TITLE : SCARLET [4]
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
PG-17
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
Summary:
Ada yang aneh. Rasanya seperti berdenging,
berkelap-kelip di kepalaku dan menyesakkan dada. Aku tahu seharusnya aku membencinya. Membenci
pria itu karena telah memperdayaku, menjeratku dengan jaring-jaring penuh ilusi
dan membuatku kehabisan akal. Tapi, tetap saja pria itu menggeser akal sehatku
dan menenggelamkan kewarasanku untuk peduli pada kenyataan. Aku berusaha lari,
namun tangannya selalu berhasil memerangkapku kembali. Hingga aku terlalu lelah
untuk bersembunyi dan seluruh upayaku menjadi sia-sia, menjadikanku seperti
orang sinting; berlari darinya namun mengarah padanya.
Sinting. Kau cukup sinting, Youva.
***
CHAPTER FOUR: FAUX PAS
Kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur
favoritku, membuatnya berderit berbahaya dan menjatuhkan beberapa buku yang
kuselipkan dibawah bantal. Aku tahu aku seharusnya membuka pakaian kerjaku yang
kelewat mahal ini dan menggantungnya di lemari. Namun seluruh emosi dan
kenyataan yang kuperoleh seharian tadi sungguh melelahkan. Seolah semuanya
meledak dan kemudian abunya membekukan tungkai-tungkai kakiku yang protes.
Lee Donghae tampaknya berhasil mendirikan
sebuah posisi baru di kepalaku. Status pria itu berpindah-pindah antara ‘dicurigai’, ke ‘tertuduh’ dan sekarang malah menempati ‘troublemaker’. Well,
status terakhir itu mungkin sedikit keliru, mengingat aku tak punya alasan yang
jelas untuk menyebutnya sebagai seorang troublemaker
selain karena bosku itu terang-terangan menggodaku.
Oke, aku sedang berusaha melupakan adegan
di kamar mandi tadi, dimana matanya benar-benar mematahkan seluruh kewarasanku
dan tiba-tiba saja sebersit kekecewaan hinggap di hatiku. Benarkah aku ingin
dia menciumku?
Idiot.
Sadarkah kau kalau kalian berciuman, pekerjaanmu hanya tinggal kenangan?!
Itu benar. Tapi pikiran bahwa pria itu ingin menciumku seolah menggelitik rasa
haus yang selalu kutekan dalam-dalam. Maksudku, aku sedang membicarakan Lee Donghae, yang tidak hanya memiliki
reputasi sebagai Casanova kelas satu, tetapi juga seorang pemilih yang hanya
mau menggandeng wanita cantik. Jadi… kenapa ia harus ingin menciumku tadi? Dan pada titik ini aku harus menampar
pipiku sendiri agar aku bisa berhenti bersikap kelewat percaya diri. Mana
mungkin Donghae ingin menciumku. Dia
pasti hanya mencoba membuatku menyerah.
Dan lagi.. Donghae tidak mengatakan apapun—bahkan
juga tidak bertatap muka denganku—setelah dia memberiku sebuah perintah
sinting; “Jangan tersenyum pada orang lain.” Well, aku sudah menghabiskan dua puluh menit terakhir untuk
memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang paling mendekati mengenai alasan
dibalik perintahnya itu, tapi tetap saja, aku tak bisa menduga apapun untuk saat ini. Kupikir aku akan
bertanya pada Chad besok, melihat dia sudah cukup lama bekerja pada Donghae—yang
berarti ia lebih mengenal pria itu dibanding aku.
Aku menggeliat di atas kasurku yang nyaman
dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku. Ruangan ini nyaris tidak bisa
disebut sebagai kamar. Praktisnya, ini adalah rumahku. Sebuah ruangan yang mencakup kamar tidur, dapur mini
bahkan ruang tamu. Kamar mandiku berupa bilik satu kali dua meter yang hanya
mampu memuat shower dan toilet. Tanpa bathub.
Westafel berada di luar—terletak persis di sebelah pintu kamar mandi dengan
pipa karatan yang langsung akan membanjiri lantai kamar ku kalau aku berani
memutar kerannya lebih dari tiga detik. Biar begitu, ini adalah ruangan
favoritku di Los Angeles.
Dulunya aku tinggal di sebuah apartemen
keren dengan dua kamar di 918 S Oxford Ave, Koreatown, bersama Janne dan Kim
Hanna. Tetapi sejak Hanna memutuskan untuk kembali ke negaranya dan Janne
akhirnya menikah dengan Aaron, aku terpaksa mencari sebuah flat kecil di tengah kota. Kumohon, jangan bayangkan flat yang kutinggali sekarang mendekati
kata ‘mewah’ atau ‘keren’. Karena, serius nih, tempat ini sama sekali enggak
oke. Meskipun lokasinya benar-benar dekat dengan perkotaan, tapi aku masih
tidak tahu kenapa pemerintah kota belum juga merubuhkan bangunan tua ini.
Sepanjang yang kudengar, Flat ini kepunyaan seorang jutawan tua
yang tidak ingin menghilangkan sisi historis dari Los Angeles. Meskipun menurut
sebagian orang bangunan tua ini malah memperburuk pemandangan kota, tapi tetap
saja ada ratusan orang yang mengantri untuk bisa mendapatkan sebuah kamar di
sini. Seluruhnya ada sekitar lima puluh kamar dengan model serupa dengan
kamarku. Total enam lantai dan kamarku sendiri terletak di lantai dua. Sejauh
ini sudah ada tiga belas orang yang bersedia membayar deposit dan uang sewa
bulanan dua kali lipat demi mendapatkan hak untuk menempati salah satu kamar.
Aku bahkan harus tinggal di rumah teman
kampusku, Monica, selama tiga hari sebelum bisa menempati ruangan menyedihkan
ini. Dan aku juga harus berterima kasih pada Sam, pacar Monica, yang rela
memberikanku kamar flat yang akan ia tempati padaku—karena ia memutuskan untuk
tinggal bersama Monica. Tak ada yang tahu aku tinggal di sini—kecuali Monica
dan Sam—karena posisiku sudah cukup mengenaskan sebagai penerima tunjangan pemerintah. Tapi tak ada yang bisa kulakukan
dengan persediaan tabunganku yang kian menipis. Flat ini adalah satu-satunya tempatku berlindung dari segala macam
hal yang ada di luar sana. Meskipun aku bisa melihat retakan-retakan kecil pada
dinding-dindingnya, dan terkadang aku harus menelpon tukang pipa seminggu dua
kali untuk membetulkan saluran airnya, tapi tetap saja aku mencintai tempat ini.
Aku mengidap semacam agoraphobia;
kebalikan dari klaustrofobia, meskipun aku belum pernah mendapatkan vonis pasti
dari seorang psikolog. Tapi itu benar, aku selalu mendapatkan kesulitan untuk
berada di tempat yang ramai dan terbuka. Aku benci berbaur—dan itu sebabnya aku
juga mengidap kainofobia; fobia terhadap sesuatu yang baru. Jadi selama
eksistensiku di Los Angeles, aku tak memiliki banyak teman dekat, hanya teman
formal yang langsung kulupakan namanya dalam dua detik perkenalan kami. Dan
mendapatkan kamar ini sebagai tempat tinggalku, bisa kubilang ini adalah berkah
tersendiri.
Biar kujelaskan sedikit keadaan kamarku.
Begitu aku membuka pintu kamar, aku akan menemukan tempat tidur kecil dengan
sprei berwarna biru pucat di sebelah kiri, bersebelahan langsung dengan lemari
dan pintu kaca geser tua yang akan membuatku terjun bebas ke jalanan jika aku
membukanya—please, bangunan ini
enggak punya balkon. Ada kamar mandi di seberang tempat tidurku, dengan
pintunya yang menggantung pada sebuah engsel dan kuncinya sudah macet total.
Yang terakhir, di sebelah kamar mandi dan westafel, aku membuat pojok ruangan
sebagai dapur. Bukan benar-benar dapur, Cuma ada kompor dan rak piring kecil.
Dan, oh, di tengah ruangan—sebuah petak kecil yang tersisa—aku meletakkan meja
bulat kecil dengan karpet cokelat motif kotak-kotak pemberian Hanna sebagai
alas duduk. Meja itu berguna banyak di kamar ini; sebagai meja makan jika tiba
waktu makan, untuk alas laptopku jika aku ingin mengetik, dan terakhir, sebagai
alas untuk menyetrika. Hebat, bukan? Karena itu aku menyukai tempat ini. Praktis.
Sederhana. Benar-benar seperti aku.
Dan kalau aku membicarakan tempat tinggal,
aku juga harus mengenalkan para tetanggaku. Well,
pada dasarnya orang Los Angeles punya semacam peraturan tak tertulis yang lebih
suka jika urusan mereka tak kau ganggu. Mereka selalu sibuk dengan kehidupan
mereka sendiri dan terkadang melupakan silaturahmi antar tetangga. Bagiku sih,
enggak masalah. Aku malah lumayan menyukai lingkungan seperti itu. Tapi, karena
bangunan ini dipenuhi berbagai macam etnis, maka selalu saja ada orang-orang
yang ingin merusak peraturan itu.
Contohnya, penyewa di kamar sebelah kiriku. Ada Bibi Major yang baik hati. Ia
seorang wanita tua berusia lanjut yang tinggal sendirian ketika suaminya
meninggal empat tahun lalu. Bibi Major memiliki sifat periang dan senang
memasak, sehingga dia selalu saja memberikanku salah satu hasil eksperimen dapurnya setiap kali melihat bayanganku dimanapun, kapanpun. Kebanyakan
hasil masakannya adalah kue-kue panggang atau biskuit-biskuit cokelat dengan
potongan buah kismis dan blueberry,
walau terkadang ia juga memberiku sup-sup atau steik dingin. Aku mengira ia
kesepian, jadi terkadang aku menemaninya mengobrol. Tapi, belakangan aku
mengetahui bahwa Bibi Major ternyata ingin menjodohkanku dengan cucu lelakinya
yang keturunan Israel, Benjamin. Dan sejak saat itu aku berupaya menolak
makanannya.
Tetangga di sebelah kananku adalah seorang
pria tampan yang ramah, David Roowie. Ia sering menyapaku jika kami berpapasan
dan terkadang membantuku membetulkan saluran pipa di kamar mandi kalau tukang
pipa langgananku tak bisa datang. Aku tak tahu David bekerja di mana, tetapi
aku selalu memergokinya membawa pria—yang sama tampannya dengan dirinya—setiap
malam. Dan sebuah kesimpulan darurat langsung mampir di kepalaku; David adalah
bukti nyata dari komunitas Gay. Aku
mencoba bersikap suportif, tapi terkadang rasanya menjengkelkan karena aku bisa
mendengar teriakan, bahkan desahan erotis di malam-malam tertentu dari kamar
David. Dan selebihnya, tak ada yang bisa kuberitahukan kecuali nama beberapa
pemilik kamar di seberang kamarku; Susan, Yi Xian, Paul dan Donna, dan
Frederick.
Pandanganku beralih pada sebuah jam dinding
bundar dengan tepinya berwarna kelabu, dan benda itu memberitahuku bahwa sekarang
sudah pukul setengah Sembilan malam. Jadi, dengan separuh hati, aku berjalan
menuju lemariku lalu menanggalkan pakaianku satu persatu. Perutku sama sekali
tidak lapar, tapi aku butuh mandi. Seharian menghadapi begitu banyak kejadian
aneh membuatku lelah secara fisik dan batin. Aku kepingin tidur, bergelung
dalam kasurku yang hangat sampai besok pagi. Tapi tumpukan berkas yang harus
kuperiksa mencapai lima belas sentimeter dan itu artinya jam tidurku harus
berkurang.
Aku hanya memerlukan waktu sekitar sepuluh
menit untuk berdiri di bawah pancuran air dingin dan membiarkan semangatku
mengalir kembali. Kubuka pai apel pemberian bibi Major pagi tadi dan
menggigitnya besar-besar, berharap rasa kenyangnya akan mampu bertahan hingga
esok, jadi aku tak perlu pusing karena harus melewatkan sarapan pagi. Lagi.
***
Keesokan harinya, aku terbangun setelah
berusaha mengabaikan rasa dingin di sekujur tubuhku. Suhu Los Angeles
sebenarnya cukup hangat; 23 derajat celcius, dan matahari bersinar lebih cepat
daripada biasanya. Tapi bagiku yang terlahir dengan suhu tak kurang dari 33
derajat, tetap saja musim panas Los Angeles lebih menyerupai musim dingin
bagiku.
Aku mengenakan atasan turtle-neck warna peach
dengan renda-renda kecil di sepanjang lingkar lengan dan bawahan celana satin
berwarna pink lembut. Semuanya
pemberian Donghae, tentu saja. Tapi entah kenapa Bibi Major terlihat tidak
menyukai pakaian-pakaian baruku. Ia malah memberikan tatapan mencela ketika
kami berpapasan di tangga dan mengacuhkan sapaanku.
Kuputuskan untuk tak menggubris sikap
bermusuhan Bibi Major dan langsung menuju kantor secepat mungkin. Aku tidak
tahu apa yang kuharapkan sesampainya di sana, tetapi bayangan wajah Donghae
yang memerintahkanku untuk tak tersenyum pada siapapun membuatku bergerak lebih
cepat. Sejujurnya aku sedikit berharap ia akan menjelaskan maksudnya padaku—walau
nyaris mustahil.
Tapi setelah tiba dengan setumpuk berkas
laporan yang telah kusiapkan semalaman, Donghae ternyata tak menunjukkan
ekspresi apapun. Ia hanya melirik sekilas dan kembali menyesap kopinya yang
masih hangat. Aku berdiri mematung di depan mejanya dan menunggu instruksi untuk
hari ini. Tetapi setelah hampir setengah jam, Donghae bersikap seolah aku tidak
ada di sana. Dan itu membuatku jengah.
“Sir? Bisakah aku kembali ke mejaku?”
tanyaku hati-hati. Ekspresi Donghae mungkin tak bisa dibaca, tapi itu tidak
berarti mood-nya sedang bagus.
“Tentu, Miss Cardia.” Jawabnya setelah
beberapa saat. Masih menolak memandangku.
Aku menutup pintu ruangan Donghae dengan
perlahan lalu duduk di kursiku. Jadwal Donghae hari ini nyaris kosong, sebab ia
baru akan memulai rapat pada pukul dua siang nanti. Sebenarnya sedikit aneh
karena ia hampir tak pernah punya jadwal kosong. Yah, setidaknya seperti itulah
menurut catatan sekretaris Donghae sebelumnya.
Tapi kemudian lift di seberang mejaku berdenting,
pintunya membuka otomatis dan aku tidak bisa memerintahkan wajahku untuk tidak melotot
begitu melihatnya.
Wanita itu mengenakan mesh dress merah selutut yang menarik perhatian. Jaring-jaringnya menyisakan
begitu banyak pemandangan kulit putih mulus seksi tanpa cela. Rambutnya pirang
sempurna, jatuh melewati pundaknya dan tergerai indah. Ia mengenakan kacamata hitam
Gucci dan mengamit sebuah clutch bag hitam
yang terlihat glamor. Langkahnya bagai supermodel yang melenggang di atas panggung,
penuh percaya diri dan angkuh.
Ya
Tuhan.
Kalau ada wanita yang paling terakhir ingin
kutemui di dunia ini, itu adalah dia, Claudia Thompson. Seniorku di Universitas
selama hampir empat tahun yang berperan besar membuat masa-masa kuliahku menjadi begitu suram. Aku benar-benar tak mengerti kenapa Ratu Drama
Kampus kami malah repot-repot mau menganggu hidupku. Karena, serius nih, Claudia
itu seorang Nona Besar yang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan sebab
hidupnya penuh dengan keberuntungan; harta berlimpah dan kecantikan. Oke deh,
kalau ada yang kurang darinya itu adalah pikirannya yang dangkal. Contohnya saat
ini.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya
berupa desisan ketika melihatku berdiri mematung. Claudia membuka kacamatanya
dan melototiku garang. Ia tetap cantik, tapi aku juga tetap membencinya.
“Menurutmu apakah aku sedang jogging? Kau tidak
bisa menebaknya?” jawabku tak kalah sinis. Claudia bersedekap dan ekspresinya
tak senang. Matanya menyipit tetapi setelahnya ia tersenyum ganjil.
“O-oh. Jangan bilang kau membutuhkan uang.
Kenapa? Kau tak merasa cukup dengan tunjangan
yang di berikan pemerintah kami padamu?”
Perkataannya membuatku mendidih karena emosi,
tapi seperti yang selalu kulakukan saat kami beradu argumen, aku memutuskan
untuk memberikannya kalimat balasan mematikan. “Yeah, kau benar, aku
membutuhkan uang. Dan untungnya aku masih bisa menemukan pekerjaan. Tapi, aku
prihatin padamu, Claudia. Biarpun kau menghabiskan seluruh hartamu, kau pasti tak
akan bisa mengganti otakmu.”
Bibir Claudia mengatup geram dan matanya
menatapku berang. “Kau—Dasar gadis Asia miskin tolol—”
Claudia tak pernah punya kesempatan untuk
menyelesaikan makiannya karena detik itu pintu ruangan Donghae menjeblak
terbuka dan wajah malaikat yang rupawan itu memandangi kami. Bukan, ia
memandangku.
“Ada apa, Miss Cardia?” tuntutnya dengan
wajah dingin. Aku mencelos dalam hati. Kenapa aku bahkan bisa lupa kalau aku
sedang berada di kantor? Kemunculan Claudia yang begitu tiba-tiba membuatku gelap
mata. Tapi belum lagi aku bisa menjawab, Claudia telah mendahuluiku.
“Dia sekretarismu? Oh, Donghae sayang, kenapa
semakin lama seleramu semakin buruk? Bagaimana mungkin kau punya sekretaris yang
tak memiliki sopan santun?” suara Claudia yang melengking manja terdengar
begitu memuakkan, hingga aku harus menggigit lidahku keras-keras sebelum aku
kelepasan dan menyumpalnya dengan sepatu.
Donghae tidak menjawab pertanyaan Claudia.
Alih-alih, ia hanya memandangku skeptis, dan setelah beberapa saat, ia berpaling
pada Claudia, yang tengah menatapnya penuh pemujaan. “Masuklah.” Ujarnya dingin.
Claudia tidak menuruti perintahnya, ia
malah menarik tangan Donghae dan melemparkan senyuman menggoda sebelum memeluk
pria itu erat. Meski tidak membalas pelukannya, tetapi Donghae diam saja. Wajahnya
masih terlihat datar dan sama sekali tak menunjukkan perubahan. Claudia berbisik
manja dalam pelukannya, membuatku ingin muntah saja.
“Kau tahu aku merindukanmu,” bisik Claudia
lirih, sementara tangannya menggerayangi punggung Donghae. Aku tahu wanita
sialan itu berusaha untuk pamer padaku karena ia melirikku dengan ekspresi
penuh kemenangan dan bibirnya melengkung ke atas.
Kupikir Donghae juga akan mengatakan hal
yang sama—atau setidaknya bersikap manis seperti biasa, tetapi ia malah
menyahut dengan nada menakutkan. “Aku mendengar bagian ‘Asia miskin tolol’ itu, Claudia Thompson.”
Bukan cuma Claudia, bahkan aku juga ikut mematung
tak percaya ketika mendengarnya. Donghae memasang wajah besinya dan kulihat
Claudia menggigil ketakutan. “Kau tahu itu bukan untukmu, Donghae sayang. Itu—Itu
untuk gadis ini! Kau tidak—”
“Lain kali hati-hati dengan perkataanmu,
Claudia. Kau tahu kalau aku juga keturunan Asia. Atau kau memang mencari orang
Asia miskin tolol untuk bercinta denganmu?”
Tubuh Claudia menciut menjadi seukuran atom.
Keringatnya menetes, matanya membelalak ketakutan dan ia menggenggam clutch bag-nya erat-erat. “Maafkan aku—”
lengkingnya putus asa. Aku tak pernah melihat Claudia ketakutan seperti ini. Biasanya
ia bakal memasang wajah angkuh dan sombongnya. Tak peduli ketika polisi menggeretnya
ke sel tahanan karena kedapatan membawa morfin.
Kemudian, dengan tanpa aba-aba, pandangan
Donghae beralih padaku. Matanya seolah menyelami pikiranku meskipun wajahnya
tetap datar. “Dan Miss Cardia, aku tak mau di ganggu sampai aku memberimu
perintah. Kau paham?”
Dengan satu anggukanku, Donghae berpaling dan
tubuhnya menghilang di balik pintu diikuti Claudia yang masih pucat pasi.
Wanita itu bahkan tidak melihatku untuk terakhir kali atau memberiku tatapan sinisnya.
Ia menggigit bibir dan wajahnya seperti hendak muntah. Claudia bakal dapat
masalah. Dan tentu, aku juga.
***
Kira-kira pukul satu lebih tiga puluh
menit, Claudia keluar dari ruangan Donghae dengan wajah berseri-seri. Ia tidak
berusaha menutupi senyuman berpuas dirinya dan malah menunjukkannya padaku
terang-terangan. Aku menahan diri untuk memutar bola mataku atau meringgis atau
memberikan reaksi apapun padanya dan wanita itu memutuskan untuk merusak semuanya.
“Nikmati pekerjaanmu, gadis penerima
tunjangan pemerintah. Jangan bermimpi Donghae bakal menyukaimu.” Cibirnya sengaja
lalu melenggang pergi sebelum aku sempat memberikan pelototan padanya.
Ketika siluet Claudia menghilang tertutup
pintu lift, telepon berdering. Suara Donghae masih sama dinginnya seperti kali
terakhir ia berbicara padaku. “Masuk.” Perintahnya lewat sambungan telepon dan
memutus panggilannya sebelum aku sempat menjawab.
Kudapati Donghae tengah duduk di kursi
kerjanya dengan kaki terlipat. Ia memejamkan mata dan lagi-lagi pikiranku
langsung melayang kagum. Betapa kesempurnaan melekat sedemikian rupa padanya,
menjadikan wajahnya yang terdiam itu terlihat berjuta kali lebih tampan. Aku
tak berani menatapnya lama-lama, karena sepertinya Donghae tahu kapan aku mulai
terpesona padanya. Tapi tetap saja, dua kancing kemeja yang terbuka, rambut
acak-acakan dan tarikan napasnya yang tenangnya mengganggu kewarasanku. Aku
berani bertaruh bahwa berada dalam dekapan pria itu selama berjam-jam bisa membuat
Claudia sekalipun kehilangan sifat arogannya.
“Duduk, Miss Cardia.” Ujarnya memerintah. Kuhempaskan
tubuhku ragu-ragu ke atas kursi berlengan yang terletak persis di depan
mejanya. Lalu ketika perlahan mata Donghae membuka, denyut jantungku mendadak
kacau. Aku tak siap—tak akan pernah siap—jika melihatnya memandangku dengan
tatapan selembut itu. Ada sesuatu pada tatapannya yang membuatku bisa saja
luluh dan bersimpuh di kakinya agar pria itu mengijinkanku untuk memujanya. Tapi
bertentangan dengan tatapannya yang melemahkan keyakinanku, suara Donghae masih
berujar dingin.
“Aku tidak ingin mendapati kau bersikap
seperti itu pada siapapun, Miss Cardia. Sekretarisku harus memiliki etika. Kau bisa
menebak kalau Claudia adalah salah satu relasiku dan hal terakhir yang
kuinginkan adalah mendengar kau bersitegang dengannya.”
Perkataan Donghae menghujam persis ke ulu
hatiku, membuatku seakan tertampar oleh tegurannya. Aku menunduk menatap jari-jariku
yang kini telah mengepal, sementara Donghae melanjutkan kata-katanya. “Aku
tidak peduli jika kau mengenal tamuku, atau bahkan membencinya. Aku hanya
menginginkan keprofesionalitas-an dalam setiap gerak-gerikmu karena kau adalah tangan
kananku. Aku tidak ingin citra perusahaanku rusak hanya gara-gara kau berkata
yang tidak pantas pada salah satu tamuku. Kau mengerti?”
Jangan
menangis, Youva. Jangan menangis. Ulangku dalam hati.
Aku menggigit bibir keras-keras agar airmataku
tidak tumpah. Bukan kemarahan Donghae yang membuatku terluka, aku hanya tidak tahan
jika ia memarahiku gara-gara Ratu Drama sialan itu. Kuberi ia satu anggukan
paham alih-alih jawaban, tapi tampaknya Donghae belum merasa puas.
“Ada yang ingin kau katakan, Miss Cardia? Kau
boleh membela diri kalau mau.” Nada suara Donghae melunak dan aku mengangkat
kepalaku menatapnya. Ia balas menatapku sungguh-sungguh, membuatku merasa
semakin tersiksa.
“Ti—tidak, Sir. Maaf karena telah membuat
anda merasa tidak senang dengan sikapku. Aku akan berusaha untuk menjadi
sekretaris yang baik untuk anda.” Aku tahu suaraku bergetar ketika mengucapkannya,
tapi sepertinya Donghae juga mendengarnya karena ia bungkam sejenak sebelum bertanya.
“Kenapa kau membencinya?”
Emosiku yang meluap langsung kabur entah
kemana. Pertanyaan itu tidak pernah kubayangkan akan terlontar dalam pembicaraan
kami saat ini. Karena aku yakin Donghae tidak bakal tertarik mendengar apapun
dariku. Tapi lagi-lagi dugaanku salah.
“Aku membencinya karena dia membenciku,
Sir.” Jawabku setelah berhasil memilih kata-kata yang tepat. Donghae menaikkan
alisnya tinggi, memberi sinyal kalau ia merasa penasaran dengan alasanku. “Aku
pindah ke Los Angeles kira-kira lima tahun lalu dan masuk di Universitas yang
sama dengan Miss Thompson. Dia seniorku, dan aku sama sekali tak punya masalah
apapun dengannya sampai ketika ia memojokkanku di kantin di depan ratusan
orang. Saat itu dia menyebutku ‘Gadis Asia miskin penerima tunjangan dari
Pemerintah Amerika’ dan selalu memberiku kata-kata menyakitkan saat kami
berpapasan.”
“Kau tahu kenapa dia mengataimu seperti
itu?” tanya Donghae. Kulihat kilatan antisipasi berkelebat di bola matanya.
Aku mengangkat bahu dan menjawab tak
nyaman. “Aku tak begitu yakin karena tidak mendengar langsung darinya. Tapi beberapa
orang mengatakan padaku kalau dia cemburu karena Sean—pacarnya—mengajakku
berkencan.”
“Dan kau berkencan dengannya?”
“Tidak, Sir. Aku tidak mau.” Jawabku
cepat.
“Kenapa?” Wajah Donghae maju satu senti, menanti
alasanku dengan tak sabaran.
“Karena.. Yah, dia—tubuhnya bau bawang.” Ujarku
memutar bola mata. Donghae meledak dalam tawa dan terkekeh lama sekali sebelum
akhirnya ia bangkit dan berdiri di samping kursiku. Tangannya berpindah ke
dalam saku dan ia menatapku setengah geli.
“Look.
Tell me, Miss Cardia.What about me? Do
I smell good? Or no?”
Aku menatapnya bingung dan wajahku
perlahan memanas ketika Donghae mendekatkan tubuhnya menjadi persis di
hadapanku. Ia bahkan membungkuk sedikit, membuat wajah kami berhadapan dalam jarak
yang amat dekat. Dan aku harus menahan diri untuk terlihat konyol sebab jantungku
bisa meledak karena malu. “Anda—Baunya enak.” Ujarku lepas kendali. Aku tak
berani menatap langsung ke manik mata Donghae yang begitu dekat. Jadi, ketika aku
mendengar ia mendengus, aku cukup yakin pria itu sedang menahan tawanya karena jawaban
tololku.
“Aku tahu itu.” Godanya. Napasnya
berhembus masuk ke dalam paru-paruku dan indraku langsung menangkap aroma kopi bercampur
mint. Pria itu jelas-jelas bisa merontokkan tekadku kalau ia tidak berhenti
menggodaku seperti ini. “Kalau begitu tidak ada yang salah dengan hidungmu.” Imbuhnya
lagi dan menarik wajahnya tepat ketika aku mulai putus asa.
“Tapi tetap saja, Miss Cardia—” suaranya
telah kembali datar dan perutku mengejang. “—Claudia adalah salah satu rekan
bisnisku, klienku yang berharga. Dan aku tidak mau kau merusaknya karena alasan
pribadi. Aku harus membujuknya lama sekali sebelum dia setuju dengan perjanjian
baruku. Jadi, yakinkan aku kalau kau bisa menjaga tingkah lakumu di kesempatan
berikutnya.”
“Ya, Sir. Aku berjanji.” Ucapku menahan
diri dari bayangan wajah Claudia yang menyebalkan.
Donghae duduk kembali ke kursinya lalu menanggalkan
jasnya dengan satu gerakan cepat. Ia mengecek arlojinya sebelum memberiku
perintah. “Kau bisa keluar dan jadwal ulang rapat satu jam kedepan. Aku harus
mandi.”
Kukerahkan tenagaku untuk keluar dari
ruangan Donghae dan mengenyahkan ingatan akan tubuh Donghae yang tertutup busa.
Astaga
Youva, berhentilah berpikiran mesum!
“Dan ngomong-ngomong,” ujar Donghae ketika
aku akan menutup pintu. “Baumu juga enak, Youva.”
Aku berdiri mematung dengan sebelah tangan
memegang pegangan pintu. Bisa kurasakan isi perutku seakan di penuhi ratusan
kupu-kupu yang melesat naik memenuhi rongga dadaku. Aku berdeham satu kali dan
mengangguk sopan. Tanganku sedikit gemetar ketika menutup pintu di belakangku. Dan
aku harus menggigit bibir sebelum kelepasan berteriak senang.
Oke, aku tahu ia sedang menggodaku lagi. Tapi
tetap saja rasanya menyenangkan saat ia mengatakan bauku juga enak. Entahlah,
aku masih tidak tahu harus menanggapinya sebagai pujian atau tidak. Yang jelas,
Lee Donghae baru saja membuatku nyaris melayang ke angkasa. Bauku enak? Itu
pertanda positif.
Donghae memperbaiki dasi yang masih menggantung
aneh di lehernya. Ia mengenakan pakaian baru—meski kemejanya masih berwarna
putih—dan tidak menutup kemejanya dengan jas. Donghae berderap di depanku
dengan langkah percaya diri yang tak bisa di kalahkan dan ia berkacak pinggang
ketika kami berada di dalam lift.
Dari balik pantulan dinding lift, aku
melihat wajah Donghae tampak lebih segar. Sepertinya air sabun yang hangat
telah membuatnya lebih energik siang ini. Pria itu menaikkan tangan untuk mengecek
arlojinya yang super mewah—sebuah jam tangan Bvlgari limited edition yang hanya di produksi satu buah di dunia
ini; dan aku yakin Donghae sendiri yang turun tangan untuk membuatnya seperti
itu.
Pintu lift berdenting terbuka dan kami
menyusuri hall gedung PHOENIX yang padat.
Sebagian orang baru kembali dari jam makan siang mereka dan sebagian lagi
tampaknya memiliki kesibukan hingga berlalu-lalang di penjuru ruangan. Semua
yang melihat Donghae langsung mengangguk dan menunduk hormat padanya, sementara
pria itu berjalan tanpa memperhatikan satupun dari mereka. Terlalu penting
untuk membalas setiap rasa hormat para pegawainya.
Rapat Dewan Direksi berlangsung dalam
sebuah ruangan khusus yang megah. Masing-masing Direksi membawa sekretaris
pribadi yang siap sedia dan ada sekitar lima orang notulen di ujung ruangan. Donghae
menyapa beberapa orang Direksi dan bercakap-cakap sebentar. Di tengah para pria
tua itu pun, Donghae masih memiliki aura pemimpin melebihi siapapun. Termasuk
Glimmer.
“Kesibukan apa yang harus kau selesaikan
hingga rapat di tunda satu jam?” suara Glimmer memecah keributan dan beberapa
orang berdeham tak nyaman. Aku mulai menyadari bahwa dua orang itu—Donghae dan
Glimmer—selalu berusaha menjatuhkan satu sama lain.
Donghae menyunggingkan senyumnya yang
sempurna, membuat para sekretaris wanita menahan napas dan menatapinya dengan
lapar. “Percayalah, Glimmer, bahkan kesibukanku tak akan sebanding denganmu—Oh,
tidak kalau menggosip termasuk salah satu kesibukan. Kau tidak bakal punya
lawan dalam hal itu.” Balas Donghae sengit dan orang-orang mulai berbisik-bisik.
Glimmer maju dan mengulurkan tangannya—berusaha
terlihat profesional—dan Donghae menyambutnya. Genggaman mereka terlihat
seperti dipaksakan. Siapapun bisa melihat itu.
“Mulai bersikap sinis, eh?”
Bosku memberi kalimat balasan yang cukup keras.
“Itu keahlianmu, Glimmer. Bukan aku.” Jawabnya percaya diri dan mata Glimmer
menyipit. Cuping hidung pria tua itu mengembang karena emosi tetapi ia menahan amarahnya.
Glimmer hanya menyeringai dengan wajah merah padam saat Donghae memberinya
ultimatum keras. “Aku mengharapkan sikap kooperatif-mu, Glimmer. Kau tahu kau
belum memenangkan apapun. Jadi, tahanlah lidah kecilmu di dalam sana sebelum
terjadi kekacauan yang tak diinginkan.”
Ruangan terasa mencekam dengan keheningan
yang begitu mencolok. Tak ada yang berani menarik napas atau bahkan memicingkan
mata sekalipun. Atmosfir permusuhan terpancar begitu kuat di tengah ruangan, membuat
siapapun menjadi gelisah.
Alih-alih menjawab, Glimmer berdeham tak
nyaman dengan telinganya merah terang. Ia mencibir sebelum akhirnya kembali ke
kursinya. Beberapa orang mengikuti perbuatan Glimmer yang memilih bungkam di
atas kursi empuknya sementara bosku menyunggingkan senyum miring—terlihat puas
dengan efek perkataannya barusan.
“Duduklah di sampingku, Miss Cardia.” Ujarnya
semringah. Aku mengikuti instruksinya dan langsung mengambil tempat persis di
sebelah Donghae. Para sekretaris Direksi lain memandangku penuh rasa cemburu dan
aku menyadari beberapa malah mengepalkan tangannya saat melihatku. Tapi tak ada
waktu untuk memikirkan apapun karena dalam beberapa detik, lampu ruangan padam
dan cahaya lampu di gantikan oleh sebuah LCD berukuran super besar yang
terletak di ujung ruangan yang berpenerangan sedikit lebih terang.
Presentasi dimulai dan aku berusaha memusatkan
pikiranku pada layar tetapi susah sekali karena Donghae terus menguap malas. Ia
melambaikan tangannya ketika terlalu bosan mendengar penjelasan tentang laporan
kondisi perusahaan yang semakin membaik dan menyuruh mereka mengganti slide-nya. Sejauh ini tak ada satupun
yang berani membantah Donghae, semuanya memandang pria itu dengan gugup. Seakan
menanti kapan pria tampan di sebelahku akan mengamuk. Dan kira-kira dua puluh
menit kemudian, layar menghitam dan lampu kembali di hidupkan.
“Relokasi setiap pabrik yang hanya mampu
menghasilkan produksi di bawah 20% dan alih fungsikan sebagai lokasi resor yang
baru. Mutasikan seluruh pekerja dalam setiap sektor perusahaan dan minimalkan
kerugian. Sejauh ini pemasukan untuk perusahaan cukup bagus dan aku mau kerja
sama dengan perusahaan properti lokal di perbarui dengan hati-hati. Aku
mendapat laporan tentang kebocoran dana dan aku ingin masalah itu selesai dalam
waktu tiga hari. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menginspeksi setiap meja kalian.”
Bila di bandingkan dengan sikapnya yang
tak acuh, perkataan Donghae barusan benar-benar berbanding terbalik. Ia seperti
sudah melafalkan setiap kata dalam kepalanya dan kata-katanya ia ucapkan tanpa
cela.
Keheningan merambat begitu cepat, bagai
badai yang langsung membuat wajah para Direksi—yang memiliki usia jauh lebih tua
di banding Donghae—menjadi tegang. Mereka melirik satu sama lain dengan cemas. Hanya
satu orang yang tidak. Tentu saja itu Glimmer.
“Kau menuduh kalau salah satu di antara
kami yang menyebabkan kebocoran dana itu, eh?” tanyanya berusaha menyuarakan pikiran
banyak orang.
Donghae berbalik ke arah Glimmer perlahan,
dengan ekspersi sama sekali tak menyenangkan. “Kau punya ide lain siapa pelakunya,
Old man?”
Glimmer tersenyum mengejek dan
kelihatannya pria itu ingin memperkeruh suasana hati Donghae. “Bagaimana kalau
dirimu ternyata yang melakukannya? Bukankah itu juga termasuk kemungkinan?”
Ruangan menjadi riuh karena bisik-bisik
dari seluruh Dewan Direksi yang terlihat terpecah antara setuju dan tidak pada
pernyataan Glimmer barusan. Donghae sendiri terlihat terpana akan tuduhan itu
dan ia mengepalkan tangannya. “Jadi kau pikir aku sendiri yang membuat
perusahaanku merugi? Ya ampun, bisakah otakmu berpikir lebih cerdas?”
“Aku hanya mengatakan kemungkinan, nak. Tak
ada yang tak mungkin, ingat?”
Donghae nyaris menggeram saat berkata penuh
penekanan. “Tutup mulut saja, Glimmer. Tutup mulut sebelum aku yang menutupnya.”
Dengan gerakan tiba-tiba, Donghae bangkit,
menjulang tinggi di sampingku dan masih memandangi Glimmer penuh amarah. “Rapat
dibubarkan. Siapapun yang merasa tidak setuju dengan kesimpulan akhir yang
kuberikan bisa meninggalkan memo untukku. Atau
berhadapan langsung.”
Dan tanpa mendengar jawaban apapun, ia
melenggang keluar dengan secepat kilat. Aku sedikit kebingungan dengan situasi
yang kuhadapi tetapi berusaha keras untuk mengikuti langkah Donghae yang berubah
menjadi lebih cepat begitu kami keluar ruangan. Aku mengejar pria itu, tetapi
ia nampaknya tak berhenti untuk menungguku. Donghae bahkan meninggalkanku dan
masuk ke dalam lift sendirian.
Takut pria itu akan mendampratku karena
gerakanku yang secepat kura-kura, aku menggunakan lift lain yang kosong dan begitu
tiba di lantai teratas, kulihat Donghae baru saja memasuki ruangan kerjanya. Aku
mendorong pintu itu hingga terbuka dan terpaku saat memergoki Donghae tengah menelan
beberapa butir obat dengan napas terengah-engah. Ia mengerang setelah segelas
air membasahi kerongkongannya. Aku sadar kalau kehadiranku tidak di ketahui
Donghae, jadi aku mengetuk pintunya satu kali.
“Sir, anda.. tidak apa-apa?” tanyaku
takut. Wajah Donghae terkesiap dan memandangku terkejut.
“Masuk dan tutup pintunya, Miss Cardia.” Perintah
pria itu dan segera kulaksanakan. Ia menyuruhku mendekat tetapi berdekatan
dengannya membuatku tak nyaman. Dan aku hanya mampu membiarkan diriku berdiri
sejauh lima langkah darinya.
“Dengar, kau tidak boleh mengatakan apapun yang kau lihat barusan kepada siapapun. Kau mengerti?”
“Anda.. sakit?” tanyaku tak langsung
mengiyakan perintahnya.
Donghae mengernyit mendengar pertanyaanku
dan ia bersedekap. Butiran keringat yang mengering di dahinya mengganggu denyut
jantungku. “Bukan penyakit serius. Tapi aku tetap tidak ingin kau mengatakannya
pada siapapun. Terlalu beresiko seandainya ada yang mengetahui hal ini. Kau
mengerti, Miss Cardia?”
Aku menelan ludah dan mengangguk. Bukan
penyakit serius? Jadi kenapa ia sampai harus berlari seperti itu? Jantungnya
yang bermasalah? Atau perutnya? Atau mungkin darah tinggi?
“Miss Cardia,” panggil Donghae,
membangunkanku dari lamunan. “Bersiap dalam tiga menit. Kita akan keluar makan
siang.”
Makan siang pukul setengah empat sore? Kalau
begitu ada yang salah dengan pencernaannya.
***
Siapapun, tolong aku!
Tak pernah sekalipun aku berpikir kalau
makan siangku bakal diwarnai kegugupan seperti ini. Maksudku, aku pikir Donghae
bakal mengajakku makan siang dengan Marven atau paling tidak, dengan Chad. Tetapi
ia malah mengajakku naik ke mobil pribadinya—Ferrari seri 599 Novitec Rosso 848
RACE yang membuatku langsung menganga takjub—dan membawaku ke sebuah restoran Italia
terkenal. Belum lagi penampilannya yang membuatku harus mengigit bibir kelewat
sering; kacamata hitam dengan rambut cokelat kusut yang tertiup angin, kemeja putih
yang membungkus otot lengan dan dadanya—Donghae sengaja menggulung tangan kemejanya
hingga ke siku—dan terakhir, senyumnya saat mempersilakanku duduk.
Aku benar-benar butuh bantuan—setidaknya oksigen
tambahan kalau-kalau pria itu berniat menyabotase seluruh persediaan oksigenku.
Oke, berlebihan.
“Kau tahu mood-ku sedang tidak bagus, Miss Cardia. Rapatnya sangat
menjengkelkan. Benar, kan?”
“Err.. sepertinya begitu, Sir.” Jawabku
separuh cemas. Sekretaris yang baik harus selalu menyenangkan hati bosnya.
Donghae membuka kacamatanya dan
memandangku lambat-lambat. Aku tahu ia sedang mengamati ekspresiku, jadi kujaga
agar wajahku terlihat normal—walau amat sulit. “Kalau begitu hibur aku.” Ujarnya
tiba-tiba dan membuatku membelalak bingung. “Aku tidak akan menyuruhmu menari erotis
atau semacamnya, Miss Cardia. Aku hanya ingin mendengarmu berbicara. Walaupun
kuasumsikan kau bisa melakukan lebih dari itu.”
Asumsinya membuatku gugup. Apa yang ia
harapkan?
“Beritahu aku, Miss Cardia. Ini hari
ketigamu bekerja denganku, benar?” Aku mengangguk dan Donghae meneruskan
perkataannya. “Jadi, apa pendapatmu tentangku?”
Ini pertanyaan menjebak. Lebih berbahaya
ribuan kali daripada saat Marven menanyaiku. Apa yang harus kukatakan? Bersikap
jujur mengatakan betapa menyebalkannya ia? Well,
bakal membuatku di pecat. Memberinya pujian berlebihan? Sama sekali bukan
gayaku.
“Anda—err.. Anda cukup keras dan bisa
sangat tegas. Tetapi, Sir, anda baik hati.” Aku berusaha mengucapkan kalimat
terakhir setulus mungkin, karena aku memang merasa demikian.
Donghae menaikkan alisnya tinggi dan ia
mengangkat bahu. “Sebenarnya, Miss Cardia, beberapa orang bertaruh di
belakangmu—well, cukup banyak
sebetulnya—bahwa kau akan di pecat dalam waktu lima hari. Bagaimana menurutmu?”
Aku terdiam. Otakku rasanya tak bisa
menghubungkan apapun tetapi perlahan aku mulai mengerti kenapa orang-orang
melakukan taruhan konyol itu. “Maksud anda.. Aku akan di pecat karena melanggar
peraturan Anda?”
“Lebih spesifik lagi, kau akan kupecat
karena jatuh cinta padaku.”
Pernyataan itu membuat lidahku bahkan
kehilangan kekuatannya. Kurasakan tatapan Donghae mengikuti keterkejutanku. Ia
menanti dengan sudut bibirnya bergetar menahan senyum. Pria ini benar-benar
sedang mengujiku.
“Aku—aku harap aku bisa terus bekerja dengan
Anda, Sir. Lima hari tidak cukup bagiku.” Kilahku diplomatis.
Donghae menaikkan sebelah alisnya, tampaknya
ia tidak mengharapkan jawaban seperti itu. “Jadi, kau berpendapat bahwa aku tak
cukup menarik untuk membuatmu jatuh cinta padaku?”
Kali ini aku terdiam lebih lama. Apa yang
sebenarnya diinginkan Donghae?
“Bukan itu maksudku, Sir. Anda cukup
menarik—sangat menarik. Tapi aku tidak ingin hanya bekerja selama lima hari. Kuharap
Anda tidak salah mengartikan jawabanku.”
Pelayan menyajikan makanan di atas meja
dan kusadari selera makanku telah minggat entah kemana. Donghae tersenyum dan
mengucapkan terima kasih pada pelayan wanita yang tak bisa berhenti mengedipkan
matanya dengan genit dari tadi. Sepertinya ada yang butuh obat tetes mata
ekstra.
Donghae berdeham dan menghirup wine yang
di sajikan pramusaji. Matanya menyipit memandangku dengan senyum separuh yang
sengaja ia ukir di sudut bibirnya. Aku menatap gelisah ke piringku dan menunggu
vonis mati darinya. Apakah pria itu memang sedang berusaha membuatku di pecat?
“Kalau begitu, apakah bisa ku asumsikan
bahwa kau mungkin saja bisa jatuh
cinta padaku tetapi kau akan berusaha menyembunyikannya?”
Aku menggigit bibir dan memandangi garpu,
berharap peralatan perak itu bisa memberitahuku jawaban apa yang harus kuberikan
pada Donghae. Aku tahu otakku sudah kelewat sinting untuk mengharapkan hal
seperti itu, tapi karena Donghae terus menatapku penuh antisipasi, akhirnya aku
menyerah dan menjawab asumsinya yang kelewat brilian.
“Kira-kira seperti itu, Sir.” Desahku dan menunduk
lebih dalam.
Dari pantulan sendok yang masih tergeletak
di atas meja, kulihat Donghae tersenyum penuh arti sembari menghujamku dengan
tatapan penuh makna.
“Sir?” panggilku setelah menarik napas
panjang. Aku tak bisa terus-terusan merasa penasaran, jadi kuputuskan untuk
bertanya langsung padanya. “Bolehkah aku tahu kenapa anda memilihku?”
Ganti Donghae yang terdiam, wajahnya menimbang—dan
masih terlihat tampan—tetapi beberapa menit kemudian, ia menjawabku. “Kau memiliki
potensi besar, Miss Cardia.”
“Potensi? Maksud anda, sebagai sekretaris
pribadi?”
“Maksudku, dalam hal yang lebih besar. Dan
itu bagus untuk bisnisku.” Tandasnya membingungkan. Donghae tak mengacuhkan kerutan
di dahiku dan malah menyantap makanannya. “Sekarang giliranmu, kenapa kau ingin
bekerja padaku?”
Oke, cukup adil kalau Donghae berhak
mengetahui alasan utamaku. Toh pria itu sudah bersedia menjawab pertanyaanku—meskipun
aku tak bisa mengerti apa maksudnya. “Aku.. membutuhkan uang, Sir. Keluargaku memiliki
hutang.” Jawabku pelan.
Donghae meletakkan sendok dan garpunya lalu
menyeka bibir dengan serbet. Ia menatapku lumayan lama. “Ceritakan padaku.” Perintahnya
lagi.
“Dua bulan yang lalu, Ibuku mengirim kabar
kalau seluruh aset kami akan di sita karena tidak bisa membayar hutang. Keluargaku
di Indonesia mengelola sebuah panti asuhan yang menampung sekitar seratus orang
anak dan Ibuku yang bertugas untuk mencari biaya setiap bulannya untuk memenuhi
kebutuhan setiap orang. Awalnya semuanya baik-baik saja, sebab Ibuku dan yang
lainnya menjual kue-kue kering untuk menutupi pengeluaran. Tapi semakin lama kebutuhan
semakin banyak dan harga barang semakin mahal. Sepertinya Ibu mencari pinjaman,
tetapi terjadi kesalahan dan tiba-tiba saja Ibuku mendapatkan tagihan atas hutang
yang begitu banyak. Pihak penagih mengatakan akan mengusir Ibuku dan semua saudara-saudara
yatimku jika tidak bisa membayar seluruh hutang dalam waktu enam bulan.”
Ekspresi Donghae sama sekali tidak
menunjukkan keterkejutan dan ia menghela napas. “Karena itu kemudian kau
berpikir untuk bekerja padaku?” ujarnya terluka. Aku tak mengerti kenapa pria
itu harus kecewa. Tadinya aku berharap kalau Donghae setidaknya bersimpati
sedikit.
“Anda benar, Sir. Maafkan aku karena tidak
berkata sebenarnya padamu. Tapi alasan yang kuberikan padamu saat itu bukanlah
satu kebohongan. Aku memang ingin bekerja sebagai penerjemah jika usiaku sudah
cukup tua.”
Donghae memandangku skeptis, tapi kemudian
ia tersenyum. “Sejujurnya, Youva, aku terbiasa mendengar kalau semua wanita
berebut mendekatiku karena mereka memujaku. Dan mendengar alasanmu barusan
membuatku sedikit tak percaya, benarkah kau bahkan tidak mempertimbangkan
bekerja denganku karena ketampananku?”
Aku terperangah. Mulutku membuka seperti
orang bodoh dan cepat-cepat kututup sebelum Donghae merasa tersinggung. Tapi, tunggu
dulu, kenapa bosku ini bisa sangat overconfident
dan mengatakan kalau aku harus
bekerja dengannya karena aku pikir ia
tampan?
“Anda—anda memang—well, tampan, Sir. Tapi, maaf, dari awal aku bertujuan untuk membantu
Ibuku di Indonesia.”
Donghae tersenyum, tapi senyumnya terasa
sedikit janggal. “Kalau begitu, Miss Cardia, kau harus hati-hati. Berusahalah
agar kau tak tertangkap basah olehku.” Ujarnya perlahan, memberi efek mendalam
yang langsung meresap dalam otakku.
Itu semacam peringatan. Larangan sekaligus
tantangan agar aku bisa menyeselasikan kewajibanku tanpa boleh ketahuan kalau
aku terpesona padanya. Donghae melanjutkan menyantap makan siangnya dan ia
membiarkanku tenggelam dalam lamunan panjang.
Aku mencoba menikmati makan siangku—yang kuharap
bisa menjadi makan malamku juga—dan menutup mulut rapat-rapat. Donghae sepertinya
tidak keberatan dengan keheningan di antara kami sebab ia juga tak mengatakan
apapun lagi setelahnya. Tapi tiba-tiba ponselku berdering, membuatku terkejut oleh
sebuah panggilan tak terduga.
“Jawab saja,” ujar Donghae ketika aku
meliriknya takut. Ia lalu mengangkat bahu. “Kita kan sedang makan siang, kau
boleh menjawab telponmu.”
Begitu mendapat persetujuan Donghae, aku segera
menjawab panggilan itu dan mendengar sebuah suara yang kurindukan.
“Hei
cantik, kau sedang apa?”
Bibirku melengkung membentuk senyuman, meskipun
aku berusaha agar Donghae tidak melihatnya. “Aku sedang makan siang, Johan.” Jawabku
mati-matian menyembunyikan kebahagiaan. Dari sudut mata, kulihat Donghae melirikku.
“Biar
kutebak, makan siang di restoran Italia?”
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling
ruangan, berusaha mencari sosok Johan yang mungkin saja sedang mengamatiku. “Kau
ada di sini?” tanyaku tak percaya. Sebab Johan biasanya tidak akan ke Restoran Italia
kecuali pada malam hari.
Dari ujung sambungan aku mendengar suara tawanya
dan mau tak mau aku ikut tersenyum. Tetapi bola mata Donghae telah berubah menyeramkan.
Ia menatapku garang.
“Aku
di belakangmu, Youva.”
Dalam satu gerakan, aku berbalik dan
menemukan sosok Johan berdiri persis tiga meter di belakangku. Senyumya terpatri
lebar, menunjukkan betapa bahagianya ia. “Oh, Johan! Kenapa kau bisa ada di sini?”
seruku kaget. Aku nyaris melupakan keberadaan Donghae kalau saja pria itu tidak
menyela kebahagiaanku dengan suaranya yang menyiratkan kemarahan.
“Miss Cardia, tolong ingat posisimu.” Ujar
Donghae dingin.
Suasana berubah canggung; Johan yang masih
tetap tersenyum memandangiku dan Donghae memberikan tatapan tidak suka padaku—dan
pada Johan.
Aku berdeham satu kali sebelum berkata
dengan nada resmi. “Sir, perkenalkan, ini Johan, temanku. Johan, ini bosku, Mr.
Lee Donghae.” ucapku gugup.
Johan maju dan mengulurkan tangannya pada
Donghae. Bosku memandanginya galak, lama sekali sebelum akhirnya ia memutuskan
untuk menjabat tangan Johan. “Aku Johan Stavilosky, mantan kekasih Youva.”
Kusikut lengan Johan dengan keras karena
memberikan jawaban seperti itu, tapi Johan tidak menggubrisku. Jantungku membeku
saat wajah Donghae berubah mengeras. Otot wajahnya terlihat kaku dan ia menyipit
sedikit saat melepaskan genggamannya.
“Miss Cardia, kalau kau sudah selesai,
kita bisa segera kembali ke perusahaan.”
Hanya itu yang di ucapkan Donghae sebelum
pria itu kabur keluar Restoran dan meninggalkan aku dan Johan yang sama-sama
terperangah. Tak ada ucapan basa-basi, ataupun sekedar menyapa temanku. Tapi,
hei, sepertinya aku berharap terlalu banyak. Donghae mungkin berpikir kalau aku
dan Johan masih memiliki hubungan percintaan.
“Bosmu memiliki temperamen yang buruk.” ujar
Johan mengangkat bahu. Aku memberinya tatapan marah dan memajukan bibirku.
“Kau membuatku dalam masalah, Johan.” Gerutuku
lalu pergi menyusul Donghae.
Johan mengikutiku dan membalas gerutuanku.
“Masa kau dapat masalah hanya karena aku memperkenalkan diriku?”
“Seperti itulah dia.” Jawabku cepat. Dan
ketika aku tiba di meja kasir, aku menatap Johan yang ternyata juga sedang memandangiku.
Dan seperti biasa, ia tersenyum manis sekali. Hingga aku tak tahan untuk
membalas senyumannya.
“Aku senang kau baik-baik saja, Youva.” Ucap
Johan tulus dan ia meremas ujung jemariku.
“Aku juga, Johan. Pastikan kau memberi
makan snowbell tepat waktu.” Kataku lalu menggigit bibir saat kulihat siluet
Donghae yang membanting pintu mobil. “Maaf, Johan, aku harus segera pergi.” Ujarku
dan nyaris berlari saat melangkah keluar dari Restoran.
Bosku ternyata sedang duduk di balik kemudi
dengan wajah merah padam. Ia mengepalkan tangannya di atas dasbor dan melemparkan
tatapan mematikan saat tubuhku telah masuk ke dalam Ferrari cantik itu.
“Dengarkan aku, Miss Cardia. Jangan sampai
aku mendapatimu bertemu dengan pria itu lagi.” Kata-katanya terdengar begitu mengerikan,
membuatku menggigil karena takut.
“Sir, dia hanya teman—”
“AKU TIDAK PEDULI, YOUVA CARDIA. JAUHI
PRIA ITU! KAU DENGAR AKU?!” raungnya penuh emosi. Sementara tubuhku membatu tanpa
bisa mengatakan apapun.
Ada apa ini? Kenapa pria itu tiba-tiba mengamuk
hanya karena aku bertemu temanku? Satu lagi pertanyaan muncul, menambah daftar
panjang pertanyaan yang masih belum memiliki jawaban atas semua keanehan yang
ada pada diri Lee Donghae. Kemarin ia melarangku untuk tersenyum pada orang
lain, dan hari ini ia memerintahkanku agar menjauhi temanku sendiri.
Aku tak mengerti. Bukan, malah sebenarnya
aku memang tak mengerti apapun.
***
asiikk.. ijin tag dulu^^
BalasHapusSilakan ^^
Hapusrasanya dah lama g komen di ff ini
BalasHapusselalu bagus dan bikin penasaran
ditunggu lanjutannya
makasih ya <3
Hapusyup, doakan saja~
Apa ya sbnrnya maksud Donghae kya gtu ke Youva? :3 hmmm lanjut ne eon~ fighting~
BalasHapus