TITLE : 4 Minutes in Memory [2]
Alternative title :
기다리고 있었어요! 봐지? (Kidarigo Isseosseoyo! Bwaji?)
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21/PG-17
CAST :
Lee Dong Hae [ 이동해 ]
Youra Leavanna [ 요우라 리판나 ]
Kim Kyung Dae [ 김경대 ]
Park
Chae Rin [ 박채린 ]
Author :@Aoirin_Sora
NOTE:
Halo semua!
MAAF kalo baru sempat posting FF ini sekarang. trust me, i did my best to post it soon. Oke, sedikit aku kasih tau kalo di chapter ini ceritanya agak mulai rumit karena rencananya aku bakal bikin FF Rendezvous ini berbau 'drama'. Tapi yah.. kita lihat saja nantinya gimana ya ^^" *sendirinya juga ga yakin*
Kritik dan saran? It will be loved! Boleh langsung via e-mail: mycoach.coolaz@gmail.com :)
well, selamat membaca!
With Love,
Aoirin_Sora
Chapter 2
07:05pm
KST
KIM KYUNG DAE menatap
sebuah pigura yang berisi potret seorang laki-laki muda dan seorang remaja
lelaki yang sama-sama tengah tersenyum menghadap sang fotografer. Ekspresi yang
tercetak di wajah keduanya terlihat bahagia, walaupun dia masih bisa mengingat
bahwa dirinya sedang tidak dalam mood
bagus ketika gambar ini diambil. Kyung Dae memperhatikan foto itu sedikit lebih
lama, sambil mengingat-ingat bahwa itu adalah kali terakhir dia berfoto dengan
wajah tersenyum—sebelum akhirnya dia belajar untuk mengendalikan ekspresi di wajahnya—dan
juga terakhir kalinya Kyung Dae berfoto bersama anak remaja itu.
Terdengar ketukan di pintu
dan ketika Kyung Dae memerintahkan untuk masuk, seorang laki-laki dengan
setelan hitam yang mengkilat berdiri persis didepan mejanya. “Sajangnim—Boss, mereka mengatakan bahwa Mikio Ono
sudah tiba dan Donghae-ssi sedang dalam perjalanan kesana.” Anak buahnya berkata
sambil sedikit membungkuk.
Untuk sesaat, Kyung Dae
mencerna informasi itu sembari tetap memperhatikan pigura di tangannya. “Ikuti
dia.” Perintah Kyung Dae singkat. Tidak menunggu lama, laki-laki dihadapannya
langsung mengangguk dan bergegas meninggalkan ruangannya.
Dia tidak tahu apakah
semuanya sudah terlambat atau belum. Tapi Kyung Dae harus tetap mencoba. Kesempatannya
mungkin kecil, tapi dia harus berusaha untuk menyelamatkan semuanya. Dan setelah meletakkan kembali pigura itu kedalam laci
kerjanya, Kyung Dae beralih membuka laptop. Jari-jarinya dengan lihai mengetik
deretan huruf-huruf janggal dan dalam hitungan menit, perhatian Kyung Dae
tenggelam sepenuhnya pada monitor itu.
***
LEE DONGHAE menyelinap diantara
kerumunan orang yang memadati jalanan setelah keluar dari subway—kereta bawah tanah—di Itaewon. Mentari
sudah tampak samar dan cuaca sedang lumayan bagus sehingga dia bisa melihat
titik bulan diantara langit yang dipenuhi polusi. Botol vodka yang tersembunyi
didalam saku mantelnya berguncang pelan seiringan langkahnya yang tergesa-gesa.
Ide untuk pura-pura mabuk memang terdengar bagus. Tapi jika dia menenggak
vodkanya sekarang, dia yakin dia tidak akan bisa tiba di tempat pertemuan itu
tepat waktu.
Matahari sudah tenggelam
sepenuhnya sekarang. Barisan awan yang membingkai senja kini sudah berganti
kelabu, menemani bulan yang mulai mengintip. Lampu-lampu di jalanan satu-persatu
dihidupkan, mencoba menyemarakkan malam di Itaewon yang selalu dipadati
berbagai pengunjung. Donghae berbelok ke kiri, memasuki kawasan restoran dan
rumah makan mewah di Itaewon. Dia berjalan sambil melirik tak kentara ke
berbagai sudut, mencari tanda-tanda akan kehadiran salah satu Yakuza paling
berpengaruh di Jepang.
Setelah mencari hampir
berjam-jam, Donghae menghentikan langkahnya ketika melihat deretan mobil hitam berbaris
didepan sebuah restoran Thailand yang letaknya agak tertutup. Tidak hanya itu, pintu
masuk restoran itu juga di penuhi begitu banyak penjaga yang bertampang galak. Donghae
mendecak kesal dan dia berjalan memutar, menuju pintu belakang restoran Thailand
yang bertingkat dua itu.
Ketika tiba di pintu
belakang, dia bisa mendengar keributan didalam dapur yang sibuk menyiapkan
hidangan. Namun belum lagi bergerak satu langkah, Donghae mendengar suara
decitan ban mobil dari arah depan dan buru-buru dia berjongkok diantara tumbuhan
disekitar sisi bangunan, mengintip tanpa suara.
Mikio Ono.
Lelaki yang mengenakan kacamata
cokelat dan menghisap tembakau di bibirnya itu keluar dari sebuah Limusin dengan
wajah angkuh ketika sebuah karpet merah terbentang dibawah kakinya—yang
dilakukan bawahannya sebelum Mikio Ono menjejakkan langkah ke lantai berpasir. Mikio
Ono, pemimpin Yakuza klan Yamaguchi-gumu ke delapan—cucu dari Kennichi Shinoda,
pemegang kekuasaan tertinggi dunia mafia di Jepang—sebuah organisasi kriminal
tingkat dunia yang memiliki lebih dari seratus ribu anggota dengan basis di
Tokyo itu tidak hanya menguasai industri seks dan perjudian, tetapi juga
narkoba dan perdagangan senjata di Jepang. Pendek kata, Mikio Ono adalah pria
paling berkuasa di Negara Matahari Terbit itu.
Seluruh anak buahnya
berdiri berjejer dan membungkuk Sembilan puluh derajat ketika Mikio Ono berjalan
masuk ke restoran dengan langkah waspada. Meskipun kedua matanya di tutupi kacamata
bergagang tipis, siapapun tahu bahwa Mikio Ono sedang mengamati restoran dengan
tatapan menyelidik sebelum akhirnya masuk ke dalam bangunan berlantai dua itu. Ketika
tiba didalam restoran, dengan cekatan bawahannya menggulung karpet merah tua tadi
dan kembali ke posisi awal, siaga penuh menanti kedatangan seorang tamu lagi.
Donghae kembali berdecak. Dia memandang
puluhan penjaga didepan pintu itu dengan tatapan tidak suka. Sepelan mungkin Donghae
merayap, menjatuhkan tubuhnya ke atas tanah yang dingin dan gelap ketika dia
mendengar para penjaga itu mendekat dan memperhatikan seluruh jalanan agar
terbebas dari orang yang tidak diinginkan,
seperti Donghae.
Dia tidak tahu berapa lama
dia meringkuk sebab sepertinya sudah berjam-jam ketika sebuah mobil berhenti
lagi didepan restoran. Dan Donghae hanya sempat melihat sekilas siapa laki-laki
yang keluar dari kursi penumpang itu—mengingat posisinya yang berdekatan dengan
salah satu penjaga. Tetapi tetap saja dia bisa mengenalinya; Joaquin Guzman Loera atau El Chapo, orang paling diburu seantero dunia.
Segera setelah Joaquin memasuki
restoran, Donghae mengengendap-endap ke ruang dapur yang kelihatan sibuk dan tertekan—karena
di sambangi dua orang penjahat kelas kakap lengkap dengan seluruh penjaga
berseragam yang memiliki pistol di masing-masing saku.
“Konbanwa—Selamat malam,” ucap Donghae dalam bahasa
Jepang dan seluruh orang didapur itu mengalihkan pandangannya ke arah pintu
keluar. “Ore wa Kennichi desu. Kumicho wa doko ni itteiru?—Aku Kennichi. Dimana Kumicho?” (Kumicho: sebutan untuk boss dalam
dunia Yakuza) tambahnya ketika mata mereka membulat penuh tanda tanya. Donghae
tahu mereka tidak bisa mengerti bahasa Jepang dan karena itulah dia harus bersikap
bahwa dia adalah salah satu dari komplotan itu.
Wajah-wajah memandanginya
dengan gelisah dan ketika Donghae mulai menyisipkan tangannya kedalam mantel—bersikap
seolah-olah hendak mengambil senjata, mereka langsung mengangkat tangan dan
menggeleng lalu menunjuk pintu dapur. Tentunya mereka tidak ingin ada
keributan.
Donghae melangkah
lebar-lebar dan segera keluar dari dapur, melewati sebuah koridor yang sepi. Dia
terus berjalan tanpa menimbulkan suara dan telinganya mendengarkan dengan
seksama. Tak lama, suara denting piring dan sendok yang beradu samar-samar tertangkap
oleh pendengarannya. Donghae mengambil sebuah nampan yang sedang dibawa seorang
pelayan restoran dan meletakkan botol vodkanya diatas nampan itu. Tetapi kemudian
dia menyadari bahwa dia masih mengenakan mantel rombeng yang akan membuatnya ketahuan
jika bertemu dengan salah seorang penjaga. Jadi Donghae langsung melepas
mantelnya dan menyembunyikan benda itu dibawah meja. Tidak akan sempat baginya
untuk melakukan penyamaran seperti biasa karena dia tidak punya waktu lebih
lama lagi.
“Tunggu.” Ujar suara
dibelakang Donghae.
Dia berbalik dan menemukan
salah seorang anggota Yakuza menatapnya garang. “Kami tidak memesan itu.”
bentaknya kasar.
“Maaf, ini untuk bosku.” Kata
Donghae dalam bahasa Korea dan menggeleng sambil mengucapkan “Bossu,” yang merujuk kepada pemilik
restoran. Pria berbadan tegap itu sepertinya mengerti apa yang Donghae
isyaratkan dan dia kemudian melepaskan Donghae.
Dengan sedikit lega, Donghae
menaiki tangga sementara suara percakapan semakin terdengar. Dia tidak berani untuk
melewati meja yang di kelilingi penjaga yang banyaknya dua kali lipat daripada
diluar. Alih-alih menuju ke sumber suara, Donghae menghentikan langkahnya tepat
tiga meja sebelum tempat dimana Mikio dan Joaquin bercakap-cakap dan duduk membaringkan
tubuhnya diatas kursi kayu yang keras.
Setidaknya restoran ini
memiliki beberapa keuntungan untuknya. Pertama, seluruh mejanya dibatasi oleh
sekat yang mirip dengan restoran sushi namun bedanya, restoran Thailand ini menyediakan
kursi dengan meja makan berkaki tinggi, sementara restoran sushi hanya
menyiapkan sebuah bantal duduk sebagai alas duduk. Kedua, Donghae bisa
merebahkan tubuhnya diatas kursi yang lebih rendah daripada meja, hingga dia
yakin dia tidak akan ketahuan untuk beberapa saat.
Tetapi kerugiannya cukup
nyata; restoran ini berlantai dua yang sama sekali tidak membantunya untuk
kabur jika ketahuan. Jadi yang Donghae lakukan hanyalah berdoa dan menenggak isi
vodkanya sampai tinggal setengah lalu memercikkan cairan itu ke baju dan ke
atas meja, seolah-olah dia terlalu mabuk untuk mendengar apapun.
“Aku tidak akan ke Korea dengan
sesantai itu jika aku jadi kau,” ujar Mikio Ono dalam bahasa Jepang dan
langsung di terjemahkan oleh bawahannya ke dalam bahasa Inggris. Donghae
tersenyum puas. Dia sama sekali tidak kesulitan untuk mengerti percakapan mereka
sebab dia menguasai kedua bahasa itu.
“Tak kusangka cucu pemimpin
Yakuza yang paling di segani di Jepang memiliki keberanian seperti tikus
kecil.” Jawab Joaquin.
Perlu beberapa saat bagi
Mikio untuk menjawab dan dia mendesis marah ketika Joaquin menyebut dirinya tikus
kecil. “Kepalamu berharga tujuh juta dollar, kau tahu?”
“Aku sedang menunggu
pemerintah menaikkannya hingga mencapai seratus juta.” Jawab Joaquin santai.
“Kau cukup percaya diri.” Balas
Mikio dan Joaquin segera tertawa sinis.
“Kata-kata percaya diri
tidak cukup untukku. Itu sangat merendahkanku.” Kata Joaquin dengan nada tidak
suka.
“Kita sudahi basa-basinya.
Sekarang berikan apa yang kuminta dan aku akan memberikan bayarannya.” Terdengar
suara benda berat diletakkan diatas meja dan detik berikutnya terdengar bunyi ‘klik’. Donghae yakin benda itu adalah
koper.
“Cuma ini?” ucap Joaquin berang.
“Kau memaksaku datang ke Korea untuk menukar barangku hanya dengan satu koper uang?”
“Ini hanya sampel.
Selebihnya akan menyusul begitu aku sudah melihat barangmu,” kata Mikio Ono
tenang.
Sempat hening sejenak
sebelum akhirnya Joaquin bersuara lagi. “Ternyata benar bahwa Orang Jepang itu sangat
perhitungan dan licik. Tapi aku lebih licik lagi darimu. Dan karena itulah aku
hanya membawa sampel kesini.”
Donghae hanya bisa menduga
apa yang sedang terjadi ketika Mikio Ono memerintahkan anak buahnya memeriksa barang itu. Dan suasana berubah tegang
untuk beberapa saat namun sewaktu anak buahnya mengatakan, “Ini asli,” barulah Mikio
Ono berkata, “Ayo, kita selesaikan transaksi ini secepat mungkin. Kau tidak
membawa Interpol bersamamu, kan?”
“Kalau memang Interpol
berada disini, tidak mungkin kita sempat menghabiskan makan malam.” Jawab Joaquin
sedikit tersinggung. “Sebaiknya kau mengambil uangmu dulu. Sebab aku tidak mau
mengikutimu. Kau yang harus ke tempatku.”
Hening lagi.
“Baiklah. Aku akan
menyuruh anak buahku untuk segera mengantarkan uangnya ke lokasi pertemuan kita
begitu aku sudah melihat seluruh kokain
itu.” kata Mikio Ono tegas.
Terdengar deritan kursi
yang bergeser dan cepat-cepat Donghae berakting seakan dia sedang mabuk dan
tertidur di kursi. Dengan jantung berdegup dia mendengar langkah-langkah kaki
mendekat dan dia menelan kegugupannya untuk terakhir kali sebelum benar-benar berakting
mabuk sepenuhnya.
Tepat seperti yang Donghae
pikirkan, langkah-langkah itu terhenti beberapa meter darinya dan sesaat
kemudian Donghae merasakan seseorang menarik lehernya, menampar wajahnya dengan
keras. Masih dengan segenap usahanya untuk berakting mabuk, Donghae
mengejap-ngejapkan matanya dengan mengantuk. Dia melihat salah seorang anak
buah Mikio Ono sedang mencengkram leher kemejanya yang sudah terkena percikan
vodka. Pria itu mendelik dan bertanya apa yang sedang dilakukan Donghae disini.
Tetapi yang dilakukan Donghae hanya tertawa kecil dan cegukan sambil menjaga
matanya setengah terbuka—persis seperti orang mabuk.
Dia tidak bisa melihat Mikio
Ono dengan jelas tetapi dia bisa mendengar laki-laki itu memerintahkan anak
buahnya untuk meninggalkan Donghae yang sedang mabuk dan mengatakan bahwa
mereka harus bergegas.
Dengan kasar tubuhnya di
hempaskan ke lantai dan Donghae mendengar satu persatu suara kaki mereka
menuruni tangga. Dia harus berada disini untuk beberapa saat, sampai mereka
semua benar-benar sudah meninggalkan restoran. Tidak ada pengunjung lain di
restoran ini, jadi Donghae bisa memperkirakan apakah keadaan sudah tenang atau
belum.
Kira-kira sepuluh menit
kemudian, Donghae mulai merangkak. Dia sedikit goyah akibat vodka yang di
tenggaknya tadi—itu sebabnya dia benci jika harus mabuk. Dengan susah payah
Donghae mencapai anak tangga terakhir dan berlari sedikit sempoyongan untuk
mengambil mantel yang di sembunyikannya. Salah seorang pelayan restoran menatap
Donghae dengan mulut menganga dan Donghae menyuruh gadis itu untuk
memberikannya air.
“Cepat!” sergahnya dari
ujung koridor dapur. Gadis itu kembali dan menyodorkan segelas besar air segar
dengan ketakutan. Donghae menghabiskannya dalam hitungan detik dan membasahi
wajahnya dengan sisa air di gelas itu. Langsung saja kepalanya terasa sedikit ringan.
“Gomawo,” ucapnya pelan
dan melesat keluar restoran, diiringi tatapan ketakutan dari orang-orang yang
melihatnya.
Donghae berlari ke arah
stasiun tetapi kemudian memutar langkahnya ke jalan raya. Dia tidak tahu kemana
tujuan mafia-mafia itu dan tidak mungkin dia bisa mengikuti mereka selain
menggunakan mobil. Untung saja dia memutuskan tidak membawa mobilnya karena
kalau tidak, mereka pasti akan menyadari ada seseorang yang sedang membuntuti
mereka—kemanapun mereka pergi.
Sebuah taksi melintas didepannya
dan Donghae langsung menjulurkan tangan untuk menghentikan mobil itu. “Jalan
saja terus,” ujar Donghae cepat-cepat ketika dia duduk di kursi penumpang. Tak
lama kemudian, Donghae melihat sebuah limusin yang berbelok ke jalan Antique Furniture Sreet dan segera dia
memerintahkan sopir untuk mengikuti limusin itu.
Dia menerka-nerka kemana Joaquin
membawa Mikio Ono dan dirinya karena
mereka sudah berjalan begitu lama. Donghae beranggapan bahwa Joaquin ingin
menyesatkan siapapun yang membuntuti mereka sebab kali ini mereka sudah
memasuki kawasan Dongdaemun. Jalanan di sekitar Dongdaemun Market masih
dipadati beratus-ratus orang yang berbelanja disana. Namun limusin didepannya
tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dan mereka terus melaju hingga mencapai
Namdaemun Market.
Dan limusin berbelok
menuju Yangji di Nangye-ro 21-gil. Kawasan ini terlihat sepi karena toko-toko
sudah tutup dan hanya beberapa orang yang terlihat di jalanan. Taksi yang
ditumpangi Donghae berhenti karena lampu merah berpendar di atas mereka. Dan
pada saat itulah dia melihat kelebatan seseorang yang sedang berlari begitu
cepat dan membelok ke menuju kawasan belakang pasar Namdaemun yang sepi. Donghae
cukup yakin seseorang yang berlari itu adalah Youra dan tiba-tiba saja dia
teringat bahwa Youra mengatakan bahwa dia memiliki perjamuan makan malam dengan
sunbaenya. Namun pertanyaannya adalah apa yang sedang terjadi padanya?
Jawaban Donghae terungkap
ketika dia melihat beberapa orang laki-laki separuh mabuk berlari mengikuti langkah
Youra yang membelok ke sudut jalan. Jantung Donghae berhenti untuk sedetik
sementara otaknya mencerna sebuah kalimat; Youra dalam bahaya.
Sekarang semuanya terasa
membingungkan. Apa yang harus dia lakukan? Limusin di depannya sudah kembali
melaju sebab lampu sudah berubah menjadi hijau dan Donghae menggigit bibirnya
dengan gelisah. Dia bisa saja mengacuhkan Youra tetapi dia tidak bisa
mengabaikan fakta bahwa gadis itu baru sebulan di Korea, tanpa mengenal jalanan
dengan baik dan juga sedang dikejar beberapa orang laki-laki yang kelihatannya berniat buruk.
“Sial.” Umpat Donghae, matanya
berpindah-pindah antara mobil didepannya dan sudut jalan yang sepi. Mikio Ono
atau Youra? Tetapi dia tidak punya banyak waktu lagi untuk sekedar memikirkan
konsekuesi dari pilihannya.
“Ahjussi, berhenti
disini!” teriak Donghae ketika sopir mulai menginjak pedal gas. Donghae
memberikan sejumlah uang dan tanpa menunggu kembalian, dia melesat keluar,
berlari dengan kecepatan penuh menuju sudut jalan dimana terakhir kali dia melihat
Youra berbelok.
Donghae melihat
sekelilingnya dengan bingung. Mencari-cari keberadaan gadis itu sekaligus
berusaha menemukan sesuatu untuk dijadikan senjata. Sebab laki-laki yang
mengejar Youra lebih dari dua orang dan jika dia ingin menang, dia harus menggunakan
senjata. Donghae kemudian mengambil botol vodka yang dia masukkan kembali ke
dalam mantelnya ketika keluar dari restoran Thailand dan menimbang-nimbang
untuk menjadikannya senjata. Botol itu memiliki bobot lumayan berat dan cukup untuk membuat kepala seseorang
dilumuri darah.
Tetapi didalam
perjalanannya, dia menemukan sepotong kayu yang diletakkan didepan sebuah toko
sebagai pengganjal. Dengan sigap Donghae mengambil kayu itu dan mempercepat
langkahnya ketika dia mendengar teriakan minta tolong tidak jauh dari tempatnya
berdiri.
Sejenak Donghae terpaku
melihat kondisi Youra yang mengenaskan.
Wajahnya penuh airmata, tubuhnya gemetaran dan rambutnya kusut masai. Dan yang
lebih mengerikan dari pada itu adalah ketika laki-laki brengsek-gila itu mulai
menarik-nariknya dan mendorong Youra hingga terjerembab ke tanah.
Habis sudah kesabaran
Donghae. Di ayunnya kayu itu ke udara dan menghujam kepala salah seorang dari
mereka yang berdiri membelakanginya. Terdengar derakan yang cukup keras untuk
membuat perhatian laki-laki brengsek didepannya menjadi terpecah dan dalam
hitungan detik, terjadi perkelahian besar-besaran.
Kalau saja kepalanya tidak
terganggu akibat vodka yang mengisi lambungnya, Donghae yakin dia tidak
memiliki masalah untuk mengalahkan empat orang pria separuh mabuk separuh
sinting yang sedang mengelilinginya saat ini. Tetapi biarpun kepalanya
berputar-putar sedikit, Donghae merasa dia bisa menghabisi mereka semua dengan kayu di tangannya sebagai senjata.
Dan dugaannya benar.
Mereka semua terkapar
setelah Donghae berhasil mendaratkan batangan kayu tebal dan berat itu ke
kepala dan tubuh mereka. Dengan tarikan napas yang payah, Donghae mencari sosok
Youra yang ternyata masih terduduk di tanah sementara wajahnya pucat pasi—seakan
baru saja melihat hantu.
Segera saja Donghae
menarik Youra dengan paksa tanpa menunggunya mengucapkan sepatah katapun lagi. Meskipun
menang dan memiliki senjata, Donghae tidak percaya diri dia akan menang untuk
kedua kalinya jika ada orang lain
yang mengeroyoknya malam ini. Tubuhnya sudah cukup kelelahan akibat perkelahian
itu, jadi sebisa mungkin dia membawa Youra ke tempat yang aman—rumahnya.
Tidak ada lagi bus dan
trem ataupun subway yang beroperasi pukul dua belas tengah malam. Alih-alih menuju
halte, Donghae berlari ke seberang jalan raya dan menyetop sebuah taksi. Dia
melirik gadis di sampingnya yang masih membeku dan kedua matanya membulat
sempurna—masih berada dalam situasi pasca-trauma.
Tetapi begitu taksi
berhenti dan Donghae mulai menyeretnya keluar, Youra tiba-tiba saja tersadar. “Ma—mau
kemana kita?” tanyanya panik.
Donghae tidak menjawab
pertanyaannya dan terus berjalan cepat. Dia merasakan tangan Youra yang berada
dalam genggamannya semakin kuat untuk melepaskan diri dan segera Donghae berbalik,
menatapnya tajam. “Kerumahku.” Jawabnya singkat.
Bukannya terdiam, Youra
malah melanjutkan pertanyaan-pertanyaan serupa dengan nada melengking dan
cemas. “Tapi, kenapa kita harus kerumahmu? Tunggu dulu, aku mau pulang!
Ahjussi, dengarkan aku! Aku tidak mau kerumahmu, cepat lepaskan aku!”
Sambil menggerutu dalam
hati, Donghae mempererat pegangannya. “Jangan berisik.”
“Jawab aku, Ahjussi! Kenapa
kita harus kerumahmu? Ya!” teriak Youra ketika mereka mencapai pintu rumah Donghae.
“Masuk.” Perintah Donghae
dengan nada mutlak, tidak menginginkan pembantahan apapun. “Duduklah,” tambahnya
ketika Youra memandangnya dengan ketakutan dari depan pintu.
Kali ini Youra mematuhinya
dan langsung duduk di atas tikar kecil—yang sudah digigiti tikus dan
berlubang-lubang mengerikan—tanpa mengucapkan sepatah katapun. Donghae lalu berjalan
menuju kamar mandinya dan kembali ke hadapan Youra sambil membawa kotak P3K, semangkuk
besar air hangat dan sebuah handuk yang di sampirkan di pundaknya.
“Kesinikan tanganmu,” ucapnya
pelan dan segera membasuh tangan Youra dengan air hangat ketika gadis itu
mengulurkan tangannya.
Dengan cekatan Donghae membersihkan
luka di tangan Youra yang didapatnya akibat didorong hingga jatuh ke tanah oleh
preman-preman brengsek tadi. Dia juga menyeka bekas air dengan handuk, meneteskan
cairan pembersih luka—semacam alkohol—dan membungkus tangan Youra dengan
perban.
Selama proses pembersihan
luka berlangsung, tak satupun dari mereka bersuara. Hanya ada keheningan, sementara
Donghae berusaha berkonsentrasi mengobati luka Youra dan tidak mempedulikan tatapan
gadis itu yang semakin tajam. Tapi dia tidak tahan lagi untuk menjaga mulutnya
terkunci rapat.
“Bisakah kau berhenti
melakukan itu?” ucap Donghae dengan mata terfokus pada luka yang sedang
ditetesi alkohol.
Youra terkesiap dan sedikit
bingung dengan pertanyaan Donghae. “Melakukan apa?” balasnya.
“Memandangiku.” Jawab Donghae
yakin, membuat Youra salah tingkah karena ketahuan bahwa dia sedari tadi tak
bisa melepaskan tatapannya dari wajah tanpa emosi itu.
“Aku tidak memandangimu,”
kilah Youra sambil menatap ke ujung ruangan yang di penuhi serpihan cat yang
mengelupas dan Donghae harus menahan keinginannya untuk mendengus
terang-terangan. Bagaimana bisa wanita di hadapannya ini masih bisa mengelak?
Jelas sekali dari tadi matanya tidak bisa lepas dari wajah Donghae—yang
berusaha mengacuhkannya.
Donghae bungkam untuk beberapa
saat dan kembali bersuara ketika tangan Youra yang luka sudah tertutup perban
seluruhnya. “Kalau ada yang ingin kau katakan, bicarakan langsung. Aku tidak
suka kau menatapku seolah aku akan menguncimu semalaman.” Kata Donghae sedikit
tajam.
Dia sadar bahwa nadanya
mungin terdengar agak kelewatan, melihat bagaimana Youra menahan napas. Tapi
dia tidak punya pilihan lain, dia memang
harus berlaku seperti itu. Dan selama
semenit penuh, Youra menatapnya. Bukan wajahnya, tetapi matanya. Donghae merasa
sedikit goyah dengan kedua bola matanya yang menghujam seperti batu granit dan
ketika dia membuka mulut untuk menyuruh Youra menghentikan tatapannya, Youra
lebih dulu berkata dengan suara lirih.
“Mianhago—Maaf,” ujarnya kini menatap lantai. “Gomaptago—Dan terima kasih.” Sambungnya lagi.
Donghae terpaku. Kata-kata
Youra barusan seperti menyeretnya ke dalam pusaran ingatan yang menyakitkan. “Jelaskan
arti dua kata itu.” kata Donghae di tengah keheningan.
Youra masih mengunci
bibirnya rapat-rapat selama beberapa menit kemudian, meskipun Donghae bisa
melihat pergumulan melalui raut wajah Youra yang resah. Tetapi akhirnya dia
menjawab pertanyaan Donghae. “Maaf.. karena aku tadinya berpikir kau akan—err..akan
mencelakaiku dan—dan terima kasih
karena kau sudah menolongku.”
Kali ini Donghae harus
menahan godaan untuk menertawakan gadis ini dan memberinya tatapan sinis,
karena dia yakin Youra pasti akan menciut menjadi seukuran tikus yang ketakutan
jika dia melakukan kedua hal itu. Tapi dia tidak bisa mengusir rasa kesalnya karena
kata-kata ‘mencelakaiku’ dan Donghae
sedang menimbang apakah dia harus mengerjai gadis ini atau bersikap seperti
biasa.
“Kenapa aku harus
mencelakaimu?” tanya Donghae sekuat mungkin untuk terlihat normal, walaupun dia
hampir saja kelepasan untuk mengerjai Youra.
“Eh—itu karena kau muncul
dengan tiba-tiba dan—dan—kau terlihat sedikit mengerikan tadinya..” kalimat Youra yang tergagap itu berubah menjadi bisikan pada
dua suku kata terakhir dan wajah itu sekarang sedikit gelisah, seakan sudah
mengatakan hal yang tidak seharusnya.
Donghae menarik napasnya
dalam-dalam dan mengenyahkan keinginannya untuk memojokkan gadis itu saat ini. Entah
kenapa pikirannya tidak bisa fokus sekarang dan dia tidak mengerti kenapa dia tidak
ingin Youra memandangnya dengan penuh ketakutan. Donghae bahkan harus menahan lidahnya
untuk mengucapkan kebenaran kepada Youra dan berusaha meyakinkan gadis itu
bahwa dia sama sekali berbeda dari apa yang telah dipikirkan Youra sebelumnya.
Ketika melarikan
tatapannya ke meja butut di samping Youra, barulah Donghae menyadari mengapa pikirannya
bisa menyimpang. Dia lupa bahwa dia sempat menghabiskan vodka itu hingga
tersisa setengah botol. Dan itu bukan pertanda bagus. Donghae harus segera menjauhkan
gadis ini dari hadapannya sebelum alkohol mengambil alih seluruh kewarasannya.
“Ayo, kau harus segera
pulang.” Kata Donghae singkat dan segera bangkit, membuka pintu rumahnya dengan
sedikit tekanan hingga membuat Youra bertanya-tanya, apakah ia telah menyinggung
perasaan Donghae.
***
Mereka tidak mengucapkan
sepatah katapun lagi setelahnya. Tidak juga ketika Ahjussi itu mengantarnya
pulang hingga ikut menumpangi taksi menuju rumahnya di sekitar Stasiun Sinsa
dan bahkan ketika Youra turun dari taksi, Ahjussi itu masih mengikutinya dengan
membisu, seolah telah kehilangan pengendalian untuk mengakses kemampuan
berbicara.
Dia tidak berdiri tepat di
samping Youra, tetapi tidak berada terlalu jauh karena Youra bisa mendengar
setiap tarikan napas Ahjussi itu. Keheningan yang melingkupi mereka hanya
terpecah dengan lolongan anjing yang beberapa kali terdengar di sepanjang
jalan. Memutuskan mengikuti sikap Ahjussi itu, Youra pun memilih untuk
mendiamkan lidahnya. Dia masih berusaha mengatasi ketakutan akan kejadian yang
baru saja dialaminya.
“Ini tempat tinggalmu?”
Youra tersentak kaget dan dia
menoleh ke kanan, ke tempat Ahjussi itu berdiri lalu mengangguk.
“Bagus. Sekarang masuk dan
aku harap kau tidak cukup bodoh untuk berkeliaran malam-malam seorang diri lagi.” Ucapnya kemudian pergi.
Jelas sekali dia kelihatan
jengkel dan itu bukanlah salam perpisahan yang bagus. Terlebih untuk Youra. Sebab
dia bahkan belum sempat untuk mengatakan terima kasih—yang sudah pasti tidak
akan di gubris—tetapi Ahjussi itu sudah menghilang, meninggalkannya sendirian di
bawah sorotan lampu jalan.
‘Dasar pemarah.’ Gerutu Youra sambil mengerutkan kening. Sikap
ahjussi itu membuatnya ingin menangis tapi dia tidak punya tenaga lagi, dia
hanya ingin pergi tidur.
***
Keesokan harinya Youra
tiba di kantor dan mendapati suasana ruangannya begitu buruk. Beberapa orang
sunbae-nya mengurut-urut kepala dan ada yang meletakkan kepala mereka diatas
meja. Ah Gyeong bahkan menempelkan plaster besar keningnya.
“Aigooo, kepalaku pusing
sekali.” Desah Ah Gyeong di kursinya.
Youra meringgis kasihan
dan tidak berkomentar apapun.
“Kalau saja aku tidak
minum sebanyak itu! Youra-ya, kumohon tolong aku! Aku sudah tidak sanggup untuk
mengangkat kepalaku satu inci saja!”
“Apa yang bisa kubantu?”
tanya Youra ramah, walaupun dalam hatinya ia mengernyit tidak suka. Kenapa Ah
Gyeong masih tetap minum banyak tadi malam jika dia tidak mau mengalami hangover pagi ini?
“Youra-ya, kau dewi
penolongku!!” ucapnya berbinar-binar dan langsung berdiri tegak. “Ini, kau
harus menyelesaikan semua laporan hari ini juga. Terima kasih Youra-ya. Aku
berhutang budi padamu seumur hidupku.” Sambung Ah Gyeong, menyerahkan setumpuk
berkas lalu berjalan keluar ruangan dengan alasan izin pulang.
Youra langsung mencatat
dalam kepalanya, ‘tidak akan ada
keramahan lagi selama-lamanya.’ Dia menarik kursinya untuk duduk ketika
tiba-tiba para sunbae mengelilingi mejanya. “Kumohon bantu aku juga, Youra-ya..”
pinta mereka sebelum meletakkan berbagai macam berkas dan langsung kabur tanpa sempat
mendengar penolakan dari Youra.
Dia benar-benar ingin
menangis sekarang. Pekerjaannya sendiri belum selesai dan dia harus mengerjakan
semua ini? Apa seharusnya dia ikut mabuk saja tadi malam?
“Tidak bertanggung jawab
sekali mereka, menyerahkan perkerjaan sebanyak ini kepada magnae.” Ucap Park
Jung Yoon disebelah Youra. “Biar kubantu,” imbuhnya baik hati.
Kalau tadi dia ingin
menangis, sekarang Youra benar-benar ingin memeluk sunbaenya yang begitu murah
hati membantu pagi Youra yang buruk. Tetapi kenyataannya tidak ada yang
dilakukan Youra selain mengucapkan terima kasih berulang kali dan memandangnya penuh
haru.
Pukul 05:37pm.
Youra tidak sadar dia
sudah bekerja selama Sembilan jam nonstop dan perutnya bergemuruh keras, berteriak
memaksanya untuk segera mengisi lambung dengan makanan. Dengan langkah kaku,
Youra berjalan keluar ruangan yang kosong, sebab Jung Yoon sunbae sudah pulang
duluan setelah membantu separuh dari pekerjaan yang dilimpahkan kepada Youra. Dalam
hati dia berjanji akan mentraktir sunbaenya itu makan enak suatu saat nanti.
Seperti biasa, Youra
memenuhi plastik ditangannya dengan kimbab-kimbab siap saji dan beberapa kaleng
minuman—kopi, jus dan soda. Dia menaiki lift menuju lantai teratas Gedung
Fashion dan menaiki anak tangga satu persatu sebelum akhirnya menemukan pintu
atap.
“Kupikir kau tidak akan
datang.” Ujar suara yang sudah sangat dikenalinya.
Senyum kecil terukir
diwajah Youra dan dia bersyukur bahwa dia menyempatkan untuk datang kesini.
“Ini kan tempat favoritku.
Mana mungkin aku tidak datang,” balas Youra sambil duduk diatas kursi panjang, persis
beberapa meter disebelah Ahjussi itu.
Dia bisa mendengar Ahjussi
disampingnya mendengus tetapi Youra sudah mengubah perspektifnya tentang
Ahjussi ini sama sekali. Dia memutuskan untuk tidak berpikiran negatif
tentangnya. Ahjussi itu mungkin memiliki mulut tajam dan sikap yang tidak
ramah, tetapi Youra menyadari bahwa dia orang baik—yang mau menolong Youra dan mengobati
lukanya. Bahkan mengantarnya pulang.
“Ahjussi, terima kasih telah
menolongku tadi malam.”
Tidak ada jawaban apapun
dan Youra mengerucutkan bibirnya. “Apa susahnya tinggal mengucapkan ‘sama-sama’?”
Dan Youra malah mendapatkan
lirikan sinis. “Ahjussi, berhentilah bersikap begitu. Aku tidak akan
menganggapmu mengerikan atau menyebalkan lagi. Err.. menyebalkan
mungkin masih.” Aku Youra terus terang lalu tertawa pelan.
Setelah menghela napas
Ahjussi itu menjawab, “kau benar-benar gadis paling keras kepala dan paling
aneh yang pernah kutemui. Tidak bisakah kau menjauhiku saja?”
Youra tertawa mendengar
gerutuan Ahjussi itu dan melempar minuman bersoda kepadanya. “Jadi kau sengaja
bersikap begitu? Bukankah itu membuatmu tidak punya teman?” tanyanya ingin
tahu. Perkataan Ah Gyeong yang masih melekat dikepalanya membuatnya penasaran
setengah mati dan dia memutuskan untuk mencari tahu yang sebenarnya.
Cukup lama sebelum
akhirnya Ahjussi itu mau membuka mulut lagi. “Teman? Kau bercanda. Apa kau
sadar tidak ada yang akan ada yang sudi berteman denganku?”
“Kenapa kau beranggapan
begitu?” tanya Youra dengan sedikit tidak acuh walaupun dia sangat bersemangat.
“Akui saja, Youra. Kau
pasti sudah mendengar desas-desus tentangku, bukan?” Ahjussi itu melirik dengan
ekor matanya, jelas sekali berusaha mengintimidasi.
Pertanyaan itu sempat
membuat batin Youra mencelos. Dia sedikit bimbang dengan apa yang akan dikatakannya.
Tapi menurutnya kejujuran lebih berharga daripada harus mengatakan kebohongan. Lagipula
dia memang bertekad untuk mengetahui siapa sebenarnya Ahjussi pemarah-tapi-baik
hati ini.
“Sejujurnya, kau benar. Tapi,
seperti yang kau bilang, itu hanya desas-desus. Bukankah lebih baik kalau aku
mengetahui kebenaran akan desas-desus itu darimu langsung?”
Kalau tadi Ahjussi hanya
melirik dari ekor matanya, kini pria itu benar-benar memalingkan wajahnya ke
arah Youra dan menatap dengan penuh selidik. Mata cokelat pudarnya menyelami pikiran
Youra dengan seksama, membuatnya sedikit salah tingkah.
Entah berapa lama mereka
bertatapan hingga Youra mengira waktu seakan berhenti ketika tiba-tiba bibir
yang mengatup itu bersuara. “Tidak ada yang perlu kau ketahui, Youra-ssi. Aku
tidak peduli kau mau mempercayai desas-desus yang beredar atau tidak, sebab itu
tidak penting bagiku. Aku peringatkan, sebaiknya kau berhati-hati dengan rasa
penasaranmu karena bisa saja hal itu menjadi bumerang yang akan menyakitimu, Youra-ssi.”
Tandasnya lalu bangkit, berjalan menuju pintu.
Sekali lagi, Youra harus
menelan semua kata-kata Ahjussi itu tanpa punya kesempatan untuk bertanya atau
sekedar protes. Dia cukup yakin atmosfir diantara mereka sedikit membaik tetapi
mengapa semuanya langsung berubah dalam sekejap?
Youra berjalan menyusuri hall Gedung Fashion dengan tidak fokus,
pikirannya masih menyelisik perkataan terakhir Ahjussi tadi. Matanya mencari ke
penjuru ruangan, berharap menemukan siluet Ahjussi meskipun dia tidak mengerti
kenapa dia mengharapkan hal itu.
“YA!” Teriak seseorang di sebelahnya
dan cepat-cepat Youra berbalik menghadap ke sumber suara.
Sebuah wajah yang familiar
menatapnya dengan penuh amarah. Tentu saja Youra tahu siapa gadis ini, dia
adalah Park Chae Rin, model papan atas termasuk model K-Fashion sekaligus
pemegang saham perusahaan ini. Selama sebulan bekerja, tidak pernah sekalipun
Youra melihatnya secara langsung walau dia memang sangat ingin bertemu dengan model
cantik itu.
“Perhatikan langkahmu
baik-baik!” lengkingnya emosi, membuat beberapa pasang mata menatap ke arah
mereka dengan ingin tahu. Youra segera mengalihkan pandangannya ke bawah, dan menemukan
kakinya tengah menginjak ujung gaun Chae Rin yang menjuntai hingga ke lantai.
“Ma—Maafkan aku,” seru
Youra panik sambil membungkuk berulang kali. Sementara Park Chae Rin hanya
menatapnya tidak suka dan mengibaskan rambutnya yang indah dengan gerakan
anggun.
“Baiklah. Lain kali
hati-hati.” Ujarnya melunak dan meninggalkan Youra yang terus saja menatapnya
kagum.
Park Chae Rin memang bukan
sembarang model, selain tinggi dan langsing, wajahnya juga sangat cantik—mata
besar dan bulat, pipi yang kemerah-merahan, di tambah hidung mancung dan bibir yang
merah alami. Dengan lesung pipi di sebelah kanan dan rambut hitam berkilau yang
jatuh hingga ke pinggang serta kaki jenjang yang indah membuatnya di gilai
banyak pria. Meskipun di Korea Selatan marak terdengar kabar tentang kasus para artis dan model yang melakukan
operasi plastik, tetapi Park Chae Rin tidak pernah sekalipun menyentuh meja
operasi, wajahnya benar-benar berkah dari Tuhan.
Dan walaupun gadis itu
sudah berlalu dari hadapan Youra, tetap saja dia tidak bisa berhenti menatap punggung
Chae Rin yang menuju elevator. Dia sekarang mengerti mengapa banyak yang bilang
bahwa Chae Rin tidak fotogenic, karean gadis itu memang sepuluh kali lebih cantik dibandingkan di majalah-majalah—yang
menurut Youra sudah sangat sempurna. Tidak heran dia memiliki fandom dengan sebutan Angel Chae.
Youra memandang bayangan
dirinya lewat pintu kaca dan menghela nafas. Dia tidak bisa di katakan jelek
atau biasa saja. Youra cukup cantik—itulah yang dikatakan orang-orang padanya—tapi
tetap saja dia tidak akan bisa menyamai kecantikan Chae Rin. Wajah dan tubuhnya
proposional—mata bulat, hidung mancung dan bibir tipis—meskipun demikian, dia
tidak memiliki kaki jenjang yang indah atau lekuk tubuh yang seksi. Youra
hanya… yah, wanita biasa dan sederhana. Sangat tidak mungkin baginya untuk bisa
berdiri di samping Chae Rin tanpa merasa malu setengah mati.
Tapi tidak pernah
sekalipun dia berharap untuk menjadi orang lain karena menurutnya apa yang di
milikinya saat ini adalah anugerah dan sangat tidak pantas jika ia malah menyesali
apa yang dimilikinya.
***
PARK CHAE RIN membuka pintu
yang bertuliskan CEO tanpa menggubris Sekretaris yang mengatakan bahwa Kyung
Dae sedang tidak ingin diganggu. Kyung Dae boleh saja menolak untuk bertemu
siapapun, kecuali Park Chae Rin.
“Chae Rin-ah, bisakah kau
setidaknya mengetuk pintu?” tanya Kyung Dae tanpa memindahkan pandangan dari kertas-kertas
yang sedang dibacanya.
“Oppa!” seru Chae Rin
kesal. Dia melempar tasnya ke sembarang tempat lalu berdiri tepat di samping Kyung
Dae. “Oppa, dengarkan aku!”
“Aku tetap bisa mendengarmu
walaupun kau berbisik, Chae Rin-ah. Jadi berhentilah berteriak.” Ujar Kyung Dae
tenang, tidak mempedulikan dengusan Chae Rin.
“Mana bisa aku tidak
berteriak kalau sedang terjadi badai di K-Fashion!”
“Tarik nafas, Chae Rin. Tenanglah,
tidak ada badai apapun.” Kyung Dae meletakkan kacamatanya dan mengurutkan
pelipis dengan perlahan.
“Oppa, kau belum dengar? Terjadi
perpecahan di antara pemegang saham lima belas menit yang lalu dan mereka akan
mengadakan rapat pemimpin serta dewan pengurus malam ini!” sergah Chae Rin
cepat dan sedikit kesal ketika mendapati Kyung Dae tetap tenang.
“Aku tahu.” Jawabnya
singkat.
Chae Rin menggeser kursi Kyung
Dae hingga persis di hadapannya. Mata pria itu memang tajam dan sekeras besi
namun tetap saja ada kehangatan yang terpancar di balik semua itu. “Apakah
benar jika mereka menuntut pergantian dewan direksi?” tanya Chae Rin cemas. Ketika
Kyung Dae mengangguk, dia berkata lagi dengan takut. “Oppa! Kau harus berbuat
sesuatu! Aku tidak mau kalau terjadi sesuatu padamu. K-Fashion hanya bisa
berada di atas dengan kau sebagai pengontrolnya!”
“Chae Rin-ah. Bukankah kau
sudah tahu bahwa aku telah memasukkan saham K-Fashion dalam bursa saham? Dan
pada rapat penentuan dividen (pembagian keuntungan) beberapa waktu lalu, mereka
sudah sepakat untuk segera mengadakan pembaruan direksi. Kau sendiri hadir pada
rapat waktu itu, jadi kenapa kau masih bingung?”
“Tapi, aku tidak menyangka
akan terjadi secepat ini. Maksudku, kau memiliki saham terbanyak dan bukankah
itu berarti kau bisa tetap mengendalikan perusahaan? Aku tidak mau jika posisimu
diganti dengan orang lain!”
“Tidak bisa begitu, Chae
Rin-ah. Itu adalah keputusan para pemegang saham. Aku tetap harus menghormati
keputusan yang mereka berikan.” Kyung Dae menatap Chae Rin yang gelisah dengan pandangan
menenangkan. Binar matanya yang tulus membuat Chae Rin menghela napas.
“Tidak bisakah kau
melakukan sesuatu? Sekarang ini sudah ada dua fraksi yang terbentuk dan menurut
kabar yang beredar, perpecahan itu karena isu tentang pasar gelap yang menyeret
K-Fashion. Benarkah itu, Oppa?”
Kyung Dae menarik napas
panjang dan untuk sesaat, wajahnya berubah murung. “Itu juga yang aku dengar. Tapi
tidak ada waktu untuk menjelaskan pada mereka, Chae Rin-ah. Mereka adalah
pemilik saham K-Fashion, mereka pasti tidak ingin kalau perusahaan ini menuju
kebangkrutan.”
“Tapi, Oppa, kalau mereka
menggantikanmu, perusahaan malah akan semakin berbahaya! Aku tidak mau jika perusahaan
ini sampai hancur! Kau tahu kalau aku membeli saham K-Fashion karena Donghae,
bukan? Aku tidak ingin semua usahaku sia-sia!” raung Chae Rin bak anak kecil. Suaranya
meninggi bercampur kepanikan. Dia sudah berbuat begitu banyak untuk Donghae dan
dia amat sangat membenci kegagalan.
Kedua tangan Kyung Dae
meraih tubuh Chae Rin dan mendekapnya. Chae Rin sangat menyukai hal ini, ketika
dia bisa merasakan dada bidang Kyung Dae yang hangat, seakan menjaganya dari
apapun. “Tenanglah, Park Chae Rin. Aku akan melakukan yang terbaik.” Bisiknya penuh
keyakinan.
Chae Rin mengangguk dan balas
memeluknya. “Oppa, kau selalu memelukku setiap kali aku takut, bukan? Kenapa
kau tidak menciumku saja?”
“Kau tahu aku tidak akan
melakukannya, Chae Rin-ah.” Jawab Kyung Dae tersenyum. “Kau tahu kalau aku
tidak akan bisa berhenti dengan satu ciuman, bukan? Lagipula kau milik Donghae.”
“Benarkah begitu? Atau
hanya aku yang menganggapnya begitu?” gumam Chae Rin lirih. “Bersamamu lebih
menyenangkan.”
“Jangan biarkan hatimu
bimbang, Park Chae Rin.” Geram Kyung Dae penuh peringatan.
“Aku tahu.” Balas Chae Rin
lalu melepaskan dekapannya. Dia berjalan memutari meja dan menghempaskan tubuh
ke sofa berlengan di seberang meja kerja Kyung Dae. “Aku akan melakukan sesuatu
agar mereka tetap mempertahankan posisimu.” Ucapnya sambil memikirkan sebuah
rencana.
Tidak ada yang bisa
menghentikan Chae Rin jika dia sudah bertekad melakukan sesuatu. Termasuk memastikan
para pemegang saham akan mendukung Kyung Dae untuk tetap menjabat posisi CEO
K-Fashion..
***
Youra baru saja tiba di
kantor ketika dia menyadari bahwa ada yang tidak beres. Beberapa karyawan
berkumpul di sudut dan terlihat serius membahas sesuatu. Tidak hanya itu, bisik-bisik
yang semakin lama semakin keras terdengar di berbagai penjuru. Wajah-wajah
cemas dan ekspresi bingung mendominasi pagi ini. Youra tahu kemana dia bisa
mendapatkan informasi.
“Ah Gyeongi, apa yang
terjadi?” tanya Youra ketika dia melihat Ah Gyeong melintas di hadapannya.
Dalam waktu lima detik, Ah
Gyeong berhasil menyeretnya ke pojok ruangan dan mereka sudah terlibat dalam
percakapan penuh dilema.
“Ini gawat, Youra-ya! Menurut
informasi semalam para pemegang saham mengadakan rapat untuk mendorong jatuh Kyung
Dae-ssi! Aku belum mengetahui mengapa mereka ingin melakukan itu tetapi itu
bukan pertanda bagus. Meskipun Kyung Dae-ssi tidak lagi memiliki kekuasaan
penuh atas saham-saham yang sudah dijualnya, tetap saja hanya dia yang mampu
mengorganisir perusahaan sampai mendunia seperti ini! Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana perusahaan tanpa dirinya.. Ah, ngomong-ngomong, sepertinya
ada dua fraksi yang terbentuk dalam rapat semalam dan masih tidak ada keputusan
yang jelas mengenai hasil rapat. Aku dengar mereka akan melakukan rapat lagi
dalam waktu dekat untuk mengeksekusi boss kita.”
Youra menyadari mulutnya
menganga—terbuka lebar—dan buru-buru dia menutupnya. Dia bukan terkejut dengan
apa yang disampaikan Ah Gyeong, tetapi lebih karena takjub, melihat bagaimana
wanita itu menjelaskan semuanya dalam satu waktu.
“Uhm, aku masih belum
mengerti apa yang salah. Bukankah pergantian CEO itu sering terjadi di
perusahaan-perusahaan besar?” tanya Youra yang langsung disambar Ah Gyeong
cepat.
“Masalahnya adalah hanya Kyung
Dae-ssi yang bisa membawa K-Fashion sampai ke taraf Internasional dengan
ide-ide briliannya. Aku yakin para pemegang saham itu ingin menyingkirkan Kyung
Dae-ssi karena dia masih muda dan tampan, sehingga mereka memandangnya sebelah
mata. Tapi sebagian pegawai menjadi resah karena jika Kyung Dae-ssi benar-benar
di copot dari jabatannya, maka perusahaan akan berpindah tangan ke fraksi Kang Joo
Young yang dikenal sembrono dan selalu menyingkirkan siapapun yang tidak
disukainya. Karena kalau hal itu terjadi, perusahaan akan semakin terguncang
dan peluang untuk dipecat akan semakin besar.”
Ah Gyeong terus
melanjutkan opini-opininya yang kian subjektif dan menyimpang dari pembicaraan awal
mereka. Dia bahkan tidak sadar ketika Youra sudah tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Kim Kyung Dae, sosok misterius yang bertangan besi dan tanpa senyum
itu memang terlihat menakutkan. Tetapi jika melihat track record-nya dalam usaha membangun perusahaan ini, rasanya pria
itu memang harus dipertahankan untuk mengisi jabatan CEO. Youra sendiri belum
pernah melihat Kang Joo Young tetapi seandainya perkataan Ah Gyeong benar, maka
jelas saja Kyung Dae lebih baik dari segi apapun.
Suasana kantor berubah semakin
muram setiap jamnya. Mereka bahkan sudah mulai membahas perusahaan mana yang
bersedia menerima mereka seandainya mereka dipecat. Mulanya Youra tidak ingin
memikirkan hal itu, tetapi kemudian dia menyadari posisinya di perusahaan ini masih
sangat tidak stabil. Dan peluangnya untuk dipecat menjadi tiga kali lipat dari pegawai
manapun.
‘Sial.’ Umpat Youra dalam hati
“Kenapa kau tidak pulang
saja, sih?”
Youra melirik Ahjussi di
sampingnya tanpa minat dan menghela napas berat. “Pulang ke rumahku atau ke
Negaraku?” tanyanya sengit.
Dia tahu Ahjussi itu
memandangnya heran tetapi bahkan suasana hatinya kelewat buruk untuk berpura-pura
ceria. “Jangan melihatku seperti itu.” ujarnya cemberut.
Ahjussi itu mendengus geli
dan berkata dengan santai. “Ini pertama kalinya kau bersikap seperti ini. Kenapa?
Apakah ada yang menyuruhmu kembali ke Negaramu?”
Dia menatap Ahjussi itu
jengkel. Seberkas ingatan tentang perkataan pria ini kemarin membuatnya semakin
bingung. Apakah Ahjussi ini memiliki kepribadian ganda atau semacamnya? Kenapa tiba-tiba
dia berubah menjadi peduli pada Youra?
“Aku mendengar bahwa Presdir
akan diganti dan dengan posisiku saat ini, kesempatan untuk dipecat akan
semakin besar.” Keluhnya masam. Tadinya dia berpikir Ahjussi akan menertawainya
atau merasa senang atas penderitaan Youra tetapi yang dia dapatkan hanyalah
wajah serius.
“Tenang saja. Mereka tidak
mungkin mengganti Kyung Dae. Dia terlalu hebat untuk bisa disingkirkan.” Jawab
Ahjussi itu tanpa keraguan.
“Kenapa kau bisa seyakin
itu?”
“Aku sudah bekerja di
perusahaan ini selama bertahun-tahun dan mereka bodoh sekali jika ingin
menggantikan posisi Kyung Dae. Kau tidak percaya? Lihat saja nanti.” Ujarnya dengan
penegasan di setiap suku kata.
Dan apa yang di perkirakan
Ahjussi itu menjadi kenyataan.
Seminggu setelah percakapan
mereka, hasil keputusan rapat pemegang saham keluar dan menyatakan bahwa Kyung
Dae akan tetap menjabat sebagai CEO. Hal itu membuat banyak orang menghembuskan
napas lega dan menyingkirkan ketakutan-ketakutan akan posisi mereka selama
seminggu belakangan. Menurut kabar yang berhembus, dewan komisaris dan eksekutif
diberi kekuasaan oleh para pemegang saham untuk mengevaluasi kinerja Kyung Dae
dan semua hasil penilaian menunjukkan bahwa tidak ada satu celahpun bagi mereka
untuk memecatnya. Terbukti dengan meningkatnya penjualan di hari ke enam
evaluasi, serta melonjaknya saham K-Fashion di bursa efek selama tiga hari
penuh, mereka akhirnya bungkam dan mempercayakan lagi posisi CEO pada Kyung
Dae.
Sore itu terlihat lebih
berkilauan dari biasanya dan Youra tidak bisa berhenti nyengir senang. Dia
bahkan tidak bisa lagi merasa sakit hati atas ucapan-ucapan sengit Ahjussi yang
sudah terlebih dulu duduk di bangku atap.
“Ternyata apa yang kau
bilang menjadi kenyataan!” kata Youra senang, tersenyum lebar sambil merobek
bungkus kimbabnya dan menggigit besar-besar.
“Bukan menjadi kenyataan,
tetapi itulah kenyataannya.”
“Teherah hau haja,” balas Youra
dengan mulut penuh makanan.
Ahjussi itu mendelik
terkejut melihat pipi Youra menggembung dan tiba-tiba saja dia terkekeh geli. Seharusnya
Youra merasa marah karena di tertawakan, namun dia malah bengong dan berhenti
mengunyah ketika mengetahui bahwa inilah kali pertama dia melihat Ahjussi itu
tertawa.
Suara tawa itu terasa
menyenangkan dan membuat Youra terpukau. Dia memperhatikan bagaimana guratan-guratan
tipis di ujung mata Ahjussi itu membentuk sebuah garisan samar dan matanya menyipit
akibat tarikan otot pipinya—sama sekali melenyapkan tatapan sinis dan tidak
bersahabat. Buru-buru Youra mengambil botol air dan menenggaknya banyak-banyak,
sebelum dia tersedak karena kehabisan napas.
“Kau tertawa..” bisik Youra
sedikit terpana. Dan tepat ketika Youra mengucapkan hal itu, Ahjussi langsung
menghentikan tawanya dan kembali menatap hamparan langit.
“Maafkan aku, Ahjussi. Padahal
kau sangat menarik jika tertawa seperti itu. Tapi kenapa kau malah menutup
dirimu dan mengambil jarak dari semua orang?” tanya Youra mengerutkan dahinya. Perasaannya
kini bercampur antara senang, kaget dan marah.
Tidak ada jawaban apapun
dan hal ini membuat Youra semakin kesal. “Kenapa kau menghindari semua orang,
Ahjussi? Aku yakin kau orang yang baik tetapi kenapa kau menjadi menyebalkan
dan pemarah setiap kali berhadapan dengan orang-orang?”
Masih tidak ada sepatah
katapun yang keluar sebagai jawaban. Ahjussi itu benar-benar mengacuhkan Youra.
“Apakah benar kau menjadi seperti ini karena anak dan istrimu meninggal? Benarkah
kau seorang yang berbahaya?” desak Youra putus asa.
Dengan gerakan mendadak, Ahjussi
itu memajukan wajahnya persis di hadapan Youra. Hidung mereka nyaris
bersentuhan karena jarak diantara mereka kini semakin dekat. Belum sempat Youra
berpikir apapun, Ahjussi itu sudah berkata
dengan suara dalam dan dingin.
“Berhenti menggangguku,
Youra Leavanna. Aku tidak suka jika seseorang mencoba mencampuri kehidupanku. Dan
satu lagi, anggap saja kau tidak melihat apapun
sore ini.” Katanya mengancam.
Kengerian melanda sekujur
tubuh Youra ketika tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu yang membuat Youra
merasa bahwa pria ini benar-benar berbahaya. Tetapi jauh didalam bola mata
cokelat yang indah itu, dia merasakan dirinya terkunci, terikat dalam satu
pesona misterius yang bahkan tidak bisa dijelaskannya dengan baik.
Mereka bertatapan untuk
beberapa saat sebelum Ahjussi itu pergi dan membanting pintu dengan kasar. Youra
sudah tidak bisa menghitung berapa kali Ahjussi itu bersikap seperti ini
terhadapnya, namun jika sebelumnya dia merasa jengkel, kali ini Youra merasa bersalah
karena sudah memaksa pria itu untuk mengatakan kebenaran. Karena dia sadar
bahwa dia tidak memiliki hak untuk mencampuri kehidupannya sekecil apapun.
Tapi ketika mengingat wajahnya
yang tertawa, Youra malah semakin dihantui rasa penasaran. Siapa sebenarnya
Ahjussi itu?
***
Gag tau kenapa, tiba-tiba pengen buka blognya kamu. Ehh, ternyata ada postingan baru disini :)
BalasHapusSedikit clue yang saya tangkap, bahwa Donghae, Kyung Dae, dan Chae Rin adalah orang-orang yang saling mengenal.
Dan ini, "Lagipula kau milik Donghae."
"Benarkah begitu? Atau hanya aku yang menganggapnya begitu?"
Apakah Donghae sudah memiliki pasangan? Semisal pacar, tunangan, atau bahkan istri?
Begitu banyak pertanyaan yang berputar diotak saya untuk menerka jalan cerita ff ini. Tapi sepertinya percuma kalau saya memprediksinya sekarang, karena ini masih terlalu awal.
Oh ya, bolehkah saya tau visual dari para castnya? Supaya saya lebih gampang membayangka orang-orang ini? Karena jujur, saya sedikit kesulitan membayangkan wajah mereka :)
Halooooo!
Hapusmaaf banget baru bisa balesin komen kamu >__<
ting tong! bener banget~ ^^
mungkin aku ga bisa ngasi tau selebihnya karena aku sendiri masih bingung dengan status mereka *halah*
Truly sorry but i dont really good enough to make a poster or somethng T_T bcs it's okay if you imagine it as you want ;w;
Huuuuuaaaa ceritanya tambah memusingkan bin rumit.. Siapa sebenernya donghae ? Apa dia semiskin itu ? Terus kyung dae itu siapanya donghae ? Terus chae rin itu juga siapa ?? Omg bener2 bikin pening.. Oh ya thor, harusnya ff ini dikasih posternya dong.. Bias ada gambaran cast2nya gitu.. Okkai aku cukup bingung mau ngritik apa dari ff ini karena sampe sekarang ff ini belom ada cela.. Jadi hwaiting ya thor buat nect chap.. :)
BalasHapusHeyhoo Istri Kim Jong In :D
HapusDonghae itu ahjussi *plak*
Kyung Dae itu Hyungnya Donghae dan Chae Rin itu model K-Fashion :p Please be patient, i will reveal it step by step hehe
Uhh... Maaf banget ya.. aku sama sekali ga bisa potosop atau edit-editin foto utk jd poster T_T
Donghae siapa?????
BalasHapusDonghae, Kyungdae, Chaerin.. Well mereka ber3 ini sling mengenal but sbgi hub apa?? Trus charein milik donghae itu gmna ceritanya?? Ahjussiiii koq kmu sulit banget ditebakkk?? :3 lanjut ya author fighting
BalasHapus