TITLE : The Fatal Sense
GENRE :
Horror-romance, thriller, AU
(Alternate Universe)
RATING :
PG-17
CAST :
Park Chanyeol
Jung Sae Rin
Author :
@Aoirin_Sora
Disclaimer :
The Fatal Sense ini terinspirasi dari manga horror Jepang berjudul ‘From The
Other World’ oleh Madoka Kawaguchi tapi ide awalnya merupakan kisah nyata. Maaf
kalau ceritanya sama sekali nggak serem ya, soalnya walaupun aslinya nyeremin
banget, tapi aku kurang pinter ngejelasinnya. Nah, happy reading~^^
With
Love,
Aoirin_Sora
Summary:
Aku tak terbiasa berada di tengah orang
banyak. Malah sebenarnya aku tak pernah terbiasa berada di mana pun. Dunia
seakan berbalik menjadi musuhku untuk sebab yang tak kuketahui mengapa. Aku
tahu ini kutukan, mata hitam yang bisa melihat lebih banyak, dan menderita jauh lebih sering. Tidak ada tempat
untukku bersembunyi, kecuali pada sepasang tangan hangat yang dengan rela terus
menutup mataku, membuatnya kehilangan
indra penglihatannya. Tak jadi masalah meskipun aku tak bisa melihat apapun
lagi, karena aku bisa melihatnya
dalam kepalaku.
Wajah pria itu.
***
Lagi-lagi hal yang sama.
Kali ini korbannya seorang wanita karir muda.
Dari penampilannya sepertinya wanita itu baru menginjak usia 26-27 tahun.
Rambutnya cokelat gelap, dengan gelombang kecil di ujungnya. Kulitnya putih
bersih, dan ia mengenakan setelan kantor; blus dan cardigan krem dengan rok
pendek berwarna senada. Stiletto-nya berwarna merah bata, terlihat kontras
dengan kulitnya yang berkilau.
Tapi itu beberapa
menit lalu, sebelum dia tergeletak
bergelimangan darahnya sendiri di tengah jalan raya. Sebuah truk yang
kehilangan kendali melesat menerobos lampu merah dan langsung menabrak wanita
itu di tempatnya berdiri. Orang2 mulai berkerumun dan beberapa di antaranya
telah memanggil polisi, bahkan ambulans. Mereka mengamati mayat wanita itu,
yang darahnya mengaliri petak2 zebra cross dan matanya membelalak. Siapapun
tahu bahwa ia telah tewas, meskipun begitu tak ada yang berani menyentuhnya
hingga petugas berwenang tiba.
"Kasihan sekali, masih muda dan
cantik.." Gumam salah satu pengerumun. Yang lain menanggapi setuju.
Tapi tak ada yang tahu, di antara
puluhan kepala yang menoleh ke bawah, tak ada yang menyadari, bahwa pemilik
tubuh itu berdiri persis di atas tubuhnya. Mengambang dan terlihat berkilau di
terpa sinar matahari. Garis di sekeliling tubuhnya nampak nyaris transparan.
Dan wanita itu membelalak menyaksikan tubuhnya sendiri.
Benar, aku cenayang. Pelihat roh, arwah,
hantu, atau apapun sebutan kalian untukku. Aku bisa melihat ratusan bahkan
ribuan hal-hal aneh yang sama sekali tak bisa di jangkau mata manusia. Ini
bukan kelebihan. Aku menyebutnya kekurangan, cacat, benar-benar
merupakan musibah buatku. Kenapa kubilang begitu? Sebab satu detik ketika
kepalaku mendongak ke atas, ke tempat dimana arwahnya sedang menatap tak
percaya pada tubuhnya yang terbujur kaku, wanita itu menoleh padaku.
Aku menyesali perbuatanku, karena dengan
begitu ia langsung 'mengikuti'ku.
Arwah wanita itu terlihat ketakutan, namun pada saat yang
bersamaan, matanya memancarkan setitik harapan. Barangkali dikiranya aku bisa
menghidupkannya kembali. Sebuah pikiran yang sia-sia.
Arwah itu langsung berputar-putar
mengelilingiku, menggelayuti tubuhku yang langsung gemetar. Aku benci ini.
Setiap kali ada makhluk halus yang mendekatiku, separuh tubuhku bakal lumpuh
mendadak. Bagian kiri tubuhku sama sekali tak bisa di gerakkan dan kepalaku
migrain parah. Aku mempercepat langkahku untuk segera keluar dari kerumunan,
tapi gerakanku bahkan tak membuat arwah itu menyerah. Ia melayang
tepat di sebelah tubuh kiriku, memohon, berharap dan alisnya bertautan.
"Ka—pergi."
Ujarku keras. Arwah itu menggeleng, menunjuk tubuhnya yang kini mulai di angkut
petugas ambulans dan memohon lagi. "Aku tidak bisa membantu. Aku cuma bisa
melihatmu. Pergi sana."
Untuk sejenak arwah itu seperti terdiam dan
detik setelahnya wajahnya berubah marah. Barangkali ia sedang menjerit kesal,
tapi telingaku tak berfungsi sebaik penglihatanku, meski terkadang aku bisa
mendengar beberapa suara tanpa tubuh.
“Lari.” Nah, seperti itu. Suara
itu muncul begitu saja. Seakan berasal dari kepalaku sendiri.
Gerakanku langsung berubah
menjadi berlari ketika arwah wanita itu menatapku murka. Aku mengernyit.
Kemarahan mereka selalu menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuhku. Jadi, aku
berusaha pergi dari sana secepat mungkin dengan menyenggol beberapa pejalan
kaki.
Tapi dua blok dari tempat kecelakaan itu,
sebuah tangan menarik rambutku yang panjang, membuatku segera tersungkur ke
aspal dengan kepala jatuh lebih dulu. Rasa sakitnya bahkan mengalahkan rasa
takutku, ketika aku melihat sebuah tangan transparan mulai menutup mataku.
Tentu, itu ulah salah satu makhluk halus.
***
Kepalaku berdenyut menyakitkan, tetapi
kesadaran perlahan membuatku terjaga. Aku mengerjap, langit tampaknya lebih
terang dan suasananya sangat hening. Aku menunggu, menghitung dalam hati ketika
makhluk-makhluk tak kasat mata mulai mengelilingiku lagi.
Tapi tak ada apapun.
Dengan usaha kecil aku bangkit, mencoba duduk
walaupun kepalaku masih pening. Tidak ada siapa-siapa atau apa-apa di
sekelilingku. Dan aku menyukai kesunyian ini. Sejenak rasanya aku menjadi
normal, ketika kudengar seseorang berdeham di belakangku.
"Annyeong."
Ujar suara itu.
Aku berbalik dan menemukan seorang pria,
berdiri di belakangku dengan kedua tangannya tersembunyi di balik mantel. Aku
menolak menjawab dan mengunci bibirku rapat-rapat. kalau aku
menanggapi, bisa-bisa mereka bakal mengikuti selamanya.
"Hai. Kau baik-baik
saja, kan?"
Ulangnya lagi. Kali ini ia bertanya. Suara pria itu
sedikit keras, namun lembut. Seakan getarannya benar-benar merdu.
Aku mengernyit dan memandang sekeliling.
Bukan pertama kali ini aku bertemu arwah yang penasaran akan
diriku. Tapi mendengar mereka bertanya sama sekali hal baru. Hal ini sebenarnya menggangguku, namun pikiranku segera teralihkan. Sepi
sekali di sini.
Hanya ada keheningan. Bahkan tak terdengar suara bising dari jalanan.
"Dimana aku?" Suaraku sedikit pecah
saat aku bergumam. Tapi pria itu tersenyum. Agaknya ia terhibur dengan
ekspresiku yang kebingungan.
"Kita ada di dunia pertemuan."
Jawabnya sambil mengedarkan pandangan.
"Dunia pertemuan?" Ulangku.
"Apa ini nyata?"
Pria itu mengedikkan bahu. "Tidak
tahu." Jawabnya tak acuh. "Ini semua terjadi di
kepalamu. Bisa saja nyata, bisa saja cuma mimpi."
Aku memutar kepalaku dan memandanginya
lekat-lekat. Kusadari pria itu memiliki mata bulat indah,
rambut hitam seperti bayangan malam, dan senyum yang cemerlang.
Aku berusaha melihat garis tubuhnya, yang biasanya bakal berpendar jika ia
hanya arwah, tapi garis itu tidak ada.
"Aku senang kau sehat." Katanya
dengan senyum lebar. Jantungku seakan menggelepar ketika mendapati senyum itu
terukir bergitu indah. "Semoga kita.. Bisa bertemu lagi." Ujarnya
separuh berbisik dan tiba2 saja kabut mengelilingi kami.
Aku membuka mulut ingin mengucapkan sesuatu
tapi kepalaku kembali berdenyut menyakitkan. Dan hal yang terakhir yang bisa
kuingat adalah senyum pria itu yang terlihat sedih.
***
"Kau tidak apa-apa?"
Tanya sebuah suara di telingaku. Aku mencoba menggerakkan kelopak mataku yang
terasa berat, dan begitu kedua mataku membuka, aku menyesalinya.
Seorang pria tua sedang menatapku cemas.
Bukan, bukan pria itu yang membuatku ketakutan, tapi kumpulan arwah yang
berputar2 di sekujur tubuhnya. Aku tak bisa menghitung mereka semua, seakan
berkelompok menjadi satu bagian, saling tak terpisahkan dan membuat tubuhku
menggigil hebat.
Aku melihat tangan-tangan
tanpa tubuh yang mungkin mencapai puluhan, berjejalan membentuk cakar-cakar
mengerikan di antara kabut dan gumpalan hitam tepat di
sebelah kiri pria tua itu. Sementara di belakangnya, ada semacam gagak besar,
dengan paruh mencuat dan runcing, dan ketiga matanya menatapku lapar. Bulu-bulu
gagak itu penuh darah, seolah menetes di aspal tanpa henti. Dan yang peling
mengerikan mungkin sesuatu di sebelah kanan pria tua itu. Kupikir ia adalah
kumpulan kabut hitam ketika aku menyadari bahwa itu adalah arwah wanita tua.
Wanita itu menatap sang pria dengan marah.
Matanya hitam, dengan setitik putih susu yang berada persis di tengah pupilnya.
Ia mengenakan pakaian tradisional dengan ujung rombeng. Tetapi tempat dimana
tangannya seharusnya muncul, malah mengeluarkan darah. Aku baru akan berjengit
melihat betapa mengerikannya kulit wajah wanita tua itu ketika sebuah tangan
menyentuh pundakku.
"Nak, kau tidak apa-apa?" Ulang
pria tua di depanku dengan nada cemas.
Aku melirik sekilas ke arah roh wanita di
sebelah kanannya dan gemetar saat ia menatapku balik. "Aku baik-baik saja,
paman." Jawabku melengking. Bulu kudukku meremang ganjil dan aku mendapa
firasat wanita tua itu bakal mengikutiku.
Setelahnya paman-mungkin-baik-hati
itu membantuku berdiri dan menyarankan agar aku pergi ke rumah sakit. Aku
mengangguk mengiyakan dan mengerahkan segala kekuatanku untuk bisa kabur
dari situ secepat mungkin. Tapi tubuh bagian kiriku kembali lumpuh dan kusadari
wanita itu sudah berada tepat di sampingku.
"Kumohon, tinggalkan aku sendiri."
Ucapku setengah panik. Aku tidak suka melihat wajahnya. Seakan kulit-kulitnya
pernah hangus dalam api, menyisakan keriput-keriput menjijikan dan mengerikan.
Wanita itu menatapku lalu menggerak-gerakkan
mulutnya. Aku menggeleng putus asa dan mengangkupkan tanganku di depan wajah.
"Aku tidak bisa mendengarmu, aku tidak mengerti. Kumohon, pergilah. Aku
sama sekali tidak dapat membantumu.."
Tubuhku kini lumpuh total. Bahkan mengangkat
sebelah tangan kiriku nyaris mustahil. Aku berusaha menyeret kakiku ke samping,
tapi tiba-tiba saja ia sudah berada disana, memblokir jalanku untuk kabur.
"Pergi." Kataku meninggi. Wanita itu bergeming dan matanya yang
menghitam menatapku tajam. Aku seolah bisa merasakan tangan-tangan tak tampak
menghentikan suplai oksigenku dan aku ketakutan. "PERGI!!" Jeritku
dua kali lebih nyaring dan tiba-tiba saja kilatan cahaya meledak di depan kami.
Aku hanya bisa melihat keriput wajah wanita itu mengejang ketika tahu-tahu ia
sudah menghilang begitu saja.
"Hebat."
Gumam sebuah suara dan aku tersentak. Tidak ada siapapun-atau apapun- didekatku
dan aku merasa khawatir. Apakah suara itu memang berasal dari kepalaku?
***
Malam turun dengan kecepatan mengagumkan. Aku
baru saja tiba di rumahku—sebuah rumah sewa kecil di
tengah kota Seoul—dan matahari sudah memudar di ufuk barat. Kusesali rembulan
yang hadir lebih awal, seakan mempercepat ketakutanku akan teror tanpa henti.
Malam hari tidak pernah lebih baik dari
siang. Saat dimana aku mendapatkan 'tamu'
seratus kali lebih banyak daripada ketika aku berada di bawah sinar matahari.
Maksudku, aku nyaris tak bisa melakukan apapun selain menyalakan sepuluh lampu
tambahan—yang sinarnya membuat kamarku jadi seperti kebanjiran cahaya—dan
bergelung kaku dibawah selimutku yang tebal. Aku bisa tertidur, tentu, meski
sama sekali tak pernah mendapatkan tidur cukup. Jika ada seratus arwah
bergentayangan di sekelilingmu, maka bisa tidur beberapa jam saja sudah
merupakan berkah.
Aku tidak bercanda. Aku tak akan bisa
tertidur dengan arwah-arwah yang mengetuk jendelaku setiap tiga menit sekali,
menjadikannya berderit ganjil. Atau dengan kepala tanpa tubuh yang
berguling-guling mengelilingi seluruh pojok kamarku, dan bagaimana aku bisa
tenang kalau mereka membuat 'keributan'?
Begini, bayangkan jika seluruh gelas—barang-barang pecah belah—dirumahmu di
banting dengan keras, bunyinya pasti akan membangunkanmu meski kau sedang
tidur. Dan itulah yang mereka lakukan, meski ketika aku memeriksa dapurku, tak
ada satupun benda yang berpindah dari tempatnya.
Dan ada satu hal yang paling menggangguku.
Aku tinggal di sebuah rumah sewa tua murahan yang tak memiliki balkon
melainkan sebuah jendela kaca ukuran satu kali dua meter. Tapi sepertinya
beberapa tahun lalu, sebelum aku menempati flat ini, seorang wanita bunuh diri
dengan cara melompat dari jendela di sebelah tempat tidurku. Dan bisa tebak apa
yang terjadi selanjutnya? Arwah wanita itu tidak pergi, melainkan kembali ke
kamar ini, mengulang setiap detail adegan bunuh dirinya. Dengan separuh sisi
kepalanya hancur dan wajah serta tubuh penuh darah, ia kembali ke kamarku dan
melompat dari jendela-begitu seterusnya.
Pernah satu kali ia mengamatiku—hari pertama
aku bermalam di sini—dan ia menyeringai melihat wajahku yang kaget. Bibirnya
sudah koyak, menggantung aneh dengan rahang terkelupas, dan aku harus menahan
diriku untuk tidak muntah. Tapi sepertinya ia tidak menggubris keberadaanku dan
terus menerus lompat dari jendela itu. Mengacuhkan
pekikan kaget yang terlontar dari bibirku.
Aku benci penglihatanku. Benci kekuatan
abnormal yang merusak hidupku. Aku tidak bisa hidup seperti orang kebanyakan
dan malah menghabiskan masa remajaku untuk pergi ke kuil, pendeta, gereja,
rahib, semua tempat yang ada di semenanjung Korea Selatan. Aku
jadi merepotkan ibu dan ayahku—yang cuma bekerja sebagai buruh
bangunan. Jadi setelah tamat SMA, aku mengemukakan dengan jelas bahwa aku ingin
tinggal sendiri. Orangtuaku menolak keinginanku dengan setengah hati dan
dengan cepat aku meyakinkan mereka kalau aku akan baik-baik saja. Dalam artian
harfiah.
"Ya! Jung Sae Rin."
Sebuah suara mengagetkanku dan aku buru-buru
mengintip ke jendela. Seorang wanita paruh baya dengan tampang judes khas
rentenir berdiri di depan pintu kamarku. Yeah, dia pemilik rumah
ini. Dan kedatangannya cuma berarti satu hal: tagihan rumah
sewa.
"Oh, halo ibu Han." Sapaku berusaha
ramah.
Ibu Han mendengus dan menatapku tak
bersahabat. Aku tersenyum, menguatkan hati melihat bayangan hitam di
belakangnya. Bayangan itu seperti kabut berjelaga, hitam pekat dengan bola mata
yang bergulir ke kanan-kiri pundak ibu Han.
"Tagihanmu, Jung Sae Rin.
Kau sudah terlambat tiga hari." Ujarnya tanpa berbasa-basi.
Kuraih dompetku di atas meja dan menjerit
ketika sebuah kepala muncul begitu saja dari meja itu. Ibu Han melongok ke
dalam, keningnya berkerut. "Ada apa?" Tanyanya was-was.
Aku meringis dan menggeleng lemah. Ibu Han
memang sudah memberiku stereotip "gadis
aneh" sejak pertama kali aku
mendatanginya. Tidak aneh sebenarnya, kalau saja ia bisa melihat bahwa seorang
anak kecil berusia lima tahun dengan tubuh penuh darah dan mata hampa
bergelayut di kakinya. Setelah kucari tahu, ternyata anak itu korban tabrak
lari yang dialami Ibu Han tiga tahun yang lalu. Dan hingga sekarang, Ibu Han
masih tidak mengerti mengapa kakinya terkadang tak bisa di gerakkan.
"Ini uang tagihan bulan ini, Ibu Han.
Maaf aku terlambat membayarmu. Aku baru terima gajiku siang tadi."
Ibu Han mencibir. Bibirnya miring ke samping
dan tangannya menghitung uangku dengan kecepatan mengagumkan. "Lain kali
aku tak mau menunggu lebih dari dua hari. Keunde,
Sae Rin-ah, kenapa kau tidak pindah kerja saja, sih? Kau lulusan Universitas
Seoul, bukan?"
"Uhm, aku suka kerja disitu."
Jawabku separuh berbisik.
"Lulusan Universitas Seoul dan bekerja
sebagai tukang cuci piring di restoran? Sinting."
Ibu Han kemudian melenggang pergi sambil
meneruskan gerutuannya. Aku tak menampik hinaannya barusan, karena ia benar.
Tidak sedikit perusahaan yang mengajakku bergabung karena aku mengantongi
sertifikat cum laude dengan
rekomendasi dari beberapa dosen. Tapi setelah tiga kali wawancara di
perusahaan-perusahaan benefit, aku menyerah. Gedung-gedung kantor memiliki
lebih banyak arwah dengan penampilan tak kalah menyeramkan. Jadi aku
menghabiskan tiga bulan untuk menemukan tempat yang "sepi" dari arwah-arwah
mengganggu. Uhm, sebenarnya tidak terlalu sepi, karena setidaknya ada dua belas
arwah yang menetap di restoran itu.
Kunyalakan seluruh lampu tambahan di kamarku
dan berjalan ke kamar mandi dengan mata separuh menutup. Kepala tanpa tubuh
yang biasanya mengitari pojok kamarku akan berada di westafel pada jam segini.
Meski aku selalu melihat mereka, tapi tetap saja aku belum terbiasa. Mereka
terlalu menyeramkan untuk di anggap 'biasa'.
Setelah mandi dan menyantap kudapan malam—mi
jajang dengan kuah ekstra—aku menarik selimutku. Di luar petir mulai menyambar,
membuat kilatan cahaya menerangi seluruh kota. Aku bergidik. Jika malam hari
sudah menjadi cobaan berat buatku, maka hujan di tengah malam sama dengan mimpi
buruk.
Pukul sembilan kurang lima belas akhirnya benar-benar
turun hujan. Rinainya mungkin menenangkan, namun bulu kudukku
meremang. Hujan ibarat pesta bagi arwah-arwah itu. Lihat saja, seluruh
lampu-lampu di kamarku mulai berulah. Kedatangan spirit dalam jumlah besar
selalu membuat listrik tak sanggup menanggung energi. Beberapa malah langsung
padam—putus tak kuat menahan arus.
Jendelaku berderit lebih kencang, tangan yang mengetuknya ada lima belas sekarang.
Terdengar bunyi sesuatu yang mengalir dari pintu depanku dan aku menggigit
bibir, menguatkan diri sebelum mengintip ke pintu depan. Jantungku mencelos. Genangan
darah kental mulai membanjiri pintu—kemudian merayap masuk membasahi karpetku yang berwarna putih pucat. Darah itu
tak berhenti, seakan ada bergalon-galon cairan yang di tumpahkan dari luar. Aku
menjerit panik karena darah itu juga seakan hidup, mengerti harus bergerak
kemana. Genangannya menyapu seluruh lantai, mewarnai seluruh benda dengan warna
merah dan merayap naik ke tempat tidurku.
Aku berjengit. Sebuah roh memegangi pergelangan tanganku. Aku tak sempat
melihatnya karena tepat pada saat itu
puluhan—tidak, ratusan roh meledak masuk dari pintu dan
jendela kamarku. Semuanya berputar-putar, bergabung membentuk pusaran angin dan
menerbangkan benda-benda di kamarku. Seluruh lampu tambahan telah padam dan
pecah dengan bunyi berdesing. Tubuhku gemetaran, berusaha melepaskan diri dari
genggaman tangan yang menahan tubuhku tetap di atas tempat tidur.
“Lari.” Suara
di kepalaku kembali berdering. Aku meronta, menjerit dan mulai menangis. Kumpulan
roh di atasku kini semakin dekat. Aku bisa mati kalau mereka menghantamku
seperti itu.
“Lari!” teriak suara di kepalaku lebih keras.
“Tidak bisa! Aku tidak bisa! Mereka
terlalu kuat!” jeritku putus
asa. Aku biasanya tak pernah menanggapi suara itu, tapi toh nyawaku hanya
tinggal sejengkal untuk terlalu mempedulikan bahwa aku mulai gila—bicara pada diri sendiri.
Cengkraman tangan itu semakin kuat, menanamkan bekas jelek di sekeliling
pergelangan tanganku dan aku menjerit panik. “Kumohon, kumohon, lepaskan aku!”
teriakku sia-sia. Petir menyambar lagi dan hujan turun semakin deras.
Pusaran arwah meledakkan kaca jendela dan ujung tempat tidurku menjadi
serpihan abu. Kepala-kepala mengerikan dengan taring-taring panjang terlihat
abstrak—berputar-putar dengan
kecepatan penuh. Tubuhku meronta lebih keras dan sesuatu terjadi.
Entah apa yang sebabnya, tapi ada cahaya kecil yang melejit dari pergelangan
tanganku, membuat tangan yang menahanku tadi langsung terlepas dan berpendar
menghilang. Keterkejutanku hanya bertahan beberapa mili detik sebelum aku
melompat ke lantai—yang digenangi
darah.
Kakiku terpeleset dan tubuhku langsung basah oleh darah itu. Aku mencelos
ketika melihat pusaran arwah semakin mendekat ke kakiku. Sesuatu menahan kakiku
dan aku menendangnya menjauh. Aku berusaha bangun, tapi cairan merah itu
lengket seperti lem. Kugerakkan tanganku untuk menarik ujung meja, membuat
tubuhku bergerak beberapa senti.
“Tak ada waktu. Tak ada waktu!”
Aku nyaris berhasil mencapai pintu ketika puluhan tangan-tangan menarikku
ke dalam pusaran. Ujung jempol kakiku mulai kebas, tergilas angin mengerikan
dengan ratusan arwah yang menjadi satu.
“Tolong..” ujarku lemah. “Tolong aku!” aku mulai panik. Tubuhku hanya dua
senti jauhnya dari pintu tapi tanganku menggapai tanpa hasil.
“TOLONG!!!!” tanganku tiba-tiba mendapatkan kekuatannya dan berhasil meraih
kenop pintu. Aku bersyukur kunci pintu ini rusak dan belum kuperbaiki. Jadi, begitu
aku menarik gagang pintu, dinginnya angin malam dengan tetesan hujan langsung
menyambutku meski pintu hanya bergeser sedikit. Aku ingin membukanya
lebar-lebar, tapi tangan-tangan arwah yang menyeretku untuk bergabung bersama mereka
semakin kuat.
“Tidak—jangan—TIDAK!”
Pintu menjeblak terbuka dengan bunyi keras. Berdebum dan hampir merobohkan
ruangan. Aku membeku, mataku terpancang pada satu titik yang tadinya sempat
kukira hanya mimpi dan tak pernah menjadi nyata.
Sesosok pria berdiri tepat di depan pintuku. Tubuhnya basah oleh hujan. Rambutnya
meneteskan air, jatuh melewati wajahnya yang membelalak tak percaya. Matanya indah
sekali, bulat sempurna dan aku ingat wajah itu memiliki senyum cemerlang. Seakan
meloncat dari mimpiku, pria yang tadinya kupikir arwah kini berdiri di depan
rumahku dengan napas satu-satu.
Ia melihat ke sekeliling dan mendapatiku terbaring persis di dekat kakiknya,
terkejut dan langsung menarikku menjauhi arwah-arwah itu. Tapi tangan-tangan
itu tampaknya tak ingin menyerah. Mereka menahan tubuhku dari tarikan tangan
pria itu.
“Pergi kalian semua.” Ujarnya berbahaya. Aku melirik panik. Tangan-tangan
itu semakin kuat. “Gadis ini tak akan pernah bergabung bersama kalian.”
Pria itu berusaha lebih keras dan aku mendengar ia menggertakkan giginya. “Aku—tidak—akan—mengijinkan—kalian.”
Ledakan cahaya muncul begitu saja dan menelan seluruh arwah-arwah itu. Tangan-tangan
arwah yang menahanku langsung menghilang dan kami terlempar ke luar. Sepertinya
kepalaku membentur sesuatu, tapi aku tak bisa mengingatnya. Semuanya mengabur dalam
kegelapan dan bahkan di dalam ketidaksadaran pun, tubuhku masih gemetar
ketakutan.
***
“Bangunlah. Bangunlah, Jung Sae Rin!”
Suara itu.. Suara yang selalu muncul dalam kepalaku. Begitu familiar dan menenangkan.
“Jung Sae Rin! Jangan biarkan mereka mengalahkanmu!”
Aku tersentak dan mataku membuka dengan cepat. Untuk sejenak, yang bisa
kulihat hanyalah mata bulat indah yang mengisi seluruh pandanganku. Perasaan
rindu yang entah dari mana datangnya menyelinap dalam hatiku. Jantungku
berdentam-dentam dan tubuhku terasa panas. Benar, aku merindukannya meski aku
tak mengerti mengapa.
Mata itu juga balas menatapku meski terlambat kusadari bahwa mata itu memancarkan
ketakutan sekaligus kelegaan yang terlihat jelas. Pandanganku turun dan melihat
bibirnya bergerak—mengucapkan
sesuatu.
“Kau tidak apa-apa, kan? Jung Sae Rin!”
Aku mengerjap. “Kenapa kau bisa tahu namaku?” tanyaku tak fokus.
Kuperhatikan raut wajah itu mengendur lega dan sebuah senyum cemerlang mengukir
di wajahnya. “Ceritanya panjang.” Jawabnya kecil.
“Apa—”
“Dengar, di sini tidak aman. Kau bisa berjalan?” sela pria itu dan aku
mengangguk. Setelahnya ia langsung membantuku berdiri dan kusadari kami berada
tak jauh dari pintu rumahku. Rintik hujan tak lagi deras, melainkan turun malas
menggenangi jalanan yang becek.
Kami berjalan dalam diam dan langkah kakinya terasa begitu tergesa-gesa. Kepalaku
masih pusing tapi aku tak ingin berlama-lama di tempat itu, karena aku masih
bisa melihat beberapa kelebatan bayangan hitam yang mengintip dari sudut-sudut
jalan.
Setelah kira-kira lima ratus meter, ia menyetop sebuah taksi dan aku
menggeleng panik. Arwah wanita dengan rambut panjang, tubuh penuh darah, mata melebar
mengerikan dan bibirnya—seakan
koyak mencapai telinga, gigi-gigi penuh taring yang menyeringai, berdiri tepat di bagian depan mobil. Dan begitu
juga dengan dua mobil setelahnya, semuanya memiliki tamu tak tampak yang membuatku bergidik.
“Bagaimana dengan yang ini?” tanya pria itu. Aku melirik ke arah taksi yang
berhenti di depannya dan mendapati seorang nenek tua berwajah ramah duduk di
samping pengemudi yang ternyata seorang kakek berusia lanjut.
“Oke,” jawabku langsung dan kudengar ia menggumamkan, “terima kasih,” tapi
bukan untukku. Keningku berkerut heran. Apa ia sedang berbicara kepada nenek
itu?
Kami melaju menembus hujan yang mulai reda. Jalanan terlihat sepi meski
baru pukul sebelas malam. Tubuhku tiba-tiba saja menggigil, tapi sepertinya
bukan karena arwah nenek tua yang dari tadi tersenyum pada pria di sebelahku. Aku
sadar kami berdua basah kuyup, meski hanya aku yang terlihat payah dengan piyama
kebesaran warna cokelat pudar dan…tanpa alas kaki. Sama sekali tidak keren. Sementara
pria itu mengenakan mantel hitam panjang, jeans abu-abu dan sepatu boots. Sangat
fashionista.
“Sudah sampai.” Ujarnya membuyarkan lamunanku. Ia tersenyum dan mengajakku
turun—ke depan sebuah bangunan
mewah berlantai dua belas. “Ini apartemenku.” Imbuhnya lagi.
Aku mengikuti langkahnya yang berjalan penuh keyakinan. Baru saja dua
langkah dan aku melihat bayangan hitam di bawah tiang lampu di sudut jalan. Cepat-cepat
kusambar mantel pria itu dan ia melirik ke arah tiang lampu.
“Tidak apa-apa,” ujarnya menenangkan. “Dia tidak akan menyakitimu.”
Kira-kira sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di depan pintu
apartemennya. Ruangan ini begitu luas dan.. bersih. Semuanya tertata rapi, tak
ada satupun barang yang kelihatan salah tempat. Aku masih mengagumi betapa nyamannya ruangan itu ketika ia
berbicara.
“Ayo, duduklah.”
Kupandangi wajah pria itu dengan seksama. Ia berdiri di depan konter dapur
dengan tangan bersedekap. Mantelnya telah dilepas dan kaus putih membungkus
tubuhnya yang bidang. Seberkas perasaan rindu langsung menyelimutiku tanpa
sebab. Aku ingin memeluknya, bukan, tubuhku
yang ingin memeluknya. Karena, aku bahkan tidak mengenal siapa ia.
“Kau.. siapa?” pertanyaan itu terlontar begitu saja. Dan semburat malu
langsung terlihat di wajahku ketika ia malah tertawa kecil. Aku tak tahan untuk
memalingkan muka lama-lama, sebab wajah pria itu sangat memikat—mata bulat yang menyipit, gigi putih yang
berderet rapi dan guratan di sekeliling matanya ketika ia tersenyum.
“Aku Chanyeol. Park Chanyeol.”
“Kenapa kau bisa ada di sana? Maksudku, di rumahku. Kau muncul tiba-tiba
saja dan—”
“Tahan dulu, Jung Sae Rin. Kau butuh minum.” Sela Chanyeol dan mulai
mengisi gelas dengan air mineral.
“Bagaimana kau bisa tahu namaku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
sambarku tak sabaran. Tapi Chanyeol tak segera menjawab. Ia menghampiriku
dengan dua gelas penuh air bening dan memaksaku untuk duduk di sofanya yang
hangat. Chanyeol bahkan mendelik melihatku yang tak menyentuh gelas dan baru
setelah aku meneguk air itu banyak-banyak, ia tersenyum kembali.
“Begini, aku tahu kau bisa melihat arwah—semua hal-hal buruk dan aneh—tapi
kau tidak bisa mendengar mereka, kan?” aku mengangguk mengiyakannya. “Dan aku
kebalikannya, Sae Rin-ah. Aku bisa mendengar mereka, tapi tak bisa melihat
mereka dengan jelas—hanya gumpalan
bayangan hitam dan kadang-kadang memancarkan aura jahat.”
“Benarkah?” tanyaku terkejut. Ini pertama kalinya aku mendengar bahwa seseorang
memiliki kemampuan seperti itu. Dan ketika Chanyeol mengangguk, aku kembali
bertanya. “Kau bisa mendengar mereka semua? Apakah mereka mengatakan sesuatu
padamu? Tidakkah itu mengganggu? Sejak kapan kau mendapatkan kemampuan itu?” pertanyaanku
masih akan berlanjut kalau saja Chanyeol tak segera menginterupsiku.
“Sabarlah, Jung Sae Rin.” Ucapnya geli. “Pertama, ya. Aku bisa mendengar
mereka. Jelas sekali. Bahkan hingga sekarang. Kedua, tentu saja. Mereka biasanya
mengeluh, meratap, menyesal dan mengutuk semua yang masih hidup. Tapi begitu
tahu aku bisa mendengar mereka, kebanyakan akan curhat dan mengikutiku
sepanjang hari. Ketiga, sebenarnya ya, pendengaran ini sangat menggangguku. Aku
bahkan pernah menusuknya dengan serpihan kaca tetapi tak berhasil, tapi
setelahnya aku tak ingin melukai diriku sendiri lagi. Dan terakhir, aku mendapatkan
kemampuan ini sepuluh tahun yang lalu, ketika aku selamat dari sebuah
kecelakaan. Tubuhku baik-baik saja, selain telingaku yang rusak parah. Aku
menjadi tuli selama sebulan penuh dan begitu mendapatkan kembali pendengaranku,
aku mendengar ribuan suara setiap detiknya.”
Chanyeol memejamkan mata dan keningnya berkerut resah. Aku mengamatinya
lekat-lekat, mencoba tak menyerahkan diri pada emosi asing yang sempat
menguasai pikiranku selama beberapa saat—keinginan untuk menyentuh wajahnya. “Tapi kau belum menjawab pertanyaan
pertamaku. Kenapa kau mengetahui namaku dan bisa ada di sana?” tuntutku ingin
tahu dan kulihat Chanyeol membuka matanya lambat-lambat, memandangiku sejenak
sebelum ia kembali tersenyum.
“Itu alasannya kenapa aku tak ingin melukai telingaku lagi. Kau.” Jawabannya
sama sekali tak membuatku puas dan aku baru akan mengajukan protes—kendati wajahku merah padam—tetapi Chanyeol segera menyelaku. “Sepuluh
tahun yang lalu, aku terbangun dan mendengar
ribuan suara berjejalan di kepalaku. Rasanya seperti berdiri di tengah orchestra
dan semua alat musik dibunyikan bersamaan dan tanpa arahan—kacau, berantakan dan membuatku ingin muntah. Awalnya
aku mengira bisa mendengar pikiran manusia. Tapi setelah beberapa lama, aku
menyadari bahwa aku mendengar suara orang
mati. Tentu saja aku frustasi dan ibuku membawaku ke berbagai tempat yang
katanya bisa menyembuhkanku. Tapi semuanya sia-sia, Sae Rin-ah. Aku malah
mendengar lebih banyak lagi. Dan sekitar tiga bulan setelahnya, aku mencoba melukai
diriku. Aku pernah berpikir kalau saja aku menjadi tuli lagi, mungkin aku bisa
menghilangkan kemampuan terkutuk ini. Jadi aku menggunakan pecahan cermin kamar
mandi dan menusuk telingaku hingga aku pingsan karena rasa sakit yang
mengerikan.”
Napasku tertahan ketika membayangkan Chanyeol kecil yang gemetaran menusuk
telinganya sendiri. Ia pasti ketakutan dan bingung.
“Tapi aku tidak pernah menjadi tuli, Sae Rin-ah. Telingaku baik-baik saja,
meski aku harus mendapat beberapa jahitan. Dan setelahnya, tepat setelah itu,
aku mendengar semua suara arwah-arwah yang telah mati—dan beberapa suara manusia lain—tapi tiba-tiba saja aku mendengar suara
seseorang jauh di dalam kepalaku. Memohon, berteriak dan tangisannya membuat
airmataku ikut turun. Aku tidak mengerti kenapa aku sangat ingin menghibur
suara itu. mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, padahal tubuhku
sendiri gemetaran. Kepalaku masih di perban dan aku sama sekali tak tahu dari
mana asal suara itu. Selama beberapa tahun aku mengira bahwa aku mendengar
suara arwah ketika suatu hari aku mendengarnya berkata ‘aku ingin hidup normal, tanpa penglihatan terkutuk ini.’ dan aku
tahu bahwa kau masih hidup.”
“Bagaimana kau tahu itu aku?”
Chanyeol tersenyum lagi dan matanya melirikku sekilas sebelum berpaling ke
seberang ruangan. “Begitu aku tahu kau masih hidup, aku langsung belajar menggunakan kemampuan ini. Kira-kira
enam tahun lalu, aku mulai bisa mendengarmu lebih jelas. Memang tidak setiap
saat, hanya ketika kau dikuasai emosimu atau sangat ketakutan. Aku tak tahu kau
ada di mana dan ketika itu aku sama sekali tak punya petunjuk tentang dirimu. Jadi
yang kulakukan hanya berharap kau akan menyebut di mana kau tinggal serta
namamu. Perlu usaha keras untuk bisa mendapatkan kilasan-kilasan gambar dari
kepalamu. Tapi aku berhasil mendengarmu menyebut Busan beberapa kali. Dan aku
buru-buru kesana, bahkan tinggal di Busan selama dua tahun ketika akhirnya aku melihat
kilasan Namsan Tower. Lalu aku segera kembali ke Seoul dan berpindah-pindah
tempat tinggal—aku mendatangi
semua tempat yang kulihat di kepalaku dan setelah tiga tahun aku berhasil..menemukanmu.”
Tubuhku membeku. Lidahku kelu dan wajahku merah padam. Ada semacam tarikan
gravitasi yang aneh yang membuatku ingin menangis dalam pelukannya. Tapi aku
berhasil mengendalikan emosiku dan bertahan mati-matian dari seluruh keinginan
sinting ini. Kenyataan bahwa Chanyeol begitu berusaha mencariku hingga
bertahun-tahun nyaris membuatku berpikir ia sedang bercanda. Tapi senyumnya
yang begitu tulus tak mungkin menipu. Aku yakin ia tidak berbohong.
“Dan.. bagaimana denganmu? Apa yang terjadi padamu, Sae Rin-ah?”
Pertanyaan Chanyeol seakan menghantamku telak. Aku harus menarik napas
dalam-dalam sebelum aku menjawab pertanyaannya. Sejujurnya, aku tak pernah
menceritakan hal ini pada siapapun. Aku takut orang-orang akan berpikir kalau
aku gila dan memindahkanku ke panti rehabilitasi khusus remaja pecandu
obat-obatan.
“Semuanya bermula kira-kira di tahun yang sama denganmu, sepuluh tahun yang
lalu. Aku berumur dua belas tahun ketika kakekku meninggal dan seseorang tak
sengaja menumpahkan abu jasadnya ke kepalaku. Abu itu masuk ke mataku dan membuatku
harus di perban selama seminggu. Setelah ibuku membuka perban, hal pertama yang
kulihat adalah arwah kakekku yang berdiri di belakang ibu. Dan kemudian..
hal-hal mengerikan terjadi. Banyak sekali yang kulihat dan aku tak bisa
berhenti menjerit ketakutan. Tahun-tahun awalku sungguh menyedihkan; aku
mengurung diri di kamar dan tak mau pergi kemanapun. Aku ingin bunuh diri, tapi
terlalu takut untuk menjadi salah satu dari arwah-arwah itu. Dan ketika aku
bisa mendengar suara dalam kepalaku, orangtuaku menjadi lebih cemas. Mereka
pikir aku sudah gila dan harus terus diawasi. Tapi setelah meyakinkan mereka
selama bertahun-tahun, akhirnya aku bisa pindah—berhenti merepotkan
keluargaku.”
“Itulah sebabnya aku
tidak menemukanmu ketika aku di Busan, benar kan?”
Chanyeol menangkap
mataku yang menatapnya penuh arti. Aku mengangguk dan menggigit bibirku. Kalau
saja aku bertahan di Busan.. aku pasti bisa bertemu dengannya lebih cepat.
Chanyeol menepuk jemariku dan aku merasa kehangatan yang berbeda. Seakan ada arus
rendah yang memercik di ujung jari-jarinya. Tapi sama sekali tak membuatku
kesakitan dan—dan aku menyukainya.
“Aku tak berhenti
belajar mengendalikan kemampuan ini, malah akhirnya usahaku tak percuma. Aku
telah berhasil membangun sebuah hubungan dua arah denganmu. Semacam telepati,
kurasa. Kau pernah bermimpi tentangku, bukan? Itu salah satu efeknya. Dan
setelah itu aku bisa melacakmu lalu tiba pada waktu yang tepat. Menolongmu dari
arwah-arwah pemangsa.”
Aku bergidik
mengingat pusaran arwah yang menginginkan nyawaku beberapa saat yang lalu. “Kau
sebut mereka apa?” tanyaku melengking cemas.
Jemari Chanyeol mengepal
dan buku jarinya memutih. “Arwah pemangsa. Mereka menginginkanmu, Sae Rin. Mereka
berusaha menyakitimu untuk mendapatkan tubuhmu serta arwahmu. Aku mendengar
mereka berbicara—malah sebenarnya berbisik kejam—tentang bagaimana
cara melenyapkan arwahmu dan itu sangat menjijikan.” Geramnya penuh amarah.
Arwah pemangsa. Bukan
pertanda bagus. Aku pernah mendengar beberapa pendeta menyebut tentang hal itu.
Mereka mengatakan bahwa arwah pemangsa adalah kumpulan energi jahat yang
menginginkan kematian manusia. “Sepertinya aku harus pindah.” Gumamku murung
dan tiba-tiba Chanyeol berteriak panik.
“Andwae!” sergahnya. “Tidak boleh, Jung Sae Rin. Kau tidak boleh
pergi lagi—maksudku, kau bisa tinggal di sini—maksudku kalau kau
mau—tapi kumohon jangan pergi!”
Aku tidak mengerti. Chanyeol
menginginkanku? Tidak pernah dalam
tahun-tahun penuh derita ini ada yang menginginkanku. Semua orang biasanya menjauhi Jung Sae Rin, gadis aneh dengan
rambut ikal sebahu, lingkaran hitam di sekeliling mata, dan tubuh kurus kering
yang sering menjerit tiba-tiba dan ketakutan tanpa sebab. Aku memberanikan diri
memandang kedua mata Park Chanyeol yang melebar penuh iba. Ada desakan yang
terlihat jelas di sana dan tiba-tiba saja perasaan sedih menyelimutiku.
“Aku—aku tidak tahu.” Gumamku lirih.
Chanyeol terlihat
resah dan melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Apakah ada yang kau
takuti di sini?” tanyanya hati-hati.
Sejauh pengamatanku,
ruangan ini bersih. Lampu-lampunya
memang menyala dua kali lebih terang dan tak ada apapun yang membuatku resah—oke, aku bohong. Daritadi aku berusaha mengacuhkan arwah yang berlari-lari
di sepanjang koridor di belakang dapur. “Ada yang bergerak-gerak di ujung sana.”
Ucapku menunjuk koridor kecil.
“Itu anjingku—eh, maksudku anjing arwahku. Dia baik dan sama sekali tidak mengganggu. Dia
juga pernah membantuku beberapa kali. Namanya Yen-bi.” Chanyeol menatap ke arah
koridor dan tersenyum samar.
“Tapi, Chanyeol-ssi,
kau tak bisa melihatnya, bukan?” tanyaku takut-takut.
Chanyeol mengangguk
dan menatapku bingung. “Seperti yang kukatakan, aku hanya bisa melihat bayangan
hitam atau semacam itu saja. Memangnya apa yang kau lihat?”
Aku menelan ludah dan
melirik Chanyeol cemas. Arwah anjing itu sudah berada di sebelah kiri Chanyeol
dan aku melihat ke arah lain. “Dia—maksudku Yen-bi—dia tidak memiliki kepala.”
“Benarkah?” tanya
Chanyeol terkejut. Aku mengangguk dan Chanyeol mendadak bungkam. “Yen-bi bilang
dia mengalami kecelakaan dan kepalanya.. sudahlah.” Desahnya gelisah. “Kau
takut? Err.. Yen-bi berjanji tidak akan menakutimu. Aku bisa menyuruhnya
bermain di luar kalau kau takut.”
Aku takut. Tentu
saja. Perasaan takut ini tak pernah berkurang sedikitpun selama bertahun-tahun.
Tapi aku tak ingin pergi kemanapun tanpa pria itu. dan aku harus menelan
kesedihanku sekali lagi. “Bukan itu masalahnya, Chanyeol-ssi. Tapi.. apakah
pacarmu tidak marah kalau aku tinggal di sini?”
Chanyeol tertawa dan wajahnya
membuatku lupa bernapas. Ya ampun, aku ingin mematri wajah itu selama-lamanya
di dalam otakku, mengganti semua mimpi burukku dengan senyuman Chanyeol yang
luar biasa memikat. Jantungku bertalu-talu, seakan marathon dalam rongga dadaku
yang sempit. Paru-paruku membengkak dan senyum Chanyeol bagai oksigen yang mengembang
dalam pembuluh darahku. Rasanya dunia menjadi lebih indah.
“Bagaimana mungkin
aku memiliki kekasih kalau aku mencarimu ke ujung dunia, Jung Sae Rin? Dasar
bodoh.” Ujarnya geli dan giginya yang putih berderet memerkan diri padaku.
“Aku punya teori
sinting.” Kata Chanyeol lagi, tapi kali ini ia meraih jemariku—dua-duanya—dan menggenggam tanganku hangat. “Kekuatan kita seakan dua kutub yang
berbeda. Dan kita perlu menyatukannya agar bisa hidup normal.”
Lagi-lagi aliran
listrik mengalir membanjiri tubuhku dan aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda,
penglihatanku sepertinya berpusat pada satu titik yang sama sekali tak bisa
kujelaskan dengan baik. Tapi aku menyukai ini.
“Enam tahun aku
mencarimu, Jung Sae Rin. Aku mendatangi seluruh tempat dengan harapan kau ada
di sana. Aku menghabiskan seluruh waktuku untuk bisa menemukanmu dan aku telah
berjanji aku tidak akan membiarkanmu pergi jika aku berhasil mendapatkanmu.” Bisik
Chanyeol sendu. Bisa kulihat pengorbanan di setiap kata-katanya dan perasaan
menderita yang ia lalui.
“Seperti seorang
stalker,” bisikku tersenyum dan Chanyeol kembali tertawa. Ia memiringkan
kepalanya dan aku melarikan jemariku ke wajahnya yang sedang tersenyum. “Telinga
ini bisa mendengar semua hal—termasuk ketakutanku—dan aku berterima
kasih atas semua yang kau lakukan untukku, Park Chanyeol. Kau telah
menyelamatkanku.” Jari-jariku menyentuh telinganya, menutup jalur
pendengarannya dan wajah Chanyeol berubah seketika.
“Ini hebat. Aku
merasa.. tenang.” Ujarnya berbinar. Chanyeol kemudian menangkupkan kedua
tangannya ke pipiku dan menyapukan kedua ibu jarinya perlahan-lahan ke mataku,
membuatnya menutup tanpa ragu. Dan aku bisa mengerti apa yang ia katakan
barusan. Seakan-akan ada yang menghentikan semua
rasa takutku dan menggantikannya dengan segumpal dosis besar ketenangan tanpa
akhir. Aku mengerjap haru, merasa bersyukur sebab untuk pertama kalinya aku merasa
menjadi normal. Semuanya begitu tak
tertahankan hingga aku tak lagi bisa mengendalikan airmataku.
“Kenapa kau menangis?”
bisik Chanyeol lirih, wajahnya kini berada sangat dekat denganku.
“Aku bahagia,
Chanyeol-ssi. Ternyata aku tidak sendirian di dunia ini.”
Chanyeol mendengus
geli dan matanya yang bulat itu menyipit lucu. “Kau tidak sendirian, Jung Sae
Rin. Kau punya aku.” Ujarnya menenangkan. “Jadi.. apa itu artinya kau setuju
untuk tinggal bersamaku?”
Aku memandangnya
sejenak dan menyentuh telinganya lagi. “Tidakkah kau mendengarnya dengan
kekuatanmu?”
“Aku tidak terlalu
yakin, Sae Rin. Kau membuat indraku tak bekerja maksimal.” Guraunya tersenyum. “Aku
ingin mendengarnya langsung darimu. Kumohon.”
“Aku tidak akan kemanapun tanpamu, Park Chanyeol.” Jawabku yakin.
***
Sudah tiga bulan
berlalu dan hidupku nyaris damai di apartemen
ini. Keberadaan Chanyeol seperti malaikat buatku; menenangkan dan membuat
nyaman. Aku yakin aku bisa hidup normal dengan adanya Chanyeol di sisiku. Tapi
aku harus menekankan kata nyaris. Sebab
ketika Chanyeol terpisah dariku, detik itu juga penglihatanku berangsur
memburuk. Pada hari pertama Chanyeol bekerja dan meninggalkanku sendirian di apartemennya,
ia langsung pulang dan harus menenangkanku seharian karena aku kelewat syok.
Ada seorang wanita paruh baya yang di
pernah di mutilasi di salah satu lantai gedung itu. Tubuhnya tercincang—terpotong-potong menjadi bagian kecil
mengerikan dan membuatku muntah tiga kali. Aku tidak tahu arwah itu dibunuh di
mana sebab ketika aku ingin mandi, kulihat bathub Chanyeol penuh darah. Bukan
darah kental yang menyerangku waktu itu, tetapi seperti darah yang bercampur
dengan air keran. Mulanya aku mencoba mengeringkannya—mencabut penyumbat lubang bathub—tetapi begitu aku menyalakan keran, airnya
masih terus mengeluarkan cairan merah. Dan saat aku ingin menghubungi petugas
apartemen, aku melihat di dasar bathub itu ada beberapa potongan daging. Jeritanku
berubah panik ketika tanganku menyentuh potongan jari. Dan satu persatu
bagian tubuh yang lain muncul dari dasar bathub. Hingga ketika kulihat isi
perut arwah itu berantakan dan wajahnya yang rusak, aku menjerit seperti orang
kerasukan dan samar-samar kudengar Chanyeol memanggilku. Tak kurang dari lima
menit kemudian, ia sudah tiba di sampingku.
Itu baru awalnya. Hari kedua, ketika aku
juga akan berangkat kerja, aku mendengar bunyi berdenting yang aneh dan terlambat
menyadari bahwa ada sebuah arwah yang mempermainkanku.
Kemanapun aku pergi, arwah itu akan mengikutiku dan membuat seluruh kaca seolah-olah meledak. Tentu saja aku
menjerit ketika melihat ratusan keping kaca menikamku—walaupun itu hanya ilusi—dan akhirnya Chanyeol bersikeras akan
mengantar dan menjeputku, sebab perkataannya malam itu terbukti benar. Indra
kami tidak bekerja dengan baik jika kami saling berdekatan.
Chanyeol bekerja di sebuah perusahaan musik
dan menjadi composer baru serta pengarah musik selama dua tahun belakangan. Kesukaannya
pada musik terlihat jelas dengan sebuah ruangan di Apartemennya yang terisi
penuh oleh ribuan kaset dan mp3 player
yang ia bawa kemanapun. Chanyeol bilang ia sengaja mendengarkan musik agar bisa
‘melarikan diri’ dari suara-suara mengganggu di sekelilingnya. Tapi meski
memiliki kekuatan aneh yang bisa mendengar arwah, Park Chanyeol ternyata
berkepribadian hangat dan sering tersenyum. Ia sangat menyenangkan, selalu membuat
situasi menjadi semarak dan sama sekali tidak kelihatan bahwa ia sedang
menyimpan sebuah rahasia besar. Hari pertama setelah aku memindahkan seluruh
barang-barangku ke apartemennya, Chanyeol tak berhenti berkomentar. Ia mengatakan
segalanya. Tentang dirinya, ibunya,
kesukaannya dan bahkan hal-hal kecil yang membuatku kadang tersenyum. Kehadirannya
benar-benar suatu berkah buatku. Sehingga kadang aku berpikir kalau Chanyeol
ternyata hanya ilusi. Tapi ia menepis anggapanku dengan berulang kali
menyentuhku, wajahku, tanganku dan kadang mengelus rambutku. Sepertinya ia juga
takut kalau pertemuan kami tidak nyata.
Mustahil tak jatuh hati padanya. Bahkan
pada malam ketika ia menyelamatkanku, aku sudah tak bisa berhenti terpesona
olehnya. Chanyeol sempurna. Ia matahari pagi yang menghangatkan dan senyumnya
tiada dua di dunia ini. Tapi aku tak mengerti apa yang membuat Chanyeol
berpikiran sama terhadapku. Aku tidak seperti dirinya, yang lebih sering
menutup mulut rapat-rapat dan memendam semua ketakutanku. Bila kami berdiri bersama,
aku yakin tubuhku bakal kelihatan seperti bayangan Chanyeol, karena ia terlalu
tampan, terlalu baik hati dan terlalu menyenangkan.
“Ahjussi itu bilang kau cantik.” Kata
Chanyeol sambil menggigit sendok eskrimnya. Aku berbalik dan melihat ke arah
yang ditunjukkan Chanyeol. Arwah laki-laki tua yang duduk di atas meja kafe
menatap ke arah kami. Ahjussi itu akan kelihatan oke kalau saja tidak ada pisau
besar yang nyangkut di dada kirinya.
Aku memutar bola mataku terang-terangan. “Satu
lagi pendapat dari arwah. Bagus sekali, Chanyeol-ah.” Ujarku sarkastis.
“Kau sudah setuju
untuk memanggilku Oppa.” Keluhnya dibuat-buat. Bibirnya mencebik lucu dan
ekspresinya terlihat kecewa. Manis sekali.
“Baiklah, Chanyeol Oppa.”
Desahku. Chanyeol tersenyum seperti anak kecil dan aku harus menahan diri untuk
nyengir. Umur kami sebenarnya sama, tapi Chanyeol bersikeras menyuruhku memanggilnya
Oppa.
“Ah, sepertinya ada
kecelakaan lagi di penyebrangan tiga blok dari sini.” Gumam Chanyeol dan aku
bergidik.
“Laki-laki atau
perempuan?”
Chanyeol memandangiku
sejenak dan melihat ke arah pintu masuk kafe, pada sebuah arwah pria muda yang melayang
di belakang seorang gadis cantik berambut pirang. Arwah itu menatap kami. “Dia
bilang seorang gadis kecil. Usia lima tahun dan wajah mungilnya terlindas mobil
ambulans.”
Kusorong gelas es
krimku yang tinggal setengah ke pinggir meja. Selera makanku tidak mungkin bisa
membaik setelah membayangkan seperti apa rupa bocah itu. “Ulah siapa?” tanyaku
lagi.
Ada jeda panjang dan Chanyeol
menjawabku dengan sedikit enggan. “Arwah pemangsa.” Gumamnya lirih.
Bocah itu masih lima
tahun! Ia mungkin baru masuk taman kanak-kanak dan arwah-arwah itu membunuhnya? Kenapa arwah sialan itu begitu kejam? Aku tahu
emosiku begitu kuat karena Chanyeol tiba-tiba menggenggam tanganku. Ia
menatapku sedih dan aku menggigit bibir agar airmata ini tak langsung mengalir
dan membuatku tampak bodoh.
“Aku ingin pulang.” Ujarku
dan Chanyeol mengangguk. Kami berdiri dan baru akan menuju pintu ketika arwah
pria muda yang baru masuk tadi berdiri di sampingku. Kesalahanku adalah
refleksku yang terlalu cepat. Aku langsung berbalik begitu tubuhku mendadak
lumpuh dan detik berikutnya jeritan lolos dari bibirku.
Arwah itu ternyata memiliki
tengkorak kepala yang hancur pada bagian
kanannya. Sehingga ia hanya memiliki sebuah mata, separuh hidung dan bibir,
serta sebelah telinga yang masih utuh pada bagian kiri dan menjadikan
penampilannya seperti mimpi buruk. Aku
nyaris pingsan, ketika kurasakan telapak tangan Chanyeol yang besar menutup indra
penglihatanku dan menggeram di telingaku.
“Jangan. Dia tidak seperti itu. Pergi.” Aku tahu kata-kata itu bukan
untukku melainkan pada arwah yang berdiri di sampingku. Tetapi begitu Chanyeol
menutup kedua mataku, perasaan aneh langsung membanjiri seluruh sendi, mengalir
hangat dan membuatku tenang. Tubuhku
berhenti menggigil dan kepalaku rasanya ringan sekali. Seakan aku sedang
menghisap morfin. Sentuhan Chanyeol membuatku aman dan kecanduan.
Kami berjalan keluar
dari kafe dengan kedua tangan Chanyeol terus menutup mataku dari belakang. Orang-orang
pasti mengira Chanyeol sedang memberi kejutan padaku, meski kenyataannya kami tengah
melarikan diri dari arwah.
“Dia bilang apa?” tanyaku ketika kami berhenti
di pinggir trotoar. Chanyeol belum menjawab dan ia melambaikan tangan untuk
menyetop taksi tapi kucegah. Ada Perempuan dengan rambut panjang dan kuku-kuku
semerah darah berdiri tepat di atas atap taksi itu.
“Apa yang di katakan
arwah tadi?” ulangku merujuk pada arwah pria di kafe.
Chanyeol menghela
napas dan menggenggam tanganku lembut. Aku baru sadar tanganku masih gemetaran.
Dan sentuhan Chanyeol menenangkanku dengan sangat baik. “Dia bilang dia ingin kau
membantunya untuk memenuhi keinginan sintingnya. Mungkin dia pikir kau itu
semacam messenger—penyampai pesan—jadi kubilang padanya untuk segera
minggat.”
“Memangnya apa yang dia inginkan?”
“Kau lihat perempuan berambut pirang tadi,
kan? Itu tunangannya dulu. Dia ingin kau membantunya memberikan sesuatu. Entahlah,
aku juga tidak ingin tahu.” Jawab Chanyeol dan kemudian ia bergerak gelisah. “Kau
tadi menjerit nyaring sekali. Apa dia sangat mengerikan?”
“Buruk sekali.. Dia—wajahnya—ah, aku tak ingin mengingatnya.” Erangku takut dan tubuhku
menggigil secara otomatis. Tiba-tiba saja Chanyeol menarikku dalam pelukannya. Aku
bisa merasakan dadanya yang bidang, tangannya yang merangkul pinggangku, dan nafasnya
di leherku ketika dia berkata dengan penuh penyesalan.
“Maaf.” Bisiknya lirih. “Aku tidak
merasakan aura jahat dari arwah itu, jadi kupikir penampilannya tidak begitu
mengerikan. Maafkan aku, Sae Rin-ah. Seharusnya aku mengerti kenapa kau
menjerti seperti itu tadi.”
Seakan ada yang melepaskan jutaan morfin
ke seluruh nadiku, membuatku nyaris pusing karena perasaan yang kurasa ini
begitu berlebihan. Meledak dalam euforia
aneh dan bergelombang memenuhi setiap sel-sel di tubuhku. Dan aku tak bisa
menjelaskan kenapa jantungku rasanya seperti sedang marathon keliling kota
Seoul, berdentam-dentam penuh semangat, menggelepar kepayahan, dan tak
beraturan, ketika tangan Chanyeol perlahan naik ke punggungku. Aku terlambat
menyadarinya, sebab aku terlalu menikmati efek pelukan Chanyeol pada tubuh dan indraku,
ketika kulihat ia memajukan kepalanya.
Gerakan Chanyeol begitu perlahan, tetapi
bisa kurasakan napasnya yang menderu pelan. Kedua matanya masih menatapku dalam,
dan aku tak bisa bergerak—atau
berpikir. Aku tahu ada begitu banyak orang yang mengamati kami—dan mungkin juga para arwah—tapi aku tak peduli. Ketika bibir Chanyeol
menekan bibirku dengan lembut, kurasakan berjuta-juta galaksi pecah di
kepalaku. Abunya berkilauan, menjadikan pikiranku terang benderang, membuatku
nyaris melayang bahagia. Bibir Chanyeol bergerak penuh kehangatan. Menunggu
reaksi yang akan kuberikan tapi dia harus kecewa karena aku hanya terdiam. Kemudian
kusadari ciuman itu jadi lebih berhati-hati dan perlahan-lahan Chanyeol menarik
dirinya.
Tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan
selain matanya yang memandangiku terang-terangan. Seakan wajahku yang merah
padam itu begitu menarik untuk di amati. “Kenapa?” tanyaku dengan suara serak. Aku
menatap deretan toko-toko di belakang bahunya dan mengacuhkan tatapan orang-orang
di jalan. Tapi sama sekali tak ada arwah. Ciuman Chanyeol sepertinya
membutakanku.
“Kau tak suka aku menciummu?” Chanyeol
balas bertanya dan aku terkejut. Sepertinya aku tahu apa yang ingin ia katakan.
“Bukan begitu,” kilahku. “Aku hanya… aku
tak pernah berciuman, Chanyeol-a—Chanyeol Oppa. Aku bahkan tidak pernah memiliki pacar
sebelumnya.” Jawabku jujur. Bagaimana aku bisa memiliki pacar kalau yang aku
malah menjerit-jerit ketakutan ketika bertemu dengan para pria? Karena kebanyakan
arwah-arwah yang mengikuti kaum lelaki jauh lebih banyak di banding wanita.
Kulirik Chanyeol dan menemukan wajahnya yang
berseri-seri. Ia memang sedang bersaha menyembunyikan senyum kemenangannya, tapi
aku tak perlu bantuan siapapun untuk mengartikan tatapannya yang penuh arti
itu. “Benarkah?” tanyanya dan aku mengangguk malu. Chanyeol berdeham satu kali lalu
meraih tanganku. Wajahnya masih kelihatan senang. “Kalau begitu aku yang
pertama.” Bisiknya. Dan aku masih bisa mendengarnya bergumam sendiri.
“Bagus
sekali.”
***
Malam hari di apartemen Chanyeol tidak
pernah membuatku ketakutan. Kami melakukan banyak hal bersama. Saat aku
membuatkan makan malam, Chanyeol akan membantuku menyiapkannya dan ketika ia
mulai bekerja—menggubah
nada-nada lewat piano, gitar atau drum—aku akan meminjam mp3
player miliknya sambil membaca novel. Aku suka memperhatikannya diam-diam karena
Chanyeol berkata ia tidak bisa berkonsentrasi jika aku melihatnya terus-terusan.
Hal yang terpenting adalah kami selalu melakukan semua hal bersama-sama. Jika aku
atau Chanyeol merasakan sesuatu yang tak kami inginkan, kami akan segera
bersentuhan. Biasanya Chanyeol akan langsung memelukku, tetapi terkadang aku
hanya menggigil dan membelalak ketakutan dan ia yang bisa merasakan emosiku
berubah, akan langsung menutup mataku.
Waktu tidur adalah saat yang paling
canggung. Pada malam pertama aku menginap di sini, aku melihat banyak hal
karena sepertinya arwah-arwah di seluruh gedung mampir ke apartemen Chanyeol. Setelah
hampir gila karena aku menjerit beberapa kali, Chanyeol akhirnya mengusulkan
sebuah pengaturan baru. Kami bisa tidur bersama di tempat tidur yang sama dan
tetap saling berdekatan agar indra kami tidak bekerja. Ia bersumpah tidak akan
melakukan apapun padaku dan masih menjaga ucapannya hingga sekarang. Walaupun sejak
ia menciumku di kafe beberapa waktu lalu, aku masih saja tidak bisa berhenti
berdebar ketika tubuhnya berbaring di sebelahku.
Tapi Chanyeol juga memiliki kebiasaan
unik. Ia mendengkur dan sering berpindah-pindah ketika tidur. Aku kebingungan saat
pertama kali tidur di sebelahnya ketika tahu-tahu ia bangkit dan berjalan menuju
pintu. Kupikir ia ingin ke dapur atau ke kamar mandi. Tapi karena tidak kunjung
kembali, aku mencarinya keluar dan menemukan tubuhnya terbaring di atas sofa di
depan tivi. Kemudian di malam-malam berikutnya, ketika aku merasakan tubuh
Chanyeol hendak bangkit, aku segera menarik lengannya. Terkadang ia tersadar
dan meminta maaf lalu kembali berbaring di sampingku.
Meski aku biasanya benci dengan suara dengkuran,
tapi entah kenapa aku malah merasa nyaman dengan dengkuran Chanyeol. Memang
kadang aku terbangun karena ia terlalu berisik, namun wajah Chanyeol yang
sedang tidur selalu membuatku tersenyum. Wajahnya begitu lucu dan bibirnya yang
penuh itu membuka sedikit. Tapi rupanya Chanyeol juga berpendapat sama terhadap
wajahku yang terlelap.
“Wajahmu lucu, Sae Rin-ah. Seperti gadis
bodoh.” Ujarnya lalu terkekeh geli. Chanyeol langsung menyadari kalau aku susah
dibangunkan sejak pagi pertama ia mencoba membangunkanku. Akhirnya di banyak
kesempatan, Chanyeol hanya berbaring dan memperhatikan wajahku yang bodoh
sampai aku terbangun dengan sendirinya kemudian ia akan tersenyum lebar sembari
mengucapkan, “good morning.”
“Terima kasih. Akan kuingat itu.”
komentarku sarkastis lalu menaikkan selimut hingga ke dagu, dab beralih memunggungi
Chanyeol.
Chanyeol tertawa dan aku meliriknya sebal.
“Kau benar, Yen-bi.” Katanya pada anjing tak berkepala yang berlari-lari di
sudut pintu. Chanyeol tahu aku menunggunya memberitahuku dan ia langsung
berbisik keras. “Kata Yen-bi, kau juga lucu saat marah.”
Aku berbalik ke arah Chanyeol dan melihat
ia sedang berbaring menghadapku, dengan sebelah tangan menopang kepalanya. Senyumnya
masih di sana dan aku merutuki hatiku yang berdebar kelewat kencang. Belakangan
ini emosiku mudah sekali dibaca dan aku tahu dugaanku benar ketika Chanyeol
tersenyum semakin lebar. “Kau ingin aku menciummu, tidak?” tanyanya langsung. Pipiku
memerah dan mataku terbelalak kaget. Aku membuang pandanganku pada kaus
hitamnya yang bertuliskan Your Lips are
my Savior dan mencelos. Kini aku tak mungkin lagi bisa mengalihkan pikiranku.
“Ya, Jung Sae Rin. Kau benar-benar tidak
mau? Bibirku ini sangat kissable,
tahu. Kau akan menyesal kalau menolaknya.” Ujarnya pongah. Aku mendengus dan
menatapnya dengan pandangan narsis-sekali-kau
lalu mendesis, “Dasar telinga peri.”
Chanyeol tertawa tetapi ia segera berhenti
lalu menatapku dalam diam. “Dan bibirmu juga..kissable..” imbuhnya di tengah kebisuan kami.
Kali ini aku jauh lebih siap. Maksudku,
aku sudah mengetahuinya ketika tubuh Chanyeol mendekat. Ada api yang memercik
di matanya dan kurasakan api itu membakarku lebih dalam saat bibir Chanyeol menutup
jarak kami. Tangannya menyusup di rambutku dan napasnya menggeram ketika aku berusaha membalas ciumannya. Sensasi
aneh merayap masuk ke dalam hatiku dan kepalaku pusing bukan main. Indraku
benar-benar telah tertutup seluruhnya, tidak hanya penglihatan tetapi juga
indra pendengaran. Aku hanya bisa menangkap sentuhan Chanyeol yang membakarku
hidup-hidup oleh api tak kasat mata dan menghirup napasnya yang mendesah keras.
Semuanya terasa bagai kabut cahaya yang manis. Membingungkan, menyilaukan
tetapi menakjubkan. Dan sadarlah aku betapa aku sangat mencintai pria ini.
Kami berciuman, terus berciuman hingga napas
kami tak lagi bisa kami tahan. Chanyeol menarik kepalanya dan menatapku
terengah-engah. Aku tak tahu sejak kapan ia sudah berada di atas tubuhku tetapi
wajahnya tampak menyesal. “Maaf, sepertinya aku sudah melanggar janjiku.” Ujarnya
muram. Aku tak mengerti apa yang ia katakan dan ketika aku ingin bertanya, Chanyeol
telah bangkit, berdiri canggung di pinggir tempat tidur. “Kau tidurlah, Sae
Rin-ah. Aku.. akan pergi mandi.” Gumamnya kikuk lalu melangkah menuju kamar
mandi.
Mana mungkin aku bisa langsung tertidur setelah
ciuman-ciuman itu. Selama beberapa bulan ini Chanyeol selalu ada di sebelahku
saat aku ingin tidur dan sekarang, dengan dada berdebar keras, menyuruh otakku
untuk segera bermimpi sama saja mustahil. Atau mungkin ini semua memang mimpi?
Malam itu sepertinya Chanyeol tak kembali ke
sampingku karena tidurku gelisah. Pagi harinya aku juga tak menemukan Chanyeol
menggodaku saat aku terbangun. Ketika aku berjalan keluar setelah mandi dan merapikan
tempat tidur, kulihat Chanyeol sedang menonton televisi. Kakinya terjulur ke
depan, tubuhnya terlilit selimut dan ia memeluk bantal. Aku menghampiri Chanyeol
dan duduk di sebelahnya. Kurasakan kedamaian ketika lengan kami bersentuhan. Pandanganku
ikut mengarah pada seorang pria yang sedang membujuk kami untuk membeli semacam
perlengkapan olahraga baru, tapi sama sekali tak bisa menangkap apapun yang di
katakannya.
“Aku ingin pergi ke pantai.” Gumam
Chanyeol tanpa memandangku.
Aku membisu untuk sejenak sebelum menanggapinya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Sudah lama sekali sejak aku pergi ke
pantai. Aku selalu ingin ke sana tapi aku benci mendengar suara-suara arwah
yang bunuh diri di sekitar pantai.”
Chanyeol benar. Arwah-arwah yang
berkeliaran di pantai sama banyaknya dengan di jalan raya. Kebanyakan bunuh
diri dan tenggelam di laut. Tapi juga ada arwah yang tampaknya ingin menetap di
pantai meskipun mereka tidak mati di situ. Dan aku juga mengerti kenapa
Chanyeol ingin pergi sekarang. Jika
kami tetap berdekatan, kemampuan kami akan berkurang dan kami bisa menikmati
suasana pantai selama yang kami mau.
“Kedengarannya bagus.” Ujarku. “Ayo pergi.”
Kulihat sudut bibir Chanyeol tertarik ke
atas. Ia memandangku lambat-lambat dengan cengirannya—membuatku ikut tersenyum. Mata Chanyeol membulat
senang dan aku masih tetap tersenyum ketika Chanyeol menekan bibirku dengan
bibirnya beberapa detik kemudian.
“Terima kasih.” Ujar suara di kepalaku—suara milik Chanyeol, tentu saja. Bibirnya masih
menciumiku lembut.
“Apapun untukmu.” Balasku dalam hati.
Hidupku indah. Sangat indah.
Kalau saja masalah tidak menghampiriku.
***
Aku tahu belakangan ada yang salah. Bukan,
lebih tepatnya janggal. Hubungan telepati antara aku dan Chanyeol memang
semakin kuat. Aku bisa mendengar semua
hal yang dikatakannya dan kami menggunakan telepati ketika terpisah—tapi bukan itu yang membuatku resah. Karena
kami nyaris tak terpisahkan, penglihatanku tak lagi menjadi masalah belakangan
ini. Malah sebenarnya aku tak bisa merasakan arwah apapun yang mengganggu. Begitu
juga dengan Chanyeol. Ia mengatakan padaku kalau keberadaanku di sampingnya
semakin membuatnya merasakan hidup normal. Tapi aku tak sepenuhnya merasa
seperti itu. Aku malah menjadi sedikit resah. Seakan kami telah melewatkan
sesuatu—lengah
karena tak lagi bisa merasakan apapun.
Tapi tawaran untuk menjadi manusia normal bersama Chanyeol terlalu memukau. Aku
tak bisa berhenti membayangkan betapa kehidupanku bakal sempurna seandainya aku
bisa melewatkan hari-hariku dengan Chanyeol selamanya. Keinginan-keinginan itu
semakin lama semakin mengalihkan perhatianku, hingga aku tak lagi bisa
merasakan ada sesuatu yang sedang
terjadi di belakangku.
Pikiranku menutup diri dari semua
kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dan aku memilih untuk mengabaikan
para arwah.
***
“Bagaimana kalau kita mengunjungi
orangtuamu?”
Chanyeol menarik tubuhku tepat ketika aku
hendak menyenggol seseorang. Jalanan sangat padat dan kami harus berhimpitan dengan
orang-orang yang berbaris menunggu lampu merah. “Kapan?” tanyaku ketika tangan Chanyeol
berusaha memperbaiki lilitan syal yang menjuntai di leherku.
“Segera.” Jawabnya tersenyum. Aku melihat beberapa
orang wanita melirik padanya dan tak bisa menyalahkan mereka, sebab Chanyeol
sangat tampan.
“Para
wanita memandangimu.” Ujarku dalam hati.
“Aku
tampan, kan?” Chanyeol menaikkan alisnya dan bibirnya terkulum, meminta
persetujuan. Aku tak bisa berpura-pura mendengus karena wajahnya benar-benar
lucu dengan kedua matanya yang begitu besar menatapku.
Tapi yang terjadi berikutnya begitu cepat
dan di luar dugaan. Jari-jari Chanyel masih memegang ujung syalku dan senyumnya
masih terukir indah, ketika tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang, ke tengah
jalan raya yang dipadati berbagai kendaraan. Suaraku tercekat di tenggorokan. Tanganku
tak sempat menggapainya saat seorang pengemudi motor melintas dengan kecepatan
tinggi dan langsung menghantam Chanyeol yang masih belum menyadari apapun.
Teriakanku melengking ngeri saat
menyaksikan tubuh Chanyeol terlempar hingga lima meter jauhnya dan langsung
tergeletak tak sadarkan diri. Tubuhku menggigil ketika melihat darahnya
membanjiri aspal dengan sangat cepat. Aku berusaha mengatakan sesuatu tetapi suaraku
sepertinya tak mampu mengalahkan jeritanku. Aku terus menjerit panik dan berlari
mendekati tubuhnya yang terbaring tidak sadarkan diri. Orang-orang ikut
berkerumun di sekitarku tetapi tak satupun suara bisa kudengar.
Tetapi di tengah keramaian dan hiruk pikuk
yang begitu menyesakkan, aku mendengar seseorang memanggilku. Tidak, suaranya
berasal dari kepalaku.
“…Rin.”
Tubuhku membeku dan mendadak mataku
menangkap sebuah garis perak tipis yang berpendar tak jauh dari tubuh Chanyeol.
Lalu aku mulai bisa melihatnya dengan jelas. Meski aku tak bisa mendengar lagi
apa yang ia berusaha katakan.
Ada sekitar dua puluh arwah pemangsa yang
berputar-putar di sebelah arwah Chanyeol. Tangan-tangan dengan cakar meruncing menarik
arwahnya menjauh dariku. Aku bangkit dan segera berlari dan memusatkan
pandanganku pada arwah Chanyeol, sama sekali tak peduli pada orang-orang yang
kutabrak. Karena aku harus segera mendapatkan arwahnya kembali. Chanyeol dalam
masalah kalau arwah pemangsa berhasil menjauhkan ia dari tubuhnya jika tim
medis sedang mencoba menghidupkannya kembali. Sebuah tubuh tanpa arwah sama
sekali tak ada artinya.
Lalu mendadak aku tersadar. Betapa
kelengahanku belakangan ini menjadi begitu fatal. Aku tak pernah menduga kalau
arwah pemangsa itu masih terus menginginkan kami. Aku pasti bisa mengetahuinya
lebih cepat seandainya aku tak terlalu terbuai dengan kehidupan normal yang
selalu kuidam-idamkan. Airmataku merebak dan aku berlari semakin kencang.
Sebuah arwah dengan wajah penuh jahitan dan
mata hitam jahat menghampiriku. Seringaiannya begitu mengerikan—seakan bibirnya melebar hingga telinga. Rambut
arwah itu terjulur panjang dan ia berdiri menghalangiku. Tubuhku langsung
lumpuh tetapi aku tidak memperlambat gerakanku apalagi berhenti. Arwah Chanyeol
yang melayang semakin jauh membuatku bertambah panik. Bibirnya bergerak-gerak
mengucapkan sesuatu tapi aku tak bisa mendengar apapun.
“Chanyeol-ah! Kumohon jangan pergi!!”
jeritku putus asa. Aku menjulurkan tanganku ke udara dan berusaha menggapainya.
Tetapi kulihat arwah pemangsa itu terus menarik Chanyeol menjauh.
“Chanyeol—Chanyeol Oppa!” teriakku lagi. Aku menjejakkan kakiku ke
atas tangga penyebrangan dan kusadari aku memiliki kesempatan untuk
menjangkaunya seandainya aku bisa lebih cepat.
Chanyeol masih mengatakan sesuatu yang tak
dapat kudengar tetapi aku terlalu memusatkan perhatian pada tangannya yang
terjulur sekitar dua meter di atas ku. Aku melompat dan tersenyum lega ketika aku
berhasil menggenggam tangannya yang berpendar. Tapi ekspresi Chanyeol yang
menatapku ngeri menyadarkanku. Dengan puluhan arwah pemangsa yang terus
berusaha menjauhkanku dari Chanyeol, sekali lagi aku terperangkap dalam jebakan
mereka. Begitu tanganku berhasil menggenggam tangan Chanyeol, arwah-arwah itu
langsung menariknya lebih jauh dan arwah wanita berwajah penuh bekas luka bakar
mendorongku ke bawah—jatuh dari
ketinggian enam meter dari atas jembatan penyebrangan.
Bukan Chanyeol yang mereka inginkan. Tapi Aku.
***
Tubuhku mengambang. Garis perak tipis
menguar dan berpendar di ujung siluet tubuhku. Rasanya ringan sekali. Seakan
mendapat seratus sayap tambahan yang membuatku bisa bergerak ke sana kemari secepat
angin. Aku mendongak dan mengira sekarang sudah malam ketika melihat dunia benar-benar
gelap. Hanya ada beberapa petak cahaya suram yang menggantung di langit. Tapi
keadaan di bawah sungguh membingungkan. Mataku nyaris terpejam ketika melihat seberkas
sinar yang teramat menyilaukan berada tepat di bawahku. Sinar itu seakan
meledak membentuk sebuah matahari kecil dan godaan untuk mendekati sinar itu tiba-tiba
begitu besar.
Oh.
Aku memandangi Park Chanyeol yang terus menggenggam
tanganku di tengah kerumunan orang yang membungkuk menutupi tubuh asliku dan
Chanyeol yang berdampingan. Sepertinya semua orang berusaha membujuknya untuk
melepaskanku karena ia sendiri terlihat terluka parah dengan darah yang tak
berhenti menetes dari kepalanya. Aku lalu memindahkan tatapanku pada seonggok
tubuh yang tergeletak tak berdaya. Syalku yang berwarna biru langit telah basah
oleh darah. Dan mendadak aku paham kenapa pijaran cahaya menyilaukan berpendar dari
tubuhku dan Chanyeol. Itu karena pria itu tak berhenti memegangku. Dengan kedua
tubuh kami saling berdekatan, aku yakin kekuatan kami membentuk ledakan cahaya
yang mengagumkan.
Dan aku juga menyadari sesuatu. Chanyeol
mungkin bisa mendengarku melalui telepati jika
aku berada dalam tubuhku. Tapi dengan tubuh dan arwahku yang saling terpisah, itu
berarti Chanyeol tak bisa mendengarku selama kami masih terus bersentuhan.
Celaka.
“Tubuhnya… tubuhnya….”
Aku mengedarkan ke sekelilingku dengan
panik dan mendapati begitu banyak arwah yang melayang di sekitarku. Semua arwah-arwah
itu memandang ke bawah dengan ekspresi senang dan aku berjengit. Mereka
menginginkan tubuhku. Itulah sebabnya
mereka menjebakku dan malah tak mempedulikan arwahku sekarang. Tak ada satupun
arwah yang mencoba mendekatiku, mereka hanya berputar-putar penuh semangat mengitari
cahaya yang menguar dari tubuhku dan Chanyeol.
“Tak bisa masuk.. tubuhnya terhalang..” ucap arwah-arwah itu lagi. Mereka mulai
bergerak-gerak gelisah. Ketika petugas medis memindahkanku dan Chanyeol ke
dalam mobil ambulans, aku segera mengikuti mobil itu. Terdengar deru angin yang
memekakkan telinga dari belakangku dan begitu aku berbalik, ratusan arwah
pemangsa mengikuti laju mobil yang menembus
keramaian jalan raya.
Tidak. Mereka tak boleh mendapatkan
tubuhku.
Aku berlari—lebih tepatnya mencoba menggerakkan tubuhku yang
seringan bulu—dan berusaha
mendekati Chanyeol. Tapi percuma. Cahaya yang membanjiri tubuhnya membuatku tak
bisa mendekatinya lebih dari radius tiga meter. Cahaya itu ternyata tak hanya menarikku,
tetapi juga menghalangiku untuk mendekati tubuhku sendiri.
“Park Chanyeol!” teriakku dan aku melihat
Chanyeol bergeming. Ia masih menatap tubuhku yang kosong dan tak melakukan hal
lain selain menggenggam tanganku.
“Ayolah, Park Chanyeol. Kumohon, lepaskan
tanganmu!” jeritku putus asa. Kumpulan arwah pemangsa kini berada di atas
kepalaku. Mereka berputar kemudian terlempar jauh ketika mencoba mendekati
tubuhku.
Mobil ambulans berhenti di sebuah Rumah Sakit
Swasta terkenal dan pihak medis membawaku menuju Unit Gawat Darurat. Para
perawat segera memasangkan berbagai selang ke seluruh tubuhku dan terjadi
keributan di ruang operasi darurat. Chanyeol berkeras untuk tetap berada di
sampingku dan menggenggam tubuhku. Ia menolak semua usulan, bujukan bahkan perintah
dari para dokter. Karena khawatir kondisiku yang terus menurun, akhirnya para
dokter menuruti keinginan Chanyeol setelah ia berjanji mengijinkan dokter untuk
mengobati lukanya yang cukup parah.
Tubuh kami dibaringkan di dua tempat tidur
terpisah meski tangan Chanyeol terus menggenggamku. Tak butuh waktu lama bagi
dokter untuk menjahit luka di tubuh Chanyeol, begitu juga denganku. Kenyataannya,
tak ada kerusakan parah di tubuhku dan dokter tak mengerti kenapa aku tak
kunjung sadar. Hingga akhirnya setelah dokter selesai mengobati luka-lukaku,
perawat memindahkanku—termasuk Chanyeol—ke sebuah kamar pasien kosong. Perawat itu
mengamati kami dengan terpana—melihat
bagaimana Chanyeol tak mau beranjak sedikitpun dari tubuhku—dan membuka jendela di sebelah tempat
tidur pasien.
“Park Chanyeol!” aku mulai berteriak lagi.
Tapi tak ada reaksi apapun darinya. “PARK CHANYEOL!” jeritku sia-sia. Batinku kini
mencelos saat mengetahui seluruh arwah di rumah sakit—yang jumlahnya mungkin mencapai ribuan—berdatangan dan mengelilingi tubuhku dan
Chanyeol penasaran. Seumur hidupku aku tak pernah melihat begitu banyak arwah
yang berkumpul seperti ini. Tampaknya Chanyeol juga menyadari ada yang aneh
sebab ia tiba-tiba menjadi waspada.
“Sae Rin?” ujarnya pelan. Melirik cemas ke
seluruh ruangan. Angin yang berhembus melewati jendela sedikit lebih kencang
dan Chanyeol bergidik. Sekitar lima puluh arwah baru saja melayang masuk dari
jendela itu. Sebuah arwah gadis remaja berambut pendek, mata berlubang penuh
darah dan rahang bawah terlepas berdiri di samping Chanyeol tetapi segera terpental
jauh saat kilatan cahaya meledak bagai lidah api.
“Chanyeol, ini aku! Ini aku! Chanyeol
Oppa!!” teriakku gusar. Kulihat Chanyeol mulai berkonsentrasi penuh. Ia
memejamkan mata meski tangannya masih tetap memegangiku erat. “PARK CHANYEOL!”
“Rin? Itu kau? Aku tak bisa mendengarmu
dengan jelas. Rasanya suaramu begitu jauh dan hanya terdengar samar-samar.” Terang
Chanyeol cepat. “Apakah—apakah ada
begitu banyak arwah di sekitar sini?” tanyanya gelisah.
“BENAR!” teriakku lagi. Aku juga berusaha
berkonsentrasi sambil berharap agar Chanyeol bisa mendengarku lebih jelas.
“Andwae.”
Ucap Chanyeol menggigit bibir. “Maafkan aku, Sae Rin-ah. Tapi aku tak bisa
melepaskan tanganku sekarang karena arwah-arwah itu akan merebut tubuhmu
seandainya aku tidak terus menggenggammu.”
Apa?
“Ketika aku mengalami kecelakaan tadi, aku
mendengar mereka sengaja memancingmu ke jembatan penyebrangan itu dan berusaha memperingatkanmu
untuk tidak mengejarku tapi sepertinya kau tidak dapat mendengarku. Begitu aku berhasil
masuk ke dalam tubuhku, aku langsung memegangmu sebelum para arwah menguasai
tubuhmu, Sae Rin-ah. Mereka sudah merencanakan ini sejak lama. Jadi kalau aku
melepaskan tanganku, kau tidak mungkin bisa kembali lagi.”
“Tapi itu berarti aku juga tidak bisa
memasuki tubuhku sendiri!” jeritku panik. Chanyeol mengangguk enggan dan ketakutan
mulai merayapiku.
“Apa yang harus kulakukan?” tanyanya
kebingungan.
Aku berpikir sejenak, sementara para arwah
telah berdesakan memenuhi ruangan. Selalu ada yang mencoba mendekat dan
langsung terlempar jauh oleh kilatan cahaya. “Oppa, bawa aku pada ayahku.” Ujarku
sambil berkonsentrasi penuh.
“Sekarang?” tanya Chanyeol bingung. “Tapi
kau—tubuhmu—”
“Tidak ada waktu lagi, Oppa. Sekarang
juga!” seruku cepat ketika arwah yang mencoba mendekati Chanyeol semakin
banyak.
Chanyeol tampaknya mengerti ketakutanku
karena detik itu juga ia mencabut lepas seluruh selang di tubuhku dan langsung menggendongku
keluar dari jendela. Beruntung sekali kamar ini terletak di lantai dasar dan
mengarah pada sebuah taman Rumah Sakit, jadi ia segera mencapai gerbang dalam
waktu lima menit berlari. Chanyeol menyetop taksi dan langsung menyebutkan stasiun
KTX terdekat. Di tengah perjalanan, supir itu terlihat gelisah dan
memperhatikan tubuhku yang tak sadarkan diri, menggunakan piyama Rumah Sakit
bersama seorang pria yang begitu terburu-buru.
Dan dua puluh menit kemudian, kami telah
berada dalam kompartemen KTX yang mempunyai rute Seoul-Busan. Chanyeol memesan
ruangan VIP yang hanya memiliki dua kursi empuk yang lebar dan ia mendudukkanku
di sebelah kanannya—persis di
dekat jendela. Tetapi petugas yang berpatroli ke gerbong-gerbong merasa curiga ketika
melihat wajahku yang pucat meski Chanyeol telah menutupi piyama kami dengan
sebuah mantel yang tadi ia beli.
“Dia baru saja tertidur, pak.” Dalih
Chanyeol saat petugas itu memanggilku. “Pacarku bilang dia takut naik Kereta,
jadi ia minum obat tidur untuk menghilangkan rasa mual.”
Petugas itu sedikit meragukan ucapan
Chanyeol, tetapi akhirnya ia menyerah dan meninggalkan kami. Perjalanan Seoul
ke Busan biasanya cukup lama jika menggunakan transportasi lain seperti Bus
atau kereta api biasa. Dengan KTX yang melaju sekitar 300km/jam, kami bisa
menghemat waktu. Hanya butuh tiga jam untuk tiba di Busan dengan selamat dan
nyaman. Jadi selama jam berikutnya, tak ada yang kulakukan selain berharap agar
rencanaku bisa berjalan.
Aku memang melayang dua puluh inci dari
lantai kompartemen VIP ini, terpisah dari tubuhku sendiri tetapi penglihatanku
semakin memburuk bersamaan dengan
kenyataan bahwa aku sedang menjadi arwah. Sepanjang perjalanan ke Busan, aku tak
bisa berhenti berjengit dan ketakutan saat melihat begitu banyak arwah-arwah di
rel kereta. Semuanya memiliki ciri yang hampir mirip; tubuh hancur karena
tergilas kereta, wajah yang berlubang-lubang dengan rahang menggantung, serta potongan
tangan-kaki atau kepala yang tak lagi menyatu dengan badan. Seluruh arwah-arwah
itu juga ikut penasaran pada cahaya yang berpendar dari tubuhku dan Chanyeol
dan setelahnya, kebanyakan arwah itu memutuskan untuk mengikuti kami.
Sesuai perhitungan, Kereta berhenti di stasiun
Busan setelah tiga jam perjalanan. Begitu kami turun, manusia yang tumpah ruah
di Stasiun itu sama banyaknya dengan para arwah yang berkeliaran. Chanyeol
memperhatikan ke sekeliling dengan resah karena ia menyadari bahwa ada ratusan
arwah yang tengah mengikutinya. Dan ketika akhirnya kami berhasil berada dalam
sebuah taksi, Chanyeol mendadak menjadi gugup. Ia pasti tak pernah merencanakan
akan muncul di depan pintu rumah orangtuaku sambil menggendong putri pemilik
rumah yang tak sadarkan diri.
Perasaan rindu langsung menyerbuku saat taksi
mengarah ke jalan sempit menuju rumahku. Keluargaku tinggal di sebuah rumah
kecil yang berhimpitan dengan ruko di kanan kirinya. Rumah itu peninggalan
kakek-nenekku—yang
dua-duanya telah meninggal—dan
biasanya kedua orangtuaku berada di rumah ketika sore hari. Chanyeol
membopongku keluar dari taksi dan berhenti di depan pagar reyot dengan lubang
di sana-sini. Ia menarik napas banyak-banyak, sebelum memanggil ayahku.
“Permisi, apakah Jung Nam Il ada?” ujarnya
keras. Kami menanti, dan ketika Chanyeol mengulang perkataannya, aku mendengar
suara yang begitu familier menggema di udara.
“Sae Rin?”
Aku mencari pemilik suara dan menemukan
arwah nenekku yang melayang di sekitar pohon kesemek menatapku hampa. Nenek
meninggal empat tahun lalu karena sakit dan arwahnya tak pernah pergi dari
rumah ini.
“Halmeoni,
kumohon bantu aku!” seruku panik sambil menunjuk tubuhku dalam pelukan
Chanyeol. Tepat pada saat itu, pintu gerbang terbuka dan aku mendengar ibuku
berteriak kaget.
“Omo!
Sae Rin! Uri Sae Rin! Yeobo! Palli wa! Uri
Sae Rin—” racau Ibu panik dan menarik Chanyeol
masuk ke dalam rumah. Ayahku nyaris terpeleset saat melihat tubuhku yang tak
sadarkan diri dan beliau membuka pintu rumah lebar-lebar.
“Ada apa? Apa yang terjadi pada Sae Rin?”
tanyanya panik. Ibuku meraih ponsel bututnya dan baru akan menekan nomor
panggilan darurat saat Chanyeol mencegahnya.
“Eommonim,
andwae!” cegah Chanyeol. Kedua orangtuaku terlihat bingung dan Chanyeol
menjelaskan semuanya dengan cepat. Arwah pemangsa yang tadinya ingin merebut
tubuhku, arwah-arwah di Rumah Sakit dan sepanjang jalan Seoul-Busan, serta
arwah yang baru yang mendatangi kami kini berkumpul semakin banyak. Ada beberapa
arwah yang dulu sering kulihat selama aku tinggal di sini. Anak kecil bertopi
merah, yang biasanya berdiri di sudut jalan, mendorong siapapun yang melintas di
depannya. Ibu-ibu tua dengan tali yang mencekik lehernya, juga kakekku. Kakek korban kecelakaan mobil dan tewas
di tempat. Jadi tubuhnya masih saja bersimbah darah saat ia mendekatiku.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan? Sae
Rin?” tanya Ayahku. Setelah Chanyeol menjelaskan segalanya, beliau mengedarkan
pandangannya ke seluruh ruangan, berusaha mencari tanda-tanda keberadaan
arwahku.
Aku berpaling pada arwah nenek dan
kakekku. Mereka mengangguk dan aku mulai memberitahu Chanyeol mengenai ideku. “Chanyeol
Oppa, kau harus melepaskan tanganku pada hitungan ketiga. Nenek dan Kakekku
sudah setuju untuk menghalangi arwah-arwah itu semampu mereka.” Tubuh Chanyeol
menegang saat mendengarkan ucapanku.
“Kau yakin? Sae Rin-ah, kau yakin?” tanya
Chanyeol ragu. Ia mengulang kata-kataku pada Ayah dan Ibu. Mereka terlihat sama
cemasnya dengan Chanyeol sekarang.
“Aku
yakin, Oppa.” Batinku kuat. Ia mengangguk dan mulai menghitung mundur. Ruangan
mendadak hening. Bahkan para arwah pemangsa berhenti berputar-putar di atasku. Aku
bersiap, berusaha mendekat sebisa mungkin dan menegang penuh antisipasi.
“Satu,” keheningan begitu mencekam.
“Dua,” Aku melirik pada arwah-arwah di
atasku. Perempuan berambut panjang, dengan lidahnya yang terjulur panjang, terlihat
menyeringai.
“—Tiga!” teriak Chanyeol dan detik yang sama, ia
melepaskan tangannya.
Deru angin yang memekakkan telinga
tiba-tiba muncul begitu saja di tengah ruangan. Arwah-arwah yang tadinya diam kini
melompat turun dengan amat cepat dan beberapa dari mereka terpantul oleh sisa-sisa
cahaya yang berpendar di tubuhku. Aku berusaha bergerak lebih cepat untuk bisa
masuk ke tubuhku lebih dulu tapi entah dari mana datangnya, ada begitu banyak arwah
yang sudah berada di depanku. Dan sesuatu yang mengerikan terjadi.
Kedua mata di tubuhku membuka secara mendadak. Jeritan panjang lolos dari bibirku. Bukan, itu bukan bibirku meski jeritannya
memang berasal dari tubuhku. Sebuah arwah berhasil menyelinap masuk mengalahkanku
dan mengambil alih. Tapi aku merasakan sakit yang tak bisa kujelaskan. Tubuhku
baik-baik saja, dan arwahku juga tak tersentuh apapun, namun rasanya bagai ada
yang mengoyak-ngoyak bagian dalam tubuhku dan aku mulai menjerit. Kali ini jeritan
arwahku.
“SAE RIN-AH!!!” teriak Chanyeol ketika
menyadari bahwa bukan arwahku yang berhasil masuk kembali. Matanya langsung
menangkap di mana posisi arwahku ketika ia mendengar aku menjerit. “Tidak, itu
bukan dia!” seru Chanyeol dan ia langsung memegang tanganku. Ledakan cahaya memukul
mundur seluruh arwah dalam radius tiga meter, membuatku bergidik ngeri saat
mengetahui bukan hanya satu, melainkan ada puluhan arwah yang berjejalan dalam
tubuhku. Mereka berebut tempat di dalam
tubuhku? Pantas saja rasanya sangat menyakitkan.
Chanyeol mulai menghitung mundur lagi dan kali
ini aku tak lagi berharap terlalu banyak. Arwah kakek dan nenekku sudah menghilang
karena mereka tak sanggup menahan hasrat arwah pemangsa yang begitu besar. Itu
berarti hanya tinggal aku seorang diri. Aku dan arwah-arwah pemangsa.
“—Tiga!!” raung Chanyeol dan aku melompat dengan
kekuatan penuh. Cahaya itu masih ada di sana, berpendar mengitari tubuhku dan
Chanyeol tetapi aku tak peduli. Saat seberkas cahaya mengenaiku, kurasakan gravitasi
menarikku ke belakang dengan amat kuat. Aku mengeraskan tekadku dan mencoba tak
mengalah pada tarikan itu. Itu tubuhku. Aku harus mendapatkannya kembali.
Tentu saja arwah pemangsa tidak
membiarkanku melakukannya. Mereka berputar menjadi pusaran angin dan berusaha mendorong
arwahku menjauh. Tetapi langkahku satu inci di depan mereka, jadi pada saat dua
tarikan aneh menarikku pada dua arah yang berbeda—ke belakang dan ke depan—aku melompat maju dan membiarkan arwahku terhisap
masuk pada tubuhku yang kosong. Sensasi aneh saat arwahku berusaha masuk
membuatku kebingungan. Rasanya tubuhku berputar-putar dan kepalaku pusing
sekali. Di mulai dari kaki, tangan dan terakhir kepalaku. Arwahku mulai
mengambil alih tubuhku tetapi pada saat kepalaku mulai beradaptasi, kurasakan kedua
tangan Chanyeol menggenggamku dan ledakan cahaya membuat penglihatanku—yang belum sepenuhnya mendapatkan kendali
pada tubuhku—di penuhi
cahaya putih yang membutakan.
Dan selanjutnya hanya ada kegelapan.
***
Kabut itu sama sekali tak terasa dingin di
kulitku. Tapi tetap saja aku bergidik ketika tubuhku seakan tenggelam dalam
lautan kabut tak berujung. Kuamati sekelilingku dan tak ada siapapun. Keheningan
tampaknya menjadi satu-satunya hal yang paling mendominasi di sini—selain tentu saja, kabut itu sendiri. Sejauh
yang bisa kutangkap oleh penglihatanku, aku seperti berada di tengah padang
rumput. Langit berwarna putih, dengan rumput-rumput kehijauan yang indah. Keheningan-lah
yang membuatku nyaman. Aku suka berada di sini, rasanya seluruh bebanku, ketakutanku
serta kecemasan yang selalu kualami telah meninggalkanku untuk selamanya. Hanya
ada ketenangan yang damai.
Aku tak tahu berapa lama aku berbaring di
sini dan menikmati kesunyian yang menenangkan. Tapi langit sama sekali tak
berubah menjadi keemasan. Tak ada yang terjadi selain rumput-rumput di sekelilingku
bergerak lambat tertiup angin padang rumput yang sejuk. Tapi ada sebuah suara,
begitu jauh dan sayup-sayup. Suara itu mengusik perhatianku dan semakin lama
semakin besar.
“Jung
Sae Rin..” panggil suara itu dan tiba-tiba saja kerinduan tak
tertanggungkan menyeruak ke dalam hatiku. Aku pernah mengenal suara ini. Dan
amat sangat mendambakannya.
“Jung Sae Rin..” Bibirku bergetar saat suara itu semakin menguat di
kepalaku. Aku menutup mata dan menanti ketika suara merdu itu kembali
mengucapkan namaku.
Tapi berikutnya hanya keheningan yang
muncul. Aku menunggu sedikit lebih lama lagi dan tetap tak mendengar apapun. Hatiku
mencelos, tidak mengerti mengapa aku sangat mengharapkan suara itu memanggilku.
Dan saat airmataku sudah mendesak untuk keluar, aku mendengarnya.
“Jung Sae Rin, sedang apa kau di sini?”
Begitu dekat, begitu jelas dan indah. Mataku
membuka dengan cepat dan kulihat sang pemilik suara sedang berdiri di atasku dengan
wajah penuh senyum. Matanya membulat jenaka, hidungnya seperti pahatan
sempurna. Bibirnya penuh, menggoda dengan senyum yang tak pernah habis,
memamerkan deretan gigi putih bersih dan rapi yang selalu membuatku terpana.
Dia Chanyeol, Park Chanyeol. Pria yang
begitu kurindukan, hingga rasanya tulang-tulangku sakit. Pria itu begitu
tampan, mengenakan pakaian serba putih dan tangannya terulur kepadaku.
“Ayo pulang,” bujuknya dengan senyuman. Aku
memberikan tanganku dan ia menarikku berdiri—persis di hadapannya. “Ayo pulang, Jung Sae Rin. Aku
sudah menunggumu.”
Aku mengangguk dan Chanyeol mendekatkan
kepalanya sembari berbisik. “Berjanjilah untuk tidak menghilang lagi, Sae
Rin-ah. Karena aku tak bisa hidup sendirian di dunia tanpamu.”
Kata-katanya membuatku tersetrum. Aku
tersentak kaget dan kedua kelopak mataku membuka dengan sendirinya. Hal pertama
yang berhasil kukenal adalah petak-petak putih jauh di atas kepalaku. Beberapa detik
setelahnya aku mendengar suara bip-bip
nyaring yang berbunyi kontinu. Kepalaku sakit dan tubuhku rasanya kaku. Aku
menggeser kepala ke kanan dan melihat kepala Chanyeol yang sedang berbaring di sisi
tempat tidur, menghadapku. Kurasakan tangannya memegangku hangat, membuatku ingin
tersenyum dan menangis di saat yang bersamaan. Tetapi kedua mata Chanyeol yang
bulat tiba-tiba menangkapku.
“Selamat datang.” Bisiknya dengan kelegaan
yang terlihat jelas. “Jangan pergi lagi.”
Aku mengangguk dan butiran airmata jatuh
melewati pipiku. Chanyeol mengusap airmata itu lalu kembali berbisik di
telingaku. “Kalau kau berani koma
lagi, aku tidak akan memaafkanmu, Jung Sae Rin.”
Itu bukan ancaman, itu permintaan,
permohonan yang membuatku tak mampu mengendalikan tangisku. Aku tidak tahu
sudah berapa lama aku terbaring koma di rumah sakit, berapa lama Chanyeol
berhasil menemukan arwahku yang tersesat, juga apa yang akan terjadi dengan kemampuanku.
Aku hanya mengetahui satu hal: Chanyeol berada di sampingku. Tersenyum dan
memandangku penuh rindu.
“Aku mencintaimu, Park Chanyeol.” Batinku pada Chanyeol. Ia menggenggam
tanganku lebih erat.
“Nan
neomu neomu neomu neomu neomu saranghae, Jung Sae Rin.” Balasnya tersenyum.
Hidupku tak akan pernah mudah. Selalu saja ada
arwah yang mencoba mengacaukan ritme hidupku yang penuh ketakutan. Tapi aku tak
lagi berjalan dengan pandangan menunduk ketakutan. Sebab seseorang telah
menggenggam tanganku dengan hangat. Kedua tangannya menutupi indra
penglihatanku saat aku terlalu takut untuk melihat dunia. Ia selalu disana, memberi
perlindungan bagiku kapanpun aku memanggilnya. Aku membutuhkannya untuk bisa
hidup normal. Tapi semakin lama, kusadari bahwa pikiran itu telah bergeser
begitu jauh. Kenyataannya, aku lebih mencintainya daripada membutuhkannya. Sebab
rasa cinta ini membuatku rela terus menutup mataku karena aku bisa melihat
wajahnya dalam kepalaku.
Wajah penuh senyum milik Park Chanyeol.
*END*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar