Rabu, 23 Juli 2014

FANFIC: 4 Minutes In Memory [9]

TITLE                : 4 Minutes in Memory [9] - END
Alternative title     : 기다리고 있었어요! 봐지? (Kidarigo Isseosseoyo! Bwaji?)
GENRE               : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING              : NC-21
CAST                  : Lee Dong Hae [ 이동해 ]
                            Youra Leavanna [ 요우라 리판나 ]
                             Kim Kyung Dae [ 김경대 ]
                             Park Chae Rin [ 박채린 ]
Author                 : @Aoirin_Sora



Chapter 9
The Last Chapter



Even the time has passed,
 Now I do nothing but loving you..

 
Youra memandangi layar laptopnya tanpa berkedip. Di belakangnya, Chae Rin dan Donghae menanti dalam diam, meskipun tarikan napas mereka terdengar gelisah. Sudah hampir ratusan kali Donghae meminta—bahkan memohon—agar Youra beristirahat dan tidur untuk beberapa jam, namun Youra bersikeras untuk menyelesaikan pekerjaannya. Hal terbesar dan tersulit yang dilakukannya saat ini adalah meretas server kepolisian yang mengatur bagian cctv seluruh jalanan di Rio de Janeiro. Youra bahkan belum merenggangkan tubuhnya dalam tujuh jam belakangan. Dia terus-menerus terpaku menatap layar, mencoba mengetik baris demi baris perintah di laptopnya dan menggigit bibir dengan cemas ketika dia nyaris ketahuan ratusan kali.
Di ujung ruangan, sinar matahari berhasil menerobos masuk melalui celah-celah gorden yang sengaja dibiarkan tertutup. Seakan mengingatkan mereka bahwa langit tak lagi gelap. Donghae kemudian bangkit, membuka gorden keras-keras dan menatap Youra sedih. Lingkaran hitam yang menggantung di kedua pelupuk mata Youra membuatnya merasa bersalah. Gadis itu bergeming, tak menggubris seluruh bujukannya untuk segera tidur.
“Aaarrghh!! Andwae! Maldo andwae!!” teriak Youra gusar dan membanting mouse-nya. Youra menutup wajahnya dengan tangan dan menjerit kesal.
“Kumohon, Youra-ya. Pergilah tidur. Aku yakin kita bisa menunggu beberapa jam..” pinta Donghae sungguh-sungguh. Dia meletakkan tangannya di pundak Youra dan gadis itu menghela napas dalam-dalam.
“Semakin lama kita mengulur waktu, nyawa Kyung Dae-ssi akan semakin terancam. Aku tidak bisa menunda-nundanya lagi, Donghae-ssi.” Youra memberengut menatap layar laptopnya yang mengulang pesan yang sama; Disconnect. “Tapi aku benar-benar tidak mengerti lagi harus menerobos dari mana. Kepolisian Rio de Janeiro benar-benar tangguh dan sangat sulit ditembus bahkan dengan bantuan seluruh PC di kota ini!”
Donghae mengusap jemari Youra yang tengah terkepal dan mengacuhkan tatapan marah Chae Rin. Setidaknya gadis itu tidak memiliki nyali untuk menginterupsinya terang-terangan. “Pikirkan.” Ujar Donghae lembut. “Apa yang biasanya kau lakukan jika sebuah server tidak bisa di tembus dari luar?”
Youra terdiam sejenak dan perlahan-lahan wajahnya berseri-seri. Dia menatap Donghae dengan mata berbinar dan bergumam kecil. “Kau benar. Masih ada cara.” Ucap Youra yakin dan mengangguk bersemangat. “Server kepolisian memang telah dilindungi dengan sangat ketat, tetapi itu hanya berlaku untuk serangan dari luar. Pada dasarnya pengamanan server-server pemerintahan lemah terhadap penyusupan dari dalam. Itu artinya aku harus mulai mencuri sebuah IP milik kepolisian itu sendiri.. Kenapa hal itu tidak terpikirkan olehku? Paboya!
Dan detik berikutnya Youra sudah kembali tenggelam dalam misinya untuk menerobos pengamanan cctv di seluruh jalanan Rio de Janeiro dengan gigih. Donghae sempat menanyakan padanya mengapa Youra harus meretas server kepolisian terlebih dahulu dan bukannya langsung membiarkannya pergi menyelamatkan Kyung Dae. Gadis itu melotot garang dan menjawab keras kepala. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi kemanapun tanpa mengetahui jalanan yang kau lewati itu aman atau tidak, Donghae-ssi. Kita tidak tahu berapa banyak anak buah PCC di kota ini dan aku ingin memastikan bahwa tidak satupun gerakan mencurigakan dari mereka dengan melihat semuanya dari cctv di setiap sudut jalan.” Dan tepat setelah melontarkan argument itu, Youra langsung membuktikan ucapannya.
Donghae bahkan telah tertidur selama dua jam dan ketika dia terbangun dan menemukan Youra tidak bergeser satu inci pun dari tempat duduknya, Donghae merasa amat bersalah dan bersumpah bahwa dia tidak akan tertidur lagi. Jadi yang dilakukannya hanyalah terus menerus berada di sisi Youra dan menyemangatinya, meskipun dia tahu itu tidak membantu sama sekali.
Matahari sudah meninggi di langit, memijaki tahtanya dengan angkuh dan menyirami seluruh sudut kota Rio de Janeiro dengan sinarnya yang keemasan. Dan tepat pada pukul sepuluh pagi—setelah hampir dua belas jam terus mencoba—akhirnya Youra berhasil menyusup dalam sistem keamanan Kepolisian setempat. Dia menyabotase lebih dari seratus cctv jalanan yang tersambung langsung dengan laptopnya. Chae Rin bahkan sudah membeli dua laptop baru yang di gunakan untuk memantau separuh dari kamera itu, karena jika hanya mengandalkan laptop Youra, dia yakin mereka tidak akan bisa melihat semua cctv dengan jelas. Dan ketika seluruh usahanya telah berjalan lancar, Youra tertidur dengan perasaan tenang. Dia separuh berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja..


***


“Ini, kalian harus mengaktifkan ponsel kalian apapun kondisinya. Agar aku tahu kalian ada di tempat yang benar atau tidak.” Youra menyerahkan dua ponsel yang kemarin siang di beli Chae Rin kepada Donghae dan Chae Rin.
Chae Rin mengangguk takut. Gadis itu sepertinya telah kehilangan sebagian besar keberaniannya meski tekadnya masih belum luntur. Dia menghabiskan hari dengan membungkam bibirnya rapat-rapat dan duduk di sudut jendela, terlihat resah sekaligus ketakutan.
Youra berpaling ke arah Donghae dan terkejut menemukan Donghae yang sedang menatapnya. “Ada apa?”
“Apa kau yakin semuanya baik-baik saja?”
“Tentu.” Jawab Youra tersenyum. “Aku sudah memastikan seluruh jalan dengan radius seratus kilometer dari kediaman PCC berada dalam pengamatanku. Sistem Pengamanan di PCC juga masih kukendalikan, yang artinya aku tahu apa yang terjadi disana.”
Donghae mengangguk pelan. Sebenarnya bukan itu yang dia takuti. Dia percaya Youra sudah menangani hal itu dengan sangat baik, tapi dia tidak bisa berhenti khawatir. Memikirkan keselamatan Youra membuatnya tidak tenang. Kalau saja dia bisa memulangkan gadis itu ke Seoul..
“Jadi begini,” seru Youra menarik perhatian Donghae dan Chae Rin. “Kita akan mengikuti rencana semula. Aku sudah memonitor cctv jalan sekaligus keadaan gerbang PCC selama beberapa jam dan aku pikir lebih baik kalau kalian memulai secara terpisah. Ada beberapa titik di sekitar kediaman PCC yang tanpa pengawasan, dan aku akan mengusulkan bahwa Chae Rin menunggu di salah satu titik itu, jadi, jika Donghae-ssi berhasil membawa keluar Kyung Dae-ssi dengan aman, kalian bisa segera kabur dari situ secepat mungkin. Bagaimana?”
Chae Rin mengangguk gelisah, dia memperhatikan penjelasan Youra seakan tak punya pilihan lain dan mencoba mengingat-ingat di mana saja tempat yang tanpa penjagaan. Sementara Donghae sudah mulai mempersiapkan diri, mengisi seluruh mantelnya dengan barang-barang penting seperti tali, pemantik, bahkan sebuah stun gun. Dia tak terlalu yakin benda-benda itu mimiliki banyak kegunaan, tapi toh lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Pukul satu dini hari, Chae Rin dan Donghae bergerak. Chae Rin berhasil mendapatkan pinjaman sebuah mobil usang siang tadi dan dia akan menurunkan Donghae di titik pertama, lalu setelah itu menunggu pada titik kedua, dimana Donghae berjanji akan membawa Kyung Dae hidup-hidup padanya. Itu rencana nekat, tanpa peralatan yang memadai dan terlalu beresiko. Tapi mereka tidak bisa mundur lagi sekarang. Semuanya sudah terlanjur dan satu-satunya cara adalah meneruskan misi mereka.

***


Dua titik berkelap-kelip di layar laptop Youra dan keduanya masih berada dalam satu tempat yang berdekatan. Itu berarti Donghae dan Chae Rin masih sama-sama berada dalam mobil menuju kediaman PCC yang terletak hampir 25 mil ke selatan. Youra melirik ke layar sebelahnya dengan cemas. Seluruh aktifitas penjagaan malam hari PCC memang sedikit melonggar, kebanyakan penjaganya malah berjudi dan mabuk-mabukkan. Dia tahu, kesempatan mereka mungkin sedikit lebih tinggi sekarang, jika semuanya berjalan sesuai rencana, maka Donghae akan kembali dalam waktu kurang dari dua jam.
Di salah satu cctv, Kyung Dae terlihat masih bernyawa, meski tubuhnya tidak diobati sama sekali. Pria itu separuh mengigau dan menggumamkan kata-kata seperti ‘mianhae’. Youra tidak tahu apa yang di sesali pria itu, tetapi sepertinya dia benar-benar menyesal hingga mengucapkannya ketika tertidur. Ponsel Youra berdering dan dia segera mengangkatnya, hanya ada dua nomor di sana, jadi dia sudah bisa menebak siapa yang menghubunginya.
“Kami sudah tiba di titik pertama. Chae Rin akan segera ke titik kedua dalam tiga menit. Apa yang harus kulakukan sekarang?”
Youra memeriksa kamera pengawas di jalan dan melihat Donghae berdiri di samping sebuah mobil usang. Dia mengetik beberapa baris perintah di laptopnya dan melihat bahwa seratus meter kedepan sama sekali kosong.
“Donghae-ssi. Berjalanlah kira-kira seratus meter ke depan dan bersembunyi di antara deretan mobil di seberang gerbang.”
Donghae menjawab perintah Youra dan tidak mematikan sambungan teleponnya. Dari kamera pengawas PCC, Youra melihat Chae Rin baru saja melewati salah seorang penjaga yang bertubuh dua kali lebih besar dari gorilla. Tetapi gadis itu berhasil sampai ke titik kedua yang sepi tanpa dicurigai.
Sekarang waktunya. Youra membuka kembali program hackingnya dan memulai menjalankan idenya kemarin malam. Dia merekam semua gambar yang di tampilkan di kamera pengawas PCC selama satu menit, lalu menduplikasi rekamannya pada layar pengawas milik PCC. Sehingga para petugas penjaga kamera itu tidak mengetahui bahwa seseorang masuk dan tertangkap kamera cctv sebab tampilan yang asli hanya muncul pada laptop Youra. Dia hanya butuh kira-kira sepuluh menit untuk mengirimkan rekaman palsu itu lalu mengaplikasikannya ke semua layar pengawas.
“Donghae-ssi, bisakah kau melompat melalui pagar di depanmu? Aku sudah mengalihkan kamera pengawasnya.” Ujar Youra cukup yakin.
Pria itu menunggu kira-kira tiga puluh detik dan mengendap-endap mendekati pagar PCC yang tinggi. Dia memijakkan kakinya ke salah satu tong sampah dan melompat. Kedua tangannya menggantung di ujung tembok dan Donghae berusaha mengangkat tubuhnya untuk menaiki pagar. Ada sekitar lima kamera pengawas yang menangkap gambar Donghae yang berusaha naik tersebut, namun Youra telah memastikan bahwa yang muncul di layar pengawas PCC adalah rekaman palsu miliknya.
“Aku sudah berada di balik pagar.” Bisik Donghae nyaris tak terdengar.
“Bagus. Sekarang adalah saat yang sulit. Kamar tahanannya ada di ruang bawah tanah, Donghae-ssi. Kau bisa melihat kediaman PCC yang kira-kira dua ratus meter dari tempatmu berdiri, bukan? Berjalanlah seratus lima puluh meter ke depan sambil menunduk. Begitu kau menemukan semak-semak bunga, bersembunyilah di situ untuk beberapa saat. Akan ada penjaga yang berpatroli sekitar setengah jam sekali dan akan lewat dalam sepuluh menit.”
Donghae melakukan apa yang di perintahkan Youra dan segera menyembunyikan dirinya dalam semak-semak itu hingga Youra memberi instruksi lagi. “Donghae-ssi, keadaan di dalam aman. Masuklah dari bagian selasar depan dan akan kupastikan ruangan kosong. Usahakan kau berhati-hati.”
 Bangunan itu memiliki selasar yang luas yang mengelilingi dua pertiga bangunan. Pilar-pilar yang menyangga bangunan itu memungkinkan siapapun melihat ke dalamnya. Itu menguntungkan Donghae sebab dia langsung bisa mengetahui jika ada salah seorang penjaga yang melintas di dalam. Tetapi bagian terburuknya adalah, tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Dari layar laptopnya, Youra melihat Donghae mengendap-endap dengan gugup. Berulang kali menoleh ke sekitarnya namun langkahnya tak berhenti. “Donghae-ssi,” panggil Youra dan Donghae membeku di tempatnya. “Teruslah berjalan. Kau akan menemukan sebuah lorong panjang yang akan menghubungkanmu dengan berbagai banyak pintu. Aku ingin kau bergerak sehati-hati mungkin sebab bisa saja salah seorang penjaga keluar dari ruangan-ruangan itu.”
Donghae mengangguk ke arah cctv dan dia mempercepat langkahnya hingga tiba di koridor. Di sepanjang lorong itu memang tergantung lampu-lampu bergaya Versace, namun hanya beberapa di antaranya yang menyala, membuat keadaan di sepanjang jalannya menjadi gelap. Pria itu bergerak perlahan, menyusuri lorong yang memiliki pintu di kanan kirinya dan berhenti tiap kali mendengar bunyi sekecil apapun. Dia tidak tahu seberapa panjang lorong itu karena sepertinya sudah lama sekali dia berjalan ketika akhirnya lorong melandai ke bawah.
Bagian tengah atau lebih tepat di sebut sebagai ruangan rekreasi tampak kosong. Lampu hias Kristal yang tergantung di tengah-tengah ruangan itu padam, hanya menyisakan beberapa petak suram cahaya yang berasal dari pantulan bulan dan lampu-lampu jalan. Ruangan itu sangat luas. Sofa-sofa di ujung kanan, meja bilyard di pojok kiri, dan sebuah mini bar di sudut belakang sama sekali tak berpenghuni. Donghae berdiri di sudut kanan, berusaha berbaur dengan kegelapan dan mendeteksi bunyi yang bisa saja muncul tiba-tiba. Selama lima menit penuh matanya menjelajahi ruangan itu dan tak menemukan satu pintu pun yang mencurigakan. Malah tak ada pintu selain pintu kaca yang membatasi ruangan dan balkon.
“Donghae-ssi, pintu itu ada di balik tirai! Bisakah kau melihatnya? Di sudut kanan, persis di sebelah lemari bar itu.” ujar Youra nyaris berbisik. Dia juga ketakutan hingga memelankan suaranya, meski hanya Donghae yang bisa mendengar Youra melalui headset mini ponselnya.
Donghae tak menjawab. Ia bahkan cukup gugup untuk bernapas. Alih-alih, dia berjalan menuju bar mini sambil merapatkan tubuhnya ke dinding, memilih tempat yang gelap dan berusaha untuk tidak menabrak apapun. Youra benar, ada tirai yang menggantung hingga ke langit-langit ruangan yang tinggi. Tirai itu sedikit tersibak, dan Donghae menggesernya perlahan, berharap bahwa tak ada penjaga yang berdiri di balik tirai itu.
Pintunya terbuat dari kayu mahogani yang indah, berpelitur mengkilap dan gagangnya terbuat dari kuningan. Meskipun sama sekali tak ada penjaga di sekitar situ, mau tak mau Donghae menjadi curiga. Kenapa pintu bawah tanah harus seindah ini?
“Bukalah.” Bisik Youra dan Donghae menurutinya. Batinnya mencelos ketika menyadari bahwa dugaannya salah. Ruangan di balik pintu itu ternyata sebuah lorong panjang yang menawan. Berbagai lukisan yang berharga jutaan dollar tergantung rapi di sepanjang lorong itu, di hiasi lampu gantung dengan ukiran Versace dan sebuah plang nama tepat di bawah setiap lukisan. Dia menduga bahwa lorong ini akan membawanya ke kehidupan asli para pemimpin PCC.
Ternyata lorong itu hanya sepanjang seratus meter sebab setelahnya Donghae menemukan sebuah ruang rekreasi luas yang lebih menakjubkan dari ruangan yang ia lewati sebelumnya. Donghae tahu bahwa ruangan ini terletak satu lantai di bawah lantai dasar. Tetapi keadaannya sama sekali tak menunjukkan bahwa ruangan itu berada di bawah tanah, sebab selain teramat luas, fasilitas dan desain ruang itu benar-benar kelas satu. Sebuah kolam yang bersekat kaca tembus pandang membentang hampir di seluruh ruang. Kolam itu tampak bercahaya akibat puluhan lampu yang tertanam di dasar kolam. Berbagai macam ikan hias berenang santai di bawah kakinya, kelihatan senang dengan ukuran kolam yang begitu besar. Ada perapian yang padam, dengan berbagai koleksi antik yang dipajang di atasnya. Sebuah pedang yang di gantung di salah satu dinding, kumpulan pistol laras pendek yang berjejer rapi di dalam kotak kaca, bahkan sebuah miniatur Negara Brazil yang diletakkan di salah satu sudut ruangan. Donghae mendongak dan melihat bendera Brazil menggantung di dekat perapian, berdampingan dengan panji-panji PCC yang berwarna merah terang.
Ruangan itu kosong, namun atmosfirnya terasa tak menyenangkan. Donghae memutuskan untuk melanjutkan langkahnya setelah Youra menginstruksikan untuk terus melewati lorong itu. Dan setelah berjalan sekitar beberapa menit, Donghae melihat sebuah pintu biasa berwarna putih dan tak memiliki pegangan. Hanya ada selot yang terpancang di sana, yang menandakan bahwa dia butuh kartu untuk masuk.
“Sebentar,” ujar Youra tegang. “Pintu itu di kunci otomatis, tak ada yang bisa keluar atau masuk tanpa kartu identitas. Aku akan membukanya dari sistem. Dan…. Kau bisa masuk sekarang, Donghae-ssi.”
Bersamaan dengan aba-aba Youra, pintu berbunyi ‘bip’ kecil dan titik hijau berkelap-kelip di selot itu. Donghae menunggu hingga pintu itu bergeser dan buru-buru menyelinap ke dalamnya. Langkahnya sedikit goyah ketika kegelapan total menyambutnya. Tangan Donghae kemudian merogoh sakunya dan mengambil pemantik. Dia membeku di tempatnya berdiri, karena bukannya menemukan sel-sel penjara, Donghae ternyata sedang berdiri di ujung anak tangga.
Dia menjulurkan tangannya ke depan, dan masih tak bisa menemukan apapun selain anak tangga yang terus melandai ke bawah. Donghae sedikit ragu, namun dia sudah tak bisa mundur sekarang. Maka ketika kakinya melangkah perlahan, Donghae berharap tak ada seseorangpun yang menantinya di ujung sana kecuali Kyung Dae.
“Youra-ya, kau bisa melihatku? Apakah tangga ini masih panjang?”
“Aku tidak tahu, Donghae-ssi. Sama sekali tak ada akses cctv di sana. Hanya ada sebuah cctv di ujung ruangan tahanan yang berjeruji. Kupikir jika kau melihat sebuah pintu dengan jeruji, maka kau sudah berhasil menemukan lokasi yang benar.” Desahnya khawatir.
Youra menggigit bibirnya ketika memperhatikan satu titik di layar monitornya. Dia membenci fakta bahwa Donghae berada di suatu tempat yang tak bisa dia lihat. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain berharap bahwa Donghae akan segera tiba di ruang tahanan itu.
Helaan napasnya berubah lega ketika bayangan Donghae terlihat di balik pintu berjeruji itu beberapa menit kemudian. Dia mendengar pintunya bergeser dan Donghae mulai mengendap-endap di sepanjang ruangan dan mencari sosok Kyung Dae. Tinggal sedikit lagi, dan semuanya akan berakhir. Tapi… entah kenapa Youra merasa ada yang salah. Dia merasa semua ini terlalu mudah. Sepertinya ada sesuatu yang mereka lewatkan tetapi dia tidak tahu itu apa.
“Donghae-ssi, tunggu. Sepertinya ada yang tidak beres.” Bisik Youra gelisah.
Tak ada jawaban apapun.
“Donghae-ssi, bisakah kau dengar aku? Donghae-ssi!” teriak Youra cemas. Dia melihat langkah Donghae semakin dekat dengan sel tahanan Kyung Dae. Youra mengecek handphone-nya dan terkejut ketika sambungan mereka telah terputus. Dia berusaha menghubungi nomor Donghae namun wajahnya segera memucat ketika jawaban yang terdengar adalah: “Sorry, this number is inactive. Please try again later.”
Tidak mungkin. Alasan satu-satunya telepon mereka terputus dan Youra tak bisa menghubunginya kembali adalah hanya jika ruangan itu tidak bisa di jangkau sinyal telepon. Youra mengepalkan tangannya dan dia baru akan mulai mencoba mengobrak-abrik program wireless PCC ketika matanya menangkap salah satu kamera pengawas. Sekitar sepuluh orang penjaga berkumpul dan mulai berjalan ke sepanjang lorong menuju bawah tanah.
Donghae ketahuan.
Youra menggigil dan berusaha menghubungi Donghae namun sia-sia. Dia kembali menerima jawaban yang sama dari operator. Tubuhnya menegang ketika pandangannya berpindah-pindah antara dua keadaan yang sangat fatal; Donghae yang sedang berada dalam sel Kyung Dae dan berusaha melepaskan ikatan pria itu, sementara penjaga yang melewati lorong terakhir menuju ruang tahanan semakin banyak.
“Donghae-ssi! Cepat kabur! Donghae-ssi!! LEE DONGHAE!!!!”
Teriakannya percuma, dia tahu itu. Tapi Youra bahkan terlalu takut untuk melihat apa yang akan segera terjadi. Buru-buru Youra mengemas ketiga laptopnya ke dalam ransel dan menyambar mantel milik Donghae. Tangannya gemetar ketika dia memutar kenop pintu kamar hotel dan kepalanya menggemakan kata-kata Donghae sebelum pria itu pergi.
“Berjanjilah padaku, kalau keadaan menjadi tidak terkendali, segera pergi ke bandara dan jangan pernah menyusulku apapun yang terjadi. Berjanjilah, Youra-ya.”

‘Mianhae.’  Sesal Youra dalam hati.

***


“Wah, wah, kita kedatangan tamu.” Suara itu dalam, berat dan menyiratkan kebencian.
Donghae membeku. Tangannya masih menggenggam simpul tali yang mengikat pergelangan tangan Kyung Dae ke kursi. Dia menelan rasa takutnya dan mencoba berbalik. Di ambang pintu kamar itu, seorang pria tua dengan bekas sayatan di pipi kanannya berdiri sambil menghembuskan asap cerutu yang dihisapnya. Pria itu bertubuh tegap, meski rambutnya telah memutih seluruhnya dan penampilannya mengundang decak takut.
“Pertemuan yang mengharukan, rupanya. Seharusnya kau memberitahuku, jadi aku bisa menyiapkan ruangan yang lebih baik lagi.” Ujar pria itu kemudian tergelak.
Jantung Donghae berpacu. Dia menghitung kerumunan penjaga di belakang pria tua itu dan mencelos. Kenapa Youra tidak memperingatinya? Di sebelahnya, Kyung Dae mengerang kesakitan. Hyungnya terlihat tidak sadar dengan seluruh luka yang memenuhi tubuhnya.
“Kau Isaías.” Ucap Donghae tenang. Meski isi perutnya sudah berjumpalitan.
Pria itu tersenyum, membuat luka sayatan di pipinya menjadi lebih mengerikan. “Benar. Dan kau adalah sampah yang di sembunyikan Tae Hoon.” Isaías menyeringai, giginya mencuat dan Donghae melihat kilauan emas yang berkelebat.
“Ngomong-ngomong,” sambung Isaías sambil menghisap cerutunya, “aku terkesan kau bisa masuk sejauh ini tanpa ketahuan. Tapi perlu kau ketahui, bocah dungu, pintu tahanan ini di lengkapi dengan sensor pendeteksi. Itu sebabnya tak ada seorang penjaga pun yang mengawasi tempat ini. Aku langsung tahu ada seorang penyusup bodoh yang masuk kemari. Nah, jadi, biar kudengar apa niatmu berkunjung kesini?”
Tangan Donghae menggenggam erat simpul tali yang masih belum bisa dia uraikan. Kyung Dae mengerang lagi dan mengucapkan sesuatu namun tak begitu jelas. Sementara asap cerutu Isaías memenuhi udara, Donghae mencoba berpikir jernih. Apakah dia bisa mencoba kabur dengan seluruh penjagaan ini? Isaías memang masih berdiri di ambang pintu, bersama belasan penjaga bersenjata yang siap kapan saja pria itu memberi perintah. Tapi pria tua itu tidak melakukan apapun selain menatap Donghae dengan seringai menjijikan.
“Lepaskan dia.” Ujar Donghae dengan nada mutlak. Sekali lagi, Isaías tertawa hebat. Di belakangnya, para penjaga itu mendengus geli.
“Dia tidak memiliki pilihan apapun selain mati, nak.” Isaías masih terkekeh. “Nah, cukup main-mainnya. Layani dia dengan baik.” Pria itu menjentikkan jarinya dan seluruh penjaga mendatangi Donghae.
Pukulan demi pukulan mendarat di wajahnya dan Donghae tidak bisa membela diri sama sekali. Kedua tangannya dipegangi paksa dan seseorang menjambak rambutnya ke atas. “Tunggu! Aku punya penawaran!” teriak Donghae di antara penjaga itu.
Tangan Isaías terangkat ke udara, dan penjaga-penjaga itu menghentikan pukulan mereka. “Penawaran? Penawaran apa yang bisa membuatku yakin untuk melepaskanmu?”
Donghae meludahkan darah dari sela-sela gusinya. Kepalanya mulai merasa disorientasi. Darah menggumpal di ujung lidahnya dan dia merasa sangat marah sekarang. “Aku akan membantumu untuk menyelundupkan obat-obatan atau apapun yang kau mau ke Korea Selatan. Jadi lepaskan kami!”
Senyum Isaías mengembang, ia tidak tertawa, namun bola matanya yang gelap menatap Donghae seakan dia adalah seonggok kotoran di lantai marmernya. “Sayang sekali, nak. Aku tidak tertarik dengan penawaranmu. Lagipula itu tidak penting buatku sekarang. Aku masih tetap bisa menyelundupkan obat-obatanku kemanapun yang aku mau tanpa bantuanmu.”
Jantungnya mencelos lebih dalam. Otaknya macet dan dia tidak bisa berpikir apapun sekarang. Hanya ada kemarahan yang menguasi dirinya. Donghae mengamuk, dia menendang, mencakar, menggigit, ke segala arah. Amarahnya mendidih tanpa bisa di kendalikan. Dia bisa mendengar jeritan putus asa Kyung Dae dan tangannya berusaha meraih pria itu namun gagal. Seseorang telah menyodokkan moncong pistol yang berat ke tengkuknya, menjadikannya pusing seketika dan roboh ke lantai.
Dia mendengar tawa jahat Isaías yang menggema ke seluruh ruangan. Dan jari-jari panjang yang kuat menarik rambutnya kasar. “Berusaha menyelamatkan pembunuh, eh? Mari, kubuat kau seperti kedua orangtuamu. Mati mengenaskan.” Bisikkan itu seakan pertanda akan kematiannya yang semakin mendekat. Donghae menggigil dan berusaha memfokuskan pandangan matanya yang kabur.
Dan detik setelahnya, sesuatu menghantam pelipis Donghae, membuatnya tersungkur dalam ketidaksadaran..




Ruangan itu berdinding putih, dengan atapnya yang juga berwarna sama. Donghae memicingkan mata dan menggerakkan tubuhnya yang memar-memar. Dia menoleh ke samping dan mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada apapun selain dirinya yang tergeletak di atas tempat tidur kecil dan sebuah meja dengan peralatan perak yang membuatnya merinding. Ada dua macam jarum suntik yang memiliki ukuran berbeda namun sama-sama berisi cairan hijau terang. Di sebelah jarum itu, sebuah pisau bedah perak dan pistol tergeletak berdampingan.
Ada yang aneh dengan ruangan itu. Atmosfirnya terasa mencekam, terlebih dengan benda-benda di meja itu. sejenak Donghae merasa yakin bahwa dia berada di ruangan isolasi, dengan sebuah sekat kaca gelap yang membatasi salah satu dinding. Donghae hendak turun dari tempat tidur itu ketika tiba-tiba pintu menjeblak terbuka.
Isaías dan beberapa penjaga berseragam hitam masuk secara bersamaan. Dua orang penjaga sepertinya sedang menyeret sesuatu ke dalam ruangannya ketika dia menyadari bahwa sesuatu itu adalah Kyung Dae.
“Hyung!!” geramnya panik. Bilur-bilur di sekujur tubuh dan wajah Kyung Dae membuat Donghae terkesiap. Itu luka baru, masih menyisakan percikan darah segar yang menguar dari sela-sela lukanya.
Kyung Dae membuka matanya, mencari sumber suara dan menatap Donghae dengan nanar. Bibirnya koyak dan meneteskan darah. “Donghae-ah..” bisiknya parau.
Isaías kemudian berjalan ke arah Donghae. Pria tua itu bahkan tersenyum dengan menakutkan, seakan melihat Donghae tersiksa adalah salah satu impiannya.
“Jadi, begini, Mr. Lee Donghae.” ucapnya lambat-lambat, menanamkan kengerian di setiap sendi Donghae. “Tadinya aku ingin membunuhnya secara langsung. Tapi, kuputuskan bahwa kau lah yang berhak memberinya kematian mutlak..”
“Apa maksudmu?” tanya Donghae cepat. Dia melirik Kyung Dae yang terlihat semakin mengenaskan setiap detiknya.
“Biar kuceritakan sedikit mengenai masa lalu.. orangtuamu.” Isaías menyeringai ketika mengucapkan suku kata terakhir. “Tidakkah kau penasaran bagaimana orangtuamu mati dalam kecelakaan?”
“Kau yang membunuh mereka.” Ujar Donghae berang. Tapi sebagai jawaban Isaías hanya menggeleng dan tersenyum lagi.
“Kasihan sekali kau, bocah tolol. Tidakkah kau tahu bahwa selama ini telah dibohongi oleh orang yang paling kau percayai? Tidak nak, bukan aku yang membunuh orangtuamu, tapi dia.” Jari telunjuk Isaias terulur ke belakang, ke tempat seseorang berlutut dengan darah menetes dari kening dan bibirnya.
Donghae mengerjap bingung. Kyung Dae? Tapi, Hyungnya itu menyelamatkannya. Mana mungkin dia membunuh orangtua Donghae lalu menyelamatkan anaknya, bukan? “Kau bohong.” Geram Donghae lagi.
Isaías tertawa sepenuh hati. “Aku senang kau berpikir seperti itu, nak. Dan aku senang sekali mengecewakanmu, karena sayangnya aku tidak berbohong kali ini. Betapapun aku ingin membunuh mereka, tetap saja dia yang melakukannya.” Ketika Isaías mengucapkan ‘dia’, jari-jarinya sekali lagi mengarah pada Kyung Dae, yang kini memilih menatap lantai dibanding dirinya.
Aliran listrik statis seakan menyetrum setiap sel otak Donghae. Dia terpaku. Bibirnya masih berjuang mengucapkan penyangkalan namun tak ada sepatah katapun yang berhasil terucap. Donghae mencari kebenaran perkataan Isaías melalui kedua bola mata Kyung Dae yang nanar, namun Hyungnya malah menghindari tatapannya. Benak Donghae menyangkalnya, tapi tetap saja kenyataan berkata sebaliknya.
Hyungnya, orang yang paling di percayainya di dunia ini, yang telah menyelamatkannya selama lima belas tahun terakhir, ternyata membunuh kedua orangtuanya? Hal gila macam apa ini?
“Biar kubuat semua ini menjadi mudah.” Bisik Isaías di telinga Donghae. “Akan kubantu kau untuk melenyapkannya dari muka bumi, nak.”
Tubuh Donghae menegang. Isaías melangkah mendekati Kyung Dae dan menyeretnya paksa ke tepi meja di seberangnya. Dua orang anak buah Isaías mengunci pergelangan tangan dan siku Kyung Dae. Donghae masih membeku ketika dia menyadari bahwa Isaías sedang menyuntikkan sesuatu pada lengan Hyungnya.
Jeritan Kyung Dae terdengar membelah kesunyian. Donghae terkesiap dan saat itu Isaías meninggalkan Kyung Dae yang tengah mengepalkan tangannya dengan peluh bersimbah di wajahnya dan kembali mendatangi Donghae.
“Aku baru saja memberikannya dosis rendah racun kami padanya, nak. Perlu kuberitahu bahwa racun itu tidak akan membunuhnya. Dia hanya akan kesakitan, setiap detiknya racun itu akan mengalir ke pembuluh darah dan membakarnya dari dalam. Tidak ada kerusakan permanen kecuali jika racun itu bertambah dosis dan berhasil naik ke otaknya, sebab barangkali otaknya akan mengalami malfungsi.”
Sebuah teriakan baru saja lolos dari sela-sela bibir Kyung Dae. Pria itu menggeliat di lantai dan napasnya terengah-engah.
“Dengar nak, aku memberimu beberapa pilihan. Aku yakin dia akan memohon-mohon padamu untuk segera membunuhnya. Jadi aku menyediakan pistol dan pisau di atas meja agar kau bisa memenuhi keinginan terakhirnya atau kau bisa memberinya dosis tinggi racun itu yang telah kusiapkan di suntikan yang satu lagi. Ingatlah, Lee Donghae, pria itu yang membunuh orangtuamu. Membuatmu sebatang kara. Balaskan dendam mereka.” Perkataan Isaías mengirimkan getaran kemarahan yang tak bisa di jelaskan Donghae. Entah kenapa seluruh rasa ibanya seakan menghilang dan dia benar-benar ingin membunuh Kyung Dae, bukan, tetapi Kim Tae Hoon.
Isaías berjalan keluar dan menutup pintu ruangan itu dengan seringai lebar, meninggalkan Donghae dan Kyung Dae yang terkapar di lantai. Donghae mendekatkan tubuhnya dan untuk pertama kalinya dia bisa melihat Kyung Dae dengan jelas. Tubuh pria itu menegang, kedua matanya terpejam penuh kesakitan. Dia menggertakkan gigi, desisan liar terlontar dari sela-sela giginya. Donghae menunduk dan mengernyit bingung. Benarkah apa yang dikatakan Isaías?
“Benarkah itu? kau yang telah membunuh kedua orangtuaku?” Donghae nyaris tak bisa menyelesaikan pertanyaannya karena emosinya tengah membuncah.
Kyung Dae mengerjap dan menatapnya sedih. Kedua tangannya mengepal. “Mianhae.. Jeongmal mianhae..” bisiknya lirih.
Dan detik itu juga emosi Donghae meledak. Pengakuan Kyung Dae barusan seakan mengguyur bensin pada percikan api, membenarkan seluruh kenyataan yang berusaha dia sangkal mati-matian. Kyung Dae adalah Hyung-nya, penyelamatnya, sekaligus spelindungnya. Tapi kenapa pria itu malah membunuh orangtuanya? Pria itu membuatnya hidup sebatang kara dan bertingkah seakan dia telah lenyap dari muka bumi. Tak pernah ada Lee Donghae, sebab Lee Donghae adalah seseorang yang seharusnya  mati. Atau Kyung Dae memang merencanakan semua ini?
“Kenapa?” ulang Donghae lebih tajam. Dia membenci jawaban Kyung Dae yang membenarkan seluruh kemarahannya, membuat monster dalam dirinya meraung penuh kemenangan.
Tarikan napas Kyung Dae semakin kuat, jari-jarinya mencengkram dada dengan putus asa. Kyung Dae berusaha duduk, namun tubuhnya terlampau lemah untuk melakukan itu. Dipandanginya Donghae yang menatapnya berang dan menghela napas panjang. Namun sama sekali tak ada keraguan dalam diri Donghae. Dia membenci pria itu, Kim Kyung Dae.
Mianhae, Donghae-ah.. Mianhae..
“AKU TIDAK BUTUH PERMINTAAN MAAFMU! JAWAB AKU KENAPA KAU MEMBUNUH ORANGTUAKU!” raung Donghae putus asa. Dia berjalan mendekati meja dan meraih sebuah pistol semi otomatis. Bobotnya yang berat membuat Donghae gusar, tapi dia tidak mempedulikan itu, sebab pistol dalam genggamannya sedang mengarah pada Kyung Dae.
Kyung Dae terkesiap. Wajahnya memucat dan dia menatap Donghae penuh sesal. Binar matanya sempat menggoyahkan Donghae namun dia menepis semua rasa ibanya. “Aku.. tidak menginginkannya, percayalah padaku, Donghae-ah. Itu semua perintah ayahku—ayah angkatku..”
“Oh, begitu? Jadi kenapa ayah angkatmu ingin menghabisi keluargaku? Karena dia tak suka kami berlibur ke negaranya?” tanya Donghae sarkastis. Donghae memang sudah membaca file yang mengatakan bahwa orangtuanya melakukan kerja sama dengan PCC, tapi dia menolak mempercayai semua itu.
“Tidak.” Jawab Kyung Dae cepat. Pria itu menerawang dan menjawab pelan. “Orangtuamu telah bekerja sama dengan PCC selama hampir tujuh tahun, Donghae-ah. Tetapi mendadak mereka ingin mengakhiri hubungan kerja sama dengan PCC dan ayah angkatku menjadi murka. Dia memberikan perintah untuk melenyapkan semua pengkhianat. Aku tidak tahu siapa yang akan kubunuh sebelumnya. Dia.. tidak memberikanku detail.”
Batin Donghae mencelos. Kebenaran yang menyatakan bahwa orangtuanya meninggal bukan karena kecelakaan biasa sudah cukup untuk membuatnya terluka. Terlebih mendengar penjelasan Kyung Dae barusan, bahwa orangtuanya bekerja sama dengan organisasi gembong narkoba, semakin membuatnya tak mampu lagi memikirkan apapun. “Jadi kenapa kau menyelamatkanku? Kenapa tidak kau biarkan saja aku mati?” Donghae menurunkan pistolnya dan meracau sedih. Dia terlampau kecewa pada keluarganya. Keluarga yang dicintainya.
Lagi, Kyung Dae memejamkan matanya dan menahan setiap rasa sakit di sekujur tubuhnya. “Aku tidak bisa membiarkanmu mati—” ia menarik napas panjang, “—karena kau mengingatkanku pada adikku, Tae Yang..”
Ruangan itu mendadak hening. Tak terdengar suara apapun selain tarikan napas Kyung Dae yang semakin lemah. Donghae bungkam, dia masih bingung mengartikan semua jawaban pria itu. Setitik kepercayaan kembali muncul, tapi segera ia singkirkan karena Donghae tahu, pria itu telah membunuh orangtuanya.
“Kau membunuh orangtuaku, Hyung.” Bisik Donghae getir. Dadanya penuh sesak oleh ketidakberdayaan.
“Aku tahu, maafkan aku Donghae-ah.. tak pernah sekalipun aku melewati hari tanpa menyesalinya.” Dan tiba-tiba setetes airmata mengalir turun melewati kelopak mata Kyung Dae. Donghae tertegun. Hyung-nya menangis?
“Aku berharap aku bisa memutar ulang waktu agar aku bisa menyelamatkan semuanya. Aku menyayangimu, sungguh. Dan aku tak ingin kau terluka. Maafkan aku, Donghae-ah.. maafkan aku..”
Kepala Kyung Dae terkulai dan jari-jarinya mengendur. Seketika, serbuan panik menyadarkan Donghae. Kyung Dae sedang sekarat. Dia berlutut dan mengguncang tubuh Kyung Dae yang terbaring di lantai. “HYUNG! KYUNG DAE HYUNG! BANGUNLAH!!” teriaknya panik.
Bibir Kyung Dae berdesis dan Donghae merapatkan telinganya hingga dia berhasil menangkap ucapan Kyung Dae yang penuh derita. “Sakit.. sakit sekali..” erangnya parau.
“Hyung, bertahanlah.”  Ujar Donghae cemas. Kepalanya pusing dan dia sendiri tak bisa mengerti kenapa dia masih mau menyelamatkan Kyung Dae. Perlahan-lahan Donghae akhirnya mengakui, bahwa dia sudah bisa mengatasi kematian orangtuanya. Dia bahkan merasa sangat berterima kasih pada Kyung Dae yang telah menyelamatkannya, meski ia enggan mengakui hal itu. Dan mendengar bahwa justru Kyung Dae-lah yang membunuh orangtuanya memang membuatnya kesal. namun tetap saja, kemarahannya segera padam karena tanpa dia sadari, dia sangat menyayangi Hyungnya itu, Kim Kyung Dae..
“Sakit sekali.. Kumohon..”
“Hyung, kau bisa melewatinya. Bertahanlah.”
“Donghae-ah, maafkan aku..” racau Kyung Dae tak sadarkan diri.
Donghae menggenggam tangan Kyung Dae dan mengusap-usapkannya perlahan. Dia tak yakin apa yang bisa dilakukannya untuk mengurangi rasa sakit yang diderita Kyung Dae.
“Sakit sekali.. kumohon, aku tak sanggup lagi.. Kumohon..” pelipis Kyung Dae meneteskan keringat, membanjiri wajahnya yang semakin pucat, menyatu dengan darah yang terus mengalir dari lukanya yang masih baru.
“Hyung bertahanlah!” teriaknya kalut. Donghae tersadar dan segera berlari menuju pintu, dia memutar kenopnya namun terkunci. Detik berikutnya dia mendatangi sekat kaca hitam tebal dan mulai menggedornya sekuat tenaga. “Isaías! Selamatkan dia!! Selamatkan—” tapi teriakannya terputus ketika pintu mendadak terbuka dan tubuh Isaías muncul di antara serombongan penjaga berseragam.
Dia bahkan belum sempat mengucapkan apapun, karena penjaga-penjaga itu langsung menyerangnya tanpa ampun. Dalam sekejap, Donghae berhasil memuntahkan darah dan sebuah luka koyak baru menganga di kepalanya. Dia tak bisa berpikir jernih, semuanya terasa mengabur. Tubuhnya seakan remuk redam, ngilu dan dia tak sanggup mengangkat kepalanya lagi.
Seseorang menjambak rambutnya, memaksanya mendongak. Donghae ingin memicingkan matanya tetapi dia sadar itu percuma, sebab dia sudah tahu siapa yang sedang berbisik padanya.
“Bukan itu yang kumau, bedebah.”  Isaías menggeram penuh amarah. “Seharusnya kau membunuhnya. Tapi kalau kau terlalu takut untuk melakukannya, biar kutunjukkan padamu.” Perkataan Isaías membuatnya menggigil. Samar-samar dia bisa membayangkan seperti apa kemarahan Isaías.
“Amarrá-los—(ikat mereka).” Ujar Isaías pada anak buahnya dan dengan sebuah hentakan menyakitkan di tengkuk Donghae, dia kembali jatuh dalam pusaran kegelapan..


***


Langit, itu benar-benar langit. Dengan titik-titik bintang yang menghiasinya, bahkan dengan sinar bulan yang tampak redup. Tapi ada yang aneh. Kenapa kepalanya berdenyut menyakitkan? Kesadaran menghantam Donghae ketika dia mendengar teriakan seseorang. Teriakan Hyung-nya.
Pemandangan di depannya sungguh membingungkan. Ada sekitar dua puluh penjaga memegang pistol semi otomatis dan senapan laras panjang yang mengerikan, semuanya berdiri mengerumuni seseorang. Di kejauhan, sebuah patung Yesus dengan tinggi mencapai 38 meter menjulang ke angkasa. Dan Donghae tahu mereka sedang berada dimana.
Itu titik tertinggi di kota Rio de Janeiro. Dengan patung Cristo Redentor yang menghadap laut Copacabana, semuanya menjadi jelas. Isaías telah membawa mereka ke gunung Corcovado di Taman Nasional Hutan Tijuca. Donghae mendadak tersadar. Hutan ini sangat luas. Keadaan mungkin bisa menyelamatkannya bila siang hari. Namun di malam hari, hutan ini seakan mimpi buruk. Tidak akan ada yang datang bahkan jika Donghae berteriak semalam suntuk. Hutan Tijuca baru akan di buka untuk umum pada pukul sepuluh pagi. Dan itu artinya, dia harus menemukan cara bagaimana bisa bertahan hingga saat itu.
Lagi, terdengar teriakan Kyung Dae yang mulai samar. Donghae menahan napasnya dan menajamkan telinga. Dia berusaha menggeliat dengan tangan dan kaki terikat kuat oleh lilitan tali. Udara malam cukup sejuk meski dia merasa keringat dingin membasahi kausnya yang lengket karena darah dan pasir.
Hutan Tijuca sedikit riuh dengan para binatang malam yang saling bersahut-sahutan. Kegelapan total yang nyaris mendominasi di luar lingkaran penjaga menambah kengerian sekeliling mereka. Cahaya benderang yang menyinari penglihatan Donghae hanya berasal dari mobil-mobil yang terparkir di belakangnya. Dengan bunyi mesin menderu yang teredam kebisingan hutan, mobil-mobil tersebut dibiarkan menyala dan memberikan penerangan untuk orang-orang di depannya.
Donghae menyipitkan matanya dan berhasil menemukan sosok Isaías yang berdiri sejauh lima meter darinya. Pria itu mengenakan topi Fedora hitam dan jaket kulit tersampir di pundak. Cerutunya masih mengepulkan asap kelabu, membuat kepalanya seakan tertutup kabut tipis. Sesekali Isaías menyeringai jahat dan kelihatannya pria tua itu sama sekali tak menyadari kehadiran Donghae.
“Pastikan dia cukup kesakitan untuk berteriak. Kalau perlu remukkan saja rahangnya.” Ujar Isaías dan kerumunan penjaga itu menyahut semangat.
Tak ada seorangpun yang menyadari bahwa Donghae telah membeku di tempatnya, dengan mata membelalak ketakutan dan kedua tangan mengepal erat. Matanya mencari-cari dengan panik. Tentu saja Isaías sedang membicarakan Kyung Dae. Dan mendengar pria itu sedang menyiksa Hyung-nya, membuat seluruh saraf Donghae menggelenyar seketika. Dia sudah memikirkan seratus macam cara untuk membunuh Isaías—meski nyaris mustahil—ketika dia menangkap sebuah cahaya samar yang berkelap-kelip di antara pepohonan.
Dada Donghae berdebar keras. Denyutnya seakan melonjak hingga puluhan kali lipat ketika dia mengetahui bahwa seseorang sedang memberi sinyal padanya.
Itu Youra Leavanna.
Astaga.
Separuh dari pikiran sinting Donghae begitu lega melihat siluet gadis itu di tengah kegelapan malam. Dia ingin menghambur kearah yeoja itu dan memeluknya erat-erat. Tanpa Donghae sadari, dia begitu merindukan Youra, hingga jantungnya membengkak karena harapan. Namun kewarasannya berhasil kembali dengan cepat. Benaknya berteriak putus asa. Kenapa gadis itu bahkan bisa berada disini?
Kepanikan Donghae telah mencapai batasnya. Dia berusaha memikirkan sebuah cara agar gadis itu mengerti bahwa dia harus segera kabur. Tetapi seolah tak mengacuhkan tatapan penuh peringatan Donghae, Youra malah beranjak mendekatinya. Gadis itu merangkak di atas rerumputan kering dan menyelinap perlahan di antara celah-celah mobil. Donghae melirik Isaías cemas. Dia ingin memastikan bahwa gerakan Youra tak tertangkap siapapun.
Setelah lima menit yang terasa seperti setahun penuh, Youra berhasil sampai padanya. Tubuh gadis itu persis di bawah sebuah mobil Mercedes Benz S-Class W140 hitam mengkilat. Bahkan di antara cahaya minim pun Donghae bisa melihat jelas betapa gadisnya ketakutan. Pupil matanya melebar dan tangannya tak berhenti gemetaran ketika menyodorkan sebilah pisau pendek. Donghae membalikkan tubuhnya perlahan dan berusaha menjangkau pisau itu dengan tangannya yang terikat ke belakang.
Terdengar lagi erangan penuh siksaan Kyung Dae dan tawa puas Isaías. Donghae merasakan permukaan pisau yang dingin di telapak tangannya dan langsung mengambil kesempatan untuk memotong tali yang mengikatnya ketika seluruh penjaga sibuk tertawa mengikuti bos mereka. Dan tak sampai lima menit, tali-tali yang mengikat Donghae telah terpotong, bahkan ikatan di kakinya.
Donghae masih terbaring seolah-olah dia masih terikat dan tak sadarkan diri. Namun ketika dilihatnya lagi raut wajah Isaías yang rileks karena tertawa, Donghae berdiri secepat kilat dan dalam hitungan detik, dia berhasil membungkam seluruh orang dengan fakta bahwa pisau di tangannya kini menempel erat di batang tenggorokan Isaías.
“Jangan bergerak.” Ujarnya berbahaya pada Isaías. Langsung saja pria tua itu membeku dengan tangannya masih menggenggam cerutu.
Tak ada lagi tawa apapun. Keheningan menjadi satu-satunya hal yang paling mencolok, kecuali tentu saja, erangan parau Kyung Dae yang benar-benar membuat amarahnya mendidih. Akhirnya Donghae bisa melihat langsung Hyung-nya. Pria itu tergeletak di tanah bebatuan, dengan separuh wajahnya terkelupas. Matanya nyaris tak terlihat lagi, kedua kelopak mata itu tertutup dengan benjolan besar mengerikan yang menetesi darah segar. Kemejanya telah koyak di banyak tempat. Dan tak jauh dari tempatnya berbaring, sebuah lubang—yang kelihatannya baru saja digali—menganga, menanti untuk segera diisi.
Tangan Donghae bergetar karena marah. Dia bisa saja menggorok Isaías detik ini juga dan tak akan merasa bersalah sama sekali. Tapi kalau bukan karena ingin menyelamatkan banyak nyawa, Donghae pasti tak akan berpikir dua kali untuk menghabisi nyawa lelaki tua di depannya.
“Kau—” geram Donghae emosi. Dari sudut mata dia melihat beberapa orang penjaga mulai siaga. “Perintahkan pada anak buahmu untuk membuang senjata mereka!” imbuh Donghae.
Isaías masih bergeming dan dia malah tersenyum geli mendengar ucapan Donghae. “Yakin bisa membunuhku?” tanyanya terdengar mengejek.
“Kau pikir aku tak berani melakukannya? Tenang saja, Isaías, akan kupastikan aku menggorok lehermu secara perlahan, jadi kau bisa merasakan betapa mengerikannya menjadi sekarat.” Ancam Donghae penuh keyakinan. Dia menggoreskan pisau ke leher Isaías dan mendengar pria tua itu berjengit.
“Baik, baik. Semuanya, turunkan senjata kalian.” Ujar Isaías diliputi kepanikan. Ujung cerutunya yang sudah berubah menjadi abu jatuh ke atas sepatu Laced Up cokelatnya. Isaías mendecak sebal dan menggertakkan giginya terang-terangan.
“Sekarang aku mau Kyung Dae—bukan, Kim Tae Hoon, masuk ke mobil di belakangku.”
Semua anak buah Isaías menunggu keputusan Isaías dan mereka saling berpandangan dengan gugup ketika Isaías mengangguk dan menyuruh mereka cepat. Dua orang penjaga dengan tampang kebingungan akhirnya maju dan menyeret Kyung Dae masuk ke mobil dimana Youra sedang bersembunyi di bawahnya. Mereka sama sekali tak memperhatikan sebuah siluet tengah berbaring di bawah mobil sementara Donghae mengernyit cemas ketika dia berhasil melihat bayangan Youra.
“Apa lagi yang kau mau?” geram Isaías tak sabar.
Tadinya dia ingin segera kabur dari tempat itu, namun sebuah ide melintas di kepalanya dan Donghae berhasil menemukan cara untuk menghambat mereka semua. “Aku ingin anak buahmu mengumpulkan seluruh senjata ke dalam lubang itu lalu menguburnya saat ini juga. Cepat!”
Dia mendengar Isaías mendengus kesal meski pria itu tetap memerintahkan untuk segera melakukan apa yang Donghae mau. Dan menit-menit berikutnya, sebagian anak buah Isaías berusaha membantu rekan mereka untuk mengubur berbagai senjata api beserta pelurunya. Tak terdengar apapun selain bunyi pasir yang jatuh perlahan menutupi besi-besi berhaya itu.
“Tunggu.” Sergah Donghae tiba-tiba. Lebih dari dua puluh pasang mata menatapnya lagi saat  Donghae meraba saku mantel dan pinggang celana Isaías. Seperti tebakannya, sepucuk pistol semi otomatis tersembunyi di pinggang celana Isaías dan Donghae segera melemparkan benda itu ke dalam lubang yang separuh terkubur. Dia cukup yakin pria itu tak akan menduganya. Sebab tubuh Isaías mengejang kesal ketika Donghae mengambil senjata yang disembunyikannya.
Beberapa menit kemudian, gundukan tanah basah berisi senjata itu akhirnya selesai di kerjakan. Tak ketinggalan, Donghae juga memerintahkan agar sekop yang mereka gunakan untuk mengangkut pasir juga ikut di masukkan dalam mobil yang di naiki Kyung Dae, menghilangkan kesempatan anak buah Isaías menjadikan benda itu alat untuk menyerangnya.
Ketika Donghae masih memikirkan sebuah rencana bagus untuk bisa kabur dari dua puluh penjaga bertampang keji itu, tiba-tiba saja mobil di belakangnya membunyikan klakson. Dia berbalik dan menemukan Youra sudah duduk di kursi pengemudi. “Palli! —Cepatlah!” serunya tak sabar.
Kerumunan manusia terpaku melihat kehadiran Youra yang tiba-tiba muncul, seakan berwujud dari kegelapan malam. Namun Donghae-lah yang lebih dulu tersadar. Dia berjalan mundur dengan membawa Isaías bersamanya. Pisau di leher pria itu masih menetesi darah, hingga mau tak mau membuat Isaías mengikuti langkah Donghae yang semakin menjauh dari anak buahnya.
Donghae menyentakkan tubuh Isaías masuk lebih dulu dan berbalik, menutup pintu di sampingnya tepat ketika terdengar bunyi ‘klik’ nyaring dan entah kenapa sebuah pistol telah mengarah persis di atas telinga kanannya.
“Sudah cukup main-mainnya,” geram pria itu penuh amarah. Tetapi belum lagi Isaías mampu mengucapkan apapun, Youra telah berkata dengan penekanan di setiap suku katanya.
“Berhenti atau kutembak.”
Bukan hanya Isaías yang membeku tak percaya. Bahkan Donghae juga tak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat Youra tengah menodongkan senapan laras panjang jenis AK-47 atau Avtomat Kalashnikov 1947 tepat di tengkorak belakang Isaías. Isaías mengerang dan menatap Youra lambat-lambat. Matanya menyipit memandang Youra yang tak sedikitpun goyah. Di bawah tekanan salah satu senjata yang paling berbahaya yang pernah ada, akhirnya Isaías melemparkan pistolnya ke pangkuan Donghae dan dia mengangkat tangannya ke atas.
“Bagaimana kau bisa menemukan benda itu?” tanya Donghae menggunakan bahasa Korea, sementara Isaías melotot garang padanya.
Youra mengisyaratkan Donghae untuk mengambil pistol Isaías dan ganti mengarahkannya pada pria tua itu sebelum dia menjawab. “Aku menemukannya dalam sebuah kotak berat di bagasi belakang. Mereka ceroboh sekali, meninggalkan senjata seperti itu dan membiarkan mobil begitu saja.”
“Donghae-ssi, tolong amankan dia, aku akan menyetir.” Ujar Youra lagi sambil meletakkan senapan itu di pangkuannya dan mengikatkan seatbelt Kyung Dae di kursi penumpang. Hyung-nya bahkan terlalu kesakitan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Donghae mengangguk dan melirik sekilas ke arah penjaga Isaías yang sudah mulai bergerak perlahan. “Youra? Bisakah kau ngebut? Aku takut mereka akan bisa mengejar kita.”
Mendadak Youra berbalik dan memberikan seulas senyum pada Donghae. “Tidak, mereka tidak bisa.” Ujarnya penuh kemenangan ketika tangannya mengangkat kunci mobil yang saling bertaut di telapak tangannya. Donghae memandangnya kagum dan Youra menjelaskan dengan cepat. “Saat mereka mengubur senjata-senjata itu, aku berusaha menyelinap ke semua mobil dan mengambil kunci-kunci ini. mereka tidak akan bisa kemanapun setidaknya dalam setengah jam.”
Youra menarik tuas kopling dan menginjak gas dengan satu hentakan, membuat mobil nyaris terlonjak ke depan sebelum akhirnya dia berhasil menemukan rem. “Kuharap aku sempat punya SIM.” Gerutunya ketika mobil melesat melewati kerumunan anak buah Isaías yang memandang kesal.
Kegelapan malam langsung menelan mereka. Tak ada yang seorangpun yang berbicara kecuali Isaías yang terus saja memberikan ultimatum bahkan ancaman kosong. Youra dan Donghae bahkan terlalu malas untuk menanggapi ucapan-ucapan pria itu yang langsung berubah menjadi desisan rendah ketika Donghae mendekatkan moncong pistol ke pelipisnya.
Donghae ingin bertanya banyak hal pada gadis itu, namun dia mengurungkan niatnya. Youra terlihat sangat berkonsentrasi menghadapi jalan di depan dan berulang kali menginjak pedal rem dengan gugup. Mereka melewati pepohonan yang semakin rapat dengan jalan setapak yang tak biasa di lewati mobil. Kendaraan itu berguncang keras saat jalanan penuh kerikil dan bebatuan menyambut mereka. Rasanya sudah sangat lama ketika akhirnya Youra berhasil mencapai jalan utama. Tapi bukannya mengikuti jalan itu, Youra malah menerobos semak-semak dan berhenti ketika dia kembali memasuki hutan lebat yang terlihat mengerikan.
Gadis itu turun dari kursinya dan membuka pintu belakang. “Turun.” Ujarnya garang. Isaías mendelik dan sebagai balasan, Youra menaikkan senapannya. Gadis itu berkata dengan nada mengancam agar Isaías segera berjalan dan menghadap sebuah pohon besar di hadapan mereka.
Begitu Isaías berjalan membelakangi mereka, Youra menyerahkan satu gulung tali dan pisau pada Donghae. Donghae mengangguk paham dan langsung mengikat pergelangan tangan Isaías beserta kakinya. Dia bahkan melilitkan tali itu ke pepohonan, membuat Isaías seakan menyatu dengan pohon itu.
I swear I will kill you.” Ancam Isaías dengan tatapan membunuhnya.
Youra menyunggingkan senyumnya dan memandang Isaías geli. “Don’t worry, there’s no one here but…. A tiger?” ucapnya sarkastis. Dia memandang ke arah leher Isaías yang meneteskan darah dan tersenyum lagi.
Isaías terkejut dan menunduk melihat darah yang telah mencapai kemejanya dan memaki dalam bahasa Portugis ketika Donghae membekapnya paksa dengan kain hitam. Dia merobek kemeja Kyung Dae yang sudah usang lalu menggunakannya untuk menutup mata Isaías. Pria itu menggumamkan sesuatu namun yang terdengar hanyalah erangan kekesalan.
“Kajja.” Ujar Youra dan Donghae mengikutinya.
Kali ini Youra menyerahkan setir kemudi pada Donghae dan dia mengusulkan agar mereka berbelok ke kanan, mengikuti jalan utama sekitar lima ratus meter lalu mereka akan menemukan Chae Rin yang menanti mereka dengan mobil usang pinjamannya.
Donghae mengangguk lagi dan mempercepat laju mobil. Youra benar, Chae Rin memang sedang menanti kedatangan mereka dengan wajahnya yang sudah seputih kertas. Gadis itu memekik ketika mereka menurunkan Kyung Dae yang terlihat mengenaskan dan membaringkannya di kursi belakang. Mereka meninggalkan Mercedez itu di antara semak belukar yang menyamarkan penampakan mobil lalu bergegas menduduki kursi depan.
Chae Rin mulai menangis dan berusaha mengobati Kyung Dae namun airmatanya membuatnya kesulitan untuk membaca petunjuk obat dengan jelas. Sementara di sebelah Donghae, Youra mendesah keras. Tangan gadis itu gemetaran dan matanya menutup ketakutan. Donghae baru menyadari bahwa selama ini gadis itu pura-pura kuat. Dia sama sekali melewatkan kenyataan kalau Youra sebenarnya rapuh. Dengan perasaan bersalah, Donghae meraih jemari Youra dan menggenggamnya lembut.
“Gomawo..” bisiknya tulus.
Youra membuka matanya dan menatap Donghae dengan seribu arti. Dia menggeleng dan memaksakan sebuah senyum. “Aku senang kau selamat..”
Donghae tersenyum lemah dan menahan keinginannya untuk memeluk gadis itu. “Keunde, bagaimana kau bisa ada di sana? Apa yang terjadi?”
Youra mendesah keras ketika dia berusaha menjelaskan pertanyaan Donghae barusan. Gadis itu menatap jalan yang mulai terang dengan tidak fokus. “Begitu kau tiba di ruang tahanan, panggilan kita terputus dan aku langsung tahu bahwa tidak ada sinyal sama sekali di sel itu. detik itu juga aku meyusul Chae Rin dan mengamati kalian lewat kamera pengawas. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan tetapi Chae Rin mengatakan bahwa Isaías akan membawa kalian ke Hutan Tijuca. Kami menunggu hampir seharian sebab setelah Isaías membawa kalian ke sebuah ruangan, aku tak bisa melihat kalian lagi melalui cctv. Dan beberapa jam yang lalu, aku menemukan Isaías menggotongmu dan Kyung Dae-ssi ke dalam sebuah mobil dengan luka-luka mengerikan. Kami membuntuti mobil mereka tanpa berusaha cukup dekat. Setelah kami menemukan kalian di tengah hutan, aku memaksa Chae Rin untuk kembali ke jalan tadi dan menyuruhnya menunggu kita. Aku mengamati keadaan sebentar dan bersyukur ketika kau mengenaliku.”
Senyum Youra mengakhiri penjelasannya dan Donghae tidak tahan untuk tidak menyentuh wajahnya. “Kau hebat.” Gumamnya penuh kekaguman. “Kau sangat hebat. Terima kasih Youra, kau telah menyelamatkan kami.”
Gadis itu tak menjawab pujian Donghae, matanya terlihat mengabur menatapi kaki langkit yang mulai memancarkan kilau keemasan. “Tidurlah, Youra. Beristirahatlah..” pinta Donghae lembut. Dan detik berikutnya Youra tenggelam dalam dunia mimpi..

***

Tubuhnya seakan terombang ambing, berguncang dalam gerakan berirama dan menenangkan. Kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, menimbulkan perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskannya. Youra mengerjap, dan mengejang ketika mendapati sepasang mata cokelat indah tengah menatapinya tanpa berkedip.
“Oh, maaf membuatmu terbangun.” Ujar Donghae menyesal.
Butuh dua detik bagi Youra untuk menyadari bahwa dia sedang berada dalam buaian Donghae. Pria itu menggendongnya memasuki kamar hotel dan mendadak wajahnya menghangat. Donghae membaringkan Youra hati-hati di atas tempat tidur dan berbisik lembut di telinganya. “Tidurlah lagi, kau butuh istirahat.”
Bibir Donghae mencapai puncak kepala Youra dan dia tak bisa berhenti berdebar. Kantuknya telah hilang, berganti menjadi perasaan gugup. “Ehm, dimana Chae Rin dan Kyung Dae-ssi?”
“Mereka ada di kamar sebelah. Aku sengaja memesan kamar ini. Kau tak akan bisa tidur nyenyak jika Chae Rin terus-terusan menangis histeris seperti itu.” jawab Donghae mengangkat bahu.
“Kyung Dae-ssi.. dia baik-baik saja?”
Donghae menghela napas panjang. “Dia sudah membaik, mungkin. Sejauh ini dia sudah mampu mengenaliku dan Chae Rin. Aku ingin membawanya ke rumah sakit tapi tentu saja perbuatan itu akan membuat kita ketahuan.”
Keadaan menjadi hening sejenak, sebelum akhirnya Youra melirik ke ujung ruangan dan melihat jarum jam yang sudah menetap di angka delapan. “Kau tidak lapar? Aku akan membelikan makanan untuk kita.” Tawarnya yang langsung di sambut tatapan garang Donghae.
“Kau tidak akan kemana-mana, Youra-ya. Kau harus tidur. Aku tahu kau kelelahan—”
“Dan juga lapar. Tenanglah, Donghae-ssi. Biar aku belikan sarapan untuk kita lalu aku akan memesan tiket pulang untuk kita berempat.”
“Tidak, Youra. Anak buah Isaías berkeliaran di seluruh penjuru kota. Terlalu berbahaya untuk keluar sekarang.”
Youra tersenyum menenangkan Donghae. DIa bisa merasakan kekhawatiran pria itu tetapi dia juga ingin pulang ke Seoul secepat mungkin. Berada di Rio de Janeiro lebih lama membuatnya ketakutan. “Jangan khawatir. Mereka tidak mengenaliku, bukan? Kau yang menjadi sasaran mereka. Sekarang, biarkan aku membeli kimchi di restoran Korea lalu memesan tiket pulang. Aku janji tidak akan lama. Bagaimana?”
Donghae menatapnya keras, namun segera mendesah ketika Youra terus tersenyum meyakinkan. “Baiklah. Aku beri waktu satu jam. Kalau dalam satu jam kau tidak memberi kabar, aku akan menyusulmu kesana.”
“Arasseo.” Ujarnya senang. Tak lama lagi mereka akan segera pulang..





Youra menenteng dua buah tas plastik berisi kimchi, bibimbap, kimbab serta nasi goring ekstra pedas. Wajahnya terlihat puas karena di kantongnya sudah ada empat tiket dengan rute penerbangan dua kali transit sebelum tiba di Seoul. Tapi dia merasa sedikit aneh ketika pramuniaga tadi meliriknya berulang kali dan berdeham terus. Sepertinya wanita itu memperhatikan keadaan sekeliling dengan gugup dan menyerahkan tiket dengan terburu-buru.
Mau tak mau Youra kembali merasa cemas. Di genggamnya bungkusan makanan itu erat-erat dan mengamati sekelilingnya dengan gusar. Dia tahu hal itu percuma, sebab nyatanya Youra tengah berdiri menanti lampu merah bersama ratusan orang di jalan. Tak ada satupun yang mencurigakan—atau semuanya terlihat mencurigakan baginya. Youra mengeluh dalam hati, karena tak ada taksi di sekitar sini, dan dia diharuskan berjalan dulu untuk mencapai jalan protokol yang di penuhi taksi.
Lampu di atas kepalanya berganti warna menjadi merah terang, membuat orang-orang di sekitarnya berduyun-duyun menyebrangi zebra-cross sebelum lampu kembali berubah hijau. Youra berdesakan di antara pejalan kaki yang semuanya menyebrang tergesa-gesa. Ketika akhirnya Youra mencapai ujung jalan, dia segera menyetop sebuah taksi yang sedang melaju. Taksi itu melambat dan baru akan berhenti di depannya saat sebuah SUV berwarna abu-abu metalik menyalip mobil itu dan berhenti persis di depan Youra.
Dia terlalu syok untuk sempat bereaksi apapun. Dalam satu detik, beberapa orang pria kekar keluar dari kursi belakang dan segera membekap mulutnya. Mereka mendorong paksa Youra—nyaris melemparnya ke dalam mobil itu—lalu menutup pintu dengan keras.
Wait—What are you—Let me go!!” jeritnya ketika sebuah tangan menjambaknya. “Hands off of me!!”
Pria itu tak mengacuhkan teriakan Youra dan berbicara cepat menggunakan bahasa Portugis dengan temannya. Youra lalu mengamuk, mencakar siapapun yang berada di dekatnya dan bahkan menendang mereka. Tapi kemudian sebuah benda berat menghantam tengkuknya. Youra berjengit dan pikirannya membentuk sebuah wajah yang sedang menanti dengan cemas. “Donghae-ssi..” bisiknya ketakutan, sebelum dia jatuh dalam kegelapan yang menyesakkan..

***

Sudah lewat satu jam setengah dan Youra belum juga tiba di hotel. Gadis itu bahkan belum mengabarinya sekalipun. Donghae mendesah panik dan berjalan mondar-mandir ke sekeliling ruangan. Berulang kali dia berhenti di depan jendela dan mencoba mencari-cari siluet Youra di antara kerumunan orang di jalan. Tapi ketika akhirnya kecemasannya tak bisa lagi dia bendung, Donghae akhirnya mendatangi kamar Chae Rin.
“Pinjami aku ponselmu.” Ujar Donghae langsung menyambar ponsel milik Chae Rin sebelum gadis itu sempat menjawab. Dia menghubungi nomor Youra dan mendengar nada sambungannya. Tak sampai semenit, panggilannya di jawab dan Donghae baru akan mendesah lega ketika dia mendengar seseorang yang mengangkat telepon bukanlah Youra.
“Kau tak akan pernah menemuinya lagi walaupun di dalam mimpi.” Sebuah suara berat dan penuh kebencian berujar dengan santai.
“Isaías.” Geram Donghae tak percaya. Lelaki itu tertawa dingin di ujung panggilan.
“Kau ingin menyelamatkannya? Cobalah kalau bisa, nak. Aku menunggumu.” Tandas Isaías mengakhiri panggilan. Meskipun Donghae tak bisa melihatnya, tapi dia yakin bahwa pria itu sedang menyeringai puas.
“Aku harus pergi.” Ujar Donghae singkat dan di sebelahnya, Chae Rin menegang.
“Apa? Tidak bisa, Oppa. Kau benar-benar akan dibunuh jika kau mendatangi mereka lagi!” seru Chae Rin sambil menahan lengan Donghae.
“Jadi maksudmu aku harus membiarkan Youra begitu saja?” tanya Donghae garang.
Chae Rin menggeleng cepat dan dia menunjuk ke ujung ruangan, tempat mereka meletakkan tas Youra yang berisi laptop. “Tentu saja tidak. Yang harus kita lakukan pertama kali adalah mengecek keberadaan Youra. Tidakkah kau merasa aneh dengan perkataan Isaías?”
Donghae terdiam dan berusaha mencerna maksud Chae Rin. Gadis itu benar, meskipun dia sudah tidak sabar untuk segera menyelamatkan Youra, dia harus tetap berkepala dingin. “Tapi aku sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya.” Desah Donghae putus asa. Dia memang tak pernah memiliki kesempatan untuk mengetahui bagaimana Youra melakukan segala macam hacking itu. menurutnya pemrograman bukanlah sesuatu yang bisa di pahaminya dengan baik.
“Kau memang tidak, tapi aku bisa. Youra mengajariku bagaimana melacak sinyal ponsel kemarin siang. Dan aku tahu apa yang harus kulakukan.” Ucap Chae Rin yakin dan langsung berkutat di depan laptop Youra yang mulai menyala.


“Lihat, aku benar, bukan?” lengking Chae Rin dan Donghae buru-buru mendatanginya. Tak sampai dua puluh menit, gadis itu telah berhasil menemukan lokasi Youra. “Sinyal ponselnya tidak mengarah ke kediaman PCC!”
Donghae melihat sendiri titik kecil berpendar yang membelok menjauhi Favela. Dia menggigit bibirnya dan memperhatikan titik itu terus melaju ke tengah kota, nyaris mendekati hotel mereka namun berbelok ke arah pantai. Donghae sempat mengira bahwa mereka akan membawa Youra menuju Hutan Tijuca lagi tapi dugaannya segera terpatahkan ketika titik itu berhenti tepat di sebuah gedung yang berjarak dua puluh mil dari pusat kota. Dia harus berpegangan pada ujung kursi ketika hasil pencarian Chae Rin terlihat di layar laptop. Gedung itu ternyata bangunan berlantai enam, sebuah tempat prostitusi terkenal yang juga menjadi tempat jual beli wanita.
“Isaías ingin menjebakmu! Dia menahan Youra di tempat lain dan mengarahkanmu ke PCC. Kau harus cepat Oppa, aku yakin Isaías belum menyadari kalau kita sudah mengetahui niatnya.” Tukas Chae Rin panik dan dia segera menyerahkan mantel hitam Donghae yang ditinggalkan Youra serta kunci mobil pada Donghae. “Aku akan menyusulmu setelah mengantar Kyung Dae Oppa ke rumah sakit—”
“Tidak.” Sela Donghae cepat. Chae Rin mendongak menatapnya dan Donghae kembali berkata dengan tegas. “Kau dan Hyung harus segera pulang. Kalian pergilah ke bandara sekarang juga dan jauhi Favela. Aku yakin mereka masih siaga disana.”
Chae Rin mengutarakan protesnya namun segera di patahkan oleh Donghae. Gadis itu akhirnya menurut ketika Donghae berjanji bahwa dia akan langsung berangkat ke Seoul jika dia sudah berhasil menyelamatan Youra. Bersamaan dengan keberangkatan Donghae, Chae Rin juga ikut berkemas dan memesan taksi yang akan mengantar Kyung Dae dan dirinya ke bandara.
“Oppa, aku.. aku akan mencari bantuan untukmu.” Bisiknya ketika Donghae memeluk gadis itu.
“Terima kasih, Chae Rin. Kumohon, jagalah Kyung Dae Hyung.” Ujar Donghae kemudian.
Chae Rin mempererat pelukannya dan berkata dengan nada mengancam. “Kau harus kembali. Kalau tidak aku akan menginap di Bandara Incheon sampai kau tiba.”
Donghae tertawa kecil dan dia menepuk kepala Chae Rin pelan. “Kau sangat keras kepala.” Ucapnya mendengus geli.
Mereka berpisah di lobi hotel dan Donghae melambai pada Chae Rin yang memasang tampang muram. Gadis itu memandangnya dengan bibir mencebik dan kerutan di pelipisnya begitu kentara, hingga menyamarkan kecantikannya. Tapi Donghae tak punya banyak waktu, dia harus segera menjemput Youra, dimanapun gadis itu berada..

***


Youra merasakan migrain mendera kepalanya, bersamaan dengan denyut di pelipisnya yang semakin parah. Dia berusaha membuka matanya namun pandangannya terasa kabur. Youra mengumpulkan kekuatannya dan mencoba menggerakkan tangan tetapi sesuatu menahan pergelangan tangannya. Dia mengejang ketakutan dan kesadarannya perlahan timbul.
Ruangan itu berukuran tiga kali empat meter. Dengan sebuah jendela kaca yang terletak di sisi kepala Youra. Pintu kayu dengan cat putih yang mengelupas di bagian atas berdiri tak jauh dari kakinya. Tak ada apapun di ruangan itu selain tempat tidur kecil yang kini sedang ditiduri Youra. Dia menggeliat, berusaha menarik tangannya tetapi rasa sakit itu kembali menjalar. Youra terkesiap ketika dia mengetahui bahwa kedua tangannya terikat kuat di kedua sisi tempat tidur. Tidak hanya tangan, bahkan kakinya juga terikat, membuatnya tak bisa menggerakkan apapun kecuali kepalanya.
Namun secara tak terduga, pintu di depannya membuka. Dua orang muncul dan salah seorang pria yang mengenakan setelan jas langsung menyeringai senang pada Youra. Kedua pria itu mendekat dan saling bercakap-cakap menggunakan bahasa Portugis. Lelaki dengan jas bergaris-garis itu mengulurkan tangannya, menyentuh wajah Youra dengan hati-hati dan bergumam sendiri.
Hands off!” teriak Youra dengan tubuh menggigil. Ada yang salah disini. Dia tidak hanya di jadikan tawanan. Menilik cara pria itu menatapnya lapar, Youra yakin dia sedang menghadapi mimpi buruknya yang menjadi nyata.
Wait me, baby.” Desah pria itu di telinga Youra. Dia juga memamerkan deretan giginya dengan berdesis tak sabar. Youra bahkan bisa melihat pria itu tak sanggup menelan nafsunya lebih lama. Tetapi kemudian pria yang berdiri di depan pintu mengucapkan sesuatu dan kepalanya mengedik ke arah pintu. Lelaki dengan wajah mesum itu terlihat kecewa dan dia menatap Youra tak berdaya.
“See you.” Ujarnya menyeringai dan menghilang dari balik pintu. Youra masih belum bisa berhenti bergidik. Dia mencoba menjelajahi ruangan, mencari sebuah cara agar bisa kabur dari tempat ini, tapi tampaknya percuma. Dengan tali-tali yang mengikat tubuhnya erat, dia nyaris tak bisa melakukan apapun saat ini. Dan lagi, dia sama sekali tidak mengetahui dimana dia sekarang. Sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri? Apakah Donghae sudah menyadari bahwa dia telah menghilang?
Hatinya bagai tertusuk sembilu begitu memikirkan nama itu. Kesedihan langsung menemukan tempat untuk bersarang di hatinya dan tubuhnya berguncang karena menahan isakan tangis. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Youra memutar kepalanya dan melihat siluet sebuah puncak gedung di kejauhan melalui jendela di atas kepalanya. Itu berarti dia tidak berada di lantai dasar. Suara hiruk pikuk yang sepertinya teredam jauh juga semakin membenarkan kecurigaannya. Jantungnya mencelos. Kalaupun dia bisa melepaskan semua tali ini, dia tetap tidak akan bisa kemanapun. Pilihannya adalah lompat ke bawah atau menerobos penjagaan. Keduanya hampir mustahil.
Kepanikan melanda Youra. Keringatnya mulai turun karena udara yang pengap di ruangan itu. Dia tahu pria menjijikan tadi pasti akan segera kembali. Apa yang harus dia lakukan? Membayangkan nafas pria itu membuatnya mual. Youra harus memikirkan sebuah cara. Tapi apa?
Setelah menghabiskan beberapa menit bergumul dengan hatinya, akhirnya Youra menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan selain berharap. Mungkin Tuhan akan mendengarkan ratapannya bila dia berdoa dengan bersungguh-sungguh. Tetapi terdengar derap langkah kaki yang semakin mendekat dan Youra tahu waktunya tidak banyak lagi. Dia hanya sempat memikirkan wajah kedua orangtuanya, keluarganya, serta Lee Donghae..
Pintu menjeblak terbuka dengan bunyi berdebum keras, hingga nyaris mematahkan engselnya. Wajah Youra memucat, kelegaan dan keterkejutan terpapar di sana. Dia sama sekali tak pernah mengira bahwa pria yang mendatanginya tergesa-gesa itu adalah Donghae.
Lee Donghae mengeluarkan pisau lalu memotong lepas ikatan tali yang mengekang tubuh Youra. Dia belum mampu mengucapkan apapun, masih tak percaya bahwa kehadiran pria itu nyata adanya. Donghae sepertinya tak berniat menunggu reaksi Youra sebab dia langsung menggapai pergelangan tangan Youra dan menariknya berdiri.
Donghae mundur dua langkah—membuat tubuh Youra yang berada di belakangnya menempel di dinding—lalu memberikan aba-aba. “Pada hitungan ketiga.” Ucapnya tanpa menoleh. Youra mengangguk meski masih belum yakin apa yang akan mereka lakukan.
“Satu—” suara langkah kaki terdengar sayup-sayup.
“Dua—” hentakan kaki-kaki yang berada jauh sepertinya semakin mendekat. Mendadak Youra paham apa yang sedang terjadi.
“—Tiga!” raung Donghae dan detik itu juga pria itu berlari ke arah jendela dan menarik serta Youra. Pecahan kaca yang menggores lengan dan wajahnya terasa perih namun tak cukup untuk membuatnya mengalihkan kenyataan bahwa mereka sedang melompat dari lantai empat—atau setidaknya itulah yang sanggup dihitung Youra.
Udara dingin menerpa wajahnya dan Youra terlalu kaget untuk berteriak. Suaranya tercekat dan telinganya menangkap beberapa umpatan di belakangnya. Dia tahu penjaga-penjaga itu sedang mengejar mereka. Namun pikirannya tak bisa mengkalkulasikan apapun selain menghadapi fakta bahwa dia akan segera mati.
Youra memejamkan matanya pada detik-detik terakhir, mengunci mulutnya rapat-rapat dan hanya sempat menarik napas satu kali ketika tubuhnya tiba-tiba mendarat ada sesuatu yang lembut dan bergelombang. Tubuh Youra dan Donghae memantul satu kali sebelum benar-benar jatuh dan berguling di atas aspal jalan yang licin. Youra membelalak kaget melihat sebuah tenda dengan motif garis-garis merah-putih-kuning ternyata telah menahan tubuh mereka dari ketinggian. Pemilik tenda mengumpat dalam bahasa Portugis dan detik berikutnya Donghae langsung menariknya lagi.
Dia hanya mampu melihat sekelilingnya dalam kelebatan warna yang acak. Ada beberapa orang yang menyingkir dari jalan ketika mereka berlari melewati mereka. Teriakan, umpatan kekesalan, bahkan pertanyaan ingin tahu berdengung di sekitar mereka. Youra menatap ke depan, namun punggung Donghae yang bidang menghalangi pandangannya. Tangan pria itu terasa hangat, meskipun napas mereka sama-sama memburu, kedua kaki mereka berlari sekuat tenaga dan ketakutan terasa di ujung lidah. Berulang kali Donghae berbelok pada setiap persimpangan seakan dia mengenal tempat ini dengan baik. Sementara Youra sendiri tak bisa mencerna apapun. Dia hanya bisa melihat sekilas kerumunan orang-orang, mobil yang lalu lalang, serta bangunan-bangunan tua dengan gaya arsitektur abad sembilan belas di sekitarnya. Tetapi dia juga bisa mendengar beberapa orang mengejar mereka dan hanya tertinggal beberapa langkah di belakang.
Youra meringgis dan menggigit bibirnya. Berapa lama lagi mereka akan terus berlari? Karena sendi-sendi kakinya sudah berteriak kelelahan. Paru-parunya bahkan sudah menyerah untuk memasok oksigen yang langsung dia hembuskan detik itu juga. Kepala Youra sudah mulai terasa berat. Tubuhnya memang masih berlari, namun rasa takutlah yang menggerakkan otot-ototnya untuk terus bergerak. Dan ketika Youra hampir kehilangan kekuatannya, Donghae berhenti dan mendorongnya masuk ke sebuah mobil.
Pria itu langsung menyalakan mobil dan menginjak gas pada saat yang bersamaan. Tubuh Youra terlempar ke belakang ketika mobil pinjaman Chae Rin itu ‘terbang’ ke jalan raya. Dia melirik Donghae sekilas dan segera berbalik ke belakang.
“Donghae-ssi, mereka mengejar kita.” Pekik Youra panik.
“Aku tahu.” Jawab Donghae pendek dan langsung berbelok ke kanan di perempatan jalan. Mobil-mobil di belakang mereka bergerak mengikuti laju mobil mereka dan bahkan semakin mendekat.
Donghae mempercepat mobilnya namun tiba-tiba saja kabut asap menguar dari bagian belakang mobil. “Sial!” umpat Donghae kesal sambil menggedor dasbor. Pria itu tidak menghentikan mobilnya dan terus menginjak pedal gas, memasuki kerumunan mobil-mobil yang mulai lenggang dan bentangan jalan yang dipenuhi pepohonan menyambut mereka.
Youra melongok ke jendelanya dan hamparan laut bersisian dengan mereka. Deburan ombak seakan berlomba menarik perhatiannya. Kilauan matahari yang terpantul di atas air laut membuat Youra kagum. Dia hampir melupakan tiga mobil yang berada semakin dekat dengan mereka. Pemandangan itu membiusnya untuk sejenak. Memanggil-manggil Youra untuk segera mendekat.
Dan sebuah tembakan berdesing melewati mobil mereka. Youra terlempar ke alam sadar dan tubuhnya menunduk secara refleks. Dia melirik cemas Donghae yang juga menegang. Wajahnya terlihat kalut, berusaha mempercepat mobil dengan peluru-peluru yang mengarah pada mereka. “Sedikit lagi..” gumam Donghae tak kentara. Youra tak sempat bertanya apapun sebab peluru kedua berhasil memecahkan kaca belakang mobil menjadi ribuan keping. Debu-debu dan pecahan kaca itu langsung bergabung bersama angin, menolak melindungi Youra dan Donghae lebih lama.
“Donghae-ssi!” teriak Youra ketakutan. Sebutir peluru yang akan ditembakkan dari belakang akan mampu membunuh Youra. Atau Donghae.
Terdengar bunyi letusan lagi dan tiba-tiba saja Donghae membelok ke kanan dengan tajam, membuat Youra terpaksa menabrak pintu mobil dengan menyakitkan. Mobil membentur sesuatu tetapi Donghae terus memaksa mobilnya untuk tetap melaju kencang. Tak ada apapun di sekitar mereka kecuali pepohonan yang berjejer serta semak-semak yang meninggi. Hutan itu pasti akan terlihat mencekam jika malam tiba. Namun sinar matahari yang benderang mampu menghilangkan kesan suram, dengan air laut yang bergolak di kejauhan, hutan itu terlihat seperti bersatu dengan laut Copacabana.
Youra berbalik dan tak menemukan sebuah mobil pun berhasil mengejar mereka, meski dia bisa mendengar suara mesin mobil yang meraung, menandakan mereka akan tiba sebentar lagi. Youra berniat memberitahu Donghae ketika pria itu malah menghentikan mobil di tengah-tengah hutan. Dengan kebingungan yang tampak jelas, Youra mengikuti instruksi Donghae yang menyuruhnya untuk segera keluar dari mobil.
Donghae menggenggam lagi jemari Youra dan mereka kembali berlari di tengah hutan. Berulang kali kaki Youra tersandung dan Donghae terus menariknya, tidak memberinya kesempatan untuk mengeluh atau berkata apapun. Sementara suara-suara di belakang mereka semakin terdengar jelas, memaksa Youra untuk berlari lebih kencang lagi.
Kali ini pendengarannya terpecah. Deburan ombak yang mengamuk sepertinya tepat di bawah kakinya. Youra melihat ke depan dan tiba-tiba saja bentangan laut yang luas terhampar di hadapannya. Bibirnya menganga tak percaya. Kekaguman sekaligus ketakutan berkecamuk di hatinya. Dia masih terus mengagumi betapa indahnya laut Copacabana ketika Donghae berhenti mendadak dan Youra menabrak tubuhnya.
Donghae mengeluarkan gulungan tali dari saku mantelnya dan mulai mengikat benda itu ke sebuah ranting pohon yang mencuat rendah di sekitar mereka. Pria itu sama sekali mengabaikan Youra dan memilih bekerja dalam diam. Youra mengamati sekelilingnya dan dia harus menahan pekikannya ketika menyadari bahwa mereka sedang berada di tubir. Kakinya berusaha maju satu langkah dan kepalanya melongok ke bawah, ke tempat dimana air laut mengamuk. Tebing ini membuat kakinya goyah. Youra berjalan mundur namun tangan Donghae menahannya.
“Pegang ini, Youra.” Ujarnya cepat. Youra mengambil seutas tali yang menjulur dari ikatan di ranting pohon itu dengan bingung. Tali itu ternyata membagi menjadi dua dan salah satunya berada dalam genggaman Donghae.
“Apa yang harus kita lakukan dengan tali ini?” tanya Youra bingung.
Donghae melirik ke belakang sekilas dan wajahnya berkerut ragu. “Dengar, kau harus memegang tali ini kuat-kuat. Ikuti aku, dan jangan sekalipun melepas peganganmu.”
Pria itu maju hingga ke ujung tebing dan dengan hati-hati kakinya menjejak ke sisi tebing yang curam. Youra bergidik ketakutan dan berseru nyaring. “Maksudmu kita harus bergantungan dengan tali ini?!”
“Youra-ya, tidak ada waktu! Cepatlah.” Donghae tidak menjawab pertanyaan Youra dan menekan akhir kalimatnya dengan gusar. Youra berbalik dan mendengar suara-suara mulai mendekat ke arah mereka. Dia tidak punya pilihan lain sekarang. Toh dia akan tetap mati jika air laut menelannya hidup-hidup.
Dengan separuh ketakutan Youra akhirnya mengikuti Donghae. Dia menjejakkan kakinya pada sebuah batu yang mencuat dari timbunan tanah dan berusaha menyeimbangkan bobot tubuhnya. Tali ini memang membantunya untuk tidak segera jatuh, tapi tetap saja tubuhnya tak bisa leluasa berdiri dengan hanya mengandalkan pijakan rapuh dan seutas tali. Di sebelahnya, Donghae telah berhasil turun  perlahan dan Youra buru-buru mengikutinya. Dia mengerahkan seluruh indra pada kedua kakinya untuk mencari pijakan baru. Dan kaki kirinya menemukan sebuah lubang kecil yang bisa dijadikan tumpuan untuk sejenak.
Tepat ketika tubuh Youra semakin turun ke bawah, para anak buah Isaías muncul di ujung semak-semak. Dia mendengar sumpah serapah mereka dan berusaha dengan panik untuk segera menurunkan tubuhnya lebih jauh lagi. Langkah kaki itu akhirnya tiba tak jauh dari mereka dan Youra mengenali suara Isaías yang dalam dan berat berkata cepat dalam bahasa Portugis.

“Apa kau percaya padaku?”
Pertanyaan Donghae menimbulkan arti ganda.  Tapi dia tahu mereka tak punya banyak waktu lagi sekarang. Di atas mereka, anak buah Isaías sudah mulai mencari-cari. “Ya, aku percaya padamu.” Jawab Youra tanpa keraguan. Itu benar, dia memang mempercayai pria itu sepenuh hatinya.
“Dengarkan aku baik-baik. Jika aku memberimu aba-aba, maka kau harus melepaskan peganganmu. Arajji—kau mengerti?” sambung Donghae lagi. Sebagai jawaban, Youra mengangguk cepat. Pilihan untuk melepaskan pegangannya sebenarnya terlalu menakutkan. Tapi bahkan setiap inci tubuh Youra sudah menjerit protes. Dia tidak akan bisa mempertahankan pegangannya lebih lama lagi.
Youra melirik ke bawah dan dadanya berdegup, begitu menyesakkan ketika dia menyadari bahwa hidupnya akan berakhir sebentar lagi. Di pandanginya Donghae dengan binar mata penuh pemujaan dan Youra membisikkan kata-kata terima kasih padanya. Pria itu mengerutkan kening dan menepis kepasrahan Youra dan berupaya meyakinkan dirinya bahwa mereka akan selamat.
Sepertinya waktu berjalan begitu lama ketika Donghae akhirnya berteriak agar mereka melepaskan pegangan. Youra mematuhi Donghae dan segera membiarkan kedua tangannya bebas. Tubuhnya melayang di udara, deru angin yang memenuhi pendengarannya menjadi pertanda bahwa dia benar-benar sedang melaju ke bawah dengan kecepatan penuh. Mata Youra mencari-cari Donghae dengan putus asa. Dia mendapati kedua mata Donghae juga sedang menatapnya tanpa ragu. Sejenak titik rotasi melambat dan Youra yakin dia sedang melihat seluruh hidupnya terpancang kuat pada mata cokelat sempurna yang balik menatapnya.
Entah berapa lama mereka melayang di udara sebelum air laut menelan mereka tanpa ampun. Ombak menggulung tubuh Youra yang langsung menggigil karena suhu air yang begitu rendah dan paru-parunya mulai terbakar menyakitkan. Dia menyesal tidak pernah menggunakan kesempatannya untuk belajar berenang dengan baik. Namun tetap saja semuanya sudah terlambat sekarang. Air laut menarik tubuh Youra semakin ke dalam, mencoba mengalahkan usaha Youra yang menggapai-gapai tanpa hasil. Dia tidak sanggup lagi, pandangannya berubah kabur dan tak ada yang  bisa dilihatnya selain sebuah siluet dengan titik putih yang berkilau di belakang siluet itu.
Kesadaran Youra perlahan menghilang. Dia sedang menyambut kematiannya ketika tiba-tiba sebuah tangan menariknya ke atas..

***


Donghae menghirup oksigen dan langsung menyelam dengan mengerahkan segala kekuatannya. Dia terkejut ketika menyadari tubuh Youra semakin jauh dari jangkauannya, tenggelam di telan ombak tanpa perlawanan. Donghae mendorong tubuhnya menembus hempasan air laut dan berusaha menggapai Youra. Dia berteriak namun percuma, gadis itu bahkan tak lagi menyadarinya. Sekali lagi, Donghae menyelam lebih dalam, dan saat persediaan oksigennya mulai menipis, tangannya berhasil meraih jemari Youra. Dengan seluruh tenaganya, dia menarik Youra ke permukaan dan segera menghirup udara sebanyak yang dia mampu.
Youra terbatuk dan matanya mengerjap panik ketika Donghae membawanya berenang kecil menuju dinding tebing. Tubuh gadis itu menggigil dalam dekapannya, dan tangannya merengkuh ujung kerah kemeja Donghae dengan erat, seolah dia akan kembali jatuh jika melepaskannya. Donghae berusaha menenangkannya sembari berbisik, “gwaenchanha, Youra-ya, gwaenchanha..”
Gigi mereka bergemeletuk menahan dinginnya air laut sementara tangan Donghae menarik sebuah sulur yang menyembul keluar dari dinding tebing lalu menjadikan sulur itu sebagai penahan mereka. Donghae memandang lautan luas dan dia memicingkan matanya ketika melihat sebuah titik yang semakin lama semakin membesar—mendekat ke arah mereka.
Youra juga tampaknya mengetahui hal itu, sebab dia kini mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan napasnya tercekat. Mulanya hanya sebuah speed boat yang bisa mereka lihat, namun beberapa detik kemudian, barulah mereka menyadari ada belasan speed boat yang mengarah ke tempat mereka yang tengah bergantung pada sebuah sulur. Seluruh speed boat itu kini berputar-putar mendekat, mengepung mereka berdua dan Donghae bisa mendengar suara Youra yang berucap lirih. “Celaka, kita tak akan bisa kabur lagi.”
Donghae tersenyum dan mengamit tubuh Youra semakin erat. “Jangan khawatir, Youra-ya, mereka adalah Interpol. Itu adalah bantuan yang dikirimkan Chae Rin..”

***

Satu minggu kemudian



Youra menaiki anak tangga dengan napas terengah-engah. Stiletto yang dia kenakan memperlambat gerakannya, dia tahu itu, tapi Youra tetap tidak ingin melepaskan benda itu. Dia harus tetap memakainya jika ingin penampilannya sempurna. Malam ini pengumuman resmi mengenai identitas asli Donghae akan diberitakan secara luas. Mereka memang baru tiba di Seoul kemarin sore, karena pihak Interpol menahan mereka di New York selama lima hari. Tetapi karena telah meninggalkan perusahaan tanpa kabar, Kyung Dae dan Donghae sama-sama dicecar ribuan pertanyaan dari berbagai pihak. Media massa bahkan sengaja menanti di depan gedung Fashion selama berhari-hari demi mendapatkan jawaban konkret mengenai keberadaan Kyung Dae dan Donghae yang menghilang secara misterius.
Media Internasional memberitakan penangkapan Isaías di Rio de Janeiro dengan terperinci, membuat nama Donghae dan Youra di sebut berulang kali. Hanya Chae Rin dan Kyung Dae yang lolos dari sorotan kamera serta Interpol karena gadis itu ternyata melaporkan peristiwa penculikan Youra dan lokasi pembuatan LAD pada Interpol tanpa menyebutkan keterlibatan Kyung Dae dan dirinya. Chae Rin beranggapan bahwa masa lalu Kyung Dae yang kelam akan membuat Interpol ikut menahannya bersama Isaías. Jadi, setelah keributan kecil di Rio de Janeiro itu, mereka akhirnya mendengar keputusan bahwa Isaías akan di tempatkan di sebuah penjara khusus di Virginia selama empat puluh tahun. Pihak Interpol menjamin PCC sudah benar-benar bubar dan telah menyita seluruh benda yang mereka miliki. Dengan kata lain, mereka bisa tetap mengunjungi Rio de Janeiro tanpa perlu ketakutan lagi. Well, mungkin tidak termasuk Favela..
Begitu menjejakkan kaki di anak tangga terakhir, Youra merapikan dulu penampilannya sebelum mendorong pintu di depannya. Angin berhembus menyambut kedatangannya, membuat rambutnya sedikit berantakan dan ujung gaunnya berkibar. Youra berdiri di ambang pintu, menatap punggung seseorang yang langsung membuat jantungnya meninggalkan ketenangan. Dan perlahan, pemilik punggung itu berbalik, menunjukkan wajahnya yang tanpa cela pada Youra.
Lee Donghae sedang menatapnya tersenyum. Wajahnya seperti malaikat yang muncul dari langit secara tiba-tiba. Donghae mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang melingkari lehernya. Celana hitam serta sepatu Laced Up berwana cokelat tua membuatnya terlihat seratus kali lebih gagah, lebih rupawan, bahkan lebih sempurna. Sebelah tangan Donghae memegang segelas wine sementara sebelahnya lagi tengah berada di saku celananya. Youra ingin mengabadikan pemandangan yang sedang disaksikannya dengan jelas, agar dia masih bisa mengingat hal ini ketika dia memasuki masa tuanya.
“Kemarilah.” Ujar Donghae merdu. Pria itu menelengkan kepalanya dan menanti Youra yang berjalan kikuk.
Donghae mengambil jasnya yang ternyata tersampir di ujung kursi panjang dan langsung menyelimuti pundak Youra, membuatnya tersipu. “Kau cantik sekali.” Bisik Donghae. Pria itu mendekatkan tubuhnya dan Youra merasa jantungnya telah kabur ke Mars.
“Lihat aku, Youra Leavanna.”
Mata Youra langsung menemukan sepasang manik cokelat muda kesukaannya, berada tak jauh dari jangkauannya dan dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari tatapan Donghae yang begitu dalam.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apapun lagi selain berterima kasih padamu. Karena tanpa bantuanmu aku tidak mungkin berada di sini. Tapi aku ingin tahu, kenapa kau menolak permintaanku untuk menungguku dengan aman di Seoul?”
Youra bungkam sejenak. Dia menarik napanya dalam-dalam dan menjawab dengan nada menyesal. “Aku mengkhawatirkanmu, Donghae-ssi. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu dengan cemas.”
Donghae terdiam dan menutup matanya. “Bagaimana jika aku meminta padamu untuk menungguku lagi?” tanyanya berhati-hati.
Jantung Youra seakan bisa merasakan dinginnya air laut Rio de Janeiro yang membekukan sekujur tubuhnya. Dia tidak bisa menahan kesedihannya ketika bertanya pada Donghae. “Kau akan pergi kemana?”
Tidak ada jawaban, Donghae malah merapatkan tubuhnya pada Youra. “Kumohon, aku butuh waktu empat menit. Bisakah kau menutup matamu, Youra-ya? Aku janji akan menjelaskan padamu setelahnya.”
Youra mengangguk dan menutup matanya. Dia mulai menghitung dalam hati dengan seluruh tanda tanya memenuhi rongga tubuhnya. Tetapi terdengar langkah kaki Donghae yang semakin menjauh dan perasaan kecewa menggelayutinya. Apakah pria itu pergi diam-diam? Tapi kenapa?
Youra terus menghitung dalam hati, meskipun dadanya sesak oleh kesedihan. Ketika hitungannya mencapai angka dua ratus empat puluh, Youra masih belum mampu membuka matanya, dia takut mendapati bahwa Donghae ternyata benar-benar meninggalkannya lagi.
Baru setelah menarik napas dalam-dalam, Youra membuka kelopak matanya perlahan dan airmatanya langsung tumpah. Kekagetannya tak bisa dia sembunyikan ketika menemukan Donghae tengah berdiri di ujung pagar pembatas, dengan tangannya mengulurkan sebuah buket bunga mawar yang cantik. Tapi bukan itu yang memecah emosinya, membuat tangisannya berubah dari sedih menjadi haru, melainkan ketika gedung-gedung di belakang Donghae padam secara serentak dan meninggalkan beberapa petak cahaya yang mengukir sebuah kata untuknya: Will You Marry Me?
“Menikahlah denganku, Youra Leavanna. Jadilah istriku untuk selama-lamanya. Menjadi ibu bagi anak-anakku kelak dan tetap bersamaku sampai aku mati.”
Suara Donghae menyusup ke telinganya, membuat tangisannya lolos lebih keras. Pria itu mengulang perkataannya dan menambahkan pertanyaan paling tidak penting: “Maukah kau menikah denganku?”
“I do. I will definitely do.” Jawab Youra dengan airmatanya yang masih tumpah. Detik itu juga Donghae menghambur padanya dan mendekapnya erat. Bibirnya menemukan bibir Youra dengan cepat. Mereka berciuman di tengah hembusan angin yang tiba-tiba berubah menjadi hangat. Menyelimuti perasaan mereka dengan luar biasa nyaman. Jika sebelumnya Youra merasa empat menitnya sia-sia, kini dia mengganti memorinya, menanam sebuah ingatan baru yang akan ia kenang selamanya.
“Aku mencintaimu, Donghae-ssi.” Bisik Youra diantara ciumannya.
“Terima kasih sudah mencintaiku, Youra. Sekarang giliranku untuk mencintaimu seumur hidupku.” Tandas Donghae tanpa keraguan, membuat Youra merasa yakin bahwa pria itu benar-benar akan terus mencintainya. 
Seumur hidupnya.


***
END


7 komentar:

  1. Finally! Endddd!
    Pertama-tama ehm..gaada yg mau aku komentarin dari segi cara penulisan kamu (yang memang gaada kesalahan, teratur dan nyaman untuk dibaca) tapi, mungkin cara penyampaiannya (menurut aku ya) agak sulit dipahami, mungkin yg agak kesulitan aku gambarkan keadaannya pas donghae dan youra lagi terdesak di tebing. Selebihnya aku paham dan soal alur cerita..tegangnya itu pas! Dapet! Ngena^^ meskipun dibeberapa bagian aku menyesali tindakan youra yang keluar dari hotel dan malah ngebuat dia diculik.
    Eum..apa lagi ya? Aku cukup puas sama endingnya! Walaupun beberapa kali sempet breathless karna situasi no choice yg dialamin donghae..
    Aduh..jadi panjang banget T__T tapi aku bener2 ga tahan mau komentar keseluruhannya hahaha.
    Intinya aku seneng dan puas 9 chapter ini berakhir bahagia! Selamat untuk kamu dan untuk para pembaca!! Yeay~

    BalasHapus
  2. that's good
    tiap kalimat sungguh2 bermakna
    akhirnya happy ending juga
    dari ceriat2 yang ada sepertinya author suka cerita2 yg bebau misteri kayak detektif hahahaha
    semangat buat ff selanjutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo Ainy,
      hehe kesannya gitu ya? padahal aku kurang suka baca cerita detektif-detektifan loh -.-"
      oke, makasih ya :)

      Hapus
  3. hehehe tapi apapun ceritanya kalau sudah dipegang ma ahlinya pasti hasilnya muasin

    ditunggu karya2 lainnya :D

    BalasHapus
  4. Huwaaaa... Finally~~ happy ending^^
    Ughh berasa ntn film action :v ikutan tegang :3 mwehehe
    Akhirnya mafia nya tertangkap, Kyundae selamat, dan Youra n Donghae bahagia~ yeayyy~
    Suka banget sama ff buatan author.. Penulisan rapi n ngepas banget gtu buat dibaca, dan adegan romance kakak jago banget :v smpe gregetann hahaha
    Oke de.. Ditunggu karya lainnya ya author~ fighting~

    BalasHapus
  5. Hallo, diriku readers baru. Mohon maaf aku baru menuangkan komentarku di chap trakhir. abis saking penasaran dan gg mau nunda2, sampe lupa mandi, lupa makan, lupa sekrng udh tahun berapa #plakkkk :D


    omegattttt...
    ini ff paling menegangkan dan mengharukan. kalo ada acara ff awards, aku langsung vote ff ini deh. parah parah, authornya harus tanggung jawab nih bkin jantung aku olahraga keras dari tadi.

    romance pas, action pas, castnya juga pas. ngebayangin betapa lusuhnya donghae di awal kisah, tapi jadi gagah gtu di endingnya.

    dua kata buat authornya. "Daebak Bingit" :) sukses terus

    BalasHapus