Senin, 08 September 2014

FANFIC : SCARLET [4]


TITLE         : SCARLET []
GENRE        : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING       : PG-17
CAST           : Lee Donghae
                     Youva Cardia
Author          : @Aoirin_Sora



Summary:
Ada yang aneh. Rasanya seperti berdenging, berkelap-kelip di kepalaku dan menyesakkan dada.  Aku tahu seharusnya aku membencinya. Membenci pria itu karena telah memperdayaku, menjeratku dengan jaring-jaring penuh ilusi dan membuatku kehabisan akal. Tapi, tetap saja pria itu menggeser akal sehatku dan menenggelamkan kewarasanku untuk peduli pada kenyataan. Aku berusaha lari, namun tangannya selalu berhasil memerangkapku kembali. Hingga aku terlalu lelah untuk bersembunyi dan seluruh upayaku menjadi sia-sia, menjadikanku seperti orang sinting; berlari darinya namun mengarah padanya.
Sinting. Kau cukup sinting, Youva.


***




CHAPTER FOUR: FAUX PAS





Kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur favoritku, membuatnya berderit berbahaya dan menjatuhkan beberapa buku yang kuselipkan dibawah bantal. Aku tahu aku seharusnya membuka pakaian kerjaku yang kelewat mahal ini dan menggantungnya di lemari. Namun seluruh emosi dan kenyataan yang kuperoleh seharian tadi sungguh melelahkan. Seolah semuanya meledak dan kemudian abunya membekukan tungkai-tungkai kakiku yang protes.
Lee Donghae tampaknya berhasil mendirikan sebuah posisi baru di kepalaku. Status pria itu berpindah-pindah antara ‘dicurigai’, ke ‘tertuduh’ dan sekarang malah menempati ‘troublemaker’. Well, status terakhir itu mungkin sedikit keliru, mengingat aku tak punya alasan yang jelas untuk menyebutnya sebagai seorang troublemaker selain karena bosku itu terang-terangan menggodaku.
Oke, aku sedang berusaha melupakan adegan di kamar mandi tadi, dimana matanya benar-benar mematahkan seluruh kewarasanku dan tiba-tiba saja sebersit kekecewaan hinggap di hatiku. Benarkah aku ingin dia menciumku?
Idiot. Sadarkah kau kalau kalian berciuman, pekerjaanmu  hanya tinggal kenangan?!
Itu benar. Tapi pikiran bahwa pria itu ingin menciumku seolah menggelitik rasa haus yang selalu kutekan dalam-dalam. Maksudku, aku sedang membicarakan Lee Donghae, yang tidak hanya memiliki reputasi sebagai Casanova kelas satu, tetapi juga seorang pemilih yang hanya mau menggandeng wanita cantik. Jadi… kenapa ia harus ingin menciumku tadi? Dan pada titik ini aku harus menampar pipiku sendiri agar aku bisa berhenti bersikap kelewat percaya diri. Mana mungkin Donghae ingin menciumku. Dia pasti hanya mencoba membuatku menyerah.
Dan lagi.. Donghae tidak mengatakan apapun—bahkan juga tidak bertatap muka denganku—setelah dia memberiku sebuah perintah sinting; “Jangan tersenyum pada orang lain.” Well, aku sudah menghabiskan dua puluh menit terakhir untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang paling mendekati mengenai alasan dibalik perintahnya itu, tapi tetap saja, aku tak bisa menduga apapun untuk saat ini. Kupikir aku akan bertanya pada Chad besok, melihat dia sudah cukup lama bekerja pada Donghae—yang berarti ia lebih mengenal pria itu dibanding aku.
Aku menggeliat di atas kasurku yang nyaman dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku. Ruangan ini nyaris tidak bisa disebut sebagai kamar. Praktisnya, ini adalah rumahku. Sebuah ruangan yang mencakup kamar tidur, dapur mini bahkan ruang tamu. Kamar mandiku berupa bilik satu kali dua meter yang hanya mampu memuat shower dan toilet. Tanpa bathub. Westafel berada di luar—terletak persis di sebelah pintu kamar mandi dengan pipa karatan yang langsung akan membanjiri lantai kamar ku kalau aku berani memutar kerannya lebih dari tiga detik. Biar begitu, ini adalah ruangan favoritku di Los Angeles.
Dulunya aku tinggal di sebuah apartemen keren dengan dua kamar di 918 S Oxford Ave, Koreatown, bersama Janne dan Kim Hanna. Tetapi sejak Hanna memutuskan untuk kembali ke negaranya dan Janne akhirnya menikah dengan Aaron, aku terpaksa mencari sebuah flat kecil di tengah kota. Kumohon, jangan bayangkan flat yang kutinggali sekarang mendekati kata ‘mewah’ atau ‘keren’. Karena, serius nih, tempat ini sama sekali enggak oke. Meskipun lokasinya benar-benar dekat dengan perkotaan, tapi aku masih tidak tahu kenapa pemerintah kota belum juga merubuhkan bangunan tua ini.
Sepanjang yang kudengar, Flat ini kepunyaan seorang jutawan tua yang tidak ingin menghilangkan sisi historis dari Los Angeles. Meskipun menurut sebagian orang bangunan tua ini malah memperburuk pemandangan kota, tapi tetap saja ada ratusan orang yang mengantri untuk bisa mendapatkan sebuah kamar di sini. Seluruhnya ada sekitar lima puluh kamar dengan model serupa dengan kamarku. Total enam lantai dan kamarku sendiri terletak di lantai dua. Sejauh ini sudah ada tiga belas orang yang bersedia membayar deposit dan uang sewa bulanan dua kali lipat demi mendapatkan hak untuk menempati salah satu kamar.
Aku bahkan harus tinggal di rumah teman kampusku, Monica, selama tiga hari sebelum bisa menempati ruangan menyedihkan ini. Dan aku juga harus berterima kasih pada Sam, pacar Monica, yang rela memberikanku kamar flat yang akan ia tempati padaku—karena ia memutuskan untuk tinggal bersama Monica. Tak ada yang tahu aku tinggal di sini—kecuali Monica dan Sam—karena posisiku sudah cukup mengenaskan sebagai penerima tunjangan pemerintah. Tapi tak ada yang bisa kulakukan dengan persediaan tabunganku yang kian menipis. Flat ini adalah satu-satunya tempatku berlindung dari segala macam hal yang ada di luar sana. Meskipun aku bisa melihat retakan-retakan kecil pada dinding-dindingnya, dan terkadang aku harus menelpon tukang pipa seminggu dua kali untuk membetulkan saluran airnya, tapi tetap saja aku mencintai tempat ini.
Aku mengidap semacam agoraphobia; kebalikan dari klaustrofobia, meskipun aku belum pernah mendapatkan vonis pasti dari seorang psikolog. Tapi itu benar, aku selalu mendapatkan kesulitan untuk berada di tempat yang ramai dan terbuka. Aku benci berbaur—dan itu sebabnya aku juga mengidap kainofobia; fobia terhadap sesuatu yang baru. Jadi selama eksistensiku di Los Angeles, aku tak memiliki banyak teman dekat, hanya teman formal yang langsung kulupakan namanya dalam dua detik perkenalan kami. Dan mendapatkan kamar ini sebagai tempat tinggalku, bisa kubilang ini adalah berkah tersendiri.
Biar kujelaskan sedikit keadaan kamarku. Begitu aku membuka pintu kamar, aku akan menemukan tempat tidur kecil dengan sprei berwarna biru pucat di sebelah kiri, bersebelahan langsung dengan lemari dan pintu kaca geser tua yang akan membuatku terjun bebas ke jalanan jika aku membukanya—please, bangunan ini enggak punya balkon. Ada kamar mandi di seberang tempat tidurku, dengan pintunya yang menggantung pada sebuah engsel dan kuncinya sudah macet total. Yang terakhir, di sebelah kamar mandi dan westafel, aku membuat pojok ruangan sebagai dapur. Bukan benar-benar dapur, Cuma ada kompor dan rak piring kecil. Dan, oh, di tengah ruangan—sebuah petak kecil yang tersisa—aku meletakkan meja bulat kecil dengan karpet cokelat motif kotak-kotak pemberian Hanna sebagai alas duduk. Meja itu berguna banyak di kamar ini; sebagai meja makan jika tiba waktu makan, untuk alas laptopku jika aku ingin mengetik, dan terakhir, sebagai alas untuk menyetrika. Hebat, bukan? Karena itu aku menyukai tempat ini. Praktis. Sederhana. Benar-benar seperti aku.
Dan kalau aku membicarakan tempat tinggal, aku juga harus mengenalkan para tetanggaku. Well, pada dasarnya orang Los Angeles punya semacam peraturan tak tertulis yang lebih suka jika urusan mereka tak kau ganggu. Mereka selalu sibuk dengan kehidupan mereka sendiri dan terkadang melupakan silaturahmi antar tetangga. Bagiku sih, enggak masalah. Aku malah lumayan menyukai lingkungan seperti itu. Tapi, karena bangunan ini dipenuhi berbagai macam etnis, maka selalu saja ada orang-orang yang ingin merusak peraturan itu. Contohnya, penyewa di kamar sebelah kiriku. Ada Bibi Major yang baik hati. Ia seorang wanita tua berusia lanjut yang tinggal sendirian ketika suaminya meninggal empat tahun lalu. Bibi Major memiliki sifat periang dan senang memasak, sehingga dia selalu saja memberikanku salah satu hasil eksperimen dapurnya setiap kali melihat bayanganku dimanapun, kapanpun. Kebanyakan hasil masakannya adalah kue-kue panggang atau biskuit-biskuit cokelat dengan potongan buah kismis dan blueberry, walau terkadang ia juga memberiku sup-sup atau steik dingin. Aku mengira ia kesepian, jadi terkadang aku menemaninya mengobrol. Tapi, belakangan aku mengetahui bahwa Bibi Major ternyata ingin menjodohkanku dengan cucu lelakinya yang keturunan Israel, Benjamin. Dan sejak saat itu aku berupaya menolak makanannya.
Tetangga di sebelah kananku adalah seorang pria tampan yang ramah, David Roowie. Ia sering menyapaku jika kami berpapasan dan terkadang membantuku membetulkan saluran pipa di kamar mandi kalau tukang pipa langgananku tak bisa datang. Aku tak tahu David bekerja di mana, tetapi aku selalu memergokinya membawa pria—yang sama tampannya dengan dirinya—setiap malam. Dan sebuah kesimpulan darurat langsung mampir di kepalaku; David adalah bukti nyata dari komunitas Gay. Aku mencoba bersikap suportif, tapi terkadang rasanya menjengkelkan karena aku bisa mendengar teriakan, bahkan desahan erotis di malam-malam tertentu dari kamar David. Dan selebihnya, tak ada yang bisa kuberitahukan kecuali nama beberapa pemilik kamar di seberang kamarku; Susan, Yi Xian, Paul dan Donna, dan Frederick.
 Pandanganku beralih pada sebuah jam dinding bundar dengan tepinya berwarna kelabu, dan benda itu memberitahuku bahwa sekarang sudah pukul setengah Sembilan malam. Jadi, dengan separuh hati, aku berjalan menuju lemariku lalu menanggalkan pakaianku satu persatu. Perutku sama sekali tidak lapar, tapi aku butuh mandi. Seharian menghadapi begitu banyak kejadian aneh membuatku lelah secara fisik dan batin. Aku kepingin tidur, bergelung dalam kasurku yang hangat sampai besok pagi. Tapi tumpukan berkas yang harus kuperiksa mencapai lima belas sentimeter dan itu artinya jam tidurku harus berkurang.
Aku hanya memerlukan waktu sekitar sepuluh menit untuk berdiri di bawah pancuran air dingin dan membiarkan semangatku mengalir kembali. Kubuka pai apel pemberian bibi Major pagi tadi dan menggigitnya besar-besar, berharap rasa kenyangnya akan mampu bertahan hingga esok, jadi aku tak perlu pusing karena harus melewatkan sarapan pagi. Lagi.

***


 Keesokan harinya, aku terbangun setelah berusaha mengabaikan rasa dingin di sekujur tubuhku. Suhu Los Angeles sebenarnya cukup hangat; 23 derajat celcius, dan matahari bersinar lebih cepat daripada biasanya. Tapi bagiku yang terlahir dengan suhu tak kurang dari 33 derajat, tetap saja musim panas Los Angeles lebih menyerupai musim dingin bagiku.
Aku mengenakan atasan turtle-neck warna peach dengan renda-renda kecil di sepanjang lingkar lengan dan bawahan celana satin berwarna pink lembut. Semuanya pemberian Donghae, tentu saja. Tapi entah kenapa Bibi Major terlihat tidak menyukai pakaian-pakaian baruku. Ia malah memberikan tatapan mencela ketika kami berpapasan di tangga dan mengacuhkan sapaanku.
Kuputuskan untuk tak menggubris sikap bermusuhan Bibi Major dan langsung menuju kantor secepat mungkin. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan sesampainya di sana, tetapi bayangan wajah Donghae yang memerintahkanku untuk tak tersenyum pada siapapun membuatku bergerak lebih cepat. Sejujurnya aku sedikit berharap ia akan menjelaskan maksudnya padaku—walau nyaris mustahil.
Tapi setelah tiba dengan setumpuk berkas laporan yang telah kusiapkan semalaman, Donghae ternyata tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia hanya melirik sekilas dan kembali menyesap kopinya yang masih hangat. Aku berdiri mematung di depan mejanya dan menunggu instruksi untuk hari ini. Tetapi setelah hampir setengah jam, Donghae bersikap seolah aku tidak ada di sana. Dan itu membuatku jengah.
“Sir? Bisakah aku kembali ke mejaku?” tanyaku hati-hati. Ekspresi Donghae mungkin tak bisa dibaca, tapi itu tidak berarti mood-nya sedang bagus.
“Tentu, Miss Cardia.” Jawabnya setelah beberapa saat. Masih menolak memandangku.
Aku menutup pintu ruangan Donghae dengan perlahan lalu duduk di kursiku. Jadwal Donghae hari ini nyaris kosong, sebab ia baru akan memulai rapat pada pukul dua siang nanti. Sebenarnya sedikit aneh karena ia hampir tak pernah punya jadwal kosong. Yah, setidaknya seperti itulah menurut catatan sekretaris Donghae sebelumnya.
Tapi kemudian lift di seberang mejaku berdenting, pintunya membuka otomatis dan aku tidak bisa memerintahkan wajahku untuk tidak melotot begitu melihatnya.
Wanita itu mengenakan mesh dress merah selutut yang menarik perhatian. Jaring-jaringnya menyisakan begitu banyak pemandangan kulit putih mulus seksi tanpa cela. Rambutnya pirang sempurna, jatuh melewati pundaknya dan tergerai indah. Ia mengenakan kacamata hitam Gucci dan mengamit sebuah clutch bag hitam yang terlihat glamor. Langkahnya bagai supermodel yang melenggang di atas panggung, penuh percaya diri dan angkuh.
Ya Tuhan.
Kalau ada wanita yang paling terakhir ingin kutemui di dunia ini, itu adalah dia, Claudia Thompson. Seniorku di Universitas selama hampir empat tahun yang berperan besar membuat masa-masa kuliahku menjadi begitu suram.  Aku benar-benar tak mengerti kenapa Ratu Drama Kampus kami malah repot-repot mau menganggu hidupku. Karena, serius nih, Claudia itu seorang Nona Besar yang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan sebab hidupnya penuh dengan keberuntungan; harta berlimpah dan kecantikan. Oke deh, kalau ada yang kurang darinya itu adalah pikirannya yang dangkal. Contohnya saat ini.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya berupa desisan ketika melihatku berdiri mematung. Claudia membuka kacamatanya dan melototiku garang. Ia tetap cantik, tapi aku juga tetap membencinya.
“Menurutmu apakah aku sedang jogging? Kau tidak bisa menebaknya?” jawabku tak kalah sinis. Claudia bersedekap dan ekspresinya tak senang. Matanya menyipit tetapi setelahnya ia tersenyum ganjil.
“O-oh. Jangan bilang kau membutuhkan uang. Kenapa? Kau tak merasa cukup dengan tunjangan yang di berikan pemerintah kami padamu?”
Perkataannya membuatku mendidih karena emosi, tapi seperti yang selalu kulakukan saat kami beradu argumen, aku memutuskan untuk memberikannya kalimat balasan mematikan. “Yeah, kau benar, aku membutuhkan uang. Dan untungnya aku masih bisa menemukan pekerjaan. Tapi, aku prihatin padamu, Claudia. Biarpun kau menghabiskan seluruh hartamu, kau pasti tak akan bisa mengganti otakmu.”
Bibir Claudia mengatup geram dan matanya menatapku berang. “Kau—Dasar gadis Asia miskin tolol—”
Claudia tak pernah punya kesempatan untuk menyelesaikan makiannya karena detik itu pintu ruangan Donghae menjeblak terbuka dan wajah malaikat yang rupawan itu memandangi kami. Bukan, ia memandangku.
“Ada apa, Miss Cardia?” tuntutnya dengan wajah dingin. Aku mencelos dalam hati. Kenapa aku bahkan bisa lupa kalau aku sedang berada di kantor? Kemunculan Claudia yang begitu tiba-tiba membuatku gelap mata. Tapi belum lagi aku bisa menjawab, Claudia telah mendahuluiku.
“Dia sekretarismu? Oh, Donghae sayang, kenapa semakin lama seleramu semakin buruk? Bagaimana mungkin kau punya sekretaris yang tak memiliki sopan santun?” suara Claudia yang melengking manja terdengar begitu memuakkan, hingga aku harus menggigit lidahku keras-keras sebelum aku kelepasan dan menyumpalnya dengan sepatu.
Donghae tidak menjawab pertanyaan Claudia. Alih-alih, ia hanya memandangku skeptis, dan setelah beberapa saat, ia berpaling pada Claudia, yang tengah menatapnya penuh pemujaan. “Masuklah.” Ujarnya dingin.
Claudia tidak menuruti perintahnya, ia malah menarik tangan Donghae dan melemparkan senyuman menggoda sebelum memeluk pria itu erat. Meski tidak membalas pelukannya, tetapi Donghae diam saja. Wajahnya masih terlihat datar dan sama sekali tak menunjukkan perubahan. Claudia berbisik manja dalam pelukannya, membuatku ingin muntah saja.
“Kau tahu aku merindukanmu,” bisik Claudia lirih, sementara tangannya menggerayangi punggung Donghae. Aku tahu wanita sialan itu berusaha untuk pamer padaku karena ia melirikku dengan ekspresi penuh kemenangan dan bibirnya melengkung ke atas.
Kupikir Donghae juga akan mengatakan hal yang sama—atau setidaknya bersikap manis seperti biasa, tetapi ia malah menyahut dengan nada menakutkan. “Aku mendengar bagian ‘Asia miskin tolol’ itu, Claudia Thompson.”
Bukan cuma Claudia, bahkan aku juga ikut mematung tak percaya ketika mendengarnya. Donghae memasang wajah besinya dan kulihat Claudia menggigil ketakutan. “Kau tahu itu bukan untukmu, Donghae sayang. Itu—Itu untuk gadis ini! Kau tidak—”
“Lain kali hati-hati dengan perkataanmu, Claudia. Kau tahu kalau aku juga keturunan Asia. Atau kau memang mencari orang Asia miskin tolol untuk bercinta denganmu?”
Tubuh Claudia menciut menjadi seukuran atom. Keringatnya menetes, matanya membelalak ketakutan dan ia menggenggam clutch bag-nya erat-erat. “Maafkan aku—” lengkingnya putus asa. Aku tak pernah melihat Claudia ketakutan seperti ini. Biasanya ia bakal memasang wajah angkuh dan sombongnya. Tak peduli ketika polisi menggeretnya ke sel tahanan karena kedapatan membawa morfin.
Kemudian, dengan tanpa aba-aba, pandangan Donghae beralih padaku. Matanya seolah menyelami pikiranku meskipun wajahnya tetap datar. “Dan Miss Cardia, aku tak mau di ganggu sampai aku memberimu perintah. Kau paham?”
Dengan satu anggukanku, Donghae berpaling dan tubuhnya menghilang di balik pintu diikuti Claudia yang masih pucat pasi. Wanita itu bahkan tidak melihatku untuk terakhir kali atau memberiku tatapan sinisnya. Ia menggigit bibir dan wajahnya seperti hendak muntah. Claudia bakal dapat masalah. Dan tentu, aku juga.

***


Kira-kira pukul satu lebih tiga puluh menit, Claudia keluar dari ruangan Donghae dengan wajah berseri-seri. Ia tidak berusaha menutupi senyuman berpuas dirinya dan malah menunjukkannya padaku terang-terangan. Aku menahan diri untuk memutar bola mataku atau meringgis atau memberikan reaksi apapun padanya dan wanita itu memutuskan untuk merusak semuanya.
“Nikmati pekerjaanmu, gadis penerima tunjangan pemerintah. Jangan bermimpi Donghae bakal menyukaimu.” Cibirnya sengaja lalu melenggang pergi sebelum aku sempat memberikan pelototan padanya.
Ketika siluet Claudia menghilang tertutup pintu lift, telepon berdering. Suara Donghae masih sama dinginnya seperti kali terakhir ia berbicara padaku. “Masuk.” Perintahnya lewat sambungan telepon dan memutus panggilannya sebelum aku sempat menjawab.
Kudapati Donghae tengah duduk di kursi kerjanya dengan kaki terlipat. Ia memejamkan mata dan lagi-lagi pikiranku langsung melayang kagum. Betapa kesempurnaan melekat sedemikian rupa padanya, menjadikan wajahnya yang terdiam itu terlihat berjuta kali lebih tampan. Aku tak berani menatapnya lama-lama, karena sepertinya Donghae tahu kapan aku mulai terpesona padanya. Tapi tetap saja, dua kancing kemeja yang terbuka, rambut acak-acakan dan tarikan napasnya yang tenangnya mengganggu kewarasanku. Aku berani bertaruh bahwa berada dalam dekapan pria itu selama berjam-jam bisa membuat Claudia sekalipun kehilangan sifat arogannya.
“Duduk, Miss Cardia.” Ujarnya memerintah. Kuhempaskan tubuhku ragu-ragu ke atas kursi berlengan yang terletak persis di depan mejanya. Lalu ketika perlahan mata Donghae membuka, denyut jantungku mendadak kacau. Aku tak siap—tak akan pernah siap—jika melihatnya memandangku dengan tatapan selembut itu. Ada sesuatu pada tatapannya yang membuatku bisa saja luluh dan bersimpuh di kakinya agar pria itu mengijinkanku untuk memujanya. Tapi bertentangan dengan tatapannya yang melemahkan keyakinanku, suara Donghae masih berujar dingin.
“Aku tidak ingin mendapati kau bersikap seperti itu pada siapapun, Miss Cardia. Sekretarisku harus memiliki etika. Kau bisa menebak kalau Claudia adalah salah satu relasiku dan hal terakhir yang kuinginkan adalah mendengar kau bersitegang dengannya.”
Perkataan Donghae menghujam persis ke ulu hatiku, membuatku seakan tertampar oleh tegurannya. Aku menunduk menatap jari-jariku yang kini telah mengepal, sementara Donghae melanjutkan kata-katanya. “Aku tidak peduli jika kau mengenal tamuku, atau bahkan membencinya. Aku hanya menginginkan keprofesionalitas-an dalam setiap gerak-gerikmu karena kau adalah tangan kananku. Aku tidak ingin citra perusahaanku rusak hanya gara-gara kau berkata yang tidak pantas pada salah satu tamuku. Kau mengerti?”
Jangan menangis, Youva. Jangan menangis. Ulangku dalam hati.
Aku menggigit bibir keras-keras agar airmataku tidak tumpah. Bukan kemarahan Donghae yang membuatku terluka, aku hanya tidak tahan jika ia memarahiku gara-gara Ratu Drama sialan itu. Kuberi ia satu anggukan paham alih-alih jawaban, tapi tampaknya Donghae belum merasa puas.
“Ada yang ingin kau katakan, Miss Cardia? Kau boleh membela diri kalau mau.” Nada suara Donghae melunak dan aku mengangkat kepalaku menatapnya. Ia balas menatapku sungguh-sungguh, membuatku merasa semakin tersiksa.
“Ti—tidak, Sir. Maaf karena telah membuat anda merasa tidak senang dengan sikapku. Aku akan berusaha untuk menjadi sekretaris yang baik untuk anda.” Aku tahu suaraku bergetar ketika mengucapkannya, tapi sepertinya Donghae juga mendengarnya karena ia bungkam sejenak sebelum bertanya.
“Kenapa kau membencinya?”
Emosiku yang meluap langsung kabur entah kemana. Pertanyaan itu tidak pernah kubayangkan akan terlontar dalam pembicaraan kami saat ini. Karena aku yakin Donghae tidak bakal tertarik mendengar apapun dariku. Tapi lagi-lagi dugaanku salah.
“Aku membencinya karena dia membenciku, Sir.” Jawabku setelah berhasil memilih kata-kata yang tepat. Donghae menaikkan alisnya tinggi, memberi sinyal kalau ia merasa penasaran dengan alasanku. “Aku pindah ke Los Angeles kira-kira lima tahun lalu dan masuk di Universitas yang sama dengan Miss Thompson. Dia seniorku, dan aku sama sekali tak punya masalah apapun dengannya sampai ketika ia memojokkanku di kantin di depan ratusan orang. Saat itu dia menyebutku ‘Gadis Asia miskin penerima tunjangan dari Pemerintah Amerika’ dan selalu memberiku kata-kata menyakitkan saat kami berpapasan.”
“Kau tahu kenapa dia mengataimu seperti itu?” tanya Donghae. Kulihat kilatan antisipasi berkelebat di bola matanya.
Aku mengangkat bahu dan menjawab tak nyaman. “Aku tak begitu yakin karena tidak mendengar langsung darinya. Tapi beberapa orang mengatakan padaku kalau dia cemburu karena Sean—pacarnya—mengajakku berkencan.”
“Dan kau berkencan dengannya?”
“Tidak, Sir. Aku tidak mau.” Jawabku cepat.
“Kenapa?” Wajah Donghae maju satu senti, menanti alasanku dengan tak sabaran.
“Karena.. Yah, dia—tubuhnya bau bawang.” Ujarku memutar bola mata. Donghae meledak dalam tawa dan terkekeh lama sekali sebelum akhirnya ia bangkit dan berdiri di samping kursiku. Tangannya berpindah ke dalam saku dan ia menatapku setengah geli.
Look. Tell me, Miss Cardia.What about me? Do I smell good? Or no?
Aku menatapnya bingung dan wajahku perlahan memanas ketika Donghae mendekatkan tubuhnya menjadi persis di hadapanku. Ia bahkan membungkuk sedikit, membuat wajah kami berhadapan dalam jarak yang amat dekat. Dan aku harus menahan diri untuk terlihat konyol sebab jantungku bisa meledak karena malu. “Anda—Baunya enak.” Ujarku lepas kendali. Aku tak berani menatap langsung ke manik mata Donghae yang begitu dekat. Jadi, ketika aku mendengar ia mendengus, aku cukup yakin pria itu sedang menahan tawanya karena jawaban tololku.
“Aku tahu itu.” Godanya. Napasnya berhembus masuk ke dalam paru-paruku dan indraku langsung menangkap aroma kopi bercampur mint. Pria itu jelas-jelas bisa merontokkan tekadku kalau ia tidak berhenti menggodaku seperti ini. “Kalau begitu tidak ada yang salah dengan hidungmu.” Imbuhnya lagi dan menarik wajahnya tepat ketika aku mulai putus asa.
“Tapi tetap saja, Miss Cardia—” suaranya telah kembali datar dan perutku mengejang. “—Claudia adalah salah satu rekan bisnisku, klienku yang berharga. Dan aku tidak mau kau merusaknya karena alasan pribadi. Aku harus membujuknya lama sekali sebelum dia setuju dengan perjanjian baruku. Jadi, yakinkan aku kalau kau bisa menjaga tingkah lakumu di kesempatan berikutnya.”
“Ya, Sir. Aku berjanji.” Ucapku menahan diri dari bayangan wajah Claudia yang menyebalkan.
Donghae duduk kembali ke kursinya lalu menanggalkan jasnya dengan satu gerakan cepat. Ia mengecek arlojinya sebelum memberiku perintah. “Kau bisa keluar dan jadwal ulang rapat satu jam kedepan. Aku harus mandi.”
Kukerahkan tenagaku untuk keluar dari ruangan Donghae dan mengenyahkan ingatan akan tubuh Donghae yang tertutup busa.
Astaga Youva, berhentilah berpikiran mesum!
“Dan ngomong-ngomong,” ujar Donghae ketika aku akan menutup pintu. “Baumu juga enak, Youva.”
Aku berdiri mematung dengan sebelah tangan memegang pegangan pintu. Bisa kurasakan isi perutku seakan di penuhi ratusan kupu-kupu yang melesat naik memenuhi rongga dadaku. Aku berdeham satu kali dan mengangguk sopan. Tanganku sedikit gemetar ketika menutup pintu di belakangku. Dan aku harus menggigit bibir sebelum kelepasan berteriak senang.
Oke, aku tahu ia sedang menggodaku lagi. Tapi tetap saja rasanya menyenangkan saat ia mengatakan bauku juga enak. Entahlah, aku masih tidak tahu harus menanggapinya sebagai pujian atau tidak. Yang jelas, Lee Donghae baru saja membuatku nyaris melayang ke angkasa. Bauku enak? Itu pertanda positif.




Donghae memperbaiki dasi yang masih menggantung aneh di lehernya. Ia mengenakan pakaian baru—meski kemejanya masih berwarna putih—dan tidak menutup kemejanya dengan jas. Donghae berderap di depanku dengan langkah percaya diri yang tak bisa di kalahkan dan ia berkacak pinggang ketika kami berada di dalam lift.
Dari balik pantulan dinding lift, aku melihat wajah Donghae tampak lebih segar. Sepertinya air sabun yang hangat telah membuatnya lebih energik siang ini. Pria itu menaikkan tangan untuk mengecek arlojinya yang super mewah—sebuah jam tangan Bvlgari limited edition yang hanya di produksi satu buah di dunia ini; dan aku yakin Donghae sendiri yang turun tangan untuk membuatnya seperti itu.
Pintu lift berdenting terbuka dan kami menyusuri hall gedung PHOENIX yang padat. Sebagian orang baru kembali dari jam makan siang mereka dan sebagian lagi tampaknya memiliki kesibukan hingga berlalu-lalang di penjuru ruangan. Semua yang melihat Donghae langsung mengangguk dan menunduk hormat padanya, sementara pria itu berjalan tanpa memperhatikan satupun dari mereka. Terlalu penting untuk membalas setiap rasa hormat para pegawainya.
Rapat Dewan Direksi berlangsung dalam sebuah ruangan khusus yang megah. Masing-masing Direksi membawa sekretaris pribadi yang siap sedia dan ada sekitar lima orang notulen di ujung ruangan. Donghae menyapa beberapa orang Direksi dan bercakap-cakap sebentar. Di tengah para pria tua itu pun, Donghae masih memiliki aura pemimpin melebihi siapapun. Termasuk Glimmer.
“Kesibukan apa yang harus kau selesaikan hingga rapat di tunda satu jam?” suara Glimmer memecah keributan dan beberapa orang berdeham tak nyaman. Aku mulai menyadari bahwa dua orang itu—Donghae dan Glimmer—selalu berusaha menjatuhkan satu sama lain.
Donghae menyunggingkan senyumnya yang sempurna, membuat para sekretaris wanita menahan napas dan menatapinya dengan lapar. “Percayalah, Glimmer, bahkan kesibukanku tak akan sebanding denganmu—Oh, tidak kalau menggosip termasuk salah satu kesibukan. Kau tidak bakal punya lawan dalam hal itu.” Balas Donghae sengit dan orang-orang mulai berbisik-bisik.
Glimmer maju dan mengulurkan tangannya—berusaha terlihat profesional—dan Donghae menyambutnya. Genggaman mereka terlihat seperti dipaksakan. Siapapun bisa melihat itu.
“Mulai bersikap sinis, eh?”
Bosku memberi kalimat balasan yang cukup keras. “Itu keahlianmu, Glimmer. Bukan aku.” Jawabnya percaya diri dan mata Glimmer menyipit. Cuping hidung pria tua itu mengembang karena emosi tetapi ia menahan amarahnya. Glimmer hanya menyeringai dengan wajah merah padam saat Donghae memberinya ultimatum keras. “Aku mengharapkan sikap kooperatif-mu, Glimmer. Kau tahu kau belum memenangkan apapun. Jadi, tahanlah lidah kecilmu di dalam sana sebelum terjadi kekacauan yang tak diinginkan.”
Ruangan terasa mencekam dengan keheningan yang begitu mencolok. Tak ada yang berani menarik napas atau bahkan memicingkan mata sekalipun. Atmosfir permusuhan terpancar begitu kuat di tengah ruangan, membuat siapapun menjadi gelisah.
Alih-alih menjawab, Glimmer berdeham tak nyaman dengan telinganya merah terang. Ia mencibir sebelum akhirnya kembali ke kursinya. Beberapa orang mengikuti perbuatan Glimmer yang memilih bungkam di atas kursi empuknya sementara bosku menyunggingkan senyum miring—terlihat puas dengan efek perkataannya barusan.
“Duduklah di sampingku, Miss Cardia.” Ujarnya semringah. Aku mengikuti instruksinya dan langsung mengambil tempat persis di sebelah Donghae. Para sekretaris Direksi lain memandangku penuh rasa cemburu dan aku menyadari beberapa malah mengepalkan tangannya saat melihatku. Tapi tak ada waktu untuk memikirkan apapun karena dalam beberapa detik, lampu ruangan padam dan cahaya lampu di gantikan oleh sebuah LCD berukuran super besar yang terletak di ujung ruangan yang berpenerangan sedikit lebih terang.
Presentasi dimulai dan aku berusaha memusatkan pikiranku pada layar tetapi susah sekali karena Donghae terus menguap malas. Ia melambaikan tangannya ketika terlalu bosan mendengar penjelasan tentang laporan kondisi perusahaan yang semakin membaik dan menyuruh mereka mengganti slide-nya. Sejauh ini tak ada satupun yang berani membantah Donghae, semuanya memandang pria itu dengan gugup. Seakan menanti kapan pria tampan di sebelahku akan mengamuk. Dan kira-kira dua puluh menit kemudian, layar menghitam dan lampu kembali di hidupkan.
“Relokasi setiap pabrik yang hanya mampu menghasilkan produksi di bawah 20% dan alih fungsikan sebagai lokasi resor yang baru. Mutasikan seluruh pekerja dalam setiap sektor perusahaan dan minimalkan kerugian. Sejauh ini pemasukan untuk perusahaan cukup bagus dan aku mau kerja sama dengan perusahaan properti lokal di perbarui dengan hati-hati. Aku mendapat laporan tentang kebocoran dana dan aku ingin masalah itu selesai dalam waktu tiga hari. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menginspeksi setiap meja kalian.”
Bila di bandingkan dengan sikapnya yang tak acuh, perkataan Donghae barusan benar-benar berbanding terbalik. Ia seperti sudah melafalkan setiap kata dalam kepalanya dan kata-katanya ia ucapkan tanpa cela.
Keheningan merambat begitu cepat, bagai badai yang langsung membuat wajah para Direksi—yang memiliki usia jauh lebih tua di banding Donghae—menjadi tegang. Mereka melirik satu sama lain dengan cemas. Hanya satu orang yang tidak. Tentu saja itu Glimmer.
“Kau menuduh kalau salah satu di antara kami yang menyebabkan kebocoran dana itu, eh?” tanyanya berusaha menyuarakan pikiran banyak orang.
Donghae berbalik ke arah Glimmer perlahan, dengan ekspersi sama sekali tak menyenangkan. “Kau punya ide lain siapa pelakunya, Old man?”
Glimmer tersenyum mengejek dan kelihatannya pria itu ingin memperkeruh suasana hati Donghae. “Bagaimana kalau dirimu ternyata yang melakukannya? Bukankah itu juga termasuk kemungkinan?”
Ruangan menjadi riuh karena bisik-bisik dari seluruh Dewan Direksi yang terlihat terpecah antara setuju dan tidak pada pernyataan Glimmer barusan. Donghae sendiri terlihat terpana akan tuduhan itu dan ia mengepalkan tangannya. “Jadi kau pikir aku sendiri yang membuat perusahaanku merugi? Ya ampun, bisakah otakmu berpikir lebih cerdas?”
“Aku hanya mengatakan kemungkinan, nak. Tak ada yang tak mungkin, ingat?”
Donghae nyaris menggeram saat berkata penuh penekanan. “Tutup mulut saja, Glimmer. Tutup mulut sebelum aku yang menutupnya.”
Dengan gerakan tiba-tiba, Donghae bangkit, menjulang tinggi di sampingku dan masih memandangi Glimmer penuh amarah. “Rapat dibubarkan. Siapapun yang merasa tidak setuju dengan kesimpulan akhir yang kuberikan bisa meninggalkan memo untukku. Atau berhadapan langsung.”
Dan tanpa mendengar jawaban apapun, ia melenggang keluar dengan secepat kilat. Aku sedikit kebingungan dengan situasi yang kuhadapi tetapi berusaha keras untuk mengikuti langkah Donghae yang berubah menjadi lebih cepat begitu kami keluar ruangan. Aku mengejar pria itu, tetapi ia nampaknya tak berhenti untuk menungguku. Donghae bahkan meninggalkanku dan masuk ke dalam lift sendirian.
Takut pria itu akan mendampratku karena gerakanku yang secepat kura-kura, aku menggunakan lift lain yang kosong dan begitu tiba di lantai teratas, kulihat Donghae baru saja memasuki ruangan kerjanya. Aku mendorong pintu itu hingga terbuka dan terpaku saat memergoki Donghae tengah menelan beberapa butir obat dengan napas terengah-engah. Ia mengerang setelah segelas air membasahi kerongkongannya. Aku sadar kalau kehadiranku tidak di ketahui Donghae, jadi aku mengetuk pintunya satu kali.
“Sir, anda.. tidak apa-apa?” tanyaku takut. Wajah Donghae terkesiap dan memandangku terkejut.
“Masuk dan tutup pintunya, Miss Cardia.” Perintah pria itu dan segera kulaksanakan. Ia menyuruhku mendekat tetapi berdekatan dengannya membuatku tak nyaman. Dan aku hanya mampu membiarkan diriku berdiri sejauh lima langkah darinya.
“Dengar, kau tidak boleh mengatakan apapun yang kau lihat barusan kepada siapapun. Kau mengerti?”
“Anda.. sakit?” tanyaku tak langsung mengiyakan perintahnya.
Donghae mengernyit mendengar pertanyaanku dan ia bersedekap. Butiran keringat yang mengering di dahinya mengganggu denyut jantungku. “Bukan penyakit serius. Tapi aku tetap tidak ingin kau mengatakannya pada siapapun. Terlalu beresiko seandainya ada yang mengetahui hal ini. Kau mengerti, Miss Cardia?”
Aku menelan ludah dan mengangguk. Bukan penyakit serius? Jadi kenapa ia sampai harus berlari seperti itu? Jantungnya yang bermasalah? Atau perutnya? Atau mungkin darah tinggi?
“Miss Cardia,” panggil Donghae, membangunkanku dari lamunan. “Bersiap dalam tiga menit. Kita akan keluar makan siang.”
Makan siang pukul setengah empat sore? Kalau begitu ada yang salah dengan pencernaannya.

***


Siapapun, tolong aku!
Tak pernah sekalipun aku berpikir kalau makan siangku bakal diwarnai kegugupan seperti ini. Maksudku, aku pikir Donghae bakal mengajakku makan siang dengan Marven atau paling tidak, dengan Chad. Tetapi ia malah mengajakku naik ke mobil pribadinya—Ferrari seri 599 Novitec Rosso 848 RACE yang membuatku langsung menganga takjub—dan membawaku ke sebuah restoran Italia terkenal. Belum lagi penampilannya yang membuatku harus mengigit bibir kelewat sering; kacamata hitam dengan rambut cokelat kusut yang tertiup angin, kemeja putih yang membungkus otot lengan dan dadanya—Donghae sengaja menggulung tangan kemejanya hingga ke siku—dan terakhir, senyumnya saat mempersilakanku duduk.
Aku benar-benar butuh bantuan—setidaknya oksigen tambahan kalau-kalau pria itu berniat menyabotase seluruh persediaan oksigenku. Oke, berlebihan.
“Kau tahu mood­-ku sedang tidak bagus, Miss Cardia. Rapatnya sangat menjengkelkan. Benar, kan?”
“Err.. sepertinya begitu, Sir.” Jawabku separuh cemas. Sekretaris yang baik harus selalu menyenangkan hati bosnya.
Donghae membuka kacamatanya dan memandangku lambat-lambat. Aku tahu ia sedang mengamati ekspresiku, jadi kujaga agar wajahku terlihat normal—walau amat sulit. “Kalau begitu hibur aku.” Ujarnya tiba-tiba dan membuatku membelalak bingung. “Aku tidak akan menyuruhmu menari erotis atau semacamnya, Miss Cardia. Aku hanya ingin mendengarmu berbicara. Walaupun kuasumsikan kau bisa melakukan lebih dari itu.”
Asumsinya membuatku gugup. Apa yang ia harapkan?
“Beritahu aku, Miss Cardia. Ini hari ketigamu bekerja denganku, benar?” Aku mengangguk dan Donghae meneruskan perkataannya. “Jadi, apa pendapatmu tentangku?”
Ini pertanyaan menjebak. Lebih berbahaya ribuan kali daripada saat Marven menanyaiku. Apa yang harus kukatakan? Bersikap jujur mengatakan betapa menyebalkannya ia? Well, bakal membuatku di pecat. Memberinya pujian berlebihan? Sama sekali bukan gayaku.
“Anda—err.. Anda cukup keras dan bisa sangat tegas. Tetapi, Sir, anda baik hati.” Aku berusaha mengucapkan kalimat terakhir setulus mungkin, karena aku memang merasa demikian.
Donghae menaikkan alisnya tinggi dan ia mengangkat bahu. “Sebenarnya, Miss Cardia, beberapa orang bertaruh di belakangmu—well, cukup banyak sebetulnya—bahwa kau akan di pecat dalam waktu lima hari. Bagaimana menurutmu?”
Aku terdiam. Otakku rasanya tak bisa menghubungkan apapun tetapi perlahan aku mulai mengerti kenapa orang-orang melakukan taruhan konyol itu. “Maksud anda.. Aku akan di pecat karena melanggar peraturan Anda?”
“Lebih spesifik lagi, kau akan kupecat karena jatuh cinta padaku.”
Pernyataan itu membuat lidahku bahkan kehilangan kekuatannya. Kurasakan tatapan Donghae mengikuti keterkejutanku. Ia menanti dengan sudut bibirnya bergetar menahan senyum. Pria ini benar-benar sedang mengujiku.
“Aku—aku harap aku bisa terus bekerja dengan Anda, Sir. Lima hari tidak cukup bagiku.” Kilahku diplomatis.
Donghae menaikkan sebelah alisnya, tampaknya ia tidak mengharapkan jawaban seperti itu. “Jadi, kau berpendapat bahwa aku tak cukup menarik untuk membuatmu jatuh cinta padaku?”
Kali ini aku terdiam lebih lama. Apa yang sebenarnya diinginkan Donghae?
“Bukan itu maksudku, Sir. Anda cukup menarik—sangat menarik. Tapi aku tidak ingin hanya bekerja selama lima hari. Kuharap Anda tidak salah mengartikan jawabanku.”
Pelayan menyajikan makanan di atas meja dan kusadari selera makanku telah minggat entah kemana. Donghae tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pelayan wanita yang tak bisa berhenti mengedipkan matanya dengan genit dari tadi. Sepertinya ada yang butuh obat tetes mata ekstra.
Donghae berdeham dan menghirup wine yang di sajikan pramusaji. Matanya menyipit memandangku dengan senyum separuh yang sengaja ia ukir di sudut bibirnya. Aku menatap gelisah ke piringku dan menunggu vonis mati darinya. Apakah pria itu memang sedang berusaha membuatku di pecat?
“Kalau begitu, apakah bisa ku asumsikan bahwa kau mungkin saja bisa jatuh cinta padaku tetapi kau akan berusaha menyembunyikannya?”
Aku menggigit bibir dan memandangi garpu, berharap peralatan perak itu bisa memberitahuku jawaban apa yang harus kuberikan pada Donghae. Aku tahu otakku sudah kelewat sinting untuk mengharapkan hal seperti itu, tapi karena Donghae terus menatapku penuh antisipasi, akhirnya aku menyerah dan menjawab asumsinya yang kelewat brilian.
“Kira-kira seperti itu, Sir.” Desahku dan menunduk lebih dalam.
Dari pantulan sendok yang masih tergeletak di atas meja, kulihat Donghae tersenyum penuh arti sembari menghujamku dengan tatapan penuh makna.
“Sir?” panggilku setelah menarik napas panjang. Aku tak bisa terus-terusan merasa penasaran, jadi kuputuskan untuk bertanya langsung padanya. “Bolehkah aku tahu kenapa anda memilihku?”
Ganti Donghae yang terdiam, wajahnya menimbang—dan masih terlihat tampan—tetapi beberapa menit kemudian, ia menjawabku. “Kau memiliki potensi besar, Miss Cardia.”
“Potensi? Maksud anda, sebagai sekretaris pribadi?”
“Maksudku, dalam hal yang lebih besar. Dan itu bagus untuk bisnisku.” Tandasnya membingungkan. Donghae tak mengacuhkan kerutan di dahiku dan malah menyantap makanannya. “Sekarang giliranmu, kenapa kau ingin bekerja padaku?”
Oke, cukup adil kalau Donghae berhak mengetahui alasan utamaku. Toh pria itu sudah bersedia menjawab pertanyaanku—meskipun aku tak bisa mengerti apa maksudnya. “Aku.. membutuhkan uang, Sir. Keluargaku memiliki hutang.” Jawabku pelan.
Donghae meletakkan sendok dan garpunya lalu menyeka bibir dengan serbet. Ia menatapku lumayan lama. “Ceritakan padaku.” Perintahnya lagi.
“Dua bulan yang lalu, Ibuku mengirim kabar kalau seluruh aset kami akan di sita karena tidak bisa membayar hutang. Keluargaku di Indonesia mengelola sebuah panti asuhan yang menampung sekitar seratus orang anak dan Ibuku yang bertugas untuk mencari biaya setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan setiap orang. Awalnya semuanya baik-baik saja, sebab Ibuku dan yang lainnya menjual kue-kue kering untuk menutupi pengeluaran. Tapi semakin lama kebutuhan semakin banyak dan harga barang semakin mahal. Sepertinya Ibu mencari pinjaman, tetapi terjadi kesalahan dan tiba-tiba saja Ibuku mendapatkan tagihan atas hutang yang begitu banyak. Pihak penagih mengatakan akan mengusir Ibuku dan semua saudara-saudara yatimku jika tidak bisa membayar seluruh hutang dalam waktu enam bulan.”
Ekspresi Donghae sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan dan ia menghela napas. “Karena itu kemudian kau berpikir untuk bekerja padaku?” ujarnya terluka. Aku tak mengerti kenapa pria itu harus kecewa. Tadinya aku berharap kalau Donghae setidaknya bersimpati sedikit.
“Anda benar, Sir. Maafkan aku karena tidak berkata sebenarnya padamu. Tapi alasan yang kuberikan padamu saat itu bukanlah satu kebohongan. Aku memang ingin bekerja sebagai penerjemah jika usiaku sudah cukup tua.”
Donghae memandangku skeptis, tapi kemudian ia tersenyum. “Sejujurnya, Youva, aku terbiasa mendengar kalau semua wanita berebut mendekatiku karena mereka memujaku. Dan mendengar alasanmu barusan membuatku sedikit tak percaya, benarkah kau bahkan tidak mempertimbangkan bekerja denganku karena ketampananku?”
Aku terperangah. Mulutku membuka seperti orang bodoh dan cepat-cepat kututup sebelum Donghae merasa tersinggung. Tapi, tunggu dulu, kenapa bosku ini bisa sangat overconfident dan mengatakan kalau aku harus bekerja dengannya karena aku  pikir ia tampan?
“Anda—anda memang—well, tampan, Sir. Tapi, maaf, dari awal aku bertujuan untuk membantu Ibuku di Indonesia.”
Donghae tersenyum, tapi senyumnya terasa sedikit janggal. “Kalau begitu, Miss Cardia, kau harus hati-hati. Berusahalah agar kau tak tertangkap basah olehku.” Ujarnya perlahan, memberi efek mendalam yang langsung meresap dalam otakku.
Itu semacam peringatan. Larangan sekaligus tantangan agar aku bisa menyeselasikan kewajibanku tanpa boleh ketahuan kalau aku terpesona padanya. Donghae melanjutkan menyantap makan siangnya dan ia membiarkanku tenggelam dalam lamunan panjang.
Aku mencoba menikmati makan siangku—yang kuharap bisa menjadi makan malamku juga—dan menutup mulut rapat-rapat. Donghae sepertinya tidak keberatan dengan keheningan di antara kami sebab ia juga tak mengatakan apapun lagi setelahnya. Tapi tiba-tiba ponselku berdering, membuatku terkejut oleh sebuah panggilan tak terduga.
“Jawab saja,” ujar Donghae ketika aku meliriknya takut. Ia lalu mengangkat bahu. “Kita kan sedang makan siang, kau boleh menjawab telponmu.”
Begitu mendapat persetujuan Donghae, aku segera menjawab panggilan itu dan mendengar sebuah suara yang kurindukan.
“Hei cantik, kau sedang apa?”
Bibirku melengkung membentuk senyuman, meskipun aku berusaha agar Donghae tidak melihatnya. “Aku sedang makan siang, Johan.” Jawabku mati-matian menyembunyikan kebahagiaan. Dari sudut mata, kulihat Donghae melirikku.
“Biar kutebak, makan siang di restoran Italia?”
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, berusaha mencari sosok Johan yang mungkin saja sedang mengamatiku. “Kau ada di sini?” tanyaku tak percaya. Sebab Johan biasanya tidak akan ke Restoran Italia kecuali pada malam hari.
Dari ujung sambungan aku mendengar suara tawanya dan mau tak mau aku ikut tersenyum. Tetapi bola mata Donghae telah berubah menyeramkan. Ia menatapku garang.
“Aku di belakangmu, Youva.”
Dalam satu gerakan, aku berbalik dan menemukan sosok Johan berdiri persis tiga meter di belakangku. Senyumya terpatri lebar, menunjukkan betapa bahagianya ia. “Oh, Johan! Kenapa kau bisa ada di sini?” seruku kaget. Aku nyaris melupakan keberadaan Donghae kalau saja pria itu tidak menyela kebahagiaanku dengan suaranya yang menyiratkan kemarahan.
“Miss Cardia, tolong ingat posisimu.” Ujar Donghae dingin.
Suasana berubah canggung; Johan yang masih tetap tersenyum memandangiku dan Donghae memberikan tatapan tidak suka padaku—dan pada Johan.
Aku berdeham satu kali sebelum berkata dengan nada resmi. “Sir, perkenalkan, ini Johan, temanku. Johan, ini bosku, Mr. Lee Donghae.” ucapku gugup.
Johan maju dan mengulurkan tangannya pada Donghae. Bosku memandanginya galak, lama sekali sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menjabat tangan Johan. “Aku Johan Stavilosky, mantan kekasih Youva.”
Kusikut lengan Johan dengan keras karena memberikan jawaban seperti itu, tapi Johan tidak menggubrisku. Jantungku membeku saat wajah Donghae berubah mengeras. Otot wajahnya terlihat kaku dan ia menyipit sedikit saat melepaskan genggamannya.
“Miss Cardia, kalau kau sudah selesai, kita bisa segera kembali ke perusahaan.”
Hanya itu yang di ucapkan Donghae sebelum pria itu kabur keluar Restoran dan meninggalkan aku dan Johan yang sama-sama terperangah. Tak ada ucapan basa-basi, ataupun sekedar menyapa temanku. Tapi, hei, sepertinya aku berharap terlalu banyak. Donghae mungkin berpikir kalau aku dan Johan masih memiliki hubungan percintaan.
“Bosmu memiliki temperamen yang buruk.” ujar Johan mengangkat bahu. Aku memberinya tatapan marah dan memajukan bibirku.
“Kau membuatku dalam masalah, Johan.” Gerutuku lalu pergi menyusul Donghae.
Johan mengikutiku dan membalas gerutuanku. “Masa kau dapat masalah hanya karena aku memperkenalkan diriku?”
“Seperti itulah dia.” Jawabku cepat. Dan ketika aku tiba di meja kasir, aku menatap Johan yang ternyata juga sedang memandangiku. Dan seperti biasa, ia tersenyum manis sekali. Hingga aku tak tahan untuk membalas senyumannya.
“Aku senang kau baik-baik saja, Youva.” Ucap Johan tulus dan ia meremas ujung jemariku.
“Aku juga, Johan. Pastikan kau memberi makan snowbell tepat waktu.” Kataku lalu menggigit bibir saat kulihat siluet Donghae yang membanting pintu mobil. “Maaf, Johan, aku harus segera pergi.” Ujarku dan nyaris berlari saat melangkah keluar dari Restoran.
Bosku ternyata sedang duduk di balik kemudi dengan wajah merah padam. Ia mengepalkan tangannya di atas dasbor dan melemparkan tatapan mematikan saat tubuhku telah masuk ke dalam Ferrari cantik itu.
“Dengarkan aku, Miss Cardia. Jangan sampai aku mendapatimu bertemu dengan pria itu lagi.” Kata-katanya terdengar begitu mengerikan, membuatku menggigil karena takut.
“Sir, dia hanya teman—”
“AKU TIDAK PEDULI, YOUVA CARDIA. JAUHI PRIA ITU! KAU DENGAR AKU?!” raungnya penuh emosi. Sementara tubuhku membatu tanpa bisa mengatakan apapun.

Ada apa ini? Kenapa pria itu tiba-tiba mengamuk hanya karena aku bertemu temanku? Satu lagi pertanyaan muncul, menambah daftar panjang pertanyaan yang masih belum memiliki jawaban atas semua keanehan yang ada pada diri Lee Donghae. Kemarin ia melarangku untuk tersenyum pada orang lain, dan hari ini ia memerintahkanku agar menjauhi temanku sendiri.
Aku tak mengerti. Bukan, malah sebenarnya aku memang tak mengerti apapun.

***

5 komentar:

  1. asiikk.. ijin tag dulu^^

    BalasHapus
  2. rasanya dah lama g komen di ff ini
    selalu bagus dan bikin penasaran
    ditunggu lanjutannya

    BalasHapus
  3. Apa ya sbnrnya maksud Donghae kya gtu ke Youva? :3 hmmm lanjut ne eon~ fighting~

    BalasHapus