Alternative title :
기다리고 있었어요! 봐지? (Kidarigo Isseosseoyo! Bwaji?)
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21
CAST :
Lee Dong Hae [ 이동해 ]
Youra Leavanna [ 요우라 리판나 ]
Kim Kyung Dae [ 김경대 ]
Park Chae Rin [ 박채린 ]
Author :
@Aoirin_Sora
Chapter 9
—The Last Chapter—
『Even
the time has passed,
Now I do nothing but loving you..』
Youra memandangi layar
laptopnya tanpa berkedip. Di belakangnya, Chae Rin dan Donghae menanti dalam
diam, meskipun tarikan napas mereka terdengar gelisah. Sudah hampir ratusan
kali Donghae meminta—bahkan memohon—agar Youra beristirahat dan tidur untuk
beberapa jam, namun Youra bersikeras untuk menyelesaikan pekerjaannya. Hal
terbesar dan tersulit yang dilakukannya saat ini adalah meretas server
kepolisian yang mengatur bagian cctv seluruh jalanan di Rio de Janeiro. Youra
bahkan belum merenggangkan tubuhnya dalam tujuh jam belakangan. Dia
terus-menerus terpaku menatap layar, mencoba mengetik baris demi baris perintah
di laptopnya dan menggigit bibir dengan cemas ketika dia nyaris ketahuan ratusan
kali.
Di ujung ruangan, sinar
matahari berhasil menerobos masuk melalui celah-celah gorden yang sengaja
dibiarkan tertutup. Seakan mengingatkan mereka bahwa langit tak lagi gelap. Donghae
kemudian bangkit, membuka gorden keras-keras dan menatap Youra sedih. Lingkaran
hitam yang menggantung di kedua pelupuk mata Youra membuatnya merasa bersalah. Gadis
itu bergeming, tak menggubris seluruh bujukannya untuk segera tidur.
“Aaarrghh!! Andwae! Maldo andwae!!” teriak Youra gusar dan membanting mouse-nya. Youra menutup wajahnya dengan
tangan dan menjerit kesal.
“Kumohon, Youra-ya. Pergilah
tidur. Aku yakin kita bisa menunggu beberapa jam..” pinta Donghae
sungguh-sungguh. Dia meletakkan tangannya di pundak Youra dan gadis itu
menghela napas dalam-dalam.
“Semakin lama kita
mengulur waktu, nyawa Kyung Dae-ssi akan semakin terancam. Aku tidak bisa
menunda-nundanya lagi, Donghae-ssi.” Youra memberengut menatap layar laptopnya yang
mengulang pesan yang sama; Disconnect.
“Tapi aku benar-benar tidak mengerti lagi harus menerobos dari mana. Kepolisian
Rio de Janeiro benar-benar tangguh dan sangat sulit ditembus bahkan dengan
bantuan seluruh PC di kota ini!”
Donghae mengusap jemari
Youra yang tengah terkepal dan mengacuhkan tatapan marah Chae Rin. Setidaknya
gadis itu tidak memiliki nyali untuk menginterupsinya terang-terangan. “Pikirkan.”
Ujar Donghae lembut. “Apa yang biasanya kau lakukan jika sebuah server tidak
bisa di tembus dari luar?”
Youra terdiam sejenak dan
perlahan-lahan wajahnya berseri-seri. Dia menatap Donghae dengan mata berbinar dan
bergumam kecil. “Kau benar. Masih ada cara.” Ucap Youra yakin dan mengangguk
bersemangat. “Server kepolisian memang telah dilindungi dengan sangat ketat, tetapi
itu hanya berlaku untuk serangan dari luar. Pada dasarnya pengamanan server-server
pemerintahan lemah terhadap penyusupan dari dalam. Itu artinya aku harus mulai
mencuri sebuah IP milik kepolisian itu sendiri.. Kenapa hal itu tidak
terpikirkan olehku? Paboya!”
Dan detik berikutnya Youra
sudah kembali tenggelam dalam misinya untuk menerobos pengamanan cctv di
seluruh jalanan Rio de Janeiro dengan gigih. Donghae sempat menanyakan padanya
mengapa Youra harus meretas server kepolisian terlebih dahulu dan bukannya
langsung membiarkannya pergi menyelamatkan Kyung Dae. Gadis itu melotot garang
dan menjawab keras kepala. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi kemanapun tanpa
mengetahui jalanan yang kau lewati itu aman atau tidak, Donghae-ssi. Kita tidak
tahu berapa banyak anak buah PCC di kota ini dan aku ingin memastikan bahwa tidak
satupun gerakan mencurigakan dari mereka dengan melihat semuanya dari cctv di
setiap sudut jalan.” Dan tepat setelah melontarkan argument itu, Youra langsung
membuktikan ucapannya.
Donghae bahkan telah
tertidur selama dua jam dan ketika dia terbangun dan menemukan Youra tidak
bergeser satu inci pun dari tempat duduknya, Donghae merasa amat bersalah dan bersumpah
bahwa dia tidak akan tertidur lagi. Jadi yang dilakukannya hanyalah terus
menerus berada di sisi Youra dan menyemangatinya, meskipun dia tahu itu tidak
membantu sama sekali.
Matahari sudah meninggi di
langit, memijaki tahtanya dengan angkuh dan menyirami seluruh sudut kota Rio de
Janeiro dengan sinarnya yang keemasan. Dan tepat pada pukul sepuluh pagi—setelah
hampir dua belas jam terus mencoba—akhirnya Youra berhasil menyusup dalam
sistem keamanan Kepolisian setempat. Dia menyabotase lebih dari seratus cctv
jalanan yang tersambung langsung dengan laptopnya. Chae Rin bahkan sudah
membeli dua laptop baru yang di gunakan untuk memantau separuh dari kamera itu,
karena jika hanya mengandalkan laptop Youra, dia yakin mereka tidak akan bisa
melihat semua cctv dengan jelas. Dan ketika seluruh usahanya telah berjalan
lancar, Youra tertidur dengan perasaan tenang. Dia separuh berharap bahwa
semuanya akan baik-baik saja..
***
“Ini, kalian harus
mengaktifkan ponsel kalian apapun kondisinya. Agar aku tahu kalian ada di
tempat yang benar atau tidak.” Youra menyerahkan dua ponsel yang kemarin siang
di beli Chae Rin kepada Donghae dan Chae Rin.
Chae Rin mengangguk takut.
Gadis itu sepertinya telah kehilangan sebagian besar keberaniannya meski
tekadnya masih belum luntur. Dia menghabiskan hari dengan membungkam bibirnya
rapat-rapat dan duduk di sudut jendela, terlihat resah sekaligus ketakutan.
Youra berpaling ke arah
Donghae dan terkejut menemukan Donghae yang sedang menatapnya. “Ada apa?”
“Apa kau yakin semuanya
baik-baik saja?”
“Tentu.” Jawab Youra tersenyum.
“Aku sudah memastikan seluruh jalan dengan radius seratus kilometer dari
kediaman PCC berada dalam pengamatanku. Sistem Pengamanan di PCC juga masih
kukendalikan, yang artinya aku tahu apa yang terjadi disana.”
Donghae mengangguk pelan. Sebenarnya
bukan itu yang dia takuti. Dia percaya Youra sudah menangani hal itu dengan
sangat baik, tapi dia tidak bisa berhenti khawatir. Memikirkan keselamatan
Youra membuatnya tidak tenang. Kalau saja dia bisa memulangkan gadis itu ke
Seoul..
“Jadi begini,” seru Youra menarik
perhatian Donghae dan Chae Rin. “Kita akan mengikuti rencana semula. Aku sudah
memonitor cctv jalan sekaligus keadaan gerbang PCC selama beberapa jam dan aku
pikir lebih baik kalau kalian memulai secara terpisah. Ada beberapa titik di sekitar
kediaman PCC yang tanpa pengawasan, dan aku akan mengusulkan bahwa Chae Rin menunggu
di salah satu titik itu, jadi, jika Donghae-ssi berhasil membawa keluar Kyung
Dae-ssi dengan aman, kalian bisa segera kabur dari situ secepat mungkin. Bagaimana?”
Chae Rin mengangguk
gelisah, dia memperhatikan penjelasan Youra seakan tak punya pilihan lain dan mencoba
mengingat-ingat di mana saja tempat yang tanpa penjagaan. Sementara Donghae
sudah mulai mempersiapkan diri, mengisi seluruh mantelnya dengan barang-barang
penting seperti tali, pemantik, bahkan sebuah stun gun. Dia tak terlalu yakin benda-benda itu mimiliki banyak
kegunaan, tapi toh lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Pukul satu dini hari, Chae
Rin dan Donghae bergerak. Chae Rin berhasil mendapatkan pinjaman sebuah mobil
usang siang tadi dan dia akan menurunkan Donghae di titik pertama, lalu setelah
itu menunggu pada titik kedua, dimana Donghae berjanji akan membawa Kyung Dae
hidup-hidup padanya. Itu rencana nekat, tanpa peralatan yang memadai dan terlalu
beresiko. Tapi mereka tidak bisa mundur lagi sekarang. Semuanya sudah terlanjur
dan satu-satunya cara adalah meneruskan misi mereka.
***
Dua titik berkelap-kelip
di layar laptop Youra dan keduanya masih berada dalam satu tempat yang
berdekatan. Itu berarti Donghae dan Chae Rin masih sama-sama berada dalam mobil
menuju kediaman PCC yang terletak hampir 25 mil ke selatan. Youra melirik ke layar
sebelahnya dengan cemas. Seluruh aktifitas penjagaan malam hari PCC memang sedikit
melonggar, kebanyakan penjaganya malah berjudi dan mabuk-mabukkan. Dia tahu, kesempatan
mereka mungkin sedikit lebih tinggi sekarang, jika semuanya berjalan sesuai
rencana, maka Donghae akan kembali dalam waktu kurang dari dua jam.
Di salah satu cctv, Kyung
Dae terlihat masih bernyawa, meski tubuhnya tidak diobati sama sekali. Pria itu
separuh mengigau dan menggumamkan kata-kata seperti ‘mianhae’. Youra tidak tahu apa yang di sesali pria itu, tetapi sepertinya
dia benar-benar menyesal hingga mengucapkannya ketika tertidur. Ponsel Youra
berdering dan dia segera mengangkatnya, hanya ada dua nomor di sana, jadi dia
sudah bisa menebak siapa yang menghubunginya.
“Kami sudah tiba di titik pertama. Chae Rin akan segera ke titik kedua
dalam tiga menit. Apa yang harus kulakukan sekarang?”
Youra memeriksa kamera
pengawas di jalan dan melihat Donghae berdiri di samping sebuah mobil usang. Dia
mengetik beberapa baris perintah di laptopnya dan melihat bahwa seratus meter
kedepan sama sekali kosong.
“Donghae-ssi. Berjalanlah kira-kira
seratus meter ke depan dan bersembunyi di antara deretan mobil di seberang gerbang.”
Donghae menjawab perintah
Youra dan tidak mematikan sambungan teleponnya. Dari kamera pengawas PCC, Youra
melihat Chae Rin baru saja melewati salah seorang penjaga yang bertubuh dua
kali lebih besar dari gorilla. Tetapi gadis itu berhasil sampai ke titik kedua
yang sepi tanpa dicurigai.
Sekarang waktunya. Youra
membuka kembali program hackingnya dan memulai menjalankan idenya kemarin
malam. Dia merekam semua gambar yang di tampilkan di kamera pengawas PCC selama
satu menit, lalu menduplikasi rekamannya pada layar pengawas milik PCC. Sehingga
para petugas penjaga kamera itu tidak mengetahui bahwa seseorang masuk dan tertangkap
kamera cctv sebab tampilan yang asli hanya muncul pada laptop Youra. Dia hanya
butuh kira-kira sepuluh menit untuk mengirimkan rekaman palsu itu lalu mengaplikasikannya
ke semua layar pengawas.
“Donghae-ssi, bisakah kau melompat
melalui pagar di depanmu? Aku sudah mengalihkan kamera pengawasnya.” Ujar Youra
cukup yakin.
Pria itu menunggu
kira-kira tiga puluh detik dan mengendap-endap mendekati pagar PCC yang tinggi.
Dia memijakkan kakinya ke salah satu tong sampah dan melompat. Kedua tangannya
menggantung di ujung tembok dan Donghae berusaha mengangkat tubuhnya untuk menaiki
pagar. Ada sekitar lima kamera pengawas yang menangkap gambar Donghae yang
berusaha naik tersebut, namun Youra telah memastikan bahwa yang muncul di layar
pengawas PCC adalah rekaman palsu miliknya.
“Aku sudah berada di balik pagar.” Bisik Donghae nyaris tak
terdengar.
“Bagus. Sekarang adalah saat
yang sulit. Kamar tahanannya ada di ruang bawah tanah, Donghae-ssi. Kau bisa
melihat kediaman PCC yang kira-kira dua ratus meter dari tempatmu berdiri,
bukan? Berjalanlah seratus lima puluh meter ke depan sambil menunduk. Begitu
kau menemukan semak-semak bunga, bersembunyilah di situ untuk beberapa saat. Akan
ada penjaga yang berpatroli sekitar setengah jam sekali dan akan lewat dalam sepuluh
menit.”
Donghae melakukan apa yang
di perintahkan Youra dan segera menyembunyikan dirinya dalam semak-semak itu
hingga Youra memberi instruksi lagi. “Donghae-ssi, keadaan di dalam aman. Masuklah
dari bagian selasar depan dan akan kupastikan ruangan kosong. Usahakan kau
berhati-hati.”
Bangunan itu memiliki selasar yang luas yang
mengelilingi dua pertiga bangunan. Pilar-pilar yang menyangga bangunan itu memungkinkan
siapapun melihat ke dalamnya. Itu menguntungkan Donghae sebab dia langsung bisa
mengetahui jika ada salah seorang penjaga yang melintas di dalam. Tetapi bagian
terburuknya adalah, tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Dari layar laptopnya,
Youra melihat Donghae mengendap-endap dengan gugup. Berulang kali menoleh ke
sekitarnya namun langkahnya tak berhenti. “Donghae-ssi,” panggil Youra dan
Donghae membeku di tempatnya. “Teruslah berjalan. Kau akan menemukan sebuah
lorong panjang yang akan menghubungkanmu dengan berbagai banyak pintu. Aku
ingin kau bergerak sehati-hati mungkin sebab bisa saja salah seorang penjaga keluar
dari ruangan-ruangan itu.”
Donghae mengangguk ke arah
cctv dan dia mempercepat langkahnya hingga tiba di koridor. Di sepanjang lorong
itu memang tergantung lampu-lampu bergaya Versace, namun hanya beberapa di
antaranya yang menyala, membuat keadaan di sepanjang jalannya menjadi gelap. Pria
itu bergerak perlahan, menyusuri lorong yang memiliki pintu di kanan kirinya
dan berhenti tiap kali mendengar bunyi sekecil apapun. Dia tidak tahu seberapa
panjang lorong itu karena sepertinya sudah lama sekali dia berjalan ketika
akhirnya lorong melandai ke bawah.
Bagian tengah atau lebih
tepat di sebut sebagai ruangan rekreasi tampak kosong. Lampu hias Kristal yang
tergantung di tengah-tengah ruangan itu padam, hanya menyisakan beberapa petak
suram cahaya yang berasal dari pantulan bulan dan lampu-lampu jalan. Ruangan
itu sangat luas. Sofa-sofa di ujung kanan, meja bilyard di pojok kiri, dan
sebuah mini bar di sudut belakang sama sekali tak berpenghuni. Donghae berdiri
di sudut kanan, berusaha berbaur dengan kegelapan dan mendeteksi bunyi yang
bisa saja muncul tiba-tiba. Selama lima menit penuh matanya menjelajahi ruangan
itu dan tak menemukan satu pintu pun yang mencurigakan. Malah tak ada pintu selain
pintu kaca yang membatasi ruangan dan balkon.
“Donghae-ssi, pintu itu
ada di balik tirai! Bisakah kau melihatnya? Di sudut kanan, persis di sebelah lemari
bar itu.” ujar Youra nyaris berbisik. Dia juga ketakutan hingga memelankan
suaranya, meski hanya Donghae yang bisa mendengar Youra melalui headset mini ponselnya.
Donghae tak menjawab. Ia bahkan
cukup gugup untuk bernapas. Alih-alih, dia berjalan menuju bar mini sambil
merapatkan tubuhnya ke dinding, memilih tempat yang gelap dan berusaha untuk
tidak menabrak apapun. Youra benar, ada tirai yang menggantung hingga ke
langit-langit ruangan yang tinggi. Tirai itu sedikit tersibak, dan Donghae
menggesernya perlahan, berharap bahwa tak ada penjaga yang berdiri di balik
tirai itu.
Pintunya terbuat dari kayu
mahogani yang indah, berpelitur mengkilap dan gagangnya terbuat dari kuningan. Meskipun
sama sekali tak ada penjaga di sekitar situ, mau tak mau Donghae menjadi
curiga. Kenapa pintu bawah tanah harus seindah ini?
“Bukalah.” Bisik Youra dan
Donghae menurutinya. Batinnya mencelos ketika menyadari bahwa dugaannya salah. Ruangan
di balik pintu itu ternyata sebuah lorong panjang yang menawan. Berbagai lukisan yang berharga jutaan dollar tergantung
rapi di sepanjang lorong itu, di hiasi lampu gantung dengan ukiran Versace dan sebuah
plang nama tepat di bawah setiap lukisan. Dia menduga bahwa lorong ini akan
membawanya ke kehidupan asli para pemimpin PCC.
Ternyata lorong itu hanya
sepanjang seratus meter sebab setelahnya Donghae menemukan sebuah ruang rekreasi
luas yang lebih menakjubkan dari ruangan yang ia lewati sebelumnya. Donghae tahu
bahwa ruangan ini terletak satu lantai di bawah lantai dasar. Tetapi keadaannya
sama sekali tak menunjukkan bahwa ruangan itu berada di bawah tanah, sebab selain
teramat luas, fasilitas dan desain ruang itu benar-benar kelas satu. Sebuah
kolam yang bersekat kaca tembus pandang membentang hampir di seluruh ruang. Kolam
itu tampak bercahaya akibat puluhan lampu yang tertanam di dasar kolam. Berbagai
macam ikan hias berenang santai di bawah kakinya, kelihatan senang dengan
ukuran kolam yang begitu besar. Ada perapian yang padam, dengan berbagai
koleksi antik yang dipajang di atasnya. Sebuah pedang yang di gantung di salah
satu dinding, kumpulan pistol laras pendek yang berjejer rapi di dalam kotak
kaca, bahkan sebuah miniatur Negara Brazil yang diletakkan di salah satu sudut ruangan.
Donghae mendongak dan melihat bendera Brazil menggantung di dekat perapian,
berdampingan dengan panji-panji PCC yang berwarna merah terang.
Ruangan itu kosong, namun
atmosfirnya terasa tak menyenangkan. Donghae memutuskan untuk melanjutkan
langkahnya setelah Youra menginstruksikan untuk terus melewati lorong itu. Dan
setelah berjalan sekitar beberapa menit, Donghae melihat sebuah pintu biasa
berwarna putih dan tak memiliki pegangan. Hanya ada selot yang terpancang di
sana, yang menandakan bahwa dia butuh kartu untuk masuk.
“Sebentar,” ujar Youra tegang.
“Pintu itu di kunci otomatis, tak ada yang bisa keluar atau masuk tanpa kartu
identitas. Aku akan membukanya dari sistem. Dan…. Kau bisa masuk sekarang,
Donghae-ssi.”
Bersamaan dengan aba-aba
Youra, pintu berbunyi ‘bip’ kecil dan
titik hijau berkelap-kelip di selot itu. Donghae menunggu hingga pintu itu
bergeser dan buru-buru menyelinap ke dalamnya. Langkahnya sedikit goyah ketika kegelapan
total menyambutnya. Tangan Donghae kemudian merogoh sakunya dan mengambil
pemantik. Dia membeku di tempatnya berdiri, karena bukannya menemukan sel-sel
penjara, Donghae ternyata sedang berdiri di ujung anak tangga.
Dia menjulurkan tangannya
ke depan, dan masih tak bisa menemukan apapun selain anak tangga yang terus melandai
ke bawah. Donghae sedikit ragu, namun dia sudah tak bisa mundur sekarang. Maka ketika
kakinya melangkah perlahan, Donghae berharap tak ada seseorangpun yang
menantinya di ujung sana kecuali Kyung Dae.
“Youra-ya, kau bisa
melihatku? Apakah tangga ini masih panjang?”
“Aku tidak tahu,
Donghae-ssi. Sama sekali tak ada akses cctv di sana. Hanya ada sebuah cctv di ujung
ruangan tahanan yang berjeruji. Kupikir jika kau melihat sebuah pintu dengan
jeruji, maka kau sudah berhasil menemukan lokasi yang benar.” Desahnya khawatir.
Youra menggigit bibirnya ketika
memperhatikan satu titik di layar monitornya. Dia membenci fakta bahwa Donghae
berada di suatu tempat yang tak bisa dia lihat. Tapi tak ada yang bisa
dilakukannya selain berharap bahwa Donghae akan segera tiba di ruang tahanan
itu.
Helaan napasnya berubah
lega ketika bayangan Donghae terlihat di balik pintu berjeruji itu beberapa menit
kemudian. Dia mendengar pintunya bergeser dan Donghae mulai mengendap-endap di
sepanjang ruangan dan mencari sosok Kyung Dae. Tinggal sedikit lagi, dan semuanya
akan berakhir. Tapi… entah kenapa Youra merasa ada yang salah. Dia merasa semua
ini terlalu mudah. Sepertinya ada sesuatu yang mereka lewatkan tetapi dia tidak
tahu itu apa.
“Donghae-ssi, tunggu. Sepertinya
ada yang tidak beres.” Bisik Youra gelisah.
Tak ada jawaban apapun.
“Donghae-ssi, bisakah kau
dengar aku? Donghae-ssi!” teriak Youra cemas. Dia melihat langkah Donghae
semakin dekat dengan sel tahanan Kyung Dae. Youra mengecek handphone-nya dan terkejut
ketika sambungan mereka telah terputus. Dia berusaha menghubungi nomor Donghae
namun wajahnya segera memucat ketika jawaban yang terdengar adalah: “Sorry, this number is inactive. Please try
again later.”
Tidak mungkin. Alasan
satu-satunya telepon mereka terputus dan Youra tak bisa menghubunginya kembali
adalah hanya jika ruangan itu tidak bisa di jangkau sinyal telepon. Youra mengepalkan
tangannya dan dia baru akan mulai mencoba mengobrak-abrik program wireless PCC
ketika matanya menangkap salah satu kamera pengawas. Sekitar sepuluh orang
penjaga berkumpul dan mulai berjalan ke sepanjang lorong menuju bawah tanah.
Donghae ketahuan.
Youra menggigil dan
berusaha menghubungi Donghae namun sia-sia. Dia kembali menerima jawaban yang
sama dari operator. Tubuhnya menegang ketika pandangannya berpindah-pindah
antara dua keadaan yang sangat fatal; Donghae yang sedang berada dalam sel Kyung
Dae dan berusaha melepaskan ikatan pria itu, sementara penjaga yang melewati lorong
terakhir menuju ruang tahanan semakin banyak.
“Donghae-ssi! Cepat kabur!
Donghae-ssi!! LEE DONGHAE!!!!”
Teriakannya percuma, dia
tahu itu. Tapi Youra bahkan terlalu takut untuk melihat apa yang akan segera
terjadi. Buru-buru Youra mengemas ketiga laptopnya ke dalam ransel dan
menyambar mantel milik Donghae. Tangannya gemetar ketika dia memutar kenop
pintu kamar hotel dan kepalanya menggemakan kata-kata Donghae sebelum pria itu
pergi.
“Berjanjilah padaku, kalau keadaan menjadi tidak terkendali, segera pergi
ke bandara dan jangan pernah menyusulku apapun yang terjadi. Berjanjilah,
Youra-ya.”
‘Mianhae.’ Sesal Youra dalam
hati.
***
“Wah, wah, kita kedatangan
tamu.” Suara itu dalam, berat dan menyiratkan kebencian.
Donghae membeku. Tangannya
masih menggenggam simpul tali yang mengikat pergelangan tangan Kyung Dae ke
kursi. Dia menelan rasa takutnya dan mencoba berbalik. Di ambang pintu kamar
itu, seorang pria tua dengan bekas sayatan di pipi kanannya berdiri sambil
menghembuskan asap cerutu yang dihisapnya. Pria itu bertubuh tegap, meski rambutnya
telah memutih seluruhnya dan penampilannya mengundang decak takut.
“Pertemuan yang
mengharukan, rupanya. Seharusnya kau memberitahuku, jadi aku bisa menyiapkan
ruangan yang lebih baik lagi.” Ujar pria itu kemudian tergelak.
Jantung Donghae berpacu. Dia
menghitung kerumunan penjaga di belakang pria tua itu dan mencelos. Kenapa
Youra tidak memperingatinya? Di sebelahnya, Kyung Dae mengerang kesakitan. Hyungnya
terlihat tidak sadar dengan seluruh luka yang memenuhi tubuhnya.
“Kau Isaías.” Ucap Donghae
tenang. Meski isi perutnya sudah berjumpalitan.
Pria itu tersenyum,
membuat luka sayatan di pipinya menjadi lebih mengerikan. “Benar. Dan kau
adalah sampah yang di sembunyikan Tae Hoon.” Isaías menyeringai, giginya
mencuat dan Donghae melihat kilauan emas yang berkelebat.
“Ngomong-ngomong,” sambung
Isaías sambil menghisap cerutunya, “aku terkesan kau bisa masuk sejauh ini
tanpa ketahuan. Tapi perlu kau ketahui, bocah dungu, pintu tahanan ini di lengkapi
dengan sensor pendeteksi. Itu sebabnya tak ada seorang penjaga pun yang
mengawasi tempat ini. Aku langsung tahu ada seorang penyusup bodoh yang masuk kemari.
Nah, jadi, biar kudengar apa niatmu berkunjung kesini?”
Tangan Donghae menggenggam
erat simpul tali yang masih belum bisa dia uraikan. Kyung Dae mengerang lagi
dan mengucapkan sesuatu namun tak begitu jelas. Sementara asap cerutu Isaías
memenuhi udara, Donghae mencoba berpikir jernih. Apakah dia bisa mencoba kabur
dengan seluruh penjagaan ini? Isaías memang masih berdiri di ambang pintu, bersama
belasan penjaga bersenjata yang siap kapan saja pria itu memberi perintah. Tapi
pria tua itu tidak melakukan apapun selain menatap Donghae dengan seringai
menjijikan.
“Lepaskan dia.” Ujar
Donghae dengan nada mutlak. Sekali lagi, Isaías tertawa hebat. Di belakangnya, para
penjaga itu mendengus geli.
“Dia tidak memiliki pilihan
apapun selain mati, nak.” Isaías masih terkekeh. “Nah, cukup main-mainnya. Layani
dia dengan baik.” Pria itu menjentikkan jarinya dan seluruh penjaga mendatangi Donghae.
Pukulan demi pukulan mendarat
di wajahnya dan Donghae tidak bisa membela diri sama sekali. Kedua tangannya
dipegangi paksa dan seseorang menjambak rambutnya ke atas. “Tunggu! Aku punya
penawaran!” teriak Donghae di antara penjaga itu.
Tangan Isaías terangkat ke
udara, dan penjaga-penjaga itu menghentikan pukulan mereka. “Penawaran? Penawaran
apa yang bisa membuatku yakin untuk melepaskanmu?”
Donghae meludahkan darah dari
sela-sela gusinya. Kepalanya mulai merasa disorientasi. Darah menggumpal di ujung
lidahnya dan dia merasa sangat marah sekarang. “Aku akan membantumu untuk menyelundupkan
obat-obatan atau apapun yang kau mau ke Korea Selatan. Jadi lepaskan kami!”
Senyum Isaías mengembang, ia
tidak tertawa, namun bola matanya yang gelap menatap Donghae seakan dia adalah seonggok
kotoran di lantai marmernya. “Sayang sekali, nak. Aku tidak tertarik dengan
penawaranmu. Lagipula itu tidak penting buatku sekarang. Aku masih tetap bisa menyelundupkan
obat-obatanku kemanapun yang aku mau tanpa bantuanmu.”
Jantungnya mencelos lebih
dalam. Otaknya macet dan dia tidak bisa berpikir apapun sekarang. Hanya ada
kemarahan yang menguasi dirinya. Donghae mengamuk, dia menendang, mencakar, menggigit,
ke segala arah. Amarahnya mendidih tanpa bisa di kendalikan. Dia bisa mendengar
jeritan putus asa Kyung Dae dan tangannya berusaha meraih pria itu namun gagal.
Seseorang telah menyodokkan moncong pistol yang berat ke tengkuknya, menjadikannya
pusing seketika dan roboh ke lantai.
Dia mendengar tawa jahat Isaías
yang menggema ke seluruh ruangan. Dan jari-jari panjang yang kuat menarik
rambutnya kasar. “Berusaha menyelamatkan pembunuh, eh? Mari, kubuat kau seperti
kedua orangtuamu. Mati mengenaskan.” Bisikkan itu seakan pertanda akan
kematiannya yang semakin mendekat. Donghae menggigil dan berusaha memfokuskan
pandangan matanya yang kabur.
Dan detik setelahnya,
sesuatu menghantam pelipis Donghae, membuatnya tersungkur dalam
ketidaksadaran..
Ruangan itu berdinding
putih, dengan atapnya yang juga berwarna sama. Donghae memicingkan mata dan menggerakkan
tubuhnya yang memar-memar. Dia menoleh ke samping dan mendapati ruangan itu
kosong. Tidak ada apapun selain dirinya yang tergeletak di atas tempat tidur
kecil dan sebuah meja dengan peralatan perak yang membuatnya merinding. Ada dua
macam jarum suntik yang memiliki ukuran berbeda namun sama-sama berisi cairan hijau
terang. Di sebelah jarum itu, sebuah pisau bedah perak dan pistol tergeletak
berdampingan.
Ada yang aneh dengan ruangan
itu. Atmosfirnya terasa mencekam, terlebih dengan benda-benda di meja itu. sejenak
Donghae merasa yakin bahwa dia berada di ruangan isolasi, dengan sebuah sekat
kaca gelap yang membatasi salah satu dinding. Donghae hendak turun dari tempat
tidur itu ketika tiba-tiba pintu menjeblak terbuka.
Isaías dan beberapa
penjaga berseragam hitam masuk secara bersamaan. Dua orang penjaga sepertinya
sedang menyeret sesuatu ke dalam ruangannya ketika dia menyadari bahwa sesuatu itu adalah Kyung Dae.
“Hyung!!” geramnya panik. Bilur-bilur
di sekujur tubuh dan wajah Kyung Dae membuat Donghae terkesiap. Itu luka baru, masih
menyisakan percikan darah segar yang menguar dari sela-sela lukanya.
Kyung Dae membuka matanya,
mencari sumber suara dan menatap Donghae dengan nanar. Bibirnya koyak dan
meneteskan darah. “Donghae-ah..” bisiknya parau.
Isaías kemudian berjalan
ke arah Donghae. Pria tua itu bahkan tersenyum dengan menakutkan, seakan melihat
Donghae tersiksa adalah salah satu impiannya.
“Jadi, begini, Mr. Lee
Donghae.” ucapnya lambat-lambat, menanamkan kengerian di setiap sendi Donghae. “Tadinya
aku ingin membunuhnya secara langsung. Tapi, kuputuskan bahwa kau lah yang
berhak memberinya kematian mutlak..”
“Apa maksudmu?” tanya
Donghae cepat. Dia melirik Kyung Dae yang terlihat semakin mengenaskan setiap
detiknya.
“Biar kuceritakan sedikit
mengenai masa lalu.. orangtuamu.” Isaías menyeringai ketika mengucapkan suku
kata terakhir. “Tidakkah kau penasaran bagaimana orangtuamu mati dalam kecelakaan?”
“Kau yang membunuh mereka.”
Ujar Donghae berang. Tapi sebagai jawaban Isaías hanya menggeleng dan tersenyum
lagi.
“Kasihan sekali kau, bocah
tolol. Tidakkah kau tahu bahwa selama ini telah dibohongi oleh orang yang
paling kau percayai? Tidak nak, bukan aku yang membunuh orangtuamu, tapi dia.” Jari
telunjuk Isaias terulur ke belakang, ke tempat seseorang berlutut dengan darah
menetes dari kening dan bibirnya.
Donghae mengerjap bingung.
Kyung Dae? Tapi, Hyungnya itu menyelamatkannya. Mana mungkin dia membunuh orangtua
Donghae lalu menyelamatkan anaknya, bukan? “Kau bohong.” Geram Donghae lagi.
Isaías tertawa sepenuh
hati. “Aku senang kau berpikir seperti itu, nak. Dan aku senang sekali mengecewakanmu,
karena sayangnya aku tidak berbohong kali ini. Betapapun aku ingin membunuh
mereka, tetap saja dia yang melakukannya.”
Ketika Isaías mengucapkan ‘dia’, jari-jarinya
sekali lagi mengarah pada Kyung Dae, yang kini memilih menatap lantai dibanding
dirinya.
Aliran listrik statis
seakan menyetrum setiap sel otak Donghae. Dia terpaku. Bibirnya masih berjuang
mengucapkan penyangkalan namun tak ada sepatah katapun yang berhasil terucap. Donghae
mencari kebenaran perkataan Isaías melalui kedua bola mata Kyung Dae yang nanar,
namun Hyungnya malah menghindari tatapannya. Benak Donghae menyangkalnya, tapi
tetap saja kenyataan berkata sebaliknya.
Hyungnya, orang yang
paling di percayainya di dunia ini, yang telah menyelamatkannya selama lima
belas tahun terakhir, ternyata membunuh kedua orangtuanya? Hal gila macam apa
ini?
“Biar kubuat semua ini
menjadi mudah.” Bisik Isaías di telinga Donghae. “Akan kubantu kau untuk
melenyapkannya dari muka bumi, nak.”
Tubuh Donghae menegang. Isaías
melangkah mendekati Kyung Dae dan menyeretnya paksa ke tepi meja di
seberangnya. Dua orang anak buah Isaías mengunci pergelangan tangan dan siku Kyung
Dae. Donghae masih membeku ketika dia menyadari bahwa Isaías sedang
menyuntikkan sesuatu pada lengan Hyungnya.
Jeritan Kyung Dae
terdengar membelah kesunyian. Donghae terkesiap dan saat itu Isaías
meninggalkan Kyung Dae yang tengah mengepalkan tangannya dengan peluh bersimbah
di wajahnya dan kembali mendatangi Donghae.
“Aku baru saja
memberikannya dosis rendah racun kami padanya,
nak. Perlu kuberitahu bahwa racun itu tidak akan membunuhnya. Dia hanya akan
kesakitan, setiap detiknya racun itu akan mengalir ke pembuluh darah dan membakarnya
dari dalam. Tidak ada kerusakan permanen kecuali jika racun itu bertambah dosis
dan berhasil naik ke otaknya, sebab barangkali otaknya akan mengalami
malfungsi.”
Sebuah teriakan baru saja
lolos dari sela-sela bibir Kyung Dae. Pria itu menggeliat di lantai dan napasnya
terengah-engah.
“Dengar nak, aku memberimu
beberapa pilihan. Aku yakin dia akan memohon-mohon padamu untuk segera
membunuhnya. Jadi aku menyediakan pistol dan pisau di atas meja agar kau bisa memenuhi
keinginan terakhirnya atau kau bisa memberinya dosis tinggi racun itu yang
telah kusiapkan di suntikan yang satu lagi. Ingatlah, Lee Donghae, pria itu
yang membunuh orangtuamu. Membuatmu sebatang kara. Balaskan dendam mereka.” Perkataan
Isaías mengirimkan getaran kemarahan yang tak bisa di jelaskan Donghae. Entah
kenapa seluruh rasa ibanya seakan menghilang dan dia benar-benar ingin membunuh
Kyung Dae, bukan, tetapi Kim Tae Hoon.
Isaías berjalan keluar dan
menutup pintu ruangan itu dengan seringai lebar, meninggalkan Donghae dan Kyung
Dae yang terkapar di lantai. Donghae mendekatkan tubuhnya dan untuk pertama
kalinya dia bisa melihat Kyung Dae dengan jelas. Tubuh pria itu menegang, kedua
matanya terpejam penuh kesakitan. Dia menggertakkan gigi, desisan liar
terlontar dari sela-sela giginya. Donghae menunduk dan mengernyit bingung. Benarkah
apa yang dikatakan Isaías?
“Benarkah itu? kau yang
telah membunuh kedua orangtuaku?” Donghae nyaris tak bisa menyelesaikan
pertanyaannya karena emosinya tengah membuncah.
Kyung Dae mengerjap dan menatapnya
sedih. Kedua tangannya mengepal. “Mianhae..
Jeongmal mianhae..” bisiknya lirih.
Dan detik itu juga emosi
Donghae meledak. Pengakuan Kyung Dae barusan seakan mengguyur bensin pada
percikan api, membenarkan seluruh kenyataan yang berusaha dia sangkal
mati-matian. Kyung Dae adalah Hyung-nya, penyelamatnya, sekaligus spelindungnya.
Tapi kenapa pria itu malah membunuh orangtuanya? Pria itu membuatnya hidup
sebatang kara dan bertingkah seakan dia telah lenyap dari muka bumi. Tak pernah
ada Lee Donghae, sebab Lee Donghae adalah seseorang yang seharusnya mati. Atau Kyung
Dae memang merencanakan semua ini?
“Kenapa?” ulang Donghae
lebih tajam. Dia membenci jawaban Kyung Dae yang membenarkan seluruh
kemarahannya, membuat monster dalam dirinya meraung penuh kemenangan.
Tarikan napas Kyung Dae semakin
kuat, jari-jarinya mencengkram dada dengan putus asa. Kyung Dae berusaha duduk,
namun tubuhnya terlampau lemah untuk melakukan itu. Dipandanginya Donghae yang menatapnya
berang dan menghela napas panjang. Namun sama sekali tak ada keraguan dalam
diri Donghae. Dia membenci pria itu, Kim Kyung Dae.
“Mianhae, Donghae-ah.. Mianhae..”
“AKU TIDAK BUTUH
PERMINTAAN MAAFMU! JAWAB AKU KENAPA KAU MEMBUNUH ORANGTUAKU!” raung Donghae putus
asa. Dia berjalan mendekati meja dan meraih sebuah pistol semi otomatis. Bobotnya
yang berat membuat Donghae gusar, tapi dia tidak mempedulikan itu, sebab pistol
dalam genggamannya sedang mengarah pada Kyung Dae.
Kyung Dae terkesiap. Wajahnya
memucat dan dia menatap Donghae penuh sesal. Binar matanya sempat menggoyahkan
Donghae namun dia menepis semua rasa ibanya. “Aku.. tidak menginginkannya,
percayalah padaku, Donghae-ah. Itu semua perintah ayahku—ayah angkatku..”
“Oh, begitu? Jadi kenapa
ayah angkatmu ingin menghabisi keluargaku? Karena dia tak suka kami berlibur ke
negaranya?” tanya Donghae sarkastis. Donghae memang sudah membaca file yang mengatakan bahwa orangtuanya
melakukan kerja sama dengan PCC, tapi dia menolak mempercayai semua itu.
“Tidak.” Jawab Kyung Dae
cepat. Pria itu menerawang dan menjawab pelan. “Orangtuamu telah bekerja sama
dengan PCC selama hampir tujuh tahun, Donghae-ah. Tetapi mendadak mereka ingin
mengakhiri hubungan kerja sama dengan PCC dan ayah angkatku menjadi murka. Dia
memberikan perintah untuk melenyapkan semua pengkhianat. Aku tidak tahu siapa
yang akan kubunuh sebelumnya. Dia.. tidak memberikanku detail.”
Batin Donghae mencelos.
Kebenaran yang menyatakan bahwa orangtuanya meninggal bukan karena kecelakaan
biasa sudah cukup untuk membuatnya terluka. Terlebih mendengar penjelasan Kyung
Dae barusan, bahwa orangtuanya bekerja sama dengan organisasi gembong narkoba,
semakin membuatnya tak mampu lagi memikirkan apapun. “Jadi kenapa kau menyelamatkanku?
Kenapa tidak kau biarkan saja aku mati?” Donghae menurunkan pistolnya dan
meracau sedih. Dia terlampau kecewa pada keluarganya. Keluarga yang
dicintainya.
Lagi, Kyung Dae memejamkan
matanya dan menahan setiap rasa sakit di sekujur tubuhnya. “Aku tidak bisa
membiarkanmu mati—” ia menarik napas panjang, “—karena kau mengingatkanku pada adikku,
Tae Yang..”
Ruangan itu mendadak
hening. Tak terdengar suara apapun selain tarikan napas Kyung Dae yang semakin
lemah. Donghae bungkam, dia masih bingung mengartikan semua jawaban pria itu. Setitik
kepercayaan kembali muncul, tapi segera ia singkirkan karena Donghae tahu, pria
itu telah membunuh orangtuanya.
“Kau membunuh orangtuaku,
Hyung.” Bisik Donghae getir. Dadanya penuh sesak oleh ketidakberdayaan.
“Aku tahu, maafkan aku
Donghae-ah.. tak pernah sekalipun aku melewati hari tanpa menyesalinya.” Dan
tiba-tiba setetes airmata mengalir turun melewati kelopak mata Kyung Dae. Donghae
tertegun. Hyung-nya menangis?
“Aku berharap aku bisa
memutar ulang waktu agar aku bisa menyelamatkan semuanya. Aku menyayangimu, sungguh. Dan aku tak ingin kau terluka.
Maafkan aku, Donghae-ah.. maafkan aku..”
Kepala Kyung Dae terkulai
dan jari-jarinya mengendur. Seketika, serbuan panik menyadarkan Donghae. Kyung
Dae sedang sekarat. Dia berlutut dan mengguncang tubuh Kyung Dae yang terbaring
di lantai. “HYUNG! KYUNG DAE HYUNG! BANGUNLAH!!” teriaknya panik.
Bibir Kyung Dae berdesis
dan Donghae merapatkan telinganya hingga dia berhasil menangkap ucapan Kyung
Dae yang penuh derita. “Sakit.. sakit sekali..” erangnya parau.
“Hyung, bertahanlah.” Ujar Donghae cemas. Kepalanya pusing dan dia
sendiri tak bisa mengerti kenapa dia masih mau menyelamatkan Kyung Dae. Perlahan-lahan
Donghae akhirnya mengakui, bahwa dia sudah bisa mengatasi kematian orangtuanya.
Dia bahkan merasa sangat berterima kasih pada Kyung Dae yang telah menyelamatkannya,
meski ia enggan mengakui hal itu. Dan mendengar bahwa justru Kyung Dae-lah yang
membunuh orangtuanya memang membuatnya kesal.
namun tetap saja, kemarahannya segera padam karena tanpa dia sadari, dia sangat
menyayangi Hyungnya itu, Kim Kyung Dae..
“Sakit sekali.. Kumohon..”
“Hyung, kau bisa
melewatinya. Bertahanlah.”
“Donghae-ah, maafkan aku..” racau Kyung Dae tak sadarkan diri.
Donghae menggenggam tangan
Kyung Dae dan mengusap-usapkannya perlahan. Dia tak yakin apa yang bisa
dilakukannya untuk mengurangi rasa sakit yang diderita Kyung Dae.
“Sakit sekali.. kumohon,
aku tak sanggup lagi.. Kumohon..” pelipis Kyung Dae meneteskan keringat, membanjiri
wajahnya yang semakin pucat, menyatu dengan darah yang terus mengalir dari lukanya
yang masih baru.
“Hyung bertahanlah!” teriaknya
kalut. Donghae tersadar dan segera berlari menuju pintu, dia memutar kenopnya
namun terkunci. Detik berikutnya dia mendatangi sekat kaca hitam tebal dan
mulai menggedornya sekuat tenaga. “Isaías! Selamatkan dia!! Selamatkan—” tapi teriakannya
terputus ketika pintu mendadak terbuka dan tubuh Isaías muncul di antara
serombongan penjaga berseragam.
Dia bahkan belum sempat
mengucapkan apapun, karena penjaga-penjaga itu langsung menyerangnya tanpa
ampun. Dalam sekejap, Donghae berhasil memuntahkan darah dan sebuah luka koyak
baru menganga di kepalanya. Dia tak bisa berpikir jernih, semuanya terasa
mengabur. Tubuhnya seakan remuk redam, ngilu dan dia tak sanggup mengangkat kepalanya
lagi.
Seseorang menjambak
rambutnya, memaksanya mendongak. Donghae ingin memicingkan matanya tetapi dia sadar
itu percuma, sebab dia sudah tahu siapa yang sedang berbisik padanya.
“Bukan itu yang kumau, bedebah.” Isaías menggeram penuh amarah. “Seharusnya kau
membunuhnya. Tapi kalau kau terlalu takut untuk melakukannya, biar kutunjukkan
padamu.” Perkataan Isaías membuatnya menggigil. Samar-samar dia bisa
membayangkan seperti apa kemarahan Isaías.
“Amarrá-los—(ikat mereka).” Ujar Isaías pada anak
buahnya dan dengan sebuah hentakan menyakitkan di tengkuk Donghae, dia kembali jatuh
dalam pusaran kegelapan..
***
Langit, itu benar-benar
langit. Dengan titik-titik bintang yang menghiasinya, bahkan dengan sinar bulan
yang tampak redup. Tapi ada yang aneh. Kenapa kepalanya berdenyut menyakitkan? Kesadaran
menghantam Donghae ketika dia mendengar teriakan seseorang. Teriakan Hyung-nya.
Pemandangan di depannya
sungguh membingungkan. Ada sekitar dua puluh penjaga memegang pistol semi
otomatis dan senapan laras panjang yang mengerikan, semuanya berdiri
mengerumuni seseorang. Di kejauhan, sebuah patung Yesus dengan tinggi mencapai 38
meter menjulang ke angkasa. Dan Donghae tahu mereka sedang berada dimana.
Itu titik tertinggi di
kota Rio de Janeiro. Dengan patung Cristo Redentor yang menghadap laut
Copacabana, semuanya menjadi jelas. Isaías telah membawa mereka ke gunung Corcovado
di Taman Nasional Hutan Tijuca. Donghae mendadak tersadar. Hutan ini sangat luas. Keadaan mungkin bisa
menyelamatkannya bila siang hari. Namun di malam hari, hutan ini seakan mimpi
buruk. Tidak akan ada yang datang bahkan jika Donghae berteriak semalam suntuk.
Hutan Tijuca baru akan di buka untuk umum pada pukul sepuluh pagi. Dan itu
artinya, dia harus menemukan cara bagaimana bisa bertahan hingga saat itu.
Lagi, terdengar teriakan
Kyung Dae yang mulai samar. Donghae menahan napasnya dan menajamkan telinga. Dia
berusaha menggeliat dengan tangan dan kaki terikat kuat oleh lilitan tali. Udara
malam cukup sejuk meski dia merasa keringat dingin membasahi kausnya yang
lengket karena darah dan pasir.
Hutan Tijuca sedikit riuh
dengan para binatang malam yang saling bersahut-sahutan. Kegelapan total yang
nyaris mendominasi di luar lingkaran penjaga menambah kengerian sekeliling
mereka. Cahaya benderang yang menyinari penglihatan Donghae hanya berasal dari mobil-mobil
yang terparkir di belakangnya. Dengan bunyi mesin menderu yang teredam
kebisingan hutan, mobil-mobil tersebut dibiarkan menyala dan memberikan
penerangan untuk orang-orang di depannya.
Donghae menyipitkan
matanya dan berhasil menemukan sosok Isaías yang berdiri sejauh lima meter
darinya. Pria itu mengenakan topi Fedora hitam dan jaket kulit tersampir di
pundak. Cerutunya masih mengepulkan asap kelabu, membuat kepalanya seakan
tertutup kabut tipis. Sesekali Isaías menyeringai jahat dan kelihatannya pria
tua itu sama sekali tak menyadari kehadiran Donghae.
“Pastikan dia cukup kesakitan
untuk berteriak. Kalau perlu remukkan saja rahangnya.” Ujar Isaías dan kerumunan
penjaga itu menyahut semangat.
Tak ada seorangpun yang
menyadari bahwa Donghae telah membeku di tempatnya, dengan mata membelalak
ketakutan dan kedua tangan mengepal erat. Matanya mencari-cari dengan panik. Tentu
saja Isaías sedang membicarakan Kyung Dae. Dan mendengar pria itu sedang
menyiksa Hyung-nya, membuat seluruh saraf Donghae menggelenyar seketika. Dia
sudah memikirkan seratus macam cara untuk membunuh Isaías—meski nyaris mustahil—ketika
dia menangkap sebuah cahaya samar yang berkelap-kelip di antara pepohonan.
Dada Donghae berdebar
keras. Denyutnya seakan melonjak hingga puluhan kali lipat ketika dia
mengetahui bahwa seseorang sedang memberi
sinyal padanya.
Itu Youra Leavanna.
Astaga.
Separuh dari pikiran
sinting Donghae begitu lega melihat siluet gadis itu di tengah kegelapan malam.
Dia ingin menghambur kearah yeoja itu
dan memeluknya erat-erat. Tanpa Donghae sadari, dia begitu merindukan Youra, hingga
jantungnya membengkak karena harapan. Namun kewarasannya berhasil kembali
dengan cepat. Benaknya berteriak putus asa. Kenapa
gadis itu bahkan bisa berada disini?
Kepanikan Donghae telah
mencapai batasnya. Dia berusaha memikirkan sebuah cara agar gadis itu mengerti bahwa
dia harus segera kabur. Tetapi seolah tak mengacuhkan tatapan penuh peringatan
Donghae, Youra malah beranjak mendekatinya. Gadis itu merangkak di atas rerumputan
kering dan menyelinap perlahan di antara celah-celah mobil. Donghae melirik Isaías
cemas. Dia ingin memastikan bahwa gerakan Youra tak tertangkap siapapun.
Setelah lima menit yang terasa
seperti setahun penuh, Youra berhasil sampai padanya. Tubuh gadis itu persis di
bawah sebuah mobil Mercedes Benz S-Class W140 hitam mengkilat. Bahkan di antara
cahaya minim pun Donghae bisa melihat jelas betapa gadisnya ketakutan. Pupil
matanya melebar dan tangannya tak berhenti gemetaran ketika menyodorkan sebilah
pisau pendek. Donghae membalikkan tubuhnya perlahan dan berusaha menjangkau
pisau itu dengan tangannya yang terikat ke belakang.
Terdengar lagi erangan penuh
siksaan Kyung Dae dan tawa puas Isaías. Donghae merasakan permukaan pisau yang
dingin di telapak tangannya dan langsung mengambil kesempatan untuk memotong
tali yang mengikatnya ketika seluruh penjaga sibuk tertawa mengikuti bos
mereka. Dan tak sampai lima menit, tali-tali yang mengikat Donghae telah terpotong,
bahkan ikatan di kakinya.
Donghae masih terbaring seolah-olah
dia masih terikat dan tak sadarkan diri. Namun ketika dilihatnya lagi raut
wajah Isaías yang rileks karena tertawa, Donghae berdiri secepat kilat dan
dalam hitungan detik, dia berhasil membungkam seluruh orang dengan fakta bahwa pisau
di tangannya kini menempel erat di batang tenggorokan Isaías.
“Jangan bergerak.” Ujarnya
berbahaya pada Isaías. Langsung saja pria tua itu membeku dengan tangannya
masih menggenggam cerutu.
Tak ada lagi tawa apapun. Keheningan
menjadi satu-satunya hal yang paling mencolok, kecuali tentu saja, erangan
parau Kyung Dae yang benar-benar membuat amarahnya mendidih. Akhirnya Donghae
bisa melihat langsung Hyung-nya. Pria itu tergeletak di tanah bebatuan, dengan separuh
wajahnya terkelupas. Matanya nyaris tak terlihat lagi, kedua kelopak mata itu tertutup
dengan benjolan besar mengerikan yang menetesi darah segar. Kemejanya telah koyak
di banyak tempat. Dan tak jauh dari tempatnya berbaring, sebuah lubang—yang
kelihatannya baru saja digali—menganga, menanti untuk segera diisi.
Tangan Donghae bergetar
karena marah. Dia bisa saja menggorok Isaías detik ini juga dan tak akan merasa
bersalah sama sekali. Tapi kalau bukan karena ingin menyelamatkan banyak nyawa,
Donghae pasti tak akan berpikir dua kali untuk menghabisi nyawa lelaki tua di
depannya.
“Kau—” geram Donghae
emosi. Dari sudut mata dia melihat beberapa orang penjaga mulai siaga. “Perintahkan
pada anak buahmu untuk membuang senjata mereka!” imbuh Donghae.
Isaías masih bergeming dan
dia malah tersenyum geli mendengar ucapan Donghae. “Yakin bisa membunuhku?”
tanyanya terdengar mengejek.
“Kau pikir aku tak berani
melakukannya? Tenang saja, Isaías, akan kupastikan aku menggorok lehermu secara
perlahan, jadi kau bisa merasakan betapa mengerikannya menjadi sekarat.” Ancam
Donghae penuh keyakinan. Dia menggoreskan pisau ke leher Isaías dan mendengar
pria tua itu berjengit.
“Baik, baik. Semuanya,
turunkan senjata kalian.” Ujar Isaías diliputi kepanikan. Ujung cerutunya yang sudah
berubah menjadi abu jatuh ke atas sepatu Laced Up cokelatnya. Isaías mendecak
sebal dan menggertakkan giginya terang-terangan.
“Sekarang aku mau Kyung Dae—bukan,
Kim Tae Hoon, masuk ke mobil di belakangku.”
Semua anak buah Isaías menunggu
keputusan Isaías dan mereka saling berpandangan dengan gugup ketika Isaías
mengangguk dan menyuruh mereka cepat. Dua orang penjaga dengan tampang
kebingungan akhirnya maju dan menyeret Kyung Dae masuk ke mobil dimana Youra sedang
bersembunyi di bawahnya. Mereka sama sekali tak memperhatikan sebuah siluet
tengah berbaring di bawah mobil sementara Donghae mengernyit cemas ketika dia
berhasil melihat bayangan Youra.
“Apa lagi yang kau mau?”
geram Isaías tak sabar.
Tadinya dia ingin segera
kabur dari tempat itu, namun sebuah ide melintas di kepalanya dan Donghae berhasil
menemukan cara untuk menghambat mereka semua. “Aku ingin anak buahmu
mengumpulkan seluruh senjata ke dalam lubang itu lalu menguburnya saat ini juga.
Cepat!”
Dia mendengar Isaías
mendengus kesal meski pria itu tetap memerintahkan untuk segera melakukan apa
yang Donghae mau. Dan menit-menit berikutnya, sebagian anak buah Isaías berusaha
membantu rekan mereka untuk mengubur berbagai senjata api beserta pelurunya. Tak
terdengar apapun selain bunyi pasir yang jatuh perlahan menutupi besi-besi berhaya
itu.
“Tunggu.” Sergah Donghae
tiba-tiba. Lebih dari dua puluh pasang mata menatapnya lagi saat Donghae meraba saku mantel dan pinggang celana
Isaías. Seperti tebakannya, sepucuk pistol semi otomatis tersembunyi di pinggang
celana Isaías dan Donghae segera melemparkan benda itu ke dalam lubang yang
separuh terkubur. Dia cukup yakin pria itu tak akan menduganya. Sebab tubuh Isaías
mengejang kesal ketika Donghae mengambil senjata yang disembunyikannya.
Beberapa menit kemudian,
gundukan tanah basah berisi senjata itu akhirnya selesai di kerjakan. Tak
ketinggalan, Donghae juga memerintahkan agar sekop yang mereka gunakan untuk
mengangkut pasir juga ikut di masukkan dalam mobil yang di naiki Kyung Dae,
menghilangkan kesempatan anak buah Isaías menjadikan benda itu alat untuk
menyerangnya.
Ketika Donghae masih memikirkan
sebuah rencana bagus untuk bisa kabur dari dua puluh penjaga bertampang keji
itu, tiba-tiba saja mobil di belakangnya membunyikan klakson. Dia berbalik dan
menemukan Youra sudah duduk di kursi pengemudi. “Palli! —Cepatlah!” serunya tak sabar.
Kerumunan manusia terpaku
melihat kehadiran Youra yang tiba-tiba muncul, seakan berwujud dari kegelapan
malam. Namun Donghae-lah yang lebih dulu tersadar. Dia berjalan mundur dengan membawa
Isaías bersamanya. Pisau di leher pria itu masih menetesi darah, hingga mau tak
mau membuat Isaías mengikuti langkah Donghae yang semakin menjauh dari anak
buahnya.
Donghae menyentakkan tubuh
Isaías masuk lebih dulu dan berbalik, menutup pintu di sampingnya tepat ketika terdengar
bunyi ‘klik’ nyaring dan entah kenapa sebuah pistol telah mengarah persis di
atas telinga kanannya.
“Sudah cukup main-mainnya,”
geram pria itu penuh amarah. Tetapi belum lagi Isaías mampu mengucapkan apapun,
Youra telah berkata dengan penekanan di setiap suku katanya.
“Berhenti atau kutembak.”
Bukan hanya Isaías yang membeku
tak percaya. Bahkan Donghae juga tak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika
melihat Youra tengah menodongkan senapan laras panjang jenis AK-47 atau Avtomat Kalashnikov 1947 tepat di tengkorak
belakang Isaías. Isaías mengerang dan menatap Youra lambat-lambat. Matanya
menyipit memandang Youra yang tak sedikitpun goyah. Di bawah tekanan salah satu
senjata yang paling berbahaya yang pernah ada, akhirnya Isaías melemparkan pistolnya
ke pangkuan Donghae dan dia mengangkat tangannya ke atas.
“Bagaimana kau bisa
menemukan benda itu?” tanya Donghae menggunakan bahasa Korea, sementara Isaías
melotot garang padanya.
Youra mengisyaratkan Donghae
untuk mengambil pistol Isaías dan ganti mengarahkannya pada pria tua itu
sebelum dia menjawab. “Aku menemukannya dalam sebuah kotak berat di bagasi
belakang. Mereka ceroboh sekali, meninggalkan senjata seperti itu dan
membiarkan mobil begitu saja.”
“Donghae-ssi, tolong
amankan dia, aku akan menyetir.” Ujar Youra lagi sambil meletakkan senapan itu
di pangkuannya dan mengikatkan seatbelt
Kyung Dae di kursi penumpang. Hyung-nya bahkan terlalu kesakitan untuk
mengetahui apa yang sedang terjadi.
Donghae mengangguk dan melirik
sekilas ke arah penjaga Isaías yang sudah mulai bergerak perlahan. “Youra? Bisakah
kau ngebut? Aku takut mereka akan bisa mengejar kita.”
Mendadak Youra berbalik
dan memberikan seulas senyum pada Donghae. “Tidak, mereka tidak bisa.” Ujarnya penuh
kemenangan ketika tangannya mengangkat kunci mobil yang saling bertaut di
telapak tangannya. Donghae memandangnya kagum dan Youra menjelaskan dengan
cepat. “Saat mereka mengubur senjata-senjata itu, aku berusaha menyelinap ke
semua mobil dan mengambil kunci-kunci ini. mereka tidak akan bisa kemanapun
setidaknya dalam setengah jam.”
Youra menarik tuas kopling
dan menginjak gas dengan satu hentakan, membuat mobil nyaris terlonjak ke depan
sebelum akhirnya dia berhasil menemukan rem. “Kuharap aku sempat punya SIM.” Gerutunya
ketika mobil melesat melewati kerumunan anak buah Isaías yang memandang kesal.
Kegelapan malam langsung menelan
mereka. Tak ada yang seorangpun yang berbicara kecuali Isaías yang terus saja
memberikan ultimatum bahkan ancaman kosong. Youra dan Donghae bahkan terlalu
malas untuk menanggapi ucapan-ucapan pria itu yang langsung berubah menjadi
desisan rendah ketika Donghae mendekatkan moncong pistol ke pelipisnya.
Donghae ingin bertanya
banyak hal pada gadis itu, namun dia mengurungkan niatnya. Youra terlihat
sangat berkonsentrasi menghadapi jalan di depan dan berulang kali menginjak
pedal rem dengan gugup. Mereka melewati pepohonan yang semakin rapat dengan
jalan setapak yang tak biasa di lewati mobil. Kendaraan itu berguncang keras saat
jalanan penuh kerikil dan bebatuan menyambut mereka. Rasanya sudah sangat lama
ketika akhirnya Youra berhasil mencapai jalan utama. Tapi bukannya mengikuti
jalan itu, Youra malah menerobos semak-semak dan berhenti ketika dia kembali memasuki
hutan lebat yang terlihat mengerikan.
Gadis itu turun dari
kursinya dan membuka pintu belakang. “Turun.” Ujarnya garang. Isaías mendelik
dan sebagai balasan, Youra menaikkan senapannya. Gadis itu berkata dengan nada
mengancam agar Isaías segera berjalan dan menghadap sebuah pohon besar di
hadapan mereka.
Begitu Isaías berjalan
membelakangi mereka, Youra menyerahkan satu gulung tali dan pisau pada Donghae.
Donghae mengangguk paham dan langsung mengikat pergelangan tangan Isaías
beserta kakinya. Dia bahkan melilitkan tali itu ke pepohonan, membuat Isaías
seakan menyatu dengan pohon itu.
“I swear I will kill you.” Ancam Isaías dengan tatapan membunuhnya.
Youra menyunggingkan
senyumnya dan memandang Isaías geli. “Don’t
worry, there’s no one here but…. A tiger?” ucapnya sarkastis. Dia memandang
ke arah leher Isaías yang meneteskan darah dan tersenyum lagi.
Isaías terkejut dan menunduk
melihat darah yang telah mencapai kemejanya dan memaki dalam bahasa Portugis
ketika Donghae membekapnya paksa dengan kain hitam. Dia merobek kemeja Kyung
Dae yang sudah usang lalu menggunakannya untuk menutup mata Isaías. Pria itu menggumamkan
sesuatu namun yang terdengar hanyalah erangan kekesalan.
“Kajja.” Ujar Youra dan
Donghae mengikutinya.
Kali ini Youra menyerahkan
setir kemudi pada Donghae dan dia mengusulkan agar mereka berbelok ke kanan,
mengikuti jalan utama sekitar lima ratus meter lalu mereka akan menemukan Chae
Rin yang menanti mereka dengan mobil usang pinjamannya.
Donghae mengangguk lagi
dan mempercepat laju mobil. Youra benar, Chae Rin memang sedang menanti
kedatangan mereka dengan wajahnya yang sudah seputih kertas. Gadis itu memekik ketika
mereka menurunkan Kyung Dae yang terlihat mengenaskan dan membaringkannya di
kursi belakang. Mereka meninggalkan Mercedez itu di antara semak belukar yang menyamarkan
penampakan mobil lalu bergegas menduduki kursi depan.
Chae Rin mulai menangis
dan berusaha mengobati Kyung Dae namun airmatanya membuatnya kesulitan untuk membaca
petunjuk obat dengan jelas. Sementara di sebelah Donghae, Youra mendesah keras.
Tangan gadis itu gemetaran dan matanya menutup ketakutan. Donghae baru
menyadari bahwa selama ini gadis itu pura-pura
kuat. Dia sama sekali melewatkan kenyataan kalau Youra sebenarnya rapuh. Dengan
perasaan bersalah, Donghae meraih jemari Youra dan menggenggamnya lembut.
“Gomawo..” bisiknya tulus.
Youra membuka matanya dan menatap
Donghae dengan seribu arti. Dia menggeleng dan memaksakan sebuah senyum. “Aku
senang kau selamat..”
Donghae tersenyum lemah dan
menahan keinginannya untuk memeluk gadis itu. “Keunde, bagaimana kau bisa ada di sana? Apa yang terjadi?”
Youra mendesah keras
ketika dia berusaha menjelaskan pertanyaan Donghae barusan. Gadis itu menatap
jalan yang mulai terang dengan tidak fokus. “Begitu kau tiba di ruang tahanan, panggilan
kita terputus dan aku langsung tahu bahwa tidak ada sinyal sama sekali di sel
itu. detik itu juga aku meyusul Chae Rin dan mengamati kalian lewat kamera
pengawas. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan tetapi Chae
Rin mengatakan bahwa Isaías akan membawa kalian ke Hutan Tijuca. Kami menunggu
hampir seharian sebab setelah Isaías membawa kalian ke sebuah ruangan, aku tak
bisa melihat kalian lagi melalui cctv. Dan beberapa jam yang lalu, aku menemukan
Isaías menggotongmu dan Kyung Dae-ssi ke dalam sebuah mobil dengan luka-luka
mengerikan. Kami membuntuti mobil mereka tanpa berusaha cukup dekat. Setelah kami
menemukan kalian di tengah hutan, aku memaksa Chae Rin untuk kembali ke jalan
tadi dan menyuruhnya menunggu kita. Aku mengamati keadaan sebentar dan
bersyukur ketika kau mengenaliku.”
Senyum Youra mengakhiri
penjelasannya dan Donghae tidak tahan untuk tidak menyentuh wajahnya. “Kau
hebat.” Gumamnya penuh kekaguman. “Kau sangat hebat. Terima kasih Youra, kau
telah menyelamatkan kami.”
Gadis itu tak menjawab pujian
Donghae, matanya terlihat mengabur menatapi kaki langkit yang mulai memancarkan
kilau keemasan. “Tidurlah, Youra. Beristirahatlah..” pinta Donghae lembut. Dan
detik berikutnya Youra tenggelam dalam dunia mimpi..
***
Tubuhnya seakan terombang
ambing, berguncang dalam gerakan berirama dan menenangkan. Kehangatan menjalar ke
seluruh tubuhnya, menimbulkan perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskannya. Youra
mengerjap, dan mengejang ketika mendapati sepasang mata cokelat indah tengah
menatapinya tanpa berkedip.
“Oh, maaf membuatmu
terbangun.” Ujar Donghae menyesal.
Butuh dua detik bagi Youra
untuk menyadari bahwa dia sedang berada dalam buaian Donghae. Pria itu
menggendongnya memasuki kamar hotel dan mendadak wajahnya menghangat. Donghae
membaringkan Youra hati-hati di atas tempat tidur dan berbisik lembut di telinganya.
“Tidurlah lagi, kau butuh istirahat.”
Bibir Donghae mencapai
puncak kepala Youra dan dia tak bisa berhenti berdebar. Kantuknya telah hilang,
berganti menjadi perasaan gugup. “Ehm, dimana Chae Rin dan Kyung Dae-ssi?”
“Mereka ada di kamar
sebelah. Aku sengaja memesan kamar ini. Kau tak akan bisa tidur nyenyak jika Chae
Rin terus-terusan menangis histeris seperti itu.” jawab Donghae mengangkat
bahu.
“Kyung Dae-ssi.. dia
baik-baik saja?”
Donghae menghela napas
panjang. “Dia sudah membaik, mungkin. Sejauh ini dia sudah mampu mengenaliku
dan Chae Rin. Aku ingin membawanya ke rumah sakit tapi tentu saja perbuatan itu
akan membuat kita ketahuan.”
Keadaan menjadi hening
sejenak, sebelum akhirnya Youra melirik ke ujung ruangan dan melihat jarum jam
yang sudah menetap di angka delapan. “Kau tidak lapar? Aku akan membelikan
makanan untuk kita.” Tawarnya yang langsung di sambut tatapan garang Donghae.
“Kau tidak akan
kemana-mana, Youra-ya. Kau harus tidur. Aku tahu kau kelelahan—”
“Dan juga lapar. Tenanglah,
Donghae-ssi. Biar aku belikan sarapan untuk kita lalu aku akan memesan tiket pulang
untuk kita berempat.”
“Tidak, Youra. Anak buah Isaías
berkeliaran di seluruh penjuru kota. Terlalu berbahaya untuk keluar sekarang.”
Youra tersenyum
menenangkan Donghae. DIa bisa merasakan kekhawatiran pria itu tetapi dia juga ingin
pulang ke Seoul secepat mungkin. Berada di Rio de Janeiro lebih lama membuatnya
ketakutan. “Jangan khawatir. Mereka tidak mengenaliku, bukan? Kau yang menjadi
sasaran mereka. Sekarang, biarkan aku membeli kimchi di restoran Korea lalu memesan
tiket pulang. Aku janji tidak akan lama. Bagaimana?”
Donghae menatapnya keras,
namun segera mendesah ketika Youra terus tersenyum meyakinkan. “Baiklah. Aku
beri waktu satu jam. Kalau dalam satu jam kau tidak memberi kabar, aku akan menyusulmu
kesana.”
“Arasseo.” Ujarnya senang.
Tak lama lagi mereka akan segera pulang..
Youra menenteng dua buah tas
plastik berisi kimchi, bibimbap, kimbab serta nasi goring ekstra pedas. Wajahnya
terlihat puas karena di kantongnya sudah ada empat tiket dengan rute
penerbangan dua kali transit sebelum tiba di Seoul. Tapi dia merasa sedikit
aneh ketika pramuniaga tadi meliriknya berulang kali dan berdeham terus. Sepertinya
wanita itu memperhatikan keadaan sekeliling dengan gugup dan menyerahkan tiket dengan
terburu-buru.
Mau tak mau Youra kembali
merasa cemas. Di genggamnya bungkusan makanan itu erat-erat dan mengamati
sekelilingnya dengan gusar. Dia tahu hal itu percuma, sebab nyatanya Youra
tengah berdiri menanti lampu merah bersama ratusan orang di jalan. Tak ada
satupun yang mencurigakan—atau semuanya terlihat mencurigakan baginya. Youra
mengeluh dalam hati, karena tak ada taksi di sekitar sini, dan dia diharuskan
berjalan dulu untuk mencapai jalan protokol yang di penuhi taksi.
Lampu di atas kepalanya
berganti warna menjadi merah terang, membuat orang-orang di sekitarnya
berduyun-duyun menyebrangi zebra-cross sebelum lampu kembali berubah hijau. Youra
berdesakan di antara pejalan kaki yang semuanya menyebrang tergesa-gesa. Ketika
akhirnya Youra mencapai ujung jalan, dia segera menyetop sebuah taksi yang
sedang melaju. Taksi itu melambat dan baru akan berhenti di depannya saat
sebuah SUV berwarna abu-abu metalik menyalip mobil itu dan berhenti persis di
depan Youra.
Dia terlalu syok untuk
sempat bereaksi apapun. Dalam satu detik, beberapa orang pria kekar keluar dari
kursi belakang dan segera membekap mulutnya. Mereka mendorong paksa Youra—nyaris
melemparnya ke dalam mobil itu—lalu menutup pintu dengan keras.
“Wait—What are you—Let me go!!” jeritnya ketika sebuah tangan menjambaknya.
“Hands off of me!!”
Pria itu tak mengacuhkan teriakan
Youra dan berbicara cepat menggunakan bahasa Portugis dengan temannya. Youra lalu
mengamuk, mencakar siapapun yang berada di dekatnya dan bahkan menendang mereka.
Tapi kemudian sebuah benda berat menghantam tengkuknya. Youra berjengit dan pikirannya
membentuk sebuah wajah yang sedang menanti dengan cemas. “Donghae-ssi..” bisiknya
ketakutan, sebelum dia jatuh dalam kegelapan yang menyesakkan..
***
Sudah lewat satu jam
setengah dan Youra belum juga tiba di hotel. Gadis itu bahkan belum mengabarinya
sekalipun. Donghae mendesah panik dan berjalan mondar-mandir ke sekeliling
ruangan. Berulang kali dia berhenti di depan jendela dan mencoba mencari-cari
siluet Youra di antara kerumunan orang di jalan. Tapi ketika akhirnya kecemasannya
tak bisa lagi dia bendung, Donghae akhirnya mendatangi kamar Chae Rin.
“Pinjami aku ponselmu.” Ujar
Donghae langsung menyambar ponsel milik Chae Rin sebelum gadis itu sempat
menjawab. Dia menghubungi nomor Youra dan mendengar nada sambungannya. Tak
sampai semenit, panggilannya di jawab dan Donghae baru akan mendesah lega
ketika dia mendengar seseorang yang mengangkat telepon bukanlah Youra.
“Kau tak akan pernah
menemuinya lagi walaupun di dalam mimpi.” Sebuah suara berat dan penuh
kebencian berujar dengan santai.
“Isaías.” Geram Donghae tak
percaya. Lelaki itu tertawa dingin di ujung panggilan.
“Kau ingin
menyelamatkannya? Cobalah kalau bisa, nak. Aku menunggumu.” Tandas Isaías
mengakhiri panggilan. Meskipun Donghae tak bisa melihatnya, tapi dia yakin
bahwa pria itu sedang menyeringai puas.
“Aku harus pergi.” Ujar
Donghae singkat dan di sebelahnya, Chae Rin menegang.
“Apa? Tidak bisa, Oppa. Kau
benar-benar akan dibunuh jika kau mendatangi mereka lagi!” seru Chae Rin sambil
menahan lengan Donghae.
“Jadi maksudmu aku harus
membiarkan Youra begitu saja?” tanya Donghae garang.
Chae Rin menggeleng cepat
dan dia menunjuk ke ujung ruangan, tempat mereka meletakkan tas Youra yang
berisi laptop. “Tentu saja tidak. Yang harus kita lakukan pertama kali adalah mengecek keberadaan Youra. Tidakkah kau merasa
aneh dengan perkataan Isaías?”
Donghae terdiam dan
berusaha mencerna maksud Chae Rin. Gadis itu benar, meskipun dia sudah tidak
sabar untuk segera menyelamatkan Youra, dia harus tetap berkepala dingin. “Tapi
aku sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya.” Desah Donghae putus asa. Dia
memang tak pernah memiliki kesempatan untuk mengetahui bagaimana Youra
melakukan segala macam hacking itu.
menurutnya pemrograman bukanlah sesuatu yang bisa di pahaminya dengan baik.
“Kau memang tidak, tapi
aku bisa. Youra mengajariku bagaimana melacak sinyal ponsel kemarin siang. Dan
aku tahu apa yang harus kulakukan.” Ucap Chae Rin yakin dan langsung berkutat
di depan laptop Youra yang mulai menyala.
“Lihat, aku benar, bukan?”
lengking Chae Rin dan Donghae buru-buru mendatanginya. Tak sampai dua puluh
menit, gadis itu telah berhasil menemukan lokasi Youra. “Sinyal ponselnya tidak
mengarah ke kediaman PCC!”
Donghae melihat sendiri
titik kecil berpendar yang membelok menjauhi Favela. Dia menggigit bibirnya dan
memperhatikan titik itu terus melaju ke tengah kota, nyaris mendekati hotel
mereka namun berbelok ke arah pantai. Donghae sempat mengira bahwa mereka akan
membawa Youra menuju Hutan Tijuca lagi tapi dugaannya segera terpatahkan ketika
titik itu berhenti tepat di sebuah gedung yang berjarak dua puluh mil dari
pusat kota. Dia harus berpegangan pada ujung kursi ketika hasil pencarian Chae Rin
terlihat di layar laptop. Gedung itu ternyata bangunan berlantai enam, sebuah tempat
prostitusi terkenal yang juga menjadi tempat jual beli wanita.
“Isaías ingin menjebakmu! Dia
menahan Youra di tempat lain dan mengarahkanmu ke PCC. Kau harus cepat Oppa,
aku yakin Isaías belum menyadari kalau kita sudah mengetahui niatnya.” Tukas
Chae Rin panik dan dia segera menyerahkan mantel hitam Donghae yang
ditinggalkan Youra serta kunci mobil pada Donghae. “Aku akan menyusulmu setelah
mengantar Kyung Dae Oppa ke rumah sakit—”
“Tidak.” Sela Donghae
cepat. Chae Rin mendongak menatapnya dan Donghae kembali berkata dengan tegas. “Kau
dan Hyung harus segera pulang. Kalian pergilah ke bandara sekarang juga dan jauhi
Favela. Aku yakin mereka masih siaga disana.”
Chae Rin mengutarakan
protesnya namun segera di patahkan oleh Donghae. Gadis itu akhirnya menurut
ketika Donghae berjanji bahwa dia akan langsung berangkat ke Seoul jika dia
sudah berhasil menyelamatan Youra. Bersamaan dengan keberangkatan Donghae, Chae
Rin juga ikut berkemas dan memesan taksi yang akan mengantar Kyung Dae dan
dirinya ke bandara.
“Oppa, aku.. aku akan
mencari bantuan untukmu.” Bisiknya ketika Donghae memeluk gadis itu.
“Terima kasih, Chae Rin.
Kumohon, jagalah Kyung Dae Hyung.” Ujar Donghae kemudian.
Chae Rin mempererat pelukannya
dan berkata dengan nada mengancam. “Kau harus kembali. Kalau tidak aku akan
menginap di Bandara Incheon sampai kau tiba.”
Donghae tertawa kecil dan
dia menepuk kepala Chae Rin pelan. “Kau sangat keras kepala.” Ucapnya mendengus
geli.
Mereka berpisah di lobi
hotel dan Donghae melambai pada Chae Rin yang memasang tampang muram. Gadis itu
memandangnya dengan bibir mencebik dan kerutan di pelipisnya begitu kentara,
hingga menyamarkan kecantikannya. Tapi Donghae tak punya banyak waktu, dia
harus segera menjemput Youra, dimanapun gadis itu berada..
***
Youra merasakan migrain
mendera kepalanya, bersamaan dengan denyut di pelipisnya yang semakin parah. Dia
berusaha membuka matanya namun pandangannya terasa kabur. Youra mengumpulkan
kekuatannya dan mencoba menggerakkan tangan tetapi sesuatu menahan pergelangan
tangannya. Dia mengejang ketakutan dan kesadarannya perlahan timbul.
Ruangan itu berukuran tiga
kali empat meter. Dengan sebuah jendela kaca yang terletak di sisi kepala
Youra. Pintu kayu dengan cat putih yang mengelupas di bagian atas berdiri tak
jauh dari kakinya. Tak ada apapun di ruangan itu selain tempat tidur kecil yang
kini sedang ditiduri Youra. Dia menggeliat, berusaha menarik tangannya tetapi rasa
sakit itu kembali menjalar. Youra terkesiap ketika dia mengetahui bahwa kedua
tangannya terikat kuat di kedua sisi tempat tidur. Tidak hanya tangan, bahkan
kakinya juga terikat, membuatnya tak bisa menggerakkan apapun kecuali
kepalanya.
Namun secara tak terduga, pintu
di depannya membuka. Dua orang muncul dan salah seorang pria yang mengenakan
setelan jas langsung menyeringai senang pada Youra. Kedua pria itu mendekat dan
saling bercakap-cakap menggunakan bahasa Portugis. Lelaki dengan jas
bergaris-garis itu mengulurkan tangannya, menyentuh wajah Youra dengan
hati-hati dan bergumam sendiri.
“Hands off!” teriak Youra dengan tubuh menggigil. Ada yang salah
disini. Dia tidak hanya di jadikan tawanan. Menilik cara pria itu menatapnya
lapar, Youra yakin dia sedang menghadapi mimpi buruknya yang menjadi nyata.
“Wait me, baby.” Desah pria itu di telinga Youra. Dia juga
memamerkan deretan giginya dengan berdesis tak sabar. Youra bahkan bisa melihat
pria itu tak sanggup menelan nafsunya lebih lama. Tetapi kemudian pria yang berdiri
di depan pintu mengucapkan sesuatu dan kepalanya mengedik ke arah pintu. Lelaki
dengan wajah mesum itu terlihat kecewa dan dia menatap Youra tak berdaya.
“See you.” Ujarnya menyeringai
dan menghilang dari balik pintu. Youra masih belum bisa berhenti bergidik. Dia mencoba
menjelajahi ruangan, mencari sebuah cara agar bisa kabur dari tempat ini, tapi
tampaknya percuma. Dengan tali-tali yang mengikat tubuhnya erat, dia nyaris tak
bisa melakukan apapun saat ini. Dan lagi, dia sama sekali tidak mengetahui dimana
dia sekarang. Sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri? Apakah Donghae sudah
menyadari bahwa dia telah menghilang?
Hatinya bagai tertusuk
sembilu begitu memikirkan nama itu. Kesedihan langsung menemukan tempat untuk bersarang
di hatinya dan tubuhnya berguncang karena menahan isakan tangis. Apa yang harus
dia lakukan sekarang?
Youra memutar kepalanya dan
melihat siluet sebuah puncak gedung di kejauhan melalui jendela di atas
kepalanya. Itu berarti dia tidak berada di lantai dasar. Suara hiruk pikuk yang
sepertinya teredam jauh juga semakin membenarkan kecurigaannya. Jantungnya
mencelos. Kalaupun dia bisa melepaskan semua tali ini, dia tetap tidak akan
bisa kemanapun. Pilihannya adalah lompat ke bawah atau menerobos penjagaan. Keduanya
hampir mustahil.
Kepanikan melanda Youra. Keringatnya
mulai turun karena udara yang pengap di ruangan itu. Dia tahu pria menjijikan
tadi pasti akan segera kembali. Apa yang harus dia lakukan? Membayangkan nafas
pria itu membuatnya mual. Youra harus memikirkan sebuah cara. Tapi apa?
Setelah menghabiskan
beberapa menit bergumul dengan hatinya, akhirnya Youra menerima kenyataan bahwa
tidak ada yang bisa dia lakukan selain berharap. Mungkin Tuhan akan mendengarkan
ratapannya bila dia berdoa dengan bersungguh-sungguh. Tetapi terdengar derap
langkah kaki yang semakin mendekat dan Youra tahu waktunya tidak banyak lagi. Dia
hanya sempat memikirkan wajah kedua orangtuanya, keluarganya, serta Lee
Donghae..
Pintu menjeblak terbuka
dengan bunyi berdebum keras, hingga nyaris mematahkan engselnya. Wajah Youra
memucat, kelegaan dan keterkejutan terpapar di sana. Dia sama sekali tak pernah
mengira bahwa pria yang mendatanginya tergesa-gesa itu adalah Donghae.
Lee Donghae mengeluarkan
pisau lalu memotong lepas ikatan tali yang mengekang tubuh Youra. Dia belum
mampu mengucapkan apapun, masih tak percaya bahwa kehadiran pria itu nyata
adanya. Donghae sepertinya tak berniat menunggu reaksi Youra sebab dia langsung
menggapai pergelangan tangan Youra dan menariknya berdiri.
Donghae mundur dua langkah—membuat
tubuh Youra yang berada di belakangnya menempel di dinding—lalu memberikan
aba-aba. “Pada hitungan ketiga.” Ucapnya tanpa menoleh. Youra mengangguk meski masih
belum yakin apa yang akan mereka lakukan.
“Satu—” suara langkah kaki
terdengar sayup-sayup.
“Dua—” hentakan kaki-kaki yang
berada jauh sepertinya semakin mendekat. Mendadak Youra paham apa yang sedang
terjadi.
“—Tiga!” raung Donghae dan
detik itu juga pria itu berlari ke arah jendela dan menarik serta Youra. Pecahan
kaca yang menggores lengan dan wajahnya terasa perih namun tak cukup untuk
membuatnya mengalihkan kenyataan bahwa mereka sedang melompat dari lantai empat—atau
setidaknya itulah yang sanggup dihitung Youra.
Udara dingin menerpa wajahnya
dan Youra terlalu kaget untuk berteriak. Suaranya tercekat dan telinganya
menangkap beberapa umpatan di belakangnya. Dia tahu penjaga-penjaga itu sedang mengejar
mereka. Namun pikirannya tak bisa mengkalkulasikan apapun selain menghadapi fakta
bahwa dia akan segera mati.
Youra memejamkan matanya
pada detik-detik terakhir, mengunci mulutnya rapat-rapat dan hanya sempat menarik
napas satu kali ketika tubuhnya tiba-tiba mendarat ada sesuatu yang lembut dan
bergelombang. Tubuh Youra dan Donghae memantul satu kali sebelum benar-benar
jatuh dan berguling di atas aspal jalan yang licin. Youra membelalak kaget melihat
sebuah tenda dengan motif garis-garis merah-putih-kuning ternyata telah menahan
tubuh mereka dari ketinggian. Pemilik tenda mengumpat dalam bahasa Portugis dan
detik berikutnya Donghae langsung menariknya lagi.
Dia hanya mampu melihat
sekelilingnya dalam kelebatan warna yang acak. Ada beberapa orang yang
menyingkir dari jalan ketika mereka berlari melewati mereka. Teriakan, umpatan
kekesalan, bahkan pertanyaan ingin tahu berdengung di sekitar mereka. Youra
menatap ke depan, namun punggung Donghae yang bidang menghalangi pandangannya. Tangan
pria itu terasa hangat, meskipun napas mereka sama-sama memburu, kedua kaki
mereka berlari sekuat tenaga dan ketakutan terasa di ujung lidah. Berulang kali
Donghae berbelok pada setiap persimpangan seakan dia mengenal tempat ini dengan
baik. Sementara Youra sendiri tak bisa mencerna apapun. Dia hanya bisa melihat
sekilas kerumunan orang-orang, mobil yang lalu lalang, serta bangunan-bangunan
tua dengan gaya arsitektur abad sembilan belas di sekitarnya. Tetapi dia juga
bisa mendengar beberapa orang mengejar mereka dan hanya tertinggal beberapa
langkah di belakang.
Youra meringgis dan
menggigit bibirnya. Berapa lama lagi mereka akan terus berlari? Karena sendi-sendi
kakinya sudah berteriak kelelahan. Paru-parunya bahkan sudah menyerah untuk
memasok oksigen yang langsung dia hembuskan detik itu juga. Kepala Youra sudah
mulai terasa berat. Tubuhnya memang masih berlari, namun rasa takutlah yang
menggerakkan otot-ototnya untuk terus bergerak. Dan ketika Youra hampir
kehilangan kekuatannya, Donghae berhenti dan mendorongnya masuk ke sebuah
mobil.
Pria itu langsung
menyalakan mobil dan menginjak gas pada saat yang bersamaan. Tubuh Youra
terlempar ke belakang ketika mobil pinjaman Chae Rin itu ‘terbang’ ke jalan
raya. Dia melirik Donghae sekilas dan segera berbalik ke belakang.
“Donghae-ssi, mereka
mengejar kita.” Pekik Youra panik.
“Aku tahu.” Jawab Donghae pendek
dan langsung berbelok ke kanan di perempatan jalan. Mobil-mobil di belakang
mereka bergerak mengikuti laju mobil mereka dan bahkan semakin mendekat.
Donghae mempercepat
mobilnya namun tiba-tiba saja kabut asap menguar dari bagian belakang mobil. “Sial!”
umpat Donghae kesal sambil menggedor dasbor. Pria itu tidak menghentikan
mobilnya dan terus menginjak pedal gas, memasuki kerumunan mobil-mobil yang mulai
lenggang dan bentangan jalan yang dipenuhi pepohonan menyambut mereka.
Youra melongok ke jendelanya
dan hamparan laut bersisian dengan mereka. Deburan ombak seakan berlomba
menarik perhatiannya. Kilauan matahari yang terpantul di atas air laut membuat Youra
kagum. Dia hampir melupakan tiga mobil yang berada semakin dekat dengan mereka.
Pemandangan itu membiusnya untuk sejenak. Memanggil-manggil Youra untuk segera
mendekat.
Dan sebuah tembakan berdesing
melewati mobil mereka. Youra terlempar ke alam sadar dan tubuhnya menunduk
secara refleks. Dia melirik cemas Donghae yang juga menegang. Wajahnya terlihat
kalut, berusaha mempercepat mobil dengan peluru-peluru yang mengarah pada
mereka. “Sedikit lagi..” gumam Donghae tak kentara. Youra tak sempat bertanya
apapun sebab peluru kedua berhasil memecahkan kaca belakang mobil menjadi
ribuan keping. Debu-debu dan pecahan kaca itu langsung bergabung bersama angin,
menolak melindungi Youra dan Donghae lebih lama.
“Donghae-ssi!” teriak Youra
ketakutan. Sebutir peluru yang akan ditembakkan dari belakang akan mampu
membunuh Youra. Atau Donghae.
Terdengar bunyi letusan lagi
dan tiba-tiba saja Donghae membelok ke kanan dengan tajam, membuat Youra terpaksa
menabrak pintu mobil dengan menyakitkan. Mobil membentur sesuatu tetapi Donghae
terus memaksa mobilnya untuk tetap melaju kencang. Tak ada apapun di sekitar
mereka kecuali pepohonan yang berjejer serta semak-semak yang meninggi. Hutan
itu pasti akan terlihat mencekam jika malam tiba. Namun sinar matahari yang
benderang mampu menghilangkan kesan suram, dengan air laut yang bergolak di
kejauhan, hutan itu terlihat seperti bersatu dengan laut Copacabana.
Youra berbalik dan tak
menemukan sebuah mobil pun berhasil mengejar mereka, meski dia bisa mendengar suara
mesin mobil yang meraung, menandakan mereka akan tiba sebentar lagi. Youra
berniat memberitahu Donghae ketika pria itu malah menghentikan mobil di
tengah-tengah hutan. Dengan kebingungan yang tampak jelas, Youra mengikuti instruksi
Donghae yang menyuruhnya untuk segera keluar dari mobil.
Donghae menggenggam lagi
jemari Youra dan mereka kembali berlari di tengah hutan. Berulang kali kaki
Youra tersandung dan Donghae terus menariknya, tidak memberinya kesempatan
untuk mengeluh atau berkata apapun. Sementara suara-suara di belakang mereka
semakin terdengar jelas, memaksa Youra untuk berlari lebih kencang lagi.
Kali ini pendengarannya terpecah.
Deburan ombak yang mengamuk sepertinya tepat di bawah kakinya. Youra melihat ke
depan dan tiba-tiba saja bentangan laut yang luas terhampar di hadapannya. Bibirnya
menganga tak percaya. Kekaguman sekaligus ketakutan berkecamuk di hatinya. Dia
masih terus mengagumi betapa indahnya laut Copacabana ketika Donghae berhenti
mendadak dan Youra menabrak tubuhnya.
Donghae mengeluarkan gulungan
tali dari saku mantelnya dan mulai mengikat benda itu ke sebuah ranting pohon
yang mencuat rendah di sekitar mereka. Pria itu sama sekali mengabaikan Youra
dan memilih bekerja dalam diam. Youra mengamati sekelilingnya dan dia harus
menahan pekikannya ketika menyadari bahwa mereka sedang berada di tubir. Kakinya
berusaha maju satu langkah dan kepalanya melongok ke bawah, ke tempat dimana air
laut mengamuk. Tebing ini membuat kakinya goyah. Youra berjalan mundur namun tangan
Donghae menahannya.
“Pegang ini, Youra.” Ujarnya
cepat. Youra mengambil seutas tali yang menjulur dari ikatan di ranting pohon
itu dengan bingung. Tali itu ternyata membagi menjadi dua dan salah satunya
berada dalam genggaman Donghae.
“Apa yang harus kita
lakukan dengan tali ini?” tanya Youra bingung.
Donghae melirik ke
belakang sekilas dan wajahnya berkerut ragu. “Dengar, kau harus memegang tali
ini kuat-kuat. Ikuti aku, dan jangan sekalipun melepas peganganmu.”
Pria itu maju hingga ke
ujung tebing dan dengan hati-hati kakinya menjejak ke sisi tebing yang curam. Youra
bergidik ketakutan dan berseru nyaring. “Maksudmu kita harus bergantungan
dengan tali ini?!”
“Youra-ya, tidak ada
waktu! Cepatlah.” Donghae tidak menjawab pertanyaan Youra dan menekan akhir
kalimatnya dengan gusar. Youra berbalik dan mendengar suara-suara mulai
mendekat ke arah mereka. Dia tidak punya pilihan lain sekarang. Toh dia akan
tetap mati jika air laut menelannya hidup-hidup.
Dengan separuh ketakutan
Youra akhirnya mengikuti Donghae. Dia menjejakkan kakinya pada sebuah batu yang
mencuat dari timbunan tanah dan berusaha menyeimbangkan bobot tubuhnya. Tali
ini memang membantunya untuk tidak segera jatuh, tapi tetap saja tubuhnya tak bisa
leluasa berdiri dengan hanya mengandalkan pijakan rapuh dan seutas tali. Di
sebelahnya, Donghae telah berhasil turun
perlahan dan Youra buru-buru mengikutinya. Dia mengerahkan seluruh indra
pada kedua kakinya untuk mencari pijakan baru. Dan kaki kirinya menemukan
sebuah lubang kecil yang bisa dijadikan tumpuan untuk sejenak.
Tepat ketika tubuh Youra semakin
turun ke bawah, para anak buah Isaías muncul di ujung semak-semak. Dia
mendengar sumpah serapah mereka dan berusaha dengan panik untuk segera
menurunkan tubuhnya lebih jauh lagi. Langkah kaki itu akhirnya tiba tak jauh
dari mereka dan Youra mengenali suara Isaías yang dalam dan berat berkata cepat
dalam bahasa Portugis.
“Apa kau percaya padaku?”
Pertanyaan Donghae menimbulkan
arti ganda. Tapi dia tahu mereka tak
punya banyak waktu lagi sekarang. Di atas mereka, anak buah Isaías sudah mulai
mencari-cari. “Ya, aku percaya padamu.” Jawab Youra tanpa keraguan. Itu benar,
dia memang mempercayai pria itu sepenuh hatinya.
“Dengarkan aku baik-baik.
Jika aku memberimu aba-aba, maka kau harus melepaskan peganganmu. Arajji—kau mengerti?” sambung Donghae
lagi. Sebagai jawaban, Youra mengangguk cepat. Pilihan untuk melepaskan pegangannya
sebenarnya terlalu menakutkan. Tapi bahkan setiap inci tubuh Youra sudah
menjerit protes. Dia tidak akan bisa mempertahankan pegangannya lebih lama
lagi.
Youra melirik ke bawah dan
dadanya berdegup, begitu menyesakkan ketika dia menyadari bahwa hidupnya akan
berakhir sebentar lagi. Di pandanginya Donghae dengan binar mata penuh pemujaan
dan Youra membisikkan kata-kata terima kasih padanya. Pria itu mengerutkan
kening dan menepis kepasrahan Youra dan berupaya meyakinkan dirinya bahwa
mereka akan selamat.
Sepertinya waktu berjalan
begitu lama ketika Donghae akhirnya berteriak agar mereka melepaskan pegangan. Youra
mematuhi Donghae dan segera membiarkan kedua tangannya bebas. Tubuhnya melayang
di udara, deru angin yang memenuhi pendengarannya menjadi pertanda bahwa dia
benar-benar sedang melaju ke bawah dengan kecepatan penuh. Mata Youra
mencari-cari Donghae dengan putus asa. Dia mendapati kedua mata Donghae juga
sedang menatapnya tanpa ragu. Sejenak titik rotasi melambat dan Youra yakin dia
sedang melihat seluruh hidupnya terpancang kuat pada mata cokelat sempurna yang
balik menatapnya.
Entah berapa lama mereka
melayang di udara sebelum air laut menelan mereka tanpa ampun. Ombak menggulung
tubuh Youra yang langsung menggigil karena suhu air yang begitu rendah dan
paru-parunya mulai terbakar menyakitkan. Dia menyesal tidak pernah menggunakan
kesempatannya untuk belajar berenang dengan baik. Namun tetap saja semuanya
sudah terlambat sekarang. Air laut menarik tubuh Youra semakin ke dalam, mencoba
mengalahkan usaha Youra yang menggapai-gapai tanpa hasil. Dia tidak sanggup
lagi, pandangannya berubah kabur dan tak ada yang bisa dilihatnya selain sebuah siluet dengan
titik putih yang berkilau di belakang siluet itu.
Kesadaran Youra perlahan
menghilang. Dia sedang menyambut kematiannya ketika tiba-tiba sebuah tangan
menariknya ke atas..
***
Donghae menghirup oksigen dan
langsung menyelam dengan mengerahkan segala kekuatannya. Dia terkejut ketika menyadari
tubuh Youra semakin jauh dari jangkauannya, tenggelam di telan ombak tanpa perlawanan.
Donghae mendorong tubuhnya menembus hempasan air laut dan berusaha menggapai Youra.
Dia berteriak namun percuma, gadis itu bahkan tak lagi menyadarinya. Sekali
lagi, Donghae menyelam lebih dalam, dan saat persediaan oksigennya mulai
menipis, tangannya berhasil meraih jemari Youra. Dengan seluruh tenaganya, dia
menarik Youra ke permukaan dan segera menghirup udara sebanyak yang dia mampu.
Youra terbatuk dan matanya
mengerjap panik ketika Donghae membawanya berenang kecil menuju dinding tebing.
Tubuh gadis itu menggigil dalam dekapannya, dan tangannya merengkuh ujung kerah
kemeja Donghae dengan erat, seolah dia akan kembali jatuh jika melepaskannya. Donghae
berusaha menenangkannya sembari berbisik, “gwaenchanha, Youra-ya, gwaenchanha..”
Gigi mereka bergemeletuk menahan
dinginnya air laut sementara tangan Donghae menarik sebuah sulur yang menyembul
keluar dari dinding tebing lalu menjadikan sulur itu sebagai penahan mereka. Donghae
memandang lautan luas dan dia memicingkan matanya ketika melihat sebuah titik
yang semakin lama semakin membesar—mendekat ke arah mereka.
Youra juga tampaknya
mengetahui hal itu, sebab dia kini mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan napasnya
tercekat. Mulanya hanya sebuah speed boat
yang bisa mereka lihat, namun beberapa detik kemudian, barulah mereka menyadari
ada belasan speed boat yang mengarah ke
tempat mereka yang tengah bergantung pada sebuah sulur. Seluruh speed boat itu kini berputar-putar
mendekat, mengepung mereka berdua dan Donghae bisa mendengar suara Youra yang
berucap lirih. “Celaka, kita tak akan bisa kabur lagi.”
Donghae tersenyum dan
mengamit tubuh Youra semakin erat. “Jangan khawatir, Youra-ya, mereka adalah
Interpol. Itu adalah bantuan yang dikirimkan Chae Rin..”
***
—Satu minggu kemudian—
Youra menaiki anak tangga
dengan napas terengah-engah. Stiletto yang dia kenakan memperlambat gerakannya,
dia tahu itu, tapi Youra tetap tidak ingin melepaskan benda itu. Dia harus
tetap memakainya jika ingin penampilannya sempurna. Malam ini pengumuman resmi
mengenai identitas asli Donghae akan diberitakan secara luas. Mereka memang
baru tiba di Seoul kemarin sore, karena pihak Interpol menahan mereka di New York
selama lima hari. Tetapi karena telah meninggalkan perusahaan tanpa kabar, Kyung
Dae dan Donghae sama-sama dicecar ribuan pertanyaan dari berbagai pihak. Media massa
bahkan sengaja menanti di depan gedung Fashion selama berhari-hari demi
mendapatkan jawaban konkret mengenai keberadaan Kyung Dae dan Donghae yang
menghilang secara misterius.
Media Internasional memberitakan
penangkapan Isaías di Rio de Janeiro dengan terperinci, membuat nama Donghae
dan Youra di sebut berulang kali. Hanya Chae Rin dan Kyung Dae yang lolos dari
sorotan kamera serta Interpol karena gadis itu ternyata melaporkan peristiwa
penculikan Youra dan lokasi pembuatan LAD pada Interpol tanpa menyebutkan
keterlibatan Kyung Dae dan dirinya. Chae Rin beranggapan bahwa masa lalu Kyung
Dae yang kelam akan membuat Interpol ikut menahannya bersama Isaías. Jadi, setelah
keributan kecil di Rio de Janeiro itu, mereka akhirnya mendengar keputusan
bahwa Isaías akan di tempatkan di sebuah penjara khusus di Virginia selama empat
puluh tahun. Pihak Interpol menjamin PCC sudah benar-benar bubar dan telah
menyita seluruh benda yang mereka miliki. Dengan kata lain, mereka bisa tetap
mengunjungi Rio de Janeiro tanpa perlu ketakutan lagi. Well, mungkin tidak
termasuk Favela..
Begitu menjejakkan kaki di
anak tangga terakhir, Youra merapikan dulu penampilannya sebelum mendorong
pintu di depannya. Angin berhembus menyambut kedatangannya, membuat rambutnya
sedikit berantakan dan ujung gaunnya berkibar. Youra berdiri di ambang pintu, menatap
punggung seseorang yang langsung membuat jantungnya meninggalkan ketenangan. Dan
perlahan, pemilik punggung itu berbalik, menunjukkan wajahnya yang tanpa cela pada Youra.
Lee Donghae sedang
menatapnya tersenyum. Wajahnya seperti malaikat yang muncul dari langit secara
tiba-tiba. Donghae mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang
melingkari lehernya. Celana hitam serta sepatu Laced Up berwana cokelat tua
membuatnya terlihat seratus kali lebih gagah, lebih rupawan, bahkan lebih sempurna.
Sebelah tangan Donghae memegang segelas wine sementara sebelahnya lagi tengah
berada di saku celananya. Youra ingin mengabadikan pemandangan yang sedang
disaksikannya dengan jelas, agar dia masih bisa mengingat hal ini ketika dia
memasuki masa tuanya.
“Kemarilah.” Ujar Donghae
merdu. Pria itu menelengkan kepalanya dan menanti Youra yang berjalan kikuk.
Donghae mengambil jasnya
yang ternyata tersampir di ujung kursi panjang dan langsung menyelimuti pundak
Youra, membuatnya tersipu. “Kau cantik sekali.” Bisik Donghae. Pria itu mendekatkan
tubuhnya dan Youra merasa jantungnya telah kabur ke Mars.
“Lihat aku, Youra
Leavanna.”
Mata Youra langsung
menemukan sepasang manik cokelat muda kesukaannya, berada tak jauh dari
jangkauannya dan dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari tatapan Donghae
yang begitu dalam.
“Aku tidak tahu harus
mengatakan apapun lagi selain berterima kasih padamu. Karena tanpa bantuanmu
aku tidak mungkin berada di sini. Tapi aku ingin tahu, kenapa kau menolak
permintaanku untuk menungguku dengan aman di Seoul?”
Youra bungkam sejenak. Dia
menarik napanya dalam-dalam dan menjawab dengan nada menyesal. “Aku
mengkhawatirkanmu, Donghae-ssi. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu dengan cemas.”
Donghae terdiam dan
menutup matanya. “Bagaimana jika aku meminta padamu untuk menungguku lagi?”
tanyanya berhati-hati.
Jantung Youra seakan bisa
merasakan dinginnya air laut Rio de Janeiro yang membekukan sekujur tubuhnya. Dia
tidak bisa menahan kesedihannya ketika bertanya pada Donghae. “Kau akan pergi kemana?”
Tidak ada jawaban, Donghae
malah merapatkan tubuhnya pada Youra. “Kumohon, aku butuh waktu empat menit. Bisakah
kau menutup matamu, Youra-ya? Aku janji akan menjelaskan padamu setelahnya.”
Youra mengangguk dan
menutup matanya. Dia mulai menghitung dalam hati dengan seluruh tanda tanya memenuhi
rongga tubuhnya. Tetapi terdengar langkah kaki Donghae yang semakin menjauh dan
perasaan kecewa menggelayutinya. Apakah pria itu pergi diam-diam? Tapi kenapa?
Youra terus menghitung dalam
hati, meskipun dadanya sesak oleh kesedihan. Ketika hitungannya mencapai angka dua
ratus empat puluh, Youra masih belum mampu membuka matanya, dia takut mendapati
bahwa Donghae ternyata benar-benar meninggalkannya lagi.
Baru setelah menarik napas
dalam-dalam, Youra membuka kelopak matanya perlahan dan airmatanya langsung tumpah.
Kekagetannya tak bisa dia sembunyikan ketika menemukan Donghae tengah berdiri di
ujung pagar pembatas, dengan tangannya mengulurkan sebuah buket bunga mawar yang
cantik. Tapi bukan itu yang memecah emosinya, membuat tangisannya berubah dari sedih
menjadi haru, melainkan ketika gedung-gedung di belakang Donghae padam secara serentak
dan meninggalkan beberapa petak cahaya yang mengukir sebuah kata untuknya: Will You Marry Me?
“Menikahlah denganku, Youra
Leavanna. Jadilah istriku untuk selama-lamanya. Menjadi ibu bagi anak-anakku kelak
dan tetap bersamaku sampai aku mati.”
Suara Donghae menyusup ke telinganya,
membuat tangisannya lolos lebih keras. Pria itu mengulang perkataannya dan menambahkan
pertanyaan paling tidak penting: “Maukah
kau menikah denganku?”
“I do. I will definitely do.”
Jawab Youra dengan airmatanya yang masih tumpah. Detik itu juga Donghae menghambur
padanya dan mendekapnya erat. Bibirnya menemukan bibir Youra dengan cepat. Mereka
berciuman di tengah hembusan angin yang tiba-tiba berubah menjadi hangat. Menyelimuti
perasaan mereka dengan luar biasa nyaman. Jika sebelumnya Youra merasa empat menitnya
sia-sia, kini dia mengganti memorinya, menanam sebuah ingatan baru yang akan ia
kenang selamanya.
“Aku mencintaimu, Donghae-ssi.”
Bisik Youra diantara ciumannya.
“Terima kasih sudah mencintaiku,
Youra. Sekarang giliranku untuk mencintaimu seumur
hidupku.” Tandas Donghae tanpa keraguan, membuat Youra merasa yakin bahwa pria
itu benar-benar akan terus mencintainya.
Seumur hidupnya.
***
END
Finally! Endddd!
BalasHapusPertama-tama ehm..gaada yg mau aku komentarin dari segi cara penulisan kamu (yang memang gaada kesalahan, teratur dan nyaman untuk dibaca) tapi, mungkin cara penyampaiannya (menurut aku ya) agak sulit dipahami, mungkin yg agak kesulitan aku gambarkan keadaannya pas donghae dan youra lagi terdesak di tebing. Selebihnya aku paham dan soal alur cerita..tegangnya itu pas! Dapet! Ngena^^ meskipun dibeberapa bagian aku menyesali tindakan youra yang keluar dari hotel dan malah ngebuat dia diculik.
Eum..apa lagi ya? Aku cukup puas sama endingnya! Walaupun beberapa kali sempet breathless karna situasi no choice yg dialamin donghae..
Aduh..jadi panjang banget T__T tapi aku bener2 ga tahan mau komentar keseluruhannya hahaha.
Intinya aku seneng dan puas 9 chapter ini berakhir bahagia! Selamat untuk kamu dan untuk para pembaca!! Yeay~
terima kasihh :)
Hapusthat's good
BalasHapustiap kalimat sungguh2 bermakna
akhirnya happy ending juga
dari ceriat2 yang ada sepertinya author suka cerita2 yg bebau misteri kayak detektif hahahaha
semangat buat ff selanjutnya
halo Ainy,
Hapushehe kesannya gitu ya? padahal aku kurang suka baca cerita detektif-detektifan loh -.-"
oke, makasih ya :)
hehehe tapi apapun ceritanya kalau sudah dipegang ma ahlinya pasti hasilnya muasin
BalasHapusditunggu karya2 lainnya :D
Huwaaaa... Finally~~ happy ending^^
BalasHapusUghh berasa ntn film action :v ikutan tegang :3 mwehehe
Akhirnya mafia nya tertangkap, Kyundae selamat, dan Youra n Donghae bahagia~ yeayyy~
Suka banget sama ff buatan author.. Penulisan rapi n ngepas banget gtu buat dibaca, dan adegan romance kakak jago banget :v smpe gregetann hahaha
Oke de.. Ditunggu karya lainnya ya author~ fighting~
Hallo, diriku readers baru. Mohon maaf aku baru menuangkan komentarku di chap trakhir. abis saking penasaran dan gg mau nunda2, sampe lupa mandi, lupa makan, lupa sekrng udh tahun berapa #plakkkk :D
BalasHapusomegattttt...
ini ff paling menegangkan dan mengharukan. kalo ada acara ff awards, aku langsung vote ff ini deh. parah parah, authornya harus tanggung jawab nih bkin jantung aku olahraga keras dari tadi.
romance pas, action pas, castnya juga pas. ngebayangin betapa lusuhnya donghae di awal kisah, tapi jadi gagah gtu di endingnya.
dua kata buat authornya. "Daebak Bingit" :) sukses terus