Jumat, 04 Juli 2014

FANFIC: SCARLET



TITLE               : SCARLET [1]
GENRE             : Action(?)-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING            : NC-21/17
CAST                : Lee Dong Hae
                           youva Cardia
Author                : @Aoirin_Sora





*** PROLOG ***
Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika aku tidak bertemu dengannya. Tapi aku juga tidak dapat memimpikan kehidupanku yang bebas seandainya dia terus berada di dekatku. Benar-benar dekat hingga rasanya aku tak bisa bernapas, bergerak atau bahkan memicingkan mata. Sosok itu terlalu egois untuk sekedar minggat dari mimpi-mimpiku. Merayap masuk hingga melenyapkan batas antara alam bawah sadar dan dunia nyata. Aku sering bertanya-tanya, apa yang mustahil baginya? Sebab seolah memiliki seribu pasang mata dan seratus kaki, dia selalu bisa membuatku ketakutan sekaligus merasa aman setiap saat. Aku membenci keegoisannya, tapi lebih merutuki hatiku yang malah jatuh cinta pada iblis itu.
Iblis yang memiliki rupa bak pangeran tampan yang terjebak dalam dunia dongeng; menakutkan namun juga mengagumkan. Iblis yang dengan tega menghancurkan kebebasan seorang manusia buruk rupa yang juga seorang rakyat jelata.
Malangnya, itu aku.

***





CHAPTER ONE: The Difference of Good and Evil







Buka bajumu, Miss Cardia.
Suara pria itu terdengar tenang, penuh percaya diri dan tanpa keraguan. Dengan mata terbelalak, kutatap bosku—bos baruku—tanpa berkedip. Aku yakin pendengaranku mulai keliru, dan hal itu membuatku melirik ke sisi kanan dan kiriku, memastikan bahwa ada Cardia lain di ruangan ini. Namun sama seperti ketika aku masuk kesini beberapa menit lalu, ruangan ini kosong. Hanya ada kami berdua.
 “Maaf?” seruku perlahan, ketika akhirnya berhasil mengangkses kemampuan verbalku.
“Aku bilang, buka bajumu.” Ulang pria itu tanpa memindahkan tatapannya dari tumpukan kertas di atas meja. “Atau perlu aku yang melakukannya?” Ujarnya sembari mengangkat kepala, menatap langsung ke dalam manik mataku dengan senyum miring.
Aku masih terus terperangah menatap pria yang seakan tak mengacuhkan ekspresi terkejut di wajahku beberapa menit belakangan. Dan ketika tampaknya sudah terlalu lama keheningan mengisi atmosfir di sekitar kami, pria itu bangkit, berjalan mendekati tubuhku yang mematung di tengah ruangan dan menatapku dengan pandangan yang mampu meluluhkan seluruh wanita normal di dunia.
“Apakah instruksiku kurang jelas, Miss Cardia?” tanya pria itu tanpa berusaha menghilangkan nada geli dalam suaranya. Kini terlihat jelas bahwa dia sebenarnya menikmati wajah terkejutku. “Atau kau lebih suka jika aku yang melucuti pakaianmu?”
Kutatap pria itu lurus-lurus—malah bisa dibilang aku sedang memelototinya—dengan pandangan terluka dan tersinggung. Lebih dari itu, aku merasa sangat terhina. Kuperhatikan wajahnya yang tersenyum santai, mengamati kegarangan di wajahku tanpa sedikitpun merasa bersalah. Aku tidak peduli bahkan jika dia bosku, seandainya dia melecehkanku seperti ini, aku akan tetap melawannya.
“Tidak mau.” Jawabku keras. Kukatupkan bibirku hingga membentuk garis tipis.
Mendengar jawaban dan melihat ekspresi dingin yang tercetak jelas pada wajahku, pria itu tiba-tiba saja tertawa—meskipun aku sendiri tidak mengerti apa yang lucu dari jawabanku barusan.
“Kau bahkan tidak bertanya ‘mengapa’ dan langsung menjawab ‘tidak mau’?” tanyanya persis dihadapanku, hingga aku bisa merasakan aroma maskulin pada tubuh bosku itu.
Wajah itu tersenyum janggal, membuatku harus menahan diri untuk tidak menyumpahinya keras-keras seperti yang akan kulakukan jika orang lain yang melecehkanku. Aku berusaha setengah mati memerintahkan otakku untuk berkelakuan sopan di hadapan pria ini—Lee Donghae, pemilik PHOENIX Corporation, perusahaan yang mengurusi bidang ekspor-impor barang, serta beberapa perusahaan ternama seperti OCEANS dan FROZEN yang bergerak dalam bidang konveksi pakaian dan baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan Paul SmithTM yang berharga sebesar lima ratus juta dollar. Pria itu juga memiliki resor hotel terkenal di beberapa pulau di dunia. Singkatnya, dia kaya.
Aku mengerjap bingung dengan pertanyaannya dan tanpa berpikir lagi, aku mengikuti saran Lee Donghae. “Kenapa?” tanyaku berusaha untuk fokus, meskipun hidungku mengernyit—berusaha memblokir oksigen yang telah bercampur dengan aroma parfum pria itu.
Donghae mendengus geli, memutar matanya lambat-lambat dan nyengir padaku. “Secepat itukah kau berubah pikiran? Menarik sekali,” komentarnya sarkastis.
Pipiku berubah merah karena malu mendengar ucapannya. Kugigit bibirku dan merutuki otakku yang lambat. Tapi, belum sempat aku menyangkal apapun, Donghae kembali bertanya.
“Ingatkan aku apa jabatanmu disini, Miss Cardia.” Ucapnya sambil berjalan menuju mejanya yang hanya berjarak beberapa langkah dariku, dan menyandarkan tubuhnya di tepi meja.
Aku mengernyit cemas. Kali ini kuputar otakku lebih keras sebelum menjawab, berusaha meyakinkan diriku bahwa pertanyaan itu tidak memiliki makna ganda. “Err… sekretaris pribadi anda..?”
Donghae menatapku dengan ekspresi datar, membuat kecemasanku bertambah dua kali lipat. Aku hampir menduga bahwa Donghae akan menurunkan jabatanku atau yang paling parah, mendepakku di hari pertamaku bekerja.
“Benar,” jawabnya dengan seulas senyum penuh arti.
“Kau harus tahu mengapa aku telah memecat lima orang sekretarisku dalam enam minggu belakangan, Miss Cardia, sebab aku memiliki beberapa peraturan yang harus kau ikuti.” Jelasnya mengesankan.
Tangan Donghae mulai terjulur ke udara, menunjukkan angka pada setiap peraturan yang di diktekannya dengan cepat.
“Pertama, aku tidak suka melihat sekretarisku memakai pakaian yang berada dalam kategori ‘tidak menarik’. Aku tidak menginginkan sekretarisku berpenampilan murahan, ber-make up terlalu tebal dan memiliki tingkah laku yang tidak sesuai. Tidak perlu cantik, yang penting menarik. Kedua, aku membayarmu $50000 setiap bulan, maka aku ingin kau mengikuti SELURUH perintahku, kemauanku dan bahkan meskipun itu hal teraneh yang ada di muka bumi.  Dan ketiga: aku tidak mentolerir keterlambatan, ketidakdisiplinan dan kesalahan sekecil apapun. Aku ingin semuanya sempurna. Keempat: aku tidak ingin sekretarisku memiliki kekasih atau bahkan telah menikah, karena hal itu akan mengganggu kinerja dan keprofesionalitas-an dirimu. Dan terakhir, ada alasan mengapa aku memecat semua sekretarisku. Mereka memenuhi empat persyaratan diatas, tentu. Tapi mereka tidak bisa bertahan lebih lama pada persyaratan ke lima: aku tidak mau sekretarisku jatuh cinta padaku.”
Tanpa sadar, aku menahan napasku ketika mendengar peraturan terakhir. Tentu saja mereka tidak dapat bertahan lama. Karena, mustahil bisa menghindari pesona Lee Donghae dan segala kesempurnaannya. Aku harus mengakui bahwa Donghae tidak hanya rupawan tetapi juga menggairahkan. Seakan feromon pria ini memenuhi udara, memblokir oksigen dan beracun—membunuh setiap wanita dalam radius lima meter.
Kuamati wajah Donghae yang tampan—kedua matanya berwarna cokelat muda. Tatapannya teduh dan menenangkan, tetapi dalam hitungan milidetik, sepasang bola mata itu bisa berubah menjadi keras dan kejam. Dan aku yakin, siapapun tak akan bisa lolos dari manik-manik cokelat yang sempurna miliknya.
Hidung Lee Donghae meruncing ke depan dengan porsi yang pas, membuat wajahnya sedikit tirus dan hidung itu tak disinggahi setitik jerawat pun. Tetapi yang paling menyusahkan adalah bibirnya yang tipis—dengan susah payah aku harus menahan desahanku—membentuk beberapa senyuman dan memamerkan keseksian. Otakku sedikit kehilangan kontrol dan mulai membayangkan bagaimana rasanya bibir Donghae yang begitu memikat.
Dengan gerakan tiba-tiba, Donghae kembali mendekat, berjalan dengan langkah ringan dan aku mengambil kesempatan untuk mengamati tubuh itu.
Atletis. Lee Donghae tidak memiliki kaki panjang layaknya pemain basket, tinggi badannya normal dan tidak mengurangi ketampanannya sama sekali. Aku bahkan bisa mengetahui bahwa pria itu memiliki dada bidang yang seksi, melihat betapa rendahnya leher kaus yang di kenakan Donghae di dalam jas abu-abu muda, menambah kesan sensual yang memikatku lebih kuat.
“Apa kau menerima semua persyaratan itu, Miss Cardia?” tanyanya merdu, seakan menyanyi di telingaku.
Dengan susah payah aku menelan seluruh kegugupanku dan balas memandang Donghae yang tersenyum mengejek. “Aku.. yakin bisa,” ujarku sedikit ragu.
Tentu saja Donghae pasti bisa melihat keraguanku, namun ia hanya tersenyum semakin lebar. “Kalau begitu, perintah pertamaku, buka bajumu, Miss Cardia.” Katanya cukup keras, kendati wajahnya masih tersenyum.
“Ke—Kenapa?”
Kening Donghae mengernyit. “Aku tidak suka pertanyaan kenapa. Ajukan pertanyaan lain.” Perintahnya tegas.
Aku berpikir sebentar dan kembali bertanya, “Untuk apa?”
Senyum Donghae terukir di wajahnya. “ Karena tampaknya selera fashion kita tidak cocok, Miss Cardia, jadi aku mau kau segera mengganti pakaianmu.”
“Apakah aku harus membukanya di depanmu?” tanyaku gugup.
Kali ini wajah Donghae memiring sedikit. Matanya berbinar terang dan bibirnya melengkung lebar. “Kau ingin membukanya di depanku?” tanyanya geli. Dan ketika melihat mataku kembali melotot garang, Donghae terkekeh kecil. “Tidak. Kau boleh membukanya di kamar mandi. Aku ingin kau mengganti pakaianmu dengan salah satu pakaian di lemari terujung kamar mandiku.” Tandasnya pelan lalu berjalan kembali ke balik mejanya dengan tanpa beban.
Buru-buru kulangkahkan kakiku secepat mungkin dan masuk ke dalam kamar mandi mewah yang di lengkapi bathup dan lantai pualam. Rahangku nyaris saja jatuh melihat kemewahan sangat di utamakan di ruangan yang gagal di sebut sebagai kamar mandi ini. Aku berani menjamin ruangan ini lebih luas dari tempat tinggalku—yang hanya terdiri dari satu kamar tidur dan sebuah kamar mandi kecil.
Mataku menjelajahi setiap sudut ruangan dan menemukan lemari yang berisi pakaian-pakaian mahal. Seluruh pakaianku benar-benar sama sekali tak layak di sebut ‘pakaian’ jika aku membandingkannya dengan deretan koleksi pakaian mewah dan bermerek di lemari ini. Sepertiga dari isi lemari penuh oleh setelan jas dan sepatu-sepatu mengilat, sementara sisanya tergantung berpasang-pasang woman’s suit yang didominasi oleh rok dan kemeja yang berdesain menarik. Di bagian atas, ada rak yang terisi berbagai macam sepatu high heels dengan tinggi dan warna beragam.
Setelah melihat-lihat dengan cepat, akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah kemeja satin berlengan pendek dengan kerah tinggi yang memiliki renda-renda kecil di bagian dada dan rok selutut berwarna biru cerah. Namun ketika saatnya melepas pakaian tak layakku, aku kembali ragu. Kamar mandi ini sangat luas dan aku merasa tidak nyaman dengan kesunyian yang mencekam. Ada beberapa sekat yang membatasi bathup, westafel dan shower. Namun tetap saja semuanya terbuat dari kaca yang tembus pandang, memungkinkan siapapun—atau apapun—bisa melihat ke ujung ruangan dengan jelas.
Satu hal yang baru kusadari setelah hampir sepuluh menit berada di kamar mandi ini yaitu, begitu banyak kaca yang terpasang pada dinding-dinding ruangan. Mulai dari berbentuk persegi, oval bahkan penuh ukiran bergaya Versailles. Bagian dalam lemari pakaian ini seluruhnya terbuat dari kaca, membuatku bisa melihat jelas pantulan tubuhku yang kelihatan tidak menarik. Dan yah, sebenarnya aku bisa saja berganti pakaian di dalam lemari—mengingat betapa besarnya lemari itu—namun akhirnya aku tetap melepas satu persatu pakaianku dan menggantinya dengan yang baru secepat kilat.
Aku hampir menutup pintu lemari ketika kusadari ada sebuah panel di bagian dalam pintu itu dan membukanya hati-hati. Kemudian sebuah kotak berbentuk persegi panjang muncul perlahan, menampilkan perlengkapan make up dengan berpuluh-puluh gradasi warna yang memukau. Blush on, eye shadow, lipstick, eyeliner dan masih banyak lagi, tersusun rapi dan sempurna. Di atas kotak persegi itu, ada sebuah cermin yang memiliki perbesaran otomatis, sehingga penggunanya bisa merias wajah dengan nyaman tanpa perlu mendekatkan wajah ke cermin.
Kupandangi perlengkapan make up itu dengan terpesona. Rumor yang mengatakan bahwa Lee Donghae memanjakan setiap wanita ternyata benar. Dia bahkan memperhatikan detail seperti ini, membuat wanita bertekuk lutut di hadapannya.
Well, teknisnya aku harus meminta izin untuk menggunakan peralatan make-up ini, namun aku berani bertaruh bahwa Donghae akan menyuruhku balik lagi untuk merias wajah karena aku memang tidak mengenakan apapun selain lipgloss tipis dan eyeliner. Jadi, dalam sepuluh menit berikutnya, aku tenggelam dalam usaha mempercantik diri..
***

“Lumayan.” Komentar Lee Donghae ketika melihatku keluar dari kamar mandinya.
Aku mencelos dalam hati. Seluruh upayaku dalam sepuluh menit hanya bernilai ‘lumayan’?
“Ngomong-ngomong, aku suka warna eyeshadow mu. Tapi akan lebih menarik jika kau mengambil warna merah muda agar kau menghilangkan kesan monokromatis—biru cerah dari atas hingga bawah.”
Donghae benar. Aku tidak sadar bahwa aku telah berpenampilan monokrom dengan memilih semua warna biru yang kusukai. Tapi semuanya sudah terlanjur. Lagipula Donghae juga tidak memintaku untuk menggantinya, bukan?
“Aku sudah membaca resume dirimu, Miss Cardia.” Ujar Donghae setelah berdeham satu kali, meminta perhatianku yang berkelana. “Latar belakang pendidikanmu sangat menarik perhatianku. Disini tertulis kau lulusan terbaik Teknik Komputer, Sarjana Sastra Jepang, serta memahami bahasa asing lain seperti Korea, Perancis dan Arab. Mendapat sertifikasi Excellent dalam penguasaan bahasa Jerman dan memiliki kualifikasi sebagai penerjemah andal dari Diplomat Amerika. Dalam kolom Interests, kau menulis bahwa kau tertarik dengan dunia sastra, sejarah, jurnalistik dan musik. Harus ku akui, aku sangat terkesan, Miss Cardia.”
Penjelasan Donghae yang penuh rasa kagum itu mau tak mau membuat senyumku terukir. Aku tak sanggup membalas tatapannya yang berbinar dan lebih memilih menatap lantai granit yang dingin.
“Tapi.. aku tidak menilai seseorang dari sisi akademisnya saja. Aku tahu bahwa kepintaranmu itu sudah terbukti dengan adanya sertifikat-sertifikat ini. Namun, kita harus menghadapi kenyataan, Miss Cardia. Seberapa pun tingginya pendidikan yang kau raih, tetap saja perananmu dalam dunia nyata lebih penting. Aku penasaran, mengapa dengan semua kemampuan yang kau miliki, kau tidak mengambil pekerjaan seperti penerjemah?”
Kurasakan kedua mata Donghae menghujamku, meminta penjelasan yang memang tidak pernah kutulis dalam CV yang kuberikan. Aku menggigit lidah dan berjuang menampilkan ekspresi datar dan menyembunyikan raut gelisah yang biasanya selalu kupasang beberapa minggu terakhir ini. Pikiranku mengabur jauh menuju laci rumahku yang sudah usang, dipenuhi lubang-lubang kecil hasil gigitan rayap. Laci mengenaskan itu berisi sesuatu yang mengubah hidupku—memaksaku mengambil jalan pintas untuk menjadi seorang sekretaris pribadi Lee Donghae yang kaya raya—yaitu tumpukan surat hutang piutang yang mencapai angka tiga ratus lima puluh juta. Jumlah hutang itu belum termasuk untuk menebus rumah dan aset-aset lain, yang jika di total akan mencapai angka dua miliar. Tapi aku hanya harus membayar hutang tiga ratus lima puluh juta itu, atau keluargaku dalam bahaya.
“Sebenarnya aku juga bekerja sebagai penerjemah lepas—”
“Tapi kau tidak menuliskannya disini.” Sela Donghae cepat. Jemarinya yang panjang menunjuk ke arah CV ku.
“Benar,” jawabku pelan. “Aku pikir pekerjaan itu tidak begitu menarik untuk ditulis.”
“Apa yang kau terjemahkan, Miss Cardia?”
“Err.. banyak. Seperti dokumen, surat-surat dan kadang aku diminta untuk menerjemahkan tamu penting.”
Donghae mengangguk sekilas dan langsung bertanya lagi. “Baiklah, kalau begitu kenapa kau tidak mengambil pekerjaan seperti penerjemah di penerbitan? Melihat kau lulusan sastra dan memiliki minat dalam dunia jurnalistik, kau pasti ingin bekerja disitu, bukan? Jangan katakan bahwa kau tidak memiliki kualifikasi, Miss Cardia. Sebab kemampuanmu pasti dicari-cari banyak perusahaan penerbitan.”
Perlahan keringat mulai menetes di punggungku. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab bahwa gaji seorang penerjemah sangat kecil dibandingkan bekerja di perusahaannya?
“Tadinya aku memang berniat begitu.. tetapi kemudian aku berpikir untuk mencoba pekerjaan lain sebelum menjadi seorang penerjemah tetap. Aku bermaksud melakukan pekerjaan itu ketika usiaku cukup tua untuk berhenti dari segala aktifitas yang menuntut energi dan menikmati pekerjaan itu di masa tuaku.”
Kali ini hening cukup lama. Aku memberanikan diri menatap Donghae yang terdiam, sedang melakukan pertimbangan atas kebohongan samarku yang tak terdeteksi barusan. Well, bukan sepenuhnya bohong, karena aku memang berniat melakukan pekerjaan penerjemah buku ketika aku selesai melaksanakan tanggung jawabku untuk membayar semua hutang—dan aku cukup yakin aku baru akan sanggup membayar semuanya ketika umurku memasuki masa tua.
“Kedengarannya cukup logis.” Ujar Donghae akhirnya. Diam-diam aku menghela napas lega dan bersyukur ia tidak bertanya apapun lagi.
“Baiklah, Miss Cardia, kita lihat seperti apa kemampuanmu menjadi sekretarisku. Persiapkan dirimu dengan baik sebab kita akan menemui salah seorang klien penting.”
Aku mengangguk bersemangat dan berjalan keluar, menuju meja kerja baruku dan mengambil beberapa perlengkapan. Ada tumpukan buku dan sebuah notes kecil yang berisi jadwal Donghae hingga seminggu kedepan—tadinya notes ini milik sekretaris yang terakhir kali dipecat Donghae—dan pukul sepuluh pagi ini, Donghae memiliki sebuah janji dengan Anne J. Loombergh, “wanita Skandinavia yang angkuh”. Well, setidaknya itulah yang tertulis di situ.
Kubuka satu persatu lembaran notes itu dan keningku tidak bisa berhenti berkerut. Bukan hanya “Wanita Skandinavia yang angkuh”, tetapi juga ada catatan kecil seperti “Alice yang menjijikan” tepat di sebelah nama Alice McReed dan “Si Dada Palsu” persis pada nama Jennifer C. Houston. Julukan yang paling parah adalah milik seorang pria yang bernama Marven Dallagh dengan highlight kuning menyala dan sebuah kalimat tersusun diatas namanya; “Tua Bangka-mesum-cabul-tidak tahu diri”.
Bukan Cuma penasaran tentang julukan-julukan itu, aku juga mendapati bahwa lebih dari separuh jadwal temu yang ada didalam notes itu mengacu pada wanita. Marven Dallagh sepertinya yang paling sering muncul diantara pria-pria lain seperti Alex Kennedy dan Kikuchi Takeshi. Namun ketika sedang mengamati rasio perbandingan kemunculan beberapa nama itu, telepon berdering keras. Pasti dari Donghae.
“Siapkan mobil,” ujarnya singkat dan tanpa repot-repot menjawab salamku. Dalam hitungan detik, segera kuhubungi nomor supir yang berada di bagian belakang notes dan memintanya untuk bersiap.
“Kau tidak memerlukan tas, Miss Cardia. Cukup bawa notesmu saja.” Perintah Donghae ketika keluar dari ruangannya.
Buru-buru kuraih notes dan kuletakkan tasku di dalam laci meja, lalu mengekori Donghae menuju lift. Bosku mengambil posisi di depanku, membuatku terpaksa berdiri di belakangnya dan menyaksikan punggungnya yang kokoh. Baru kusadari bahwa Donghae sudah mengganti jasnya dengan warna cokelat muda. Dan.. parfumnya juga berbeda. Apakah karena ia akan menemui seorang wanita?
Jari-jari Donghae yang panjang menyisir rambutnya yang tertata rapi, membuatnya menjadi sedikit berantakan dengan kesan seksi. Aku hampir saja tak bisa berhenti memandanginya ketika akhirnya kesunyian kami terpecah oleh kalimatnya.
“Kau mungkin belum tahu, Miss Cardia. Tapi Anne adalah salah satu klien penting dan aku tidak ingin kau membuat kekacauan apapun.” Tegasnya masih memunggungiku.
Well, apakah dalam pandangannya aku adalah pengacau?
“Dan,” sambungnya lagi. “Aku ingin kau memesan sebuah kamar di hotel Imperium Palace setengah jam setelah kita tiba kesana.”
Kamar hotel?
“Kenapa?” tanyaku tanpa bisa kucegah.
Aku bisa merasakan nada keras dalam jawaban Donghae. “Sudah kubilang aku tidak suka pertanyaan ‘kenapa’!” bentaknya kesal. “Apa kau bermaksud mempertanyakan otoritasku, Miss Cardia?!”
Seketika tubuhku mengerut dan menjawab dengan suara mencicit. “Ti—tidak, Sir. Maafkan saya.”
“Aku tidak keberatan kau bertanya, tetapi aku benci jika kau terus menerus bertanya ‘kenapa’. Bukan hakmu untuk mempertanyakan apa yang kuperintahkan padamu. Apa kau mengerti?” serunya lagi. Kali ini Donghae mengatakannya persis di hadapanku, menatapku bak seekor serigala yang mengancam domba lemah. Aku tidak heran kalau ternyata ia juga memiliki taring.
“Ya, Sir.” Erangku lemah.
Mata Donghae menyipit memandangku, namun setelahnya ia berbalik, berdiri dengan aura kekesalan yang membuatku semakin mengecil di belakangnya. Pelajaran pertama hari ini: Jangan pernah ucapkan kata-kata KENAPA.
Roger.
Perjalanan menuju Hotel Imperium Palace tidak memakan waktu lama. Hanya butuh lima belas menit karena kemacetan yang biasa terjadi di jam-jam seperti ini. Berulang kali kulirik Donghae dengan perasaan takut. Bahu pria itu masih mengejang kaku dan telinganya merah padam, membuatku semakin gemetaran. Apakah ia masih marah padaku?
“Bacakan jadwalku hari ini,” ujar Donghae tiba-tiba, sementara matanya masih menatap jalanan.
“Err… anda punya janji makan siang dengan Mr. Marven Dallagh pada pukul satu, Sir. Lalu pada pukul tiga seperempat, ada sebuah rapat dengan perwakilan Imaginary Corporation yang membahas tentang ekuivalen saham perusahaan.” Kubaca catatan yang ditinggalkan sekretaris sebelumnya dengan jelas dan cepat sambil melirik Donghae sesekali. Wajahnya masih saja datar dan dingin. Baru ketika aku selesai berbicara, Donghae berkomentar dengan kedua tangannya pada pelipis.
“Mundurkan pertemuan dengan Marven. Oh, tidak. Dia benci jika harus menungguku. Tapi, aku tidak mungkin bisa selesai pada pukul satu!” gumamnya kesal. Kemudian Donghae melirikku. “Gantikan aku, Miss Cardia. Paling tidak untuk satu jam. Kau cukup menemani Marven makan siang. Dan kalau bisa gerai saja rambutmu.”
Aku tahu wajahku berkerut bingung, sebab aku sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Donghae.
Ia mendesah satu kali dan berbicara dengan nada panjang. “Aku ada..err..sebuah urusan dengan Anne dan tidak akan bisa tepat waktu untuk menemui Marven. Jadi, aku mau kau menggantikanku untuk menemani pria tua itu makan siang. Katakan padanya aku punya urusan mendadak dan akan terlambat atau dia akan kesal dan mengancam pembatalan kontrak. Kau mengerti?”
“Tapi—” Aku buru-buru menggigit lidahku sebelum kelepasan bertanya ‘kenapa aku harus menggerai rambutku?’ dan menggantinya dengan, “apakah aku harus menggerai rambutku?”
“Benar.” Jawab Donghae tegas. Bisa kulihat sudut bibirnya bergetar menahan senyum. Tampaknya ia menyadari pertanyaanku yang sudah kuralat. “Marven, pria itu, meskipun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi dia tetap seorang Casanova. Semakin menarik dirimu dihadapannya, semakin mudah baginya untuk melupakan keterlambatanku.”
Sial. Ternyata dia memperalatku.
“Ya, Sir.” Jawabku enggan, dan Donghae mengangguk puas.
Sejurus kemudian mobil berbelok dan berhenti perlahan. Dengan cekatan, kubuka pintu Donghae dan membiarkannya berjalan lebih dulu. Pria itu melangkah dengan santai, tidak mempedulikan bisik-bisik yang menjalar ke seluruh lobi hotel. Tentu tidak ada faktor lain yang menyebabkan keributan diantara semua wanita di ruangan ini selain karena ketampanannya yang mengerikan.
“Sebelah sini, Sir. Miss Anne J. Loombergh sudah menunggu anda.” Ujar salah seorang pelayan Hotel dan menunjukkan arah pada kami.
Baru sekitar lima langkah kami berjalan, tiba-tiba saja terdengar lengkingan dari depanku.
“LEE DONGHAE!” jerit seorang wanita. Melihat gelagatnya, aku cukup yakin dialah Anne J. Loombergh alias “Wanita Skandinavia yang angkuh”.
“TEGA SEKALI KAU MENOLAK TELEPONKU?” serunya penuh amarah, meskipun kedua tangannya merayapi wajah Donghae dengan tak sabaran.
Aku tak tahu ekspresi apa yang di tunjukkan Donghae, namun begitu melihat wajah Anne yang seakan terbang ke langit, bisa dipastikan pria itu sedang tersenyum mempesona.
“Aku disini, Anne sayang. Jadi kenapa harus repot-repot berbicara melalui telepon?” bisik Donghae merayu. Aku berani bersumpah bahwa Anne nyaris terlonjak mendengar jawabannya.
“Aku benci jika tak mendengar suaramu bahkan hanya sehari saja.” Rengek Anne manja. Tubuhnya kini telah bersandar di dada Donghae.
“Anne sayang, kau tahu jadwalku sangat padat, bukan? Aku hampir tak punya waktu untuk makan. Tapi aku menemuimu, lihat?”
Mereka bertatapan sejenak dan tanpa mengucapkan apapun, Anne meraih wajah Donghae, menempelkan bibirnya dengan cepat pada bibir Donghae. Oke, mereka berciuman atau tidak, sebenarnya bukan urusanku. Tapi bisakah wanita itu merendahkan desahannya?
“Miss Cardia.” Geram Donghae dari sela-sela ciumannya dengan wanita itu.
Aku terlonjak dan berpikir selama sedetik sebelum akhirnya menyadari arti dari panggilan Donghae. “A—akan kupesan sekarang, Sir.” Jawabku terbata-bata dan berjalan menuju resepsionis secepat mungkin.
Lima menit kemudian aku masih menemukan mereka masih sibuk berciuman dan semakin intim setiap detiknya. Anne bahkan sudah melepaskan dua kancing kemeja Donghae dan tidak sadar akan kehadiranku. Tetapi ketika aku berdebat dengan diriku mengenai bagaimana caranya menginterupsi ciuman mereka, Donghae mendorong wajah Anne menjauh dan menjentikkan jarinya padaku.
“Berikan kuncinya padaku, Miss Cardia.” Ujarnya tenang. Hebat sekali, melihat betapa lama berciuman seperti itu, tetap saja Donghae tidak kehabisan napas. Padahal Anne kelihatan sudah tak lagi memerlukan oksigen.
“Siapa dia?” seru Anne sambil cemberut menatapku. Aku bahkan baru pertama kali bertemu dengannya dan dia sudah memancarkan aura permusuhan?
“Sekretaris baruku.” Jawab Donghae datar.
“Lagi? Oh, Donghae, kenapa kau tidak mempekerjakan sekretaris lelaki saja, sih? Seperti Mr. Wilfren?”
“Itu terserah aku, Anne.” Kata Donghae ketus dan wajah Anne langsung merah padam. Kupikir wanita itu akan meledak marah, tetapi ia malah memeluk Donghae erat-erat.
“Oh, maafkan aku, Donghae. Aku benar-benar lupa kalau kau tidak suka aku menyinggungnya. Maafkan aku..” pintanya dengan ketakutan tersirat jelas.
Untuk sejenak Donghae menarik napas panjang dan balas memeluk wanita itu. “Tenanglah, sayang. Ayo, kita naik saja. Aku tidak ingin membuang-buang waktu lagi.” Bisik Donghae penuh godaan dan seketika itu juga, Anne kembali semringah.
I see it, baby.” Bisiknya tak kalah menggoda.
Mereka berjalan melewatiku yang membeku di ujung pintu. Namun Donghae memutar kepalanya menatapku, “Pastikan kau tiba di restoran itu pukul satu. Dan jaga sikapmu, Miss Cardia.” Katanya dengan penekanan pada kalimat terakhir.
“Ya, Sir.” Jawabku sambil membungkuk kecil.
Ini hari pertamaku bekerja dan aku harus melacurkan diri? Damn it.
***


Kuterlusuri koridor panjang restoran bintang lima yang terkenal di seantero kota, Crafty Shell dengan langkah gugup. Rambutku sudah tergerai indah, bergelombang dan berkilau di timpa cahaya matahari yang samar-samar menyelinap dari ventilasi di kanan-kiri dinding. Sementara kakiku mulai terasa tak nyaman karena haknya kelewat tinggi; lima belas sentimeter! Dan, Demi Tuhan, apakah Mr. Dallagh sangat senang dengan ketinggian, sampai-sampai ia memesan ruangan khusus di lantai dua belas? Aku tidak akan keberatan dengan kesukaannya itu kalau saja dia memilih restoran yang memiliki lift yang menyala—bukannya harus menaiki tangga darurat seperti ini!
Segala macam sumpah serapah berhamburan dari benakku dan keringat sebesar biji jagung mulai menetes dari dahiku, yang berarti akan ada toilet session sebelum bertemu Mr. Dallagh. Tapi siapa yang peduli kalau pria itu bahkan harus menunggu sleeping session? Sepertinya itu setimpal dengan perjalanan melewati dua belas tingkat anak tangga ini.
Kakiku langsung berbelok di sudut ruangan yang bertuliskan “toilet” dan buru-buru merapikan riasanku secepat kilat. Kemejaku tidak basah sedikitpun dan rokku kelihatan oke. Kecuali rambutku yang sedikit berantakan, yang lainnya baik-baik saja. Baiklah, saatnya untuk menemui “Tua Bangka-mesum-cabul-tidak tahu diri” itu.

“Kau terlambat tiga menit.” Ujar lelaki tua itu sambil memunggungiku. Meski rambutnya seputih kertas, tapi sama sekali tak ada tanda bahwa ia lelaki tua jika mendengar betapa bersemangatnya ia berbicara.
“Maafkan aku, Sir.” Jawabku cemas.
Tampaknya ia terkejut ketika mendengarku sebab ia langsung membalikkan tubuhnya dan menatapku heran. “Dimana Donghae?” tanyanya bingung.
“Ah, Mr. Lee Donghae memiliki urusan yang tidak bisa ditunda, Sir. Jadi, dia memintaku untuk menggantikannya sebentar.” Kataku berusaha tak terdengar gugup.
Mr. Dallagh menyeruput minumannya dan mendecak. “Kalau maksudmu adalah urusan dengan wanita, aku yakin dia tidak akan datang paling tidak dua jam lagi.” Gerutunya kesal. “Dan, omong-omong, kau adalah..?”
“Ah, saya sekretaris baru Mr. Lee Donghae, Sir. Nama saya Youva Cardia. Maafkan saya yang lupa memperkenalkan diri.” Ujarku malu dan membungkukkan badan meminta maaf.
“Aku Marven Dallagh. Senang bertemu denganmu, Miss Cardia.” Ucapnya sambil berdiri lalu menjabat tanganku erat.
“Sejak kapan kau menjadi sekretaris barunya, Miss Cardia? Seingatku tiga hari yang lalu aku masih menemui Rebecca untuk membuat janji temu.” Tanya Mr. Dallagh setelah menyuruhku duduk dan menawarkanku beberapa potong roti tawar Perancis sebelum makanan tiba.
“Ini hari pertamaku bekerja, Sir.”
“Benarkah? Dan Donghae memerintahkanmu untuk menggantikannya? Well, harus kuakui, Miss Cardia, kau berbeda sekali dengan sekretaris-sekretaris Donghae yang sebelumnya.” Mr. Dallagh menghirup wine di tangannya dan memandangku dari atas hingga ke bawah, seakan tak mempedulikan wajahku yang keberatan dipandang seperti itu.
“Aku mengenal Rebecca, Valeria, Angeline dan bahkan Amy! Tetapi semuanya sama di mataku. Mereka murahan. Gampang terbujuk dan patuh. Dan Donghae mengira bahwa aku menyukai wanita seperti itu. Well, aku memang suka wanita yang patuh,” ia terkekeh sebentar karena ucapannya sendiri, lalu melanjutkan lagi. “Tapi dia tidak mengetahui bahwa aku memperlakukan seorang wanita sesuai dengan yang semestinya. Pelacur tetap saja pelacur. Benar begitu, Miss Cardia?”
Aku bergerak-gerak tidak nyaman di kursiku. Apakah maksudnya ia sedang mengomentari penampilanku yang murahan? Atau ia malah sedang menyebutku pelacur?
“Beritahu aku, Miss Cardia yang baik. Seperti apa Donghae di matamu? Aku tahu kau baru bekerja hari ini. Tapi berikan aku beberapa kata saja tentang dirinya dalam kurun waktu beberapa jam belakangan.”
Dan sekarang ia memaksaku untuk menceritakan sifat bosku di belakangnya? Apakah ini semacam konspirasi—untuk mencari tahu sifat asli sekretaris Donghae?
“Jangan khawatir, sayangku. Aku tidak akan pernah mengatakan apapun pada Donghae tentang ini. Ayolah, beritahu aku sedikit saja.” bujuk Mr. Dallagh ketika melihat ke engganan di wajahku.
“Err.. Mr. Lee Donghae, dia.. cukup tegas dan disiplin.. dan.. err.. bisa sangat keras.” Jawabku nyaris berupa bisikan.
“Dan dia tampan sekali, bukan?”
“Err.. sepertinya begitu.” Jawabku mengangkat bahu. Dan di luar dugaan, Mr. Dallagh malah tertawa terbahak-bahak mendengar seluruh pengakuanku yang tolol itu. Meja didepan kami sampai bergetar karena tawanya yang membahana.
“Apakah kau meragukan penilaianmu atau meragukan perkataanku?” tanyanya diselingi tawa yang berderai hebat.
“Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan penilaianku.” Bisikku jujur.
“Jadi menurutmu Donghae tidak cukup tampan bagimu?”
Aku memutar otak sebelum menjawab pertanyaan Mr. Dallagh barusan. Kalau aku menjawab  ‘ya’, tentu saja itu artinya aku merendahkan bosku sendiri, bukan? “Menurutku Mr. Lee cukup tampan, Sir. Tapi bagiku ketampanan tidak berarti segalanya.”
Kalau saja Mr. Dallagh tidak segera meletakkan gelasnya, aku yakin gelas itu akan jatuh dan hancur berkeping-keping karena untuk kedua kalinya dalam beberapa menit, Mr. Dallagh kembali tertawa tak terkendali. “Baru kali ini aku mendengar seorang wanita tidak memuja Lee Donghae karena tampangnya. Seorang wanita!” ujarnya histeris lalu kembali tertawa.
Dan lima menit setelahnya, Mr. Dallagh masih memegangi perutnya dan aku hampir menghubungi nomor Rumah Sakit terdekat karena bisa saja kotak tertawanya rusak atau apalah. Namun sepertinya lelaki tua itu sadar akan tingkahnya dan mencoba menghentikan tawanya dengan susah payah.
“Kau harus memaafkan aku, Miss Cardia. Sebab tidak pernah sekalipun dalam seumur hidupku aku mendengar seorang wanita tidak tertarik pada wajahnya. Bahkan putriku sendiri tergila-gila pada Lee Donghae.” Jelas Mr. Dallagh mengangkat bahu.
Pelayan datang dan menyajikan dua piring besar bistik tenderloin setengah matang dengan daun mint diatasnya, menginterupsi percakapan kami sejenak. Ketika akhirnya pelayan itu pergi, Mr. Dallagh mempersilahkanku untuk menikmati bistik seharga seribu lima ratus dollar itu.
“Tapi, Sir, bukan berarti aku membencinya. Mr.Lee Donghae sangat baik dan hal itu yang membuatnya semakin di sukai,” ujarku membuka percakapan. Sebenarnya aku takut jika Mr. Dallagh akan mengira bahwa aku membenci bosku sendiri.
“Dari mana kau berpikir bahwa Donghae adalah pria baik?” tanyanya setengah tersenyum.
“Well, aku harus jujur padamu, Sir. Mr. Lee mau menerimaku bekerja menjadi sekretaris pribadinya meskipun aku tidak punya latar belakang pekerjaan yang mengesankan. Malah bisa dibilang aku sama sekali tidak pernah memiliki pekerjaan lain selain menjadi penerjemah lepas, Sir. Tetapi dia mau memberiku kesempatan.”
Mr. Dallagh meletakkan pisau dan garpunya lalu menyeka bibirnya dengan serbet. “Sayang sekali, Miss Cardia. Alasan yang kau berikan barusan sama sekali tidak bisa membuktikan bahwa Donghae adalah pria baik. Kau harus tahu Lee Donghae adalah seorang pebisnis sejati. Dia tidak main-main membuat keputusannya, sayangku. Apalagi untuk mempekerjakan seorang sekretaris pribadi. Aku tidak mengatakan bahwa ia lelaki jahat. Tapi, perbedaan antara ‘baik dan jahat’ itu nyata adanya, dan kau harus jeli untuk bisa membedakan keduanya.” Tandas pria itu sambil tersenyum.
“Jadi dengan apa aku harus mengukur sebuah kebaikan, Sir?” tanyaku bingung.
Ia kembali mengangkat bahunya dan menjawab, “Aku tidak tahu, Miss Cardia. Aku tidak memahami dunia matematika. Well, karena aku juga seorang pebisnis, yang bisa kukatakan adalah mengandalkan intuisiku.”
“Aku cukup yakin Mr. Lee adalah pria baik. Paling tidak sebagai bosku.” Kataku ikut tersenyum.
“Dan aku? Bagaimana menurutmu? Apakah aku cukup baik sebagai teman makan siangmu, Miss Cardia?”
Aku terdiam dan memandangi lelaki tua itu cukup lama. Wajahnya yang dipenuhi guratan-guratan halus itu tampak sepuluh tahun lebih muda dengan senyuman tanpa henti. Binar matanya jenaka, seakan sedang menggoda dunia.  Dan ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku seolah sedang duduk dan mengobrol bersama ayahku.
“Tentu saja anda juga orang baik, Mr. Dallagh. Intuisiku biasanya tepat.” Jawabku lalu tertawa bersamanya.
“Wah, aku semakin menyukaimu, Miss Cardia.” Ujarnya terlihat senang. Dan ketika tangannya naik ke atas, memegang segelas wine, ia berseru, “Untuk kesehatan Lee Donghae dan untuk kebahagiaan Youva Cardia. Cheers.”
“Dan untuk kebaikan Mr. Dallagh, cheers.” Tambahku dan Mr. Dallagh tersenyum lebih lebar.

Siapa bilang pria tua yang menyenangkan itu “tua Bangka-mesum-cabul-tidak tahu diri”?

***

10 komentar:

  1. suka banget.....:D
    bahasanya enak dibaca

    BalasHapus
  2. Baru nemu blog u.. izin obrak abrik
    Ff u bahasanya bagus.ceritanya juga menarik.cuma syg masih kurang terkenal,coba dipromosiin.
    Semangat untuk buat karya2 yg bagus

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah makasih ya udh mampir :)
      ada rencana sih tapi nanti deh tunggu cerita ini selesai dulu hehe

      Hapus
  3. Bahasanya enak banget dibaca :D ceritanya juga menarik hehee.. Oke dehh lngsng capcus yaa.. Izin next fightingg

    BalasHapus
  4. ceritanya menarik, bikin penasaran...

    BalasHapus