melihat kilat antisipasi berkelebat di kedua mataku. “Benarkah?” tanyaku tak percaya. Nyaris menggumam.
“Benar, Miss Cardia. Aku berjanji.” Sahutnya pasti. “Dan sudah berapa lama kau belum menelpon Ibumu?”
“Eh?” gumamku tergagap. “Err.. sepertinya dua bulan.” Jawabku sambil menghitung. Tarif telepon langsung ke Indonesia benar-benar mahal dan aku harus menahan keinginanku untuk berbicara dengan Ibuku karena aku harus menabung.
“Kalau kau mau, kau boleh menelpon menggunakan ponselku, Miss Cardia.”
Mulutku menganga tak percaya, gabungan antara keterkejutan dan kebahagiaan di saat yang bersamaan. Dan beberapa menit kemudian, ponsel Donghae telah tersambung ke ponsel pribadi Ibuku. Ia berdiri menjulang di depanku—yang masih saja terperangah tak berkedip—dengan ponselnya di telinga sebelah kanan.
Good evening, Mrs. Noraiva Cardia.” Ujar Donghae dan kudengar Ibuku membalas sapaannya.
I am Lee Donghae, CEO of company that Youva works on it. I am sorry to bother you, Mam. But Youva has something to tell you and she wants to talk directly by phone.” Dan setelahnya pria itu mengulurkan ponselnya padaku.
Youva?” tanya Ibu sedikit tak percaya.
“Hai, Ma.” Jawabku dengan suara pecah. Aku tak bisa menahan tangisanku dan tertawa dengan airmata berlinang saat Ibu memekik kegirangan. Aku menatap Donghae, yang telah menciptakan keajaiban padaku malam ini, membuatku tersenyum berterima kasih padanya.
Take your time.” Bisiknya tak kentara, kendati membalas senyumku dan duduk dengan kaki bersila. Ia membiarkanku mengobrol lama dengan Ibu dan tak sekalipun terlihat kesal. Donghae hanya memandangku, tersenyum saat aku tertawa mendengar kalimat Ibu dan memperhatikanku lekat-lekat saat aku terdiam.
“Entahlah, Ma. Bosku baik. Dia memperbolehkanku menelponmu karena kubilang aku tak punya cukup uang untuk menelpon.” Jawabku sambil mencuri pandang ke arah Donghae. Ia menaikkan alisnya, merasa penasaran dengan apa yang kuucapkan karena pasti Donghae tak mengerti bahasa Indonesia.
Kalau begitu kau tidak boleh bersikap kasar padanya. Hormati dia dan lakukan yang terbaik yang bisa kau lakukan, Youva.”
“Aku tahu, Ma.” Jawabku meringgis. “Err.. sepertinya kita sudah bicara cukup lama, Ma. Kupikir bosku harus menggunakan ponselnya.”
Baiklah, nak. Tolong berikan ponselnya pada bosmu, dan Mama harap kau akan selalu baik-baik saja, Youva sayang. Aku mencintaimu.
“Aku juga mencintaimu, Ma.” Desahku menahan airmata dan mengembalikan ponsel Donghae. Pria itu melirik layar ponselnya yang masih tersambung dengan panggilan Ibuku dan ia meletakkannya di telinga.
“Yes, Mrs. Cardia?” panggil Donghae. Pria itu terdiam namun wajahnya perlahan tersenyum. “Don’t worry, I will do that for you. As you pleased, Mrs. Cardia.
Dan sadarlah aku Ibuku sedang mengatakan sesuatu tentang diriku karena bosku memandangku penuh arti. Sudut bibirnya bahkan terangkat, membentuk sebuah senyuman kecil yang berusaha mengejekku.
Thank you, Mrs. Cardia. Nice to know you…. Yeah, me too.. Andokay, I will inform her.. Good evening.” Dengan satu sentuhan kecil di layar ponselnya, Donghae mengakhiri panggilannya dengan Ibuku. Ia memberiku tatapan puas yang aneh dan aku berusaha menahan lidahku untuk bertanya.
“Kuharap aku bisa bertemu Ibumu, Miss Cardia.” Ejeknya dengan seringaian.
“Ibuku tidak mengatakan sesuatu yang aneh, kan, Sir?” tanyaku kelepasan. Ia melipat tangannya di dada dan menutup mulutnya sejenak—membiarkan perutku mulas karena menantinya.
“Tidak,” jawabnya singkat. “Ia Cuma mengatakan agar aku menjagamu, memastikan kau baik-baik saja dan menyerahkan dirimu sepenuhnya dalam pengawasanku. Dan Ia juga berpesan agar kau memakai baju hangat karena udara dingin. Sepertinya Ibumu juga berharap aku mengahangatkanmu.”
Aku tersedak dan wajahku langsung seperti lobster rebus—merah menyala dengan uap di sekitar kepalaku. Donghae terbahak melihat ekspresiku yang memalukan dan ia membiarkanku menyembunyikan wajahku yang malu setengah mati.
“Ibuku pasti salah bicara, Sir. Bahasa Inggrisnya tidak sebagus dulu.” Kilahku tanpa menatapnya—walaupun aku tahu ia masih menatapku geli.
Donghae berdiri dan mendekatiku. Ia berlutut di depanku dan menarik daguku ke atas—memaksaku untuk menatapnya. “Kupikir juga begitu, Miss Cardia. Karena kalau tidak, aku tidak akan keberatan melakukannya.” Senyumnya terukir dengan sengaja, membuatku menelan ludah karena tatapannya yang membunuh dan kata-katanya yang penuh makna.
Jantungku meronta minta di bebaskan, tapi kukatupkan bibirku rapat-rapat, mencoba mengalahkan keinginan untuk mengiyakan pria itu. “Kupikir anda hanya mau memeluk wanita cantik, Sir.” Gumamku tanpa bisa kucegah. Sepertinya lidahku tak lagi tersambung dengan otakku malam ini. Dan sepertinya Donghae juga benar-benar dalam mood yang amat baik.
“Faktanya adalah aku tak keberatan untuk memeluk semua wanita di dunia ini. Termasuk dirimu.”
Kurasakan jantungku berpacu gila-gilaan. Aku tahu bosku sedang mengujiku—untuk melihat apakah aku telah jatuh dalam kesalahan atas pelanggaran peraturan nomor lima—tetapi tetap saja kepalaku pusing bukan main ketika melihat rentangan tangan Donghae yang membuka lebar, seakan berniat menyambut diriku.
“Aku bahkan tidak keberatan untuk memelukmu juga, Miss Cardia.” Ujarnya manis sekali. Aku menggigit lidahku keras-keras hingga aku bisa merasakan rasa amis darah di lidahku. Mudah sekali. Yang perlu kulakukan hanya mengangguk dan aku akan bisa merasakan dada bidang pria itu, menemukan kehangatan dalam pelukannya dan menikmati sentuhan Lee Donghae yang mengagumkan.
“Tidak.” Lidahku yang mulai berdarah itu kembali berucap tanpa berkompromi dengan otakku—sebenarnya otakku bahkan sudah berhenti bekerja hingga aku terpaksa berpikir dengan hasratku.
Donghae menatapku sedikit terkejut. Tetapi ia langsung memiringkan kepalanya ke kiri, menatapku dengan kelewat intens. “Kau yakin?” tanyanya menggoda.
Aku harus menelan kegugupanku dua kali sebelum akhirnya mengangguk—dan separuh pikiranku menyesali jawaban tololku.
Donghae mendekatkan bibirnya perlahan hingga aku memejamkan kedua mataku tanpa sadar. “Sayang sekali kalau begitu.” Bisiknya merayu. Membuat batinku berkecamuk hebat. Aku nyaris kehilangan kontrol atas kedua tanganku yang jelas-jelas sangat ingin meraih wajahnya. Tetapi setelah pergulatan melawan hasratku yang begitu keras, akhirnya akal sehatku menang—menang dengan begitu menyedihkan karena ternyata separuh dari tubuhku benar-benar menginginkan lelaki itu.
Donghae bangkit dengan matanya masih menjejaki bola mataku yang tak fokus. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya ia berubah pikiran. Donghae mengulum bibirnya yang membuatku disorientasi penuh dan ia melangkah ke tepi pintu.
“Selamat malam, Youva. Selamat tidur. Semoga kau.. mimpi indah.” Bisiknya seperti Dewa Angin, pelan dan merdu. Membuat jantungku riuh. Menghilangkan kewarasanku. Dan dengan satu tarikan pada pintuku, semuanya terasa bagai mimpi. Kamarku kembali tenang dan sepi. Yang tertinggal hanyalah aroma tubuhnya yang memenuhi ruangan, mengitari setiap sudut, membuatku terpelosok dalam keterpurukan karena aku ingin pria itu kembali. Detik ini juga.
Ya Tuhan, apakah ini benar-benar mimpi?

***

4 komentar:

  1. huwa....ni ff bikin tambah penasaran
    ceritanya g bisa ditebak
    sempet nebak2 sendiri ceritanya,
    duh.... sumpah ni mesti harus cepet dipost next partnya, klo g mau mati penasaran hahahaha

    BalasHapus
  2. Duhhh :3 itu mimpi atau kenyataan yaa? Omonaaa Donghae bkin melting bangettt >< lanjut ya eon~ fighting~

    BalasHapus
  3. Oppa arghhhh!!
    jadi kasian sama youva TT.TT
    Please oppa,jangan merayu lagi.. kasian sekretarismu lho digodain terus..

    BalasHapus