Senin, 14 Juli 2014

FANFIC : SCARLET [3]


TITLE         : SCARLET []
GENRE        : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING      : NC-21
CAST          : Lee Donghae
                    Youva Cardia
Author         : @Aoirin_Sora


Summary:
Tendensi Kompulsif yang ia derita nyaris menyeretku dalam api kebencian. Berkobar begitu besar, membakar setiap nadiku yang berdenyut. Tapi entah sejak kapan namanya selalu di sana, di sudut hatiku yang terdalam, menunggu saat-saat dimana pertahanan diriku akan runtuh lalu ia akan tertawa puas. Aku tidak mengerti, apakah tangan yang menarikku ke dalam mimpi buruk ini benar-benar nyata, ataukah aku terlalu sinting untuk mempercayai dunia?



***



CHAPTER THREE: The Dazzling One



Pintu lift berdenting dan membuka di hadapanku. Suasana lantai satu 208 Rodeo Restaurant sedikit sepi, hanya beberapa meja yang terisi oleh orang-orang yang datang berpasangan. Tiba-tiba tertangkap olehku gerakan tangan Chad yang berada di meja terujung. Ia menyuruhku mendekat dan aku segera menghampirinya.
“Ayo makan. Kata bos kita boleh memesan apapun yang kita mau.” Ujarnya saat aku duduk di kursi kayu berukir.
“Benarkah? Kapan bos bilang begitu?”
“Dia menelponku barusan.”
Sebenarnya hatiku tidak perlu mencelos seperti ini, tetapi aku merasa sedikit terluka. Kenapa Donghae tidak menghubungiku saja? Dan mendadak ingatan akan perkataan Donghae pada Marven menyeruak dalam kepalaku. “Dia sekretarisku, Marven. Hal apa lagi yang bisa kuharapkan darinya?” Kata-kata itu menggema, menyisakan perasaan sedih yang tak kumengerti. Apakah Donghae memandangku serendah itu?
Chad kemudian memesan risotto isi ayam pada pelayan yang membawakan kami menu, dan aku yang sudah kehilangan nafsu makan hanya memesan salad buah. Ia melirik ke piringku dan memutar bola matanya dengan mengesankan, membuatku nyengir malu.
Kami makan tanpa berusaha terlihat kaku, tetapi lebih memilih berdiam diri dan menyantap makanan kami dengan santai. Aku melirik ke arah Chad yang sudah hampir menghabiskan risottonya lalu mengamatinya sebentar. Rambut hitam Chad yang di potong pendek tertata rapi, cocok sekali dengan bola matanya yang kehijauan. Chad sebenarnya bisa dibilang menarik, tetapi ia jarang terlihat di depan umum dan lebih senang berduaan dengan Mercedes Donghae. Pembawaan pria itu juga santai, dan menurutku ia juga tidak terlalu ambil pusing dengan apapun.
Ia menggeser piringnya yang kosong sedikit ke kiri dan mengelus perutnya dengan gaya kekenyangan. Tangannya merogoh saku dan membuka bungkus sebuah permen karet. Aku tahu Chad selalu mengunyah permen menjijikan itu ketika mengemudikan mobil, tapi ia jarang menunjukkannya di depan Donghae. Dan aku penasaran kapan ia membuang permen itu.
“Chad?” Panggilku sambil memainkan salad buahku dengan garpu.
“Yeah?”
“Bolehkah aku bertanya beberapa hal padamu?”
Chad mengangkat alisnya. “Yeah, tentu. Silakan saja, Youva.”
“Kenapa kau selalu memakan itu?”
Ada jeda beberapa detik dan Chad mengangkat bahunya. “Karena.. Yah, aku berhenti merokok.”
“Kenapa kau berhenti merokok?”
“Err.. karena bos tidak menyukai baunya.”
Aku menatapnya dan ia balas menatapku. “Menurutmu.. bagaimana pendapatmu tentang bos kita?” pertanyaan ini membuat alis Chad terangkat lebih tinggi. Ia mengamati wajahku lebih lama, bertanya-tanya apakah ada maksud lain di balik pertanyaanku barusan.
“Dia, well—dia cukup baik.”
“Apakah dia memang selalu se-menjengkelkan itu? Maksudku, aku kan Cuma mengobrol dengan sahabatku.” Saladku kini sudah terlihat terlalu menyedihkan untuk di makan, jadi aku menggesernya ke samping.
Chad sepertinya mengerti arah pembicaraanku. Ia menyesap Frappaccino-nya dan tersenyum kecil. “Tidak selalu. Tapi, yah, dia benar-benar bisa keras dalam beberapa hal.”
“Sudah berapa lama kau bekerja untuknya?”
“Hmm, coba lihat.. Well, kira-kira sudah hampir empat tahun.”
Oh, wow! Bahkan skenario terbaikku menduga Chad baru bekerja sekitar setengah tahun. Ia bertahan selama itu? Keren. Aku mengangguk kagum dan Chad mulai bersenandung lagi. Setidaknya masih ada waktu kurang lebih satu jam setengah sebelum menemui Jennifer, jadi kupikir aku bisa menghabiskan sisa waktuku dengan melamun. Tapi tetap saja, rasa penasaranku mencuat begitu mencolok, hingga Chad menghela napasnya dan menatapku lurus-lurus.
“Ada yang mengganggumu?” tanyanya dengan tangan bersedekap. Bola mata kehijauan Chad menangkap kegelisahanku dengan cepat.
Aku mengulum bibirku dan terdiam selama setengah menit. “Aku.. penasaran mengenai beberapa hal.”
“Rasa penasaranmu ternyata lebih banyak dari yang kuduga,” ujarnya mengangkat bahu.
“Aku tahu ini seharusnya pribadi, tapi aku benar-benar ingin tahu. Err.. kenapa—kenapa kau mau bekerja untuk Donghae?”
Chad menatapku. Maksudku, benar-benar menatapku tanpa senyum atau menyipitkan mata curiga. Ia membelalak, memasang wajah datar dan bibirnya terkatup hingga perutku terasa mulas. “Aku tidak tahu kau mengharapkan jawaban apa, Youva. Tapi, yang pertama tentu saja karena aku membutuhkan uang.”
“Err.. kau tidak merasa tidak nyaman dengan semua tuduhan yang melekat padanya?” Sebenarnya aku hendak mengatakan gossip, tapi karena tak mau ia menilaiku sebagai penggosip, jadi aku menggantinya dengan tuduhan.
Helaan napas Chad terdengar lebih keras. Ia meneguk lagi Frappaccino-nya dan memandangku lambat-lambat. “Aku tahu kau baru bekerja dua hari dan mungkin segala macam desas-desus yang kau dengar akan membuatmu tidak nyaman—” ia menekan dua suku kata terakhir, “—tapi yang harus kau ingat adalah, kita bekerja untuk seseorang bukan karena reputasinya. Kalau kau mencari seseorang yang tanpa dosa, kusarankan kau pergi ke biara dan mengabdi pada santo. Aku tidak mengerti kenapa kau mau repot-repot untuk peduli dengan semua tuduhan untuknya. Karena kita adalah bawahannya, maka yang harus kita lakukan adalah melindunginya, bukan memperparah reputasinya.”
Aku merasa kata-kata Chad menusukku tepat di ulu hati. Ia benar. Tak seharusnya aku meragukan bosku sendiri. Meskipun semua orang menuduhnya melakukan pembunuhan, tetap saja aku tidak boleh menjadi salah satu di antara penuduh itu. “Kau benar.” Kataku malu. Chad mengangkat alisnya dan bibirnya menyunggingkan senyum. “Aku hanya masih belum terbiasa dengan popularitas Donghae. Tadinya aku sedikit yakin akan semua tuduhan-tuduhan pembunuhan itu, tapi kini aku mengerti. Maksudku sungguh, bos benar-benar orang yang baik dan mengatainya pembunuh sepertinya tidak beralasan.”
Senyum Chad menghilang perlahan dan aku melihat matanya menatapku waspada. “Dari mana kau mendengnya? Maksudku, tentang pembunuh itu.”
Aku mengerjap bingung dengan sikap Chad yang berubah drastis. “Err... aku—uhm, aku menemukannya di internet.” Jawabku pelan, takut bersuara terlalu keras karena sepertinya Chad akan mulai berteriak padaku.
Namun lagi-lagi, wajah Chad berubah menjadi santai dengan begitu cepat dan aku mengernyit ketika ia tersenyum dan menjawab ringan. “Oh. Kau tidak perlu mempercayai apapun yang ditulis di Internet, Youva.”
Setelahnya Chad bangkit dan meninggalkanku yang masih bingung. Ia melemparkan senyum padaku dan menghilang kembali ke dalam Mercedes Donghae. Aku tidak ingin hal itu mengganggku, tapi tentu saja aku tak bisa menghilangkan rasa penasaranku karena Chad melakukannya dengan jelas sekali. Wajahnya benar-benar tegang waktu aku menyebut Donghae sebagai pembunuh dan kembali rileks saat aku mengatakan aku membacanya dari internet. Ini aneh sekali. Apakah ada sesuatu yang sedang terjadi?


***

Tepat pukul 02:30 pm, Donghae turun bersama Marven. Mereka bercakap-cakap dengan suara rendah dan aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari mereka. Marven nampaknya menyadari kehadiranku dan langsung tersenyum lebar. Lagi-lagi ia merentangkan tangannya padaku dan belum sempat aku melirik ke arah Donghae, pria tua itu menarikku dalam pelukannya.
“Jangan pedulikan dia, nak. Donghae memang tidak pernah tidak bersikap menjengkelkan.” Ujarnya lalu terkekeh geli. Aku ikut tersenyum dan otot wajahku langsung berubah kaku begitu kedua mata Donghae menangkapku. “Nah, lihat kan? Oh, ayolah, masa kau melarangnya untuk tersenyum? Kau seharusnya lihat betapa cantiknya Youva kalau tersenyum.” Marven nyengir padaku dan aku tak tahan untuk tidak tersenyum padanya.
Dari sudut mata kulihat Donghae memutar bola matanya tetapi tidak berkomentar apapun. Marven menatapku lagi. “Kau sudah makan?” tanyanya baik hati. Aku mengangguk dan menjawab sopan. Tapi Marven juga tidak menyukai rasa sopan yang kugunakan untuknya. “Oke, Youva, berhentilah bersikap begitu kaku. Cukup panggil aku Marven dan aku ingin kau menganggapku seperti sobat lama. Bagaimana?”
Kulirik Donghae yang berdiri di sebelah kananku dan wajahnya terlihat skeptis. Alis matanya bahkan meninggi. Ia pasti tak menyangka perlakuan Marven bisa berubah drastis. “Err.. baiklah, Sir—maksudku, Marven.” Jawabku kikuk dan Marven tersenyum lagi.
Kami berpisah di area parkiran dan Marven melambai pada Donghae dan aku dari dalam mobilnya. Aku ingin membalasnya tapi rasa takutku terhadap Donghae jauh lebih besar, sehingga aku hanya mengulum bibirku agar tak kelepasan tersenyum.
“Ambilkan kotak kacamataku,” perintah Donghae tiba-tiba sementara tatapannya tertuju pada pemandangan jalan raya yang dipadati mobil. Aku mengangguk dan segera mengambil kotak itu di laci kecil antara kursi penumpang. Kotak itu begitu kecil hingga aku pikir hanya ada satu kacamata yang muat di sana. Tapi dugaanku salah, begitu tanganku membuka pengaitnya, kotak itu ternyata memiliki tingkatan-tingkatan simetris dan setiap satu tingkat, terdapat sebuah kacamata di dalamnya.
Donghae mengambil sebuah kacamata hitam berlabel Hugo dan langsung mengenakannya. Ia terlihat tampan—tidak, malah kata-kata tampan tak cukup baginya—walaupun wajahnya datar dan tak acuh. Donghae kemudian melepas sarung tangan putihnya. Ketika Chad membelok ke jalan Santa Monica, pria itu membuka kancing teratas kemejanya dan melirikku sekilas. Aku berterima kasih pada Tuhan karena tepat sebelum ia melirikku, aku sudah memerintahkan wajahku—yang terlalu terpana pada ketampanannya—untuk terlihat normal.
Mobil berhenti di depan sebuah taman kecil yang berjarak beberapa ratus meter dari pantai Santa Monica yang indah. Aku cukup menyukai pantai ini, untuk sejenak rasanya peradaban Los Angeles berada kabur di belakangku dan hidungku penuh bau garam. Ada banyak turis dan wisatawan lokal yang menikmati keindahan pantai di kejauhan. Matahari masih seperti kuning telur yang besar di langit, tapi panasnya sudah tak terlalu membakar. Yah, seperti yang sudah kukatakan, karena aku bukan keturunan ras kulit putih yang tahan dengan sengatan matahari, tentu saja sinar itu bakal membuatku harus membungkus setiap jengkal permukaan tubuhku yang terpapar matahari dengan krim pemutih kalau aku nekat berlama-lama di luar tanpa sunblock. Tapi aku tahu Donghae kemari bukan untuk berlibur.
Aku segera turun untuk membukakan pintu Donghae. Pria itu berdiri dengan angkuh, dengan kepala tegak bak seorang raja yang tak mempedulikan hampir seratus pasang mata yang menatapinya kagum. Aku melihat ke sekitar taman dan mendapati seorang pria dengan rambut cokelat gelap, memakai kacamata bergagang abu-abu, sedang duduk di salah satu bangku taman. Ia melambai pada Donghae.
Bosku tidak membalas lambaiannya, ia malah berpaling padaku. “Kau bisa pergi menemui Jennifer bersama Chad sekarang. Aku akan tiba sekitar lima belas menit lagi dan kalau bisa buatlah alasan yang bagus padanya. Ah, sebaiknya gunakan kacamata bacamu, Miss Cardia. Jennifer tidak suka melihat perempuan yang menarik.”
Aku tidak sempat mengangguk atau mengucapkan apapun karena Donghae telah meninggalkanku dan mendatangi pria itu. Aku tidak tahu siapa ia, tetapi sepertinya itulah Alex Kennedy, sebab kini Donghae menjabat tangannya dan mereka mulai bercakap-cakap. Namun hal berikutnya benar-benar diluar dugaan. Alex membuka kacamatanya dan menoleh kepadaku. Ia bahkan mengedip sambil tersenyum. Aku bingung apakah aku harus tersenyum atau bertindak seolah-olah aku tak melihat apapun. Tapi kedua mata Donghae memandangku dingin dan aku sadar bahwa aku harus cepat-cepat pergi.


***

Jennifer C. Houston alias “Si Dada Palsu” sedang menatapku dari atas hingga bawah. Ia terlihat seperti wanita tipe scanner yang akan mendeteksi berapa ukuran dadamu, pinggulmu dan bahkan seberapa tebal bedak di wajahmu. Tapi aku tidak akan menyangkal julukan yang diberikan sekretaris Donghae sebelumnya. Karena, astaga! Separuh dadanya menggelantung keluar untuk dilihat seluruh dunia! Aku hampir tersedak melihat dadanya yang kelewat besar itu menyembul dari kausnya yang ketat dan memiliki potongan seksi. Para pria mungkin akan membayangkan hal-hal jorok jika melihat dadanya tetapi kaum hawa pasti akan bertanya-tanya apa yang digunakan Jennifer untuk memompa dadanya hingga menjadi seperti itu.
Aku memperbaiki letak kacamataku dengan tangan berkeringat. Rambutku yang sudah kuikat menjadi ekor kuda bergoyang-goyang tertiup angin. Kalau ada tempat yang paling cocok untuk memamerkan dada Jennifer yang super besar itu, tentu saja di tengah-tengah kota, dimana seluruh orang berlalu-lalang dan menyempatkan diri untuk menatap gundukan menggoda lewat kaus Jennifer. Aku tak bisa menyalahkan Jennifer yang telah membuat janji temu di salah satu kafe paling ramai di Los Angeles, tapi, apakah ia tidak bisa memesan tempat di dalam saja? Aku benci perhatian orang-orang di jalan yang melirik ke arah kami. Karena, tentu saja mereka langsung melirikku setelah menjadikan Jennifer objek imajinasi mereka dan pasti mereka akan mendengus geli membandingkan tubuhku dengan wanita itu. Gitar Spanyol dan papan cucian.
Hebat sekali.
“Dimana Donghae?” suaranya tegas, sedikit keras dan datar. Kali ini tidak ada aura permusuhan, Jennifer jelas tak menganggapku cukup pantas menjadi saingannya.
“Err.. Dia akan terlambat sekitar lima belas menit, Miss.” Jawabku terbatuk kecil.
Jennifer mengernyit dan ia mengganti posisi duduknya. Rok mini yang ia kenakan nyaris hanya menutupi pakaian dalamnya, membuat pahanya yang mulus terekspos jelas. “Kenapa?” tanyanya lagi.
Kugigit bibirku dan berusaha mencari jawaban yang bagus seperti diperintahkan Donghae. “Mr. Donghae memiliki rapat penting, Miss. Ia menyuruhku kemari untuk memberitahu Anda.”
Kakiku mulai kebas. Meski wanita itu tidak memancarkan aura permusuhan, ia juga tidak repot-repot menyuruhku duduk dan malah menikmati pemandangan jalan seakan aku adalah bagian dari trotoar. Aku menghabiskan lima belas menit berikutnya dengan kaki gemetaran karena hak sepatu baruku sepertinya sengaja menyiksaku dan kini jempol kakiku benar-benar kesemutan. Kedengarannya sinting, tapi aku benar-benar mengharapkan kehadiran Donghae meskipun beberapa jam yang lalu aku sempat menginginkannya untuk terlambat datang agar tidak mengacaukan reuni singkatku dengan Janne.
Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan mengeluh dalam hati. Berapa lama lagi Donghae akan tiba?


Jawabannya muncul tak lama kemudian.
Pukul tiga lewat enam belas menit, Donghae turun dari sebuah Volvo hitam mengilat yang parkir tepat di belakang Mercedes milik Donghae. Masih dengan kacamata hitamnya dan rambut yang berantakan tertiup angin pantai, pria itu berjalan melewati kerumunan orang di trotoar yang langsung memberi jalan padanya. Beberapa mulai bisik-bisik, seakan mengenali wajah tampannya, dan gadis-gadis di depan toko mulai terkikik pelan. Aku melirik Jennifer yang masih menatap dingin ke arah Donghae yang semakin mendekat. Wanita itu bahkan tidak menunjukkan ekspresi apapun, meski Donghae sudah melemparkan senyuman paling menggoda padanya. Baru ketika pria itu berdiri persis di hadapannya dan membuka kacamata dengan gaya mengesankan, Jennifer bangkit, berjinjit merangkul leher Donghae dan menariknya dalam sebuah ciuman panas.
Itu aksi nekad—oh, well, kalau ia tidak punya cukup banyak rasa malu untuk menunjukkan dada cup-F itu pada dunia, mana mungkin ia akan berpikir dua kali untuk mencium Donghae di muka umum. Aku memalingkan wajahku ke arah lain dan mendapati orang-orang yang menatap mereka terkejut. Ada yang hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, tetapi hampir separuh wanita menunjukkan wajah cemburu melihat bagaimana Donghae membalas ciuman Jennifer.
Aku bahkan tidak tahu berapa lama mereka berciuman, karena aku hanya menatap jemu jalanan yang dipadati ratusan kendaraan-kendaraan sibuk. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Chad yang kini sedang bersandar di samping mobil dan mulutnya sibuk mengunyah permen karet. Ia nyengir ketika menangkap mataku dan aku memutar bola mata padanya. Jelas sekali ia menikmati aksi ­Donghae dan Jennifer yang seolah berteriak ayo-lihat-kami­.
Jenny,” desah Donghae. Aku mengernyit dalam hati. Sementara Jennifer langsung tersenyum dan mengerling genit. “Bisakah kau berhenti menyerangku?” Ada nada menggoda dalam ucapan Donghae dan aku bersumpah aku melihatnya tersenyum sebelum ia buru-buru memasang wajah serius.
“Akan kupertimbangkan.” Bisiknya keras. Jennifer mendongak menatap Donghae, membenamkan telapak tangannya ke sela-sela rambut Donghae dan menyipitkan matanya. “Tapi sepertinya tidak hari ini.”
Jennifer baru akan menarik wajah Donghae lagi ketika mendadak pria itu menahan pundaknya. Mata Jennifer membelalak dan ia sedikit kebingungan ketika Donghae berkata, “ada yang harus kukatakan, Jenny sayang.”
Jennifer melepaskan pelukannya dan setuju untuk duduk berhadap-hadapan. Ia bahkan memasang wajah seriusnya. Donghae mungkin juga ingin terlihat serius, tetapi wajahnya terlalu rupawan untuk bisa disebut serius. Ia hanya cocok dalam katagori ‘tampan’. Tidak ada yang lain.
“Apa yang ingin kau katakan?” Jennifer mendongakkan kepalanya sedikit tinggi. Semacam superioritas terpancar dari wajahnya.
“Alex  bilang ada sesuatu yang salah. Dia berhasil mengejarnya tetapi tidak cukup cepat. Aku akan mendapat masalah dalam beberapa jam dan kuharap kau bisa membantuku memberikan kesaksian.” Donghae terus berkata dengan nada serius, tidak memperhatikan raut wajahku yang mulai berkerut bingung. Well, mungkin dia bahkan tidak menyadari keberadaanku. Sepertinya aku cukup sukses berakting menjadi bagian dari trotoar.
“Kesaksian apa yang tepatnya ingin kau dapatkan, Sayang? Mengenai kejadian semalam?”
Perutku tersentak dan tubuhku mendadak tegang. Ini dia. Aku tak menyangka Donghae membahas masalah semalam. Aku hampir seratus persen yakin bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan kematian Anne. Sebab kalau tidak, mengapa Donghae harus meminta kesaksian Jennifer?
“Benar.” Jawab Donghae mengiyakan. Jennifer tersenyum miring dan matanya menyipit. “Seperti biasa, Ron bakal menggangguku lagi. Dan aku ingin kau…yah, bercerita tentang kejadian yang sebenarnya. Posisiku cukup sulit karena Alex bilang dia hampir ketahuan.”
Dari ekor mata kulihat Jennifer menaikkan sebelah alisnya. Aku tak berani bergerak satu inci pun, takut Donghae menyadari bahwa aku menguping dan ia bakal mengusirku lagi. Meskipun aku mencoba untuk menjadi sekretaris yang baik, tetap saja aku tak bisa menghentikan rasa penasaranku lebih jauh. Aku agak-agak ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa Donghae memang tidak bersalah, tapi sepertinya sedikit susah dengan semua percakapan mencurigakan ini.
“Baiklah. Akan kuceritakan pada mereka tentang apa yang kita lakukan semalaman.”
“Tak perlu mendetail, Jenny.” Ujar Donghae cepat.
“Kau yakin? Oke, tak ada detail kalau begitu.” Ulang Jenny sambil tersenyum menggoda. “Tapi aku mau protes, Donghae sayang. Bagaimana aku mempercayakan keselamatanku padamu kalau salah satu guardian—pelindung—mu bahkan nyaris ketahuan seperti itu?”
Kalau tadi keningku berkerut, sekarang aku cukup yakin pelipisku menyatu saking bingungnya. Tetapi belum sempat aku menghubungkan apa yang kudengar, Donghae menjawab sambil menghela napas. “Semalam pengecualian, Jenny. Alex diikuti, bukan dia (Donghae menggunakan kata ganti her; untuk wanita). Jadi setelah berhasil mengamankannya, Alex baru sadar bahwa itu perangkap. Dia berbalik mengejar siapapun itu, tetapi terlambat. Dia menduga penjebak itu sudah separuh jalan menuju San Fransisco.”
“Sebegitu buruknya?” sela Jennifer. Wajahnya sedikit tak percaya.
“Tidak juga. Alex berhasil memastikan bahwa kepergiannya ke San Fransisco Cuma tipuan dan dia buru-buru memutar ke Los Angeles.”
Jennifer mengangkat bahu. Berusaha tak terlalu mempedulikan jawaban Donghae meski matanya masih cemas. “Pokoknya aku tak mau nyawaku terancam, Donghae. Itu saja.”
“Kau tahu aku akan selalu melindungimu.”
Jawaban Donghae membuat kecemasan Jennifer sirna. Wanita itu tiba-tiba berdiri dan merebahkan tubuhnya di atas pangkuan Donghae—berjejalan di antara meja kafe yang berdiri tegak di depan kursi Donghae—dan memulai lagi aksi ayo-lihat-kami.
Aku nyaris memutar bola mataku tetapi niatku berhasil kutahan ketika aku melihat kelebatan rambut ikal cokelat di balik kaca depan Volvo yang tadi di naiki Donghae. Entah kenapa aku merasa sepasang mata di belakang kaca gelap itu balas menatapku. Dan separuh dari kesadaranku mengatakan bahwa pria itu—sosok yang tengah mengamatiku dari mobil—adalah Alex. Cukup lama aku berusaha memastikan kecurigaanku sebelum akhirnya aku mendengar suara Jennifer yang selembut beledu.
“Aku akan merindukanmu, sayang. Pastikan kau akan langsung menghubungiku jika sedang tidak sibuk.” Katanya separuh merengek.
Donghae pasti sedang tersenyum karena Jennifer balas tersenyum padanya. “Tentu saja, Jenny sayang. Aku tidak akan berpikir dua kali.” Jawab Donghae meyakinkan.
Jennifer masih melingkarkan kedua tangannya di leher Donghae ketika wajahnya mendadak berpaling padaku—yang berdiri hanya sejauh dua meter di belakang Donghae—dan mengatakan sesuatu yang nyaris membuat bola mataku melompat keluar. “Kau pernah berciuman dengan Donghae, eh?”
Untuk dua detik yang panjang, aku merasa isi perutku berjumpalitan dan mulutku terasa kering. “Err.. belum, Miss.” Ucapku parau. Jawabanku terdengar menyedihkan, aku tahu itu. Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkan apapun karena kulihat bahu Donghae menegang. Ia memutar kepalanya perlahan dan menangkap mataku yang langsung membatu.
“Sayang sekali kalau begitu, karena ciuman Donghae itu tidak ada duanya.” Kata Jennifer penuh pemujaan pada Donghae dan melihatku seakan sedang menatap seorang pengemis jalanan. Aku tahu wanita itu sebenarnya sedang pamer atau mengejekku atau apapun maksudnya. Tapi aku memiliki kesibukan lain untuk mencari tahu arti ucapannya padaku. Kedua mata cokelat yang indah milik Donghae sedang menatapku dengan seribu arti. Ada sedikit perasaan lapar dan mendamba di sana, tetapi aku juga tidak begitu yakin karena sepasang mata itu langsung berubah keras sedetik kemudian.
“Jenny, aku harus pergi sekarang. Ron bakal mengira aku lari darinya kalau aku tidak berada di kantor.”
Jennifer memberengut dan menguatkan rangkulannya. “Tapi kita baru bertemu selama setengah jam. Tak bisakah dia menunggu setengah jam lagi?”
Sepertinya suasana hati Donghae menjadi buruk dalam seketika. Dan aku bertaruh bahwa aku adalah salah satu penyebabnya. Ia menggertakkan gigi dan menatap Jennifer dengan sedikit garang. Oke, kurasa aku tak akan menggunakan kata sedikit kalau aku tahu Jennifer langsung menciut dan melepaskan kedua tangannya dengan cepat. Wanita itu telah kehilangan seluruh aura superiornya dan berubah menjadi anak kucing penurut.
“Ma—maafkan aku.” Bisiknya lirih. Ia melirik Donghae takut-takut. “Aku akan… yah, akan langsung memberikan kesaksian.” Janjinya sungguh-sungguh dan wajah Jennifer berubah lega ketika Donghae menunjukkan kembali senyumnya yang mematikan.
“Terima kasih. Aku senang mendengarnya.” Ujar Donghae manis. Tapi aku sadar bahwa nadanya terdengar palsu. Dan kenyataan bahwa Jennifer terhipnotis dengan kepalsuan itu mau tak mau membuatku menaruh curiga pada Donghae lebih banyak lagi.

***


Kami melaju menembus jalanan Beverly Hills yang mewah dan memasuki kawasan West Hollywood dalam diam. Dari tadi pikiranku berputar-putar tanpa tujuan yang jelas. Donghae yang duduk di belakangku juga tampaknya menikmati kebisuan kami, dan ia sama sekali tak berkata apapun selain memandangi jalanan yang padat. Aku sempat mengira bahwa Donghae akan naik ke Volvo cantik itu ketika tahu-tahu ia membuka pintu penumpang dan menyuruhku duduk di depan—di samping Chad. Saat Chad memutar mobil, aku mengambil satu detik yang singkat untuk melirik kembali ke Volvo yang parkir di belakang kami dan mendapati seseorang tengah duduk di kursi pengemudi. Pria itu memakai kacamata dan rambutnya yang ikal turun melewati bahu. Tentu saja itu Alex Kennedy.
Aku memikirkan banyak hal. Tetapi yang paling menyita perhatianku adalah kasus Anne yang masih misteri. Asumsi-asumsiku semakin tak masuk akal jika menghubungkan semua percakapan Jennifer dan Donghae dengan bukti-bukti yang kutemukan di internet. Dan aku tak menemukan hal lain kecuali pertanyaan kenapa yang menggantung di dalam tengkorak kepalaku. Ingin sekali aku bertanya pada Donghae tetapi aku buru-buru menahan lidahku, tahu aku bakal tamat bahkan sebelum sempat menyelesaikan pertanyaan bunuh diri itu.
Mobil mulai melambat dan berhenti persis di depan pintu masuk PHOENIX Corporation yang sangat luas. Beberapa karyawan kantor langsung memberi hormat ketika Donghae turun dan melintas di hadapan mereka. Aku berusaha menjaga langkahku persis di belakang pria itu agar ia tak mengeluh karena kelambananku. Dan saat kami berada dalam lift, Donghae berkata padaku dengan suara datar.
“Aku tak mau di ganggu selama satu jam kedepan, Miss Cardia.”
Aku menjawab, “Ya, Sir.” Dan memberanikan diri untuk mengintip ekspresinya lewat pantulan dinding lift. Tapi aku segera memindahkan pandanganku ke lantai begitu menemukan bahwa Donghae ternyata sedang menatapku. Dan aku berdoa agar ia tidak menyadari perbuatanku barusan.
Pintu lift membuka dan Donghae berjalan mendahuluiku. Aku berhenti di mejaku dan langsung menghempaskan diri dengan desahan puas, tidak peduli pada fakta bahwa kursiku sebenarnya tidak senyaman sofa berlengan. Menurutku kursiku cukup oke, meskipun busa pada dudukannya sudah menipis dan benda itu akan berderit jika aku terlalu banyak bergerak. Tiba-tiba Ponselku bergetar dan aku baru akan membukanya ketika telepon berdering.
“Ya, Sir?” tanyaku saat mengangkat telepon.
“Ambilkan anggurku di lemari, di bawah laci yang berisi dasi.”
Aku benar-benar tak mengerti dengan permintaannya, jadi aku kembali bertanya dengan takut. “Err.. di ruang mana tepatnya itu, Sir?”
Dari ujung sambungan aku tahu Donghae mendesah kesal. “Di dalam kamar mandiku, Miss Cardia. Cepatlah.” Perintahnya mutlak dan langsung memutuskan panggilan.
Ponselku kembali bergetar dan aku memutuskan untuk menyimpannya dalam kantong. Kalau aku berani menunda perintah Donghae untuk semenit saja, aku yakin pria itu akan marah. Pasti.


Ketika aku membuka pintu di belakang meja kerjaku, sama sekali tak kutemukan kehadiran Donghae di sana. Malah mejanya kosong dan tidak terdengar apapun selain suara tetesan air yang mengalir kontinu. Tetesan air itu agak menderu namun terdengar menyenangkan. Lalu saat aku membuka pintu kamar mandi, aku tahu tebakanku benar. Air itu sedang mengisi sesuatu. Dan sesuatu itu adalah sebuah bathub berukuran amat besar, berdiam di pojok kanan ruangan kamar mandi. Namun pada detik selanjutnya, aku terperangah ketika melihat bathub itu dipenuhi busa-busa indah yang memiliki harum paling segar, dan yang paling penting, Donghae tengah berbaring di dalamnya. Hanya kepalanya yang muncul dari atas kumpulan busa dan kepala itu bersandar pada ujung bak yang memiliki alas empuk menyerupai bantal.
Kedua mata Donghae terpejam tetapi aku yakin ia menyadari kedatanganku. Aku ingin bergerak ke lemari, mengambil anggur yang ia perintahkan dan keluar sebelum ia membuka matanya. Tetapi keinginan untuk merekam pemandangan itu jauh lebih kuat dari apapun. Memaksaku untuk tetap membeku dan memohon agar waktu berhenti selama seabad, agar aku bisa mematri seluruh guratan terkecil di wajahnya dalam kepalaku.
“Miss Cardia, aku mau anggurku.” Ujarnya tiba-tiba.
Kakiku seakan tersetrum dan aku berlari menuju lemari. Tanganku bergetar ketika aku membuka lemari, mencari-cari di mana letak penyimpanan anggur. Perlu waktu sejenak sebelum aku berhasil menemukan sebotol penuh wine yang bersegel lalu membawanya ke hadapan Donghae. Pria itu membuka matanya dan menatapku dengan penuh tanya. Aku tak mengerti dan hanya terdiam. Lalu ia mendesah lagi.
“Mana gelasku, Miss Cardia?” ucapnya terdengar lelah.
Aku kembali tersadar dan langsung berlari seperti orang idiot. Meraba-raba seluruh sudut lemari untuk menggapai sebuah gelas anggur berkaki yang bening dan meraih sebuah nampan perunggu di dasar lemari. Dalam waktu dua menit, aku tiba di depan Donghae yang menungguku dengan senyum terukir.
Bernapas. Ujarku pada diri sendiri.
Bernapaslah. Ulangku sia-sia.
Donghae berada di depanku, dengan seluruh tubuh—kecuali kepalanya—tertutup busa putih dan gelembung-gelembung yang berwarna seperti pelangi yang malah memperparah disorientasiku. Wajahnya tampak murah hati. Tersenyum bagai malaikat di tengah padang rumput dandelion dan matanya sehangat perapian di tengah badai salju. Aku hampir lupa bahwa kedua tanganku masih mencengkram nampan berisi botol anggur dan gelas berkaki. Kakiku terasa aneh. Antara ingin kabur sejauh mungkin atau berlari ke arahnya. Keinginan-keinginanku begitu sinting ketika akhirnya Donghae menyuruhku duduk.
Aku tak melakukan apapun selain menurutinya. Kedua kakiku langsung terlipat, dengan tangan yang menggenggam ujung nampan, aku seolah terhipnotis dengan kata-katanya. Kemudian Donghae berusaha untuk duduk, dan itu adalah saat-saat di mana aku berusaha menjaga mataku agar tak menjelajahi dadanya yang bersimbah air sabun. Bahkan aku harus berjuang keras untuk mengagumi otot lengannya yang memukau ketika ia mengambil botol anggur dari atas nampan.
“Kau tidak ingin bergabung?” tawarnya dengan memandang sekilas ke arah botol anggur yang ia pegang.
Lidahku kelu. Mati rasa. Beku. Dan nyaris lumpuh. Aku tak bisa mengucapkan apapun. Aku Cuma menggeleng dengan kedua mata terperangkap pada wajahnya yang tersenyum. Aku tak butuh Anggur untuk mabuk. Kenyataannya, aroma Donghae yang luar biasa sudah membuatku tak sadarkan diri.
“Benarkah? Baiklah kalau begitu.” Ujar Donghae pasif. Ia mengambil gelas anggur dan memenuhinya dengan sepertiga isi gelas. Aku tak yakin apakah aku sudah boleh pergi sekarang. Tetapi karena tak ada perintah, akhirnya kedua kakiku masih terduduk di atas lantai pualam yang dingin.
Aku mengamati Donghae yang menghirup aroma wine lalu menggoyangkan gelasnya dengan sempurna. Sesekali matanya menatapku dan aku tak bisa menjelaskan arti pandangannya yang membelah pertahananku jadi dua. Setelah ia menghabiskan isi gelas pertamanya, Donghae meletakkan gelas itu di pinggir bathub dan menelengkan kepalanya menghadapku yang terus membatu.
“Tersenyumlah, Miss Cardia.” Katanya separuh berbisik. Itu bukan perintah. Sama sekali bukan. Malah terdengar seperti permintaan.
Otakku yang sudah terbius mengalami kesulitan untuk menerjemahkan perkataannya. Tetapi aku berhasil menarik sudut-sudut bibirku dan mencoba membentuk sebuah senyuman kebingungan. Donghae mengerutkan alisnya tapi ia juga tertawa. Suara tawanya manis, renyah dan begitu lembut. Aku tidak yakin aku menatap seorang manusia sekarang.
“Bukan, bukan senyum seperti itu, Miss Cardia.” Ujarnya menggeleng dan tertawa, seakan wajahku sangat menggelikan—dan aku yakin itu benar.
Donghae berkata lagi dengan merdu. “Kau cantik kalau tersenyum. Tersenyumlah, Youva.”
Aku tidak mengerti apa yang membuatku begitu bahagia ketika ia memanggil namaku. Rasanya seperti mantra dan aku harus segera mematuhinya. Namun hatiku juga di penuhi gelembung-gelembung aneh yang menyesakkan. Seakan gelembung itu membengkak menjadi dua kali lipat dan aku tak tahan untuk tidak tersenyum.
Dan tawanya berhenti dalam sekejap. Ia menatapku. Memandang tepat di tengah manik mataku yang melebar penuh antisipasi dan melihat kobaran api yang menunggu di sudut pertahanan diriku. Jarak kami tidaklah cukup jauh, aku cuma tinggal memajukan wajahku sekitar tiga puluh senti dan aku akan bisa merasakan bibirnya. Dan tiba-tiba saja perkataan Jennifer berdengung di telingaku. “Ciuman Donghae itu tidak ada duanya..” kata-katanya menyerap di pembuluh darahku, membuat pandanganku kabur dan aku tak bisa bernapas. Seluruh gravitasi bumi tampaknya nol besar. Aku yakin tubuhku separuh melayang sekarang. Indra penciumanku menangkap aroma sabun dan kolon yang tadi di gunakan Donghae. Mataku terpancang kuat pada tatapan pria di hadapanku dan aku menahan napas ketika wajahnya perlahan mendekat.
Aku tidak tahu berapa jauh jarak kami karena aku memejamkan mataku rapat-rapat dan menanti dengan perasaan tak karuan. Namun perhatianku terpecah ketika ponselku kembali bergetar untuk ketiga kalinya. Aku meraih benda itu dari dalam kantong celana dan kusadari Donghae sudah menarik kembali kepalanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa dan aku tidak bisa menyalahkan hal itu, sebab aku juga sangat kecewa saat ini. Hatiku langsung mengkerut menyedihkan dan aku pasti akan merutuki siapapun yang mengirimiku pesan kalau aku tidak membaca nama pengirimnya; Mum.
Jantungku akhirnya kembali menemukan denyutnya setelah sempat absen selama detik-detik penuh penantian. Aku mengerjap beberapa kali dan berusaha menatap Donghae yang mematung menatap ujung bathub di kakinya. “Err.. Sir? Aku harus.. err.. apakah ada hal lain yang anda inginkan?” tanyaku terbata-bata dan aku bersumpah aku melihat semburat merah muda muncul di telinga Donghae, membuatku menduga bahwa ia juga sama malunya denganku.
“Tidak ada.” Jawabnya cepat. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku keluar kamar mandi secepat mungkin, takut kalau-kalau kewarasanku hancur dan aku akan memohon padanya untuk membiarkanku menciumnya setidaknya sekali saja. Sinting. Ya,kan?
Sesampainya di meja kerjaku, aku bernapas dengan terengah. Seolah baru saja menahan napas selama berjam-jam dan membuka pesan di ponselku. Tiga pesan itu dari Ibu dan aku menggigit bibir membaca pesan yang pertama.
Youva sayang, bagaimana kabarmu? Ibu berusaha menghubungimu seharian, tetapi ponselmu mati. Apakah pekerjaanmu lancar? Ibu harap semuanya baik-baik saja.
Seperti biasa, Ibu memang selalu mengirimiku pesan semacam ini beberapa kali dalam seminggu. Aku memutuskan untuk membaca pesan kedua dan tidak langsung membalasnya.
Nak, Mia baru saja datang dan mengatakan bahwa kau sudah membayar tagihan pertama hutang itu. Benarkah? Ibu mohon, Youva. Jangan bersusah payah membayarnya. Itu hutang yang tidak ada sangkut pautnya denganmu dan Ibu tidak mau kau membanting tulang demi melunasi hutang itu. Ibu tahu kau tidak hidup mewah disana, jadi simpanlah uangmu untuk keperluanmu sendiri.
Pesan ketiga sepertinya masih berhubungan dengan pesan yang sebelumnya. Ibu menulis:
Demi Tuhan, Youva. Ibu baru mengecek tabungan dan baru mengetahui bahwa kau mengirim $750 ke rekening Ibu! Bukankah sudah ibu katakan kau tak perlu mengirimi uang? Akan Ibu transfer lagi padamu besok siang dan jangan melakukan hal seperti itu lagi.
Airmataku turun dan aku bersusah payah membalas pesan Ibu. Aku tahu Ibu memang tak akan mengijinkanku untuk membantu melunasi hutang atau bahkan mengiriminya sedikit uang. Tapi aku tak bisa menahan diri jika memikirkan Ibu yang harus kebingungan mencari cara untuk melunasi hutang dan menutupi semua biaya pengeluaran disana. Jadi setelah menarik napas dalam-dalam, aku membalas pesannya.
Ibu tidak perlu khawatir. Aku baru saja mendapat pekerjaan menjadi sekretaris seorang pengusaha kaya dan aku akan mendapatkan gaji besar. Soal hutang dan kiriman itu juga tidak usah Ibu cemaskan. Aku masih memiliki cukup uang untuk diriku dan kupastikan aku akan mengirim juga bulan depan. Aku akan tetap mengirimnya kembali pada Ibu meskipun Ibu tidak mau. Sampaikan salamku untuk semuanya. Aku sangat merindukan Ibu.
Youva.

Aku berusaha mengabaikan keraguan akan kepastianku bekerja hingga bulan depan dan mencoba meyakinkan diri kalau aku akan bertahan menjadi Sekretaris Donghae sampai aku berhasil melunasi seluruh hutang. Aku nyaris berbohong saat menulis aku masih punya cukup uang untuk diriku sendiri karena aku benar-benar tak memiliki apapun sebagai makan malam selain roti isi daging cincang kiriman Johan dan Pai Apel pemberian bibi Major di kamar sebelahku. Itulah sebabnya kenapa berat badanku turun drastis sebulan belakangan, mengubah tubuhku menjadi ukuran sepuluh dari ukuran empat belas. Membuat teman-teman Universitasku yang kutemui di jalan menjadi pangling dan bertanya apa yang membuatku bisa sekurus itu.
Tapi semua uangku benar-benar kusimpan dan tak boleh kusentuh. Aku harus tahan melahap sebuah roti dingin dan keras untuk sarapan pagi, menolak membeli beras atau apapun yang berharga lebih dari satu dollar. Aku bahkan menghemat beberapa sen untuk berhenti di perhentian bus sebelum tujuanku dan berjalan kaki sejauh lima ratus meter demi menyisakan beberapa sen untuk besok. Semuanya membuatku frustasi dan aku merindukan hidupku yang dulu, tak kelaparan seperti ini dan bersantai dengan pekerjaan menerjemahkan dokumen yang tak terlalu banyak di kamarku yang kecil namun hangat. Tapi aku harus bertahan. Seberat apapun masalah yang kuhadapi sama sekali tak boleh membuatku lemah. Ibuku, keluargaku di sana mengharapkanku, aku tahu itu.



Entah berapa lama aku melamunkan keadaan keluargaku dan tersadar bahwa aku harus mengerjakan laporan hasil rapat dengan IMaginary Corporation siang tadi. Tetapi baru saja aku akan mengetik lembar pertama, teleponku berdering. Kupikir itu dari Donghae, tetapi suara Chad langsung menyapaku ketika aku mengangkat gagang telepon.
“Hei, Youva. Apakah bos sedang sibuk?” tanyanya langsung.
Pipiku sempat menghangat sebelum menjawabnya. “Tidak juga. Ia sedang—ehm, mandi. Ada sesuatu yang penting?”
Chad berdeham di ujung sambungan dan aku tahu ia merasa sedikit tidak nyaman meski tak tahu mengapa. “Bisakah kau menanyakan padanya apakah dia bisa diganggu atau tidak? Karena bos punya—eh, tamu penting.”
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat sekarang, ada sesuatu yang mengingatkanku pada percakapan Jennifer dan Donghae. Aku ingat kalau Donghae berkata seseorang yang bernama Ron akan datang dan mengganggunya. Jadi aku sudah membuat kesimpulan sendiri ketika Chad mengulang kalimatnya.
“Baiklah, Chad. Akan kuhubungi jika sudah mendapatkan jawabannya. Kau bisa meminta tamu itu menunggu di selasar bawah.”
Chad menggumamkan, “Oke,” dan menutup sambungan. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin aku bakal kuat mengahadapi pemandangan Donghae yang tengah berendam dalam bak penuh busa dan gelembung. Apalagi aku baru saja bertekad untuk melunasi hutang keluargaku. Tapi bayangan wajahnya yang kelewat tampan itu membuat jantungku melonjak panik dan tersadar. Bagaimana jika aku berhasil menciumnya tadi? Eh, ralat. Maksudku, bagaimana jika ia berhasil menciumku. Yang memajukan kepala kan Donghae, bukan aku.
Pintu ruang kerja Donghae terkuak dan aku melangkah dengan hati-hati. Tidak terdengar suara deru air dari keran atau suara apapun. Keheningan itu terlalu mencolok dan aku yakin Donghae sedang tertidur. Aku baru memutar kakiku untuk kembali ketika kudengar sebuah jeritan panjang yang menyiksa, menyayat kesadaranku, dan melolong tinggi. Tubuhku beku untuk sejenak tetapi kusadari suara itu milik Donghae. Aku berlari menyusulnya dalam ketergesaan.



Aku tiba di ujung pintu kamar mandi ketika jeritan itu berakhir. Kulihat Donghae yang membungkuk di dalam bathub penuh busa dengan kedua tangan mencengkram pinggiran bak dan menggigil ketakutan. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah, berusaha mencari siapapun—atau apapun—yang membuat Donghae menjerit seperti tadi. Tapi seluruh pandanganku hanya berakhir pada puluhan cermin di kamar mandi itu. Sama sekali tidak ada siapapun selain kami berdua.
“Sir? Anda baik-baik saja?” tanyaku panik dan berjongkok di sisi bathubnya, tempat di mana Donghae hampir menciumku.
Donghae kelihatan kepingin muntah dan dan masih belum menyadari kehadiranku. Aku mengulang pertanyaan dan menyentuh punggungnya yang basah. “Sir? Donghae, Sir? Anda tidak apa-apa? Apakah anda bermimpi buruk?”
Kemudian ia mendengarku dan berjengit merasakan sentuhanku yang panas. Matanya terlihat seperti baru saja melihat sesuatu yang mengerikan dan hatiku mencelos ketika Donghae menepis tanganku menjauh darinya.
“Aku tidak apa-apa.” Erangnya parau.  Donghae menarik napas lagi. Ia terlihat kesusahan dan wajahnya yang tampan seperti kehilangan seluruh warna. Malah hampir transparan. Benar-benar pucat dan aku tak tahan untuk tidak menyentuhnya lagi.
“Sir, Anda yakin? Anda bisa beristirahat dulu dan aku akan menyuruh tamu itu untuk pulang.” Ucapku memohon. Aku sedikit cemas ketika melihat wajah Donghae yang menegang. Wajahnya yang seputih kertas itu terlihat seperti mau pingsan.
“Aku tidak apa-apa. Keluar.” Ujar Donghae terdengar lemah. Aku bisa melihat tangannya masih gemetaran dan tarikan napasnya terdengar berat.
Aku mencoba keras kepala dan bergeming di sisinya. “Tapi, Sir, Anda tidak—”
“AKU BILANG KELUAR!!!” bentaknya mengerikan. Matanya melotot garang padaku dan seketika tumitku lemas. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.
“Ba—baik, Sir.” Cicitku sangat ketakutan. Aku hampir merangkak, namun tetap berhasil keluar dari kamar mandi itu dengan banjir adrenalin. Darah seakan surut dari kepalaku dan jantungku berdentam-dentam menyakitkan. Baru pertama kalinya aku melihat Donghae seperti itu. Ia seperti bermetamorfosis dari malaikat menjadi iblis. Amat menakutkan.
Tubuhku mengkeret di balik meja kerja dan berulang kali mengatur agar tarikan napasku bisa memasok oksigen yang cukup ke otakku yang masih ciut. Bayangan akan kemarahan Donghae jauh lebih mengerikan dari apa yang kuperkirakan sebelumnya. Dan aku agak menyesali pikiranku yang idiot—yang masih saja menganggapnya tampan meski ia sedang berteriak murka.
Telepon berdering. Tanganku penuh keringat dingin dan suaraku pecah ketika aku menyapanya. Itu Donghae, bosku yang baru saja mendampratku. Dan kali ini suaranya terdengar berbeda. Sedikit melunak dengan penekanan di kalimat terakhir. “Suruh tamu itu masuk kira-kira sepuluh menit lagi, Miss Cardia. Aku akan berpakaian sebentar dan jangan bergerak satu langkahpun dari tempatmu sekarang.”
Ia memutuskan panggilannya tanpa menunggu jawabanku. Tapi itu tidak perlu, karena toh aku tak tahu menjawab apapun selain kebingungan mendengar perintahnya. Akhirnya aku menghubungi Chad sepuluh menit kemudian dan menyuruhnya memberitahu tamu itu untuk naik ke ruangan Donghae. Sejujurnya aku sedikit penasaran dengan tamu yang dimaksud Chad, dan aku tak menyangka bahwa Chad ikut mengantarnya sampai ke ruangan Donghae. Maksudku, Chad kan Cuma supir pribadi. Kenapa ia harus mengantar tamu itu? Itu tugasku. Tetapi kemudian aku mendengar suara Donghae menggeram dalam kepalaku. “Jangan bergerak satu langkahpun dari tempatmu sekarang, Miss Cardia.”
Tamu yang bersama Chad sepertinya lelaki paruh baya dengan mantel hitam yang menjulur hingga ke lututnya. Wajah pria itu tidak ramah namun ia mengangguk padaku. Aku balas mengangguk dan ia malah mengamatiku dengan mata menonjolnya yang seakan hendak meloncat keluar. Kerutan-kerutan di sekeliling matanya menjadi pertanda bahwa ia sebenarnya senang tertawa, tapi nampaknya ia sedang tidak berada dalam mood bagus untuk membahas lelucon apapun sekarang.
Kupikir pria itu langsung mengikuti Chad yang sudah membukakan pintu, tetapi lagi-lagi dugaanku salah. Ia berhenti di samping kursiku dan mengulurkan tangannya yang terlihat cukup kekar. “Aku Ronald O’Connel, detektif dari bagian investigasi di Kepolisian.”
Kedua mata O’Connel yang setajam elang menangkap keterkejutanku. Tapi aku segera pulih dan menjabat tangannya dengan professional. “Halo, Sir. Aku Youva Cardia.” Ujarku ramah dan tersenyum sedikit. O’Connel tidak membalas senyumanku dan dia hendak mengucapkan sesuatu ketika Chad menyela perkenalan kami.
“Sebelah sini, Mr. O’Connel. Mr. Lee Donghae sudah menunggu Anda.” Kata Chad cukup tajam dengan nada memperingatkan. Selama seperkian detik, aku merasa O’Connel menatapku curiga tetapi dia menyudahi perbuatannya dan menggumamkan sesuatu di luar pendengaranku. Pria itu masuk ke dalam ruangan Donghae dan sebelum aku sempat mengintip apapun, Chad telah menutup rapat pintu itu. Membuatku mencibir penasaran, apa yang mereka bicarakan di dalam sana? Mengapa ada detektif kepolisian yang datang mencari Donghae?
Tapi semuanya menjadi jelas. Donghae tentu terlibat dengan kematian Anne dan ia memerintahkan Alex untuk mengamankan wanita malang itu. Untuk menghindari kecurigaan, Donghae membuat alibi dengan Jennifer semalaman dan hal itu akan mematahkan seluruh bukti yang mengarah padanya. Namun ada yang menggangguku. Mengapa Jennifer menyebut Alex sebagai guardian—bisa berarti wali atau pelindung—dan meminta Donghae untuk melindunginya?
Aku mendesah keras dan menggaruk ujung hidungku. Sedikit gelisah karena kini aku merasa yakin bahwa Donghae benar-benar seorang pembunuh, tak peduli bagaimana Chad berusaha meyakinkanku ketika makan siang tadi. Dan aku merasa takut. Aku takut terlibat dengan Lee Donghae, sebab dari awal, sesuatu seakan memberitahuku bahwa pria itu berbeda—tidak dalam artian harfiah—dan aku tidak ingin terseret pada sesuatu yang…keamanannya diragukan. Maksudku, aku memang penggemar novel fiksi dengan petualangan sinting, tapi untuk membayangkannya dalam kehidupanku… well, aku tidak siap. Aku hanya ingin menikmati hari-hariku dengan damai, dan tidak ingin terlibat dengan kekacauan—atau bahkan pertengkaran. Tapi apa yang akan kulakukan seandainya Donghae memang seperti yang diberitakan? Well, aku bisa saja memutuskan untuk mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain. Tapi, sekali lagi, aku menolak ide brilian itu dan terpaksa menelan seluruh kekhawatiranku. Ibu membutuhkanku. Yang perlu kulakukan hanyalan bertahan selama kira-kira enam bulan kedepan dan berusaha bersikap se-apatis mungkin.
Oke, kedengarannya cukup bagus.

***



Pintu ruangan Donghae menjeblak terbuka kira-kira lima belas menit kemudian. Saat itu jarum jam menunjukkan angka pukul 06:15pm, meski langit Los Angeles belum menggelap sama sekali. Chad yang lebih dulu keluar. Dia nyengir padaku dan aku membalasnya. Sayangnya aku tak memperhatikan bahwa O’Connel sudah berdiri di hadapanku bersama Donghae dan mereka sama-sama menatapku yang masih nyengir pada Chad.
O’Connel berdeham dan mengalihkan pandangannya pada Donghae. “Aku masih belum yakin seratus persen, Donghae.” ujarnya tegas. Tapi bisa kulihat ia tidak semenyeramkan tadi.
Donghae terkekeh mendengarnya dan ia mengibaskan tangan ke udara. “Tentu, tentu. Aku tahu, Ron. Tidak ada di dunia ini yang cukup untuk kau percayai seratus persen, bukan?” gurau Donghae dan O’Connel tersenyum.
“Benar. Dan aku akan kembali. Aku janji.” O’Connel berjalan mundur dan mengacungkan tinjunya pada Donghae dengan mata menyipit karena senyum.
“Kembalilah kalau kau sudah menemukan sesuatu yang bisa kau yakini seratus persen, Ron.” Balas Donghae masih terlihat geli.
O’Connel masuk ke dalam lift dan Chad menekan tombol ke lantai dasar. “Aku akan mencari tahu. Pasti.” Ujar O’Connel untuk terakhir kali sebelum pintu lift menutup.
Pasti, Sir. Aku juga akan mencari tahu. Desisku dalam hati.
Tetapi aku segera tersadar dan berpaling pada Donghae yang menatapku dari ambang pintu. Tangannya bersedekap, menampilkan otot bisepnya yang kekar dari balik lengan kemeja putihnya. Rambut Donghae di sisir rapi ke belakang dan aku baru memperhatikan bahwa lingkaran hitam di sekeliling matanya semakin pekat.
Melihat pandangan Donghae yang menatapku lurus, aku menjadi salah tingkah dan mengerjap tak nyaman. Donghae tampaknya tak terlalu peduli pada reaksiku sebab dia masih mengamatiku beberapa menit lamanya. Ketika aku nyaris berubah menjadi patung batu karena terus-terusan menatap lantai, Donghae memanggilku.
“Youva.”
Aku mendongak penuh harap. Lagi-lagi perasaan separuh sinting itu muncul dan mengacaukan gravitasiku. Kedua mata Donghae laksana titik rotasi dan membuat seluruh dunia bergerak dalam kecepatan lambat. Mematriku dalam-dalam dan tidak membiarkanku mengalihkan pandangan untuk sedetik saja. Lagipula aku terlalu bahagia ketika ia memanggil namaku seperti itu. Rasanya indah dan menyenangkan.
“Jangan tersenyum pada orang lain.”
Itu kalimat terakhir yang Donghae ucapkan sebelum ia menutup pintu dan membiarkanku melongo seperti sapi ompong. Aku bahkan kelewat bingung untuk mengartikan ucapannya karena jantungku berdentam-dentam lagi. Pipiku merona dengan cepat dan meskipun aku tidak mengerti apa maksud ucapannya, aku tetap merasa aneh. Seakan ada orang yang membakarku dari dalam, membuatku kepanasan dan menggigil tak nyaman.
Jangan tersenyum pada orang lain? Apakah itu maksudnya aku tak boleh tersenyum pada siapapun selain dirinya atau aku tak boleh lagi tersenyum?
Bosku, pembunuh wanita cantik, yang memiliki ketampanan seorang malaikat, yang nyaris menarikku dalam pesona dan ciumannya, yang baru beberapa saat lalu meneriakiku dengan keras, memberitahuku agar tidak tersenyum pada orang lain. Apalagi yang bisa kusimpulkan dari perkataannya kemungkinan bahwa ia menganggap senyumanku cukup menarik? Well, tidak ada yang tahu jawabannya selain Lee Donghae.

***


4 komentar:

  1. ff unnie selalu penuh dengan misteri, sekali baca pasti ketagihan
    keren banget unnie, ditunggu lanjutannya :D

    BalasHapus
  2. Aaaa~ bkin ketagihan eonn :D
    Hehee.. Lanjut nee fightingg

    BalasHapus
  3. Kalo abang yang nyuruh, aku pasti nurut kok bang *plak
    Well,, aku suka bacanya.. seru..

    BalasHapus