TITLE : SCARLET [3]
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
Summary:
Tendensi Kompulsif yang ia derita nyaris
menyeretku dalam api kebencian. Berkobar begitu besar, membakar setiap nadiku
yang berdenyut. Tapi entah sejak kapan namanya selalu di sana, di sudut hatiku
yang terdalam, menunggu saat-saat dimana pertahanan diriku akan runtuh lalu ia
akan tertawa puas. Aku tidak mengerti, apakah tangan yang menarikku ke dalam mimpi
buruk ini benar-benar nyata, ataukah aku terlalu sinting untuk mempercayai
dunia?
***
CHAPTER
THREE: The Dazzling One
Pintu lift berdenting dan membuka di
hadapanku. Suasana lantai satu 208 Rodeo Restaurant sedikit sepi, hanya
beberapa meja yang terisi oleh orang-orang yang datang berpasangan. Tiba-tiba
tertangkap olehku gerakan tangan Chad yang berada di meja terujung. Ia
menyuruhku mendekat dan aku segera menghampirinya.
“Ayo makan. Kata bos kita boleh memesan
apapun yang kita mau.” Ujarnya saat aku duduk di kursi kayu berukir.
“Benarkah? Kapan bos bilang begitu?”
“Dia menelponku barusan.”
Sebenarnya hatiku tidak perlu mencelos seperti
ini, tetapi aku merasa sedikit terluka. Kenapa Donghae tidak menghubungiku
saja? Dan mendadak ingatan akan perkataan Donghae pada Marven menyeruak dalam
kepalaku. “Dia sekretarisku, Marven. Hal
apa lagi yang bisa kuharapkan darinya?” Kata-kata itu menggema, menyisakan
perasaan sedih yang tak kumengerti. Apakah Donghae memandangku serendah itu?
Chad kemudian memesan risotto isi ayam pada pelayan yang membawakan kami menu, dan aku
yang sudah kehilangan nafsu makan hanya memesan salad buah. Ia melirik ke
piringku dan memutar bola matanya dengan mengesankan, membuatku nyengir malu.
Kami makan tanpa berusaha terlihat kaku, tetapi
lebih memilih berdiam diri dan menyantap makanan kami dengan santai. Aku
melirik ke arah Chad yang sudah hampir menghabiskan risottonya lalu mengamatinya sebentar. Rambut hitam Chad yang di
potong pendek tertata rapi, cocok sekali dengan bola matanya yang kehijauan. Chad
sebenarnya bisa dibilang menarik, tetapi ia jarang terlihat di depan umum dan
lebih senang berduaan dengan Mercedes Donghae. Pembawaan pria itu juga santai, dan
menurutku ia juga tidak terlalu ambil pusing dengan apapun.
Ia menggeser piringnya yang kosong sedikit
ke kiri dan mengelus perutnya dengan gaya kekenyangan. Tangannya merogoh saku
dan membuka bungkus sebuah permen karet. Aku tahu Chad selalu mengunyah permen
menjijikan itu ketika mengemudikan mobil, tapi ia jarang menunjukkannya di
depan Donghae. Dan aku penasaran kapan ia membuang permen itu.
“Chad?” Panggilku sambil memainkan salad
buahku dengan garpu.
“Yeah?”
“Bolehkah aku bertanya beberapa hal
padamu?”
Chad mengangkat alisnya. “Yeah, tentu. Silakan
saja, Youva.”
“Kenapa kau selalu memakan itu?”
Ada jeda beberapa detik dan Chad
mengangkat bahunya. “Karena.. Yah, aku berhenti merokok.”
“Kenapa kau berhenti merokok?”
“Err.. karena bos tidak menyukai baunya.”
Aku menatapnya dan ia balas menatapku. “Menurutmu..
bagaimana pendapatmu tentang bos kita?” pertanyaan ini membuat alis Chad
terangkat lebih tinggi. Ia mengamati wajahku lebih lama, bertanya-tanya apakah
ada maksud lain di balik pertanyaanku barusan.
“Dia, well—dia
cukup baik.”
“Apakah dia memang selalu se-menjengkelkan
itu? Maksudku, aku kan Cuma mengobrol dengan sahabatku.” Saladku kini sudah terlihat
terlalu menyedihkan untuk di makan, jadi aku menggesernya ke samping.
Chad sepertinya mengerti arah
pembicaraanku. Ia menyesap Frappaccino-nya
dan tersenyum kecil. “Tidak selalu. Tapi, yah, dia benar-benar bisa keras dalam
beberapa hal.”
“Sudah berapa lama kau bekerja untuknya?”
“Hmm, coba lihat.. Well, kira-kira sudah hampir empat tahun.”
Oh, wow! Bahkan skenario terbaikku menduga
Chad baru bekerja sekitar setengah tahun. Ia bertahan selama itu? Keren. Aku mengangguk
kagum dan Chad mulai bersenandung lagi. Setidaknya masih ada waktu kurang lebih
satu jam setengah sebelum menemui Jennifer, jadi kupikir aku bisa menghabiskan
sisa waktuku dengan melamun. Tapi tetap saja, rasa penasaranku mencuat begitu mencolok,
hingga Chad menghela napasnya dan menatapku lurus-lurus.
“Ada yang mengganggumu?” tanyanya dengan
tangan bersedekap. Bola mata kehijauan Chad menangkap kegelisahanku dengan
cepat.
Aku mengulum bibirku dan terdiam selama setengah
menit. “Aku.. penasaran mengenai beberapa hal.”
“Rasa penasaranmu ternyata lebih banyak
dari yang kuduga,” ujarnya mengangkat bahu.
“Aku tahu ini seharusnya pribadi, tapi aku
benar-benar ingin tahu. Err.. kenapa—kenapa kau mau bekerja untuk Donghae?”
Chad menatapku. Maksudku, benar-benar
menatapku tanpa senyum atau menyipitkan mata curiga. Ia membelalak, memasang
wajah datar dan bibirnya terkatup hingga perutku terasa mulas. “Aku tidak tahu
kau mengharapkan jawaban apa, Youva. Tapi, yang pertama tentu saja karena aku
membutuhkan uang.”
“Err.. kau tidak merasa tidak nyaman dengan semua tuduhan yang
melekat padanya?” Sebenarnya aku hendak mengatakan gossip, tapi karena tak mau ia menilaiku sebagai penggosip, jadi
aku menggantinya dengan tuduhan.
Helaan napas Chad terdengar lebih keras. Ia
meneguk lagi Frappaccino-nya dan memandangku
lambat-lambat. “Aku tahu kau baru bekerja dua hari dan mungkin segala macam
desas-desus yang kau dengar akan membuatmu tidak
nyaman—” ia menekan dua suku kata terakhir, “—tapi yang harus kau ingat
adalah, kita bekerja untuk seseorang bukan karena reputasinya. Kalau kau
mencari seseorang yang tanpa dosa, kusarankan kau pergi ke biara dan mengabdi
pada santo. Aku tidak mengerti kenapa kau mau repot-repot untuk peduli dengan
semua tuduhan untuknya. Karena kita adalah bawahannya,
maka yang harus kita lakukan adalah melindunginya,
bukan memperparah reputasinya.”
Aku merasa kata-kata Chad menusukku tepat
di ulu hati. Ia benar. Tak seharusnya aku meragukan bosku sendiri. Meskipun semua
orang menuduhnya melakukan pembunuhan, tetap saja aku tidak boleh menjadi salah
satu di antara penuduh itu. “Kau benar.” Kataku malu. Chad mengangkat alisnya
dan bibirnya menyunggingkan senyum. “Aku hanya masih belum terbiasa dengan popularitas
Donghae. Tadinya aku sedikit yakin akan semua tuduhan-tuduhan pembunuhan itu,
tapi kini aku mengerti. Maksudku sungguh, bos benar-benar orang yang baik dan mengatainya
pembunuh sepertinya tidak beralasan.”
Senyum Chad menghilang perlahan dan aku
melihat matanya menatapku waspada. “Dari mana kau mendengnya? Maksudku, tentang
pembunuh itu.”
Aku mengerjap bingung dengan sikap Chad
yang berubah drastis. “Err... aku—uhm, aku menemukannya di internet.” Jawabku pelan,
takut bersuara terlalu keras karena sepertinya Chad akan mulai berteriak
padaku.
Namun lagi-lagi, wajah Chad berubah
menjadi santai dengan begitu cepat dan aku mengernyit ketika ia tersenyum dan
menjawab ringan. “Oh. Kau tidak perlu
mempercayai apapun yang ditulis di Internet, Youva.”
Setelahnya Chad bangkit dan meninggalkanku
yang masih bingung. Ia melemparkan senyum padaku dan menghilang kembali ke
dalam Mercedes Donghae. Aku tidak ingin hal itu mengganggku, tapi tentu saja
aku tak bisa menghilangkan rasa penasaranku karena Chad melakukannya dengan
jelas sekali. Wajahnya benar-benar tegang waktu aku menyebut Donghae sebagai
pembunuh dan kembali rileks saat aku mengatakan aku membacanya dari internet. Ini
aneh sekali. Apakah ada sesuatu yang sedang terjadi?
***
Tepat pukul 02:30 pm, Donghae turun
bersama Marven. Mereka bercakap-cakap dengan suara rendah dan aku tak bisa mengalihkan
pandanganku dari mereka. Marven nampaknya menyadari kehadiranku dan langsung
tersenyum lebar. Lagi-lagi ia merentangkan tangannya padaku dan belum sempat
aku melirik ke arah Donghae, pria tua itu menarikku dalam pelukannya.
“Jangan pedulikan dia, nak. Donghae memang
tidak pernah tidak bersikap
menjengkelkan.” Ujarnya lalu terkekeh geli. Aku ikut tersenyum dan otot wajahku
langsung berubah kaku begitu kedua mata Donghae menangkapku. “Nah, lihat kan? Oh,
ayolah, masa kau melarangnya untuk tersenyum? Kau seharusnya lihat betapa cantiknya
Youva kalau tersenyum.” Marven nyengir padaku dan aku tak tahan untuk tidak tersenyum
padanya.
Dari sudut mata kulihat Donghae memutar
bola matanya tetapi tidak berkomentar apapun. Marven menatapku lagi. “Kau sudah
makan?” tanyanya baik hati. Aku mengangguk dan menjawab sopan. Tapi Marven juga
tidak menyukai rasa sopan yang kugunakan untuknya. “Oke, Youva, berhentilah
bersikap begitu kaku. Cukup panggil aku Marven dan aku ingin kau menganggapku
seperti sobat lama. Bagaimana?”
Kulirik Donghae yang berdiri di sebelah
kananku dan wajahnya terlihat skeptis. Alis matanya bahkan meninggi. Ia pasti
tak menyangka perlakuan Marven bisa berubah drastis. “Err.. baiklah, Sir—maksudku,
Marven.” Jawabku kikuk dan Marven tersenyum lagi.
Kami berpisah di area parkiran dan Marven
melambai pada Donghae dan aku dari dalam mobilnya. Aku ingin membalasnya tapi rasa
takutku terhadap Donghae jauh lebih besar, sehingga aku hanya mengulum bibirku agar
tak kelepasan tersenyum.
“Ambilkan kotak kacamataku,” perintah
Donghae tiba-tiba sementara tatapannya tertuju pada pemandangan jalan raya yang
dipadati mobil. Aku mengangguk dan segera mengambil kotak itu di laci kecil
antara kursi penumpang. Kotak itu begitu kecil hingga aku pikir hanya ada satu
kacamata yang muat di sana. Tapi dugaanku salah, begitu tanganku membuka
pengaitnya, kotak itu ternyata memiliki tingkatan-tingkatan simetris dan setiap
satu tingkat, terdapat sebuah kacamata di dalamnya.
Donghae mengambil sebuah kacamata hitam berlabel
Hugo dan langsung mengenakannya. Ia terlihat
tampan—tidak, malah kata-kata tampan tak cukup baginya—walaupun wajahnya datar
dan tak acuh. Donghae kemudian melepas sarung tangan putihnya. Ketika Chad
membelok ke jalan Santa Monica, pria itu membuka kancing teratas kemejanya dan melirikku
sekilas. Aku berterima kasih pada Tuhan karena tepat sebelum ia melirikku, aku
sudah memerintahkan wajahku—yang terlalu terpana pada ketampanannya—untuk
terlihat normal.
Mobil berhenti di depan sebuah taman kecil
yang berjarak beberapa ratus meter dari pantai Santa Monica yang indah. Aku
cukup menyukai pantai ini, untuk sejenak rasanya peradaban Los Angeles berada
kabur di belakangku dan hidungku penuh bau garam. Ada banyak turis dan
wisatawan lokal yang menikmati keindahan pantai di kejauhan. Matahari masih
seperti kuning telur yang besar di langit, tapi panasnya sudah tak terlalu
membakar. Yah, seperti yang sudah kukatakan, karena aku bukan keturunan ras
kulit putih yang tahan dengan sengatan matahari, tentu saja sinar itu bakal
membuatku harus membungkus setiap jengkal permukaan tubuhku yang terpapar
matahari dengan krim pemutih kalau aku nekat berlama-lama di luar tanpa
sunblock. Tapi aku tahu Donghae kemari bukan untuk berlibur.
Aku segera turun untuk membukakan pintu
Donghae. Pria itu berdiri dengan angkuh, dengan kepala tegak bak seorang raja yang
tak mempedulikan hampir seratus pasang mata yang menatapinya kagum. Aku melihat
ke sekitar taman dan mendapati seorang pria dengan rambut cokelat gelap, memakai
kacamata bergagang abu-abu, sedang duduk di salah satu bangku taman. Ia
melambai pada Donghae.
Bosku tidak membalas lambaiannya, ia malah
berpaling padaku. “Kau bisa pergi menemui Jennifer bersama Chad sekarang. Aku
akan tiba sekitar lima belas menit lagi dan kalau bisa buatlah alasan yang
bagus padanya. Ah, sebaiknya gunakan kacamata bacamu, Miss Cardia. Jennifer
tidak suka melihat perempuan yang menarik.”
Aku tidak sempat mengangguk atau
mengucapkan apapun karena Donghae telah meninggalkanku dan mendatangi pria itu.
Aku tidak tahu siapa ia, tetapi sepertinya itulah Alex Kennedy, sebab kini
Donghae menjabat tangannya dan mereka mulai bercakap-cakap. Namun hal
berikutnya benar-benar diluar dugaan. Alex membuka kacamatanya dan menoleh
kepadaku. Ia bahkan mengedip sambil tersenyum. Aku bingung apakah aku harus
tersenyum atau bertindak seolah-olah aku tak melihat apapun. Tapi kedua mata
Donghae memandangku dingin dan aku sadar bahwa aku harus cepat-cepat pergi.
***
Jennifer C. Houston alias “Si Dada Palsu”
sedang menatapku dari atas hingga bawah. Ia terlihat seperti wanita tipe scanner yang akan mendeteksi berapa
ukuran dadamu, pinggulmu dan bahkan seberapa tebal bedak di wajahmu. Tapi aku
tidak akan menyangkal julukan yang diberikan sekretaris Donghae sebelumnya. Karena,
astaga! Separuh dadanya menggelantung
keluar untuk dilihat seluruh dunia! Aku hampir tersedak melihat dadanya yang kelewat besar itu menyembul dari kausnya
yang ketat dan memiliki potongan seksi. Para pria mungkin akan membayangkan
hal-hal jorok jika melihat dadanya tetapi kaum hawa pasti akan bertanya-tanya
apa yang digunakan Jennifer untuk memompa
dadanya hingga menjadi seperti itu.
Aku memperbaiki letak kacamataku dengan
tangan berkeringat. Rambutku yang sudah kuikat menjadi ekor kuda bergoyang-goyang
tertiup angin. Kalau ada tempat yang paling cocok untuk memamerkan dada
Jennifer yang super besar itu, tentu saja di tengah-tengah kota, dimana seluruh
orang berlalu-lalang dan menyempatkan diri untuk menatap gundukan menggoda
lewat kaus Jennifer. Aku tak bisa menyalahkan Jennifer yang telah membuat janji
temu di salah satu kafe paling ramai
di Los Angeles, tapi, apakah ia tidak bisa memesan tempat di dalam saja? Aku benci
perhatian orang-orang di jalan yang melirik ke arah kami. Karena, tentu saja
mereka langsung melirikku setelah menjadikan
Jennifer objek imajinasi mereka dan pasti mereka akan mendengus geli
membandingkan tubuhku dengan wanita itu. Gitar Spanyol dan papan cucian.
Hebat
sekali.
“Dimana Donghae?” suaranya tegas, sedikit
keras dan datar. Kali ini tidak ada aura permusuhan, Jennifer jelas tak
menganggapku cukup pantas menjadi saingannya.
“Err.. Dia akan terlambat sekitar lima
belas menit, Miss.” Jawabku terbatuk kecil.
Jennifer mengernyit dan ia mengganti posisi
duduknya. Rok mini yang ia kenakan nyaris hanya menutupi pakaian dalamnya,
membuat pahanya yang mulus terekspos jelas. “Kenapa?” tanyanya lagi.
Kugigit bibirku dan berusaha mencari
jawaban yang bagus seperti
diperintahkan Donghae. “Mr. Donghae memiliki rapat penting, Miss. Ia menyuruhku
kemari untuk memberitahu Anda.”
Kakiku mulai kebas. Meski wanita itu tidak
memancarkan aura permusuhan, ia juga tidak repot-repot menyuruhku duduk dan
malah menikmati pemandangan jalan seakan aku adalah bagian dari trotoar. Aku
menghabiskan lima belas menit berikutnya dengan kaki gemetaran karena hak
sepatu baruku sepertinya sengaja menyiksaku dan kini jempol kakiku benar-benar
kesemutan. Kedengarannya sinting, tapi aku benar-benar mengharapkan kehadiran
Donghae meskipun beberapa jam yang lalu aku sempat menginginkannya untuk terlambat
datang agar tidak mengacaukan reuni singkatku dengan Janne.
Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan
mengeluh dalam hati. Berapa lama lagi Donghae akan tiba?
Jawabannya muncul tak lama kemudian.
Pukul tiga lewat enam belas menit, Donghae
turun dari sebuah Volvo hitam mengilat yang parkir tepat di belakang Mercedes milik
Donghae. Masih dengan kacamata hitamnya dan rambut yang berantakan tertiup
angin pantai, pria itu berjalan melewati kerumunan orang di trotoar yang langsung
memberi jalan padanya. Beberapa mulai bisik-bisik, seakan mengenali wajah
tampannya, dan gadis-gadis di depan toko mulai terkikik pelan. Aku melirik
Jennifer yang masih menatap dingin ke arah Donghae yang semakin mendekat. Wanita
itu bahkan tidak menunjukkan ekspresi apapun, meski Donghae sudah melemparkan
senyuman paling menggoda padanya. Baru ketika pria itu berdiri persis di
hadapannya dan membuka kacamata dengan gaya mengesankan, Jennifer bangkit, berjinjit
merangkul leher Donghae dan menariknya dalam sebuah ciuman panas.
Itu aksi nekad—oh, well, kalau ia tidak
punya cukup banyak rasa malu untuk menunjukkan dada cup-F itu pada dunia, mana mungkin ia akan berpikir dua kali untuk
mencium Donghae di muka umum. Aku memalingkan wajahku ke arah lain dan
mendapati orang-orang yang menatap mereka terkejut. Ada yang hanya tersenyum
dan menggelengkan kepala, tetapi hampir separuh wanita menunjukkan wajah
cemburu melihat bagaimana Donghae membalas ciuman Jennifer.
Aku bahkan tidak tahu berapa lama mereka
berciuman, karena aku hanya menatap jemu jalanan yang dipadati ratusan
kendaraan-kendaraan sibuk. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Chad yang kini
sedang bersandar di samping mobil dan mulutnya sibuk mengunyah permen karet. Ia
nyengir ketika menangkap mataku dan aku memutar bola mata padanya. Jelas sekali
ia menikmati aksi Donghae dan Jennifer yang seolah berteriak ayo-lihat-kami.
“Jenny,”
desah Donghae. Aku mengernyit dalam hati. Sementara Jennifer langsung tersenyum
dan mengerling genit. “Bisakah kau berhenti menyerangku?”
Ada nada menggoda dalam ucapan Donghae dan aku bersumpah aku melihatnya
tersenyum sebelum ia buru-buru memasang wajah serius.
“Akan kupertimbangkan.” Bisiknya keras. Jennifer
mendongak menatap Donghae, membenamkan telapak tangannya ke sela-sela rambut
Donghae dan menyipitkan matanya. “Tapi sepertinya tidak hari ini.”
Jennifer baru akan menarik wajah Donghae lagi
ketika mendadak pria itu menahan pundaknya. Mata Jennifer membelalak dan ia
sedikit kebingungan ketika Donghae berkata, “ada yang harus kukatakan, Jenny
sayang.”
Jennifer melepaskan pelukannya dan setuju
untuk duduk berhadap-hadapan. Ia bahkan memasang wajah seriusnya. Donghae mungkin
juga ingin terlihat serius, tetapi wajahnya terlalu rupawan untuk bisa disebut
serius. Ia hanya cocok dalam katagori ‘tampan’.
Tidak ada yang lain.
“Apa yang ingin kau katakan?” Jennifer mendongakkan
kepalanya sedikit tinggi. Semacam superioritas terpancar dari wajahnya.
“Alex
bilang ada sesuatu yang salah. Dia berhasil mengejarnya tetapi tidak
cukup cepat. Aku akan mendapat masalah dalam beberapa jam dan kuharap kau bisa
membantuku memberikan kesaksian.” Donghae terus berkata dengan nada serius,
tidak memperhatikan raut wajahku yang mulai berkerut bingung. Well, mungkin dia
bahkan tidak menyadari keberadaanku. Sepertinya aku cukup sukses berakting
menjadi bagian dari trotoar.
“Kesaksian apa yang tepatnya ingin kau
dapatkan, Sayang? Mengenai kejadian semalam?”
Perutku tersentak dan tubuhku mendadak
tegang. Ini dia. Aku tak menyangka Donghae membahas masalah semalam. Aku hampir seratus persen yakin
bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan kematian Anne. Sebab
kalau tidak, mengapa Donghae harus meminta kesaksian Jennifer?
“Benar.” Jawab Donghae mengiyakan. Jennifer
tersenyum miring dan matanya menyipit. “Seperti biasa, Ron bakal menggangguku
lagi. Dan aku ingin kau…yah, bercerita tentang kejadian yang sebenarnya. Posisiku
cukup sulit karena Alex bilang dia hampir ketahuan.”
Dari ekor mata kulihat Jennifer menaikkan
sebelah alisnya. Aku tak berani bergerak satu inci pun, takut Donghae menyadari
bahwa aku menguping dan ia bakal mengusirku lagi. Meskipun aku mencoba untuk
menjadi sekretaris yang baik, tetap saja aku tak bisa menghentikan rasa
penasaranku lebih jauh. Aku agak-agak ingin membuktikan pada diriku sendiri
bahwa Donghae memang tidak bersalah, tapi sepertinya sedikit susah dengan semua
percakapan mencurigakan ini.
“Baiklah. Akan kuceritakan pada mereka tentang
apa yang kita lakukan semalaman.”
“Tak perlu mendetail, Jenny.” Ujar Donghae
cepat.
“Kau yakin? Oke, tak ada detail kalau
begitu.” Ulang Jenny sambil tersenyum menggoda. “Tapi aku mau protes, Donghae
sayang. Bagaimana aku mempercayakan keselamatanku padamu kalau salah satu guardian—pelindung—mu bahkan nyaris
ketahuan seperti itu?”
Kalau tadi keningku berkerut, sekarang aku
cukup yakin pelipisku menyatu saking bingungnya. Tetapi belum sempat aku
menghubungkan apa yang kudengar, Donghae menjawab sambil menghela napas. “Semalam
pengecualian, Jenny. Alex diikuti, bukan dia (Donghae menggunakan kata ganti
her; untuk wanita). Jadi setelah berhasil mengamankannya, Alex baru sadar bahwa
itu perangkap. Dia berbalik mengejar siapapun itu, tetapi terlambat. Dia
menduga penjebak itu sudah separuh jalan menuju San Fransisco.”
“Sebegitu buruknya?” sela Jennifer. Wajahnya
sedikit tak percaya.
“Tidak juga. Alex berhasil memastikan bahwa
kepergiannya ke San Fransisco Cuma tipuan dan dia buru-buru memutar ke Los
Angeles.”
Jennifer mengangkat bahu. Berusaha tak
terlalu mempedulikan jawaban Donghae meski matanya masih cemas. “Pokoknya aku
tak mau nyawaku terancam, Donghae. Itu saja.”
“Kau tahu aku akan selalu melindungimu.”
Jawaban Donghae membuat kecemasan Jennifer
sirna. Wanita itu tiba-tiba berdiri dan merebahkan tubuhnya di atas pangkuan
Donghae—berjejalan di antara meja kafe yang berdiri tegak di depan kursi Donghae—dan
memulai lagi aksi ayo-lihat-kami.
Aku nyaris memutar bola mataku tetapi niatku
berhasil kutahan ketika aku melihat kelebatan rambut ikal cokelat di balik kaca
depan Volvo yang tadi di naiki Donghae. Entah kenapa aku merasa sepasang mata
di belakang kaca gelap itu balas menatapku. Dan separuh dari kesadaranku
mengatakan bahwa pria itu—sosok yang tengah mengamatiku dari mobil—adalah Alex.
Cukup lama aku berusaha memastikan kecurigaanku sebelum akhirnya aku mendengar suara
Jennifer yang selembut beledu.
“Aku akan merindukanmu, sayang. Pastikan
kau akan langsung menghubungiku jika sedang tidak sibuk.” Katanya separuh
merengek.
Donghae pasti sedang tersenyum karena Jennifer
balas tersenyum padanya. “Tentu saja, Jenny sayang. Aku tidak akan berpikir dua
kali.” Jawab Donghae meyakinkan.
Jennifer masih melingkarkan kedua
tangannya di leher Donghae ketika wajahnya mendadak berpaling padaku—yang
berdiri hanya sejauh dua meter di belakang Donghae—dan mengatakan sesuatu yang nyaris
membuat bola mataku melompat keluar. “Kau pernah berciuman dengan Donghae, eh?”
Untuk dua detik yang panjang, aku merasa
isi perutku berjumpalitan dan mulutku terasa kering. “Err.. belum, Miss.” Ucapku
parau. Jawabanku terdengar menyedihkan, aku tahu itu. Tapi aku tak punya waktu
untuk memikirkan apapun karena kulihat bahu Donghae menegang. Ia memutar
kepalanya perlahan dan menangkap mataku yang langsung membatu.
“Sayang sekali kalau begitu, karena ciuman
Donghae itu tidak ada duanya.” Kata
Jennifer penuh pemujaan pada Donghae dan melihatku seakan sedang menatap seorang
pengemis jalanan. Aku tahu wanita itu sebenarnya sedang pamer atau mengejekku
atau apapun maksudnya. Tapi aku memiliki kesibukan lain untuk mencari tahu arti
ucapannya padaku. Kedua mata cokelat yang indah milik Donghae sedang menatapku
dengan seribu arti. Ada sedikit perasaan lapar dan mendamba di sana, tetapi aku
juga tidak begitu yakin karena sepasang mata itu langsung berubah keras sedetik
kemudian.
“Jenny, aku harus pergi sekarang. Ron
bakal mengira aku lari darinya kalau aku tidak berada di kantor.”
Jennifer memberengut dan menguatkan
rangkulannya. “Tapi kita baru bertemu selama setengah jam. Tak bisakah dia
menunggu setengah jam lagi?”
Sepertinya suasana hati Donghae menjadi
buruk dalam seketika. Dan aku bertaruh bahwa aku adalah salah satu penyebabnya.
Ia menggertakkan gigi dan menatap Jennifer dengan sedikit garang. Oke, kurasa
aku tak akan menggunakan kata sedikit
kalau aku tahu Jennifer langsung menciut dan melepaskan kedua tangannya dengan cepat.
Wanita itu telah kehilangan seluruh aura superiornya dan berubah menjadi anak
kucing penurut.
“Ma—maafkan aku.” Bisiknya lirih. Ia
melirik Donghae takut-takut. “Aku akan… yah, akan langsung memberikan
kesaksian.” Janjinya sungguh-sungguh dan wajah Jennifer berubah lega ketika Donghae
menunjukkan kembali senyumnya yang mematikan.
“Terima kasih. Aku senang mendengarnya.” Ujar
Donghae manis. Tapi aku sadar bahwa nadanya terdengar palsu. Dan kenyataan
bahwa Jennifer terhipnotis dengan kepalsuan itu mau tak mau membuatku menaruh
curiga pada Donghae lebih banyak lagi.
***
Kami melaju menembus jalanan Beverly Hills
yang mewah dan memasuki kawasan West Hollywood dalam diam. Dari tadi pikiranku
berputar-putar tanpa tujuan yang jelas. Donghae yang duduk di belakangku juga
tampaknya menikmati kebisuan kami, dan ia sama sekali tak berkata apapun selain
memandangi jalanan yang padat. Aku sempat mengira bahwa Donghae akan naik ke Volvo
cantik itu ketika tahu-tahu ia membuka pintu penumpang dan menyuruhku duduk di depan—di
samping Chad. Saat Chad memutar mobil, aku mengambil satu detik yang singkat
untuk melirik kembali ke Volvo yang parkir di belakang kami dan mendapati seseorang
tengah duduk di kursi pengemudi. Pria itu memakai kacamata dan rambutnya yang
ikal turun melewati bahu. Tentu saja itu Alex Kennedy.
Aku memikirkan banyak hal. Tetapi yang
paling menyita perhatianku adalah kasus Anne yang masih misteri. Asumsi-asumsiku
semakin tak masuk akal jika menghubungkan semua percakapan Jennifer dan Donghae
dengan bukti-bukti yang kutemukan di internet. Dan aku tak menemukan hal lain
kecuali pertanyaan kenapa yang
menggantung di dalam tengkorak kepalaku. Ingin sekali aku bertanya pada Donghae
tetapi aku buru-buru menahan lidahku, tahu aku bakal tamat bahkan sebelum sempat
menyelesaikan pertanyaan bunuh diri itu.
Mobil mulai melambat dan berhenti persis
di depan pintu masuk PHOENIX Corporation yang sangat luas. Beberapa karyawan
kantor langsung memberi hormat ketika Donghae turun dan melintas di hadapan
mereka. Aku berusaha menjaga langkahku persis di belakang pria itu agar ia tak
mengeluh karena kelambananku. Dan saat kami berada dalam lift, Donghae berkata padaku
dengan suara datar.
“Aku tak mau di ganggu selama satu jam
kedepan, Miss Cardia.”
Aku menjawab, “Ya, Sir.” Dan memberanikan diri
untuk mengintip ekspresinya lewat pantulan dinding lift. Tapi aku segera
memindahkan pandanganku ke lantai begitu menemukan bahwa Donghae ternyata
sedang menatapku. Dan aku berdoa agar ia tidak menyadari perbuatanku barusan.
Pintu lift membuka dan Donghae berjalan
mendahuluiku. Aku berhenti di mejaku dan langsung menghempaskan diri dengan desahan
puas, tidak peduli pada fakta bahwa kursiku sebenarnya tidak senyaman sofa
berlengan. Menurutku kursiku cukup oke, meskipun busa pada dudukannya sudah
menipis dan benda itu akan berderit jika aku terlalu banyak bergerak. Tiba-tiba
Ponselku bergetar dan aku baru akan membukanya ketika telepon berdering.
“Ya, Sir?” tanyaku saat mengangkat
telepon.
“Ambilkan anggurku di lemari, di bawah laci
yang berisi dasi.”
Aku benar-benar tak mengerti dengan permintaannya,
jadi aku kembali bertanya dengan takut. “Err.. di ruang mana tepatnya itu, Sir?”
Dari ujung sambungan aku tahu Donghae
mendesah kesal. “Di dalam kamar mandiku, Miss Cardia. Cepatlah.” Perintahnya mutlak
dan langsung memutuskan panggilan.
Ponselku kembali bergetar dan aku
memutuskan untuk menyimpannya dalam kantong. Kalau aku berani menunda perintah
Donghae untuk semenit saja, aku yakin pria itu akan marah. Pasti.
Ketika aku membuka pintu di belakang meja
kerjaku, sama sekali tak kutemukan kehadiran Donghae di sana. Malah mejanya
kosong dan tidak terdengar apapun selain suara tetesan air yang mengalir
kontinu. Tetesan air itu agak menderu namun terdengar menyenangkan. Lalu saat
aku membuka pintu kamar mandi, aku tahu tebakanku benar. Air itu sedang mengisi
sesuatu. Dan sesuatu itu adalah sebuah
bathub berukuran amat besar, berdiam di pojok kanan ruangan kamar mandi. Namun
pada detik selanjutnya, aku terperangah ketika melihat bathub itu dipenuhi
busa-busa indah yang memiliki harum paling segar, dan yang paling penting, Donghae
tengah berbaring di dalamnya. Hanya kepalanya yang muncul dari atas kumpulan
busa dan kepala itu bersandar pada ujung bak yang memiliki alas empuk
menyerupai bantal.
Kedua mata Donghae terpejam tetapi aku yakin
ia menyadari kedatanganku. Aku ingin bergerak ke lemari, mengambil anggur yang
ia perintahkan dan keluar sebelum ia membuka matanya. Tetapi keinginan untuk merekam
pemandangan itu jauh lebih kuat dari apapun. Memaksaku untuk tetap membeku dan memohon
agar waktu berhenti selama seabad, agar aku bisa mematri seluruh guratan terkecil
di wajahnya dalam kepalaku.
“Miss Cardia, aku mau anggurku.” Ujarnya
tiba-tiba.
Kakiku seakan tersetrum dan aku berlari
menuju lemari. Tanganku bergetar ketika aku membuka lemari, mencari-cari di
mana letak penyimpanan anggur. Perlu waktu sejenak sebelum aku berhasil menemukan
sebotol penuh wine yang bersegel lalu
membawanya ke hadapan Donghae. Pria itu membuka matanya dan menatapku dengan
penuh tanya. Aku tak mengerti dan hanya terdiam. Lalu ia mendesah lagi.
“Mana gelasku, Miss Cardia?” ucapnya
terdengar lelah.
Aku kembali tersadar dan langsung berlari seperti
orang idiot. Meraba-raba seluruh sudut lemari untuk menggapai sebuah gelas anggur
berkaki yang bening dan meraih sebuah nampan perunggu di dasar lemari. Dalam
waktu dua menit, aku tiba di depan Donghae yang menungguku dengan senyum terukir.
Bernapas.
Ujarku pada diri sendiri.
Bernapaslah.
Ulangku sia-sia.
Donghae berada di depanku, dengan seluruh tubuh—kecuali
kepalanya—tertutup busa putih dan gelembung-gelembung yang berwarna seperti pelangi
yang malah memperparah disorientasiku. Wajahnya tampak murah hati. Tersenyum bagai
malaikat di tengah padang rumput dandelion dan matanya sehangat perapian di
tengah badai salju. Aku hampir lupa bahwa kedua tanganku masih mencengkram nampan
berisi botol anggur dan gelas berkaki. Kakiku terasa aneh. Antara ingin kabur
sejauh mungkin atau berlari ke arahnya. Keinginan-keinginanku begitu sinting
ketika akhirnya Donghae menyuruhku duduk.
Aku tak melakukan apapun selain
menurutinya. Kedua kakiku langsung terlipat, dengan tangan yang menggenggam
ujung nampan, aku seolah terhipnotis dengan kata-katanya. Kemudian Donghae berusaha
untuk duduk, dan itu adalah saat-saat di mana aku berusaha menjaga mataku agar
tak menjelajahi dadanya yang bersimbah air sabun. Bahkan aku harus berjuang
keras untuk mengagumi otot lengannya yang memukau ketika ia mengambil botol
anggur dari atas nampan.
“Kau tidak ingin bergabung?” tawarnya
dengan memandang sekilas ke arah botol anggur yang ia pegang.
Lidahku kelu. Mati rasa. Beku. Dan nyaris
lumpuh. Aku tak bisa mengucapkan apapun. Aku Cuma menggeleng dengan kedua mata
terperangkap pada wajahnya yang tersenyum. Aku tak butuh Anggur untuk mabuk. Kenyataannya,
aroma Donghae yang luar biasa sudah
membuatku tak sadarkan diri.
“Benarkah? Baiklah kalau begitu.” Ujar Donghae
pasif. Ia mengambil gelas anggur dan memenuhinya dengan sepertiga isi gelas. Aku
tak yakin apakah aku sudah boleh pergi sekarang. Tetapi karena tak ada
perintah, akhirnya kedua kakiku masih terduduk di atas lantai pualam yang
dingin.
Aku mengamati Donghae yang menghirup aroma
wine lalu menggoyangkan gelasnya
dengan sempurna. Sesekali matanya menatapku dan aku tak bisa menjelaskan arti
pandangannya yang membelah pertahananku jadi dua. Setelah ia menghabiskan isi
gelas pertamanya, Donghae meletakkan gelas itu di pinggir bathub dan menelengkan
kepalanya menghadapku yang terus membatu.
“Tersenyumlah, Miss Cardia.” Katanya separuh
berbisik. Itu bukan perintah. Sama sekali bukan. Malah terdengar seperti
permintaan.
Otakku yang sudah terbius mengalami
kesulitan untuk menerjemahkan perkataannya. Tetapi aku berhasil menarik
sudut-sudut bibirku dan mencoba membentuk sebuah senyuman kebingungan. Donghae mengerutkan
alisnya tapi ia juga tertawa. Suara tawanya manis, renyah dan begitu lembut. Aku
tidak yakin aku menatap seorang manusia sekarang.
“Bukan, bukan senyum seperti itu, Miss
Cardia.” Ujarnya menggeleng dan tertawa, seakan wajahku sangat menggelikan—dan
aku yakin itu benar.
Donghae berkata lagi dengan merdu. “Kau
cantik kalau tersenyum. Tersenyumlah, Youva.”
Aku tidak mengerti apa yang membuatku
begitu bahagia ketika ia memanggil namaku. Rasanya seperti mantra dan aku harus
segera mematuhinya. Namun hatiku juga di penuhi gelembung-gelembung aneh yang
menyesakkan. Seakan gelembung itu membengkak menjadi dua kali lipat dan aku tak
tahan untuk tidak tersenyum.
Dan tawanya berhenti dalam sekejap. Ia
menatapku. Memandang tepat di tengah manik mataku yang melebar penuh antisipasi
dan melihat kobaran api yang menunggu di sudut pertahanan diriku. Jarak kami
tidaklah cukup jauh, aku cuma tinggal memajukan wajahku sekitar tiga puluh senti
dan aku akan bisa merasakan bibirnya. Dan tiba-tiba saja perkataan Jennifer
berdengung di telingaku. “Ciuman Donghae
itu tidak ada duanya..” kata-katanya menyerap di pembuluh darahku, membuat
pandanganku kabur dan aku tak bisa bernapas. Seluruh gravitasi bumi tampaknya
nol besar. Aku yakin tubuhku separuh melayang sekarang. Indra penciumanku menangkap
aroma sabun dan kolon yang tadi di gunakan Donghae. Mataku terpancang kuat pada
tatapan pria di hadapanku dan aku menahan napas ketika wajahnya perlahan
mendekat.
Aku tidak tahu berapa jauh jarak kami karena
aku memejamkan mataku rapat-rapat dan menanti dengan perasaan tak karuan. Namun
perhatianku terpecah ketika ponselku kembali bergetar untuk ketiga kalinya. Aku
meraih benda itu dari dalam kantong celana dan kusadari Donghae sudah menarik
kembali kepalanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa dan aku tidak bisa
menyalahkan hal itu, sebab aku juga sangat kecewa saat ini. Hatiku langsung mengkerut
menyedihkan dan aku pasti akan merutuki siapapun yang mengirimiku pesan kalau
aku tidak membaca nama pengirimnya; Mum.
Jantungku akhirnya kembali menemukan denyutnya
setelah sempat absen selama detik-detik penuh penantian. Aku mengerjap beberapa
kali dan berusaha menatap Donghae yang mematung menatap ujung bathub di
kakinya. “Err.. Sir? Aku harus.. err.. apakah ada hal lain yang anda inginkan?”
tanyaku terbata-bata dan aku bersumpah aku melihat semburat merah muda muncul
di telinga Donghae, membuatku menduga bahwa ia juga sama malunya denganku.
“Tidak ada.” Jawabnya cepat. Aku
mengangguk dan melangkahkan kakiku keluar kamar mandi secepat mungkin, takut
kalau-kalau kewarasanku hancur dan aku akan memohon padanya untuk membiarkanku menciumnya
setidaknya sekali saja. Sinting. Ya,kan?
Sesampainya di meja kerjaku, aku bernapas
dengan terengah. Seolah baru saja menahan napas selama berjam-jam dan membuka pesan
di ponselku. Tiga pesan itu dari Ibu dan aku menggigit bibir membaca pesan yang
pertama.
Youva
sayang, bagaimana kabarmu? Ibu berusaha menghubungimu seharian, tetapi ponselmu
mati. Apakah pekerjaanmu lancar? Ibu harap semuanya baik-baik saja.
Seperti biasa, Ibu memang selalu
mengirimiku pesan semacam ini beberapa kali dalam seminggu. Aku memutuskan
untuk membaca pesan kedua dan tidak langsung membalasnya.
Nak,
Mia baru saja datang dan mengatakan bahwa kau sudah membayar tagihan pertama hutang
itu. Benarkah? Ibu mohon, Youva. Jangan bersusah payah membayarnya. Itu hutang yang
tidak ada sangkut pautnya denganmu dan Ibu tidak mau kau membanting tulang demi
melunasi hutang itu. Ibu tahu kau tidak hidup mewah disana, jadi simpanlah
uangmu untuk keperluanmu sendiri.
Pesan ketiga sepertinya masih berhubungan
dengan pesan yang sebelumnya. Ibu menulis:
Demi
Tuhan, Youva. Ibu baru mengecek tabungan dan baru mengetahui bahwa kau mengirim
$750 ke rekening Ibu! Bukankah sudah ibu katakan kau tak perlu mengirimi uang? Akan
Ibu transfer lagi padamu besok siang dan jangan melakukan hal seperti itu lagi.
Airmataku turun dan aku bersusah payah
membalas pesan Ibu. Aku tahu Ibu memang tak akan mengijinkanku untuk membantu melunasi
hutang atau bahkan mengiriminya sedikit uang. Tapi aku tak bisa menahan diri
jika memikirkan Ibu yang harus kebingungan mencari cara untuk melunasi hutang
dan menutupi semua biaya pengeluaran disana. Jadi setelah menarik napas dalam-dalam,
aku membalas pesannya.
Ibu tidak
perlu khawatir. Aku baru saja mendapat pekerjaan menjadi sekretaris seorang
pengusaha kaya dan aku akan mendapatkan gaji besar. Soal hutang dan kiriman itu
juga tidak usah Ibu cemaskan. Aku masih memiliki cukup uang untuk diriku dan kupastikan
aku akan mengirim juga bulan depan. Aku akan tetap mengirimnya kembali pada Ibu
meskipun Ibu tidak mau. Sampaikan salamku untuk semuanya. Aku sangat merindukan
Ibu.
Youva.
Aku berusaha mengabaikan keraguan akan kepastianku
bekerja hingga bulan depan dan mencoba meyakinkan diri kalau aku akan bertahan
menjadi Sekretaris Donghae sampai aku berhasil melunasi seluruh hutang. Aku nyaris
berbohong saat menulis aku masih punya cukup uang untuk diriku sendiri karena
aku benar-benar tak memiliki apapun sebagai makan malam selain roti isi daging
cincang kiriman Johan dan Pai Apel pemberian bibi Major di kamar sebelahku. Itulah
sebabnya kenapa berat badanku turun drastis sebulan belakangan, mengubah tubuhku
menjadi ukuran sepuluh dari ukuran empat belas. Membuat teman-teman
Universitasku yang kutemui di jalan menjadi pangling dan bertanya apa yang
membuatku bisa sekurus itu.
Tapi semua uangku benar-benar kusimpan dan
tak boleh kusentuh. Aku harus tahan melahap sebuah roti dingin dan keras untuk
sarapan pagi, menolak membeli beras atau apapun yang berharga lebih dari satu
dollar. Aku bahkan menghemat beberapa sen untuk berhenti di perhentian bus
sebelum tujuanku dan berjalan kaki sejauh lima ratus meter demi menyisakan
beberapa sen untuk besok. Semuanya membuatku frustasi dan aku merindukan hidupku
yang dulu, tak kelaparan seperti ini dan bersantai dengan pekerjaan
menerjemahkan dokumen yang tak terlalu banyak di kamarku yang kecil namun
hangat. Tapi aku harus bertahan. Seberat apapun masalah yang kuhadapi sama
sekali tak boleh membuatku lemah. Ibuku, keluargaku di sana mengharapkanku, aku
tahu itu.
Entah berapa lama aku melamunkan keadaan
keluargaku dan tersadar bahwa aku harus mengerjakan laporan hasil rapat dengan IMaginary
Corporation siang tadi. Tetapi baru saja aku akan mengetik lembar pertama, teleponku
berdering. Kupikir itu dari Donghae, tetapi suara Chad langsung menyapaku
ketika aku mengangkat gagang telepon.
“Hei, Youva. Apakah bos sedang sibuk?”
tanyanya langsung.
Pipiku sempat menghangat sebelum
menjawabnya. “Tidak juga. Ia sedang—ehm, mandi. Ada sesuatu yang penting?”
Chad berdeham di ujung sambungan dan aku
tahu ia merasa sedikit tidak nyaman meski tak tahu mengapa. “Bisakah kau
menanyakan padanya apakah dia bisa diganggu atau tidak? Karena bos punya—eh, tamu
penting.”
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat
sekarang, ada sesuatu yang mengingatkanku pada percakapan Jennifer dan Donghae.
Aku ingat kalau Donghae berkata seseorang yang bernama Ron akan datang dan
mengganggunya. Jadi aku sudah membuat kesimpulan sendiri ketika Chad mengulang
kalimatnya.
“Baiklah, Chad. Akan kuhubungi jika sudah
mendapatkan jawabannya. Kau bisa meminta tamu itu menunggu di selasar bawah.”
Chad menggumamkan, “Oke,” dan menutup
sambungan. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin aku bakal kuat mengahadapi
pemandangan Donghae yang tengah berendam dalam bak penuh busa dan gelembung. Apalagi
aku baru saja bertekad untuk melunasi hutang keluargaku. Tapi bayangan wajahnya
yang kelewat tampan itu membuat jantungku melonjak panik dan tersadar. Bagaimana
jika aku berhasil menciumnya tadi? Eh, ralat. Maksudku, bagaimana jika ia
berhasil menciumku. Yang memajukan kepala kan Donghae, bukan aku.
Pintu ruang kerja Donghae terkuak dan aku
melangkah dengan hati-hati. Tidak terdengar suara deru air dari keran atau
suara apapun. Keheningan itu terlalu mencolok dan aku yakin Donghae sedang
tertidur. Aku baru memutar kakiku untuk kembali ketika kudengar sebuah jeritan
panjang yang menyiksa, menyayat kesadaranku, dan melolong tinggi. Tubuhku beku
untuk sejenak tetapi kusadari suara itu milik Donghae. Aku berlari menyusulnya
dalam ketergesaan.
Aku tiba di ujung pintu kamar mandi ketika
jeritan itu berakhir. Kulihat Donghae yang membungkuk di dalam bathub penuh
busa dengan kedua tangan mencengkram pinggiran bak dan menggigil ketakutan. Aku
mengedarkan pandangan ke segala arah, berusaha mencari siapapun—atau apapun—yang
membuat Donghae menjerit seperti tadi. Tapi seluruh pandanganku hanya berakhir pada
puluhan cermin di kamar mandi itu. Sama sekali tidak ada siapapun selain kami
berdua.
“Sir? Anda baik-baik saja?” tanyaku panik
dan berjongkok di sisi bathubnya, tempat di mana Donghae hampir menciumku.
Donghae kelihatan kepingin muntah dan dan
masih belum menyadari kehadiranku. Aku mengulang pertanyaan dan menyentuh punggungnya
yang basah. “Sir? Donghae, Sir? Anda tidak apa-apa? Apakah anda bermimpi buruk?”
Kemudian ia mendengarku dan berjengit
merasakan sentuhanku yang panas. Matanya terlihat seperti baru saja melihat sesuatu
yang mengerikan dan hatiku mencelos ketika Donghae menepis tanganku menjauh
darinya.
“Aku tidak apa-apa.” Erangnya parau. Donghae menarik napas lagi. Ia terlihat
kesusahan dan wajahnya yang tampan seperti kehilangan seluruh warna. Malah
hampir transparan. Benar-benar pucat dan aku tak tahan untuk tidak menyentuhnya
lagi.
“Sir, Anda yakin? Anda bisa beristirahat
dulu dan aku akan menyuruh tamu itu untuk pulang.” Ucapku memohon. Aku sedikit cemas
ketika melihat wajah Donghae yang menegang. Wajahnya yang seputih kertas itu
terlihat seperti mau pingsan.
“Aku tidak apa-apa. Keluar.” Ujar Donghae terdengar
lemah. Aku bisa melihat tangannya masih gemetaran dan tarikan napasnya terdengar
berat.
Aku mencoba keras kepala dan bergeming di
sisinya. “Tapi, Sir, Anda tidak—”
“AKU BILANG KELUAR!!!” bentaknya mengerikan.
Matanya melotot garang padaku dan seketika tumitku lemas. Aku kehilangan
keseimbangan dan jatuh terduduk.
“Ba—baik, Sir.” Cicitku sangat ketakutan. Aku
hampir merangkak, namun tetap berhasil keluar dari kamar mandi itu dengan
banjir adrenalin. Darah seakan surut dari kepalaku dan jantungku
berdentam-dentam menyakitkan. Baru pertama kalinya aku melihat Donghae seperti
itu. Ia seperti bermetamorfosis dari malaikat menjadi iblis. Amat menakutkan.
Tubuhku mengkeret di balik meja kerja dan berulang
kali mengatur agar tarikan napasku bisa memasok oksigen yang cukup ke otakku yang
masih ciut. Bayangan akan kemarahan Donghae jauh lebih mengerikan dari apa yang
kuperkirakan sebelumnya. Dan aku agak menyesali pikiranku yang idiot—yang masih
saja menganggapnya tampan meski ia sedang berteriak murka.
Telepon berdering. Tanganku penuh keringat
dingin dan suaraku pecah ketika aku menyapanya. Itu Donghae, bosku yang baru
saja mendampratku. Dan kali ini suaranya terdengar berbeda. Sedikit melunak
dengan penekanan di kalimat terakhir. “Suruh tamu itu masuk kira-kira sepuluh
menit lagi, Miss Cardia. Aku akan berpakaian sebentar dan jangan bergerak satu
langkahpun dari tempatmu sekarang.”
Ia memutuskan panggilannya tanpa menunggu
jawabanku. Tapi itu tidak perlu, karena toh aku tak tahu menjawab apapun selain
kebingungan mendengar perintahnya. Akhirnya aku menghubungi Chad sepuluh menit
kemudian dan menyuruhnya memberitahu tamu itu untuk naik ke ruangan Donghae. Sejujurnya
aku sedikit penasaran dengan tamu yang dimaksud Chad, dan aku tak menyangka
bahwa Chad ikut mengantarnya sampai ke ruangan Donghae. Maksudku, Chad kan Cuma
supir pribadi. Kenapa ia harus mengantar tamu itu? Itu tugasku. Tetapi kemudian
aku mendengar suara Donghae menggeram dalam kepalaku. “Jangan bergerak satu langkahpun dari tempatmu sekarang, Miss Cardia.”
Tamu yang bersama Chad sepertinya lelaki
paruh baya dengan mantel hitam yang menjulur hingga ke lututnya. Wajah pria itu
tidak ramah namun ia mengangguk padaku. Aku balas mengangguk dan ia malah
mengamatiku dengan mata menonjolnya yang seakan hendak meloncat keluar. Kerutan-kerutan
di sekeliling matanya menjadi pertanda bahwa ia sebenarnya senang tertawa, tapi
nampaknya ia sedang tidak berada dalam mood
bagus untuk membahas lelucon apapun sekarang.
Kupikir pria itu langsung mengikuti Chad
yang sudah membukakan pintu, tetapi lagi-lagi dugaanku salah. Ia berhenti di
samping kursiku dan mengulurkan tangannya yang terlihat cukup kekar. “Aku
Ronald O’Connel, detektif dari bagian investigasi di Kepolisian.”
Kedua mata O’Connel yang setajam elang menangkap
keterkejutanku. Tapi aku segera pulih dan menjabat tangannya dengan professional.
“Halo, Sir. Aku Youva Cardia.” Ujarku ramah dan tersenyum sedikit. O’Connel
tidak membalas senyumanku dan dia hendak mengucapkan sesuatu ketika Chad
menyela perkenalan kami.
“Sebelah sini, Mr. O’Connel. Mr. Lee Donghae
sudah menunggu Anda.” Kata Chad cukup tajam dengan nada memperingatkan. Selama
seperkian detik, aku merasa O’Connel menatapku curiga tetapi dia menyudahi perbuatannya
dan menggumamkan sesuatu di luar pendengaranku. Pria itu masuk ke dalam ruangan
Donghae dan sebelum aku sempat mengintip apapun,
Chad telah menutup rapat pintu itu. Membuatku mencibir penasaran, apa yang
mereka bicarakan di dalam sana? Mengapa ada detektif kepolisian yang datang
mencari Donghae?
Tapi semuanya menjadi jelas. Donghae tentu
terlibat dengan kematian Anne dan ia memerintahkan Alex untuk mengamankan wanita malang itu. Untuk
menghindari kecurigaan, Donghae membuat alibi dengan Jennifer semalaman dan hal
itu akan mematahkan seluruh bukti yang mengarah padanya. Namun ada yang
menggangguku. Mengapa Jennifer menyebut Alex sebagai guardian—bisa berarti wali atau pelindung—dan meminta Donghae untuk
melindunginya?
Aku mendesah keras dan menggaruk ujung
hidungku. Sedikit gelisah karena kini aku merasa yakin bahwa Donghae
benar-benar seorang pembunuh, tak peduli bagaimana Chad berusaha meyakinkanku ketika
makan siang tadi. Dan aku merasa takut. Aku takut terlibat dengan Lee Donghae, sebab
dari awal, sesuatu seakan memberitahuku bahwa pria itu berbeda—tidak dalam artian harfiah—dan aku tidak ingin terseret
pada sesuatu yang…keamanannya diragukan. Maksudku, aku memang penggemar novel
fiksi dengan petualangan sinting, tapi untuk membayangkannya dalam kehidupanku…
well, aku tidak siap. Aku hanya ingin menikmati hari-hariku dengan damai, dan tidak
ingin terlibat dengan kekacauan—atau bahkan pertengkaran. Tapi apa yang akan
kulakukan seandainya Donghae memang seperti yang diberitakan? Well, aku bisa saja memutuskan untuk mengundurkan diri
dan mencari pekerjaan lain. Tapi, sekali lagi, aku menolak ide brilian itu dan
terpaksa menelan seluruh kekhawatiranku. Ibu membutuhkanku. Yang perlu
kulakukan hanyalan bertahan selama kira-kira enam bulan kedepan dan berusaha
bersikap se-apatis mungkin.
Oke, kedengarannya cukup bagus.
***
Pintu ruangan Donghae menjeblak terbuka kira-kira
lima belas menit kemudian. Saat itu jarum jam menunjukkan angka pukul 06:15pm,
meski langit Los Angeles belum menggelap sama sekali. Chad yang lebih dulu
keluar. Dia nyengir padaku dan aku membalasnya. Sayangnya aku tak memperhatikan
bahwa O’Connel sudah berdiri di hadapanku bersama Donghae dan mereka sama-sama
menatapku yang masih nyengir pada Chad.
O’Connel berdeham dan mengalihkan
pandangannya pada Donghae. “Aku masih belum yakin seratus persen, Donghae.”
ujarnya tegas. Tapi bisa kulihat ia tidak semenyeramkan tadi.
Donghae terkekeh mendengarnya dan ia mengibaskan
tangan ke udara. “Tentu, tentu. Aku tahu, Ron. Tidak ada di dunia ini yang cukup
untuk kau percayai seratus persen, bukan?” gurau Donghae dan O’Connel
tersenyum.
“Benar. Dan aku akan kembali. Aku janji.” O’Connel
berjalan mundur dan mengacungkan tinjunya pada Donghae dengan mata menyipit
karena senyum.
“Kembalilah kalau kau sudah menemukan sesuatu
yang bisa kau yakini seratus persen, Ron.” Balas Donghae masih terlihat geli.
O’Connel masuk ke dalam lift dan Chad menekan
tombol ke lantai dasar. “Aku akan mencari tahu. Pasti.” Ujar O’Connel untuk
terakhir kali sebelum pintu lift menutup.
Pasti,
Sir. Aku juga akan mencari tahu. Desisku dalam hati.
Tetapi aku segera tersadar dan berpaling
pada Donghae yang menatapku dari ambang pintu. Tangannya bersedekap,
menampilkan otot bisepnya yang kekar dari balik lengan kemeja putihnya. Rambut Donghae
di sisir rapi ke belakang dan aku baru memperhatikan bahwa lingkaran hitam di
sekeliling matanya semakin pekat.
Melihat pandangan Donghae yang menatapku
lurus, aku menjadi salah tingkah dan mengerjap tak nyaman. Donghae tampaknya
tak terlalu peduli pada reaksiku sebab dia masih mengamatiku beberapa menit
lamanya. Ketika aku nyaris berubah menjadi patung batu karena terus-terusan
menatap lantai, Donghae memanggilku.
“Youva.”
Aku mendongak penuh harap. Lagi-lagi perasaan
separuh sinting itu muncul dan mengacaukan gravitasiku. Kedua mata Donghae laksana
titik rotasi dan membuat seluruh dunia bergerak dalam kecepatan lambat. Mematriku
dalam-dalam dan tidak membiarkanku mengalihkan pandangan untuk sedetik saja. Lagipula
aku terlalu bahagia ketika ia memanggil namaku seperti itu. Rasanya indah dan
menyenangkan.
“Jangan tersenyum pada orang lain.”
Itu kalimat terakhir yang Donghae ucapkan
sebelum ia menutup pintu dan membiarkanku melongo seperti sapi ompong. Aku
bahkan kelewat bingung untuk mengartikan ucapannya karena jantungku
berdentam-dentam lagi. Pipiku merona dengan cepat dan meskipun aku tidak
mengerti apa maksud ucapannya, aku tetap merasa aneh. Seakan ada orang yang membakarku dari dalam, membuatku
kepanasan dan menggigil tak nyaman.
Jangan tersenyum pada orang lain? Apakah
itu maksudnya aku tak boleh tersenyum pada siapapun selain dirinya atau aku tak boleh lagi tersenyum?
Bosku, pembunuh wanita cantik, yang
memiliki ketampanan seorang malaikat, yang nyaris menarikku dalam pesona dan
ciumannya, yang baru beberapa saat lalu meneriakiku dengan keras, memberitahuku
agar tidak tersenyum pada orang lain. Apalagi yang bisa kusimpulkan dari
perkataannya kemungkinan bahwa ia menganggap senyumanku cukup menarik? Well, tidak ada yang tahu jawabannya selain Lee Donghae.
***
ff unnie selalu penuh dengan misteri, sekali baca pasti ketagihan
BalasHapuskeren banget unnie, ditunggu lanjutannya :D
wah makasih ya :'))
HapusAaaa~ bkin ketagihan eonn :D
BalasHapusHehee.. Lanjut nee fightingg
Kalo abang yang nyuruh, aku pasti nurut kok bang *plak
BalasHapusWell,, aku suka bacanya.. seru..