Sabtu, 12 November 2016

FANFIC : SCARLET [14]

SCARLET


TITLE                      : SCARLET [ 14 ]
GENRE                  : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING               : NC-21
CAST                      : Lee Donghae
                                  Youva Cardia
Author                  : @Aoirin_Sora



Summary:

Kurasakan kakiku menghentak bumi. Nyala api yang membangkar kedua tungkai kaki ini terasa menghangat, bergelora dan semakin memanas di tengah kericuhan. Aku bukannya takut, aku hanya tak siap dengan kenyataan yang membentang di hadapanku. Kupikir semuanya hanya ilusi. Nyaris sekali. Hingga kudapati bahwa mimpi burukku mewujud ke alam nyata.
Aku harus siap, meski itu berarti mempertaruhkan kewarasanku.

***



CHAPTER FOURTEEN: DANGEROUSLY




Kenyataannya adalah, kedua mataku tak ingin membuka pagi ini; sebagian dikarenakan keduanya membengkak begitu mengerikan dan selebihnya karena aku takut bakal mendapat serangan jantung. Bahkan dalam keadaan setengah sadar pun aku bisa mengetahui apa yang akan terjadi detik ketika mataku melihat dunia.
Bisa kubayangkan ada malaikat yang tengah terbaring di sebelahku. Kedua sayapnya patah dan berserakan menjadi gumpalan pasir berkilauan. Perumpamaan yang kugunakan tidak bisa lebih buruk lagi, karena aku telah menyaksikan betapa malaikat itu ternyata kini tak mampu melintasi angkasa, terkurung dalam sebuah kotak kaca raksasa. Aku tak siap menghadapi apapun pagi ini—well, dengan seluruh emosi yang telah terkuras semalaman, aku tak yakin apakah semuanya telah usai.
Tapi tetap saja aku tak bisa menunda waktu lebih lama. Di antara batinku yang bersiaga, ketakutan juga mendera separuh akal sehatku. Sialnya ada yang lebih buruk. Dewi batinku terbangun lebih awal dan sepanjang waktu mengeluh tentang penampilanku yang pasti bakal sangat buruk.
Aku menyerah. Setelah menimbang beberapa saat akhirnya tak ada yang bisa kulakukan selain membuka kedua mataku. Tepat setengah mili detik setelahnya, berjuta-juta kupu-kupu menari hulahop di perutku dan terus merangkak menuju otak—mereka berkomplot untuk memenuhi tubuhku dengan euforia konyol yang menggelikan. Oke, maksudku, apa yang bisa kulakukan dengannya?

LEE DONGHAE menatapku.
Gumpalan keras yang memenuhi otakku tampaknya mulai berhenti bekerja—mereka semua mengkhianatiku di saat aku butuh pertolongan darurat. Pertama-tama, aku butuh semprotan asma. Aku tak mungkin bisa menarik napas jika ia masih berada di dekatku. Kedua, aku ingin seseorang menghentikan waktu hingga seratus abad ke depan. Serius, jika ada momen yang membuatku melupakan apapun di hidupku, ini adalah saatnya.
Kuulangi, Lee Donghae menatapku. Bukan cuma itu, faktanya ia setengah terbaring di sebelahku. Begitu dekat hingga jika aku menjulurkan lidahku—yang tentunya tak akan kulakukan—aku bisa menjilat sikunya. Aku lupa betapa mendebarkannya ia. Aku tak sempat mengingat bahwa feromon pria ini begitu tajam, seakan mengisi setiap partikel udara dan menerobos masuk ke sistem pertahanan diriku. Aku mengambil satu detikku yang berharga dan tak menyia-nyiakan semua ini untuk mematrinya dalam ingatanku yang rapuh.
Rambutnya mencuat ke segala arah, tampak berantakan namun sangat meruntuhkan iman. Kedua matanya bersinar menggoda—atau mungkin mengejek?—saat pandangan kami bertemu dan aku tahu ada sedikit rasa lapar yang tergambar di sana. Dengan terlambat aku menyadari bahwa kami berada dalam dangerous area dan bisa kulihat efeknya merambat cepat pada folikel-folikel rambutku yang membuat wajahku memerah seketika. Aku menarik selimutku hingga menutupi wajah, memilih menghindar dari tatapannya yang begitu intens hingga kusadari bahwa Donghae tak mengenakan atasan.
Tunggu, Donghae memang mengenakan celana tidurnya, tapi.. kemana perginya atasan yang ia gunakan semalam?
Ini benar-benar sebuah dilemma. Aku tak tahu bagaimana caranya menjelaskan situasi yang membingungkan ini. Singkatnya, aku bersyukur karena telah menarik selimut ini sebab apa yang kusaksikan tak mungkin bisa kulupakan meskipun aku menyesali bahwa aku hanya cuma bisa menyaksikannya. Tubuhnya benar-benar karya seni; seakan dipahat dengan teliti dan hanya menyuguhkan keindahan. Aku berjengit, dengan kedua matanya yang tak menatapku tanpa jeda, wajah bagun tidur di pagi hari, di tambah tubuhnya yang terekspos jelas, aku yakin pintu surga hanya satu inci di depanku sekarang.
“Kau sudah bangun?”
Itu pertanyaan paling klise yang pernah kudengar. Aku tahu ia hanya menguji apakah pendengaranku masih sama berfungsinya dengan kedua mataku yang memelototi tubuhnya.
“Youva?” tanyanya menambahkan. Suaranya sedikit parau namun masih terdengar merdu. Aku memindahkan pandanganku—setelah berusah payah, tentu—pada matanya dan kurasakan dadaku menghangat. Caranya menatapku… well, seakan aku telah menyelamatkan seisi dunia.
“Terima kasih.” Bisiknya lembut. Aku bersumpah menyaksikan senyumnya yang paling tulus saat ia mengatakan itu.
“Dengan senang hati, Sir.” Balasku berbisik. Aku menundukkan pandanganku ke arah selimut merasa malu untuk sebuah pagi yang begitu menakjubkan. Donghae mendekatkan kepalanya padaku dan pikiranku terbagi dua: aku ingin menyentuh otot perutnya dan—apakah penampilanku cukup bagus? Oh, sial.
“Ini pertama kalinya aku bangun dengan begitu tenang. Kau harus tahu apa yang kau lakukan semalam benar-benar telah mengubahku.”
Nah, itu pernyataan bagus. Sekarang aku mulai mengingat apa yang terjadi semalam. Kuharap tak ada yang kulewatkan selain tertidur ketika lelah menangis. Aku membalas perkataannya dengan ragu, berusaha terdengar yakin namun gagal.
“Aku harap aku tidak melakukan hal-hal yang aneh padamu, Sir.”
“Tidak, tentu saja tidak, Youva. Kau tidak melakukan satupun hal aneh—kau sangat mengagumkan. Aku bahkan tak bisa menjelaskannya dalam kata-kata—”
Dari sini ia mulai menatapku lama. Dadaku berdebar kencang—nyaris kesetanan—saat ia mulai mendekat. Aku tak punya pilihan—oke, bohong. Aku bisa saja menghindar tapi aku tak mau. Aroma Lee Donghae begitu menggoda dan aku sangat ingin menyentuhnya. Ya Tuhan, kuharap aku kelihatan seperti putri tidur sekarang. Aku tidak mungkin memaafkan diriku kalau ternyata penampilanku terlihat seperti Frankenstein yang berbau busuk sementara ia terlihat tampan dan begitu menggiurkan.
Butuh tiga detik baginya untuk mencium pelipisku. Aku memejamkan mata dan menanti dengan debaran memenuhi pendengaranku. Kugenggam erat selimut di tanganku, berusaha mengalihkan dewi batinku yang sinting. Tapi tiba-tiba saja Donghae menyandarkan keningnya di atas keningku. Ia memejamkan mata dan bernapas cepat.
“Bagaimana aku harus membalasmu?” katanya terengah. Aku tak mengerti kenapa ia terdengar seakan habis marathon keliling Los Angeles. “Semua yang kau lakukan—oh, Youva, berikan satu saja permintaanmu agar aku bisa membalas kebaikanmu..”
Ia bernapas di wajahku. Kedua matanya mengabur karena percikan gairah. Posisinya saat ini malah lebih dari berbahaya. Maksudku, aku memang duduk di atas tempat tidurnya, menutupi tubuhku dengan selimut tebal dan tak melakukan apapun. Tapi kenyataan bahwa Lee Donghae berada di atasku mau tak mau membuatku kehilangan akal sehat. Hasratku menyala dalam kobaran apinya, membungkus seluruh kenyataan dalam kekosongan—terbakar hingga hanya menyisakan abu.
“Sir,” ucapku parau. “Bisakah Anda—maksudku, aku ingin—”
“Katakan.” Geramnya di wajahku.
“Aku ingin cuci muka.” Jawabku akhirnya. Pori-pori wajahku terbakar karena malu dan aku melarikan mataku ke dadanya yang bidang. Ya ampun, sangat menggoda.
Donghae menyunggingkan senyum miringnya dan menarik kepalanya menjauh. “Oke,” katanya menyetujuiku. “Tapi bisakah kau membantuku kali ini?” Aku mendongak menatapnya, tapi bahkan jika ia tak melanjutkan kalimatnya, aku tahu apa yang akan ia lakukan.
“Kumohon biarkan aku menciummu.”
Kukenali kedatangannya yang begitu cepat. Ia menarik wajahku dalam satu gerakan mudah dan bibirnya kini mencecap bibirku. Ia memiringkan kepala, tak sudi menanti balasanku dan mulai menyusupkan lidahnya. Aku merasakan tangannya di punggungku, sementara yang satunya menahan tengkukku agar ia bisa mencari kenikmatannya. Donghae bernapas dalam mulutku, dengan lidahnya yang menari di antara gigiku, ia menarikku lebih erat.
 “Sir—Apa yang Anda lakukan—” selaku dalam ciumannya. Aku mendorongnya dan ia menatapku bingung.  Matanya berkabut gelap, memandangku penuh hasrat.
“Oh, tidak. Jangan sekarang.” Erangnya kecewa. Donghae menggigit bibir dan memejamkan matanya. Ia terlihat bergelut dengan batinnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang.  “Kau benar. Ini tidak seharusnya kulakukan.” Gumamnya lebih kepada diri sendiri.
“Maafkan aku.” Bisikku lirih. Sejujurnya aku sangat malu saat ini. Aku tak mampu memandang Donghae sekarang. Kedua mataku memanas sementara jantungku masih berdegup keras.
“Tidak, tidak. Maafkan aku, Youva.” Ujarnya merasa bersalah. Ia menarikku dalam pelukannya, membenamkan wajahku di dadanya yang bidang—membuat batinku nyaris tersiksa karena terlalu menginginkannya—lalu berucap penuh sesal.
“Aku hanya meminta satu ciuman dan lihat apa yang kulakukan.” Donghae terkekeh geli sembari menggeleng. “Kau begitu mengagumkan, Youva. Tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana rasanya melihatmu pagi ini dari dalam kepalaku.”
Untung saja Donghae tidak bisa melihat ekspresiku sekarang. Mukaku agaknya bisa menyaingi kepiting rebus. “Semoga penampilanku tidak seburuk itu,” desahku. Aku tahu ia mendengar keluhanku dan kali ini Donghae tergelak.
“Kau menawan, Youva. Bahkan dalam tidurmu. Well, kau mungkin meracau beberapa kali tapi aku menikmati semua itu.” Donghae kemudian menarik kepalaku, mengecup puncak keningku dan berkata lembut. “Kau tak tahu betapa bahagianya aku pagi ini.”
Lagi-lagi sesuatu memberontak di dasar hatiku. Aku tidak mungkin bisa menahannya lebih lama. Bertahan dari pesona Donghae bisa kubilang mustahil. Dalam pelukannya, aromanya membiusku hidup-hidup, meninggalkan kewarasanku dan aku tak bisa memandang apapun selain matanya yang sehitam batu granit. Kurasa air liurku bisa saja mengalir deras sekarang—aku berusaha mengalihkan pandanganku ke bibirnya yang terbuka. Tebak siapa yang mulai sinting?
“Oke, kita harus hentikan semua ini sebelum aku berubah menjadi monster,” katanya berhati-hati. Ia mengangkat tangan dan meninggalkanku di atas tempat tidur, memungut atasannya di lantai dan menghadap kaca.
Oh, aku tidak sadar kami masih berada di ruangan terkutuk ini. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Kupandangi ribuan pantulan diriku di seluruh dinding. Aku bergidik ngeri, menahan ketakutanku dan memastikan bahwa Donghae masih ada di sini. Ruangan ini lebih tepat jika disebut ruangan penyiksaan dibanding dengan ruangan penyembuhan.
Buru-buru kuperintahkan tubuhku untuk segera turun, ketika kusadari bentuk tempat tidur milik Donghae. Pemilihan tempat tidur dan tata letaknya sedikit menggugah rasa penasaranku. Aku berdeham lalu bertanya langsung pada Donghae yang ternyata tengah memperhatikanku. Ia terkekeh kecil sebelum menjawab. Dan aku bersumpah ada kilatan nakal di kedua matanya saat memandangku lekat-lekat.
“Aku suka sesuatu yang unik,” ujarnya menjelaskan. “Tempat tidur berbentuk persegi sudah terlalu pasaran. Jadi aku memesan sesuatu yang berbeda. Itu saja.”
Aku tak menyalahkan kebenaran itu, kuakui selera Donghae memang sedikit berbeda. “Tetapi kenapa Anda meletakkannya di tengah ruangan?” tanyaku masih kebingungan. Maksudku, benar-benar di tengah ruangan hingga aku merasa sedikit aneh.
Donghae tertawa, bisa kulihat ia enggan menjawabku. Tapi setelah menunggu beberapa saat, ia menyerah. “Psikiaterku bilang aku mengidap kelainan orientasi seksual.” Jawabnya mengangkat bahu.
“M—maksud Anda?”
“Aku tak suka sesuatu yang mainstream.” Ujarnya santai. Ia melirikku yang tengah terbelalak menatapnya lalu tertawa keras beberapa detik kemudian. Terlihat jelas bahwa Lee Donghae amat menikmati ekspresi terkejutku.
“Dengan segala hormat, Sir, apakah Anda sedang mengerjaiku?” kataku separuh jengkel. Aku hampir mempercayai perkataannya—maksudku, dengan semua keanehan ruangan ini, kelainan orientasi seksual atau apalah itu, kelihatannya sangat memungkinkan.
“Ayolah,” ujar Donghae dalam tawa. “Menurutmu orientasi apa yang kupunyai di ruangan seperti ini?” Ia bertanya dengan seringaian di wajah tampannya.
Aku mengalihkan pandangan ke bawah, mencoba menutupi wajah maluku secepat kilat. Tetapi bosku selalu lebih cepat, ia memajukan wajahnya dan membisikkan sesuatu di telingaku. Hm.. Aku tak pernah memikirkannya. Kau mau kita mencobanya?”
Aku nyaris meledak sementara Lee Donghae kembali tertawa histeris. Kugigit bibirku dan membuang muka darinya ketika kusadari kemanapun aku menatap hanyalah cermin—memantulkan diriku yang sekarang sudah semerah tomat—oke, aku butuh air dingin. Segera.
“Sama sekali tidak lucu,” bentakku tak suka. Aku menghentakkan diri menuju pintu dan menariknya dengan kekuatan berlebih. Sedetik sebelum aku membanting pintu tak bersalah itu, kudapati sepasang mata indah Donghae menatapku penuh arti—namun masih terlihat tulus. Untuk sejenak aku merasa goyah, kedua kakiku ingin kembali dalam pelukannya. Tapi dengan cepat kubuang semua pemikiran itu. Terlalu berbahaya jika aku terus menguji kewarasanku lebih jauh.
Aku memandangi sekeliling koridor yang dipenuhi penjaga bertampang masam. Beberapa dari mereka melirikku sembunyi-sembunyi, mungkin memutuskan dalam sekali pandang apakah aku layak mendapat semua perhatian dari bos mereka. Tidak mungkin wajahku bisa lebih merah dari ini, tapi belum lagi aku memutuskan untuk kabur, seseorang berdiri di ujung koridor. Chad bersandar di dinding dengan kedua tangannya terlipat di dada dan menatapku penuh arti.
“Ini dia Alice kita,” ujarnya menyeringai. “Welcome to Wonderland.”

***

Lima belas menit yang lalu Chad mengantarku ke kamar dengan satu set sarapan di atas troli. Aku telat menyadari kalau tubuhku ternyata kelaparan dan dalam hitungan detik liurku menetes deras saat mendapati semangkuk sup daging kambing dan segelas cokelat panas. Aku menyisakan roti lembut dengan lelehan madu sebagai penutup dan tak bisa menahan desahan lega saat makanan itu mengisi lambungku yang kosong.
Chad tertawa melihat caraku menyantap seluruh hidangan dan ia mengacak rambutku pelan. Biasanya aku akan terganggu dengan sikap seperti itu namun kali ini aku memberinya kelonggaran. Lagipula masih ada perut yang harus kuisi sekarang.
"Kau ingin tambah?" Tanyanya geli. Ia memperhatikanku menggigit daging kambing dengan rakus.
Aku menggeleng sebagai jawaban, tak mampu memberikan kalimat utuh padanya. Chad terkekeh lagi.
"Tenanglah, aku bisa menyuruh chef untuk memasaknya lagi nanti siang."
Aku mengangguk. Mengunyah selama beberapa saat dan menelan dengan perasaan nikmat. "Sup ini enak sekali. Aku tidak ingin berhenti makan," kataku mengerang senang.
Chad tertawa lagi. "Tentu saja," katanya mengiyakan. "Chef Harold didatangkan langsung dari Wales. Memasak 'Traditional Welsh Cawl' mudah saja baginya."
"Traditional Welsh Cawl, akan kuingat." gumamku sambil mengunyah. Aku menyendokkan potongan kentang terakhir ke mulutku dan menjilati kuah sup di ujung sendok. Chad memutar bola matanya, berjalan menuju lemari di sebelah tempat tidur dan membuka pintunya.
"Jika kau sudah siap makan, sebaiknya kau segera mandi, Youva. Kuharap kau bisa bersiap untuk meeting di main hall setengah jam lagi."
"Meeting? Maksudmu Meeting perusahaan?"
Chad mengangkat bahu ringan. "Tak persis seperti itu. Kurasa rapatnya hanya akan membahas seputar masalah di farmasi."
"Apakah aku harus hadir?" Aku membayangkan tim peneliti yang berjubah putih dan menahan diri untuk memberengut. Aku tidak terlalu menyukai mereka.
"Kupikir setidaknya kau harus ada di sana. Boss bilang dia akan membahas sesuatu yang penting. Kurasa ada kaitannya denganmu juga."
"Kau tahu, aku benci jika kau mulai mempermainkanku. Kurasa akan menghemat waktu untuk mengatakannya langsung tanpa membuatku terserang migrain."
Chad tergelak lagi. Kali ini ia tidak menanggapi pernyataanku dengan cepat. Chad berjalan menuju pintu dan berkata santai padaku. "Kau harus tahu, memberimu seluruh informasi bukan tugasku. Aku hanya menyampaikan apa yang bos perintahkan."
Aku mengerang kesal. "Ayolah," desakku padanya. "Bisakah kita menjadi teman satu komplotan?"
"Melawannya atau membantunya?"
Aku memutar bola mataku. "Yang manapun yang kau inginkan, asal kau membantuku."
"Idemu menarik, tapi harus kupertimbangkan."
Desakanku tak bisa meluluhkannya. Chad berlalu meninggalkanku sendirian di dalam kamar. Trolinya masih di sana, dengan aroma sup daging kambing yang memenuhi ruangan, aku nyaris tak ingin bergerak kemanapun. Rasanya mendadak tubuhku menjadi lebih ringan. Tapi aku tak bisa berlama-lama, meski perutku akhirnya mulas karena memikirkan rapat yang akan diadakan Donghae, cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi dan membersihkan diri. Aku biasanya tidak memerlukan waktu lama, tapi sedikit pembersihan ekstra kurasa tak ada salahnya.

*

Air panasnya terasa menyejukkan. 
Kubiarkan airnya mengalir melewati tubuhku, menyingkirkan semua keringat yang menempel. Tawaran untuk berendam di bathup memang sangat menggoda, namun aku tak punya pilihan selain mandi dengan shower. Semua orang menungguku di main hall dalam waktu sepuluh menit.
Aku sendiri tak yakin dengan semua orang yang disebutkan Chad, tapi kupikir Donghae juga akan ada di sana dan pemikiran itu yang membuat perutku nyeri. Bayangan tentangnya terlalu memusingkan hingga aku harus menyumpahi pikiranku yang semakin kotor. Well, bukan salahku sebetulnya. Bosku yang punya andil paling besar dalam semua hal ini.
Ketika aku selesai mandi, kutemukan sebuah gaun two-piece berwarna coral di atas tempat tidur. Aku mengernyit sebentar, masih tak bisa mengerti kenapa aku bahkan tak mendengar seseorang masuk ke kamarku. Setelah memastikan tak ada siapapun yang bersembunyi di balik lemari, aku mencoba gaun itu. Atasannya sebuah terusan sepinggang tanpa lengan, menampilkan tulang belikatku yang menonjol. Aku tak menyukai ide mengenakannya, tapi kemudian tersadar bahwa inilah satu-satunya pilihan yang kumiliki selain memakai lagi kemejaku yang sudah basah.
Warna itu terlihat mencolok di kulitku, yang entah mengapa membuatku tampak cantik. Bawahan gaunnya adalah rok selutut berwarna senada dengan motif bunga, membuat penampilanku terkesan mewah namun seksi. Aku menatap cermin dan merasa puas, menolak memikirkan bagaimana tubuhku bakal terekspos di bawah pandangan Donghae—oke, cukup sudah. Aku harus benar-benar berhenti memikirkan pria itu.
Jadi, setelah menghabiskan beberapa menit tambahan untuk memoles wajahku, aku bergegas turun ke lantai dasar, menuju main hall yang ternyata masih kosong. Ada beberapa maid yang mengelap pegangan pintu dan begitu mereka menatapku, mereka langsung bersembunyi. Tak ada yang bisa kutanyai di ruangan kosong ini, bahkan para penjaga hanya membungkuk dan cepat-cepat pergi saat melihatku. Lalu karena tak ingin terlihat bodoh di ruangan ini, aku memutuskan berjalan santai menuju selasar kanan sambil merutuki Chad dalam hati.
Lantai di selasar ini menggunakan material parquet yang terbuat dari kayu, menyatu sempurna dengan dinding yang putih dan pintu kaca di sepanjang sisi. Pintu kacanya sendiri begitu luas, namun disekat dalam beberapa bagian yang membagi ruangan menjadi petak-petak konsol meski saling menyatu. Ada perapian di sudut terjauh dinding selasar, beberapa pigura di atas perapinya dan kursi-kursi empuk. Aku membayangkan duduk di sana ketika hujan turun, membaca novel kesukaanku dengan secangkir cokelat panas, menatap ke arah laut yang memanggil dikejauhan.. well, semua itu bakal sempurna buatku.
Kira-kira sudah sepuluh menit aku menelusuri selasar kanan dan kehabisan ide bagaimana aku harus menghabiskan waktu lebih lama lagi. Tak seorangpun muncul dan aku bosan terus menunggu sendirian. Akhirnya aku merebahkan diri di salah satu sofa kulit di dekat pintu kaca, menahan kantuk yang mulai menderaku saat ini. Semilir angin membuatku tak bisa menahan kelopak mataku yang perlahan turun.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Sesaat aku merasa mimpiku telah menerobos akal sehatku sebab apa yang kusaksikan sekarang tak mungkin nyata. Lee Donghae terlalu tampan untuk dikatakan manusia, tetapi terlalu rapuh jika kusebut ia malaikat. Aku tak sadar telah menghabiskan semenit penuh untuk mengaguminya kali ini. Ia berada di depan pintu kaca, sebelah tangannya menopang bobot tubuhnya di depan sementara tangan yang satunya lagi menyampirkan jasnya di pundak.
Lee Donghae memandangiku bingung tapi aku tak menggubrisnya. Dalam hati aku menghela napas frustasi; bagaimana mungkin pria itu terlihat begitu menawan tak peduli apapun yang ia kenakan? Sungguh tidak adil menyaksikan semua ini. Aku tak yakin Donghae bisa lolos dari kategori apapun selain sempurna.  Pria itu kini mengenakan kemeja dark blue tanpa dasi sementara kancingnya berwarna emas—terlihat mencolok namun juga stylish. Ia memadukan kemeja birunya dengan celana hitam dan sepatu kulit, membuat penampilannya seribu kali jauh lebih mematikan kali ini. Lee Donghae menata rambutnya ke atas, memberi kesan tegas namun tetap menawan. Bibirnya penuh—sangat menggodaku saat ia tersenyum mengejek.
“Sudah puas mengagumiku? Atau kau memang perlu sebuah ciuman panas?”
Aku meledak dalam rasa malu dan cepat-cepat mengalihkan pandangan, berusaha menyelamatkan sisa-sisa harga diriku di depannya. Kulihat Donghae tersenyum lalu berjalan masuk. Ia merebahkan dirinya di sebelahku dengan lelah sambil membuka kancing teratas kemejanya.
“Jangan Cuma memperhatikan, bisakah kau setidaknya membantuku melepasnya?” Dalam dua detik wajahku kembali memerah dan aku bisa mendengar suara tawanya yang membahana. Untuk satu hal yang rumit, aku suka mendengarnya tertawa. Ia terlihat lebih lega sekarang.
“Kemana semua orang-orang? Bukankah akan ada meeting atau sesuatu? Chad bilang padaku untuk bersiap-siap di main hall.”
Donghae menatapku bingung. “Rapatnya memang ada di main hall. Kami memutuskan untuk menundanya hingga besok malam karena kau tak juga muncul. Tapi sepertinya kau ingin beristirahat, eh?”
“Aku sudah siap, Sir. Tapi tak ada seorangpun saat aku ke sana!”
“Dimana main hall yang kau maksud?”
Aku mencelos. Apa ada begitu banyak main hall di bangunan ini? “Di depan tangga berputar? Di dekat pintu masuk?” Cicitku tak yakin. Kalau tebakanku benar, aku dalam masalah.
“Tidakkah pelayan memberitahumu dimana ruangan meeting?” Lee Donghae terdengar waspada, ia memicingkan matanya menanti jawabanku.
“Tidak ada seorangpun pelayan jadi tak ada yang bisa kutanyai.” Jawabku berusaha santai. Aku sadar punggungku terlihat kaku dan cepat-cepat aku bersandar di punggung sofa.
Aku tak mengerti kenapa Donghae terlihat tak puas dengan jawabanku. Ia mengernyit selama beberapa saat—mungkin berpikir dengan begitu keras ketika akhirnya ia menghela napas panjang. “Sudahlah, kurasa apapun itu aku harus menundanya sekarang. Lagipula keputusannya sudah di ambil—kita akan ke Las Vegas besok siang.”
“Las Vegas—maksud anda di Nevada?”
Donghae mendengus, ia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Kita akan ke sana saat tengah hari dan akan kembali keesokan paginya. Ada beberapa hal yang akan kita urus.”
Well, dengan adanya kata kita dalam kalimatnya, aku cukup yakin aku ‘diikut sertakan’ dalam apapun yang akan ia kerjakan di Los Angeles. “Bukannya Anda bilang rapat siang ini ditunda besok malam? Apa maksudnya rapatnya juga dipindahkan ke Las Vegas?”
Donghae tersenyum perlahan dengan binar matanya yang menatapku kagum. Ia terlihat puas, namun juga penuh semangat. “Selalu tajam dan penuh ingin tahu, Youva. Kau benar-benar tak terduga.” Aku tak mengerti sepenuhnya yang ia katakan, menurutku itu bukan rasa ingin tahu yang pantas ia kagumi. Lagipula aku Cuma mengikuti pembicaraannya dengan teliti dari awal, tapi tampaknya Donghae tak mau mendengar penyanggahan apapun dariku. Ia berdiri sambil merapikan kemejanya dan menarikku bersamanya.
“Biar kutunjukkan tempat favoritku.” Ujarnya penuh arti. Aku menolak membayangkan ruangan penuh cermin atau yang bakal lebih mengerikan—ruangan penuh penyiksaan, misalnya?
*


Tetap tak ada yang bisa kulakukan saat pria itu menyeretku bersamanya—mengikuti setiap langkahnya tanpa jeda. Jadi, setelah melewati koridor di sepanjang selasar kanan, akhirnya kudapati bahwa ujung bangunan ini tidak berbentuk siku, melainkan melengkung oval. Donghae menunjukkan hamparan taman di belakang selasar tetapi kami menuju atas, menaiki tangga di tengah ruangan. Lantai dua ternyata juga di penuhi dinding kaca, dengan beberapa sekat yang menyatukannya dan diisi dengan banyak sofa berlengan yang empuk. Aku bahkan tak sempat melihat-lihat balkon cantik di ujungnya karena Donghae tak mau berhenti barang sejenak pun. Jadi tanpa banyak mengeluh kuputuskan untuk mengikutinya dalam diam.
Ketika tiba di tangga menuju lantai teratas, napasku mulai berat. Aku merutuki desain tangga yang melingkar, yang tentu saja memperjauh jarak kami untuk tiba di atas dan artinya ada banyak langkah ekstra. Tapi bosku sepertinya tak merasakan apapun, sebab aku bisa mendengarnya mendengus di depanku.
“Kalau aku jadi kau, aku akan mulai berolahraga, Youva.”
Aku memberengut dan bersyukur pria itu tidak melihatku. “Kupikir untuk sementara ini cukup otakku saja yang berkerja keras.” Gumamku separuh kesal.
“Benarkah?” Ujar pria itu lagi. Donghae menatapku satu kali sebelum pandangannya pindah ke atas. “Kalau begitu nikmati hasil kerja kerasmu. Selamat datang di Paradise Palace.”
Aku ingin mencibir perkataannya barusan, tapi apapun yang kulihatkan tak pernah semenakjubkan ini.
Aku berdiri—kami berdiri—di lantai teratas dari selasar kanan dan sepertinya ini adalah bangunan tertinggi dari kediaman  Donghae sebab kini aku tak bisa melihat apapun selain lautan biru di kedua mataku. Jarak laut dan langit hanyalah segaris perak di ujung penglihatan. Ini benar-benar pemandangan terindah. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa ada petak-petak ubin yang mengarah lurus menuju sebuah sofa dengan perapian di kanan kirinya. Sementara seluruh lantai terisi genangan air dangkal, kecuali petak ubin yang hanya sedikit lebih tinggi dari genangan airnya. Dari gradasi warna air, kuketahui bahwa di genangan air itu akan semakin dalam—membentuk sebuah kolam di sekitar pinggiran sofa. Pada beberapa titik, ada pusaran air yang menggelegak lembut, tetapi sama sekali tak mengganggu. Aku mendongak dan menyadari bahkan tak ada atap sama sekali. Kami bisa melihat langit yang luas, seolah tanpa batas di atas kami.
“Sebuah Jacuzzi di atap?”
“Yeah,” senyum Donghae sederhana. “Kau terkesan?”
Aku menoleh padanya dan memiringkan kepalaku. “Kepingin pamer padaku?”
Donghae mendengus dan ia juga memiringkan kepalanya. Ada kerinduan di kedua matanya dan aku bisa melihatnya dengan jelas. “Aku tidak bisa menahannya.” Jawabnya berbisik. Aku mendeteksi makna ganda dari kalimatnya.
“Tentu saja,” desahku berlebihan. “Aku bisa melihat Anda berjuang untuk mengendalikannya.” Kataku tertawa. Kedua mata Donghae menyipit dan senyuman lolos dari wajahnya. Kami berdiri berdampingan dan tak ada siapapun saat ini yang bisa menghentikan kami. Maksudku, dengan rambutnya yang tertiup angin, cahaya matahari yang memerangkap helai rambutnya dalam kilauan mosaik, aku hanya ingin menciumnya.
Ugh, kau harus berhenti berpikiran mesum!
Kami berpandangan dalam diam, hingga aku tak tahan mendekam dalam kesunyian dan mulai bertanya mengenai hal pertama yang terlintas di kepalaku.
“Anda sering kemari?”
Donghae mengangkat bahunya ringan. “Kalau aku ingin menyendiri, aku selalu ke sini.”
“Seberapa sering itu?”
Ia menatapku. Campuran antara rasa penasaran dan sedikit kesal atas kelancanganku. “Apakah penting bagimu untuk mengetahuinya?”
“Sebenarnya tidak.” Jawabku cepat. Kulirik Donghae yang memutar bola matanya dramatis. “Ini menyenangkan.” Komentarku tertawa.
“Tentu, ayo kita duduk.” Donghae menarikku, menuntunku menuju sofa di tengah Jacuzzi. Sofanya terlalu besar untuk diduduki seorang diri dan terdapat begitu banyak bantal di atasnya tapi benar-benar nyaman bagiku. Aku meletakkan kedua kakiku di antara bantal-bantal dan Donghae mengikutiku. Ia merebahkan diri di sebelahku, duduk benar-benar rapat hingga lengannya menempel padaku. Aku menggeliat membebaskan diri darinya, mencoba memberi jarak yang aman untuk jantungku sendiri. Tapi tentu saja bosku terlalu egois.
“Tetap di sini, Youva.” Perintahnya mutlak.
Aku menampilkan wajah tak suka, walau entah kenapa batinku bersorak gembira. “Akan sangat menyebalkan kalau turun hujan,” komentarku mengusir kesunyian, meski faktanya jantungku tengah marathon saat ini.
“Aku juga kemari ketika hujan.” Balas Donghae tenang. Ia memberikan senyumnya saat melihatku menaikkan alis tinggi-tinggi. “Tidak ada yang berubah, selain rintik hujan.” Imbuhnya lagi.
“Kecuali basah dan asap di perapian.” Ujarku sedikit sarkastis.
Donghae tertawa kecil, tak memberikan sanggahan apapun selain meminta perhatianku. “Mau lihat sihir?” Tanyanya dengan nada bergurau. Aku mengangguk mengiyakan, walaupun tak yakin apakah ia hanya menggodaku dengan penawarannya.
Kuperhatikan pria itu menekan sesuatu di atas lengan sofa dan dalam tiga detik sebuah kanopi bergerak dari bawah sofa. Kanopinya melengkung, menutupi lebih dari separuh bagian sofa dan ada tirai tembus pandang yang akan menghalangi air hujan masuk. Tentu saja bakal sangat menyenangkan menyaksikan rintikan hujan dari dalam.
“Sebagai informasi, aku menggunakan perapian elektrik dan api yang kau lihat hanyalah ilusi optik dari sebuah hologram di dalamnya.” Ia menjelaskan dengan tenang, seakan hal itu benar-benar sepele baginya. Ia kemudian meletakkan tangannya di atas perapian, tepat di tengah kobaran api yang menyala—well, seperti itulah kelihatannya bagiku—dan tangannya tampak baik-baik saja.
“Uh-oh,” gumamku kagum. Di sebelahku Donghae tertawa.
“Ucapkan hai pada teknologi, sayang.” Ujarnya separuh geli.
Aku mengikuti perbuatannya—meletakkan jari-jariku di atas perapian dan tak merasakan apapun. Ada seberkas sinar dari dalam kotak perapian itu dan aku berupaya meletakkan ujung jariku ke dasar kotak, mencoba menghalau sinar hologram yang menyoroti tanganku.
“Seperti seorang Lady, aku sangat terkesan.” Ejeknya menahan tawa. Kutatap wajahnya yang terlihat santai lalu membuat cibiran untuknya dan dalam sekejap tawa pria itu lenyap.
“Jangan menggodaku lebih dari yang bisa kau tangguhkan, Youva.” Suaranya berubah berbahaya.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya dengan nyali seujung kuku. Bosku masih diam, memandangku dengan nyala di kedua matanya. “Aku tidak menggoda siapapun.” Kilahku berbisik, cepat-cepat melarikan pandanganku ke bawah, ke tempat manapun selain kedua matanya yang perlahan membakarku.
“Youva,” bisiknya perlahan. Ada sensasi aneh di perutku, seakan menyentak dengan kuat saat kami berpandangan. “Tahukah kau kalau aku menginginkanmu?”
Perkatannya membakarku. Dengan cepat seluruh folikel kulitku berubah merah muda dan bagian dalam otakku mulai kebakaran hebat. Jarak kami teramat dekat, sehingga setiap tarikan napasnya yang berat menyapu wajahku. Aku bersiap, menanti wajahnya yang semakin dekat padaku. Detak jantungku terasa sampai di ujung lidah, sementara indera penciumanku hanya dipenuhi oleh aromanya, Lee Donghae.
Kupejam kedua mataku, mencoba tak terlihat gugup dengan debaran tolol ini. Saat waktu melambat di sekitarku, kudengar suara Donghae yang merdu berbisik, “omong-omong, kau terlihat cocok dengan gaun ini.”
Kedua mataku membuka dan aku nyaris menghela napas kecewa ketika ia telah menarik kembali kepalanya. Aku ingin tertawa karena kebodohanku sendiri. Apa yang kuharapkan? Ciumannya? Ya Tuhan, kau butuh bantuan, Youva.
Tetapi pria itu masih menatapku. Sepasang matanya membulat, dengan irisnya yang menggelap mengundang tanya. Aku bertanya-tanya, kenapa ia menatapku begitu penuh hasrat jika ia tak berniat menciumku?
Don’t try to test me. You have no idea how much I want to rip your dress now.” Suaranya terdengar serak.  Sepertinya ia begitu menderita.
Kutelan seluruh kegugupanku dan menjawab separuh geli. “I’ll remember it.” Lee Donghae terdengar frustasi karena teramat menginginkanku? Aku tak tahu apakah seseorang telah merekam perkataannya barusan. Tapi kupikir aku layak mendapat penghargaan karena telah berhasil membuatnya mengakui hal itu.
“Jadi, bisakah kau bersikap kooperatif? Aku tak suka jika harus merobek gaun mahal.” Donghae terdengar santai sekarang. Ia bahkan tersenyum mengejek melihat ekspresiku yang menatapnya tak percaya.
“Dan bisakah Anda berhenti menggodaku?”
“Tidak,” jawabnya cepat. “Itu hobi baruku.”
Aku menatapnya jengkel dan ia tersenyum padaku. Kupikir itu senyuman mengejeknya lagi, namun entah kenapa kedua matanya berubah sendu saat menatapku. “Bolehkah aku bersandar di bahumu?”
Pertanyaan Lee Donghae selalu berhasil membuatku terperangah. Tapi ia bahkan tak mendapatkan persetujuanku dan langsung meletakkan kepalanya di pundakku, membuat tubuhku tegang dan jantungku rasanya benar-benar terjun dari ketinggian.
“Ini menenangkan, bukan?” tanyanya nyaris berbisik.
‘Tentu saja tidak.’ Jeritku dalam hati. Tapi aku menjawab kebalikannya. “Sepertinya begitu.”
Dengan gerakan perlahan Donghae menautkan jari-jarinya yang panjang denganku. Ia mengisi buku jariku dengan jarinya lalu menggenggam jemariku erat. Aku bisa merasakan denyut nadinya—atau mungkin itu milikku?—dan mendengar hembusan napasnya yang semakin perlahan.
Aku tak tahu apakah hamparan laut tak berujung ataukah kenyataan bahwa pria yang kucintai ternyata begitu menginginkanku, apapun itu salah satunya benar-benar membuatku damai. Kami tak mengatakan apapun, membiarkan kesunyian mengambil alih dan mengalah pada deburan ombak di bawah sana.
‘Andai waktu terus seperti ini..’

*
Keesokan paginya bosku berubah pikiran. Ia memindahkan rapatnya ke San Fransisco dan tampaknya ia benar-benar ingin pamer padaku sebab pagi-pagi sekali kami semua sudah harus membeku karena angin pagi saat menuju ke lapangan terbang pribadinya di salah satu lembah bukit.
Kupikir Jet hanyalah sebuah pesawat berukuran kecil yang hanya memuat beberapa orang di dalamnya—maksudku, jet pribadi seharusnya bisa dibuat sederhana; beberapa kursi, seorang pramugari, atau mungkin dengan tambahan kamar mandi di dalamnya. Aku membayangkan hal-hal semacam itu dan ketika aku menyuarakannya, nyaris kudengar desisan Donghae sebagai jawaban dengan nada jengkel.
Tentu saja yang kulihat adalah kebalikannya. Lapangan terbang pribadinya sendiri sangat luas, terletak di tengah-tengah hutan dengan pepohonan besar sebagai pembatasnya. Ada beberapa lampu yang menyorot di sepanjang jalur lintas pesawat, membuat raksasa udara itu terlihat begitu menawan.
“Apakah anda baru saja menyewa sebuah pesawat dari maskapai penerbangan?” tanyaku berteriak di tengah deru angin dan mesin.
Donghae memberiku pandangan berhenti-bersikap-menyebalkan namun tetap menjawabku dengan teriakannya. “Itu Jet pribadiku. Beritahu aku kalau otakmu telah tertiup angin, Miss Cardia. Aku tak ingin sekretarisku hilang akal.”
Dan percakapan itu diakhiri dengan wajahku yang memerah serta bibirku yang mencebik dalam keremangan. Kupikir itu adalah akhirnya, sampai ketika aku memasuki jet itu dan terpana melihat interiornya yang super mewah.
Aku tak bercanda saat mengatakan super mewah karena aku telah menghabiskan sepuluh menit tanpa hasil hanya untuk mencari kata-kata lain yang bisa mendeskripsikan kemewahan yang tengah kusaksikan saat ini.
Aku menatap bagian dalam jet dengan mulut terbuka lebar, meninggalkan setiap sindiran bosku jauh di belakangku.
“Kapan kau akan berhenti terkejut?” Ia mengejekku dengan senyumnya. Chad juga ikut tertawa, tetapi ia begitu sopan menyamarkan gelaknya dengan batuk samar.
“Apakah ini tidak terlalu berlebihan?” ujarku saat berhasil menemukan suaraku kembali.
Donghae menyilangkan kakinya, duduk dengan segala ketampanan dan kesombongannya. “Tentu saja aku harus mencari cara untuk menghabiskan uangku.”
Di sebelahku Chad berdeham satu kali. Aku tak mempedulikannya. “Tidakkah Anda pernah mendengar kata-kata menabung?”
“Tidakkah kau mengerti bahwa kata-kata itu tak berlaku padaku?” Ia menunjukkan wajah tak berdosa, seakan akulah yang benar-benar bodoh untuk bertanya padanya. “Kuakui aku cukup puas menyaksikan ekspresimu.”
Aku memutar bola mataku dengan jengkel sementara dua pria tampan itu tertawa bersama. Kulirik lagi interior jet ini, masih merasa tak yakin dengan apa yang kusaksikan. Deretan sofa-sofa empuknya dilapisi kulit asli, sementara bantalannya diisi kulit angsa. Aku menatap langit-langitnya dan menemukan lampu gantung Kristal super mewah dan bersinar begitu terang—berkilau dengan seluruh pantulan Kristal lain di ruang kabin ini. Menurut penjelasan bosku, seluruhnya ada lima kabin—tiga kabin di bawah dan dua kabin privat di atas. Setiap kabinnya benar-benar luas hingga kupikir aku bisa saja bersepeda di dalamnya. Ada sebuah bar dengan dua orang pramusaji—atau pramugari?—memakai seragam dengan topi kecil dan tersenyum ramah pada kami. Ada juga ruangan meeting yang di sekat dari sebuah kabin lain, yang lengkap dengan televisi, proyektor, bahkan mimbar sederhana di ujung ruang.
“Kamar tidurnya ada di atas,” sahut Donghae dan aku meliriknya perlahan. Tidak mengherankan ada kamar tidur di sini, tapi aku sedikit tergerak dengan nada suaranya. “Kupikir Chad bisa mengantarmu untuk melihat di atas, tapi sayang sekali ia sibuk.”
Aku menatap Chad yang masih berdiri di ujung pintu. Sama sekali tidak sibuk.
“Jadi mungkin aku yang harus membawamu.” Lanjutnya sambil berdeham kikuk di ujung kalimat.
Keningku mengerut ragu, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku memandang Chad lagi dan tiba-tiba saja ia bertingkah aneh, berpura-pura memanggil pramugari dan berbicara dengan nada serius. Aktingnya tidak cukup bagus menurutku, sebab ia terus-terusan berusaha melirik ke arahku.
“Cepatlah, Youva. Kau tahu aku tidak suka menunggu.”
Ini aneh. Kenapa bosku tiba-tiba bersikap janggal?

*

Ada dua kabin yang menyambut kami di depan tangga teratas. Dua-duanya sangat ekslusif, meski terdapat perbedaan luas yang mencolok. Kabin pertama diisi dengan dua tempat tidur berukuran king-size dan tv layar datar terpasang di dinding. Seluruh lantainya ditutupi karpet beledu sementara beberapa lukisan tergantung di dekat sofa empuk mungil yang memanjang membentuk ruangan. Ada kamar mandi dengan bathup, shower dan westafel yang memungkinkan pengunjungnya menari di dalamnya. Singkatnya cukup luas untuk ditempati seseorang. Tetapi Donghae menyebutkan bahwa kamar ini untuk tamu yang kadang berpergian dengannya. Aku tak meminta penjelasan mengenai tamu yang ia maksudkan tapi pria itu buru-buru mengklaim bahwa tamunya biasanya beberapa direktur perusahaan besar. 
“Mari kutunjukkan kamarku dan aku harap kau bisa berhenti terpana.”
Aku mengernyit tak suka. “Bukan salahku kalau Anda terus memamerkan kekayaan seperti ini.”
Donghae menoleh padaku. Ia memiringkan kepalanya dan menatapku tak percaya. “Apakah kau akan berhenti protes kalau kukatakan Arthur memiliki satu yang seperti ini?”
Itu bagus. Aku lupa kalau ayahku ternyata seorang konglomerat. “Dan itu bukan milikku,” sergahku cepat, tak mempedulikan dengusan Donghae yang terdengar mencela.
“Jadi kau berharap seluruh kekayaannya tenggelam di lautan? Kau satu-satunya penerus Carlos Foundation, Youva. Atau jika kau benar-benar tak suka ide tentangnya, kau bisa melanjutkan untuk menabung sepuluh sen setiap hari.”
Aku menatapnya cepat, penuh emosi. Tapi bosku terlihat lebih mengerikan lagi. Bibirnya yang seksi terlihat menipis, dengan matanya yang menantangku kejam. Di bawah tatapannya yang penuh intimidasi, kunaikkan wajahku agar terlihat garang—sebisa mungkin tak menunjukkan kalau kaus dalamku telah basah oleh keringat.
“Anda sangat merendahkanku.” Ujarku tajam. Kulirik bibirnya yang kini memutih, tampaknya ia benar-benar menahan emosi.
“Kau yang memintanya.” Sahutnya cepat. “Jangan bersikap seperti pengemis kalau kau tak ingin direndahkan.”
“Ap—kenapa Anda menyebutku pengemis? Apakah aku pernah meminta uang dari Anda?” Nada suaraku mulai meninggi dan bergetar. Aku tak terbiasa dengan emosi negatif yang selalu membuatku rapuh.
“Katakan kepadaku kenapa kau harus berhemat tujuh sen? Hanya pengemis yang melakukannya, Youva. Jelaskan kenapa—”
“Itu karena aku tidak ingin menjadi pengemis!” teriakku memotong perkataannya. Ada sesuatu di ujung hatiku yang terasa pilu, seakan sebuah belati mengiris-iris bagian-bagian hatiku dari dalam. “Aku tidak sepertimu—aku tidak lahir dengan sendok emas di mulutku! Aku hidup dengan berhemat, agar aku bisa mengisi perutku keesokan harinya, agar aku tak perlu meminta uang dari siapapun, Dan agar aku bisa mengatakan kalau aku bukan pengemis!!”
Deru napasku naik turun dengan cepat sementara kedua mataku mulai memanas. Aku berdoa dalam hati agar tak ada airmata tolol yang lolos kali ini. Aku tak ingin terlihat lemah di depannya, di depan pria yang ternyata adalah pria paling arogan yang pernah kutemui. Tapi tetap saja, sebesar apapun usaha pengendalianku, semuanya akan sia-sia. Karena aku terlalu lemah bahkan terhadap diriku sendiri. Dan butiran airmataku akhirnya jatuh juga.
Donghae memandangku tak percaya dan dalam setengah detik wajahnya melunak. Tampaknya airmataku meluluhkannya—atau ia mungkin bisa memahami maksudku. Ia bergerak mendekatiku, dengan airmata yang terus jatuh tanpa henti, aku melihat kedua tangannya berusaha menggapai wajahku—tapi segera kutepis.
“Youva..” Panggilnya tertahan.
“Jangan sentuh aku.”
“Kumohon, jangan menangis. Aku—” Pria itu kembali mencoba menghapus airmataku tetapi aku lebih cepat. Kubalikkan tubuhku dan berjalan terus—masuk ke kabin selanjutnya.
“Youva, kumohon maafkan aku.” Desaknya tak mau berhenti mengikutiku. Aku sama sekali tak berusaha menutupi bahwa aku benar-benar terluka dengan menghentakkan kakiku ke lantai. Donghae kemudian menangkap pergelangan tanganku. Ia membalikkan tubuhku dengan cepat.  “Kau keliru—maksudku, aku yang keliru. Ini salahku. Maafkan aku.”
Lee Donghae menatapku gusar dengan kedua matanya yang terlihat nanar menanti pengampunanku.  Dadaku masih naik turun karena emosi tetapi pria itu lagi-lagi berhasil mengubah keadaan. Bagaimana mungkin aku bisa merasa kesal kalau ternyata ia begitu lihai mempermainkan perasaanku?
“Aku bukan pengemis.” Bisikku terisak. Hatiku masih terluka, meski kini mulai mereda.
Donghae menarik tubuhku dalam pelukannya. “Aku tahu. Maafkan aku. Aku hanya tak bisa membayangkanmu berjalan kaki sejauh satu kilo hanya untuk membeli beberapa potong roti murah. Itu juga melukaiku, Youva.”
Aku membeku dalam pelukannya. Kedua pelipisku bertaut bingung. “Bagaimana Anda mengetahui hal itu?”
Perlahan pria itu melepas pelukannya dan mengangkat bahunya ringan. “Aku melakukan penyelidikan, Youva. Tentu saja.”
Ada jeda cukup lama sebelum aku menyudahi pandangan menuduhku padanya. “Kenapa Anda harus menyelidikiku?” tanyaku tak percaya. Ini sangat membingungkan. Maksudku, penyelidikan apa yang ia lakukan terhadapku?
Donghae mendengus kecil lalu melipat tangannya di dada sambil menjawab santai. “Itu harus kulakukan, Youva. Bagaimana mungkin aku menjagamu kalau aku tidak tahu siapa dirimu, bagaimana kepribadianmu dan—apa saja kegiatanmu?”
Mulutku membentuk bulatan tanpa bersuara. Dan entah kenapa tatapan yang ia berikan padaku mendadak berubah. Sejujurnya aku tak punya nyali untuk bertanya, tetapi rasa penasaranku lebih besar dan sebelum aku berhasil menutup mulutku sendiri, kudengar pertanyaanku yang begitu fatal, “jadi, bagaimana menurut Anda? Bagaimana hasil penyelidikan itu?”
Senyum pria itu mengembang puas. Ada sesuatu di binar matanya yang mengundangku masuk ke dalam labirin tak berujung. Ia memiringkan kepala ketika ujung jari-jarinya menyentuh bibirnya sendiri. Aku tahu aku akan menghadapi sesuatu jika melihat bagaimana caranya menjawab pertanyaan bunuh diriku. Tapi mungkin saja sesuatu itu bukan hal yang buruk.
“Sebenarnya apa yang paling ingin kau ketahui? Pendapatku atau hasil penyelidikan timku?” Aku tahu ia hanya memancingku. Tapi sulit sekali untuk tidak bersemu malu saat mengetahui ia berhasil menangkap maksud pertanyaanku. “Kupikir aku tidak memerlukan jawabannya, bukan?” Ia tertawa geli saat menyaksikan perubahan warna di wajahku.
“Harus kuakui, sangat menyenangkan menyaksikan keseharianmu, Youva. Kau benar-benar unik—maksudku, dalam artian yang positif—dan aku belajar satu hal darimu, yang membuatku sangat berterima kasih akan hal itu.”
Aku tak tahu harus bereaksi apa mendengar pengakuannya. Tapi seperti biasa, wajahku lebih dulu mengambil alih dan memutuskan untuk mempermalukanku lebih jauh. Hingga aku tak tahan untuk menatap pria itu lagi karena mukaku agaknya bisa menyaingi tomat sekarang.
“Apa itu?” bisikku serak. Aku masih tak berani memandangnya meskipun aku tahu ia perlahan mendekat.
“Bahwa cantik tidak bisa diukur dari seberapa banyak uangmu di kantongmu, atau seberapa tebal make up yang kau kenakan. Cantik hanya bisa diukur dengan sikap dan ketulusan, sebab sikap yang santun dan hati yang tulus akan mengalahkan kecantikan artifisal.”
Di luar kendaliku, kepalaku mendongak mencari kedua matanya yang menatapku lurus. Lee Donghae tengah memberiku tatapan yang tak mampu kujelaskan sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. “Kau cantik, Youva. Mengalahkan ribuan wanita lainnya di luar sana hanya dengan ketulusanmu. Kau cantik, dengan segala yang kau miliki hingga..”
Pria itu bahkan tak sempat menyelesaikan kalimatnya dan ganti terperangah menyaksikan wajahku yang bersemu dengan senyuman lebar. Aku tahu rayuannya benar-benar klise tapi tetap saja rasanya menyenangkan sekali saat ia memujiku seperti itu. Aku tak bisa menahan wajahku untuk tetap diam dan tenang sementara ia terus menyanjungku setinggi langit.
“Apa kau tahu apa yang ada di kepalaku saat ini?”
Dengan berhati-hati aku menyadari perubahan nada suara yang ia gunakan. Jantungku kini berdegup sedikit lebih cepat, bersama kami menanti ritme yang menunggu di ujung pembicaraan.
Aku memilih untuk diam dan mengamati. Tetapi sepertinya pria itu juga tidak mengharapkan jawaban apapun.
“Ini terlalu berbahaya, Youva. Lihat dan perhatikan sekelilingmu. Kau baru saja menggodaku di dalam kabin pribadiku.”
Aku tersentak dan mulai mengamati sekitarku. Ia benar. Ada sebuah tempat tidur king size diselimuti seprei satin di tengah ruangan—hanya beberapa kaki dari tempatku berdiri. Ada beberapa sofa empuk di sudut kanan, lengkap dengan meja dan vas bunga cantik. Bahkan ia mendesain sebuah mini bar di sebelah kiri. Itu ide yang brilian karena saat kau kepingin mabuk dan langsung tidur—well, kau bisa terus berbaring di sana.
Donghae maju satu langkah, menutup jarak kami—menyebabkan dada kami saling berhimpit. Tetapi pria itu terus maju, membuatku mundur satu langkah ke belakang, membuat jantungku berdebar kesetanan. “Putuskan sekarang juga. Aku sudah mengatakannya berkali-kali, Youva. Aku bukan pria sederhana—hidupku terlalu rumit untuk bisa kau ikuti. Aku tak akan menjamin apapun padamu.”
Ia maju lagi, kali ini dengan desakan yang nyaris membuatku terhuyung. Tapi tubuhku tak bisa bergerak kemanapun. Pria ini telah mengunci seluruh gravitasi di kedua matanya. Sorotnya yang tajam bagai memerangkapku ke dalam dimensi lain—mustahil untuk pergi kemanapun, sebab ia telah menjadi alasanku untuk berada di sini.
“Apakah aku punya pilihan?” kataku berbisik.
Lee Donghae kembali maju. Dengan wajah keras ia menjawab pertanyaanku. “Tinggal atau pergi.
Aku menggigit bibirku—perbuatan refleks yang timbul dari kegugupanku—dan menjawabnya pelan. “Bukankah Anda sudah tahu jawabannya? Aku tak mungkin pergi kemanapun tanpa Anda.”
Donghae menatapku dengan tersenyum puas. Ia memberiku senyuman miringnya lalu mengangkat alisnya tinggi. “Kuperingatkan untuk tidak menggigit bibirmu, Youva. Demi Tuhan, berhenti menggodaku!”
Tawa renyah keluar dari mulutku dan aku menjulurkan lidah sebagai jawaban. “Yang itu juga jangan. Oh, ya ampun—” Donghae menyapu rambutnya ke belakang dengan sebelah tangan dan mendesah dramatis.
“Anda juga harus berhenti menggodaku. Bukankah tidak adil kalau hanya aku yang menjaga sikap?”
“Aku bosmu, Youva. Aku bisa melakukan apapun yang kumau—”
“Kalau begitu peraturan itu juga berlaku untuk dua pihak. Ini bibirku, tubuhku. Aku bisa melakukan apapun yang kumau.”
“Kau boleh melakukan apapun pada tubuhmu. Tapi tidak di hadapanku. Kau harus mengerti bahwa kendaliku begitu lemah terhadap batasan-batasanku sendiri. Terutama jika menyangkut dirimu.”
Aku menatapnya sejenak. Perlu waktu lama sebelum aku memutuskan untuk menyudahi konflik yang terjadi di kepalaku. Beberapa spekulasi muncul dalam beberapa detik, yang kemudian kuputuskan untuk menyuarakannya. “Anda tak bisa mengendalikan diri terhadap..ku?”
Ini begitu sulit. Bukan hanya karena dada bidangnya yang begitu menggoda, tetapi juga kedua mata Lee Donghae yang semakin menggelap—tenggelam oleh hasratnya sendiri. Donghae memajukan kepalanya, mempertegas desah napasnya yang kian berat. “Sudah ratusan kali kukatakan, Youva. Kau seharusnya tak mengujiku sejauh ini. Kecuali kau menginginkanku seperti aku menginginkanmu….atau sudahkah itu?
Tak ada jawaban apapun. Bahkan tak ada siapapun di dunia ini. Hanya Lee Donghae. Bibirnya yang tipis dan berisi, terlihat kesusahan menarik napas. Pria itu berdiri kaku di hadapanku—nyaris hanya satu inci jaraknya dari tubuhku. Ketika lidahku tak kunjung memberikan jawaban, ia mengerang parau. Kulihat ia menarik lilitan dasi di lehernya dengan frustasi dan berujar dengan suara serak.
“Persetan dengan batasan itu. Aku sudah tidak tahan lagi—” Dan detik berikutnya Donghae telah menerjangku.
Seprei di bawahku bergemerisik saat ia mendorong tubuhku di atas sana. Warnanya semerah darah, tampak mengilat di bawah sinar lampu. Kudengar napas Donghae memburu di telingaku  sementara debaran jantungku memenuhi rongga dada, mengirimkan getaran ke seluruh tubuh.
Kali ini sama sekali tak ada paksaan. Pria itu menciumku dengan begitu lembut, hingga kupikir ia jatuh tidur dalam ciumannya ketika kurasakan lidahnya kembali menyusup secara hati-hati. Semacam kenikmatan aneh meledak dalam diriku. Aku suka sensasinya, terasa tenang namun tetap menyentuh inti secara keseluruhan. Tanpa bisa kucegah, kedua tanganku menemukan tempatnya di sela-sela rambut Donghae. Jari-jariku saling menaut bahagia—rambut Donghae yang begitu halus kini berada di genggamanku.
Donghae memindahkan ciumannya ke ujung tulang bahuku, ia menatapku selama dua detik dan kembali berbisik di telingaku, “Aku menginginkanmu, Youva, aku sangat menginginkanmu..” bisiknya separuh menyesal. Dan kusadari aku juga tak mungkin bisa menahan diri lagi.
“Sir—” bisikku dalam desahan, tetapi Donghae menyelaku.
 “Kenapa kau begitu indah?” Ujarnya lagi. Bibir Donghae merangkak naik, mencecap bibir bawahku yang bergetar. “Tenanglah sweetheart,” katanya terdengar geli.
Kedua mata Donghae menemukanku yang masih saja memandanginya tanpa berkedip. Ia menatapku sedikit lebih lama, berusaha menangkap maksud dari tatapanku yang begitu lurus.
“Ada yang ingin kau sampaikan?” Tanyanya bingung.
Aku menggigit bibir dan terdengar decakan sebal dari pria itu. Sebagai respon, aku berdeham satu kali. Dan—uh, oke, tenggorokanku rasanya kering sekali.
“Sir, aku—maksudku—bisakah kita tidak—err.. melakukan itu?”
Keringatku mulai bercucuran. Aku tahu sepasang bola mata pria itu sudah menangkap maksud pertanyaanku, namun tetap saja ia lebih suka jika aku yang menyelesaikannya sendiri.
“Melakukan apa maksudmu?” tanya Donghae terdengar lugu, meski kedua kilatan di matanya tidak bisa ia sembunyikan.
Aku berdeham. Tangan Donghae yang menggenggam jemariku terasa kian memanas. “Err.. Bercin—maksudku, seks.”
Donghae meremas jariku perlahan, meninggalkan kehangatan bersama dengan senyumnya yang menawan. “Nah, kenapa kau berasumsi kalau kita akan melakukan seks?”
Aku berkedip satu kali. Tak benar-benar mengerti mengapa ia malah bertanya seperti itu kepadaku. “Karena sepertinya Anda menginginkan itu, Sir.” Jawabku setelah membisu beberapa detik.
Donghae memberiku senyuman miringnya, menciptakan ekspresi yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidupku.
“Apakah itu memang hanya asumsiku saja?” Tanyaku lagi.
Wajah pria itu mendadak hampa, namun dalam hitungan milidetik telah kembali geli. “Sayangnya tidak,” Jawabanya ringkas. Ia menatapku, tersenyum satu kali tetapi kembali menanyakan pertanyaan yang tak pernah kuduga. “Apakah itu berarti aku mengecewakanmu?”
Ada perasaan sendu di balik pertanyaannya. Begitu juga dengan sepasang bola mata Donghae yang menatapku dalam. Aku tak bisa berhenti memandanginya, tenggelam dalam keindahan yang begitu rapuh.
“Entahlah, Sir. Aku juga tidak tahu.” Jawabku akhirnya. Donghae terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bertanya lagi.
“Beritahu aku, Youva. Kenapa kau tidak ingin aku bercinta denganmu?”
Ini dia. Kali ini aku sudah menduga pria itu akan bertanya. Tentu saja sebab bagi Lee Donghae, penolakan adalah hal yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Maksudku, perempuan waras mana di seluruh Los Angeles yang akan menolak dirinya?
Jawabannya tidak ada.
“Aku hanya tidak ingin menghancurkan janjiku pada ibuku, Sir.”
“Menghancurkan kepercayaannya? Apakah Diana melarangmu bercinta denganku?”
“Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya tidak diperbolehkan melakukan seks sembarangan. Hanya satu orang. Dan pria itu harus menjadi suamiku lebih dulu.”
Donghae menaikkan alisnya tinggi. “Wow.” Komentarnya terdengar sedikit tak percaya. “Jadi.. Itu artinya kau masih perawan?”
Pipiku bersemu mendengar pertanyaannya. Apakah pria itu harus sejujur itu?
“Ya.” Jawabku parau. Rasa malu menyergapku saat kutemukan matanya yang menatapku lekat-lekat.
“Astaga, Youva. Itu sebabnya kau tak pernah berinisiatif untuk menciumku? Tadinya kupikir ciumanmu payah.”
“Aku tidak pernah berciuman lebih dari dua kali sebelum aku bertemu dengan Anda, Sir.”
“Biar kutebak siapa pria yang menciummu dua kali.”
Hening dan aku menghitung setiap detik dalam hati.
“Apakah ciuman Jason Andersen begitu buruk?” Meski tak terlalu kentara, aku bisa mendengar nada muak dalam kalimat Donghae. Apakah ia cemburu?
“Tidak juga.” Jawabku enggan. Ayolah, apakah aku harus membicarakan pengalaman berciuman dengan pria lain? “Jason hanya menciumku. Ia tak pernah melakukan hal lain selain menyapukan bibirnya. Itu saja.”
Donghae memberiku cengirannya dan kedua matanya berkilat penuh antisipasi. Tubuhku menegang saat ia bergerak mendekat dan menempatkan telapak tangannya di wajahku, sementara tangan yang satunya lagi telah menyusuri sepanjang lenganku.
Sungguh ironis bahwa sebuah ciuman mampu mengubahku begitu dalam. Seakan seluruh inti dari kehidupanku telah bergeser pada pria ini. Aku tak menyesali apapun, yang hanya kurenungi adalah eksistensiku di mata pria ini. Apakah ia juga merasa sesuatu telah berubah? Bahwa semua sentuhan-sentuhan ini mengirimnya ke sebuah dunia baru tanpa logika?
 “Bersiaplah. Kita akan segera mengunjungi ibumu.”
“Ibuku? Bukankah Anda bilang kita harus ke San Fransisco? Lagipula Ibuku ada di Ohio—”
“Kita akan putar balik. Demi Tuhan, Youva, aku sudah teramat sinting untuk menahan semua ini. Aku tak akan bisa menahan diri lebih lama lagi.”
Aku menatapnya tak mengerti dan pria itu membalas tatapanku.
“Ingatlah, bahkan jika kau ada di Neraka sekalipun, aku akan turun dan menarikmu dari sana. Tak peduli apapun yang harus kuhadapi, aku tak akan pernah melepaskanmu lagi, Youva. Tidak setelah semua ini.”
***


Kami tiba di New Orleans beberapa jam kemudian dan mendarat di New Orleans Lakefront Airport—sebuah Bandar udara untuk pesawat jet pribadi. Dalam perjalanan Donghae memberitahuku kalau Ibuku baru saja pindah ke New Orleans dua hari yang lalu—ke tempat yang beriklim lebih hangat ketimbang Ohio.
Saat turun, kami mendapat sambutan VIP dengan beberapa orang yang menunggu dengan payung di tangan mereka. Aku melirik ke atas dan sedikit terkejut saat mendapati cuaca di sini cukup panas dengan matahari yang tak lagi bersembunyi di balik kumpulan awan. Bandara Lakefornt memang terlihat lenggang tetapi kami bahkan tak diharuskan untuk menjalani pemeriksaan paspor, semuanya seakan telah disiapkan dengan sempurna. Termasuk dua mobil yang menunggu di depan gedung dan beberapa orang yang berdiri menyambut Lee Donghae.
“Suatu kehormatan mendapatkan kunjungan langsung dari Anda, Mr. Lee,” ujar salah seorang pria dengan kacamata dan rambut kelabu. Pria itu menjabat tangan bosku dengan hormat, sedikit membungkuk dan terlihat gugup. “Saya sudah siapkan semuanya. Saya harap Anda menikmati kunjungan kali ini.”
Bosku tak mengucapkan sepatah katapun. Ia melirik pria itu melalui kacamata Bvlgari yang ia kenakan dan berjalan masuk ke dalam mobil. “Aku tak ingin mendengar kegagalan lagi, Ramorez. Tugas kali ini sama pentingnya dengan nyawamu.”
Pria bernama Ramorez itu memucat di bawah terik matahari. Ia menunduk memandangi aspal dan meminta maaf dengan lirih. Aku hanya sempat melihat keringatnya yang menetes dari keningnya sebelum akhirnya pintu mobil menutup dan melaju kencang meninggalkan Ramorez yang masih berdiri kaku.
“Dia terlihat ketakutan,” gumamku pada diri sendiri. Tapi bosku berhasil mendengarnya.
“Tentu saja. Siapapun tahu aku tak mentolerir kesalahan.” Sergah Donghae malas. Ia merosot di kursinya dan memijat pelipisnya dalam diam.
Dari tadi aku memperhatikan bahwa lalu lintas di kota ini jauh lebih tenang jika dibandingkan dengan Los Angeles. Terlihat banyak pejalan kaki yang menikmati cuaca bersama pasangan mereka. Dan, meskipun New Orleans bukan kota metropolitan—yang tak diisi ratusan gedung pencakar langit—tapi aku menyukai suasananya yang tenang. Aku membaca papan penunjuk jalan dan melihat kalau kami baru saja melewati Morrison Road yang lumayan sepi.
“Kita akan kemana?” tanyaku setelah beberapa saat. Pria di sebelahku masih membiarkan jari-jarinya di pelipis, seakan ingin menunjukkan bahwa ini hari yang berat.
“Garden District,” jawabnya singkat. “Kita akan tiba kira-kira sepuluh menit lagi.”
Aku mengangguk, mencoba menahan euforiaku untuk segera bertemu Ibu. Bagaimanapun sudah hampir enam tahun penuh sejak terakhir kali aku memeluk beliau. Ah, memikirkannya saja sudah membuatku senang bukan main.
Seperti yang bosku katakan, sekitar sepuluh menit kemudian kami tiba di kawasan Garden District—yang dipenuhi perumahan-perumahan asri dengan pepohonan di sekeliling rumah dan mobil-mobil yang terparkir di bahu jalan. Kami berhenti di sebuah persimpangan empat arah dan aku membaca tulisan Prytania Street pada sebuah papan penunjuk jalan persis di sudut terluar sebuah rumah. Rumah itu nyaris tak terlihat dengan pagar yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan yang menutupi profil depan rumah. Bosku lebih dulu turun dan ia menatapku dengan senyuman di wajah.
“Ayo turun. Diana pasti sudah menunggumu.”
Kuikuti langkah bosku yang sigap, ia mendorong pagar besi yang berujung lancip yang hanya mencapai dadanya dengan mudah dan terus naik melewati undakan batu di teras rumah. Aku berdiri dan mengamati rumah itu. Desainnya tampil sederhana namun mewah; dengan lampu gantung Kristal di depan pintu masuk dan dindingnya yang terbuat dari kayu serta pilar-pilar tinggi yang menyangga bangunan itu. Dua buah kipas yang di gantung di plafon terlihat berputar pelan, sesekali menerbangkan daun-daun di dalam teras rumah yang luas.
Donghae mengetuk pintunya—pintu kayu dengan atasan kaca bermotif mosaik—dan melirikku sekilas. Kami menanti beberapa saat sebelum terdengar langkah kaki yang terburu-buru dari dalam sana. Detik berikutnya, kulihat seorang wanita paruh baya yang kelihatan sangat cantik, dengan sebuah syal melingkar di bahunya dan rambut yang digulung ke atas berdiri di hadapanku—senyumku mengembang lebar dalam hitungan milidetik dan langsung menghambur ke dalam pelukan Ibuku.
“Youva!” teriak Ibu histeris. Beliau mendekapku begitu erat, seakan seluruh dunia tak akan bisa melepaskan kami berdua. “Ibu sangat rindu padamu,” ujar Ibuku mulai menangis.
Aku tertawa melihat tingkah Ibu yang emosional—sebab Ibuku jarang sekali mau terlihat lemah. Beliau biasanya selalu memasang wajah ceria meskipun hatinya terluka. “Aku juga rindu Ibu,” balasku di sela-sela tawa.
Ibu kemudian melepasku, ia memandang wajahku lekat-lekat dan tersenyum sementara matanya masih basah oleh airmata bahagia. “Kenapa anak Ibu terlihat begitu kurus?” tanyanya gusar. Ibu mengusap pipiku dan aku hanya mampu tersenyum. “Jangan buat Ibu khwatir, nak. Lihatlah, pipimu bahkan begitu tirus. Kau harus makan yang banyak.”
“Aku tidak berselera, Bu. Aku rindu masakan Ibu. Aku harap aku bisa memakan sesuatu yang pedas hari ini,” ujarku tertawa. Aku memperhatikan wajah Ibu dengan seksama. Guratan-guratan halus di sekeliling matanya semakin jelas dan Ibu juga terlihat bertambah kurus. Tubuhnya yang ringkih nampak lebih kecil dalam pelukanku.
Kami sedang berada di alam bahagia kami—di mana rasanya dunia berhenti berputar dan meninggalkan kami saling menatap lega satu sama lain. Cukup lama hingga kudengar suara bosku yang berdeham menyela momen bahagia ini.
“Ah, aku hampir lupa,” aku meringis salah tingkah. “Bu, ini bosku, Mr. Lee Donghae, yang beberapa waktu lalu berbicara dengan Ibu lewat telepon.”
Bosku dengan amat sangat rendah hati—dan harus kukatakan sangat sopan—bergerak melewatiku dan meraih tangan Ibu lalu membungkuk untuk menciumnya. Aku dan Ibu saling menatap terkejut tapi dengan cepat kusadari Ibu telah jatuh hati dengan Lee Donghae saat pria itu menyapa beliau lembut.
Greeting, Diana. It’s a great honor to meet you here.”
Kupandangi wajah Ibu yang masih terkejut—sekaligus terpesona—dan beliau membalas sapaan bosku dengan kikuk. “Ah.. tentu, tentu. Aku juga.” Ucap Ibu yang tiba-tiba menjawab dalam bahasa Indonesia. Aku menyikut lengan Ibu dan buru-buru beliau mengoreksi ucapannya, “Erm, uh, I mean, me too.
You are so beautiful, Mam. No wonder your daughter looks like an elf.
Aku nyaris terbahak saat mendengar sanjungan yang ia sampaikan pada Ibuku. Lee Donghae melirikku singkat namun segera berpura-pura tak menyadari perbuatanku. Ibu kemudian mengajak kami ke dalam dan bertanya kepadaku kenapa ada begitu banyak pria berseragam hitam yang berdiri di depan pagar lalu mengatakan padaku kalau Ibu ingin mereka masuk dan minum teh. Aku menjelaskan pada bosku dan ia menggeleng sebagai jawaban.
“Mereka pasukan khusus, Youva. Aku butuh informasi berkala setiap menit untuk memastikan keadaan tetap aman.” Jelasnya padaku.
“Pasukan khusus? Berapa banyak orang yang bertugas untuk mengurus keamanan rumah Ibuku, Sir?”
Donghae mengernyit sebentar lalu memberikan jawaban dengan singkat. “Tiga puluh untuk sekitar Garden District.”
Aku mencelos dalam hati dan memikirkan bahwa posisiku dan Ibu sudah berada dalam tahap berbahaya—yang berarti satu hal: keselamatan kami benar-benar sudah di ambang batas. Kutatap pria itu penuh spekulasi, mengapa ia tak mengatakan apapun padaku? Apakah ini berarti aku dan keluargaku bisa tewas kapan saja?
“Youva, bisakah kau membantu di dapur?” teriak Ibuku dari dalam yang langsung saja mengaburkan lamunanku. Aku beranjak dari ruang tengah dan mencari Ibuku yang sedang bersiap dengan teko panas dan beberapa cangkir teh.
“Kenapa Ibu bisa pindah ke sini?” tanyaku membuka obrolan.
Ibu menatapku lalu pandangannya berpindah pada Donghae yang tengah duduk santai di seberang ruangan. “Semuanya terjadi dengan tiba-tiba. Tiga hari sebelumnya Ibu masih berada di Ohio tapi keesokan harinya beberapa orang datang dan menyuruh Ibu berkemas untuk pindah.”
Aku mengangguk, mengambil sepotong kismis dan menggigitnya. “Lalu.. apa Ibu bertemu dengan—err, Ayah?”
Pertanyaanku menghasilkan atmosfir yang tak kuharapkan. Ibu yang sedang mengelap cangkir kemudian meletakkannya dan beralih memandangku lekat-lekat. “Kau.. sudah bertemu Arthur?”
“Ya,” gumamku pelan. “Dan Ayah bercerita banyak hal padaku.”
Tadinya kupikir Ibu akan marah karena aku tak memberitahu Ibu lebih awal, tapi ternyata beliau mulai menangis dan memelukku lagi. “Maafkan Ibu,” ujarnya gusar. “Tak seharusnya Ibu menyembunyikan kebenaran begitu lama. Ini salah Ibu.”
“Ayolah, Bu. Aku baik-baik saja.” Kataku menepuk pundaknya yang bergetar. Ibu terisak di bahuku dan baru kusadari betapa besar kekhawatirannya untuk kami semua. “Omong-omong, Ayah sangat tampan.” Komentarku dan Ibu tiba-tiba tertawa dengan sepasang matanya yang basah.
“Tentu saja. Sejak kapan Ibu pernah salah pilih?”
Aku tertawa keras dan menggoda Ibu hingga wajahnya memerah. “Ibu kepingin bertemu lagi dengan Ayah, bukan?”
“Oke, diamlah. Ibu harus menyeduh teh.” Mendadak perhatian Ibu berpindah pada peralatan tehnya dan mengabaikan perkataanku.
“Oh, wow. Jangan bilang kalian berkencan diam-diam?” Ibu memberiku tatapan mengancam dan aku tertawa lagi. “Bu, Ayah merindukan Ibu.”
Ibu menghela napas dan wajahnya berubah murung. Beliau menatap cangkir selama beberapa detik yang lama sebelum akhirnya menjawabku. “Tapi itu semua cerita lama, Youva. Ibu pikir Ibu tetap tidak akan tahan dengan kehidupannya yang seperti ini..”
“Maksud Ibu?”
“Err.. seharusnya kau sudah tahu kalau Ayahmu lah yang membeli rumah ini.”
Ada jeda selama beberapa detik dan aku terperangah. “Oh, wow.” Komentarku tak percaya. Tadinya kupikir bosku lah yang memberikan fasilitas rumah mewah bergaya Victorian ini. “Benarkah? Ayah yang menyuruh Ibu pindah ke sini? Bagaimana ceritanya?” desakku tak sabar.
Ibu menghela napas lagi dan mulai bercerita padaku. “Sebenarnya selama berada di Ohio, memang Arthur yang rutin memberikan fasilitas untuk kebutuhan sehari-hari. Saat pertama tiba di sana, Ibu hanya dijelaskan kalau Ibu dan seluruh anak asuh harus ‘disembunyikan’ demi keselamatanmu, Youva. Jadi Ibu tak pernah bertanya apapun. Dan setelah beberapa minggu kemudian kami bertemu di salah satu supermarket di Ohio. Ibu pikir itu salah satu pertemuan yang telah dia rencanakan, karena Ibu masih ingat ekspresi paling tidak alami yang ia buat saat melihat Ibu—”
Beliau tersenyum kecil saat mengingat kilasan kejadian itu lalu kembali melanjutkan ceritanya. “Yah, karena Bahasa Inggris Ibu sudah mengalami banyak kemunduran, jadi kami hanya bisa mengobrol secara terbatas. Saat itu Arthur mengatakan bahwa Ibu harus pindah dikarenakan beberapa hal menunjukkan beberapa pilihan rumah pada Ibu, tapi langsung Ibu tolak saat mengetahui rumah yang ajukan seharga dua milyar dolar. Ibu marah-marah padanya dan Arthur kemudian berjanji akan memberikan rumah biasa—ah, apapun artinya itu—dan kemudian saat Ibu pindah ke sini, setidaknya Ibu tahu rumah ini tidak terlalu mahal walaupun semua perabotannya terlihat mewah.”
Aku tersenyum dan mengamati sekelilingku. Dapurnya sederhana, counter-nya berupa batu granit dan lemarinya terbuat dari kayu. Dinding di sebelah timur seluruhnya di cat dengan warna magenta, sementara di sisi yang lain terlihat dinding dengan bata dan perapian di sudut terjauh. Dapur ini juga mengarah ke halaman belakang di mana terdapat kursi-kursi, meja dengan payung sebagai atapnya, serta pohon rindang dengan lampu hias di sekeliling halaman. Aku memperhatikan keseluruhan rumah dan baru menyadari kalau lantai rumah ini seluruhnya terbuat dari kayu, perapian bata dan memiliki cat berbeda warna di setiap ruangannya. Sepertinya rumah ini benar-benar di desain bergaya Victorian, tampil klasik dengan kayu sebagai bahan dasar dan dengan perabotannya yang terlihat antik.
Ibu kemudian menjelaskan padaku bahwa seluruhnya ada sepuluh kamar dengan tiga belas tempat tidur, tiga tempat tidur tambahan pada plafon di tingkat tiga yang kemudian di jadikan kamar untuk para pengasuh, serta dapur pribadi di setiap lantai dan kamar mandi di setiap kamar. Tidak hanya dapur, di setiap lantai juga terdapat ruang makan, ruang rekreasi serta beranda sendiri, yang menurut Ibu sangat pas mengingat semua anak-anak asuh butuh banyak ruangan untuk bersantai. Sekeliling rumah terlihat rimbun—belasan pohon berjejer di seluruh pagar batu di bagian belakang yang seluruh lantainya ditutupi bata merah.
Ketika akhirnya Ibu mengantarkan teh di ruang tengah, aku memperhatikan tangga yang mengarah ke atas, melengkung hingga menutupi ruangan di atasnya. Di ruangan ini seluruhnya ditutupi oleh warna salmon yang dilengkapi dengan lampu gantung Kristal. Kuputuskan untuk duduk di dekat bosku, mencoba menarik perhatiannya yang sedari tadi terus mengecek ponselnya.
“Sir, apakah Anda tahu berapa harga rumah ini?”
Ia melirik satu kali, tapi dengan segera memindahkan pandangannya pada Ibu. “Kupikir tidak bijak memberitahu harga rumah di depan Ibumu.”
Ibu yang menangkap percakapan kami tiba-tiba menyela bosku. “It’s okay, Mr. Lee. You can tell us.” Ujar Ibu kemudian.
Donghae menatapku sejenak lalu pandangannya kembali pada layar ponselnya setelah mengangkat bahu. “Rumah ini berusia lebih dari seratus lima puluh tahun dan baru selesai direnovasi setelah Badai tiga tahun lalu. Sepanjang yang kudengar, Arthur sendirilah yang membeli semua barang dan melakukan pemilihan warna. Jadi jika dihitung secara keseluruhan, total harga rumah ini mungkin mencapai biaya sekitar dua juta lima ratus ribu dolar.”
Aku tersedak dan cepat-cepat menatap Donghae tak percaya. “Dua juta dolar? Ap—”
“Itu harga yang sepadan, Youva. Kau tak bisa mengharapkan harga murah dari sebuah rumah berusia seratus lima puluh tahun.”
Ibu yang tak mengerti kemudian bertanya padaku dan setelah kuberi tahu bahwa harga rumah ini mencapai tiga puluh milyar rupiah, beliau menatapku ngeri dengan mataku terbelalak selama beberapa saat. Keadaan berubah hening sebab aku tak berani mengganggu Ibu yang tampaknya mulai berang dan langsung mengambil telepon di seberang meja. Aku berpikir Ibu mungkin saja menelpon Ayah, tetapi pemikiran itu terhenti saat kudengar Ibu berbicara dalam bahasa Indonesia. Beliau mengungkapkan kekesalannya dan beberapa kali menyebut namaku serta bosku. Donghae sendiri tetap terlihat tenang. Saat aku menanti Ibu berbicara dengan cemas, ia malah menghirup tehnya dan menikmati aromanya yang lembut.
Percakapan Ibu berlangsung begitu lama, hingga rasanya membosankan untuk menunggu dan aku memutuskan untuk mengikuti bosku yang berjalan menuju halaman belakang. Lee Donghae memakai kacamata hitamnya, duduk di salah satu kursi dan menengadah menatap langit. Ia mengetahui kedatanganku tetapi lebih suka mengabaikanku dengan diamnya.
“Aku suka rumah ini.” Ujarnya tiba-tiba, membuatku mengangguk kemudian duduk di sebelahnya. “Secara sepintas semuanya terlihat tenang sekali.”
“Yeah, kita harus bersyukur seluruh anak asuh sedang tidur siang.” Kataku mengangkat bahu. Kami kembali terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya aku berkata lagi. “Maafkan aku tentang Ibuku.” Well, bagaimanapun aku merasa sedikit bersalah atas respon Ibuku.
“Itu bukan salahmu. Setidaknya Diana berhak mengetahui beberapa hal.”
Aku menatap bosku tanpa kata-kata, memikirkan betapa tampannya ia dalam balutan kemeja putih dan dasi tanpa jasnya. Aku suka melihat bagaimana kemeja itu membalut tubuhnya yang atletis, membungkus dadanya yang bidang dan menunjukkan otot perutnya yang menawan. Tapi sementara aku tenggelam dalam pesona tubuhnya, pria itu mendengus dan memberiku senyuman mengejeknya.
“Beritahu aku kalau kau ingin aku membuka kemejaku dan menari untukmu.”
Dalam sekejap kurasakan wajahku menghangat malu dan aku mencoba membuang muka—berusaha dengan sia-sia untuk menatap ke arah lain, tapi bosku lebih cepat. Donghae menahan wajahku dengan sebelah tangannya. “Bisa kulihat kau menginginkannya.” Imbuhnya berbisik. Senyum tak pernah benar-benar meninggalkan wajahnya, meski kulihat ia begitu serius dengan tawarannya.
“Tidak adil jika Anda hanya berasumsi tanpa membuktikan kebenarannya.” Sanggahku tak mau menyerah.
Kudengar pria itu tergelak, membuka kacamatanya dan menatapku lebih dalam. “Aku setuju. Tapi kurasa situasi tak memungkinkanku untuk membuktikan bahwa kau memang menginginkan hal itu.” Donghae memberikan tekanan di ujung kalimatnya—terdengar jelas bahwa ia sedang menggodaku lagi.
Aku tak menjawab apapun, hanya berusaha berdamai dengan rasa malu. Tapi bosku kemudian berkata dengan nada persuasif—membuatku tak bisa mengalihkan pandangan darinya.
“Apakah Ibumu akan marah kalau aku menciummu saat ini juga?”


***

2631 Prytania Street, New Orleans, LA 70130
Baru saja terdengar ketukan di pintu dan saat kubuka, seorang tukang pos tua dengan seluruh rambutnya berwarna kelabu dan mengayuh sepeda antik meletakkan sepucuk surat di kotak sebelah pintu masuk. Sampulnya tak menyebutkan siapa pengirimnya, hanya ada alamat rumah ini dan tanpa menjelaskan pada siapa surat ini seharusnya ditujukan. Kulirik sekeliling dengan sedikit resah, berharap seseorang bisa menjawab kecemasanku. Mengapa ada surat untuk rumah ini? Bukankah Ibu baru saja pindah?
Kuperhatikan lagi surat itu dengan seksama, berusaha mengintip ke dalam suratnya yang tersegel rapi. Apakah ini tagihan listrik? Kartu kredit pemilik rumah terdahulu? Tapi seharusnya mereka menyertakan alamat perusahaan pengirim, bukan? Semuanya terdengar nyaris mustahil dan dalam kebimbanganku, kuputuskan untuk bertanya pada Ibu terlebih dahulu.
Tetapi belum lagi aku mencapai anak tangga, tiga kanak-kanak berusia sekitar lima tahun berlari dari tangga teratas sambil tertawa bahagia. Mereka melihatku yang terkejut dan berderap menjauh saat pandangan kami bertemu. Dan dalam tiga detik kudengar suara Ibu dari plafon di tingkat tiga, berteriak pada bocah-bocah itu untuk berhati-hati dan segera bersiap untuk pelajaran baca tulis. Keadaan benar-benar kacau dengan semua anak-anak yang berlarian kesana kemari.
Aku lantas mendatangi bosku yang tengah berdiskusi dalam telpon dengan manager yang bertanggung jawab mengurus resort-nya di Kepulauan Pasifik, lalu menanti sampai ia mengakhiri pembicaraannya dan menunjukkan surat itu. Sambutan yang kudapatkan tidak begitu bagus—Donghae tiba-tiba menggunakan sarung tangan putihnya sebelum menyentuh surat itu. Ia juga langsung menghubungi Chad yang berjaga di dalam mobil di seberang jalan untuk segera datang.
“Apa kau memikirkan hal yang sama denganku?”
Chad mengerutkan keningnya dan menatap surat itu—ia telah memasukkannya dalam sebuah plastik transparan dan kini tengah memeriksanya dengan teliti. “Ada lubang pada bulatan pada huruf O dari kata New Orleans, mungkin saja seseorang memasang perekam di sana—”
“Ya, aku yakin ada microchip camera di baliknya. Segera selidiki, Chad.” Potong bosku dan mengabaikan Chad yang terkejut. Donghae lalu berpaling padaku dan bertanya cepat. “Kau bilang seorang tukang pos yang mengantarkannya padamu, bukan? Apakah dia memberikannya langsung padamu?”
Well, aku hanya mendengar ketukan di pintu dan ketika kubuka pria tua itu telah mengayuh sepedanya. Aku menemukan surat ini di dalam kotak surat, Sir.”
Oh, shit.” Maki Donghae pelan dan ia menatap Chad dalam satu detik. “Lipat gandakan seluruh pasukan pengaman Unit-1 dan pastikan semua aman dalam radius 15 kilometer. Sebaiknya terus hubungi Alex untuk konfirmasi. Kita harus tahu siapa dan apa tujuan pengirim surat itu. Aku ingin memastikan apakah teknologi itu buatan CIA atau badan Intelijen militer Rusia.”
Chad mengangguk patuh dan segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang sesuai dengan perintah Donghae. Aku menatap mereka gugup, berusaha mencerna percakapan mereka dengan tenang tetapi kepanikan menguasaiku lebih dulu.
“Sir, apakah—maksudku, ada apa sebenarnya?”
Dadaku berdebar naik turun, telingaku berdentam-dentam begitu keras hingga rasanya aku bisa mendengar pembuluh darahku sendiri. Donghae mendekatiku, menggenggam jemariku yang gemetaran dan berbisik menenangkanku. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Youva. Kita hanya berjaga-jaga.”
Meskipun tindakannya sekarang membuat jantungku semakin menggila, tetapi harus kuakui bahwa kehangatan Donghae membuatku perlahan semakin tenang. Aku menatapnya lama, bertanya lewat tatapanku yang kini mulai membakar diriku sendiri. Kedua mata pria itu terlihat lembut, warna hitamnya yang sekelam malam membuaiku ke alam lain—membuatku mengidam-idamkan sesuatu yang liar.
“Ibuku akan baik-baik saja, bukan?” tanyaku berupa bisikan. Donghae mengangguk sebagai jawaban dan ia menyapukan jari-jarinya ke sepanjang lenganku. Ah, menyenangkan sekali. Batinku mulai mendesah di dalam sana.
“Semuanya berada dalam kendaliku, Youva,” katanya di telingaku. Aku bisa mencium aromanya yang segar dari jarak sedekat ini, menggelitik alam bawah sadarku dan tanpa kusadari wajahku mencari-cari bibir pria itu. Kami bertatapan begitu cepat, terbakar dengan api yang memercik begitu hebat. Aku terseret dalam gairah di kedua matanya sebelum akhirnya ia berbisik dengan nada geli dalam suaranya. “Kita harus mencari tempat lain atau para bocah itu tak akan bisa berhenti terpana.”
Untuk sedetik tak bisa kupahami maksud perkataan bosku sendiri, namun ketika aku berbalik dan menemukan empat pasang mata tengah menatap kami penuh antisipasi, cepat-cepat kudorong tubuh bosku menjauh dan seluruh wajahku memerah tanpa aba-aba. Donghae tertawa keras, diiringi pekikan senang para anak-anak yang bersorak dari atas tangga. Kudengar langkah kaki Ibuku yang berderap turun dari atas, mencoba mencari sumber keributan kecil di bawah sini.
“Ada apa ini?” tanya beliau kebingungan. Anak-anak tadi telah berlari sambil tertawa senang, mengulangi ucapan ‘cium, cium, cium’ dan mengabaikan pertanyaan Ibuku. Aku mengelak menjawab tatapan Ibu yang penuh tanya lalu beralih menatap bosku yang terus saja tersenyum geli.
“Anda terlihat memesona, Mam.” Kilah Donghae saat Ibuku juga menatapnya. Muncul semburat malu di wajah Ibu dan ia menatap pakaiannya yang telah kusut dan separuh basah.
“Ah, aku baru saja siap memandikan beberapa balita. Tidak mungkin penampilanku seburuk itu, kan?” Dengan wajah memerah Ibu menatapku—seakan meminta dukungan. Aku hendak mengatakan sesuatu, tetapi bosku selalu lebih unggul.
“Bukan dengan penampilan itu, tetapi kebaikan hati Anda yang begitu mulia,” jawabnya berdiplomasi.
Ibu melirikku lagi, berucap pelan dalam bahasa Indonesia. “Jangan bilang dia menginginkan sesuatu dari Ibu.”
Aku tertawa menyadari reaksi Ibu yang bisa mendeteksi ada sesuatu yang tersembunyi sama persis denganku jika berhadapan dengan bosku. “Dia hanya ingin berbicara dengan Ibu tentang sesuatu.” Kataku menghindari tatapan bosku. Donghae terlihat tak mengerti tetapi juga tak bertanya apapun.
“Ah,” Ibuku mengangguk. Gagasan ini mungkin membingungkannya. “Bisakah dia menunggu beberapa saat? Ibu harus mengurus Layna sebentar, anak itu perlu penjagaan ekstra. Dan mungkin kau bisa membantu Ibu sedikit.”
Setelah kujelaskan pada bosku, ia hanya mengangguk singkat dan memperbolehkan kami pergi ke atas. Aku mengikuti Ibu naik ke plafon dan melewati sebuah ruangan yang dipenuhi anak-anak dan tiga pengasuh paruh baya. Mereka semua terfokus pada papan tulis putih di ujung ruangan dengan huruf-huruf dan angka yang di tulis di atasnya. Ibu menarikku ke ruangan paling ujung, tempat di mana plafon menghadap ke patio—halaman belakang yang nampak asri.
“Dimana Leyna?” tanyaku mencari-cari.
“Sudah tidur.” Ibu menjawab kalem, memainkan ujung bajunya sebentar lalu menatap ke luar.
Aku tak berkomentar apapun, meski segera sadar bahwa Ibu hanya mencari alasan agar bisa berduaan denganku. “Di sini benar-benar seperti rumah..” kataku akhirnya, memecah kesunyian kami.
Ibu mengangguk membenarkan. “Yah, kalau saja tidak terlalu banyak burung gagak.”
 “Tapi tampaknya rumah ini benar-benar didesain untuk Ibu. Aku sempat melihat kamar Ibu di lantai dua, seluruh catnya berwarna mint dan putih, bukan? Itu sangat sesuai dengan selera Ibu.”
“Ibu tidak akan menyetujui rumah ini seandainya Ibu tahu harganya mencapai tiga puluh milyar rupiah. Kurasa ayahmu benar-benar kelewatan.”
“Aku tidak mengerti banyak hal, Bu. Tapi aku paham perasaan Ayah yang ingin melindungi Ibu. Dan kupikir rumah ini merepresentasikan rasa bersalah Ayah terhadap kita. Aku putrinya jadi sudah pasti Ayah ingin yang terbaik bagi Ibu.”
Ibu menatapku dengan tatapan seorang Ibu-nya dan mengusap kedua pipiku perlahan. “Terkadang Ibu lupa kalau anak Ibu sudah dewasa.” Ujarnya tersenyum lembut. Sepasang matanya meneduhkan, seakan menemukan oase di tengah gurun panas tak berujung. “Jadi… ceritakan tentang bosmu ini.”
Pelipisku berkerut mendengar pertanyaan Ibu. “Apa—apa yang ingin Ibu ketahui?” Kataku balas bertanya. Mengetahui bahwa Ibu penasaran dengan Lee Donghae cukup mengusikku.
“Yah.. semuanya. Bagaimana bosmu bisa membuatmu jatuh hati?” Ibu menyikut lenganku dan memamerkan senyumnya yang penuh makna.
Wajahku tak mungkin bisa lebih merah dari ini. Rasanya percakapan ini akan berlangsung sangat memalukan. Maksudku, aku tak pernah membicarakan kisah percintaanku dengan Ibu—tak akan menyenangkan untuk berbagi hal seperti itu bahkan dengan orangtuaku sendiri. Jadi kudapati lidahku kaku saat menjawab rasa penasaran Ibu. “Dia menawan.” Jawabku singkat. Yeah, tentu saja aku harus mengaku. Mana mungkin aku bisa membohongi Ibu, beliau punya tambahan seratus indera pendeteksi yang sangat peka mendengar kebohongan terutama dariku.
Ibu malah tertawa renyah, garis-garis di matanya berlipat cantik dan membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih muda. “Ibu tahu dia sangat tampan, Youva. Tapi benarkah ketampanan saja cukup untuk membuatmu jatuh hati?”
“Oh, ayolah, Bu,” rengekku mencoba mengakhiri pembicaraan ini. Aku memasang wajah memelas dan Ibu menggeleng, beliau tak tergoda untuk menurutiku. “Oke, oke. Lee Donghae memang tampan, tapi dia juga penuh kasih. Erm, maksudku, dia terkadang bertindak sangat superior tapi ia memiliki sisi rapuh, seperti—ah, dia tak sempurna. Dia manusia biasa, Bu—”
Untuk kedua kalinya Ibu tertawa begitu keras. Beliau sampai harus memegangi tubuhnya agar tidak membungkuk karena kebanyakan tertawa. Begitu Ibu melihat kerutan di dahiku serta bibirku yang mencebik, Ibu menyeka kedua matanya dan menarik napas panjang.
“Maaf, tapi itu tadi benar-benar lucu.” Katanya tersenyum menggodaku. “Tapi kau harus tahu satu hal, Youva. Terkadang tidak butuh alasan untuk mencintai seseorang. Kau hidup di dunia, bertemu dengannya dan jatuh cinta. Itu saja. Ketampanan hanya bonus, kau tak bisa menjadikan kata ‘tampan’ sebagai acuan untuk mencari cinta. Dan Ibu yakin Donghae juga merasakan itu padamu.”
Aku terenyak mendengar nasehat Ibu. Ya, sebenarnya sangat mudah untuk mengakui itu dari awal, tetapi aku terlalu egois untuk mengalah. Bukan karena wajah tampannya, meskipun hal itu yang membuatku terpikat oleh bosku. Tapi semua hal tentang dirinya. Aku tak bisa membayangkan Lee Donghae tanpa arogansinya yang terus-terusan mengejekku, bagaimana ia menggodaku hampir sepanjang hari atau saat ia mencoba merayuku dalam berbagai kesempatan. Tapi aku juga tak bisa membayangkan bosku yang kaku, tak pernah tersenyum dan begitu jauh dariku. Kurasa aku tak Cuma jatuh hati dengannya, aku benar-benar sudah terjebak dalam dunianya yang penuh intrik.
“Tapi bukan seperti itu, Bu. Kurasa Donghae tak melihatku seperti itu,” kataku berkilah.
Ibu mengibaskan tangannya tak sabar. “Omong kosong, Ibu tidak buta, nak. Caranya menatapmu bukan Cuma gurauan. Dia benar-benar jatuh cinta padamu.”
“Tidak mungkin,” tukasku pada Ibu. “Kenapa dia harus jatuh cinta padaku, Bu? Aku bukan siapa-siapa di matanya. Aku hanya.. Youva Cardia.”
Jari-jari Ibu yang kurus dan panjang mengusap kepalaku, disingkirkannya rambut-rambut yang turun ke balik telingaku sebelum berkata, “Kau anak Ibu dan anak Arthur. Tentu saja sudah sewajarnya dia jatuh cinta padamu, nak. Kau punya segala hal di dunia ini yang membuatnya jatuh cinta padamu. Tidak perlu menjadi siapapun, kau hanya perlu menjadi Youva Cardia, anakku, anakku satu-satunya di dunia ini yang bukan main cantiknya.”
Aku menjejalkan kepalaku di pundak Ibu, berusaha menutupi cengiranku yang begitu lebar hingga rasanya sudut bibirku bisa koyak kapan saja. Ibu menepuk puncak kepalaku dan bergumam mengejek, “dasar manja,” sambil tertawa.
Kami kemudian berbicara mengenai beberapa hal, seperti apa rencana Ibu selanjutnya, tentang hal-hal remeh yang tanpa kusadari menyita waktu begitu lama. Saat aku melihat ke arlojiku, aku meremas jemari Ibu dengan khawatir karena membuat Donghae menunggu. Ibu setuju untuk turun menemui bosku di bawah, tetapi menolak saat aku akan mengikuti mereka. Dengan tegas Ibuku menyuruhku ganti menunggu sementara mereka berdua keluar menuju patio.
Tak banyak yang bisa kudengar dari sini, berdiri di ambang pintu yang terkunci dari luar dan menyaksikan Lee Donghae berhadapan dengan Ibuku. Seribu opini membentuk pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal membantuku menghabiskan waktu yang terasa begitu membosankan. Sesekali kulihat wajah Donghae yang menyeringai enggan dan lebih sering kulihat raut wajah Ibu yang mengerut bingung. Tetapi beberapa kali kudapati mereka tertawa bersama, seakan menertawakanku sebab mereka berdua melirikku bersamaan yang kubalas dengan mata mendelik sebal.
Ketika akhirnya diskusi mereka telah selesai, bosku membukakan pintu dan membiarkan Ibuku lewat lebih dulu. Kutatap Ibu dengan wajah penuh antisipasi, memberondongnya dengan puluhan pertanyaan dalam bahasa Indonesia yang hanya dijawab dengan tatapan itu-rahasia-kami dan meninggalkanku yang menggerundel kesal.
Aku lalu beralih pada bosku, yang berjalan belakangan dan memberikan tatapan yang tak jauh berbeda dengan Ibu. “Aku tak akan mengatakan apapun, Youva.” Ujarnya lalu tersenyum penuh arti pada Ibu. Kugertakkan gigi dan berakting seperti anak kecil hingga kudengar Ibu berucap “itulah kebiasaannya di rumah. Youva tak akan pernah jadi dewasa,” katanya pada Donghae.
Bosku tertawa keras sekali, membuatku melompat dan menoleh ke arahnya cepat-cepat. “Tidak lucu,” komentarku dingin lalu sekali lagi mengekori Ibuku dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan serta permohonan.
“Oke, oke, Ibu menyerah.” Tukas Ibuku dengan tangan terangkat di udara. Ibu berbalik, berkacak pinggang padaku lalu bibirnya menjadi segaris tipis. “Ibu membuat perjanjian dengannya. Dengan bosmu dan Ayahmu.”
“Oh? Perjanjian apa maksud Ibu?”
“Kau harus selamat. Itu saja.” Tandas Ibu cepat lalu berbalik memunggungiku.
“Itu saja? Bu, ayolah! Mana bagian ketika kalian menertawakanku? Percakapan kalian lebih dari satu jam lamanya, tidak mungkin jika—”
“Tutup mulut dan bersikaplah dewasa, Youva. Atau bosmu mungkin berubah pikiran setelah melihat tingkahmu yang kekanakan.” Saat mengucapkan kata bosmu, kudapati Ibu memandang sekilas pada Donghae yang sedari tadi berdiri di ruang tengah.
“Ugh, curang. Kalian berkomplot menjatuhkanku,” gerutuku terang-terangan. Kulihat Ibu masih tak peduli dengan semua cara kekanakanku dan aku menyerah. Aku harus bersabar, mungkin Ibu tak ingin menceritakannya di depan bosku atau bisa jadi Donghae yang tak ingin membocorkannya di depan Ibu. Yang jelas, aku harus menunggu. Well, menunggu sedikit lebih lama tak ada salahnya, kan?
Setelah itu kuputuskan untuk mengikuti apa yang mereka mau, bahkan ketika Ibu memintaku membantu beliau menyajikan makan malam, aku tak tertarik untuk membuka obrolan tentang apa yang mereka bahas. Tentu saja sulit sekali menghindari tatapan Ibu yang terus-terusan melirikku secara sembunyi-sembunyi, tapi aku memilih untuk mendiskusikan hal lain tanpa menyinggung topik itu. Kami akhirnya makan malam pukul enam sore, sementara semua anak-anak tengah berjalan-jalan ke supermarket terdekat dengan penjagaan pengawal Donghae. Kami makan bertiga di ruang dapur di lantai dua, yang memiliki dapur dua kali lipat lebih luas daripada yang ada di bawah. Ibu ternyata sudah memasak separuh dari makanan yang dihidangkan dari pagi, lalu menghangatkannya lagi untuk bisa disantap. Karena bosku seorang pemilih, dengan sopan ia bertanya pada Ibu apakah ia bisa mendapatkan semangkuk salad dan secangkir kopi saja sementara ia menatap ngeri padaku yang sedang menggigit besar-besar pada daging rendang buatan ibu.
“Ternyata gigi taringmu berguna dalam hal seperti ini,” sindirnya padaku. Ia menyendokkan saladnya ke mulut dengan anggun dan sopan, sama sekali berbeda dengan tingkahku yang seakan tak pernah makan selama sebulan.
“Sayang sekali Anda terlalu pemilih. Semua makanan ini terbaik di alam semesta.” Komentarku dengan mulut penuh, mengabaikan tatapan Ibu yang membelalak memberi peringatan.
Selanjutnya Donghae tak memberi komentar apapun, ia hanya menyaksikan wajahku yang berubah warna seperti rambu-rambu lalu lintas saat mencoba menghabiskan seluruh makanan yang Ibu buatkan. Bibirku membengkak pada percobaan ketiga melahap sambal pedas di dalam mangkuk dan aku terlalu sibuk mengipas tanganku hingga tak sadar bahwa Donghae tertawa bersama Ibuku. Aku tak bisa menatap mereka dengan jelas karena kedua matakku berair, rasanya seluruh indera di tubuhku terpusat pada lidahku yang nyaris kebakaran.
“Ini pemandangan langka, melihat Youva kesetanan menghadapi makanan,” komentar bosku pada Ibu dan Ibuku mengiyakan dengan cepat.
“Aku harap aku bisa terus selalu melihatnya seperti itu,” kata Donghae lagi.
“Tapi aku bisa gemuk!” sergahku galak.
Ibu mengambil sendok dan memukul kepalaku pelan. “Kalau begitu, jangan makan berlebihan.”
Aku mencibir dan mengambil lagi semangkuk sambal untuk dicampur ke dalam nasiku. “Oke, aku mengerti, Bu. Tapi tidak untuk malam ini,” kilahku sambil menjulurkan lidah.
Rasanya menyenangkan sekali, berkumpul bersama Ibuku, tertawa dengan bosku. Mereka berdua terlihat sopan namun penuh persekongkolan. Aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku, tapi aku tak berniat merusak momen ini dengan menanyakan hal-hal yang tak perlu. Terkadang mengetahui seluruh rahasia tidak terlalu bijak jika kau ingin hidupmu tenang. Ada beberapa hal yang perlu disembunyikan untuk menciptakan kedamaian, meskipun tak akan selamanya kebahagiaan akan bertahan. Sebab ini adalah hidup. Dan hidup selalu tidak adil. Seperti apa yang akan menantiku di kedepannya.
Saat kami telah siap makan malam, aku mendekati Ibu di dapur dan mencoba membereskan beberapa barang. Tapi Ibu menolak semua bantuanku dan mengatakan akan melakukannya nanti saja, saat semua anak-anak dan pengasuh selesai makan malam. Aku lalu turun untuk menyambangi Donghae yang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya di dekat pintu utama. Ia melihatku dan mengedikkan kepalanya agar aku mendekat. Saat aku tiba persis di sebelahnya, pria itu mengamit lenganku dan berbisik merdu.
“Ayo pergi, kita harus kembali ke Los Angeles sekarang juga.” Ia mengucapkannya dengan hati-hati dan bersumpah melihatnya menatapku cemas selama satu detik yang singkat. Sesuatu di kepalaku langsung berdering memberi peringatan.
“Biar kutebak, ada Apartemen yang meledak lagi?”
Donghae tertawa mendengar sarkasme dalam kalimatku dan memilih untuk mengabaikannya. Ia mengangkat bahu, memandang ke balik bahuku lalu menyapa Ibuku yang baru saja turun dengan senyum paling memesona.
 Aku menjelaskan pada Ibu bahwa kami tidak bisa tinggal lebih lama dan kutemukan wajah Ibu yang sedikit murung. Aku sendiri tak ingin meninggalkan Ibu tapi aku tahu dengan menjauhkan diriku dari Ibu akan melindunginya dari ancaman-ancaman yang lebih mengerikan. Kupeluk Ibuku gusar sembari berharap dalam hati agar aku tak memerlukan ucapan good luck dari siapapun, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, selamanya. Tapi saat Ibu berdiri di depan pagar, mengantar kepergian kami, beliau menarikku lagi dan airmatanya tumpah. Singkatnya, kami mengalami perpisahan Ibu dan anak yang berlangsung sekitar lima belas menit. Dan aku bersyukur bosku tidak mengeluh akan hal itu.
“Jaga dirimu, Youva. Dimanapun kau berada. Kau tahu Ibu mencintaimu, nak.”
“Aku juga mencintai Ibu. Lebih dari apapun di dunia ini, Bu. Kumohon, jaga diri Ibu juga.” Kataku terisak. Setelah mengalami menit-menit yang panjang, akhirnya Ibu merelakanku pergi. Kututup pintu mobil dan terus memandangi Ibuku dari dalam. Kulihat beliau berjuang untuk tersenyum sementara wajahnya bersimbah airmata.
“Selamat tinggal, Mom.” Bisikku dalam hati.

***

Lee Donghae menunggu hingga aku menyeka kedua mataku dan ia menatapku perlahan-lahan. Muncul ekspresi kaget di wajahnya namun ia menyamarkannya dengan berdeham beberapa kali. Aku sadar penampilanku tidak bisa dibilang bagus, tapi benar-benar tak menyangka kalau akan seburuk ini. Kedua mataku yang basah telah merontokkan mascara dan eyeliner-ku hingga mataku bisa disamakan dengan panda—bahkan lebih buruk. Rambutku berantakan—mungkin karena berulang kali berpelukan dan tertiup angin New Orleans. Dan terakhir, lipstikku tercoreng hingga sudut pipi. Aku tak tahu apa yang membuatku lebih mirip frankenstein daripada manusia, tapi cepat-cepat kuambil tisu di dalam tasku dan memperbaiki semua kekacauan ini.
Kudengar Lee Donghae tertawa keras saat melihatku berjuang dengan make up ku yang hancur dan alih-alih, ia menawarkan untuk berhenti di sebuah pom bensin agar aku bisa masuk ke kamar mandinya. Aku menyetujui usulnya dan segera menghambur ke dalam kamar mandi di dalam sebuah mini market di pom bensin sebelum kasirnya melihatku dan berhasil merekam wajah indahku.
Hanya dalam sepuluh menit aku bisa membereskan wajah dan menyemprotkan parfum ke tubuhku. Hasilnya cukup lumayan, hingga saat aku kembali masuk ke dalam mobil, kudapati Donghae menaikkan alisnya tinggi. “Sudah lebih baikan?” tanyanya dengan senyum miring.
Aku mengangguk satu kali, berdeham dan membetulkan celanaku yang kusut. Mendadak pria itu mencondongkan tubuhnya padaku, mencoba mencium aromaku dari jarak dekat. Secara reflek, aku membiarkan  seluruh tubuhku merosot ke kursi mobil dan kulihat ia tertawa geli.
“Kelihatannya kau benar-benar sudah lebih baik,” serunya diantara tawanya yang membahana.
Aku menggerutu tanpa suara, mencoba untuk tidak memprovokasi pria di sebelahku sebelum ia berusaha lebih gigih untuk membuatku semakin memerah malu.
Well, kau perlu tahu beberapa hal, Youva. Well, teknisnya aku tak harus meminta izinmu, tapi bagaimanapun aku tak ingin mendapatkan pandanganmu yang memojokkan seperti tadi, jadi kuputuskan untuk memberitahumu apa yang akan menanti kita sesampainya di Los Angeles.”
Dengan susah payah kutelan rasa takutku dalam-dalam, mengabaikan degupan jantungku yang lebih dulu mencelos. Aku menunggu lanjutan kalimat pria itu dalam diam, mengatupkan bibirku menjadi segaris tipis dan menatapnya lekat-lekat. Sesuatu di kepalaku berkata kalau ini bukan kabar baik.
“Pertama-tama, mengenai surat yang tadi siang kau temukan. Aku memerintahkan Alex untuk mengeceknya dan dia mengatakan bahwa microchip itu buatan CIA, yang dengan cepat kusimpulkan bahwa entah bagaimana caranya, Amerika kini mulai mengawasimu.”
Ugh. Oh.
“Kedua, kami tidak punya pilihan lain selain bergerak cepat untuk menyingkirkan semua hal yang mengancammu, Youva. Tidak jika badan intelijen Amerika mulai mencari tahu tentang dirimu, yang tentunya akan berdampak besar pada Arthur dan juga padaku. Jadi aku telah mengantisipasi sebuah rencana, bahwa kami harus segera mencari tahu apa niat Jason Andersen sebenarnya.”
Dadaku berdebar, rasanya menyesakkan mendengar nama itu lagi. Tapi aku tak bisa berhenti menatap pria itu, dengan kedua matanya yang mengawasiku secara seksama.
“Apa rencana Anda, Sir?”
Lee Donghae menghela napas berat. Ia masih belum memindahkan pandangannya. Terdengar jelas di telingaku setiap kata yang ia ucapkan padaku. Membuat bulu kudukku meremang ganjil dan menyeretku dalam kegelapan menyesakkan.
“Kau harus di hipnotis lagi—”
“Apa—?”
“—Kita akan menyeret paksa seluruh memorimu.”
Dan ujung duniaku tenggelam dalam warna hitam.
***

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Kak, masih aktif ga web kakak ini?

    BalasHapus
  3. Kereeenn thorr ^o^ aku suka FF nya walaupun part 14 dlu yg aku baca baru balik ke 1 smp 13 hehe part slanjutnya gimana thor ??? Lanjut dong lanjuttt #melasss

    BalasHapus