TITLE : SCARLET [1]
GENRE :
Action(?)-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21/17
CAST :
Lee Dong Hae
youva Cardia
youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
*** PROLOG ***
Aku tidak bisa membayangkan apa yang
terjadi jika aku tidak bertemu
dengannya. Tapi aku juga tidak dapat memimpikan kehidupanku yang bebas
seandainya dia terus berada di dekatku. Benar-benar dekat hingga rasanya aku
tak bisa bernapas, bergerak atau bahkan memicingkan mata. Sosok itu terlalu
egois untuk sekedar minggat dari mimpi-mimpiku. Merayap masuk hingga
melenyapkan batas antara alam bawah sadar dan dunia nyata. Aku sering
bertanya-tanya, apa yang mustahil baginya? Sebab seolah memiliki seribu pasang
mata dan seratus kaki, dia selalu bisa membuatku ketakutan sekaligus merasa
aman setiap saat. Aku membenci
keegoisannya, tapi lebih merutuki hatiku yang malah jatuh cinta pada iblis itu.
Iblis yang memiliki rupa bak pangeran
tampan yang terjebak dalam dunia dongeng; menakutkan namun juga mengagumkan. Iblis
yang dengan tega menghancurkan kebebasan seorang manusia buruk rupa yang juga
seorang rakyat jelata.
Malangnya, itu aku.
***
CHAPTER ONE: The Difference
of Good and Evil
“Buka bajumu, Miss Cardia.”
Suara pria itu terdengar tenang, penuh
percaya diri dan tanpa keraguan. Dengan mata terbelalak, kutatap bosku—bos
baruku—tanpa berkedip. Aku yakin pendengaranku mulai keliru, dan hal itu membuatku
melirik ke sisi kanan dan kiriku, memastikan bahwa ada Cardia lain di ruangan ini. Namun sama seperti ketika aku masuk
kesini beberapa menit lalu, ruangan ini kosong. Hanya ada kami berdua.
“Maaf?”
seruku perlahan, ketika akhirnya berhasil mengangkses kemampuan verbalku.
“Aku bilang, buka bajumu.” Ulang pria itu
tanpa memindahkan tatapannya dari tumpukan kertas di atas meja. “Atau perlu aku
yang melakukannya?” Ujarnya sembari mengangkat kepala, menatap langsung ke
dalam manik mataku dengan senyum miring.
Aku masih terus terperangah menatap pria
yang seakan tak mengacuhkan ekspresi terkejut di wajahku beberapa menit
belakangan. Dan ketika tampaknya sudah terlalu lama keheningan mengisi atmosfir
di sekitar kami, pria itu bangkit, berjalan mendekati tubuhku yang mematung di
tengah ruangan dan menatapku dengan pandangan yang mampu meluluhkan seluruh
wanita normal di dunia.
“Apakah instruksiku kurang jelas, Miss Cardia?”
tanya pria itu tanpa berusaha menghilangkan nada geli dalam suaranya. Kini
terlihat jelas bahwa dia sebenarnya menikmati wajah terkejutku. “Atau kau lebih
suka jika aku yang melucuti pakaianmu?”
Kutatap pria itu lurus-lurus—malah bisa
dibilang aku sedang memelototinya—dengan pandangan terluka dan tersinggung. Lebih
dari itu, aku merasa sangat terhina. Kuperhatikan wajahnya yang tersenyum
santai, mengamati kegarangan di wajahku tanpa sedikitpun merasa bersalah. Aku
tidak peduli bahkan jika dia bosku, seandainya dia melecehkanku seperti ini,
aku akan tetap melawannya.
“Tidak mau.” Jawabku keras. Kukatupkan
bibirku hingga membentuk garis tipis.
Mendengar jawaban dan melihat ekspresi
dingin yang tercetak jelas pada wajahku, pria itu tiba-tiba saja tertawa—meskipun
aku sendiri tidak mengerti apa yang lucu dari jawabanku barusan.
“Kau bahkan tidak bertanya ‘mengapa’ dan
langsung menjawab ‘tidak mau’?” tanyanya persis dihadapanku, hingga aku bisa
merasakan aroma maskulin pada tubuh bosku itu.
Wajah itu tersenyum janggal, membuatku
harus menahan diri untuk tidak menyumpahinya keras-keras seperti yang akan
kulakukan jika orang lain yang melecehkanku. Aku berusaha setengah mati
memerintahkan otakku untuk berkelakuan sopan di hadapan pria ini—Lee Donghae,
pemilik PHOENIX Corporation, perusahaan yang mengurusi bidang ekspor-impor
barang, serta beberapa perusahaan ternama seperti OCEANS dan FROZEN yang
bergerak dalam bidang konveksi pakaian dan baru saja menandatangani kontrak
kerja sama dengan Paul SmithTM yang berharga sebesar lima ratus juta
dollar. Pria itu juga memiliki resor hotel terkenal di beberapa pulau di dunia.
Singkatnya, dia kaya.
Aku mengerjap bingung dengan pertanyaannya
dan tanpa berpikir lagi, aku mengikuti saran Lee Donghae. “Kenapa?” tanyaku
berusaha untuk fokus, meskipun hidungku mengernyit—berusaha memblokir oksigen
yang telah bercampur dengan aroma parfum pria itu.
Donghae mendengus geli, memutar matanya
lambat-lambat dan nyengir padaku. “Secepat itukah kau berubah pikiran? Menarik
sekali,” komentarnya sarkastis.
Pipiku berubah merah karena malu mendengar
ucapannya. Kugigit bibirku dan merutuki otakku yang lambat. Tapi, belum sempat
aku menyangkal apapun, Donghae kembali bertanya.
“Ingatkan aku apa jabatanmu disini, Miss Cardia.”
Ucapnya sambil berjalan menuju mejanya yang hanya berjarak beberapa langkah
dariku, dan menyandarkan tubuhnya di tepi meja.
Aku mengernyit cemas. Kali ini kuputar
otakku lebih keras sebelum menjawab, berusaha meyakinkan diriku bahwa
pertanyaan itu tidak memiliki makna ganda. “Err… sekretaris pribadi anda..?”
Donghae menatapku dengan ekspresi datar,
membuat kecemasanku bertambah dua kali lipat. Aku hampir menduga bahwa Donghae
akan menurunkan jabatanku atau yang paling parah, mendepakku di hari pertamaku
bekerja.
“Benar,” jawabnya dengan seulas senyum penuh
arti.
“Kau harus tahu mengapa aku telah memecat
lima orang sekretarisku dalam enam minggu belakangan, Miss Cardia, sebab aku
memiliki beberapa peraturan yang harus kau ikuti.” Jelasnya mengesankan.
Tangan Donghae mulai terjulur ke udara,
menunjukkan angka pada setiap peraturan yang di diktekannya dengan cepat.
“Pertama, aku tidak suka melihat
sekretarisku memakai pakaian yang berada dalam kategori ‘tidak menarik’. Aku tidak menginginkan sekretarisku berpenampilan
murahan, ber-make up terlalu tebal dan memiliki tingkah laku yang tidak sesuai.
Tidak perlu cantik, yang penting menarik.
Kedua, aku membayarmu $50000 setiap bulan, maka aku ingin kau mengikuti SELURUH perintahku,
kemauanku dan bahkan meskipun itu hal teraneh yang ada di muka bumi. Dan ketiga: aku tidak mentolerir keterlambatan,
ketidakdisiplinan dan kesalahan sekecil apapun. Aku ingin semuanya sempurna. Keempat:
aku tidak ingin sekretarisku memiliki kekasih atau bahkan telah menikah, karena
hal itu akan mengganggu kinerja dan keprofesionalitas-an dirimu. Dan terakhir,
ada alasan mengapa aku memecat semua sekretarisku. Mereka memenuhi empat
persyaratan diatas, tentu. Tapi mereka tidak bisa bertahan lebih lama pada
persyaratan ke lima: aku tidak mau sekretarisku jatuh cinta padaku.”
Tanpa sadar, aku menahan napasku ketika
mendengar peraturan terakhir. Tentu saja mereka tidak dapat bertahan lama. Karena,
mustahil bisa menghindari pesona Lee Donghae dan segala kesempurnaannya. Aku
harus mengakui bahwa Donghae tidak hanya rupawan tetapi juga menggairahkan. Seakan feromon pria ini
memenuhi udara, memblokir oksigen dan beracun—membunuh setiap wanita dalam
radius lima meter.
Kuamati wajah Donghae yang tampan—kedua
matanya berwarna cokelat muda. Tatapannya teduh dan menenangkan, tetapi dalam
hitungan milidetik, sepasang bola mata itu bisa berubah menjadi keras dan
kejam. Dan aku yakin, siapapun tak akan bisa lolos dari manik-manik cokelat
yang sempurna miliknya.
Hidung Lee Donghae meruncing ke depan
dengan porsi yang pas, membuat wajahnya sedikit tirus dan hidung itu tak
disinggahi setitik jerawat pun. Tetapi yang paling menyusahkan adalah bibirnya
yang tipis—dengan susah payah aku harus menahan desahanku—membentuk beberapa
senyuman dan memamerkan keseksian. Otakku sedikit kehilangan kontrol dan mulai
membayangkan bagaimana rasanya bibir Donghae yang begitu memikat.
Dengan gerakan tiba-tiba, Donghae kembali
mendekat, berjalan dengan langkah ringan dan aku mengambil kesempatan untuk
mengamati tubuh itu.
Atletis. Lee Donghae tidak memiliki kaki
panjang layaknya pemain basket, tinggi badannya normal dan tidak mengurangi
ketampanannya sama sekali. Aku bahkan bisa mengetahui bahwa pria itu memiliki
dada bidang yang seksi, melihat betapa rendahnya leher kaus yang di kenakan Donghae
di dalam jas abu-abu muda, menambah kesan sensual yang memikatku lebih kuat.
“Apa kau menerima semua persyaratan itu,
Miss Cardia?” tanyanya merdu, seakan menyanyi di telingaku.
Dengan susah payah aku menelan seluruh
kegugupanku dan balas memandang Donghae yang tersenyum mengejek. “Aku.. yakin
bisa,” ujarku sedikit ragu.
Tentu saja Donghae pasti bisa melihat
keraguanku, namun ia hanya tersenyum semakin lebar. “Kalau begitu, perintah
pertamaku, buka bajumu, Miss Cardia.” Katanya cukup keras, kendati wajahnya
masih tersenyum.
“Ke—Kenapa?”
Kening Donghae mengernyit. “Aku tidak suka
pertanyaan kenapa. Ajukan pertanyaan
lain.” Perintahnya tegas.
Aku berpikir sebentar dan kembali
bertanya, “Untuk apa?”
Senyum Donghae terukir di wajahnya. “
Karena tampaknya selera fashion kita tidak cocok, Miss Cardia, jadi aku mau kau
segera mengganti pakaianmu.”
“Apakah aku harus membukanya di depanmu?”
tanyaku gugup.
Kali ini wajah Donghae memiring sedikit. Matanya
berbinar terang dan bibirnya melengkung lebar. “Kau ingin membukanya di
depanku?” tanyanya geli. Dan ketika melihat mataku kembali melotot garang, Donghae
terkekeh kecil. “Tidak. Kau boleh membukanya di kamar mandi. Aku ingin kau
mengganti pakaianmu dengan salah satu pakaian di lemari terujung kamar mandiku.”
Tandasnya pelan lalu berjalan kembali ke balik mejanya dengan tanpa beban.
Buru-buru kulangkahkan kakiku secepat
mungkin dan masuk ke dalam kamar mandi mewah yang di lengkapi bathup dan lantai
pualam. Rahangku nyaris saja jatuh melihat kemewahan sangat di utamakan di
ruangan yang gagal di sebut sebagai kamar mandi ini. Aku berani menjamin ruangan
ini lebih luas dari tempat tinggalku—yang hanya terdiri dari satu kamar tidur
dan sebuah kamar mandi kecil.
Mataku menjelajahi setiap sudut ruangan
dan menemukan lemari yang berisi pakaian-pakaian mahal. Seluruh pakaianku
benar-benar sama sekali tak layak di sebut ‘pakaian’
jika aku membandingkannya dengan deretan koleksi pakaian mewah dan bermerek di
lemari ini. Sepertiga dari isi lemari penuh oleh setelan jas dan sepatu-sepatu
mengilat, sementara sisanya tergantung berpasang-pasang woman’s suit yang didominasi oleh rok dan kemeja yang berdesain menarik.
Di bagian atas, ada rak yang terisi berbagai macam sepatu high heels dengan tinggi dan warna beragam.
Setelah melihat-lihat dengan cepat,
akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah kemeja satin berlengan pendek dengan kerah
tinggi yang memiliki renda-renda kecil di bagian dada dan rok selutut berwarna biru
cerah. Namun ketika saatnya melepas pakaian tak layakku, aku kembali ragu. Kamar
mandi ini sangat luas dan aku merasa tidak nyaman dengan kesunyian yang
mencekam. Ada beberapa sekat yang membatasi bathup, westafel dan shower. Namun
tetap saja semuanya terbuat dari kaca yang tembus pandang, memungkinkan siapapun—atau
apapun—bisa melihat ke ujung ruangan dengan jelas.
Satu hal yang baru kusadari setelah hampir
sepuluh menit berada di kamar mandi ini yaitu, begitu banyak kaca yang terpasang
pada dinding-dinding ruangan. Mulai dari berbentuk persegi, oval bahkan penuh
ukiran bergaya Versailles. Bagian
dalam lemari pakaian ini seluruhnya terbuat dari kaca, membuatku bisa melihat
jelas pantulan tubuhku yang kelihatan tidak
menarik. Dan yah, sebenarnya aku bisa saja berganti pakaian di dalam lemari—mengingat
betapa besarnya lemari itu—namun akhirnya aku tetap melepas satu persatu pakaianku
dan menggantinya dengan yang baru secepat kilat.
Aku hampir menutup pintu lemari ketika
kusadari ada sebuah panel di bagian dalam pintu itu dan membukanya hati-hati. Kemudian
sebuah kotak berbentuk persegi panjang muncul perlahan, menampilkan perlengkapan
make up dengan berpuluh-puluh gradasi warna yang memukau. Blush on, eye shadow, lipstick, eyeliner dan masih banyak lagi, tersusun
rapi dan sempurna. Di atas kotak persegi itu, ada sebuah cermin yang memiliki perbesaran
otomatis, sehingga penggunanya bisa merias wajah dengan nyaman tanpa perlu mendekatkan
wajah ke cermin.
Kupandangi perlengkapan make up itu dengan
terpesona. Rumor yang mengatakan bahwa Lee Donghae memanjakan setiap wanita
ternyata benar. Dia bahkan memperhatikan detail seperti ini, membuat wanita
bertekuk lutut di hadapannya.
Well, teknisnya aku harus meminta izin
untuk menggunakan peralatan make-up ini, namun aku berani bertaruh bahwa Donghae
akan menyuruhku balik lagi untuk merias wajah karena aku memang tidak
mengenakan apapun selain lipgloss tipis dan eyeliner. Jadi, dalam sepuluh menit
berikutnya, aku tenggelam dalam usaha mempercantik diri..
***
“Lumayan.” Komentar Lee Donghae ketika
melihatku keluar dari kamar mandinya.
Aku mencelos dalam hati. Seluruh upayaku
dalam sepuluh menit hanya bernilai ‘lumayan’?
“Ngomong-ngomong, aku suka warna eyeshadow mu. Tapi akan lebih menarik
jika kau mengambil warna merah muda agar kau menghilangkan kesan monokromatis—biru
cerah dari atas hingga bawah.”
Donghae benar. Aku tidak sadar bahwa aku
telah berpenampilan monokrom dengan memilih semua warna biru yang kusukai. Tapi
semuanya sudah terlanjur. Lagipula Donghae juga tidak memintaku untuk
menggantinya, bukan?
“Aku sudah membaca resume dirimu, Miss Cardia.” Ujar Donghae setelah berdeham satu
kali, meminta perhatianku yang berkelana. “Latar belakang pendidikanmu sangat
menarik perhatianku. Disini tertulis kau lulusan terbaik Teknik Komputer, Sarjana
Sastra Jepang, serta memahami bahasa asing lain seperti Korea, Perancis dan Arab.
Mendapat sertifikasi Excellent dalam penguasaan
bahasa Jerman dan memiliki kualifikasi sebagai penerjemah andal dari Diplomat
Amerika. Dalam kolom Interests, kau
menulis bahwa kau tertarik dengan dunia sastra, sejarah, jurnalistik dan musik.
Harus ku akui, aku sangat terkesan, Miss Cardia.”
Penjelasan Donghae yang penuh rasa kagum
itu mau tak mau membuat senyumku terukir. Aku tak sanggup membalas tatapannya
yang berbinar dan lebih memilih menatap lantai granit yang dingin.
“Tapi.. aku tidak menilai seseorang dari
sisi akademisnya saja. Aku tahu bahwa kepintaranmu itu sudah terbukti dengan
adanya sertifikat-sertifikat ini. Namun, kita harus menghadapi kenyataan, Miss Cardia. Seberapa pun tingginya pendidikan yang kau raih, tetap saja perananmu
dalam dunia nyata lebih penting. Aku penasaran, mengapa dengan semua kemampuan
yang kau miliki, kau tidak mengambil pekerjaan seperti penerjemah?”
Kurasakan kedua mata Donghae menghujamku, meminta
penjelasan yang memang tidak pernah kutulis dalam CV yang kuberikan. Aku
menggigit lidah dan berjuang menampilkan ekspresi datar dan menyembunyikan raut
gelisah yang biasanya selalu kupasang beberapa minggu terakhir ini. Pikiranku mengabur
jauh menuju laci rumahku yang sudah usang, dipenuhi lubang-lubang kecil hasil
gigitan rayap. Laci mengenaskan itu berisi sesuatu yang mengubah hidupku—memaksaku
mengambil jalan pintas untuk menjadi seorang sekretaris pribadi Lee Donghae
yang kaya raya—yaitu tumpukan surat hutang piutang yang mencapai angka tiga
ratus lima puluh juta. Jumlah hutang itu belum termasuk untuk menebus rumah dan
aset-aset lain, yang jika di total akan mencapai angka dua miliar. Tapi aku
hanya harus membayar hutang tiga ratus lima puluh juta itu, atau keluargaku
dalam bahaya.
“Sebenarnya aku juga bekerja sebagai
penerjemah lepas—”
“Tapi kau tidak menuliskannya disini.” Sela
Donghae cepat. Jemarinya yang panjang menunjuk ke arah CV ku.
“Benar,” jawabku pelan. “Aku pikir pekerjaan
itu tidak begitu menarik untuk ditulis.”
“Apa yang kau terjemahkan, Miss Cardia?”
“Err.. banyak. Seperti dokumen, surat-surat
dan kadang aku diminta untuk menerjemahkan tamu penting.”
Donghae mengangguk sekilas dan langsung
bertanya lagi. “Baiklah, kalau begitu kenapa kau tidak mengambil pekerjaan
seperti penerjemah di penerbitan? Melihat kau lulusan sastra dan memiliki minat
dalam dunia jurnalistik, kau pasti ingin bekerja disitu, bukan? Jangan katakan bahwa
kau tidak memiliki kualifikasi, Miss Cardia. Sebab kemampuanmu pasti dicari-cari
banyak perusahaan penerbitan.”
Perlahan keringat mulai menetes di
punggungku. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab bahwa gaji seorang penerjemah sangat
kecil dibandingkan bekerja di perusahaannya?
“Tadinya aku memang berniat begitu..
tetapi kemudian aku berpikir untuk mencoba pekerjaan lain sebelum menjadi seorang
penerjemah tetap. Aku bermaksud melakukan pekerjaan itu ketika usiaku cukup tua
untuk berhenti dari segala aktifitas yang menuntut energi dan menikmati pekerjaan
itu di masa tuaku.”
Kali ini hening cukup lama. Aku
memberanikan diri menatap Donghae yang terdiam, sedang melakukan pertimbangan
atas kebohongan samarku yang tak terdeteksi barusan. Well, bukan sepenuhnya
bohong, karena aku memang berniat melakukan pekerjaan penerjemah buku ketika aku
selesai melaksanakan tanggung jawabku untuk membayar semua hutang—dan aku cukup
yakin aku baru akan sanggup membayar semuanya ketika umurku memasuki masa tua.
“Kedengarannya cukup logis.” Ujar Donghae
akhirnya. Diam-diam aku menghela napas lega dan bersyukur ia tidak bertanya
apapun lagi.
“Baiklah, Miss Cardia, kita lihat seperti
apa kemampuanmu menjadi sekretarisku. Persiapkan dirimu dengan baik sebab kita
akan menemui salah seorang klien penting.”
Aku mengangguk bersemangat dan berjalan
keluar, menuju meja kerja baruku dan mengambil beberapa perlengkapan. Ada
tumpukan buku dan sebuah notes kecil yang berisi jadwal Donghae hingga seminggu
kedepan—tadinya notes ini milik sekretaris yang terakhir kali dipecat Donghae—dan
pukul sepuluh pagi ini, Donghae memiliki sebuah janji dengan Anne J. Loombergh,
“wanita Skandinavia yang angkuh”. Well, setidaknya itulah yang tertulis di
situ.
Kubuka satu persatu lembaran notes itu dan
keningku tidak bisa berhenti berkerut. Bukan hanya “Wanita Skandinavia yang angkuh”,
tetapi juga ada catatan kecil seperti “Alice yang menjijikan” tepat di sebelah
nama Alice McReed dan “Si Dada Palsu” persis pada nama Jennifer C. Houston. Julukan
yang paling parah adalah milik seorang pria yang bernama Marven Dallagh dengan highlight kuning menyala dan sebuah kalimat
tersusun diatas namanya; “Tua Bangka-mesum-cabul-tidak tahu diri”.
Bukan Cuma penasaran tentang julukan-julukan
itu, aku juga mendapati bahwa lebih dari separuh jadwal temu yang ada didalam
notes itu mengacu pada wanita. Marven Dallagh sepertinya yang paling sering
muncul diantara pria-pria lain seperti Alex Kennedy dan Kikuchi Takeshi. Namun ketika
sedang mengamati rasio perbandingan kemunculan beberapa nama itu, telepon
berdering keras. Pasti dari Donghae.
“Siapkan mobil,” ujarnya singkat dan tanpa
repot-repot menjawab salamku. Dalam hitungan detik, segera kuhubungi nomor
supir yang berada di bagian belakang notes dan memintanya untuk bersiap.
“Kau tidak memerlukan tas, Miss Cardia. Cukup
bawa notesmu saja.” Perintah Donghae ketika keluar dari ruangannya.
Buru-buru kuraih notes dan kuletakkan
tasku di dalam laci meja, lalu mengekori Donghae menuju lift. Bosku mengambil
posisi di depanku, membuatku terpaksa berdiri di belakangnya dan menyaksikan punggungnya
yang kokoh. Baru kusadari bahwa Donghae sudah mengganti jasnya dengan warna cokelat
muda. Dan.. parfumnya juga berbeda. Apakah karena ia akan menemui seorang
wanita?
Jari-jari Donghae yang panjang menyisir
rambutnya yang tertata rapi, membuatnya menjadi sedikit berantakan dengan kesan
seksi. Aku hampir saja tak bisa berhenti memandanginya ketika akhirnya
kesunyian kami terpecah oleh kalimatnya.
“Kau mungkin belum tahu, Miss Cardia. Tapi Anne
adalah salah satu klien penting dan aku tidak ingin kau membuat kekacauan
apapun.” Tegasnya masih memunggungiku.
Well,
apakah dalam pandangannya aku adalah pengacau?
“Dan,” sambungnya lagi. “Aku ingin kau
memesan sebuah kamar di hotel Imperium Palace setengah jam setelah kita tiba kesana.”
Kamar hotel?
“Kenapa?” tanyaku tanpa bisa kucegah.
Aku bisa merasakan nada keras dalam
jawaban Donghae. “Sudah kubilang aku tidak suka pertanyaan ‘kenapa’!” bentaknya
kesal. “Apa kau bermaksud mempertanyakan otoritasku, Miss Cardia?!”
Seketika tubuhku mengerut dan menjawab
dengan suara mencicit. “Ti—tidak, Sir. Maafkan saya.”
“Aku tidak keberatan kau bertanya, tetapi
aku benci jika kau terus menerus bertanya ‘kenapa’. Bukan hakmu untuk
mempertanyakan apa yang kuperintahkan padamu. Apa kau mengerti?” serunya lagi. Kali
ini Donghae mengatakannya persis di hadapanku, menatapku bak seekor serigala
yang mengancam domba lemah. Aku tidak heran kalau ternyata ia juga memiliki taring.
“Ya, Sir.” Erangku lemah.
Mata Donghae menyipit memandangku, namun
setelahnya ia berbalik, berdiri dengan aura kekesalan yang membuatku semakin mengecil
di belakangnya. Pelajaran pertama hari ini: Jangan pernah ucapkan kata-kata
KENAPA.
Roger.
Perjalanan menuju Hotel Imperium Palace
tidak memakan waktu lama. Hanya butuh lima belas menit karena kemacetan yang
biasa terjadi di jam-jam seperti ini. Berulang kali kulirik Donghae dengan
perasaan takut. Bahu pria itu masih mengejang kaku dan telinganya merah padam,
membuatku semakin gemetaran. Apakah ia masih marah padaku?
“Bacakan jadwalku hari ini,” ujar Donghae
tiba-tiba, sementara matanya masih menatap jalanan.
“Err… anda punya janji makan siang dengan
Mr. Marven Dallagh pada pukul satu, Sir. Lalu pada pukul tiga seperempat, ada
sebuah rapat dengan perwakilan Imaginary Corporation yang membahas tentang ekuivalen
saham perusahaan.” Kubaca catatan yang ditinggalkan sekretaris sebelumnya
dengan jelas dan cepat sambil melirik Donghae sesekali. Wajahnya masih saja datar
dan dingin. Baru ketika aku selesai berbicara, Donghae berkomentar dengan kedua
tangannya pada pelipis.
“Mundurkan pertemuan dengan Marven. Oh,
tidak. Dia benci jika harus menungguku. Tapi, aku tidak mungkin bisa selesai
pada pukul satu!” gumamnya kesal. Kemudian Donghae melirikku. “Gantikan aku,
Miss Cardia. Paling tidak untuk satu jam. Kau cukup menemani Marven makan siang.
Dan kalau bisa gerai saja rambutmu.”
Aku tahu wajahku berkerut bingung, sebab
aku sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Donghae.
Ia mendesah satu kali dan berbicara dengan
nada panjang. “Aku ada..err..sebuah urusan dengan Anne dan tidak akan bisa
tepat waktu untuk menemui Marven. Jadi, aku mau kau menggantikanku untuk
menemani pria tua itu makan siang. Katakan padanya aku punya urusan mendadak
dan akan terlambat atau dia akan kesal dan mengancam pembatalan kontrak. Kau
mengerti?”
“Tapi—” Aku buru-buru menggigit lidahku
sebelum kelepasan bertanya ‘kenapa aku
harus menggerai rambutku?’ dan menggantinya dengan, “apakah aku harus
menggerai rambutku?”
“Benar.” Jawab Donghae tegas. Bisa kulihat
sudut bibirnya bergetar menahan senyum. Tampaknya ia menyadari pertanyaanku
yang sudah kuralat. “Marven, pria itu, meskipun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi
dia tetap seorang Casanova. Semakin
menarik dirimu dihadapannya, semakin mudah baginya untuk melupakan
keterlambatanku.”
Sial.
Ternyata dia memperalatku.
“Ya, Sir.” Jawabku enggan, dan Donghae
mengangguk puas.
Sejurus kemudian mobil berbelok dan
berhenti perlahan. Dengan cekatan, kubuka pintu Donghae dan membiarkannya
berjalan lebih dulu. Pria itu melangkah dengan santai, tidak mempedulikan
bisik-bisik yang menjalar ke seluruh lobi hotel. Tentu tidak ada faktor lain
yang menyebabkan keributan diantara semua wanita di ruangan ini selain karena
ketampanannya yang mengerikan.
“Sebelah sini, Sir. Miss Anne J. Loombergh sudah
menunggu anda.” Ujar salah seorang pelayan Hotel dan menunjukkan arah pada
kami.
Baru sekitar lima langkah kami berjalan,
tiba-tiba saja terdengar lengkingan dari depanku.
“LEE DONGHAE!” jerit seorang wanita. Melihat
gelagatnya, aku cukup yakin dialah Anne J. Loombergh alias “Wanita Skandinavia
yang angkuh”.
“TEGA SEKALI KAU MENOLAK TELEPONKU?” serunya
penuh amarah, meskipun kedua tangannya merayapi wajah Donghae dengan tak
sabaran.
Aku tak tahu ekspresi apa yang di
tunjukkan Donghae, namun begitu melihat wajah Anne yang seakan terbang ke
langit, bisa dipastikan pria itu sedang tersenyum mempesona.
“Aku disini, Anne sayang. Jadi kenapa
harus repot-repot berbicara melalui telepon?” bisik Donghae merayu. Aku berani
bersumpah bahwa Anne nyaris terlonjak mendengar jawabannya.
“Aku benci jika tak mendengar suaramu
bahkan hanya sehari saja.” Rengek Anne manja. Tubuhnya kini telah bersandar di
dada Donghae.
“Anne sayang, kau tahu jadwalku sangat
padat, bukan? Aku hampir tak punya waktu untuk makan. Tapi aku menemuimu, lihat?”
Mereka bertatapan sejenak dan tanpa mengucapkan
apapun, Anne meraih wajah Donghae, menempelkan bibirnya dengan cepat pada bibir
Donghae. Oke, mereka berciuman atau tidak, sebenarnya bukan urusanku. Tapi
bisakah wanita itu merendahkan desahannya?
“Miss Cardia.” Geram Donghae dari sela-sela
ciumannya dengan wanita itu.
Aku terlonjak dan berpikir selama sedetik
sebelum akhirnya menyadari arti dari panggilan Donghae. “A—akan kupesan
sekarang, Sir.” Jawabku terbata-bata dan berjalan menuju resepsionis secepat
mungkin.
Lima menit kemudian aku masih menemukan mereka
masih sibuk berciuman dan semakin intim setiap detiknya. Anne bahkan sudah melepaskan
dua kancing kemeja Donghae dan tidak sadar akan kehadiranku. Tetapi ketika aku berdebat
dengan diriku mengenai bagaimana caranya menginterupsi ciuman mereka, Donghae mendorong
wajah Anne menjauh dan menjentikkan jarinya padaku.
“Berikan kuncinya padaku, Miss Cardia.” Ujarnya
tenang. Hebat sekali, melihat betapa lama berciuman seperti itu, tetap saja Donghae
tidak kehabisan napas. Padahal Anne kelihatan sudah tak lagi memerlukan
oksigen.
“Siapa dia?” seru Anne sambil cemberut
menatapku. Aku bahkan baru pertama kali bertemu dengannya dan dia sudah memancarkan
aura permusuhan?
“Sekretaris baruku.” Jawab Donghae datar.
“Lagi? Oh, Donghae, kenapa kau tidak
mempekerjakan sekretaris lelaki saja, sih? Seperti Mr. Wilfren?”
“Itu terserah aku, Anne.” Kata Donghae
ketus dan wajah Anne langsung merah padam. Kupikir wanita itu akan meledak
marah, tetapi ia malah memeluk Donghae erat-erat.
“Oh, maafkan aku, Donghae. Aku benar-benar
lupa kalau kau tidak suka aku menyinggungnya. Maafkan aku..” pintanya dengan ketakutan
tersirat jelas.
Untuk sejenak Donghae menarik napas
panjang dan balas memeluk wanita itu. “Tenanglah, sayang. Ayo, kita naik saja. Aku
tidak ingin membuang-buang waktu lagi.” Bisik Donghae penuh godaan dan seketika
itu juga, Anne kembali semringah.
“I
see it, baby.” Bisiknya tak kalah menggoda.
Mereka berjalan melewatiku yang membeku di
ujung pintu. Namun Donghae memutar kepalanya menatapku, “Pastikan kau tiba di
restoran itu pukul satu. Dan jaga sikapmu, Miss Cardia.” Katanya dengan
penekanan pada kalimat terakhir.
“Ya, Sir.” Jawabku sambil membungkuk
kecil.
Ini hari pertamaku bekerja dan aku harus
melacurkan diri? Damn it.
***
Kuterlusuri koridor panjang restoran bintang
lima yang terkenal di seantero kota, Crafty
Shell dengan langkah gugup. Rambutku sudah tergerai indah, bergelombang dan
berkilau di timpa cahaya matahari yang samar-samar menyelinap dari ventilasi di
kanan-kiri dinding. Sementara kakiku mulai terasa tak nyaman karena haknya
kelewat tinggi; lima belas sentimeter! Dan, Demi Tuhan, apakah Mr. Dallagh sangat
senang dengan ketinggian, sampai-sampai ia memesan ruangan khusus di lantai dua
belas? Aku tidak akan keberatan dengan kesukaannya itu kalau saja dia memilih
restoran yang memiliki lift yang menyala—bukannya harus menaiki tangga darurat seperti
ini!
Segala macam sumpah serapah berhamburan
dari benakku dan keringat sebesar biji jagung mulai menetes dari dahiku, yang
berarti akan ada toilet session
sebelum bertemu Mr. Dallagh. Tapi siapa yang peduli kalau pria itu bahkan harus
menunggu sleeping session? Sepertinya
itu setimpal dengan perjalanan melewati dua belas tingkat anak tangga ini.
Kakiku langsung berbelok di sudut ruangan
yang bertuliskan “toilet” dan buru-buru merapikan riasanku secepat kilat. Kemejaku
tidak basah sedikitpun dan rokku kelihatan oke. Kecuali rambutku yang sedikit
berantakan, yang lainnya baik-baik saja. Baiklah, saatnya untuk menemui “Tua
Bangka-mesum-cabul-tidak tahu diri” itu.
“Kau terlambat tiga menit.” Ujar lelaki
tua itu sambil memunggungiku. Meski rambutnya seputih kertas, tapi sama sekali
tak ada tanda bahwa ia lelaki tua
jika mendengar betapa bersemangatnya ia berbicara.
“Maafkan aku, Sir.” Jawabku cemas.
Tampaknya ia terkejut ketika mendengarku
sebab ia langsung membalikkan tubuhnya dan menatapku heran. “Dimana Donghae?”
tanyanya bingung.
“Ah, Mr. Lee Donghae memiliki urusan yang
tidak bisa ditunda, Sir. Jadi, dia memintaku untuk menggantikannya sebentar.” Kataku
berusaha tak terdengar gugup.
Mr. Dallagh menyeruput minumannya dan mendecak.
“Kalau maksudmu adalah urusan dengan wanita, aku yakin dia tidak akan datang
paling tidak dua jam lagi.” Gerutunya kesal. “Dan, omong-omong, kau adalah..?”
“Ah, saya sekretaris baru Mr. Lee Donghae,
Sir. Nama saya Youva Cardia. Maafkan saya yang lupa memperkenalkan diri.” Ujarku
malu dan membungkukkan badan meminta maaf.
“Aku Marven Dallagh. Senang bertemu
denganmu, Miss Cardia.” Ucapnya sambil berdiri lalu menjabat tanganku erat.
“Sejak kapan kau menjadi sekretaris
barunya, Miss Cardia? Seingatku tiga hari yang lalu aku masih menemui Rebecca
untuk membuat janji temu.” Tanya Mr. Dallagh setelah menyuruhku duduk dan menawarkanku
beberapa potong roti tawar Perancis sebelum makanan tiba.
“Ini hari pertamaku bekerja, Sir.”
“Benarkah? Dan Donghae memerintahkanmu
untuk menggantikannya? Well, harus kuakui, Miss Cardia, kau berbeda sekali
dengan sekretaris-sekretaris Donghae yang sebelumnya.” Mr. Dallagh menghirup wine di tangannya dan memandangku dari
atas hingga ke bawah, seakan tak mempedulikan wajahku yang keberatan dipandang
seperti itu.
“Aku mengenal Rebecca, Valeria, Angeline
dan bahkan Amy! Tetapi semuanya sama di mataku. Mereka murahan. Gampang terbujuk
dan patuh. Dan Donghae mengira bahwa aku menyukai wanita seperti itu. Well, aku
memang suka wanita yang patuh,” ia terkekeh sebentar karena ucapannya sendiri, lalu
melanjutkan lagi. “Tapi dia tidak mengetahui bahwa aku memperlakukan seorang
wanita sesuai dengan yang semestinya. Pelacur tetap saja pelacur. Benar begitu,
Miss Cardia?”
Aku bergerak-gerak tidak nyaman di
kursiku. Apakah maksudnya ia sedang mengomentari penampilanku yang murahan? Atau
ia malah sedang menyebutku pelacur?
“Beritahu aku, Miss Cardia yang baik. Seperti
apa Donghae di matamu? Aku tahu kau baru bekerja hari ini. Tapi berikan aku beberapa
kata saja tentang dirinya dalam kurun waktu beberapa jam belakangan.”
Dan sekarang ia memaksaku untuk
menceritakan sifat bosku di belakangnya? Apakah ini semacam konspirasi—untuk mencari
tahu sifat asli sekretaris Donghae?
“Jangan khawatir, sayangku. Aku tidak akan
pernah mengatakan apapun pada Donghae tentang ini. Ayolah, beritahu aku sedikit
saja.” bujuk Mr. Dallagh ketika melihat ke engganan di wajahku.
“Err.. Mr. Lee Donghae, dia.. cukup tegas dan disiplin..
dan.. err.. bisa sangat keras.” Jawabku nyaris berupa bisikan.
“Dan dia tampan sekali, bukan?”
“Err.. sepertinya begitu.” Jawabku
mengangkat bahu. Dan di luar dugaan, Mr. Dallagh malah tertawa terbahak-bahak
mendengar seluruh pengakuanku yang tolol itu. Meja didepan kami sampai bergetar
karena tawanya yang membahana.
“Apakah kau meragukan penilaianmu atau
meragukan perkataanku?” tanyanya diselingi tawa yang berderai hebat.
“Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan
penilaianku.” Bisikku jujur.
“Jadi menurutmu Donghae tidak cukup tampan
bagimu?”
Aku memutar otak sebelum menjawab
pertanyaan Mr. Dallagh barusan. Kalau aku menjawab ‘ya’, tentu saja itu artinya aku merendahkan
bosku sendiri, bukan? “Menurutku Mr. Lee cukup tampan, Sir. Tapi bagiku
ketampanan tidak berarti segalanya.”
Kalau saja Mr. Dallagh tidak segera
meletakkan gelasnya, aku yakin gelas itu akan jatuh dan hancur berkeping-keping
karena untuk kedua kalinya dalam beberapa menit, Mr. Dallagh kembali tertawa tak
terkendali. “Baru kali ini aku mendengar seorang wanita tidak memuja Lee
Donghae karena tampangnya. Seorang wanita!” ujarnya histeris lalu kembali
tertawa.
Dan lima menit setelahnya, Mr. Dallagh masih memegangi perutnya dan aku hampir menghubungi nomor Rumah Sakit terdekat karena
bisa saja kotak tertawanya rusak atau
apalah. Namun sepertinya lelaki tua itu sadar akan tingkahnya dan mencoba
menghentikan tawanya dengan susah payah.
“Kau harus memaafkan aku, Miss Cardia. Sebab
tidak pernah sekalipun dalam seumur hidupku aku mendengar seorang wanita tidak
tertarik pada wajahnya. Bahkan putriku sendiri tergila-gila pada Lee Donghae.” Jelas
Mr. Dallagh mengangkat bahu.
Pelayan datang dan menyajikan dua piring
besar bistik tenderloin setengah matang dengan daun mint diatasnya,
menginterupsi percakapan kami sejenak. Ketika akhirnya pelayan itu pergi, Mr. Dallagh mempersilahkanku untuk menikmati bistik seharga seribu lima ratus dollar
itu.
“Tapi, Sir, bukan berarti aku membencinya.
Mr.Lee Donghae sangat baik dan hal itu yang membuatnya semakin di sukai,” ujarku
membuka percakapan. Sebenarnya aku takut jika Mr. Dallagh akan mengira bahwa aku
membenci bosku sendiri.
“Dari mana kau berpikir bahwa Donghae
adalah pria baik?” tanyanya setengah tersenyum.
“Well, aku harus jujur padamu, Sir. Mr.
Lee mau menerimaku bekerja menjadi sekretaris pribadinya meskipun aku tidak
punya latar belakang pekerjaan yang mengesankan. Malah bisa dibilang aku sama
sekali tidak pernah memiliki pekerjaan lain selain menjadi penerjemah lepas,
Sir. Tetapi dia mau memberiku kesempatan.”
Mr. Dallagh meletakkan pisau dan garpunya lalu
menyeka bibirnya dengan serbet. “Sayang sekali, Miss Cardia. Alasan yang kau
berikan barusan sama sekali tidak bisa membuktikan bahwa Donghae adalah pria
baik. Kau harus tahu Lee Donghae adalah seorang pebisnis sejati. Dia tidak
main-main membuat keputusannya, sayangku. Apalagi untuk mempekerjakan seorang sekretaris
pribadi. Aku tidak mengatakan bahwa ia lelaki jahat. Tapi, perbedaan antara ‘baik
dan jahat’ itu nyata adanya, dan kau harus jeli untuk bisa membedakan keduanya.”
Tandas pria itu sambil tersenyum.
“Jadi dengan apa aku harus mengukur sebuah
kebaikan, Sir?” tanyaku bingung.
Ia kembali mengangkat bahunya dan
menjawab, “Aku tidak tahu, Miss Cardia. Aku tidak memahami dunia matematika. Well,
karena aku juga seorang pebisnis, yang bisa kukatakan adalah mengandalkan
intuisiku.”
“Aku cukup yakin Mr. Lee adalah pria
baik. Paling tidak sebagai bosku.” Kataku ikut tersenyum.
“Dan aku? Bagaimana menurutmu? Apakah aku
cukup baik sebagai teman makan siangmu, Miss Cardia?”
Aku terdiam dan memandangi lelaki tua itu
cukup lama. Wajahnya yang dipenuhi guratan-guratan halus itu tampak sepuluh
tahun lebih muda dengan senyuman tanpa henti. Binar matanya jenaka, seakan
sedang menggoda dunia. Dan ada sesuatu
dalam dirinya yang membuatku seolah
sedang duduk dan mengobrol bersama ayahku.
“Tentu saja anda juga orang baik, Mr. Dallagh. Intuisiku biasanya tepat.” Jawabku lalu tertawa bersamanya.
“Wah, aku semakin menyukaimu, Miss Cardia.”
Ujarnya terlihat senang. Dan ketika tangannya naik ke atas, memegang segelas
wine, ia berseru, “Untuk kesehatan Lee Donghae dan untuk kebahagiaan Youva
Cardia. Cheers.”
“Dan untuk kebaikan Mr. Dallagh, cheers.” Tambahku
dan Mr. Dallagh tersenyum lebih lebar.
Siapa bilang pria tua yang menyenangkan itu
“tua Bangka-mesum-cabul-tidak tahu diri”?
***
suka banget.....:D
BalasHapusbahasanya enak dibaca
Makasihh yaa :'))))
HapusKereeeen.
BalasHapusAyayayyy gomawo hehee
HapusCheonma ^^
HapusBaru nemu blog u.. izin obrak abrik
BalasHapusFf u bahasanya bagus.ceritanya juga menarik.cuma syg masih kurang terkenal,coba dipromosiin.
Semangat untuk buat karya2 yg bagus
wah makasih ya udh mampir :)
Hapusada rencana sih tapi nanti deh tunggu cerita ini selesai dulu hehe
Bahasanya enak banget dibaca :D ceritanya juga menarik hehee.. Oke dehh lngsng capcus yaa.. Izin next fightingg
BalasHapusceritanya menarik, bikin penasaran...
BalasHapusKeren...
BalasHapus