Jumat, 10 Oktober 2014

FANFIC : SCARLET [7]


TITLE               : SCARLET [ 7 ]
GENRE             : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING            : PG-17
CAST                : Lee Donghae
                          Youva Cardia
Author               : @Aoirin_Sora



Summary:
Jika kedua mataku tak menipu, tak mungkin aku masih berada di bumi. Sebab yang kulihat dalam kepalaku tidak bukan adalah pemandangan surgawi. Begitu indah hingga rasanya aku bisa saja sedang berada di dunia Alice, merasakan keanehan yang menawan. Namun harus kuakui perjalanananku bakal sulit tanpa kucing Cheshire yang menunjukkan jalan. Aku bisa tersesat di tengah segala macam kejadian yang terus bermunculan di depanku, menanti dan mengejutkanku tanpa ampun. Dan di tiba-tiba saja seseorang hadir, mengaku bahwa ia adalah penunjuk jalanku. Tidak mungkin. Seseorang yang bermain-main dengan iblis bukanlah yang kuharapkan.
Tapi bagaimana bisa aku menolak kalau ia ternyata memiliki rupa seperti malaikat?


***



CHAPTER SEVEN: THE FATAL HOUR HAS COME



Dari ketinggian kurang lebih dua puluh meter, jalanan Westwood terlihat begitu padat. Puluhan mobil berubah menjadi titik-titik kecil yang bergerak dalam kecepatan lambat. Aku menyandarkan kepalaku di dinding dan menghela napas panjang. Donghae telah selesai berdiskusi dengan Johny-Verto—seorang pria tua dengan kumis dan janggut perak yang memiliki perangai keras—satu jam yang lalu dan kini ia tengah berada di dalam ruangan dengan seorang gadis muda yang tampaknya baru berusia awal dua puluhan.
Aku mengenali gadis itu. Namanya Rosalie Kenyan, putrid tunggal dari Thomas Kenyan yang merupakan pemilik saham terbesar dari AVEXX Holdings. Rosalie bertubuh mungil. Dengan bibir semerah buah apel yang ranum, dan mata berwarna biru pucat seperti langit pagi hari. Rosalie memiliki rambut panjang lurus yang jatuh melewati pundaknya. Ia mengenakan pita satin merah muda yang terlihat kontras di rambut pirang pucatnya. Rosalie juga mengenakan gaun bergaya gothic meski berwarna perak dari atas sampai bawah. Aku melihat gadis itu seperti boneka Barbie yang tidak dijual di manapun. Matanya membulat, dibingkai bulu mata panjang dan lentik. Jari-jarinya panjang dan halus. Kulitnya seputih kapas tetapi bukan pucat. Singkatnya, ia benar-benar sempurna.
Dan entah kenapa aku ingin melindunginya. Kerapuhan Rosalie membuatku ingin menariknya menjauh dari Donghae.
Aku tidak ingin gadis secantik itu dibunuh oleh bosku.


Jarum jam bertolak ke angka empat lewat lima belas menit ketika telepon berbunyi.
“Miss Cardia, masuklah.
Aku segera masuk ke ruangan Donghae sembari bertanya-tanya dalam hati, perihal apa yang membuatnya memanggilku saat ia sedang ‘berdiskusi’ dengan gadis cantik? Tidak biasanya pria itu mengijinkanku untuk masuk karena aku yakin Donghae memberikan service pada setiap kliennya.
Di dalam ruangan yang kulihat sungguh membingungkan. Rosalie sedang berada di lantai, matanya sembab karena menangis dan ia tersedu-sedu. Di depannya, Donghae duduk di sofa tamu dengan kedua tangan terlipat di dada dan wajahnya amat frustasi.
“Tolong jelaskan pada gadis cilik ini, kalau aku bukan sampah brengsek yang mencari bocah di bawah umur untuk di ajak berkencan.” Donghae mengatakan itu padaku sambil mengacuhkan isakan Rosalie.
Aku menatap Donghae terperangah dan mengejap kebingungan. “Bocah di bawah umur?”
“Benar,” desah Donghae tak sabar. “Dan aku tidak punya keinginan untuk tampil sebagai Lolicon.”
Lolicon? Sir, bukankah Miss Kenyan berusia dua puluhan?”
Donghae mendengus. “Dua puluhan? Hell no. Dia masih lima belas!”
Rahangku rasanya jatuh dan aku memandang Rosalie kaget. Lima belas? Ya Tuhan. Bahkan pesona Lee Donghae bisa membuat anak lima belas tahun kehilangan kewarasannya. “Err.. Miss Kenyan? Benarkah itu? Kau masih.. lima belas tahun?” Tanyaku tak percaya.
Rosalie mengacuhkanku dan ia bergerak mendekati kaki Donghae. “Bagaimana kalau kita berkencan dengan diam-diam? Aku—aku tidak akan memberitahu ayahku! Aku berjanji, Donghae.” isaknya seperti anak kecil.
Donghae mendecak kesal dan memejamkan matanya. Ia seakan bertransformasi menjadi Dewa Zeus yang sedang murka tetapi sama sekali tak mengurangi ketampanannya. “Aku tidak mau, Rose. Pulanglah atau aku menelpon ayahmu.”
Ancaman Donghae tidak membuat Rosalie gentar. Gadis itu memeluk kedua kaki Donghae dan mengiba padanya. “Aku mohon—aku mohon—aku tidak ingin berpisah darimu, Lee Donghae..”
Ruangan dipenuhi isakan Rosalie yang terdengar menyayat hati. Donghae kemudian mengalihkan pandangannya padaku dan ia mengisyaratkan agar aku melakukan sesuatu.
“Err—Miss Kenyan, bisakah kita mengobrol sebentar? Ada sesuatu yang harus—eh, maksudku, kau harus mendaftar agar bisa menjadi client Mr. Lee Donghae. Kau juga harus memiliki aset-aset tertentu untuk melakukan kerja sama. Mr. Lee berniat baik. Ia tidak ingin kau mendapat masalah karena usia kalian yang terpaut jauh. Jadi sebagai langkah awal, kau bisa mulai mempertimbangkan untuk melakukan kerja sama dengan PHOENIX dan kau akan memiliki alasan untuk sering menemui Mr. Lee.”
Rosalie menghentikan sedu sedannya dan ia menatapku ragu-ragu. “Benarkah?” cicitnya. Aku mengangguk lagi dan kemudian membantunya berdiri. Kulihat Donghae mendesah lega dan ia memberikan tatapan terima kasih padaku.
Butuh waktu setidaknya satu jam untuk menjelaskan bagaimana caranya agar bisa melakukan kerja sama. Tetapi gadis itu terus menerus bertanya tentang Donghae. Seperti, makanan apa yang ia sukai, atau merk-merk tertentu yang dikoleksi Donghae dan beberapa hobinya yang tidak bisa kujawab sama sekali. Rosalie memberengut ketika aku tak memberinya satupun informasi berguna.
“Apa kau benar-benar sekretarisnya? Kenapa kau tidak tahu apapun tentang Donghae?”
Bibirku membeku, tak tahu harus menjawab apa karena ia benar. Aku memang tidak mengetahui apapun tentang Donghae. “Aku baru bekerja satu minggu, Miss. Pengetahuanku belum cukup. Dan lagi.. aku pikir aku akan berhenti.. dalam waktu dekat.”
Rosalie menaikkan alisnya terkejut. “Berhenti? Kenapa?”
“Tidak..aman.” jawabku ragu. Tapi kuputuskan untuk memperingati gadis ini juga. “Kau juga, Miss Kenyan. Pikir ulang untuk menjalin kerja sama dengan Mr. Lee. Kau masih muda dan cantik. Aku tidak ingin kau.. menyesal.”
Gadis itu melemparkan tatapan marah dan ia melenggang pergi setelahnya. Aku ingin menghentikan Rosalie tetapi pintu lift terlanjut menutup dan membawanya ke lantai dasar.
Dengan gontai aku kembali ke mejaku dan merebahkan diri keras-keras. Kepalaku tidak bisa berhenti berdenyut tak nyaman. Sudah hampir empat jam lamanya aku bergelung dengan pemikiran tak berujung.
Donghae benar-benar pembunuh. Situs itu tidak mengatakan sesuatu yang bohong—kecuali bagian vampire-nya—dan aku tidak yakin apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku berada dalam dilemma yang pelik; aku membutuhkan uang. Tapi untuk terus berada di sisi Donghae tampaknya benar-benar berat bagiku.
Telepon berdering.
“Miss Cardia, aku ingin hasil akuisisi saham Darwin Co. tidak diumumkan ke publik. Bilang pada semua wartawan yang menelpon kalau aku tidak ingin diganggu untuk sesi wawancara. Kecuali pada LA Today, jangan biarkan mereka mendengar kabar apapun tentang diriku.”
“Baik, Sir.” Jawabku patuh.
“Dan satu lagi, bisakah kau membawa laporan hasil inspeksi Johny-Well tadi?”
Setelah memutuskan panggilan, aku berderap masuk ke ruangan Donghae, menyerahkan laporan yang ia minta dan menatap bosku selagi ia sibuk membaca.
Siang tadi Donghae mengganti pakaiannya dengan kemeja biru langit, ditutup dengan rompi berwarna navy blue dan dasi satin hitam bergaris-garis. Rambutnya ditata ke atas, membuat seluruh wajahnya kelihatan dan lebih segar. Alisnya yang hitam berkerut saat ia membaca kalimat dalam laporan itu. Matanya terlihat fokus. Hidungnya meruncing tanpa cela, bagai tak pernah tersentuh oleh kerasnya tinju seseorang. Bibirnya.. aku menggeleng dan kembali memperhatikan bibir itu, bingung komentar apa yang bisa kukatakan selain sempurna. Bibir atasnya sedikit tipis, sedangkan bibir bawah Lee Donghae lebih berisi, membuat jantungku terasa salah tingkah saat ia menggigit bibirnya.
“Baiklah, kalau begitu kau bisa pulang, Miss Cardia. Chad pasti telah menunggumu.” Ujarnya tanpa memindahkan pandangan dari laporan itu.
“Terima kasih, Sir.” Jawabku datar.
“Apa migrainmu sudah sembuh? Kau terlihat tidak fokus selama rapat dengan Johny Verto tadi, Miss Cardia. ”
“Err.. sepertinya sudah lumayan, Sir.” Jawabku gugup.
Donghae tersenyum kecil lalu menatapku. “Bagus. Dan jangan lupa untuk minum obat. Kau juga butuh suplemen agar tetap sehat.”
“Aku mengerti, Sir.”
“Berhati-hatilah, Miss Cardia.” Ujarnya saat aku akan menutup pintu. Aku tak menjawab dan kemudian mengemasi barang-barangku tanpa minat.

***

Perjalan pulang membuatku frustasi. Kemacetan yang membentang di sepanjang Santa Monica Boulevard nyaris menguburku dalam kemarahan. Aku ingin turun dan berjalan kaki hingga mencapai stasiun kereta api tapi Chad menahanku. Katanya Donghae sudah berpesan untuk mengantarku tepat di pintu flatku. Dan hal itu semakin membuatku jengkel setengah mati. Hingga kira-kira dua jam kemudian kami tiba di flatku dan aku membanting pintu mobil keras-keras sebagai tanda terima kasih.
Aku tahu perbuatanku salah. Tapi yang ingin kulakukan saat ini adalah membungkus diriku dengan selimut dan menangis. Seluruh harapanku bagai di hempas dari langit ke tujuh, menjadikannya rusak tak berbentuk. Ini menggelikan, sebab aku sama sekali tak mengerti apa yang membuatku begitu emosional. Rasanya sangat menyakitkan mengetahui kalau Donghae benar-benar seorang pembunuh. Apa pria itu memang membunuh orang-orang untuk kepuasan dirinya? Aku masih tak percaya—maksudku, aku sebenarnya tidak ingin percaya. Aku nyaris mengakui kalau aku memujanya dan tiba-tiba saja seluruh fakta hadir di depanku. Mengguncang hidupku dan mendepakku dari alam damai.
Satu kesimpulan berat akhirnya kudapatkan setelah berjam-jam berpikir tanpa henti; aku harus berhenti bekerja.
Kuharapa aku bisa mencari pekerjaan lain walaupun kemungkinannya sangat kecil. Tapi aku benar-benar tidak ingin berada di dekat seorang pembunuh. Dan kenyataannya, bukan itu yang membuatku merasa sedih. Sebenarnya, aku tidak ingin berpisah dari bosku itu. Aku benci membayangkan kalau aku harus mengundurkan diri dan hanya bisa melihatnya dalam ingatanku.
Aku sedang menangis di depan westafel saat ponselku berbunyi.
Kau sudah siap?
Suara Johan membuatku tersadar dan segera mengecek jam. “Oh! Maafkan aku, Johan. Aku baru saja pulang. Bagaimana kalau setengah jam lagi? Aku butuh mandi.” Jawabku menyesal.
Kau tidak apa-apa? Kenapa suaramu terdengar berbeda?
Aku mengutuk pendengaran Johan yang sangat peka. “Aku cuma kena flu ringan. Jangan khawatir. Tunggu aku di Santa Monica Pier, oke?”
Begitu Johan memutuskan panggilannya, aku berlari ke kamar mandi secepat kilat.


*Santa Monica Pier terlihat semarak. Lampu-lampu berbagai warna membuat seluruh pemandangan laut di malam hari tampak ratusan kali lebih memukau. Ini tempat favoritku setelah Disneyland. Tetapi secara harfiah, Santa Monica Pier adalah tempat paling sempurna buatku. Lokasinya yang berdekatan dengan laut Santa Monica-lah yang menjadi penyebabnya. Aku mencintai laut dan aku memuja Disneyland. Praktis, tempat ini memiliki segalanya.
Jalanan di penuhi toko-toko yang menawarkan segala macam permen, manisan, gula-gula bahkan soda dingin yang menggiurkan. Ada juga stan-stan yang berisi permainan seperti tembak UFO, pancing boneka atau ikan-ikan hias, dan toko-toko yang menjual souvenir. Bukan tempat ideal untuk kencan romantis, tapi komidi putar super besar itu yang membuatku selalu kembali ke tempat ini. Dari atas sana aku bisa menyaksikan separuh kota Los Angeles yang selalu sibuk. Dan membayangkan terlepas dari segala macam kesibukan itu membuat punggungku terasa lebih ringan.
Hingga detik ini Johan sudah dua kali membelikanku permen kapas rasa stroberi dan jeruk. Ia memutar matanya saat melihatku berlari ke arah toko souvenir.
“Yang benar saja,” ujarnya geli. “Kau selalu ke sini dua minggu sekali dan masih ingin membeli souvenir?”
Aku menjulurkan lidah padanya dan mengambil sebuah replika komidi putar dengan lampu-lampu di sekelilingnya. “Menggunakan baterai sebagai tenaganya. Bagus.” Komentarku senang dan langsung membayar. Tapi Johan menarik tanganku dan memberikan beberapa lembar uang pada penjualnya.
“Aku ingin membelikannya untukmu.”
“Berhentilah bersikap seperti itu, Mr. Stavilosky.” Kataku kesal. “Masa aku tidak bisa membayar apa yang kubeli?”
“Anggap saja hadiah dariku. Dan ketika kau melihatnya, kau akan mengingatku. Dengan cara itu kau bisa membayarnya. Bagaimana?”
Aku memutar bola mata dan Johan tertawa. “Oke, tapi biarkan aku membayar untuk tiket naik kita.”
“Setuju.” Sahut Johan sambil tersenyum.

Udara malam terasa hangat dan kusadari beberapa remaja mengenakan atasan midriff­—atasan sepinggang—yang menunjukkan pusar mereka yang ditindik dan mengobrol di pinggir jalan. Johan terkekeh saat aku mengatakan kalau cewek-cewek itu mungkin tidak akan sadar kalau antingnya sudah tenggelam dalam pusar mereka.
Kami terus mengobrol sambil berjalan, menghabiskan permen kapas sambil sesekali mengomentari orang-orang yang terlihat aneh. Dan belakangan kusadari kalau para gadis terlalu sering mencuri pandang ke arah kami. Aku tahu mereka melihat Johan, tentu saja.
Johan membelikanku minuman di stan fast food dan penjualnya berusaha menarik perhatian Johan dengan tersenyum berlebihan. Tapi sialnya Johan bahkan tidak melirik gadis itu. Kedua mata Johan terus mengamatiku yang mengoceh dengan mulut lengket karena permen tadi. Aku tertawa dalam hati saat menyaksikan usaha kedua sang gadis. Ia memberikan bonus satu gelas coke untuk Johan dan mengerling. Tapi lagi-lagi Johan tak memperhatikan. Pria itu mengambil coke-coke-nya dan langsung menatapku tanpa mempedulikan gadis itu.
“Kau seharusnya bersikap lebih baik, Johan Stavilosky.” Ujarku setelah menenggak habis soda pertama.
“Bersikap baik? Pada siapa?”
“Kepada gadis-gadis itu. Kau tidak sadar mereka terus menatap ke arahmu?”
Johan mendesah dan menatapku jengah. “Youva, yang mereka sukai adalah wajahku. Bukan aku. Dan aku tidak punya kewajiban untuk membalas semua perhatian mereka. Got it?
“Oke, oke, jadi apakah menurutmu aku juga termasuk salah seorang dari mereka?”
Aku menaikkan alisku tinggi dan Johan menatapku skeptis. “Mana mungkin aku mengajakmu berkencan kalau aku menganggapmu sama dengan mereka, kan?”
“Benar.” Jawabku tersenyum. “Kalau begitu, ayo kita lihat Los Angeles dari atas!” ujarku bersemangat.
Dan harapanku sama sekali tidak dikecewakan. Pemandangan super indah yang terhampar sejauh mataku memandang benar-benar membuatku kembali berdebar keras. Aku menyukai sensasi saat kursiku perlahan naik ke atas dan bergerak dengan kecepatan lambat ketika menurun. Kupejamkan mataku dan menghirup udara malam. Di sebelahku Johan ikut menciptakan keheningan hingga rasanya hanya ada aku dan alam semesta.
“Jadi, maukah kau cerita padaku?” Pria itu berbicara tiba-tiba. Saat kami berhenti di posisi teratas dan kursiku bergoyang sedikit. “Berhentilah berusaha terlihat ceria, Youva. Aku tahu kau sedang gelisah.”
Aku memainkan tanganku gugup. “Apakah aku memang gampang dibaca?”
“Ya. Dan aku cukup mengenalmu, Youva. Aku tahu kau akan cerita kalau kau sudah siap. Tapi aku tidak ingin terus melihatmu berpura-pura tersenyum seperti itu. Katakan padaku, aku ingin membantumu.”
Tawaran Johan benar-benar melumpuhkan tekadku. Ia benar. Aku memang tidak ingin terlihat murung di hadapannya karena aku tidak mau membuat Johan cemas. Sebenarnya aku tidak punya lebih banyak kesabaran untuk menahan segala perasaan yang berkecamuk di hatiku. Jadi dengan muram kuceritakan fakta yang kutemukan siang ini.
Johan mendengarkanku dalam diam. Ia menggenggam tanganku saat aku bercerita tentang ketakutanku terlibat dengan pembunuh. Aku bisa merasakan kehangatan Johan terpancar dari telapak tangannya yang besar. Johan benar-benar seorang gentleman. Ia memberiku beberapa menit untuk melamun seorang diri dan tidak menginterupsiku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
Baru ketika turun dari komidi putar, ia bertanya padaku. Tangannya masih menggandengku dan membuatku bersandar nyaman di bahunya yang lebar.
“Tanda seperti apa yang kau lihat di laporan rahasia itu?”
“Entahlah, terlihat seperti huruf p dan d dengan huruf N besar di tengahnya. Tapi aku tidak yakin apakah itu sebuah kalimat atau hanya simbol saja.”
“Dan isinya.. apakah kau melihatnya?”
Aku menarik napas dalam-dalam saat Johan mengeratkan pegangannya. “Seperti yang tadi kukatakan, aku menemukan resume Claudia sebanyak lima halaman dan ada tanda tangan Donghae di lembar terakhirnya. Aku juga menemukan resume Jason Andersen tapi sama sekali tidak ada keterangan di sana. Hanya ada beberapa kalimat aneh yang menyatakan kalau si Jason ini masih dalam pencarian dan harus dibunuh jika melawan.”
Penjelasanku membuat Johan tampak kebingungan. “Dibunuh? Kenapa? Apa kau membaca alasannya?”
Aku menggeleng lemah. “Tidak ada apapun di kertas itu, Johan. Tapi aku tak sempat melihat apapun lagi karena Donghae lebih dulu muncul.”
Kami terdiam di tengah hiruk pikuk Santa Monica Pier yang semakin di penuhi orang-orang. Langkah kaki kami perlahan bergerak semakin pelan, seakan tidak ingin berbaur dengan kerumunan, namun juga tak ingin berdiam di tempat.
“Jadi, bagaimana? Kau masih ingin bekerja dengannya?”
“Aku.. entahlah, Johan. Aku takut, aku akui itu. Tapi aku punya hutang yang sangat banyak.” Aku sengaja melewatkan alasan kalau aku tidak ingin menjauh dari Donghae, sebab rasanya konyol sekali untuk mengatakannya pada Johan.
“Bagaimana kalau kau berhenti saja? Kau bisa masuk ke perusahaanku, Youva.”
Kami berhenti. Saling bertatapan dengan kedua mata mewakili setiap emosi. Aku merasakan titik-titik air berjatuhan di kulitku dan kurasakan di sekelilingku orang-orang mulai berjalan panik. Entah sejak kapan cuaca berubah mendung tapi aku tetap tidak bergerak. Sementara tetesan hujan berjatuhan satu persatu.
“Itu tidak mungkin, Johan. Kau tahu aku tidak akan bisa bekerja jika kau terus berada di dekatmu. Kau mengacaukan konsentrasiku.” Jawabku sedikit bercanda. Aku menyenggolnya sambil tersenyum tetapi Johan menatap mataku lurus.
“Kalau begitu kembali padaku, Youva. Aku benci melihatmu kesusahan. Kembali padaku. Aku berjanji akan membantumu melunasi semua hutang-hutang itu.”
Rintik hujan jatuh semakin cepat, secepat jantungku yang berdegup tak karuan. Pipiku memanas meski tubuhku menggigil karena angin malam. Aku tidak mengerti, kenapa Johan memintaku kembali padanya? Tapi tubuhku menggembung dalam kebahagiaan dan aku nyaris menangis karena terharu.
“Aku mencintaimu, Youva Cardia. Kumohon, berhenti bekerja dan kembali padaku. Aku ingin kau menjadi milikku.”
Aku bahkan tidak sadar saat airmataku bergabung bersama tetesan hujan yang kini mulai membasahi rambutku. “Dasar kau tuan menyebalkan. Kenapa kau harus membuatku menangis?” ujarku tertawa histeris di antara tangisan konyolku. Johan juga ikut tertawa. Rambutnya yang dipotong pendek terlihat sedikit basah dan aku baru akan mengajaknya untuk berteduh ketika tiba-tiba saja pergelanganku ditarik paksa dan tubuhku memutar ke belakang dengan satu gerakan menyakitkan.
Lee Donghae sedang berdiri di belakangku. Mencengkeram tanganku dengan wajah seakan mau meledak.
“Sir?” kataku terkejut. Aku membelalak menatap Donghae yang muncul tiba-tiba. Kehadirannya bagai meloncat dari ketiadaan, muncul begitu saja. Jasnya yang berwarna krem pucat terlihat ditetesi air hujan. Ia menatap marah pada Johan.
Di sebelahku Johan juga tampak terkejut dengan kemunculan Donghae yang di luar dugaan. Tapi Johan hanya diam tanpa berkata apapun.
“Ayo pergi, Miss Cardia.” Geram Donghae penuh penekanan. Setiap suku katanya seolah mengandung lebih dari sekedar peringatan.
“Sir, aku—bagaimana anda—”
“Ayo pergi!” ulang Donghae murka. Kurasakan tangannya menarikku dengan keras tetapi ternyata Johan belum melepaskanku.
Donghae melihat genggaman Johan yang mengunci jari-jariku dan ia menyentakkannya dengan kasar. Pria itu berderap maju dan berdiri di antara aku dan Johan—berhadap-hadapan dengannya dengan mata melotot garang.
“Lepaskan dia.” Katanya marah.
“Sir, anda harus—”
“Aku tidak mau.” Jawab Johan cepat.
Kulihat Donghae menggeram dan menyipitkan matanya. “Berani-beraninya kau—Perhatikan! Berapa banyak yang bisa kau lihat dari sini?” tanya Donghae pada Johan.
Aku sama sekali tidak mengerti maksudnya, tetapi Johan memutar kepala, mengawasi sekelilingnya dengan waspada lalu perlahan-lahan melepaskan tanganku. Donghae mendorong Johan hingga tubuhnya mundur ke belakang dan ia menggeram lagi. “Kita belum selesai. Akan kupastikan kau membayar semuanya, Jason Andersen.”
Rasanya seperti ada kejutan listrik yang mengaliri tubuhku. Membuatku terperangah dan terpaku di bawah guyuran hujan yang kian deras. Tetesan air berubah menjadi genangan, menciptakan riak kecil saat butiran hujan jatuh bersamaan. Kepalaku berkabut dan menolak berpikir selama beberapa detik yang panjang.
Jason Andersen? Donghae memanggil Johan dengan Jason Andersen? Tidak mungkin. Itu pasti kekeliruan.
“Sir, Johan—dia Johan Stavilosky—namanya bukan Jason Andersen.” Ucapku terbata-bata.
Donghae tidak menatapku saat menjawab. Ia memandangi Johan lekat-lekat dengan tatapan kebencian. “Salah. Dia adalah Jason Andersen. Johan Stavilosky hanyalah ilusi.”
Aku menatap Johan, mencari pembenaran atas tuduhan Donghae yang terdengar sinting. Tetapi Johan hanya memandangku dalam diam. Ekspresi wajahnya tak bisa ditebak. Dan detik berikutnya, Donghae menarikku paksa, menembus hujan dengan langit yang bergemuruh. Meninggalkan Johan yang masih berdiri di bawah derasnya hujan.


“Sir, tolong jelaskan padaku—”
“Masuk ke mobil.” Potong Donghae. Ia menekan kuncinya dan Ferrari Donghae membuka otomatis. Aku menolak untuk masuk dan berdiri di samping mobilnya sambil menatap Donghae dengan marah. Ia tidak mengatakan apapun meski aku telah menanyainya hingga ratusan kali dalam perjalanan kami menuju area parkir. “Masuk Miss Cardia. Jangan menguji kesabaranku lebih jauh.”
Ketika aku tetap juga bertahan, Donghae memutar ke arahku dan melemparku masuk ke dalam Ferrari. Jok kulitnya basah akibat tubuhku yang kuyup karena hujan. Donghae masuk beberapa detik kemudian dan ia langsung menyalakan mobil, mengebut di tengah hujan seperti orang sinting.
“Sir, dengan segala hormat, aku minta kau menjelaskan padaku apa yang terjadi!”
Donghae mengatupkan bibirnya hingga menjadi garis tipis. Wajahnya yang menetesi air terlihat seperi Dewa Poseidon yang tampan, tapi kali ini aku terlalu marah untuk sekedar mengaguminya.
“LEE DONGHAE! DENGARKAN AKU!” Jeritku histeris.
Bukannya berhenti, pria itu malah menambah kecepatannya dan mengemudi secara serampangan. “Cobalah untuk diam, Youva, sebelum aku memutar kembali dan menghabisi pria itu dengan tanganku sendiri.” Ucapnya berbahaya.
Lidahku membeku dalam hitungan detik. Aku terlalu syok mendengar ancamannya. Tapi segera saja amarah menggantikan kewarasanku. “No, I won’t!” teriakku. “Katakan padaku ada apa!” Aku semakin frustasi saat pria itu tak juga menjawabku. “Aku tahu yang sebenarnya. Anda akan membunuh Jason Andersen, bukan? Aku juga tahu kalau anda juga yang membunuh yang lainnya—Anne! Claudia!”
Mobil menukik ke depan dan aku merosot—memeluk dasbor saat Donghae menginjak rem setelah mengebut hingga 200km/jam. Aku bisa melihat gumpalan kabut asap menguar dari belakang mobil dan tiba-tiba saja Donghae memandangku tajam.
“Kalau kau ingin tahu, pria itulah yang membunuh mereka! Dia bukan Johan Stavilosky, Youva. Buka telingamu lebar-lebar. Dia Jason Andersen, pembunuh professional yang telah menghabisi banyak nyawa!”
“Tidak mungkin,” jawabku pucat pasi.
“Itulah kenyataannya.” Ujar Donghae garang. Ia kemudian menarik tuas persneling dan menginjak pedal gas. Membiarkanku tenggelam dalam lamunan putus asa dan separuh sinting.
Johan adalah pembunuh professional?
Donghae pasti sudah gila.

***

Aku tidak tahu kemana pria itu membawaku, karena aku tak bisa melihat apapun. Kepalaku rasanya pusing dan semuanya berputar dalam ketidakselarasan. Aku ingin muntah. Separuhnya dikarenakan keahlian bosku yang menerjang jalanan seperti kesetanan. Tapi kedua lututku lemas saat Donghae menyuruhku turun.
Ia menarikku keluar dari mobil dan menuntunku berjalan masuk ke sebuah gedung. Aku tidak bisa mengembalikan konsentrasiku. Rasanya arwahku masih terperangkap di Santa Monica Pier, saat Johan tertawa bersamaku. Aku masih ingat senyumnya, guratan-guratan halus yang tampak di sekitar matanya saat ia tertawa. Tetapi memikirkan kalau pria itu—yang kelembutan dan kehangatannya benar-benar terasa tulus—adalah seorang pembunuh, sama sekali tidak masuk akal. Johanku bukan pembunuh. Lee Donghae pasti salah orang.
“Masuk, Miss Cardia.”
Aku tersentak dan memandangi sekitarku. “Kita di mana?”
“Di apartemenku.” Jawab Donghae singkat. Ia melepaskan jasnya yang basah dan meletakkannya di keranjang. Ia menelpon seseorang melalui telepon kabel dan berbicara dengan nada tak bisa dibantah. “Periksa ulang semua sistem pengamanan. Aku tidak ingin ada yang keluar masuk gedung hingga besok pagi. Semua perkembangan terbaru harus langsung dilaporkan padaku.”
“Kenapa mereka harus melapor kepada Anda?” tanyaku tak fokus. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang kukatakan.
“Ini apartemenku, Youva. Gedung ini milikku. Dan aku bisa memerintahkan apapun yang kuinginkan kepada bawahanku.”
Aku merasakan emosiku kembali timbul. “Aku ingin pulang.” Ujarku marah. Di luar petir menyambar satu kali dan aku bergidik.
“Tidak aman. Kau harus tinggal di sini sampai besok.”
“Tidak aman dari apa? Kenapa anda harus melakukan ini padaku?” nadaku meninggi di akhir kalimat dan aku berusaha menghalau airmataku. Aku tidak boleh kelihatan lemah. Atau pria ini akan terus menyudutkanku.
Donghae menolak menjawabku lalu menghilang ke sebuah kamar selama beberapa saat dan ia muncul membawa pakaian bersih. “Ganti bajumu, Miss Cardia. Kau basah dan kedinginan.”
“Aku tidak mau.” Jawabku ketus.
Ia menatapku dengan pandangan memperingatkan. “Buka bajumu, Miss Cardia. Atau aku yang akan membukanya. Itu mudah saja bagiku.”
Aku menaikkan daguku tinggi-tinggi. Mencoba terlihat garang dengan tatapan tajam yang kuberikan langsung padanya. Donghae menggeram. Ia melempar pakaian bersih itu ke atas sofa terdekat dan menerjangku.
Aku bersiap dan menahan ujung kausku yang panjangnya melewati pinggang. Tetapi perkiraanku salah. Bibir Donghae dengan cepat menyambar bibirku yang tanpa perlindungan sama sekali. Ia mengunciku dalam sebuah ciuman sensual yang membakarku tanpa jeda.
Oh. Dewi batinku bahkan ikut terperangah. Bersama kami tenggelam dalam ciuman Donghae yang semakin panas, membuat kepalaku di penuhi kabut gairah.
Entah bagaimana caranya bibir pria itu—yang selama ini selalu kuidamkan—kini bergerak di atasku dengan kelembutan dan kecepatan yang luar biasa. Ia mendorong ke dalam, semakin jauh dan membuatku bergetar. Demi Tuhan, aku tidak pernah berciuman seintim ini. Bahkan ciuman dengan Johan hanya sebuah ciuman biasa yang sudah membuat jantungku berdebar keras. Tapi kini jantungku sudah berhenti berdetak. Tak mampu menahan begitu banyak serangan darinya.
Bibir Donghae mundur sedikit, menyisakan jarak bagi oksigen untuk menyusup masuk. Barulah kusadari kalau aku juga butuh oksigen.
“Kau sudah melanggar perintahku terlalu banyak, Youva. Apa yang harus kulakukan padamu?” bisiknya sensual. Erangan napasnya yang pendek memenuhi pendengaranku. Dan tubuhku gemetar penuh pengharapan saat ia kembali menekan bibirnya.
Donghae menarikku dalam pelukannya dan tangannya membelai leherku. Ia memiringkan kepalanya dan lidahnya mendesak masuk ke dalam diriku, membuatku terbakar api gairah yang tak pernah kukenal sebelumnya. Tanganku telah menghianati otakku—keduanya bergerak naik ke atas, meraih rambut Donghae yang terasa basah dan membenamkan jari-jariku di sana. Kurasakan kedua tangan Donghae bergerak turun perlahan, mencapai punggung dan terus hingga ke pinggangku. Di sana ia mendekapku lebih erat dan ia mengerang saat telapak tanganku menyentuh rahangnya yang tegas.
Aku bakal mati. Sebentar lagi, saat ia selesai menciumku. Samar-samar aku ingat perkataan Jennifer kalau ciuman Donghae tidak ada duanya. Aku bahkan belum pernah berciuman lebih dari dua kali, tetapi aku langsung setuju dengan Jennifer. Ciuman Donghae benar-benar hebat.
Aku tenggelam dalam kenikmatan itu, saat bibirnya terus mencumbuku dan tak membiarkanku mengambil napas untuk sedetik saja. Ketika tangannya kembali bergerak ke atas dengan perlahan, ia menarik mundur kepalanya saat gaunku melintasi leher dan kepalaku. Dalam sekejap benda itu kini teronggok basah di lantai. Aku mengejap bingung padanya. Nafasku masih satu-satu, dan Donghae memberiku senyuman miringnya.
“Lihat, sudah kubilang itu gampang, bukan?” ujarnya geli.
Aku tersadar dan melihat ke bawah—ke arah tubuhku yang hanya tertutup bra dan celana panjang hitam. Nafasku tercekat dan tanganku menutup tubuhku yang terekspos jelas dengan panik.
“Pakai ini.” ujar Donghae dan ia melemparkan pakaian bersih padaku. Donghae masih tersenyum geli tetapi ia meninggalkanku sendirian—masuk ke dalam kamarnya.
Wajahku bisa menerangi seluruh kota karena amat sangat malu. Aku masuk ke dalam kamar mandi yang berdekatan dengan kamar Donghae dan membuka pakaianku dengan tangan gemetaran. Rasanya bibir pria itu masih menempel di bibirku, dan tiba-tiba saja ledakan hasrat sinting memenuhi setiap pembuluh darahku, menjadikan tubuhku goyah dan di penuhi harapan tolol.
Aku menginginkan Lee Donghae.
Oh, tidak, Youva. Kau benar-benar sudah gila.
Tapi siapa peduli. Ciumannya benar-benar mengesankan!
Batinku berperang. Dan aku yakin aku benar-benar sinting sekarang.
Dengan panik aku mematut tubuhku di depan sebuah kaca di antara sepuluh kaca di kamar mandi ini dan menemukan tubuhku terbungkus kemeja putih yang panjang lengannya menjulur melewati tanganku. Aku mencoba memakai celana panjang itu juga, tetapi ukurannya terlalu besar untukku, jadi kuputuskan untuk meninggalkannya dan keluar hanya dengan kemeja.
Di luar, Donghae ternyata sudah berganti pakaian dengan kaus lengan pendek putih dan celana panjang putih dan ia sedang sibuk di konter dapur.
“Kopi? Teh? Atau kau mau cokelat hangat?” tanyanya setelah melirikku sekilas.
“Cokelat, tolong.” Ucapku dan Donghae mengangguk. Aku memperhatikan seorang Lee Donghae bergerak di konter dapur, menyalakan pemanas air di keran otomatisnya dan menyiapkan dua cangkir cokelat hangat. Pemandangan ini menambah perspektif baru bagiku. Ia terlihat begitu.. normal. Seseorang yang memiliki kekayaan berlimpah, ketampanan luar biasa dan keahlian untuk membuat seluruh wanita di dunia bertekuk lutut di hadapannya, ternyata bisa menjadi begitu manusiawi.
“Minum.”
Tapi ia masih seorang tukang perintah.

Aku mengambil cangkir dalam genggamannya dan kemudian Donghae menyuruhku duduk di sofa. Aku menyesap cokelat panas itu dan menikmati rasa manisnya yang mengalir lewat kerongkonganku.
“Ini hari yang berat untukmu, Miss Cardia?”
Aku mengangguk dan menatap gumpalan asap yang menguar dari cangkir. Donghae meneguk cokelatnya lagi. Ia memperhatikanku dalam diam.
“Bolehkah aku bertanya beberapa hal, Sir?”
Ia menunggu beberapa saat—menimbang sejenak sebelum mendesah. “Oke.” Jawabnya tak punya pilihan.
“Sebenarnya anda melindungiku dari apa?”
Next.
“Tapi itu pertanyaan yang paling penting.”
I said, next.” Ujaranya tegas.
Aku memberengut dan menggenggam cangkirku kuat-kuat. Tentu saja aku tak berani menatap Donghae karena wajahku bisa memerah tanpa komando.
“Kenapa anda ingin membunuh Jason Andersen?”
Ia terdiam sejenak. Tapi segera berkata, “next.
Aku mengeluh jengkel dan mengernyit pada cangkirku. “Tadinya aku berencana akan berhenti bekerja, Sir.”
“Kenapa?” tanya Donghae cepat. Ia menaikkan alisnya.
“Karena aku menemukan beberapa fakta yang mengarahkanku pada sebuah kesimpulan, kalau anda adalah seorang pembunuh.”
Ada jeda panjang dan Donghae menatapku. Ia menyesap lagi cokelatnya dan memejamkan mata. “Kau akan mengetahui semuanya suatu saat nanti, Youva. Next.
Aku membungkam mulutku, merasa kesal karena harus meraba seluruh informasi yang mungkin saja salah. “Terakhir, anda bilang aku—aku sudah terlalu banyak melanggar perintah anda. Perintah yang mana, Sir?”
Donghae menaikkan alis dan ia meletakkan cangkirnya di atas meja. Jantungku meloncat keluar saat Donghae memajukan kepalanya ke arahku. Ia menjaga ekspresinya tetap datar dan aku berusaha meniru sikapnya untuk terlihat datar.
“Bukankah sudah kubilang untuk tidak tersenyum pada orang lain? Kau melanggar yang satu itu di banyak kesempatan, Miss Cardia. Kau juga masih menemui Jason Andersen, meski sudah kukatakan dengan jelas kalau aku melarangnya. Sudah paham sekarang?”
Setelah mencoba berdeham dan berusaha bersikap normal, aku menjawab tuduhan-tuduhannya. “Bagaimana mungkin aku tidak tersenyum pada siapapun, Sir? Bukankah anda bilang kalau sikap profesinonalku menjadi acuan anda? Anda juga menekan kalau image-ku bisa mempengaruhi citra anda.”
“Tapi aku tidak suka melihatmu tersenyum pada orang lain, Youva Cardia. Terutama pada pria itu, Jason Andersen.”
“Dia temanku, Sir. Aku mengenalnya lama sebelum aku menjadi sekretaris anda—”
“Jangan membantahku, Youva. Kau harus tahu aku memiliki kesabaran seujung kuku. Aku tidak suka kau melanggar perintahku.” Ia mendekatkan wajahnya lagi dan aku terbakar dari dalam. “Bagaimana kalau aku memberikan hukuman setiap kau melanggar perintahku?”

Hukuman? Bukan ide bagus. Apakah selain diktator cerewet, pria ini juga seorang masokis?

“Kalau kau ketahuan tersenyum pada orang lain, maka aku akan menciummu. Seperti tadi.”
Jantungku menggelepar. Debarannya kelewat keras hingga rasanya benda mungil itu bisa melompat sewaktu-waktu. Kutatap kedua mata Donghae yang berwarna cokelat terang. Pupil pria itu mengecil dan ia menatapku nanar. Kurasakan hasrat tergambar di sana, mengamati raut wajahku yang semakin merah padam.
“Sir, itu tidak adil.” Gumamku lemah.
Donghae mendengus dan tersenyum setelahnya. “Kau benar. Aku tidak bakal bisa menahan diri lagi.” Ujarnya menghela napas. “Sekarang tidurlah, Miss Cardia. Kita akan bergerak besok pagi. Dan kusarankan simpan saja seluruh pertanyaanmu dan beristirahat saja malam ini.”
Istirahat? Tidak mungkin.
Sebab tak pernah sekalipun aku merasa mood-ku berubah-ubah begitu cepat dalam satu hari. Aku merasa marah, bingung, kecewa, frustasi, kesal dan sedih. Tapi kini dengan cepat jantungku berdebar seperti idiot sinting hanya karena ciuman Lee Donghae. Oh tidak, aku tidak boleh terus bersikap linglung seperti ini. Pria itu memang bosku, tapi aku tak boleh membiarkannya mengambil hidupku dan mempermainkannya begitu saja.
Aku akan memastikannya besok. Johan Stavilosky atau Jason Andersen—dan Lee Donghae, keduanya sama-sama penuh misteri dan aku harus mencari tahu.
“Ngomong-ngomong,” suara Donghae menghentikan langkahku menuju kamar yang ia sediakan. “Kau terlihat bagus dengan kemejaku.”
Aku melirik ke bawah dan pipiku merona dengan cepat. Oh ya ampun, benar. Bagaimana mungkin aku bisa lupa kalau ini kemejanya? Mengenakannya seperti ini seolah sedang berdiri bersamanya.
Sial, Youva!
“Kalau kau butuh apapun, aku berada di kamarku. Atau kalau kau butuh layanan kamar, kau bisa memanggilku kapan saja.” Ujarnya tersenyum miring lalu menghilang ke dalam kamar, meninggalkanku yang sudah berubah menjadi kepiting rebus.
Lihat, kan? Yang harus kulakukan lebih dulu adalah menghentikan debaran jantungku yang idiot ini! Aku merebahkan diri ke atas kasur empuk yang hangat sementara hatiku terus membuncah dalam perasaan aneh yang tak bisa kucegah.
Lee Donghae telah mengacaukan semuanya. Semua niat pemberontakanku.
Hanya dengan satu ciuman.

***

4 komentar:

  1. what? jadi, johan jason johan jason?? padahal aku berusaha yakin kalo johan itu bukan jason :"
    jadi bukan donghae? trus kenapa sebelum mati mereka ketemu sama donghae duluu? eonni lanjutkan!!

    biar aku tebak. part ini pasti udah lama nginep di laptop ya eon? baru kemarin nge post sekarang udah ngepost lagi :")

    BalasHapus
    Balasan
    1. Next chapter insya Allaah aku jelasin kenapa tapi sabar yak, mungkin bakal sedikit lama ._.

      Enggak loh, ini bneran aku siapin dlm semalam tapi emg udh ada draftnya hehe

      Hapus
  2. Seru..kapan donghae suka sama youva

    BalasHapus