SCARLET
TITLE :
SCARLET [ 14 ]
GENRE :
Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING :
NC-21
CAST :
Lee Donghae
Youva Cardia
Author :
@Aoirin_Sora
Summary:
Kurasakan
kakiku menghentak bumi. Nyala api yang membangkar kedua tungkai kaki ini terasa
menghangat, bergelora dan semakin memanas di tengah kericuhan. Aku bukannya
takut, aku hanya tak siap dengan kenyataan yang membentang di hadapanku.
Kupikir semuanya hanya ilusi. Nyaris sekali. Hingga kudapati bahwa mimpi
burukku mewujud ke alam nyata.
Aku
harus siap, meski itu berarti mempertaruhkan kewarasanku.
***
CHAPTER
FOURTEEN: DANGEROUSLY
Kenyataannya adalah, kedua mataku tak ingin
membuka pagi ini; sebagian dikarenakan keduanya membengkak begitu mengerikan
dan selebihnya karena aku takut bakal mendapat serangan jantung. Bahkan dalam
keadaan setengah sadar pun aku bisa mengetahui apa yang akan terjadi detik
ketika mataku melihat dunia.
Bisa kubayangkan ada malaikat yang tengah
terbaring di sebelahku. Kedua sayapnya patah dan berserakan menjadi gumpalan
pasir berkilauan. Perumpamaan yang kugunakan tidak bisa lebih buruk lagi,
karena aku telah menyaksikan betapa malaikat itu ternyata kini tak mampu
melintasi angkasa, terkurung dalam sebuah kotak kaca raksasa. Aku tak siap
menghadapi apapun pagi ini—well,
dengan seluruh emosi yang telah terkuras semalaman, aku tak yakin apakah
semuanya telah usai.
Tapi tetap saja aku tak bisa menunda waktu
lebih lama. Di antara batinku yang bersiaga, ketakutan juga mendera separuh
akal sehatku. Sialnya ada yang lebih buruk. Dewi batinku terbangun lebih awal
dan sepanjang waktu mengeluh tentang penampilanku yang pasti bakal sangat
buruk.
Aku menyerah. Setelah menimbang beberapa
saat akhirnya tak ada yang bisa kulakukan selain membuka kedua mataku. Tepat
setengah mili detik setelahnya, berjuta-juta kupu-kupu menari hulahop di
perutku dan terus merangkak menuju otak—mereka berkomplot untuk memenuhi
tubuhku dengan euforia konyol yang menggelikan. Oke, maksudku, apa yang bisa
kulakukan dengannya?
LEE DONGHAE menatapku.
Gumpalan keras yang memenuhi otakku
tampaknya mulai berhenti bekerja—mereka semua mengkhianatiku di saat aku butuh
pertolongan darurat. Pertama-tama, aku butuh semprotan asma. Aku tak mungkin
bisa menarik napas jika ia masih berada di dekatku. Kedua, aku ingin seseorang
menghentikan waktu hingga seratus abad ke depan. Serius, jika ada momen yang
membuatku melupakan apapun di
hidupku, ini adalah saatnya.
Kuulangi, Lee Donghae menatapku. Bukan cuma
itu, faktanya ia setengah terbaring di sebelahku. Begitu dekat hingga jika aku
menjulurkan lidahku—yang tentunya tak akan kulakukan—aku bisa menjilat sikunya.
Aku lupa betapa mendebarkannya ia. Aku tak sempat mengingat bahwa feromon pria
ini begitu tajam, seakan mengisi setiap partikel udara dan menerobos masuk ke
sistem pertahanan diriku. Aku mengambil satu detikku yang berharga dan tak
menyia-nyiakan semua ini untuk mematrinya dalam ingatanku yang rapuh.
Rambutnya mencuat ke segala arah, tampak
berantakan namun sangat meruntuhkan iman. Kedua matanya bersinar menggoda—atau
mungkin mengejek?—saat pandangan kami bertemu dan aku tahu ada sedikit rasa
lapar yang tergambar di sana. Dengan terlambat aku menyadari bahwa kami berada
dalam dangerous area dan bisa kulihat
efeknya merambat cepat pada folikel-folikel rambutku yang membuat wajahku
memerah seketika. Aku menarik selimutku hingga menutupi wajah, memilih
menghindar dari tatapannya yang begitu intens hingga kusadari bahwa Donghae tak
mengenakan atasan.
Tunggu, Donghae memang mengenakan celana
tidurnya, tapi.. kemana perginya atasan yang ia gunakan semalam?
Ini benar-benar sebuah dilemma. Aku tak tahu
bagaimana caranya menjelaskan situasi yang membingungkan ini. Singkatnya, aku
bersyukur karena telah menarik selimut ini sebab apa yang kusaksikan tak
mungkin bisa kulupakan meskipun aku menyesali bahwa aku hanya cuma bisa
menyaksikannya. Tubuhnya benar-benar karya seni; seakan dipahat dengan teliti
dan hanya menyuguhkan keindahan. Aku berjengit, dengan kedua matanya yang tak
menatapku tanpa jeda, wajah bagun tidur di pagi hari, di tambah tubuhnya yang
terekspos jelas, aku yakin pintu surga hanya satu inci di depanku sekarang.
“Kau sudah bangun?”
Itu pertanyaan paling klise yang pernah
kudengar. Aku tahu ia hanya menguji apakah pendengaranku masih sama
berfungsinya dengan kedua mataku yang memelototi tubuhnya.
“Youva?” tanyanya menambahkan. Suaranya
sedikit parau namun masih terdengar merdu. Aku memindahkan pandanganku—setelah
berusah payah, tentu—pada matanya dan kurasakan dadaku menghangat. Caranya
menatapku… well, seakan aku telah
menyelamatkan seisi dunia.
“Terima kasih.” Bisiknya lembut. Aku
bersumpah menyaksikan senyumnya yang paling tulus saat ia mengatakan itu.
“Dengan senang hati, Sir.” Balasku berbisik.
Aku menundukkan pandanganku ke arah selimut merasa malu untuk sebuah pagi yang
begitu menakjubkan. Donghae mendekatkan kepalanya padaku dan pikiranku terbagi
dua: aku ingin menyentuh otot perutnya dan—apakah penampilanku cukup bagus? Oh, sial.
“Ini pertama kalinya aku bangun dengan
begitu tenang. Kau harus tahu apa yang kau lakukan semalam benar-benar telah
mengubahku.”
Nah, itu pernyataan bagus. Sekarang aku
mulai mengingat apa yang terjadi semalam. Kuharap tak ada yang kulewatkan
selain tertidur ketika lelah menangis. Aku membalas perkataannya dengan ragu,
berusaha terdengar yakin namun gagal.
“Aku harap aku tidak melakukan hal-hal yang
aneh padamu, Sir.”
“Tidak, tentu saja tidak, Youva. Kau tidak
melakukan satupun hal aneh—kau sangat mengagumkan. Aku bahkan tak bisa
menjelaskannya dalam kata-kata—”
Dari sini ia mulai menatapku lama. Dadaku
berdebar kencang—nyaris kesetanan—saat ia mulai mendekat. Aku tak punya pilihan—oke,
bohong. Aku bisa saja menghindar tapi aku tak mau. Aroma Lee Donghae begitu
menggoda dan aku sangat ingin
menyentuhnya. Ya Tuhan, kuharap aku kelihatan seperti putri tidur sekarang. Aku
tidak mungkin memaafkan diriku kalau ternyata penampilanku terlihat seperti Frankenstein
yang berbau busuk sementara ia terlihat tampan dan begitu menggiurkan.
Butuh tiga detik baginya untuk mencium
pelipisku. Aku memejamkan mata dan menanti dengan debaran memenuhi
pendengaranku. Kugenggam erat selimut di tanganku, berusaha mengalihkan dewi
batinku yang sinting. Tapi tiba-tiba saja Donghae menyandarkan keningnya di
atas keningku. Ia memejamkan mata dan bernapas cepat.
“Bagaimana aku harus membalasmu?” katanya
terengah. Aku tak mengerti kenapa ia terdengar seakan habis marathon keliling
Los Angeles. “Semua yang kau lakukan—oh, Youva, berikan satu saja permintaanmu
agar aku bisa membalas kebaikanmu..”
Ia bernapas di wajahku. Kedua matanya mengabur
karena percikan gairah. Posisinya saat ini malah lebih dari berbahaya.
Maksudku, aku memang duduk di atas tempat tidurnya, menutupi tubuhku dengan
selimut tebal dan tak melakukan apapun. Tapi kenyataan bahwa Lee Donghae berada
di atasku mau tak mau membuatku
kehilangan akal sehat. Hasratku menyala dalam kobaran apinya, membungkus
seluruh kenyataan dalam kekosongan—terbakar hingga hanya menyisakan abu.
“Sir,” ucapku parau. “Bisakah Anda—maksudku,
aku ingin—”
“Katakan.” Geramnya di wajahku.
“Aku ingin cuci muka.” Jawabku akhirnya.
Pori-pori wajahku terbakar karena malu dan aku melarikan mataku ke dadanya yang
bidang. Ya ampun, sangat menggoda.
Donghae menyunggingkan senyum miringnya dan
menarik kepalanya menjauh. “Oke,” katanya menyetujuiku. “Tapi bisakah kau
membantuku kali ini?” Aku mendongak menatapnya, tapi bahkan jika ia tak
melanjutkan kalimatnya, aku tahu apa yang akan ia lakukan.
“Kumohon biarkan aku menciummu.”
Kukenali kedatangannya yang begitu cepat. Ia
menarik wajahku dalam satu gerakan mudah dan bibirnya kini mencecap bibirku. Ia
memiringkan kepala, tak sudi menanti balasanku dan mulai menyusupkan lidahnya.
Aku merasakan tangannya di punggungku, sementara yang satunya menahan tengkukku
agar ia bisa mencari kenikmatannya. Donghae bernapas dalam mulutku, dengan
lidahnya yang menari di antara gigiku, ia menarikku lebih erat.
“Sir—Apa
yang Anda lakukan—” selaku dalam ciumannya. Aku mendorongnya dan ia menatapku
bingung. Matanya berkabut gelap,
memandangku penuh hasrat.
“Oh, tidak. Jangan sekarang.” Erangnya
kecewa. Donghae menggigit bibir dan memejamkan matanya. Ia terlihat bergelut
dengan batinnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Kau benar. Ini tidak seharusnya kulakukan.” Gumamnya
lebih kepada diri sendiri.
“Maafkan aku.” Bisikku lirih. Sejujurnya aku
sangat malu saat ini. Aku tak mampu memandang Donghae sekarang. Kedua mataku
memanas sementara jantungku masih berdegup keras.
“Tidak, tidak. Maafkan aku, Youva.” Ujarnya merasa
bersalah. Ia menarikku dalam pelukannya, membenamkan wajahku di dadanya yang
bidang—membuat batinku nyaris tersiksa karena terlalu menginginkannya—lalu
berucap penuh sesal.
“Aku hanya meminta satu ciuman dan lihat apa
yang kulakukan.” Donghae terkekeh geli sembari menggeleng. “Kau begitu mengagumkan,
Youva. Tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana rasanya melihatmu pagi ini dari
dalam kepalaku.”
Untung saja Donghae tidak bisa melihat
ekspresiku sekarang. Mukaku agaknya bisa menyaingi kepiting rebus. “Semoga
penampilanku tidak seburuk itu,” desahku. Aku tahu ia mendengar keluhanku dan
kali ini Donghae tergelak.
“Kau menawan, Youva. Bahkan dalam tidurmu. Well, kau mungkin meracau beberapa kali
tapi aku menikmati semua itu.” Donghae kemudian menarik kepalaku, mengecup
puncak keningku dan berkata lembut. “Kau tak tahu betapa bahagianya aku pagi
ini.”
Lagi-lagi sesuatu memberontak di dasar
hatiku. Aku tidak mungkin bisa menahannya lebih lama. Bertahan dari pesona
Donghae bisa kubilang mustahil. Dalam pelukannya, aromanya membiusku
hidup-hidup, meninggalkan kewarasanku dan aku tak bisa memandang apapun selain
matanya yang sehitam batu granit. Kurasa air liurku bisa saja mengalir deras
sekarang—aku berusaha mengalihkan pandanganku ke bibirnya yang terbuka. Tebak
siapa yang mulai sinting?
“Oke, kita harus hentikan semua ini sebelum
aku berubah menjadi monster,” katanya berhati-hati. Ia mengangkat tangan dan
meninggalkanku di atas tempat tidur, memungut atasannya di lantai dan menghadap
kaca.
Oh, aku tidak sadar kami masih berada di
ruangan terkutuk ini. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Kupandangi ribuan
pantulan diriku di seluruh dinding. Aku bergidik ngeri, menahan ketakutanku dan
memastikan bahwa Donghae masih ada di sini. Ruangan ini lebih tepat jika
disebut ruangan penyiksaan dibanding dengan ruangan penyembuhan.
Buru-buru kuperintahkan tubuhku untuk segera
turun, ketika kusadari bentuk tempat tidur milik Donghae. Pemilihan tempat
tidur dan tata letaknya sedikit menggugah rasa penasaranku. Aku berdeham lalu
bertanya langsung pada Donghae yang ternyata tengah memperhatikanku. Ia
terkekeh kecil sebelum menjawab. Dan aku bersumpah ada kilatan nakal di kedua
matanya saat memandangku lekat-lekat.
“Aku suka sesuatu yang unik,” ujarnya
menjelaskan. “Tempat tidur berbentuk persegi sudah terlalu pasaran. Jadi aku
memesan sesuatu yang berbeda. Itu saja.”
Aku tak menyalahkan kebenaran itu, kuakui
selera Donghae memang sedikit berbeda. “Tetapi kenapa Anda meletakkannya di
tengah ruangan?” tanyaku masih kebingungan. Maksudku, benar-benar di tengah
ruangan hingga aku merasa sedikit aneh.
Donghae tertawa, bisa kulihat ia enggan
menjawabku. Tapi setelah menunggu beberapa saat, ia menyerah. “Psikiaterku
bilang aku mengidap kelainan orientasi seksual.” Jawabnya mengangkat bahu.
“M—maksud Anda?”
“Aku tak suka sesuatu yang mainstream.” Ujarnya santai. Ia
melirikku yang tengah terbelalak menatapnya lalu tertawa keras beberapa detik
kemudian. Terlihat jelas bahwa Lee Donghae amat menikmati ekspresi terkejutku.
“Dengan segala hormat, Sir, apakah Anda
sedang mengerjaiku?” kataku separuh jengkel. Aku hampir mempercayai
perkataannya—maksudku, dengan semua keanehan ruangan ini, kelainan orientasi
seksual atau apalah itu, kelihatannya sangat memungkinkan.
“Ayolah,” ujar Donghae dalam tawa. “Menurutmu
orientasi apa yang kupunyai di ruangan seperti ini?” Ia bertanya dengan
seringaian di wajah tampannya.
Aku mengalihkan pandangan ke bawah, mencoba
menutupi wajah maluku secepat kilat. Tetapi bosku selalu lebih cepat, ia
memajukan wajahnya dan membisikkan sesuatu di telingaku. Hm.. Aku tak pernah
memikirkannya. Kau mau kita mencobanya?”
Aku nyaris meledak sementara Lee Donghae
kembali tertawa histeris. Kugigit bibirku dan membuang muka darinya ketika
kusadari kemanapun aku menatap hanyalah cermin—memantulkan diriku yang sekarang
sudah semerah tomat—oke, aku butuh air dingin. Segera.
“Sama sekali tidak lucu,” bentakku tak suka.
Aku menghentakkan diri menuju pintu dan menariknya dengan kekuatan berlebih. Sedetik
sebelum aku membanting pintu tak bersalah itu, kudapati sepasang mata indah
Donghae menatapku penuh arti—namun masih terlihat tulus. Untuk sejenak aku
merasa goyah, kedua kakiku ingin kembali dalam pelukannya. Tapi dengan cepat
kubuang semua pemikiran itu. Terlalu berbahaya jika aku terus menguji
kewarasanku lebih jauh.
Aku memandangi sekeliling koridor yang
dipenuhi penjaga bertampang masam. Beberapa dari mereka melirikku
sembunyi-sembunyi, mungkin memutuskan dalam sekali pandang apakah aku layak
mendapat semua perhatian dari bos mereka. Tidak mungkin wajahku bisa lebih
merah dari ini, tapi belum lagi aku memutuskan untuk kabur, seseorang berdiri
di ujung koridor. Chad bersandar di dinding dengan kedua tangannya terlipat di
dada dan menatapku penuh arti.
“Ini dia Alice kita,” ujarnya menyeringai. “Welcome to Wonderland.”
***
Lima belas menit yang lalu Chad mengantarku
ke kamar dengan satu set sarapan di atas troli. Aku telat menyadari kalau
tubuhku ternyata kelaparan dan dalam hitungan detik liurku menetes deras saat
mendapati semangkuk sup daging kambing dan segelas cokelat panas. Aku
menyisakan roti lembut dengan lelehan madu sebagai penutup dan tak bisa menahan
desahan lega saat makanan itu mengisi lambungku yang kosong.
Chad tertawa melihat caraku menyantap
seluruh hidangan dan ia mengacak rambutku pelan. Biasanya aku akan terganggu
dengan sikap seperti itu namun kali ini aku memberinya kelonggaran. Lagipula
masih ada perut yang harus kuisi sekarang.
"Kau ingin tambah?" Tanyanya geli.
Ia memperhatikanku menggigit daging kambing dengan rakus.
Aku menggeleng sebagai jawaban, tak mampu
memberikan kalimat utuh padanya. Chad terkekeh lagi.
"Tenanglah, aku bisa menyuruh chef
untuk memasaknya lagi nanti siang."
Aku mengangguk. Mengunyah selama beberapa
saat dan menelan dengan perasaan nikmat. "Sup ini enak sekali. Aku tidak
ingin berhenti makan," kataku mengerang senang.
Chad tertawa lagi. "Tentu saja,"
katanya mengiyakan. "Chef Harold didatangkan langsung dari Wales. Memasak
'Traditional Welsh Cawl' mudah saja baginya."
"Traditional Welsh Cawl, akan
kuingat." gumamku sambil mengunyah. Aku menyendokkan potongan kentang
terakhir ke mulutku dan menjilati kuah sup di ujung sendok. Chad memutar bola
matanya, berjalan menuju lemari di sebelah tempat tidur dan membuka pintunya.
"Jika kau sudah siap makan, sebaiknya
kau segera mandi, Youva. Kuharap kau bisa bersiap untuk meeting di main hall
setengah jam lagi."
"Meeting? Maksudmu Meeting
perusahaan?"
Chad mengangkat bahu ringan. "Tak
persis seperti itu. Kurasa rapatnya hanya akan membahas seputar masalah di
farmasi."
"Apakah aku harus hadir?" Aku
membayangkan tim peneliti yang berjubah putih dan menahan diri untuk
memberengut. Aku tidak terlalu menyukai mereka.
"Kupikir setidaknya kau harus ada di
sana. Boss bilang dia akan membahas sesuatu yang penting. Kurasa ada kaitannya
denganmu juga."
"Kau tahu, aku benci jika kau mulai
mempermainkanku. Kurasa akan menghemat waktu untuk mengatakannya langsung tanpa
membuatku terserang migrain."
Chad tergelak lagi. Kali ini ia tidak
menanggapi pernyataanku dengan cepat. Chad berjalan menuju pintu dan berkata santai
padaku. "Kau harus tahu, memberimu seluruh informasi bukan tugasku. Aku
hanya menyampaikan apa yang bos perintahkan."
Aku mengerang kesal. "Ayolah,"
desakku padanya. "Bisakah kita menjadi teman satu komplotan?"
"Melawannya atau membantunya?"
Aku memutar bola mataku. "Yang manapun
yang kau inginkan, asal kau membantuku."
"Idemu menarik, tapi harus
kupertimbangkan."
Desakanku tak bisa meluluhkannya. Chad
berlalu meninggalkanku sendirian di dalam kamar. Trolinya masih di sana, dengan
aroma sup daging kambing yang memenuhi ruangan, aku nyaris tak ingin bergerak
kemanapun. Rasanya mendadak tubuhku menjadi lebih ringan. Tapi aku tak bisa
berlama-lama, meski perutku akhirnya mulas karena memikirkan rapat yang akan
diadakan Donghae, cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Aku biasanya tidak memerlukan waktu lama, tapi sedikit pembersihan ekstra
kurasa tak ada salahnya.
*
Air panasnya terasa menyejukkan.
Kubiarkan airnya mengalir melewati tubuhku,
menyingkirkan semua keringat yang menempel. Tawaran untuk berendam di bathup memang sangat menggoda, namun aku
tak punya pilihan selain mandi dengan shower. Semua orang menungguku di main hall dalam waktu sepuluh menit.
Aku sendiri tak yakin dengan semua orang yang disebutkan Chad, tapi
kupikir Donghae juga akan ada di sana dan pemikiran itu yang membuat perutku
nyeri. Bayangan tentangnya terlalu memusingkan hingga aku harus menyumpahi
pikiranku yang semakin kotor. Well,
bukan salahku sebetulnya. Bosku yang punya andil paling besar dalam semua hal
ini.
Ketika aku selesai mandi, kutemukan sebuah
gaun two-piece berwarna coral di atas tempat tidur. Aku
mengernyit sebentar, masih tak bisa mengerti kenapa aku bahkan tak mendengar
seseorang masuk ke kamarku. Setelah memastikan tak ada siapapun yang
bersembunyi di balik lemari, aku mencoba gaun itu. Atasannya sebuah terusan
sepinggang tanpa lengan, menampilkan tulang belikatku yang menonjol. Aku tak
menyukai ide mengenakannya, tapi kemudian tersadar bahwa inilah satu-satunya
pilihan yang kumiliki selain memakai lagi kemejaku yang sudah basah.
Warna itu terlihat mencolok di kulitku, yang
entah mengapa membuatku tampak cantik. Bawahan gaunnya adalah rok selutut
berwarna senada dengan motif bunga, membuat penampilanku terkesan mewah namun
seksi. Aku menatap cermin dan merasa puas, menolak memikirkan bagaimana tubuhku
bakal terekspos di bawah pandangan Donghae—oke, cukup sudah. Aku harus
benar-benar berhenti memikirkan pria itu.
Jadi, setelah menghabiskan beberapa menit
tambahan untuk memoles wajahku, aku bergegas turun ke lantai dasar, menuju main hall yang ternyata masih kosong.
Ada beberapa maid yang mengelap
pegangan pintu dan begitu mereka menatapku, mereka langsung bersembunyi. Tak
ada yang bisa kutanyai di ruangan kosong ini, bahkan para penjaga hanya
membungkuk dan cepat-cepat pergi saat melihatku. Lalu karena tak ingin terlihat
bodoh di ruangan ini, aku memutuskan berjalan santai menuju selasar kanan
sambil merutuki Chad dalam hati.
Lantai di selasar ini menggunakan material parquet yang terbuat dari kayu, menyatu
sempurna dengan dinding yang putih dan pintu kaca di sepanjang sisi. Pintu
kacanya sendiri begitu luas, namun disekat dalam beberapa bagian yang membagi
ruangan menjadi petak-petak konsol meski saling menyatu. Ada perapian di sudut
terjauh dinding selasar, beberapa pigura di atas perapinya dan kursi-kursi
empuk. Aku membayangkan duduk di sana ketika hujan turun, membaca novel
kesukaanku dengan secangkir cokelat panas, menatap ke arah laut yang memanggil
dikejauhan.. well, semua itu bakal
sempurna buatku.
Kira-kira sudah sepuluh menit aku menelusuri
selasar kanan dan kehabisan ide bagaimana aku harus menghabiskan waktu lebih
lama lagi. Tak seorangpun muncul dan aku bosan terus menunggu sendirian.
Akhirnya aku merebahkan diri di salah satu sofa kulit di dekat pintu kaca,
menahan kantuk yang mulai menderaku saat ini. Semilir angin membuatku tak bisa
menahan kelopak mataku yang perlahan turun.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Sesaat aku merasa mimpiku telah menerobos
akal sehatku sebab apa yang kusaksikan sekarang tak mungkin nyata. Lee Donghae terlalu tampan untuk
dikatakan manusia, tetapi terlalu rapuh jika kusebut ia malaikat. Aku tak sadar
telah menghabiskan semenit penuh untuk mengaguminya kali ini. Ia berada di
depan pintu kaca, sebelah tangannya menopang bobot tubuhnya di depan sementara
tangan yang satunya lagi menyampirkan jasnya di pundak.
Lee Donghae memandangiku bingung tapi aku
tak menggubrisnya. Dalam hati aku menghela napas frustasi; bagaimana mungkin
pria itu terlihat begitu menawan tak peduli apapun yang ia kenakan? Sungguh
tidak adil menyaksikan semua ini. Aku tak yakin Donghae bisa lolos dari
kategori apapun selain sempurna. Pria itu kini mengenakan kemeja dark blue tanpa dasi sementara
kancingnya berwarna emas—terlihat mencolok namun juga stylish. Ia memadukan kemeja birunya dengan celana hitam dan sepatu
kulit, membuat penampilannya seribu kali jauh lebih mematikan kali ini. Lee
Donghae menata rambutnya ke atas, memberi kesan tegas namun tetap menawan.
Bibirnya penuh—sangat menggodaku saat ia tersenyum mengejek.
“Sudah puas mengagumiku? Atau kau memang
perlu sebuah ciuman panas?”
Aku meledak dalam rasa malu dan cepat-cepat
mengalihkan pandangan, berusaha menyelamatkan sisa-sisa harga diriku di
depannya. Kulihat Donghae tersenyum lalu berjalan masuk. Ia merebahkan dirinya
di sebelahku dengan lelah sambil membuka kancing teratas kemejanya.
“Jangan Cuma memperhatikan, bisakah kau
setidaknya membantuku melepasnya?” Dalam dua detik wajahku kembali memerah dan
aku bisa mendengar suara tawanya yang membahana. Untuk satu hal yang rumit, aku
suka mendengarnya tertawa. Ia terlihat lebih lega sekarang.
“Kemana semua orang-orang? Bukankah akan ada
meeting atau sesuatu? Chad bilang
padaku untuk bersiap-siap di main hall.”
Donghae menatapku bingung. “Rapatnya memang
ada di main hall. Kami memutuskan
untuk menundanya hingga besok malam karena kau tak juga muncul. Tapi sepertinya
kau ingin beristirahat, eh?”
“Aku sudah siap, Sir. Tapi tak ada
seorangpun saat aku ke sana!”
“Dimana main
hall yang kau maksud?”
Aku mencelos. Apa ada begitu banyak main hall di bangunan ini? “Di depan
tangga berputar? Di dekat pintu masuk?” Cicitku tak yakin. Kalau tebakanku
benar, aku dalam masalah.
“Tidakkah pelayan memberitahumu dimana
ruangan meeting?” Lee Donghae
terdengar waspada, ia memicingkan matanya menanti jawabanku.
“Tidak ada seorangpun pelayan jadi tak ada
yang bisa kutanyai.” Jawabku berusaha santai. Aku sadar punggungku terlihat
kaku dan cepat-cepat aku bersandar di punggung sofa.
Aku tak mengerti kenapa Donghae terlihat tak
puas dengan jawabanku. Ia mengernyit selama beberapa saat—mungkin berpikir
dengan begitu keras ketika akhirnya ia menghela napas panjang. “Sudahlah,
kurasa apapun itu aku harus menundanya sekarang. Lagipula keputusannya sudah di
ambil—kita akan ke Las Vegas besok siang.”
“Las Vegas—maksud anda di Nevada?”
Donghae mendengus, ia menganggukkan
kepalanya sebagai jawaban. “Kita akan ke sana saat tengah hari dan akan kembali
keesokan paginya. Ada beberapa hal yang akan kita urus.”
Well,
dengan adanya kata kita dalam
kalimatnya, aku cukup yakin aku ‘diikut sertakan’ dalam apapun yang akan ia
kerjakan di Los Angeles. “Bukannya Anda bilang rapat siang ini ditunda besok
malam? Apa maksudnya rapatnya juga dipindahkan ke Las Vegas?”
Donghae tersenyum perlahan dengan binar matanya
yang menatapku kagum. Ia terlihat puas, namun juga penuh semangat. “Selalu
tajam dan penuh ingin tahu, Youva. Kau benar-benar tak terduga.” Aku tak
mengerti sepenuhnya yang ia katakan, menurutku itu bukan rasa ingin tahu yang
pantas ia kagumi. Lagipula aku Cuma mengikuti pembicaraannya dengan teliti dari
awal, tapi tampaknya Donghae tak mau mendengar penyanggahan apapun dariku. Ia
berdiri sambil merapikan kemejanya dan menarikku bersamanya.
“Biar kutunjukkan tempat favoritku.” Ujarnya
penuh arti. Aku menolak membayangkan ruangan penuh cermin atau yang bakal lebih
mengerikan—ruangan penuh penyiksaan, misalnya?
*
Tetap tak ada yang bisa kulakukan saat pria
itu menyeretku bersamanya—mengikuti setiap langkahnya tanpa jeda. Jadi, setelah
melewati koridor di sepanjang selasar kanan, akhirnya kudapati bahwa ujung
bangunan ini tidak berbentuk siku, melainkan melengkung oval. Donghae
menunjukkan hamparan taman di belakang selasar tetapi kami menuju atas, menaiki
tangga di tengah ruangan. Lantai dua ternyata juga di penuhi dinding kaca,
dengan beberapa sekat yang menyatukannya dan diisi dengan banyak sofa berlengan
yang empuk. Aku bahkan tak sempat melihat-lihat balkon cantik di ujungnya
karena Donghae tak mau berhenti barang sejenak pun. Jadi tanpa banyak mengeluh
kuputuskan untuk mengikutinya dalam diam.
Ketika tiba di tangga menuju lantai teratas,
napasku mulai berat. Aku merutuki desain tangga yang melingkar, yang tentu saja
memperjauh jarak kami untuk tiba di atas dan artinya ada banyak langkah ekstra.
Tapi bosku sepertinya tak merasakan apapun, sebab aku bisa mendengarnya
mendengus di depanku.
“Kalau aku jadi kau, aku akan mulai
berolahraga, Youva.”
Aku memberengut dan bersyukur pria itu tidak
melihatku. “Kupikir untuk sementara ini cukup otakku saja yang berkerja keras.”
Gumamku separuh kesal.
“Benarkah?” Ujar pria itu lagi. Donghae
menatapku satu kali sebelum pandangannya pindah ke atas. “Kalau begitu nikmati
hasil kerja kerasmu. Selamat datang di Paradise Palace.”
Aku ingin mencibir perkataannya barusan,
tapi apapun yang kulihatkan tak pernah semenakjubkan ini.
Aku berdiri—kami berdiri—di lantai teratas
dari selasar kanan dan sepertinya ini adalah bangunan tertinggi dari
kediaman Donghae sebab kini aku tak bisa
melihat apapun selain lautan biru di kedua mataku. Jarak laut dan langit
hanyalah segaris perak di ujung penglihatan. Ini benar-benar pemandangan
terindah. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa ada
petak-petak ubin yang mengarah lurus menuju sebuah sofa dengan perapian di
kanan kirinya. Sementara seluruh lantai terisi genangan air dangkal, kecuali
petak ubin yang hanya sedikit lebih tinggi dari genangan airnya. Dari gradasi
warna air, kuketahui bahwa di genangan air itu akan semakin dalam—membentuk
sebuah kolam di sekitar pinggiran sofa. Pada beberapa titik, ada pusaran air
yang menggelegak lembut, tetapi sama sekali tak mengganggu. Aku mendongak dan
menyadari bahkan tak ada atap sama sekali. Kami bisa melihat langit yang luas,
seolah tanpa batas di atas kami.
“Sebuah Jacuzzi di atap?”
“Yeah,” senyum Donghae sederhana. “Kau
terkesan?”
Aku menoleh padanya dan memiringkan
kepalaku. “Kepingin pamer padaku?”
Donghae mendengus dan ia juga memiringkan
kepalanya. Ada kerinduan di kedua matanya dan aku bisa melihatnya dengan jelas.
“Aku tidak bisa menahannya.” Jawabnya berbisik. Aku mendeteksi makna ganda dari
kalimatnya.
“Tentu saja,” desahku berlebihan. “Aku bisa
melihat Anda berjuang untuk mengendalikannya.” Kataku tertawa. Kedua mata
Donghae menyipit dan senyuman lolos dari wajahnya. Kami berdiri berdampingan
dan tak ada siapapun saat ini yang bisa menghentikan kami. Maksudku, dengan
rambutnya yang tertiup angin, cahaya matahari yang memerangkap helai rambutnya
dalam kilauan mosaik, aku hanya ingin menciumnya.
Ugh, kau harus berhenti berpikiran mesum!
Kami berpandangan dalam diam, hingga aku tak
tahan mendekam dalam kesunyian dan mulai bertanya mengenai hal pertama yang
terlintas di kepalaku.
“Anda sering kemari?”
Donghae mengangkat bahunya ringan. “Kalau
aku ingin menyendiri, aku selalu ke sini.”
“Seberapa sering itu?”
Ia menatapku. Campuran antara rasa penasaran
dan sedikit kesal atas kelancanganku. “Apakah penting bagimu untuk
mengetahuinya?”
“Sebenarnya tidak.” Jawabku cepat. Kulirik
Donghae yang memutar bola matanya dramatis. “Ini menyenangkan.” Komentarku
tertawa.
“Tentu, ayo kita duduk.” Donghae menarikku,
menuntunku menuju sofa di tengah Jacuzzi. Sofanya terlalu besar untuk
diduduki seorang diri dan terdapat begitu banyak bantal di atasnya tapi
benar-benar nyaman bagiku. Aku meletakkan kedua kakiku di antara bantal-bantal
dan Donghae mengikutiku. Ia merebahkan diri di sebelahku, duduk benar-benar
rapat hingga lengannya menempel padaku. Aku menggeliat membebaskan diri
darinya, mencoba memberi jarak yang aman untuk jantungku sendiri. Tapi tentu
saja bosku terlalu egois.
“Tetap di sini, Youva.” Perintahnya mutlak.
Aku menampilkan wajah tak suka, walau entah
kenapa batinku bersorak gembira. “Akan sangat menyebalkan kalau turun hujan,”
komentarku mengusir kesunyian, meski faktanya jantungku tengah marathon saat
ini.
“Aku juga kemari ketika hujan.” Balas
Donghae tenang. Ia memberikan senyumnya saat melihatku menaikkan alis
tinggi-tinggi. “Tidak ada yang berubah, selain rintik hujan.” Imbuhnya lagi.
“Kecuali basah dan asap di perapian.” Ujarku
sedikit sarkastis.
Donghae tertawa kecil, tak memberikan
sanggahan apapun selain meminta perhatianku. “Mau lihat sihir?” Tanyanya dengan
nada bergurau. Aku mengangguk mengiyakan, walaupun tak yakin apakah ia hanya
menggodaku dengan penawarannya.
Kuperhatikan pria itu menekan sesuatu di
atas lengan sofa dan dalam tiga detik sebuah kanopi bergerak dari bawah sofa.
Kanopinya melengkung, menutupi lebih dari separuh bagian sofa dan ada tirai
tembus pandang yang akan menghalangi air hujan masuk. Tentu saja bakal sangat
menyenangkan menyaksikan rintikan hujan dari dalam.
“Sebagai informasi, aku menggunakan perapian
elektrik dan api yang kau lihat hanyalah ilusi optik dari sebuah hologram di
dalamnya.” Ia menjelaskan dengan tenang, seakan hal itu benar-benar sepele
baginya. Ia kemudian meletakkan tangannya di atas perapian, tepat di tengah
kobaran api yang menyala—well, seperti itulah kelihatannya bagiku—dan
tangannya tampak baik-baik saja.
“Uh-oh,” gumamku kagum. Di sebelahku Donghae
tertawa.
“Ucapkan hai pada teknologi, sayang.”
Ujarnya separuh geli.
Aku mengikuti perbuatannya—meletakkan
jari-jariku di atas perapian dan tak merasakan apapun. Ada seberkas sinar dari
dalam kotak perapian itu dan aku berupaya meletakkan ujung jariku ke dasar
kotak, mencoba menghalau sinar hologram yang menyoroti tanganku.
“Seperti seorang Lady, aku sangat
terkesan.” Ejeknya menahan tawa. Kutatap wajahnya yang terlihat santai lalu
membuat cibiran untuknya dan dalam sekejap tawa pria itu lenyap.
“Jangan menggodaku lebih dari yang bisa kau
tangguhkan, Youva.” Suaranya berubah berbahaya.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya
dengan nyali seujung kuku. Bosku masih diam, memandangku dengan nyala di kedua
matanya. “Aku tidak menggoda siapapun.” Kilahku berbisik, cepat-cepat melarikan
pandanganku ke bawah, ke tempat manapun selain kedua matanya yang perlahan
membakarku.
“Youva,” bisiknya perlahan. Ada sensasi aneh
di perutku, seakan menyentak dengan kuat saat kami berpandangan. “Tahukah kau
kalau aku menginginkanmu?”
Perkatannya membakarku. Dengan cepat seluruh
folikel kulitku berubah merah muda dan bagian dalam otakku mulai kebakaran
hebat. Jarak kami teramat dekat, sehingga setiap tarikan napasnya yang berat
menyapu wajahku. Aku bersiap, menanti wajahnya yang semakin dekat padaku. Detak
jantungku terasa sampai di ujung lidah, sementara indera penciumanku hanya
dipenuhi oleh aromanya, Lee Donghae.
Kupejam kedua mataku, mencoba tak terlihat
gugup dengan debaran tolol ini. Saat waktu melambat di sekitarku, kudengar
suara Donghae yang merdu berbisik, “omong-omong, kau terlihat cocok dengan gaun
ini.”
Kedua mataku membuka dan aku nyaris menghela
napas kecewa ketika ia telah menarik kembali kepalanya. Aku ingin tertawa
karena kebodohanku sendiri. Apa yang kuharapkan? Ciumannya? Ya Tuhan, kau
butuh bantuan, Youva.
Tetapi pria itu masih menatapku. Sepasang
matanya membulat, dengan irisnya yang menggelap mengundang tanya. Aku
bertanya-tanya, kenapa ia menatapku begitu penuh hasrat jika ia tak berniat menciumku?
“Don’t try to test me. You have no idea
how much I want to rip your dress now.” Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia begitu menderita.
Kutelan seluruh kegugupanku dan menjawab
separuh geli. “I’ll remember it.” Lee Donghae terdengar frustasi karena
teramat menginginkanku? Aku tak tahu apakah seseorang telah merekam
perkataannya barusan. Tapi kupikir aku layak mendapat penghargaan karena telah
berhasil membuatnya mengakui hal itu.
“Jadi, bisakah kau bersikap kooperatif? Aku
tak suka jika harus merobek gaun mahal.” Donghae terdengar santai sekarang. Ia
bahkan tersenyum mengejek melihat ekspresiku yang menatapnya tak percaya.
“Dan bisakah Anda berhenti menggodaku?”
“Tidak,” jawabnya cepat. “Itu hobi baruku.”
Aku menatapnya jengkel dan ia tersenyum
padaku. Kupikir itu senyuman mengejeknya lagi, namun entah kenapa kedua matanya
berubah sendu saat menatapku. “Bolehkah aku bersandar di bahumu?”
Pertanyaan Lee Donghae selalu berhasil
membuatku terperangah. Tapi ia bahkan tak mendapatkan persetujuanku dan
langsung meletakkan kepalanya di pundakku, membuat tubuhku tegang dan jantungku
rasanya benar-benar terjun dari ketinggian.
“Ini menenangkan, bukan?” tanyanya nyaris
berbisik.
‘Tentu saja tidak.’ Jeritku dalam
hati. Tapi aku menjawab kebalikannya. “Sepertinya begitu.”
Dengan gerakan perlahan Donghae menautkan
jari-jarinya yang panjang denganku. Ia mengisi buku jariku dengan jarinya lalu
menggenggam jemariku erat. Aku bisa merasakan denyut nadinya—atau mungkin itu
milikku?—dan mendengar hembusan napasnya yang semakin perlahan.
Aku tak tahu apakah hamparan laut tak
berujung ataukah kenyataan bahwa pria yang kucintai ternyata begitu
menginginkanku, apapun itu salah satunya benar-benar membuatku damai. Kami tak
mengatakan apapun, membiarkan kesunyian mengambil alih dan mengalah pada
deburan ombak di bawah sana.
‘Andai waktu terus seperti ini..’
*
Keesokan paginya bosku berubah pikiran. Ia
memindahkan rapatnya ke San Fransisco dan tampaknya ia benar-benar ingin pamer
padaku sebab pagi-pagi sekali kami semua sudah harus membeku karena angin pagi
saat menuju ke lapangan terbang pribadinya di salah satu lembah bukit.
Kupikir Jet hanyalah sebuah pesawat
berukuran kecil yang hanya memuat beberapa orang di dalamnya—maksudku, jet
pribadi seharusnya bisa dibuat sederhana; beberapa kursi, seorang pramugari,
atau mungkin dengan tambahan kamar mandi di dalamnya. Aku membayangkan hal-hal
semacam itu dan ketika aku menyuarakannya, nyaris kudengar desisan Donghae
sebagai jawaban dengan nada jengkel.
Tentu saja yang kulihat adalah kebalikannya.
Lapangan terbang pribadinya sendiri sangat luas, terletak di tengah-tengah
hutan dengan pepohonan besar sebagai pembatasnya. Ada beberapa lampu yang
menyorot di sepanjang jalur lintas pesawat, membuat raksasa udara itu terlihat
begitu menawan.
“Apakah anda baru saja menyewa sebuah
pesawat dari maskapai penerbangan?” tanyaku berteriak di tengah deru angin dan
mesin.
Donghae memberiku pandangan berhenti-bersikap-menyebalkan
namun tetap menjawabku dengan teriakannya. “Itu Jet pribadiku. Beritahu aku
kalau otakmu telah tertiup angin, Miss Cardia. Aku tak ingin sekretarisku
hilang akal.”
Dan percakapan itu diakhiri dengan wajahku
yang memerah serta bibirku yang mencebik dalam keremangan. Kupikir itu adalah
akhirnya, sampai ketika aku memasuki jet itu dan terpana melihat interiornya
yang super mewah.
Aku tak bercanda saat mengatakan super
mewah karena aku telah menghabiskan sepuluh menit tanpa hasil hanya untuk
mencari kata-kata lain yang bisa mendeskripsikan kemewahan yang tengah
kusaksikan saat ini.
Aku menatap bagian dalam jet dengan mulut
terbuka lebar, meninggalkan setiap sindiran bosku jauh di belakangku.
“Kapan kau akan berhenti terkejut?” Ia
mengejekku dengan senyumnya. Chad juga ikut tertawa, tetapi ia begitu sopan
menyamarkan gelaknya dengan batuk samar.
“Apakah ini tidak terlalu berlebihan?”
ujarku saat berhasil menemukan suaraku kembali.
Donghae menyilangkan kakinya, duduk dengan
segala ketampanan dan kesombongannya. “Tentu saja aku harus mencari cara untuk
menghabiskan uangku.”
Di sebelahku Chad berdeham satu kali. Aku
tak mempedulikannya. “Tidakkah Anda pernah mendengar kata-kata menabung?”
“Tidakkah kau mengerti bahwa kata-kata itu
tak berlaku padaku?” Ia menunjukkan wajah tak berdosa, seakan akulah yang
benar-benar bodoh untuk bertanya padanya. “Kuakui aku cukup puas menyaksikan
ekspresimu.”
Aku memutar bola mataku dengan jengkel
sementara dua pria tampan itu tertawa bersama. Kulirik lagi interior jet ini,
masih merasa tak yakin dengan apa yang kusaksikan. Deretan sofa-sofa empuknya
dilapisi kulit asli, sementara bantalannya diisi kulit angsa. Aku menatap
langit-langitnya dan menemukan lampu gantung Kristal super mewah dan bersinar
begitu terang—berkilau dengan seluruh pantulan Kristal lain di ruang kabin ini.
Menurut penjelasan bosku, seluruhnya ada lima kabin—tiga kabin di bawah dan dua
kabin privat di atas. Setiap kabinnya benar-benar luas hingga kupikir aku bisa
saja bersepeda di dalamnya. Ada sebuah bar dengan dua orang pramusaji—atau
pramugari?—memakai seragam dengan topi kecil dan tersenyum ramah pada kami. Ada
juga ruangan meeting yang di sekat dari sebuah kabin lain, yang lengkap dengan
televisi, proyektor, bahkan mimbar sederhana di ujung ruang.
“Kamar tidurnya ada di atas,” sahut Donghae
dan aku meliriknya perlahan. Tidak mengherankan ada kamar tidur di sini, tapi
aku sedikit tergerak dengan nada suaranya. “Kupikir Chad bisa mengantarmu untuk
melihat di atas, tapi sayang sekali ia sibuk.”
Aku menatap Chad yang masih berdiri di ujung
pintu. Sama sekali tidak sibuk.
“Jadi mungkin aku yang harus membawamu.”
Lanjutnya sambil berdeham kikuk di ujung kalimat.
Keningku mengerut ragu, merasa tak percaya
dengan apa yang baru saja kudengar. Aku memandang Chad lagi dan tiba-tiba saja
ia bertingkah aneh, berpura-pura memanggil pramugari dan berbicara dengan nada
serius. Aktingnya tidak cukup bagus menurutku, sebab ia terus-terusan berusaha
melirik ke arahku.
“Cepatlah, Youva. Kau tahu aku tidak suka
menunggu.”
Ini aneh. Kenapa bosku tiba-tiba bersikap
janggal?
*
Ada dua kabin yang menyambut kami di depan
tangga teratas. Dua-duanya sangat ekslusif, meski terdapat perbedaan luas yang
mencolok. Kabin pertama diisi dengan dua tempat tidur berukuran king-size
dan tv layar datar terpasang di dinding. Seluruh lantainya ditutupi karpet
beledu sementara beberapa lukisan tergantung di dekat sofa empuk mungil yang
memanjang membentuk ruangan. Ada kamar mandi dengan bathup, shower dan westafel
yang memungkinkan pengunjungnya menari di dalamnya. Singkatnya cukup luas untuk
ditempati seseorang. Tetapi Donghae menyebutkan bahwa kamar ini untuk tamu yang
kadang berpergian dengannya. Aku tak meminta penjelasan mengenai tamu
yang ia maksudkan tapi pria itu buru-buru mengklaim bahwa tamunya biasanya
beberapa direktur perusahaan besar.
“Mari kutunjukkan kamarku dan aku harap kau
bisa berhenti terpana.”
Aku mengernyit tak suka. “Bukan salahku
kalau Anda terus memamerkan kekayaan seperti ini.”
Donghae menoleh padaku. Ia memiringkan
kepalanya dan menatapku tak percaya. “Apakah kau akan berhenti protes kalau
kukatakan Arthur memiliki satu yang seperti ini?”
Itu bagus. Aku lupa kalau ayahku ternyata
seorang konglomerat. “Dan itu bukan milikku,” sergahku cepat, tak mempedulikan
dengusan Donghae yang terdengar mencela.
“Jadi kau berharap seluruh kekayaannya
tenggelam di lautan? Kau satu-satunya penerus Carlos Foundation, Youva. Atau
jika kau benar-benar tak suka ide tentangnya, kau bisa melanjutkan untuk
menabung sepuluh sen setiap hari.”
Aku menatapnya cepat, penuh emosi. Tapi
bosku terlihat lebih mengerikan lagi. Bibirnya yang seksi terlihat menipis,
dengan matanya yang menantangku kejam. Di bawah tatapannya yang penuh
intimidasi, kunaikkan wajahku agar terlihat garang—sebisa mungkin tak menunjukkan
kalau kaus dalamku telah basah oleh keringat.
“Anda sangat merendahkanku.” Ujarku tajam.
Kulirik bibirnya yang kini memutih, tampaknya ia benar-benar menahan emosi.
“Kau yang memintanya.” Sahutnya cepat.
“Jangan bersikap seperti pengemis kalau kau tak ingin direndahkan.”
“Ap—kenapa Anda menyebutku pengemis? Apakah
aku pernah meminta uang dari Anda?” Nada suaraku mulai meninggi dan bergetar.
Aku tak terbiasa dengan emosi negatif yang selalu membuatku rapuh.
“Katakan kepadaku kenapa kau harus berhemat
tujuh sen? Hanya pengemis yang melakukannya, Youva. Jelaskan kenapa—”
“Itu karena aku tidak ingin menjadi
pengemis!” teriakku memotong perkataannya. Ada sesuatu di ujung hatiku yang
terasa pilu, seakan sebuah belati mengiris-iris bagian-bagian hatiku dari
dalam. “Aku tidak sepertimu—aku tidak lahir dengan sendok emas di mulutku! Aku
hidup dengan berhemat, agar aku bisa mengisi perutku keesokan harinya, agar aku
tak perlu meminta uang dari siapapun, Dan agar aku bisa mengatakan kalau aku
bukan pengemis!!”
Deru napasku naik turun dengan cepat
sementara kedua mataku mulai memanas. Aku berdoa dalam hati agar tak ada
airmata tolol yang lolos kali ini. Aku tak ingin terlihat lemah di depannya, di
depan pria yang ternyata adalah pria paling arogan yang pernah kutemui. Tapi
tetap saja, sebesar apapun usaha pengendalianku, semuanya akan sia-sia. Karena
aku terlalu lemah bahkan terhadap diriku sendiri. Dan butiran airmataku
akhirnya jatuh juga.
Donghae memandangku tak percaya dan dalam
setengah detik wajahnya melunak. Tampaknya airmataku meluluhkannya—atau ia
mungkin bisa memahami maksudku. Ia bergerak mendekatiku, dengan airmata yang
terus jatuh tanpa henti, aku melihat kedua tangannya berusaha menggapai wajahku—tapi
segera kutepis.
“Youva..” Panggilnya tertahan.
“Jangan sentuh aku.”
“Kumohon, jangan menangis. Aku—” Pria itu
kembali mencoba menghapus airmataku tetapi aku lebih cepat. Kubalikkan tubuhku
dan berjalan terus—masuk ke kabin selanjutnya.
“Youva, kumohon maafkan aku.” Desaknya tak
mau berhenti mengikutiku. Aku sama sekali tak berusaha menutupi bahwa aku
benar-benar terluka dengan menghentakkan kakiku ke lantai. Donghae kemudian
menangkap pergelangan tanganku. Ia membalikkan tubuhku dengan cepat. “Kau keliru—maksudku, aku yang keliru.
Ini salahku. Maafkan aku.”
Lee Donghae menatapku gusar dengan kedua
matanya yang terlihat nanar menanti pengampunanku. Dadaku masih naik turun karena emosi tetapi
pria itu lagi-lagi berhasil mengubah keadaan. Bagaimana mungkin aku bisa merasa
kesal kalau ternyata ia begitu lihai mempermainkan perasaanku?
“Aku bukan pengemis.” Bisikku terisak.
Hatiku masih terluka, meski kini mulai mereda.
Donghae menarik tubuhku dalam pelukannya.
“Aku tahu. Maafkan aku. Aku hanya tak bisa membayangkanmu berjalan kaki sejauh
satu kilo hanya untuk membeli beberapa potong roti murah. Itu juga melukaiku,
Youva.”
Aku membeku dalam pelukannya. Kedua
pelipisku bertaut bingung. “Bagaimana Anda mengetahui hal itu?”
Perlahan pria itu melepas pelukannya dan
mengangkat bahunya ringan. “Aku melakukan penyelidikan, Youva. Tentu saja.”
Ada jeda cukup lama sebelum aku menyudahi
pandangan menuduhku padanya. “Kenapa Anda harus menyelidikiku?” tanyaku tak
percaya. Ini sangat membingungkan. Maksudku, penyelidikan apa yang ia lakukan
terhadapku?
Donghae mendengus kecil lalu melipat
tangannya di dada sambil menjawab santai. “Itu harus kulakukan, Youva.
Bagaimana mungkin aku menjagamu kalau aku tidak tahu siapa dirimu, bagaimana
kepribadianmu dan—apa saja kegiatanmu?”
Mulutku membentuk bulatan tanpa bersuara.
Dan entah kenapa tatapan yang ia berikan padaku mendadak berubah. Sejujurnya
aku tak punya nyali untuk bertanya, tetapi rasa penasaranku lebih besar dan
sebelum aku berhasil menutup mulutku sendiri, kudengar pertanyaanku yang begitu
fatal, “jadi, bagaimana menurut Anda? Bagaimana hasil penyelidikan itu?”
Senyum pria itu mengembang puas. Ada sesuatu
di binar matanya yang mengundangku masuk ke dalam labirin tak berujung. Ia
memiringkan kepala ketika ujung jari-jarinya menyentuh bibirnya sendiri. Aku
tahu aku akan menghadapi sesuatu jika melihat bagaimana caranya menjawab
pertanyaan bunuh diriku. Tapi mungkin saja sesuatu itu bukan hal yang
buruk.
“Sebenarnya apa yang paling ingin kau
ketahui? Pendapatku atau hasil penyelidikan timku?” Aku tahu ia hanya
memancingku. Tapi sulit sekali untuk tidak bersemu malu saat mengetahui ia
berhasil menangkap maksud pertanyaanku. “Kupikir aku tidak memerlukan
jawabannya, bukan?” Ia tertawa geli saat menyaksikan perubahan warna di
wajahku.
“Harus kuakui, sangat menyenangkan
menyaksikan keseharianmu, Youva. Kau benar-benar unik—maksudku, dalam artian
yang positif—dan aku belajar satu hal darimu, yang membuatku sangat berterima
kasih akan hal itu.”
Aku tak tahu harus bereaksi apa mendengar
pengakuannya. Tapi seperti biasa, wajahku lebih dulu mengambil alih dan
memutuskan untuk mempermalukanku lebih jauh. Hingga aku tak tahan untuk menatap
pria itu lagi karena mukaku agaknya bisa menyaingi tomat sekarang.
“Apa itu?” bisikku serak. Aku masih tak
berani memandangnya meskipun aku tahu ia perlahan mendekat.
“Bahwa cantik tidak bisa diukur dari
seberapa banyak uangmu di kantongmu, atau seberapa tebal make up yang kau
kenakan. Cantik hanya bisa diukur dengan sikap dan ketulusan, sebab sikap yang
santun dan hati yang tulus akan mengalahkan kecantikan artifisal.”
Di luar kendaliku, kepalaku mendongak
mencari kedua matanya yang menatapku lurus. Lee Donghae tengah memberiku
tatapan yang tak mampu kujelaskan sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya.
“Kau cantik, Youva. Mengalahkan ribuan wanita lainnya di luar sana hanya dengan
ketulusanmu. Kau cantik, dengan segala yang kau miliki hingga..”
Pria itu bahkan tak sempat menyelesaikan
kalimatnya dan ganti terperangah menyaksikan wajahku yang bersemu dengan
senyuman lebar. Aku tahu rayuannya benar-benar klise tapi tetap saja rasanya
menyenangkan sekali saat ia memujiku seperti itu. Aku tak bisa menahan wajahku
untuk tetap diam dan tenang sementara ia terus menyanjungku setinggi langit.
“Apa kau tahu apa yang ada di kepalaku saat
ini?”
Dengan berhati-hati aku menyadari perubahan
nada suara yang ia gunakan. Jantungku kini berdegup sedikit lebih cepat,
bersama kami menanti ritme yang menunggu di ujung pembicaraan.
Aku memilih untuk diam dan mengamati. Tetapi
sepertinya pria itu juga tidak mengharapkan jawaban apapun.
“Ini terlalu berbahaya, Youva. Lihat dan
perhatikan sekelilingmu. Kau baru saja menggodaku di dalam kabin pribadiku.”
Aku tersentak dan mulai mengamati sekitarku.
Ia benar. Ada sebuah tempat tidur king size diselimuti seprei satin di
tengah ruangan—hanya beberapa kaki dari tempatku berdiri. Ada beberapa sofa
empuk di sudut kanan, lengkap dengan meja dan vas bunga cantik. Bahkan ia
mendesain sebuah mini bar di sebelah kiri. Itu ide yang brilian karena saat kau
kepingin mabuk dan langsung tidur—well, kau bisa terus berbaring di
sana.
Donghae maju satu langkah, menutup jarak
kami—menyebabkan dada kami saling berhimpit. Tetapi pria itu terus maju,
membuatku mundur satu langkah ke belakang, membuat jantungku berdebar
kesetanan. “Putuskan sekarang juga. Aku sudah mengatakannya berkali-kali,
Youva. Aku bukan pria sederhana—hidupku terlalu rumit untuk bisa kau ikuti. Aku
tak akan menjamin apapun padamu.”
Ia maju lagi, kali ini dengan desakan yang
nyaris membuatku terhuyung. Tapi tubuhku tak bisa bergerak kemanapun. Pria ini
telah mengunci seluruh gravitasi di kedua matanya. Sorotnya yang tajam bagai
memerangkapku ke dalam dimensi lain—mustahil untuk pergi kemanapun, sebab ia
telah menjadi alasanku untuk berada di sini.
“Apakah aku punya pilihan?” kataku berbisik.
Lee Donghae kembali maju. Dengan wajah keras
ia menjawab pertanyaanku. “Tinggal atau pergi.”
Aku menggigit bibirku—perbuatan refleks yang
timbul dari kegugupanku—dan menjawabnya pelan. “Bukankah Anda sudah tahu
jawabannya? Aku tak mungkin pergi kemanapun tanpa Anda.”
Donghae menatapku dengan tersenyum puas. Ia
memberiku senyuman miringnya lalu mengangkat alisnya tinggi. “Kuperingatkan
untuk tidak menggigit bibirmu, Youva. Demi Tuhan, berhenti menggodaku!”
Tawa renyah keluar dari mulutku dan aku
menjulurkan lidah sebagai jawaban. “Yang itu juga jangan. Oh, ya ampun—”
Donghae menyapu rambutnya ke belakang dengan sebelah tangan dan mendesah
dramatis.
“Anda juga harus berhenti menggodaku.
Bukankah tidak adil kalau hanya aku yang menjaga sikap?”
“Aku bosmu, Youva. Aku bisa melakukan apapun
yang kumau—”
“Kalau begitu peraturan itu juga berlaku
untuk dua pihak. Ini bibirku, tubuhku. Aku bisa melakukan apapun yang kumau.”
“Kau boleh melakukan apapun pada tubuhmu.
Tapi tidak di hadapanku. Kau harus mengerti bahwa kendaliku begitu lemah
terhadap batasan-batasanku sendiri. Terutama jika menyangkut dirimu.”
Aku menatapnya sejenak. Perlu waktu lama
sebelum aku memutuskan untuk menyudahi konflik yang terjadi di kepalaku.
Beberapa spekulasi muncul dalam beberapa detik, yang kemudian kuputuskan untuk
menyuarakannya. “Anda tak bisa mengendalikan diri terhadap..ku?”
Ini begitu sulit. Bukan hanya karena dada
bidangnya yang begitu menggoda, tetapi juga kedua mata Lee Donghae yang semakin
menggelap—tenggelam oleh hasratnya sendiri. Donghae memajukan kepalanya,
mempertegas desah napasnya yang kian berat. “Sudah ratusan kali kukatakan,
Youva. Kau seharusnya tak mengujiku sejauh ini. Kecuali kau menginginkanku
seperti aku menginginkanmu….atau sudahkah itu?”
Tak ada jawaban apapun. Bahkan tak ada
siapapun di dunia ini. Hanya Lee Donghae. Bibirnya yang tipis dan berisi,
terlihat kesusahan menarik napas. Pria itu berdiri kaku di hadapanku—nyaris
hanya satu inci jaraknya dari tubuhku. Ketika lidahku tak kunjung memberikan
jawaban, ia mengerang parau. Kulihat ia menarik lilitan dasi di lehernya dengan
frustasi dan berujar dengan suara serak.
“Persetan dengan batasan itu. Aku sudah
tidak tahan lagi—” Dan detik berikutnya Donghae telah menerjangku.
Seprei di bawahku bergemerisik saat ia
mendorong tubuhku di atas sana. Warnanya semerah darah, tampak mengilat di
bawah sinar lampu. Kudengar napas Donghae memburu di telingaku sementara debaran jantungku memenuhi rongga
dada, mengirimkan getaran ke seluruh tubuh.
Kali ini sama sekali tak ada paksaan. Pria
itu menciumku dengan begitu lembut, hingga kupikir ia jatuh tidur dalam
ciumannya ketika kurasakan lidahnya kembali menyusup secara hati-hati. Semacam
kenikmatan aneh meledak dalam diriku. Aku suka sensasinya, terasa tenang namun
tetap menyentuh inti secara keseluruhan. Tanpa bisa kucegah, kedua tanganku
menemukan tempatnya di sela-sela rambut Donghae. Jari-jariku saling menaut
bahagia—rambut Donghae yang begitu halus kini berada di genggamanku.
Donghae memindahkan ciumannya ke ujung
tulang bahuku, ia menatapku selama dua detik dan kembali berbisik di telingaku,
“Aku menginginkanmu, Youva, aku sangat menginginkanmu..” bisiknya separuh
menyesal. Dan kusadari aku juga tak mungkin bisa menahan diri lagi.
“Sir—” bisikku dalam desahan, tetapi Donghae
menyelaku.
“Kenapa
kau begitu indah?” Ujarnya lagi. Bibir Donghae merangkak naik, mencecap bibir
bawahku yang bergetar. “Tenanglah sweetheart,” katanya terdengar geli.
Kedua mata Donghae menemukanku yang masih
saja memandanginya tanpa berkedip. Ia menatapku sedikit lebih lama, berusaha
menangkap maksud dari tatapanku yang begitu lurus.
“Ada yang ingin kau sampaikan?” Tanyanya
bingung.
Aku menggigit bibir dan terdengar decakan
sebal dari pria itu. Sebagai respon, aku berdeham satu kali. Dan—uh, oke,
tenggorokanku rasanya kering sekali.
“Sir, aku—maksudku—bisakah kita tidak—err..
melakukan itu?”
Keringatku mulai bercucuran. Aku tahu
sepasang bola mata pria itu sudah menangkap maksud pertanyaanku, namun tetap
saja ia lebih suka jika aku yang menyelesaikannya sendiri.
“Melakukan apa maksudmu?” tanya Donghae
terdengar lugu, meski kedua kilatan di matanya tidak bisa ia sembunyikan.
Aku berdeham. Tangan Donghae yang
menggenggam jemariku terasa kian memanas. “Err.. Bercin—maksudku, seks.”
Donghae meremas jariku perlahan,
meninggalkan kehangatan bersama dengan senyumnya yang menawan. “Nah, kenapa kau
berasumsi kalau kita akan melakukan seks?”
Aku berkedip satu kali. Tak benar-benar
mengerti mengapa ia malah bertanya seperti itu kepadaku. “Karena sepertinya
Anda menginginkan itu, Sir.” Jawabku setelah membisu beberapa detik.
Donghae memberiku senyuman miringnya,
menciptakan ekspresi yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidupku.
“Apakah itu memang hanya asumsiku saja?”
Tanyaku lagi.
Wajah pria itu mendadak hampa, namun dalam
hitungan milidetik telah kembali geli. “Sayangnya tidak,” Jawabanya ringkas. Ia
menatapku, tersenyum satu kali tetapi kembali menanyakan pertanyaan yang tak
pernah kuduga. “Apakah itu berarti aku mengecewakanmu?”
Ada perasaan sendu di balik pertanyaannya.
Begitu juga dengan sepasang bola mata Donghae yang menatapku dalam. Aku tak
bisa berhenti memandanginya, tenggelam dalam keindahan yang begitu rapuh.
“Entahlah, Sir. Aku juga tidak tahu.”
Jawabku akhirnya. Donghae terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bertanya lagi.
“Beritahu aku, Youva. Kenapa kau tidak ingin
aku bercinta denganmu?”
Ini dia. Kali ini aku sudah menduga pria itu
akan bertanya. Tentu saja sebab bagi Lee Donghae, penolakan adalah hal yang tak
pernah ia dapatkan sebelumnya. Maksudku, perempuan waras mana di seluruh Los
Angeles yang akan menolak dirinya?
Jawabannya tidak ada.
“Aku hanya tidak ingin menghancurkan janjiku
pada ibuku, Sir.”
“Menghancurkan kepercayaannya? Apakah Diana
melarangmu bercinta denganku?”
“Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya tidak
diperbolehkan melakukan seks sembarangan. Hanya satu orang. Dan pria itu harus
menjadi suamiku lebih dulu.”
Donghae menaikkan alisnya tinggi. “Wow.”
Komentarnya terdengar sedikit tak percaya. “Jadi.. Itu artinya kau masih
perawan?”
Pipiku bersemu mendengar pertanyaannya.
Apakah pria itu harus sejujur itu?
“Ya.” Jawabku parau. Rasa malu menyergapku
saat kutemukan matanya yang menatapku lekat-lekat.
“Astaga, Youva. Itu sebabnya kau tak pernah berinisiatif
untuk menciumku? Tadinya kupikir ciumanmu payah.”
“Aku tidak pernah berciuman lebih dari dua
kali sebelum aku bertemu dengan Anda, Sir.”
“Biar kutebak siapa pria yang menciummu dua
kali.”
Hening dan aku menghitung setiap detik dalam
hati.
“Apakah ciuman Jason Andersen begitu buruk?”
Meski tak terlalu kentara, aku bisa mendengar nada muak dalam kalimat Donghae.
Apakah ia cemburu?
“Tidak juga.” Jawabku enggan. Ayolah, apakah
aku harus membicarakan pengalaman berciuman dengan pria lain? “Jason hanya menciumku. Ia tak pernah melakukan hal
lain selain menyapukan bibirnya. Itu saja.”
Donghae memberiku cengirannya dan kedua
matanya berkilat penuh antisipasi. Tubuhku menegang saat ia bergerak mendekat
dan menempatkan telapak tangannya di wajahku, sementara tangan yang satunya
lagi telah menyusuri sepanjang lenganku.
Sungguh ironis bahwa sebuah ciuman mampu
mengubahku begitu dalam. Seakan seluruh inti dari kehidupanku telah bergeser
pada pria ini. Aku tak menyesali apapun, yang hanya kurenungi adalah
eksistensiku di mata pria ini. Apakah ia juga merasa sesuatu telah berubah?
Bahwa semua sentuhan-sentuhan ini mengirimnya ke sebuah dunia baru tanpa
logika?
“Bersiaplah.
Kita akan segera mengunjungi ibumu.”
“Ibuku? Bukankah Anda bilang kita harus ke
San Fransisco? Lagipula Ibuku ada di Ohio—”
“Kita akan putar balik. Demi Tuhan, Youva, aku
sudah teramat sinting untuk menahan semua ini. Aku tak akan bisa menahan diri
lebih lama lagi.”
Aku menatapnya tak mengerti dan pria itu
membalas tatapanku.
“Ingatlah, bahkan jika kau ada di Neraka
sekalipun, aku akan turun dan menarikmu dari sana. Tak peduli apapun yang harus
kuhadapi, aku tak akan pernah melepaskanmu lagi, Youva. Tidak setelah semua
ini.”
***
Kami tiba di New Orleans beberapa jam
kemudian dan mendarat di New Orleans Lakefront Airport—sebuah Bandar udara
untuk pesawat jet pribadi. Dalam perjalanan Donghae memberitahuku kalau Ibuku
baru saja pindah ke New Orleans dua hari yang lalu—ke tempat yang beriklim
lebih hangat ketimbang Ohio.
Saat turun, kami mendapat sambutan VIP dengan
beberapa orang yang menunggu dengan payung di tangan mereka. Aku melirik ke
atas dan sedikit terkejut saat mendapati cuaca di sini cukup panas dengan
matahari yang tak lagi bersembunyi di balik kumpulan awan. Bandara Lakefornt
memang terlihat lenggang tetapi kami bahkan tak diharuskan untuk menjalani
pemeriksaan paspor, semuanya seakan telah disiapkan dengan sempurna. Termasuk
dua mobil yang menunggu di depan gedung dan beberapa orang yang berdiri
menyambut Lee Donghae.
“Suatu kehormatan mendapatkan kunjungan
langsung dari Anda, Mr. Lee,” ujar salah seorang pria dengan kacamata dan
rambut kelabu. Pria itu menjabat tangan bosku dengan hormat, sedikit membungkuk
dan terlihat gugup. “Saya sudah siapkan semuanya. Saya harap Anda menikmati
kunjungan kali ini.”
Bosku tak mengucapkan sepatah katapun. Ia
melirik pria itu melalui kacamata Bvlgari yang ia kenakan dan berjalan masuk ke
dalam mobil. “Aku tak ingin mendengar kegagalan lagi, Ramorez. Tugas kali ini
sama pentingnya dengan nyawamu.”
Pria bernama Ramorez itu memucat di bawah
terik matahari. Ia menunduk memandangi aspal dan meminta maaf dengan lirih. Aku
hanya sempat melihat keringatnya yang menetes dari keningnya sebelum akhirnya
pintu mobil menutup dan melaju kencang meninggalkan Ramorez yang masih berdiri
kaku.
“Dia terlihat ketakutan,” gumamku pada diri
sendiri. Tapi bosku berhasil mendengarnya.
“Tentu saja. Siapapun tahu aku tak
mentolerir kesalahan.” Sergah Donghae malas. Ia merosot di kursinya dan memijat
pelipisnya dalam diam.
Dari tadi aku memperhatikan bahwa lalu
lintas di kota ini jauh lebih tenang jika dibandingkan dengan Los Angeles.
Terlihat banyak pejalan kaki yang menikmati cuaca bersama pasangan mereka. Dan,
meskipun New Orleans bukan kota metropolitan—yang tak diisi ratusan gedung
pencakar langit—tapi aku menyukai suasananya yang tenang. Aku membaca papan
penunjuk jalan dan melihat kalau kami baru saja melewati Morrison Road yang
lumayan sepi.
“Kita akan kemana?” tanyaku setelah beberapa
saat. Pria di sebelahku masih membiarkan jari-jarinya di pelipis, seakan ingin
menunjukkan bahwa ini hari yang berat.
“Garden District,” jawabnya singkat. “Kita
akan tiba kira-kira sepuluh menit lagi.”
Aku mengangguk, mencoba menahan euforiaku
untuk segera bertemu Ibu. Bagaimanapun sudah hampir enam tahun penuh sejak
terakhir kali aku memeluk beliau. Ah, memikirkannya saja sudah membuatku senang
bukan main.
Seperti yang bosku katakan, sekitar sepuluh
menit kemudian kami tiba di kawasan Garden District—yang dipenuhi
perumahan-perumahan asri dengan pepohonan di sekeliling rumah dan mobil-mobil
yang terparkir di bahu jalan. Kami berhenti di sebuah persimpangan empat arah
dan aku membaca tulisan Prytania Street pada sebuah papan penunjuk jalan
persis di sudut terluar sebuah rumah. Rumah itu nyaris tak terlihat dengan
pagar yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan yang menutupi profil depan rumah.
Bosku lebih dulu turun dan ia menatapku dengan senyuman di wajah.
“Ayo turun. Diana pasti sudah menunggumu.”
Kuikuti langkah bosku yang sigap, ia
mendorong pagar besi yang berujung lancip yang hanya mencapai dadanya dengan
mudah dan terus naik melewati undakan batu di teras rumah. Aku berdiri dan
mengamati rumah itu. Desainnya tampil sederhana namun mewah; dengan lampu
gantung Kristal di depan pintu masuk dan dindingnya yang terbuat dari kayu
serta pilar-pilar tinggi yang menyangga bangunan itu. Dua buah kipas yang di
gantung di plafon terlihat berputar pelan, sesekali menerbangkan daun-daun di
dalam teras rumah yang luas.
Donghae mengetuk pintunya—pintu kayu dengan
atasan kaca bermotif mosaik—dan melirikku sekilas. Kami menanti beberapa saat
sebelum terdengar langkah kaki yang terburu-buru dari dalam sana. Detik
berikutnya, kulihat seorang wanita paruh baya yang kelihatan sangat cantik,
dengan sebuah syal melingkar di bahunya dan rambut yang digulung ke atas
berdiri di hadapanku—senyumku mengembang lebar dalam hitungan milidetik dan
langsung menghambur ke dalam pelukan Ibuku.
“Youva!” teriak Ibu histeris. Beliau
mendekapku begitu erat, seakan seluruh dunia tak akan bisa melepaskan kami
berdua. “Ibu sangat rindu padamu,” ujar Ibuku mulai menangis.
Aku tertawa melihat tingkah Ibu yang
emosional—sebab Ibuku jarang sekali mau terlihat lemah. Beliau biasanya selalu
memasang wajah ceria meskipun hatinya terluka. “Aku juga rindu Ibu,” balasku di
sela-sela tawa.
Ibu kemudian melepasku, ia memandang wajahku
lekat-lekat dan tersenyum sementara matanya masih basah oleh airmata bahagia.
“Kenapa anak Ibu terlihat begitu kurus?” tanyanya gusar. Ibu mengusap pipiku
dan aku hanya mampu tersenyum. “Jangan buat Ibu khwatir, nak. Lihatlah, pipimu
bahkan begitu tirus. Kau harus makan yang banyak.”
“Aku tidak berselera, Bu. Aku rindu masakan
Ibu. Aku harap aku bisa memakan sesuatu yang pedas hari ini,” ujarku tertawa.
Aku memperhatikan wajah Ibu dengan seksama. Guratan-guratan halus di sekeliling
matanya semakin jelas dan Ibu juga terlihat bertambah kurus. Tubuhnya yang
ringkih nampak lebih kecil dalam pelukanku.
Kami sedang berada di alam bahagia kami—di
mana rasanya dunia berhenti berputar dan meninggalkan kami saling menatap lega
satu sama lain. Cukup lama hingga kudengar suara bosku yang berdeham menyela
momen bahagia ini.
“Ah, aku hampir lupa,” aku meringis salah
tingkah. “Bu, ini bosku, Mr. Lee Donghae, yang beberapa waktu lalu berbicara dengan
Ibu lewat telepon.”
Bosku dengan amat sangat rendah hati—dan
harus kukatakan sangat sopan—bergerak melewatiku dan meraih tangan Ibu lalu
membungkuk untuk menciumnya. Aku dan Ibu saling menatap terkejut tapi dengan
cepat kusadari Ibu telah jatuh hati dengan Lee Donghae saat pria itu menyapa
beliau lembut.
“Greeting, Diana. It’s a great honor to
meet you here.”
Kupandangi wajah Ibu yang masih terkejut—sekaligus
terpesona—dan beliau membalas sapaan bosku dengan kikuk. “Ah.. tentu, tentu.
Aku juga.” Ucap Ibu yang tiba-tiba menjawab dalam bahasa Indonesia. Aku
menyikut lengan Ibu dan buru-buru beliau mengoreksi ucapannya, “Erm, uh, I
mean, me too.”
“You are so beautiful, Mam. No wonder
your daughter looks like an elf.”
Aku nyaris terbahak saat mendengar sanjungan
yang ia sampaikan pada Ibuku. Lee Donghae melirikku singkat namun segera
berpura-pura tak menyadari perbuatanku. Ibu kemudian mengajak kami ke dalam dan
bertanya kepadaku kenapa ada begitu banyak pria berseragam hitam yang berdiri
di depan pagar lalu mengatakan padaku kalau Ibu ingin mereka masuk dan minum
teh. Aku menjelaskan pada bosku dan ia menggeleng sebagai jawaban.
“Mereka pasukan khusus, Youva. Aku butuh
informasi berkala setiap menit untuk memastikan keadaan tetap aman.” Jelasnya
padaku.
“Pasukan khusus? Berapa banyak orang yang
bertugas untuk mengurus keamanan rumah Ibuku, Sir?”
Donghae mengernyit sebentar lalu memberikan
jawaban dengan singkat. “Tiga puluh untuk sekitar Garden District.”
Aku mencelos dalam hati dan memikirkan bahwa
posisiku dan Ibu sudah berada dalam tahap berbahaya—yang berarti satu hal:
keselamatan kami benar-benar sudah di ambang batas. Kutatap pria itu penuh
spekulasi, mengapa ia tak mengatakan apapun padaku? Apakah ini berarti aku dan
keluargaku bisa tewas kapan saja?
“Youva, bisakah kau membantu di dapur?”
teriak Ibuku dari dalam yang langsung saja mengaburkan lamunanku. Aku beranjak
dari ruang tengah dan mencari Ibuku yang sedang bersiap dengan teko panas dan
beberapa cangkir teh.
“Kenapa Ibu bisa pindah ke sini?” tanyaku
membuka obrolan.
Ibu menatapku lalu pandangannya berpindah
pada Donghae yang tengah duduk santai di seberang ruangan. “Semuanya terjadi
dengan tiba-tiba. Tiga hari sebelumnya Ibu masih berada di Ohio tapi keesokan
harinya beberapa orang datang dan menyuruh Ibu berkemas untuk pindah.”
Aku mengangguk, mengambil sepotong kismis
dan menggigitnya. “Lalu.. apa Ibu bertemu dengan—err, Ayah?”
Pertanyaanku menghasilkan atmosfir yang tak
kuharapkan. Ibu yang sedang mengelap cangkir kemudian meletakkannya dan beralih
memandangku lekat-lekat. “Kau.. sudah bertemu Arthur?”
“Ya,” gumamku pelan. “Dan Ayah bercerita
banyak hal padaku.”
Tadinya kupikir Ibu akan marah karena aku
tak memberitahu Ibu lebih awal, tapi ternyata beliau mulai menangis dan
memelukku lagi. “Maafkan Ibu,” ujarnya gusar. “Tak seharusnya Ibu
menyembunyikan kebenaran begitu lama. Ini salah Ibu.”
“Ayolah, Bu. Aku baik-baik saja.” Kataku
menepuk pundaknya yang bergetar. Ibu terisak di bahuku dan baru kusadari betapa
besar kekhawatirannya untuk kami semua. “Omong-omong, Ayah sangat tampan.”
Komentarku dan Ibu tiba-tiba tertawa dengan sepasang matanya yang basah.
“Tentu saja. Sejak kapan Ibu pernah salah
pilih?”
Aku tertawa keras dan menggoda Ibu hingga
wajahnya memerah. “Ibu kepingin bertemu lagi dengan Ayah, bukan?”
“Oke, diamlah. Ibu harus menyeduh teh.”
Mendadak perhatian Ibu berpindah pada peralatan tehnya dan mengabaikan
perkataanku.
“Oh, wow. Jangan bilang kalian berkencan
diam-diam?” Ibu memberiku tatapan mengancam dan aku tertawa lagi. “Bu, Ayah
merindukan Ibu.”
Ibu menghela napas dan wajahnya berubah
murung. Beliau menatap cangkir selama beberapa detik yang lama sebelum akhirnya
menjawabku. “Tapi itu semua cerita lama, Youva. Ibu pikir Ibu tetap tidak akan
tahan dengan kehidupannya yang seperti ini..”
“Maksud Ibu?”
“Err.. seharusnya kau sudah tahu kalau
Ayahmu lah yang membeli rumah ini.”
Ada jeda selama beberapa detik dan aku
terperangah. “Oh, wow.” Komentarku tak percaya. Tadinya kupikir bosku lah yang
memberikan fasilitas rumah mewah bergaya Victorian ini. “Benarkah? Ayah yang
menyuruh Ibu pindah ke sini? Bagaimana ceritanya?” desakku tak sabar.
Ibu menghela napas lagi dan mulai bercerita
padaku. “Sebenarnya selama berada di Ohio, memang Arthur yang rutin memberikan
fasilitas untuk kebutuhan sehari-hari. Saat pertama tiba di sana, Ibu hanya
dijelaskan kalau Ibu dan seluruh anak asuh harus ‘disembunyikan’ demi
keselamatanmu, Youva. Jadi Ibu tak pernah bertanya apapun. Dan setelah beberapa
minggu kemudian kami bertemu di salah satu supermarket di Ohio. Ibu pikir itu
salah satu pertemuan yang telah dia rencanakan, karena Ibu masih ingat ekspresi
paling tidak alami yang ia buat saat melihat Ibu—”
Beliau tersenyum kecil saat mengingat
kilasan kejadian itu lalu kembali melanjutkan ceritanya. “Yah, karena Bahasa
Inggris Ibu sudah mengalami banyak kemunduran, jadi kami hanya bisa mengobrol
secara terbatas. Saat itu Arthur mengatakan bahwa Ibu harus pindah dikarenakan
beberapa hal menunjukkan beberapa pilihan rumah pada Ibu, tapi langsung Ibu
tolak saat mengetahui rumah yang ajukan seharga dua milyar dolar. Ibu
marah-marah padanya dan Arthur kemudian berjanji akan memberikan rumah biasa—ah,
apapun artinya itu—dan kemudian saat Ibu pindah ke sini, setidaknya Ibu tahu
rumah ini tidak terlalu mahal walaupun semua perabotannya terlihat mewah.”
Aku tersenyum dan mengamati sekelilingku.
Dapurnya sederhana, counter-nya berupa batu granit dan lemarinya terbuat
dari kayu. Dinding di sebelah timur seluruhnya di cat dengan warna magenta,
sementara di sisi yang lain terlihat dinding dengan bata dan perapian di sudut
terjauh. Dapur ini juga mengarah ke halaman belakang di mana terdapat
kursi-kursi, meja dengan payung sebagai atapnya, serta pohon rindang dengan
lampu hias di sekeliling halaman. Aku memperhatikan keseluruhan rumah dan baru
menyadari kalau lantai rumah ini seluruhnya terbuat dari kayu, perapian bata
dan memiliki cat berbeda warna di setiap ruangannya. Sepertinya rumah ini
benar-benar di desain bergaya Victorian, tampil klasik dengan kayu sebagai
bahan dasar dan dengan perabotannya yang terlihat antik.
Ibu kemudian menjelaskan padaku bahwa
seluruhnya ada sepuluh kamar dengan tiga belas tempat tidur, tiga tempat tidur
tambahan pada plafon di tingkat tiga yang kemudian di jadikan kamar untuk para
pengasuh, serta dapur pribadi di setiap lantai dan kamar mandi di setiap kamar.
Tidak hanya dapur, di setiap lantai juga terdapat ruang makan, ruang rekreasi
serta beranda sendiri, yang menurut Ibu sangat pas mengingat semua anak-anak
asuh butuh banyak ruangan untuk bersantai. Sekeliling rumah terlihat rimbun—belasan
pohon berjejer di seluruh pagar batu di bagian belakang yang seluruh lantainya
ditutupi bata merah.
Ketika akhirnya Ibu mengantarkan teh di
ruang tengah, aku memperhatikan tangga yang mengarah ke atas, melengkung hingga
menutupi ruangan di atasnya. Di ruangan ini seluruhnya ditutupi oleh warna
salmon yang dilengkapi dengan lampu gantung Kristal. Kuputuskan untuk duduk di
dekat bosku, mencoba menarik perhatiannya yang sedari tadi terus mengecek
ponselnya.
“Sir, apakah Anda tahu berapa harga rumah
ini?”
Ia melirik satu kali, tapi dengan segera
memindahkan pandangannya pada Ibu. “Kupikir tidak bijak memberitahu harga rumah
di depan Ibumu.”
Ibu yang menangkap percakapan kami tiba-tiba
menyela bosku. “It’s okay, Mr. Lee. You can tell us.” Ujar Ibu kemudian.
Donghae menatapku sejenak lalu pandangannya
kembali pada layar ponselnya setelah mengangkat bahu. “Rumah ini berusia lebih
dari seratus lima puluh tahun dan baru selesai direnovasi setelah Badai tiga
tahun lalu. Sepanjang yang kudengar, Arthur sendirilah yang membeli semua
barang dan melakukan pemilihan warna. Jadi jika dihitung secara keseluruhan,
total harga rumah ini mungkin mencapai biaya sekitar dua juta lima ratus ribu
dolar.”
Aku tersedak dan cepat-cepat menatap Donghae
tak percaya. “Dua juta dolar? Ap—”
“Itu harga yang sepadan, Youva. Kau tak bisa
mengharapkan harga murah dari sebuah rumah berusia seratus lima puluh tahun.”
Ibu yang tak mengerti kemudian bertanya
padaku dan setelah kuberi tahu bahwa harga rumah ini mencapai tiga puluh milyar
rupiah, beliau menatapku ngeri dengan mataku terbelalak selama beberapa saat.
Keadaan berubah hening sebab aku tak berani mengganggu Ibu yang tampaknya mulai
berang dan langsung mengambil telepon di seberang meja. Aku berpikir Ibu
mungkin saja menelpon Ayah, tetapi pemikiran itu terhenti saat kudengar Ibu
berbicara dalam bahasa Indonesia. Beliau mengungkapkan kekesalannya dan
beberapa kali menyebut namaku serta bosku. Donghae sendiri tetap terlihat
tenang. Saat aku menanti Ibu berbicara dengan cemas, ia malah menghirup tehnya
dan menikmati aromanya yang lembut.
Percakapan Ibu berlangsung begitu lama,
hingga rasanya membosankan untuk menunggu dan aku memutuskan untuk mengikuti
bosku yang berjalan menuju halaman belakang. Lee Donghae memakai kacamata
hitamnya, duduk di salah satu kursi dan menengadah menatap langit. Ia mengetahui
kedatanganku tetapi lebih suka mengabaikanku dengan diamnya.
“Aku suka rumah ini.” Ujarnya tiba-tiba,
membuatku mengangguk kemudian duduk di sebelahnya. “Secara sepintas semuanya
terlihat tenang sekali.”
“Yeah, kita harus bersyukur seluruh anak
asuh sedang tidur siang.” Kataku mengangkat bahu. Kami kembali terdiam selama
beberapa saat sebelum akhirnya aku berkata lagi. “Maafkan aku tentang Ibuku.” Well,
bagaimanapun aku merasa sedikit bersalah atas respon Ibuku.
“Itu bukan salahmu. Setidaknya Diana berhak
mengetahui beberapa hal.”
Aku menatap bosku tanpa kata-kata,
memikirkan betapa tampannya ia dalam balutan kemeja putih dan dasi tanpa
jasnya. Aku suka melihat bagaimana kemeja itu membalut tubuhnya yang atletis,
membungkus dadanya yang bidang dan menunjukkan otot perutnya yang menawan. Tapi
sementara aku tenggelam dalam pesona tubuhnya, pria itu mendengus dan memberiku
senyuman mengejeknya.
“Beritahu aku kalau kau ingin aku membuka
kemejaku dan menari untukmu.”
Dalam sekejap kurasakan wajahku menghangat
malu dan aku mencoba membuang muka—berusaha dengan sia-sia untuk menatap ke
arah lain, tapi bosku lebih cepat. Donghae menahan wajahku dengan sebelah
tangannya. “Bisa kulihat kau menginginkannya.” Imbuhnya berbisik. Senyum tak
pernah benar-benar meninggalkan wajahnya, meski kulihat ia begitu serius dengan
tawarannya.
“Tidak adil jika Anda hanya berasumsi tanpa
membuktikan kebenarannya.” Sanggahku tak mau menyerah.
Kudengar pria itu tergelak, membuka
kacamatanya dan menatapku lebih dalam. “Aku setuju. Tapi kurasa situasi tak
memungkinkanku untuk membuktikan bahwa kau memang menginginkan hal itu.”
Donghae memberikan tekanan di ujung kalimatnya—terdengar jelas bahwa ia sedang
menggodaku lagi.
Aku tak menjawab apapun, hanya berusaha
berdamai dengan rasa malu. Tapi bosku kemudian berkata dengan nada persuasif—membuatku
tak bisa mengalihkan pandangan darinya.
“Apakah Ibumu akan marah kalau aku menciummu
saat ini juga?”
***
2631 Prytania Street, New Orleans, LA
70130
Baru saja terdengar ketukan di pintu dan
saat kubuka, seorang tukang pos tua dengan seluruh rambutnya berwarna kelabu
dan mengayuh sepeda antik meletakkan sepucuk surat di kotak sebelah pintu
masuk. Sampulnya tak menyebutkan siapa pengirimnya, hanya ada alamat rumah ini
dan tanpa menjelaskan pada siapa surat ini seharusnya ditujukan. Kulirik
sekeliling dengan sedikit resah, berharap seseorang bisa menjawab kecemasanku. Mengapa
ada surat untuk rumah ini? Bukankah Ibu baru saja pindah?
Kuperhatikan lagi surat itu dengan seksama,
berusaha mengintip ke dalam suratnya yang tersegel rapi. Apakah ini tagihan
listrik? Kartu kredit pemilik rumah terdahulu? Tapi seharusnya mereka
menyertakan alamat perusahaan pengirim, bukan? Semuanya terdengar nyaris
mustahil dan dalam kebimbanganku, kuputuskan untuk bertanya pada Ibu terlebih
dahulu.
Tetapi belum lagi aku mencapai anak tangga,
tiga kanak-kanak berusia sekitar lima tahun berlari dari tangga teratas sambil
tertawa bahagia. Mereka melihatku yang terkejut dan berderap menjauh saat
pandangan kami bertemu. Dan dalam tiga detik kudengar suara Ibu dari plafon di
tingkat tiga, berteriak pada bocah-bocah itu untuk berhati-hati dan segera
bersiap untuk pelajaran baca tulis. Keadaan benar-benar kacau dengan semua
anak-anak yang berlarian kesana kemari.
Aku lantas mendatangi bosku yang tengah
berdiskusi dalam telpon dengan manager yang bertanggung jawab mengurus resort-nya
di Kepulauan Pasifik, lalu menanti sampai ia mengakhiri pembicaraannya dan
menunjukkan surat itu. Sambutan yang kudapatkan tidak begitu bagus—Donghae
tiba-tiba menggunakan sarung tangan putihnya sebelum menyentuh surat itu. Ia
juga langsung menghubungi Chad yang berjaga di dalam mobil di seberang jalan
untuk segera datang.
“Apa kau memikirkan hal yang sama denganku?”
Chad mengerutkan keningnya dan menatap surat
itu—ia telah memasukkannya dalam sebuah plastik transparan dan kini tengah
memeriksanya dengan teliti. “Ada lubang pada bulatan pada huruf O dari kata New
Orleans, mungkin saja seseorang memasang perekam di sana—”
“Ya, aku yakin ada microchip camera
di baliknya. Segera selidiki, Chad.” Potong bosku dan mengabaikan Chad yang
terkejut. Donghae lalu berpaling padaku dan bertanya cepat. “Kau bilang seorang
tukang pos yang mengantarkannya padamu, bukan? Apakah dia memberikannya
langsung padamu?”
“Well, aku hanya mendengar ketukan di
pintu dan ketika kubuka pria tua itu telah mengayuh sepedanya. Aku menemukan
surat ini di dalam kotak surat, Sir.”
“Oh, shit.” Maki Donghae pelan dan ia
menatap Chad dalam satu detik. “Lipat gandakan seluruh pasukan pengaman Unit-1
dan pastikan semua aman dalam radius 15 kilometer. Sebaiknya terus hubungi Alex
untuk konfirmasi. Kita harus tahu siapa dan apa tujuan pengirim surat itu. Aku
ingin memastikan apakah teknologi itu buatan CIA atau badan Intelijen militer
Rusia.”
Chad mengangguk patuh dan segera mengambil
ponselnya dan menghubungi seseorang sesuai dengan perintah Donghae. Aku menatap
mereka gugup, berusaha mencerna percakapan mereka dengan tenang tetapi
kepanikan menguasaiku lebih dulu.
“Sir, apakah—maksudku, ada apa sebenarnya?”
Dadaku berdebar naik turun, telingaku
berdentam-dentam begitu keras hingga rasanya aku bisa mendengar pembuluh
darahku sendiri. Donghae mendekatiku, menggenggam jemariku yang gemetaran dan
berbisik menenangkanku. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Youva. Kita hanya
berjaga-jaga.”
Meskipun tindakannya sekarang membuat
jantungku semakin menggila, tetapi harus kuakui bahwa kehangatan Donghae
membuatku perlahan semakin tenang. Aku menatapnya lama, bertanya lewat
tatapanku yang kini mulai membakar diriku sendiri. Kedua mata pria itu terlihat
lembut, warna hitamnya yang sekelam malam membuaiku ke alam lain—membuatku
mengidam-idamkan sesuatu yang liar.
“Ibuku akan baik-baik saja, bukan?” tanyaku
berupa bisikan. Donghae mengangguk sebagai jawaban dan ia menyapukan
jari-jarinya ke sepanjang lenganku. Ah, menyenangkan sekali. Batinku
mulai mendesah di dalam sana.
“Semuanya berada dalam kendaliku, Youva,”
katanya di telingaku. Aku bisa mencium aromanya yang segar dari jarak sedekat
ini, menggelitik alam bawah sadarku dan tanpa kusadari wajahku mencari-cari
bibir pria itu. Kami bertatapan begitu cepat, terbakar dengan api yang memercik
begitu hebat. Aku terseret dalam gairah di kedua matanya sebelum akhirnya ia
berbisik dengan nada geli dalam suaranya. “Kita harus mencari tempat lain atau
para bocah itu tak akan bisa berhenti terpana.”
Untuk sedetik tak bisa kupahami maksud
perkataan bosku sendiri, namun ketika aku berbalik dan menemukan empat pasang
mata tengah menatap kami penuh antisipasi, cepat-cepat kudorong tubuh bosku
menjauh dan seluruh wajahku memerah tanpa aba-aba. Donghae tertawa keras,
diiringi pekikan senang para anak-anak yang bersorak dari atas tangga. Kudengar
langkah kaki Ibuku yang berderap turun dari atas, mencoba mencari sumber
keributan kecil di bawah sini.
“Ada apa ini?” tanya beliau kebingungan.
Anak-anak tadi telah berlari sambil tertawa senang, mengulangi ucapan ‘cium,
cium, cium’ dan mengabaikan pertanyaan Ibuku. Aku mengelak menjawab tatapan
Ibu yang penuh tanya lalu beralih menatap bosku yang terus saja tersenyum geli.
“Anda terlihat memesona, Mam.” Kilah Donghae
saat Ibuku juga menatapnya. Muncul semburat malu di wajah Ibu dan ia menatap
pakaiannya yang telah kusut dan separuh basah.
“Ah, aku baru saja siap memandikan beberapa
balita. Tidak mungkin penampilanku seburuk itu, kan?” Dengan wajah memerah Ibu
menatapku—seakan meminta dukungan. Aku hendak mengatakan sesuatu, tetapi bosku
selalu lebih unggul.
“Bukan dengan penampilan itu, tetapi kebaikan
hati Anda yang begitu mulia,” jawabnya berdiplomasi.
Ibu melirikku lagi, berucap pelan dalam
bahasa Indonesia. “Jangan bilang dia menginginkan sesuatu dari Ibu.”
Aku tertawa menyadari reaksi Ibu yang bisa
mendeteksi ada sesuatu yang tersembunyi sama persis denganku jika berhadapan
dengan bosku. “Dia hanya ingin berbicara dengan Ibu tentang sesuatu.” Kataku
menghindari tatapan bosku. Donghae terlihat tak mengerti tetapi juga tak
bertanya apapun.
“Ah,” Ibuku mengangguk. Gagasan ini mungkin
membingungkannya. “Bisakah dia menunggu beberapa saat? Ibu harus mengurus Layna
sebentar, anak itu perlu penjagaan ekstra. Dan mungkin kau bisa membantu Ibu
sedikit.”
Setelah kujelaskan pada bosku, ia hanya
mengangguk singkat dan memperbolehkan kami pergi ke atas. Aku mengikuti Ibu
naik ke plafon dan melewati sebuah ruangan yang dipenuhi anak-anak dan tiga
pengasuh paruh baya. Mereka semua terfokus pada papan tulis putih di ujung
ruangan dengan huruf-huruf dan angka yang di tulis di atasnya. Ibu menarikku ke
ruangan paling ujung, tempat di mana plafon menghadap ke patio—halaman belakang
yang nampak asri.
“Dimana Leyna?” tanyaku mencari-cari.
“Sudah tidur.” Ibu menjawab kalem, memainkan
ujung bajunya sebentar lalu menatap ke luar.
Aku tak berkomentar apapun, meski segera
sadar bahwa Ibu hanya mencari alasan agar bisa berduaan denganku. “Di sini
benar-benar seperti rumah..” kataku akhirnya, memecah kesunyian kami.
Ibu mengangguk membenarkan. “Yah, kalau saja
tidak terlalu banyak burung gagak.”
“Tapi
tampaknya rumah ini benar-benar didesain untuk Ibu. Aku sempat melihat kamar
Ibu di lantai dua, seluruh catnya berwarna mint dan putih, bukan? Itu
sangat sesuai dengan selera Ibu.”
“Ibu tidak akan menyetujui rumah ini
seandainya Ibu tahu harganya mencapai tiga puluh milyar rupiah. Kurasa ayahmu
benar-benar kelewatan.”
“Aku tidak mengerti banyak hal, Bu. Tapi aku
paham perasaan Ayah yang ingin melindungi Ibu. Dan kupikir rumah ini
merepresentasikan rasa bersalah Ayah terhadap kita. Aku putrinya jadi sudah
pasti Ayah ingin yang terbaik bagi Ibu.”
Ibu menatapku dengan tatapan seorang Ibu-nya
dan mengusap kedua pipiku perlahan. “Terkadang Ibu lupa kalau anak Ibu sudah
dewasa.” Ujarnya tersenyum lembut. Sepasang matanya meneduhkan, seakan menemukan
oase di tengah gurun panas tak berujung. “Jadi… ceritakan tentang bosmu ini.”
Pelipisku berkerut mendengar pertanyaan Ibu.
“Apa—apa yang ingin Ibu ketahui?” Kataku balas bertanya. Mengetahui bahwa Ibu
penasaran dengan Lee Donghae cukup mengusikku.
“Yah.. semuanya. Bagaimana bosmu bisa
membuatmu jatuh hati?” Ibu menyikut lenganku dan memamerkan senyumnya yang
penuh makna.
Wajahku tak mungkin bisa lebih merah dari
ini. Rasanya percakapan ini akan berlangsung sangat memalukan. Maksudku, aku
tak pernah membicarakan kisah percintaanku dengan Ibu—tak akan menyenangkan
untuk berbagi hal seperti itu bahkan dengan orangtuaku sendiri. Jadi kudapati
lidahku kaku saat menjawab rasa penasaran Ibu. “Dia menawan.” Jawabku singkat.
Yeah, tentu saja aku harus mengaku. Mana mungkin aku bisa membohongi Ibu,
beliau punya tambahan seratus indera pendeteksi yang sangat peka mendengar
kebohongan terutama dariku.
Ibu malah tertawa renyah, garis-garis di
matanya berlipat cantik dan membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih muda. “Ibu
tahu dia sangat tampan, Youva. Tapi benarkah ketampanan saja cukup untuk
membuatmu jatuh hati?”
“Oh, ayolah, Bu,” rengekku mencoba
mengakhiri pembicaraan ini. Aku memasang wajah memelas dan Ibu menggeleng,
beliau tak tergoda untuk menurutiku. “Oke, oke. Lee Donghae memang tampan, tapi
dia juga penuh kasih. Erm, maksudku, dia terkadang bertindak sangat superior
tapi ia memiliki sisi rapuh, seperti—ah, dia tak sempurna. Dia manusia biasa,
Bu—”
Untuk kedua kalinya Ibu tertawa begitu
keras. Beliau sampai harus memegangi tubuhnya agar tidak membungkuk karena
kebanyakan tertawa. Begitu Ibu melihat kerutan di dahiku serta bibirku yang
mencebik, Ibu menyeka kedua matanya dan menarik napas panjang.
“Maaf, tapi itu tadi benar-benar lucu.”
Katanya tersenyum menggodaku. “Tapi kau harus tahu satu hal, Youva. Terkadang
tidak butuh alasan untuk mencintai seseorang. Kau hidup di dunia, bertemu
dengannya dan jatuh cinta. Itu saja. Ketampanan hanya bonus, kau tak bisa
menjadikan kata ‘tampan’ sebagai acuan untuk mencari cinta. Dan Ibu yakin
Donghae juga merasakan itu padamu.”
Aku terenyak mendengar nasehat Ibu. Ya,
sebenarnya sangat mudah untuk mengakui itu dari awal, tetapi aku terlalu egois
untuk mengalah. Bukan karena wajah tampannya, meskipun hal itu yang membuatku
terpikat oleh bosku. Tapi semua hal tentang dirinya. Aku tak bisa membayangkan
Lee Donghae tanpa arogansinya yang terus-terusan mengejekku, bagaimana ia
menggodaku hampir sepanjang hari atau saat ia mencoba merayuku dalam berbagai
kesempatan. Tapi aku juga tak bisa membayangkan bosku yang kaku, tak pernah
tersenyum dan begitu jauh dariku. Kurasa aku tak Cuma jatuh hati dengannya, aku
benar-benar sudah terjebak dalam dunianya yang penuh intrik.
“Tapi bukan seperti itu, Bu. Kurasa Donghae
tak melihatku seperti itu,” kataku berkilah.
Ibu mengibaskan tangannya tak sabar. “Omong
kosong, Ibu tidak buta, nak. Caranya menatapmu bukan Cuma gurauan. Dia
benar-benar jatuh cinta padamu.”
“Tidak mungkin,” tukasku pada Ibu. “Kenapa
dia harus jatuh cinta padaku, Bu? Aku bukan siapa-siapa di matanya. Aku hanya..
Youva Cardia.”
Jari-jari Ibu yang kurus dan panjang
mengusap kepalaku, disingkirkannya rambut-rambut yang turun ke balik telingaku
sebelum berkata, “Kau anak Ibu dan anak Arthur. Tentu saja sudah sewajarnya dia
jatuh cinta padamu, nak. Kau punya segala hal di dunia ini yang membuatnya
jatuh cinta padamu. Tidak perlu menjadi siapapun, kau hanya perlu menjadi Youva
Cardia, anakku, anakku satu-satunya di dunia ini yang bukan main cantiknya.”
Aku menjejalkan kepalaku di pundak Ibu,
berusaha menutupi cengiranku yang begitu lebar hingga rasanya sudut bibirku
bisa koyak kapan saja. Ibu menepuk puncak kepalaku dan bergumam mengejek,
“dasar manja,” sambil tertawa.
Kami kemudian berbicara mengenai beberapa
hal, seperti apa rencana Ibu selanjutnya, tentang hal-hal remeh yang tanpa
kusadari menyita waktu begitu lama. Saat aku melihat ke arlojiku, aku meremas
jemari Ibu dengan khawatir karena membuat Donghae menunggu. Ibu setuju untuk
turun menemui bosku di bawah, tetapi menolak saat aku akan mengikuti mereka.
Dengan tegas Ibuku menyuruhku ganti menunggu sementara mereka berdua keluar
menuju patio.
Tak banyak yang bisa kudengar dari sini,
berdiri di ambang pintu yang terkunci dari luar dan menyaksikan Lee Donghae
berhadapan dengan Ibuku. Seribu opini membentuk pertanyaan-pertanyaan tak masuk
akal membantuku menghabiskan waktu yang terasa begitu membosankan. Sesekali
kulihat wajah Donghae yang menyeringai enggan dan lebih sering kulihat raut
wajah Ibu yang mengerut bingung. Tetapi beberapa kali kudapati mereka tertawa
bersama, seakan menertawakanku sebab mereka berdua melirikku bersamaan yang
kubalas dengan mata mendelik sebal.
Ketika akhirnya diskusi mereka telah
selesai, bosku membukakan pintu dan membiarkan Ibuku lewat lebih dulu. Kutatap
Ibu dengan wajah penuh antisipasi, memberondongnya dengan puluhan pertanyaan
dalam bahasa Indonesia yang hanya dijawab dengan tatapan itu-rahasia-kami
dan meninggalkanku yang menggerundel kesal.
Aku lalu beralih pada bosku, yang berjalan
belakangan dan memberikan tatapan yang tak jauh berbeda dengan Ibu. “Aku tak
akan mengatakan apapun, Youva.” Ujarnya lalu tersenyum penuh arti pada Ibu.
Kugertakkan gigi dan berakting seperti anak kecil hingga kudengar Ibu berucap
“itulah kebiasaannya di rumah. Youva tak akan pernah jadi dewasa,” katanya pada
Donghae.
Bosku tertawa keras sekali, membuatku
melompat dan menoleh ke arahnya cepat-cepat. “Tidak lucu,” komentarku dingin
lalu sekali lagi mengekori Ibuku dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan
serta permohonan.
“Oke, oke, Ibu menyerah.” Tukas Ibuku dengan
tangan terangkat di udara. Ibu berbalik, berkacak pinggang padaku lalu bibirnya
menjadi segaris tipis. “Ibu membuat perjanjian dengannya. Dengan bosmu dan
Ayahmu.”
“Oh? Perjanjian apa maksud Ibu?”
“Kau harus selamat. Itu saja.” Tandas Ibu
cepat lalu berbalik memunggungiku.
“Itu saja? Bu, ayolah! Mana bagian ketika
kalian menertawakanku? Percakapan kalian lebih dari satu jam lamanya, tidak
mungkin jika—”
“Tutup mulut dan bersikaplah dewasa, Youva.
Atau bosmu mungkin berubah pikiran setelah melihat tingkahmu yang kekanakan.”
Saat mengucapkan kata bosmu, kudapati Ibu memandang sekilas pada Donghae
yang sedari tadi berdiri di ruang tengah.
“Ugh, curang. Kalian berkomplot
menjatuhkanku,” gerutuku terang-terangan. Kulihat Ibu masih tak peduli dengan
semua cara kekanakanku dan aku menyerah. Aku harus bersabar, mungkin Ibu tak
ingin menceritakannya di depan bosku atau bisa jadi Donghae yang tak ingin
membocorkannya di depan Ibu. Yang jelas, aku harus menunggu. Well, menunggu sedikit lebih lama tak ada
salahnya, kan?
Setelah
itu kuputuskan untuk mengikuti apa yang mereka mau, bahkan ketika Ibu memintaku
membantu beliau menyajikan makan malam, aku tak tertarik untuk membuka obrolan
tentang apa yang mereka bahas. Tentu saja sulit sekali menghindari tatapan Ibu
yang terus-terusan melirikku secara sembunyi-sembunyi, tapi aku memilih untuk
mendiskusikan hal lain tanpa menyinggung topik itu. Kami akhirnya makan malam
pukul enam sore, sementara semua anak-anak tengah berjalan-jalan ke supermarket
terdekat dengan penjagaan pengawal Donghae. Kami makan bertiga di ruang dapur
di lantai dua, yang memiliki dapur dua kali lipat lebih luas daripada yang ada di
bawah. Ibu ternyata sudah memasak separuh dari makanan yang dihidangkan dari
pagi, lalu menghangatkannya lagi untuk bisa disantap. Karena bosku seorang
pemilih, dengan sopan ia bertanya pada Ibu apakah ia bisa mendapatkan semangkuk
salad dan secangkir kopi saja sementara ia menatap ngeri padaku yang sedang
menggigit besar-besar pada daging rendang buatan ibu.
“Ternyata
gigi taringmu berguna dalam hal seperti ini,” sindirnya padaku. Ia menyendokkan
saladnya ke mulut dengan anggun dan sopan, sama sekali berbeda dengan tingkahku
yang seakan tak pernah makan selama sebulan.
“Sayang
sekali Anda terlalu pemilih. Semua makanan ini terbaik di alam semesta.”
Komentarku dengan mulut penuh, mengabaikan tatapan Ibu yang membelalak memberi
peringatan.
Selanjutnya
Donghae tak memberi komentar apapun, ia hanya menyaksikan wajahku yang berubah
warna seperti rambu-rambu lalu lintas saat mencoba menghabiskan seluruh makanan
yang Ibu buatkan. Bibirku membengkak pada percobaan ketiga melahap sambal pedas
di dalam mangkuk dan aku terlalu sibuk mengipas tanganku hingga tak sadar bahwa
Donghae tertawa bersama Ibuku. Aku tak bisa menatap mereka dengan jelas karena
kedua matakku berair, rasanya seluruh indera di tubuhku terpusat pada lidahku
yang nyaris kebakaran.
“Ini
pemandangan langka, melihat Youva kesetanan menghadapi makanan,” komentar bosku
pada Ibu dan Ibuku mengiyakan dengan cepat.
“Aku
harap aku bisa terus selalu melihatnya seperti itu,” kata Donghae lagi.
“Tapi
aku bisa gemuk!” sergahku galak.
Ibu
mengambil sendok dan memukul kepalaku pelan. “Kalau begitu, jangan makan
berlebihan.”
Aku
mencibir dan mengambil lagi semangkuk sambal untuk dicampur ke dalam nasiku.
“Oke, aku mengerti, Bu. Tapi tidak untuk malam ini,” kilahku sambil menjulurkan
lidah.
Rasanya
menyenangkan sekali, berkumpul bersama Ibuku, tertawa dengan bosku. Mereka
berdua terlihat sopan namun penuh persekongkolan. Aku yakin ada sesuatu yang
mereka sembunyikan dariku, tapi aku tak berniat merusak momen ini dengan
menanyakan hal-hal yang tak perlu. Terkadang mengetahui seluruh rahasia tidak
terlalu bijak jika kau ingin hidupmu tenang. Ada beberapa hal yang perlu
disembunyikan untuk menciptakan kedamaian, meskipun tak akan selamanya
kebahagiaan akan bertahan. Sebab ini adalah hidup. Dan hidup selalu tidak adil. Seperti apa yang akan menantiku di kedepannya.
Saat
kami telah siap makan malam, aku mendekati Ibu di dapur dan mencoba membereskan
beberapa barang. Tapi Ibu menolak semua bantuanku dan mengatakan akan
melakukannya nanti saja, saat semua anak-anak dan pengasuh selesai makan malam.
Aku lalu turun untuk menyambangi Donghae yang berbicara dengan seseorang
melalui ponselnya di dekat pintu utama. Ia melihatku dan mengedikkan kepalanya
agar aku mendekat. Saat aku tiba persis di sebelahnya, pria itu mengamit
lenganku dan berbisik merdu.
“Ayo
pergi, kita harus kembali ke Los Angeles sekarang juga.” Ia mengucapkannya
dengan hati-hati dan bersumpah melihatnya menatapku cemas selama satu detik
yang singkat. Sesuatu di kepalaku langsung berdering memberi peringatan.
“Biar
kutebak, ada Apartemen yang meledak lagi?”
Donghae
tertawa mendengar sarkasme dalam kalimatku dan memilih untuk mengabaikannya. Ia
mengangkat bahu, memandang ke balik bahuku lalu menyapa Ibuku yang baru saja
turun dengan senyum paling memesona.
Aku menjelaskan pada Ibu bahwa kami tidak bisa
tinggal lebih lama dan kutemukan wajah Ibu yang sedikit murung. Aku sendiri tak
ingin meninggalkan Ibu tapi aku tahu dengan menjauhkan diriku dari Ibu akan
melindunginya dari ancaman-ancaman yang lebih mengerikan. Kupeluk Ibuku gusar
sembari berharap dalam hati agar aku tak memerlukan ucapan good luck dari siapapun, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya akan
baik-baik saja, selamanya. Tapi saat Ibu berdiri di depan pagar, mengantar
kepergian kami, beliau menarikku lagi dan airmatanya tumpah. Singkatnya, kami
mengalami perpisahan Ibu dan anak yang berlangsung sekitar lima belas menit.
Dan aku bersyukur bosku tidak mengeluh akan hal itu.
“Jaga
dirimu, Youva. Dimanapun kau berada. Kau tahu Ibu mencintaimu, nak.”
“Aku
juga mencintai Ibu. Lebih dari apapun di dunia ini, Bu. Kumohon, jaga diri Ibu
juga.” Kataku terisak. Setelah mengalami menit-menit yang panjang, akhirnya Ibu
merelakanku pergi. Kututup pintu mobil dan terus memandangi Ibuku dari dalam.
Kulihat beliau berjuang untuk tersenyum sementara wajahnya bersimbah airmata.
“Selamat
tinggal, Mom.” Bisikku dalam hati.
***
Lee Donghae menunggu hingga aku menyeka
kedua mataku dan ia menatapku perlahan-lahan. Muncul ekspresi kaget di wajahnya
namun ia menyamarkannya dengan berdeham beberapa kali. Aku sadar penampilanku
tidak bisa dibilang bagus, tapi benar-benar tak menyangka kalau akan seburuk ini.
Kedua mataku yang basah telah merontokkan mascara dan eyeliner-ku
hingga mataku bisa disamakan dengan panda—bahkan lebih buruk. Rambutku berantakan—mungkin
karena berulang kali berpelukan dan tertiup angin New Orleans. Dan terakhir,
lipstikku tercoreng hingga sudut pipi. Aku tak tahu apa yang membuatku lebih
mirip frankenstein daripada manusia, tapi cepat-cepat kuambil tisu di
dalam tasku dan memperbaiki semua kekacauan ini.
Kudengar Lee Donghae tertawa keras saat
melihatku berjuang dengan make up ku yang hancur dan alih-alih, ia
menawarkan untuk berhenti di sebuah pom bensin agar aku bisa masuk ke kamar
mandinya. Aku menyetujui usulnya dan segera menghambur ke dalam kamar mandi di
dalam sebuah mini market di pom bensin sebelum kasirnya melihatku dan berhasil
merekam wajah indahku.
Hanya dalam sepuluh menit aku bisa
membereskan wajah dan menyemprotkan parfum ke tubuhku. Hasilnya cukup lumayan,
hingga saat aku kembali masuk ke dalam mobil, kudapati Donghae menaikkan
alisnya tinggi. “Sudah lebih baikan?” tanyanya dengan senyum miring.
Aku mengangguk satu kali, berdeham dan
membetulkan celanaku yang kusut. Mendadak pria itu mencondongkan tubuhnya
padaku, mencoba mencium aromaku dari jarak dekat. Secara reflek, aku
membiarkan seluruh tubuhku merosot ke
kursi mobil dan kulihat ia tertawa geli.
“Kelihatannya kau benar-benar sudah lebih
baik,” serunya diantara tawanya yang membahana.
Aku menggerutu tanpa suara, mencoba untuk
tidak memprovokasi pria di sebelahku sebelum ia berusaha lebih gigih untuk
membuatku semakin memerah malu.
“Well, kau perlu tahu beberapa hal,
Youva. Well, teknisnya aku tak harus meminta izinmu, tapi bagaimanapun
aku tak ingin mendapatkan pandanganmu yang memojokkan seperti tadi, jadi
kuputuskan untuk memberitahumu apa yang akan menanti kita sesampainya di Los
Angeles.”
Dengan susah payah kutelan rasa takutku
dalam-dalam, mengabaikan degupan jantungku yang lebih dulu mencelos. Aku
menunggu lanjutan kalimat pria itu dalam diam, mengatupkan bibirku menjadi
segaris tipis dan menatapnya lekat-lekat. Sesuatu di kepalaku berkata kalau ini
bukan kabar baik.
“Pertama-tama, mengenai surat yang tadi
siang kau temukan. Aku memerintahkan Alex untuk mengeceknya dan dia mengatakan
bahwa microchip itu buatan CIA, yang dengan cepat kusimpulkan bahwa
entah bagaimana caranya, Amerika kini mulai mengawasimu.”
Ugh. Oh.
“Kedua, kami tidak punya pilihan lain selain
bergerak cepat untuk menyingkirkan semua hal yang mengancammu, Youva. Tidak
jika badan intelijen Amerika mulai mencari tahu tentang dirimu, yang tentunya
akan berdampak besar pada Arthur dan juga padaku. Jadi aku telah mengantisipasi
sebuah rencana, bahwa kami harus segera mencari tahu apa niat Jason Andersen
sebenarnya.”
Dadaku berdebar, rasanya menyesakkan
mendengar nama itu lagi. Tapi aku tak bisa berhenti menatap pria itu, dengan
kedua matanya yang mengawasiku secara seksama.
“Apa rencana Anda, Sir?”
Lee Donghae menghela napas berat. Ia masih
belum memindahkan pandangannya. Terdengar jelas di telingaku setiap kata yang
ia ucapkan padaku. Membuat bulu kudukku meremang ganjil dan menyeretku dalam
kegelapan menyesakkan.
“Kau harus di hipnotis lagi—”
“Apa—?”
“—Kita akan menyeret paksa seluruh
memorimu.”
Dan ujung duniaku tenggelam dalam warna
hitam.
***
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKak, masih aktif ga web kakak ini?
BalasHapusKereeenn thorr ^o^ aku suka FF nya walaupun part 14 dlu yg aku baca baru balik ke 1 smp 13 hehe part slanjutnya gimana thor ??? Lanjut dong lanjuttt #melasss
BalasHapus