Sabtu, 09 Agustus 2014

ONESHOOT : The Fatal Sense


TITLE      : The Fatal Sense
GENRE     : Horror-romance, thriller, AU (Alternate Universe)
RATING    : PG-17
CAST        : Park Chanyeol
                  Jung Sae Rin
Author       : @Aoirin_Sora

Disclaimer  :   The Fatal Sense ini terinspirasi dari manga horror Jepang berjudul ‘From The Other World’ oleh Madoka Kawaguchi tapi ide awalnya merupakan kisah nyata. Maaf kalau ceritanya sama sekali nggak serem ya, soalnya walaupun aslinya nyeremin banget, tapi aku kurang pinter ngejelasinnya. Nah, happy reading~^^

                               
 With Love,
  
 Aoirin_Sora



Summary:
Aku tak terbiasa berada di tengah orang banyak. Malah sebenarnya aku tak pernah terbiasa berada di mana pun. Dunia seakan berbalik menjadi musuhku untuk sebab yang tak kuketahui mengapa. Aku tahu ini kutukan, mata hitam yang bisa melihat lebih banyak, dan menderita jauh lebih sering. Tidak ada tempat untukku bersembunyi, kecuali pada sepasang tangan hangat yang dengan rela terus menutup mataku, membuatnya kehilangan indra penglihatannya. Tak jadi masalah meskipun aku tak bisa melihat apapun lagi, karena aku bisa melihatnya dalam kepalaku.
Wajah pria itu.

***





Lagi-lagi hal yang sama.
Kali ini korbannya seorang wanita karir muda. Dari penampilannya sepertinya wanita itu baru menginjak usia 26-27 tahun. Rambutnya cokelat gelap, dengan gelombang kecil di ujungnya. Kulitnya putih bersih, dan ia mengenakan setelan kantor; blus dan cardigan krem dengan rok pendek berwarna senada. Stiletto-nya berwarna merah bata, terlihat kontras dengan kulitnya yang berkilau.
Tapi itu beberapa menit  lalu, sebelum dia tergeletak bergelimangan darahnya sendiri di tengah jalan raya. Sebuah truk yang kehilangan kendali melesat menerobos lampu merah dan langsung menabrak wanita itu di tempatnya berdiri. Orang2 mulai berkerumun dan beberapa di antaranya telah memanggil polisi, bahkan ambulans. Mereka mengamati mayat wanita itu, yang darahnya mengaliri petak2 zebra cross dan matanya membelalak. Siapapun tahu bahwa ia telah tewas, meskipun begitu tak ada yang berani menyentuhnya hingga petugas berwenang tiba.
"Kasihan sekali, masih muda dan cantik.." Gumam salah satu pengerumun. Yang lain menanggapi setuju.
Tapi tak ada yang tahu, di antara puluhan kepala yang menoleh ke bawah, tak ada yang menyadari, bahwa pemilik tubuh itu berdiri persis di atas tubuhnya. Mengambang dan terlihat berkilau di terpa sinar matahari. Garis di sekeliling tubuhnya nampak nyaris transparan. Dan wanita itu membelalak menyaksikan tubuhnya sendiri.
Benar, aku cenayang. Pelihat roh, arwah, hantu, atau apapun sebutan kalian untukku. Aku bisa melihat ratusan bahkan ribuan hal-hal aneh yang sama sekali tak bisa di jangkau mata manusia. Ini bukan kelebihan. Aku menyebutnya kekurangan, cacat, benar-benar merupakan musibah buatku. Kenapa kubilang begitu? Sebab satu detik ketika kepalaku mendongak ke atas, ke tempat dimana arwahnya sedang menatap tak percaya pada tubuhnya yang terbujur kaku, wanita itu menoleh padaku.
Aku menyesali perbuatanku, karena dengan begitu ia langsung 'mengikuti'ku. Arwah wanita itu terlihat ketakutan, namun pada saat yang bersamaan, matanya memancarkan setitik harapan. Barangkali dikiranya aku bisa menghidupkannya kembali. Sebuah pikiran yang sia-sia.
Arwah itu langsung berputar-putar mengelilingiku, menggelayuti tubuhku yang langsung gemetar. Aku benci ini. Setiap kali ada makhluk halus yang mendekatiku, separuh tubuhku bakal lumpuh mendadak. Bagian kiri tubuhku sama sekali tak bisa di gerakkan dan kepalaku migrain parah. Aku mempercepat langkahku untuk segera keluar dari kerumunan, tapi gerakanku bahkan tak membuat arwah itu menyerah. Ia melayang tepat di sebelah tubuh kiriku, memohon, berharap dan alisnya bertautan.
"Ka—pergi." Ujarku keras. Arwah itu menggeleng, menunjuk tubuhnya yang kini mulai di angkut petugas ambulans dan memohon lagi. "Aku tidak bisa membantu. Aku cuma bisa melihatmu. Pergi sana."
Untuk sejenak arwah itu seperti terdiam dan detik setelahnya wajahnya berubah marah. Barangkali ia sedang menjerit kesal, tapi telingaku tak berfungsi sebaik penglihatanku, meski terkadang aku bisa mendengar beberapa suara tanpa tubuh.
Lari.” Nah, seperti itu. Suara itu muncul begitu saja. Seakan berasal dari kepalaku sendiri.
Gerakanku langsung berubah menjadi berlari ketika arwah wanita itu menatapku murka. Aku mengernyit. Kemarahan mereka selalu menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuhku. Jadi, aku berusaha pergi dari sana secepat mungkin dengan menyenggol beberapa pejalan kaki.
Tapi dua blok dari tempat kecelakaan itu, sebuah tangan menarik rambutku yang panjang, membuatku segera tersungkur ke aspal dengan kepala jatuh lebih dulu. Rasa sakitnya bahkan mengalahkan rasa takutku, ketika aku melihat sebuah tangan transparan mulai menutup mataku. Tentu, itu ulah salah satu makhluk halus.

***


Kepalaku berdenyut menyakitkan, tetapi kesadaran perlahan membuatku terjaga. Aku mengerjap, langit tampaknya lebih terang dan suasananya sangat hening. Aku menunggu, menghitung dalam hati ketika makhluk-makhluk tak kasat mata mulai mengelilingiku lagi. Tapi tak ada apapun.
Dengan usaha kecil aku bangkit, mencoba duduk walaupun kepalaku masih pening. Tidak ada siapa-siapa atau apa-apa di sekelilingku. Dan aku menyukai kesunyian ini. Sejenak rasanya aku menjadi normal, ketika kudengar seseorang berdeham di belakangku.
"Annyeong." Ujar suara itu.
Aku berbalik dan menemukan seorang pria, berdiri di belakangku dengan kedua tangannya tersembunyi di balik mantel. Aku menolak menjawab dan mengunci bibirku rapat-rapat. kalau aku menanggapi, bisa-bisa mereka bakal mengikuti selamanya.
"Hai. Kau baik-baik saja, kan?" Ulangnya lagi. Kali ini ia bertanya. Suara pria itu sedikit keras, namun lembut. Seakan getarannya benar-benar merdu.
Aku mengernyit dan memandang sekeliling. Bukan pertama kali ini aku bertemu arwah yang penasaran akan diriku. Tapi mendengar mereka bertanya sama sekali hal baru. Hal ini sebenarnya menggangguku, namun pikiranku segera teralihkan. Sepi sekali di sini. Hanya ada keheningan. Bahkan tak terdengar suara bising dari jalanan.
"Dimana aku?" Suaraku sedikit pecah saat aku bergumam. Tapi pria itu tersenyum. Agaknya ia terhibur dengan ekspresiku yang kebingungan.
"Kita ada di dunia pertemuan." Jawabnya sambil mengedarkan pandangan.
"Dunia pertemuan?" Ulangku. "Apa ini nyata?"
Pria itu mengedikkan bahu. "Tidak tahu." Jawabnya tak acuh. "Ini semua terjadi di kepalamu. Bisa saja nyata, bisa saja cuma mimpi."
Aku memutar kepalaku dan memandanginya lekat-lekat. Kusadari pria itu memiliki mata bulat indah, rambut hitam seperti bayangan malam, dan senyum yang cemerlang. Aku berusaha melihat garis tubuhnya, yang biasanya bakal berpendar jika ia hanya arwah, tapi garis itu tidak ada.
"Aku senang kau sehat." Katanya dengan senyum lebar. Jantungku seakan menggelepar ketika mendapati senyum itu terukir bergitu indah. "Semoga kita.. Bisa bertemu lagi." Ujarnya separuh berbisik dan tiba2 saja kabut mengelilingi kami.
Aku membuka mulut ingin mengucapkan sesuatu tapi kepalaku kembali berdenyut menyakitkan. Dan hal yang terakhir yang bisa kuingat adalah senyum pria itu yang terlihat sedih.

***

"Kau tidak apa-apa?" Tanya sebuah suara di telingaku. Aku mencoba menggerakkan kelopak mataku yang terasa berat, dan begitu kedua mataku membuka, aku menyesalinya.
Seorang pria tua sedang menatapku cemas. Bukan, bukan pria itu yang membuatku ketakutan, tapi kumpulan arwah yang berputar2 di sekujur tubuhnya. Aku tak bisa menghitung mereka semua, seakan berkelompok menjadi satu bagian, saling tak terpisahkan dan membuat tubuhku menggigil hebat.
Aku melihat tangan-tangan tanpa tubuh yang mungkin mencapai puluhan, berjejalan membentuk cakar-cakar mengerikan di antara kabut dan gumpalan hitam tepat di sebelah kiri pria tua itu. Sementara di belakangnya, ada semacam gagak besar, dengan paruh mencuat dan runcing, dan ketiga matanya menatapku lapar. Bulu-bulu gagak itu penuh darah, seolah menetes di aspal tanpa henti. Dan yang peling mengerikan mungkin sesuatu di sebelah kanan pria tua itu. Kupikir ia adalah kumpulan kabut hitam ketika aku menyadari bahwa itu adalah arwah wanita tua.
Wanita itu menatap sang pria dengan marah. Matanya hitam, dengan setitik putih susu yang berada persis di tengah pupilnya. Ia mengenakan pakaian tradisional dengan ujung rombeng. Tetapi tempat dimana tangannya seharusnya muncul, malah mengeluarkan darah. Aku baru akan berjengit melihat betapa mengerikannya kulit wajah wanita tua itu ketika sebuah tangan menyentuh pundakku.
"Nak, kau tidak apa-apa?" Ulang pria tua di depanku dengan nada cemas.
Aku melirik sekilas ke arah roh wanita di sebelah kanannya dan gemetar saat ia menatapku balik. "Aku baik-baik saja, paman." Jawabku melengking. Bulu kudukku meremang ganjil dan aku mendapa firasat wanita tua itu bakal mengikutiku.
Setelahnya paman-mungkin-baik-hati itu membantuku berdiri dan menyarankan agar aku pergi ke rumah sakit. Aku mengangguk mengiyakan dan mengerahkan segala kekuatanku untuk bisa kabur dari situ secepat mungkin. Tapi tubuh bagian kiriku kembali lumpuh dan kusadari wanita itu sudah berada tepat di sampingku.
"Kumohon, tinggalkan aku sendiri." Ucapku setengah panik. Aku tidak suka melihat wajahnya. Seakan kulit-kulitnya pernah hangus dalam api, menyisakan keriput-keriput menjijikan dan mengerikan.
Wanita itu menatapku lalu menggerak-gerakkan mulutnya. Aku menggeleng putus asa dan mengangkupkan tanganku di depan wajah. "Aku tidak bisa mendengarmu, aku tidak mengerti. Kumohon, pergilah. Aku sama sekali tidak dapat membantumu.."
Tubuhku kini lumpuh total. Bahkan mengangkat sebelah tangan kiriku nyaris mustahil. Aku berusaha menyeret kakiku ke samping, tapi tiba-tiba saja ia sudah berada disana, memblokir jalanku untuk kabur. "Pergi." Kataku meninggi. Wanita itu bergeming dan matanya yang menghitam menatapku tajam. Aku seolah bisa merasakan tangan-tangan tak tampak menghentikan suplai oksigenku dan aku ketakutan. "PERGI!!" Jeritku dua kali lebih nyaring dan tiba-tiba saja kilatan cahaya meledak di depan kami. Aku hanya bisa melihat keriput wajah wanita itu mengejang ketika tahu-tahu ia sudah menghilang begitu saja.
"Hebat." Gumam sebuah suara dan aku tersentak. Tidak ada siapapun-atau apapun- didekatku dan aku merasa khawatir. Apakah suara itu memang berasal dari kepalaku?

***

Malam turun dengan kecepatan mengagumkan. Aku baru saja tiba di rumahku—sebuah rumah sewa kecil di tengah kota Seoul—dan matahari sudah memudar di ufuk barat. Kusesali rembulan yang hadir lebih awal, seakan mempercepat ketakutanku akan teror tanpa henti.
Malam hari tidak pernah lebih baik dari siang. Saat dimana aku mendapatkan 'tamu' seratus kali lebih banyak daripada ketika aku berada di bawah sinar matahari. Maksudku, aku nyaris tak bisa melakukan apapun selain menyalakan sepuluh lampu tambahan—yang sinarnya membuat kamarku jadi seperti kebanjiran cahaya—dan bergelung kaku dibawah selimutku yang tebal. Aku bisa tertidur, tentu, meski sama sekali tak pernah mendapatkan tidur cukup. Jika ada seratus arwah bergentayangan di sekelilingmu, maka bisa tidur beberapa jam saja sudah merupakan berkah.
Aku tidak bercanda. Aku tak akan bisa tertidur dengan arwah-arwah yang mengetuk jendelaku setiap tiga menit sekali, menjadikannya berderit ganjil. Atau dengan kepala tanpa tubuh yang berguling-guling mengelilingi seluruh pojok kamarku, dan bagaimana aku bisa tenang kalau mereka membuat 'keributan'? Begini, bayangkan jika seluruh gelas—barang-barang pecah belah—dirumahmu di banting dengan keras, bunyinya pasti akan membangunkanmu meski kau sedang tidur. Dan itulah yang mereka lakukan, meski ketika aku memeriksa dapurku, tak ada satupun benda yang berpindah dari tempatnya.
Dan ada satu hal yang paling menggangguku. Aku tinggal di sebuah rumah sewa tua murahan yang tak memiliki balkon melainkan sebuah jendela kaca ukuran satu kali dua meter. Tapi sepertinya beberapa tahun lalu, sebelum aku menempati flat ini, seorang wanita bunuh diri dengan cara melompat dari jendela di sebelah tempat tidurku. Dan bisa tebak apa yang terjadi selanjutnya? Arwah wanita itu tidak pergi, melainkan kembali ke kamar ini, mengulang setiap detail adegan bunuh dirinya. Dengan separuh sisi kepalanya hancur dan wajah serta tubuh penuh darah, ia kembali ke kamarku dan melompat dari jendela-begitu seterusnya.
Pernah satu kali ia mengamatiku—hari pertama aku bermalam di sini—dan ia menyeringai melihat wajahku yang kaget. Bibirnya sudah koyak, menggantung aneh dengan rahang terkelupas, dan aku harus menahan diriku untuk tidak muntah. Tapi sepertinya ia tidak menggubris keberadaanku dan terus menerus lompat dari jendela itu. Mengacuhkan pekikan kaget yang terlontar dari bibirku.
Aku benci penglihatanku. Benci kekuatan abnormal yang merusak hidupku. Aku tidak bisa hidup seperti orang kebanyakan dan malah menghabiskan masa remajaku untuk pergi ke kuil, pendeta, gereja, rahib, semua tempat yang ada di semenanjung Korea Selatan. Aku jadi merepotkan ibu dan ayahku—yang cuma bekerja sebagai buruh bangunan. Jadi setelah tamat SMA, aku mengemukakan dengan jelas bahwa aku ingin tinggal sendiri. Orangtuaku menolak keinginanku dengan setengah hati dan dengan cepat aku meyakinkan mereka kalau aku akan baik-baik saja. Dalam artian harfiah.
"Ya! Jung Sae Rin."
Sebuah suara mengagetkanku dan aku buru-buru mengintip ke jendela. Seorang wanita paruh baya dengan tampang judes khas rentenir berdiri di depan pintu kamarku. Yeah, dia pemilik rumah ini. Dan kedatangannya cuma berarti satu hal: tagihan rumah sewa.
"Oh, halo ibu Han." Sapaku berusaha ramah.
Ibu Han mendengus dan menatapku tak bersahabat. Aku tersenyum, menguatkan hati melihat bayangan hitam di belakangnya. Bayangan itu seperti kabut berjelaga, hitam pekat dengan bola mata yang bergulir ke kanan-kiri pundak ibu Han.
"Tagihanmu, Jung Sae Rin. Kau sudah terlambat tiga hari." Ujarnya tanpa berbasa-basi.
Kuraih dompetku di atas meja dan menjerit ketika sebuah kepala muncul begitu saja dari meja itu. Ibu Han melongok ke dalam, keningnya berkerut. "Ada apa?" Tanyanya was-was.
Aku meringis dan menggeleng lemah. Ibu Han memang sudah memberiku stereotip "gadis aneh" sejak pertama kali aku mendatanginya. Tidak aneh sebenarnya, kalau saja ia bisa melihat bahwa seorang anak kecil berusia lima tahun dengan tubuh penuh darah dan mata hampa bergelayut di kakinya. Setelah kucari tahu, ternyata anak itu korban tabrak lari yang dialami Ibu Han tiga tahun yang lalu. Dan hingga sekarang, Ibu Han masih tidak mengerti mengapa kakinya terkadang tak bisa di gerakkan.
"Ini uang tagihan bulan ini, Ibu Han. Maaf aku terlambat membayarmu. Aku baru terima gajiku siang tadi."
Ibu Han mencibir. Bibirnya miring ke samping dan tangannya menghitung uangku dengan kecepatan mengagumkan. "Lain kali aku tak mau menunggu lebih dari dua hari. Keunde, Sae Rin-ah, kenapa kau tidak pindah kerja saja, sih? Kau lulusan Universitas Seoul, bukan?"
"Uhm, aku suka kerja disitu." Jawabku separuh berbisik.
"Lulusan Universitas Seoul dan bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran? Sinting."
Ibu Han kemudian melenggang pergi sambil meneruskan gerutuannya. Aku tak menampik hinaannya barusan, karena ia benar. Tidak sedikit perusahaan yang mengajakku bergabung karena aku mengantongi sertifikat cum laude dengan rekomendasi dari beberapa dosen. Tapi setelah tiga kali wawancara di perusahaan-perusahaan benefit, aku menyerah. Gedung-gedung kantor memiliki lebih banyak arwah dengan penampilan tak kalah menyeramkan. Jadi aku menghabiskan tiga bulan untuk menemukan tempat yang "sepi" dari arwah-arwah mengganggu. Uhm, sebenarnya tidak terlalu sepi, karena setidaknya ada dua belas arwah yang menetap di restoran itu.
Kunyalakan seluruh lampu tambahan di kamarku dan berjalan ke kamar mandi dengan mata separuh menutup. Kepala tanpa tubuh yang biasanya mengitari pojok kamarku akan berada di westafel pada jam segini. Meski aku selalu melihat mereka, tapi tetap saja aku belum terbiasa. Mereka terlalu menyeramkan untuk di anggap 'biasa'.
Setelah mandi dan menyantap kudapan malam—mi jajang dengan kuah ekstra—aku menarik selimutku. Di luar petir mulai menyambar, membuat kilatan cahaya menerangi seluruh kota. Aku bergidik. Jika malam hari sudah menjadi cobaan berat buatku, maka hujan di tengah malam sama dengan mimpi buruk.
Pukul sembilan kurang lima belas akhirnya benar-benar turun hujan. Rinainya mungkin menenangkan, namun bulu kudukku meremang. Hujan ibarat pesta bagi arwah-arwah itu. Lihat saja, seluruh lampu-lampu di kamarku mulai berulah. Kedatangan spirit dalam jumlah besar selalu membuat listrik tak sanggup menanggung energi. Beberapa malah langsung padamputus tak kuat menahan arus. Jendelaku berderit lebih kencang, tangan yang mengetuknya ada lima belas  sekarang.
Terdengar bunyi sesuatu yang mengalir dari pintu depanku dan aku menggigit bibir, menguatkan diri sebelum mengintip ke pintu depan. Jantungku mencelos. Genangan darah kental mulai membanjiri pintukemudian merayap masuk membasahi karpetku yang berwarna putih pucat. Darah itu tak berhenti, seakan ada bergalon-galon cairan yang di tumpahkan dari luar. Aku menjerit panik karena darah itu juga seakan hidup, mengerti harus bergerak kemana. Genangannya menyapu seluruh lantai, mewarnai seluruh benda dengan warna merah dan merayap naik ke tempat tidurku.
Aku berjengit. Sebuah roh memegangi pergelangan tanganku. Aku tak sempat melihatnya karena tepat pada saat itu puluhantidak, ratusan roh meledak masuk dari pintu dan jendela kamarku. Semuanya berputar-putar, bergabung membentuk pusaran angin dan menerbangkan benda-benda di kamarku. Seluruh lampu tambahan telah padam dan pecah dengan bunyi berdesing. Tubuhku gemetaran, berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan yang menahan tubuhku tetap di atas tempat tidur.
“Lari.”  Suara di kepalaku kembali berdering. Aku meronta, menjerit dan mulai menangis. Kumpulan roh di atasku kini semakin dekat. Aku bisa mati kalau mereka menghantamku seperti itu.
“Lari!” teriak suara di kepalaku lebih keras.
“Tidak bisa! Aku tidak bisa! Mereka terlalu kuat!” jeritku putus asa. Aku biasanya tak pernah menanggapi suara itu, tapi toh nyawaku hanya tinggal sejengkal untuk terlalu mempedulikan bahwa aku mulai gilabicara pada diri sendiri.
Cengkraman tangan itu semakin kuat, menanamkan bekas jelek di sekeliling pergelangan tanganku dan aku menjerit panik. “Kumohon, kumohon, lepaskan aku!” teriakku sia-sia. Petir menyambar lagi dan hujan turun semakin deras.
Pusaran arwah meledakkan kaca jendela dan ujung tempat tidurku menjadi serpihan abu. Kepala-kepala mengerikan dengan taring-taring panjang terlihat abstrakberputar-putar dengan kecepatan penuh. Tubuhku meronta lebih keras dan sesuatu terjadi.
Entah apa yang sebabnya, tapi ada cahaya kecil yang melejit dari pergelangan tanganku, membuat tangan yang menahanku tadi langsung terlepas dan berpendar menghilang. Keterkejutanku hanya bertahan beberapa mili detik sebelum aku melompat ke lantaiyang digenangi darah.
Kakiku terpeleset dan tubuhku langsung basah oleh darah itu. Aku mencelos ketika melihat pusaran arwah semakin mendekat ke kakiku. Sesuatu menahan kakiku dan aku menendangnya menjauh. Aku berusaha bangun, tapi cairan merah itu lengket seperti lem. Kugerakkan tanganku untuk menarik ujung meja, membuat tubuhku bergerak beberapa senti.

“Tak ada waktu. Tak ada waktu!”

Aku nyaris berhasil mencapai pintu ketika puluhan tangan-tangan menarikku ke dalam pusaran. Ujung jempol kakiku mulai kebas, tergilas angin mengerikan dengan ratusan arwah yang menjadi satu.
“Tolong..” ujarku lemah. “Tolong aku!” aku mulai panik. Tubuhku hanya dua senti jauhnya dari pintu tapi tanganku menggapai tanpa hasil.
“TOLONG!!!!” tanganku tiba-tiba mendapatkan kekuatannya dan berhasil meraih kenop pintu. Aku bersyukur kunci pintu ini rusak dan belum kuperbaiki. Jadi, begitu aku menarik gagang pintu, dinginnya angin malam dengan tetesan hujan langsung menyambutku meski pintu hanya bergeser sedikit. Aku ingin membukanya lebar-lebar, tapi tangan-tangan arwah yang menyeretku untuk bergabung bersama mereka semakin kuat.
“TidakjanganTIDAK!”
Pintu menjeblak terbuka dengan bunyi keras. Berdebum dan hampir merobohkan ruangan. Aku membeku, mataku terpancang pada satu titik yang tadinya sempat kukira hanya mimpi dan tak pernah menjadi nyata.
Sesosok pria berdiri tepat di depan pintuku. Tubuhnya basah oleh hujan. Rambutnya meneteskan air, jatuh melewati wajahnya yang membelalak tak percaya. Matanya indah sekali, bulat sempurna dan aku ingat wajah itu memiliki senyum cemerlang. Seakan meloncat dari mimpiku, pria yang tadinya kupikir arwah kini berdiri di depan rumahku dengan napas satu-satu.
Ia melihat ke sekeliling dan mendapatiku terbaring persis di dekat kakiknya, terkejut dan langsung menarikku menjauhi arwah-arwah itu. Tapi tangan-tangan itu tampaknya tak ingin menyerah. Mereka menahan tubuhku dari tarikan tangan pria itu.
“Pergi kalian semua.” Ujarnya berbahaya. Aku melirik panik. Tangan-tangan itu semakin kuat. “Gadis ini tak akan pernah bergabung bersama kalian.”
Pria itu berusaha lebih keras dan aku mendengar ia menggertakkan giginya. “Akutidakakanmengijinkankalian.
Ledakan cahaya muncul begitu saja dan menelan seluruh arwah-arwah itu. Tangan-tangan arwah yang menahanku langsung menghilang dan kami terlempar ke luar. Sepertinya kepalaku membentur sesuatu, tapi aku tak bisa mengingatnya. Semuanya mengabur dalam kegelapan dan bahkan di dalam ketidaksadaran pun, tubuhku masih gemetar ketakutan.

***

“Bangunlah. Bangunlah, Jung Sae Rin!”
Suara itu.. Suara yang selalu muncul dalam kepalaku. Begitu familiar dan menenangkan.
“Jung Sae Rin! Jangan biarkan mereka mengalahkanmu!”
Aku tersentak dan mataku membuka dengan cepat. Untuk sejenak, yang bisa kulihat hanyalah mata bulat indah yang mengisi seluruh pandanganku. Perasaan rindu yang entah dari mana datangnya menyelinap dalam hatiku. Jantungku berdentam-dentam dan tubuhku terasa panas. Benar, aku merindukannya meski aku tak mengerti mengapa.
Mata itu juga balas menatapku meski terlambat kusadari bahwa mata itu memancarkan ketakutan sekaligus kelegaan yang terlihat jelas. Pandanganku turun dan melihat bibirnya bergerakmengucapkan sesuatu.
“Kau tidak apa-apa, kan? Jung Sae Rin!”
Aku mengerjap. “Kenapa kau bisa tahu namaku?” tanyaku tak fokus.
Kuperhatikan raut wajah itu mengendur lega dan sebuah senyum cemerlang mengukir di wajahnya. “Ceritanya panjang.” Jawabnya kecil.
“Apa
“Dengar, di sini tidak aman. Kau bisa berjalan?” sela pria itu dan aku mengangguk. Setelahnya ia langsung membantuku berdiri dan kusadari kami berada tak jauh dari pintu rumahku. Rintik hujan tak lagi deras, melainkan turun malas menggenangi jalanan yang becek.
Kami berjalan dalam diam dan langkah kakinya terasa begitu tergesa-gesa. Kepalaku masih pusing tapi aku tak ingin berlama-lama di tempat itu, karena aku masih bisa melihat beberapa kelebatan bayangan hitam yang mengintip dari sudut-sudut jalan.
Setelah kira-kira lima ratus meter, ia menyetop sebuah taksi dan aku menggeleng panik. Arwah wanita dengan rambut panjang, tubuh penuh darah, mata melebar mengerikan dan bibirnyaseakan koyak mencapai telinga, gigi-gigi penuh taring yang menyeringai, berdiri tepat di bagian depan mobil. Dan begitu juga dengan dua mobil setelahnya, semuanya memiliki tamu tak tampak yang membuatku bergidik.
“Bagaimana dengan yang ini?” tanya pria itu. Aku melirik ke arah taksi yang berhenti di depannya dan mendapati seorang nenek tua berwajah ramah duduk di samping pengemudi yang ternyata seorang kakek berusia lanjut.
“Oke,” jawabku langsung dan kudengar ia menggumamkan, “terima kasih,” tapi bukan untukku. Keningku berkerut heran. Apa ia sedang berbicara kepada nenek itu?
Kami melaju menembus hujan yang mulai reda. Jalanan terlihat sepi meski baru pukul sebelas malam. Tubuhku tiba-tiba saja menggigil, tapi sepertinya bukan karena arwah nenek tua yang dari tadi tersenyum pada pria di sebelahku. Aku sadar kami berdua basah kuyup, meski hanya aku yang terlihat payah dengan piyama kebesaran warna cokelat pudar dan…tanpa alas kaki. Sama sekali tidak keren. Sementara pria itu mengenakan mantel hitam panjang, jeans abu-abu dan sepatu boots. Sangat fashionista.
“Sudah sampai.” Ujarnya membuyarkan lamunanku. Ia tersenyum dan mengajakku turunke depan sebuah bangunan mewah berlantai dua belas. “Ini apartemenku.” Imbuhnya lagi.
Aku mengikuti langkahnya yang berjalan penuh keyakinan. Baru saja dua langkah dan aku melihat bayangan hitam di bawah tiang lampu di sudut jalan. Cepat-cepat kusambar mantel pria itu dan ia melirik ke arah tiang lampu.
“Tidak apa-apa,” ujarnya menenangkan. “Dia tidak akan menyakitimu.”


Kira-kira sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di depan pintu apartemennya. Ruangan ini begitu luas dan.. bersih. Semuanya tertata rapi, tak ada satupun barang yang kelihatan salah tempat. Aku masih mengagumi betapa nyamannya ruangan itu ketika ia berbicara.
“Ayo, duduklah.”
Kupandangi wajah pria itu dengan seksama. Ia berdiri di depan konter dapur dengan tangan bersedekap. Mantelnya telah dilepas dan kaus putih membungkus tubuhnya yang bidang. Seberkas perasaan rindu langsung menyelimutiku tanpa sebab. Aku ingin memeluknya, bukan, tubuhku yang ingin memeluknya. Karena, aku bahkan tidak mengenal siapa ia.
“Kau.. siapa?” pertanyaan itu terlontar begitu saja. Dan semburat malu langsung terlihat di wajahku ketika ia malah tertawa kecil. Aku tak tahan untuk memalingkan muka lama-lama, sebab wajah pria itu sangat memikatmata bulat yang menyipit, gigi putih yang berderet rapi dan guratan di sekeliling matanya ketika ia tersenyum.
“Aku Chanyeol. Park Chanyeol.”
“Kenapa kau bisa ada di sana? Maksudku, di rumahku. Kau muncul tiba-tiba saja dan
“Tahan dulu, Jung Sae Rin. Kau butuh minum.” Sela Chanyeol dan mulai mengisi gelas dengan air mineral.
“Bagaimana kau bisa tahu namaku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” sambarku tak sabaran. Tapi Chanyeol tak segera menjawab. Ia menghampiriku dengan dua gelas penuh air bening dan memaksaku untuk duduk di sofanya yang hangat. Chanyeol bahkan mendelik melihatku yang tak menyentuh gelas dan baru setelah aku meneguk air itu banyak-banyak, ia tersenyum kembali.
“Begini, aku tahu kau bisa melihat arwahsemua hal-hal buruk dan anehtapi kau tidak bisa mendengar mereka, kan?” aku mengangguk mengiyakannya. “Dan aku kebalikannya, Sae Rin-ah. Aku bisa mendengar mereka, tapi tak bisa melihat mereka dengan jelashanya gumpalan bayangan hitam dan kadang-kadang memancarkan aura jahat.”
“Benarkah?” tanyaku terkejut. Ini pertama kalinya aku mendengar bahwa seseorang memiliki kemampuan seperti itu. Dan ketika Chanyeol mengangguk, aku kembali bertanya. “Kau bisa mendengar mereka semua? Apakah mereka mengatakan sesuatu padamu? Tidakkah itu mengganggu? Sejak kapan kau mendapatkan kemampuan itu?” pertanyaanku masih akan berlanjut kalau saja Chanyeol tak segera menginterupsiku.
“Sabarlah, Jung Sae Rin.” Ucapnya geli. “Pertama, ya. Aku bisa mendengar mereka. Jelas sekali. Bahkan hingga sekarang. Kedua, tentu saja. Mereka biasanya mengeluh, meratap, menyesal dan mengutuk semua yang masih hidup. Tapi begitu tahu aku bisa mendengar mereka, kebanyakan akan curhat dan mengikutiku sepanjang hari. Ketiga, sebenarnya ya, pendengaran ini sangat menggangguku. Aku bahkan pernah menusuknya dengan serpihan kaca tetapi tak berhasil, tapi setelahnya aku tak ingin melukai diriku sendiri lagi. Dan terakhir, aku mendapatkan kemampuan ini sepuluh tahun yang lalu, ketika aku selamat dari sebuah kecelakaan. Tubuhku baik-baik saja, selain telingaku yang rusak parah. Aku menjadi tuli selama sebulan penuh dan begitu mendapatkan kembali pendengaranku, aku mendengar ribuan suara setiap detiknya.”
Chanyeol memejamkan mata dan keningnya berkerut resah. Aku mengamatinya lekat-lekat, mencoba tak menyerahkan diri pada emosi asing yang sempat menguasai pikiranku selama beberapa saatkeinginan untuk menyentuh wajahnya. “Tapi kau belum menjawab pertanyaan pertamaku. Kenapa kau mengetahui namaku dan bisa ada di sana?” tuntutku ingin tahu dan kulihat Chanyeol membuka matanya lambat-lambat, memandangiku sejenak sebelum ia kembali tersenyum.
“Itu alasannya kenapa aku tak ingin melukai telingaku lagi. Kau.” Jawabannya sama sekali tak membuatku puas dan aku baru akan mengajukan proteskendati wajahku merah padamtetapi Chanyeol segera menyelaku. “Sepuluh tahun yang lalu, aku terbangun dan mendengar ribuan suara berjejalan di kepalaku. Rasanya seperti berdiri di tengah orchestra dan semua alat musik dibunyikan bersamaan dan tanpa arahankacau, berantakan dan membuatku ingin muntah. Awalnya aku mengira bisa mendengar pikiran manusia. Tapi setelah beberapa lama, aku menyadari bahwa aku mendengar suara orang mati. Tentu saja aku frustasi dan ibuku membawaku ke berbagai tempat yang katanya bisa menyembuhkanku. Tapi semuanya sia-sia, Sae Rin-ah. Aku malah mendengar lebih banyak lagi. Dan sekitar tiga bulan setelahnya, aku mencoba melukai diriku. Aku pernah berpikir kalau saja aku menjadi tuli lagi, mungkin aku bisa menghilangkan kemampuan terkutuk ini. Jadi aku menggunakan pecahan cermin kamar mandi dan menusuk telingaku hingga aku pingsan karena rasa sakit yang mengerikan.”
Napasku tertahan ketika membayangkan Chanyeol kecil yang gemetaran menusuk telinganya sendiri. Ia pasti ketakutan dan bingung.
“Tapi aku tidak pernah menjadi tuli, Sae Rin-ah. Telingaku baik-baik saja, meski aku harus mendapat beberapa jahitan. Dan setelahnya, tepat setelah itu, aku mendengar semua suara arwah-arwah yang telah matidan beberapa suara manusia laintapi tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang jauh di dalam kepalaku. Memohon, berteriak dan tangisannya membuat airmataku ikut turun. Aku tidak mengerti kenapa aku sangat ingin menghibur suara itu. mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, padahal tubuhku sendiri gemetaran. Kepalaku masih di perban dan aku sama sekali tak tahu dari mana asal suara itu. Selama beberapa tahun aku mengira bahwa aku mendengar suara arwah ketika suatu hari aku mendengarnya berkata ‘aku ingin hidup normal, tanpa penglihatan terkutuk ini.’ dan aku tahu bahwa kau masih hidup.”
“Bagaimana kau tahu itu aku?”
Chanyeol tersenyum lagi dan matanya melirikku sekilas sebelum berpaling ke seberang ruangan. “Begitu aku tahu kau masih hidup, aku langsung belajar menggunakan kemampuan ini. Kira-kira enam tahun lalu, aku mulai bisa mendengarmu lebih jelas. Memang tidak setiap saat, hanya ketika kau dikuasai emosimu atau sangat ketakutan. Aku tak tahu kau ada di mana dan ketika itu aku sama sekali tak punya petunjuk tentang dirimu. Jadi yang kulakukan hanya berharap kau akan menyebut di mana kau tinggal serta namamu. Perlu usaha keras untuk bisa mendapatkan kilasan-kilasan gambar dari kepalamu. Tapi aku berhasil mendengarmu menyebut Busan beberapa kali. Dan aku buru-buru kesana, bahkan tinggal di Busan selama dua tahun ketika akhirnya aku melihat kilasan Namsan Tower. Lalu aku segera kembali ke Seoul dan berpindah-pindah tempat tinggalaku mendatangi semua tempat yang kulihat di kepalaku dan setelah tiga tahun aku berhasil..menemukanmu.”
Tubuhku membeku. Lidahku kelu dan wajahku merah padam. Ada semacam tarikan gravitasi yang aneh yang membuatku ingin menangis dalam pelukannya. Tapi aku berhasil mengendalikan emosiku dan bertahan mati-matian dari seluruh keinginan sinting ini. Kenyataan bahwa Chanyeol begitu berusaha mencariku hingga bertahun-tahun nyaris membuatku berpikir ia sedang bercanda. Tapi senyumnya yang begitu tulus tak mungkin menipu. Aku yakin ia tidak berbohong.
“Dan.. bagaimana denganmu? Apa yang terjadi padamu, Sae Rin-ah?”
Pertanyaan Chanyeol seakan menghantamku telak. Aku harus menarik napas dalam-dalam sebelum aku menjawab pertanyaannya. Sejujurnya, aku tak pernah menceritakan hal ini pada siapapun. Aku takut orang-orang akan berpikir kalau aku gila dan memindahkanku ke panti rehabilitasi khusus remaja pecandu obat-obatan.
“Semuanya bermula kira-kira di tahun yang sama denganmu, sepuluh tahun yang lalu. Aku berumur dua belas tahun ketika kakekku meninggal dan seseorang tak sengaja menumpahkan abu jasadnya ke kepalaku. Abu itu masuk ke mataku dan membuatku harus di perban selama seminggu. Setelah ibuku membuka perban, hal pertama yang kulihat adalah arwah kakekku yang berdiri di belakang ibu. Dan kemudian.. hal-hal mengerikan terjadi. Banyak sekali yang kulihat dan aku tak bisa berhenti menjerit ketakutan. Tahun-tahun awalku sungguh menyedihkan; aku mengurung diri di kamar dan tak mau pergi kemanapun. Aku ingin bunuh diri, tapi terlalu takut untuk menjadi salah satu dari arwah-arwah itu. Dan ketika aku bisa mendengar suara dalam kepalaku, orangtuaku menjadi lebih cemas. Mereka pikir aku sudah gila dan harus terus diawasi. Tapi setelah meyakinkan mereka selama bertahun-tahun, akhirnya aku bisa pindahberhenti merepotkan keluargaku.”
“Itulah sebabnya aku tidak menemukanmu ketika aku di Busan, benar kan?”
Chanyeol menangkap mataku yang menatapnya penuh arti. Aku mengangguk dan menggigit bibirku. Kalau saja aku bertahan di Busan.. aku pasti bisa bertemu dengannya lebih cepat. Chanyeol menepuk jemariku dan aku merasa kehangatan yang berbeda. Seakan ada arus rendah yang memercik di ujung jari-jarinya. Tapi sama sekali tak membuatku kesakitan dandan aku menyukainya.
“Aku tak berhenti belajar mengendalikan kemampuan ini, malah akhirnya usahaku tak percuma. Aku telah berhasil membangun sebuah hubungan dua arah denganmu. Semacam telepati, kurasa. Kau pernah bermimpi tentangku, bukan? Itu salah satu efeknya. Dan setelah itu aku bisa melacakmu lalu tiba pada waktu yang tepat. Menolongmu dari arwah-arwah pemangsa.”
Aku bergidik mengingat pusaran arwah yang menginginkan nyawaku beberapa saat yang lalu. “Kau sebut mereka apa?” tanyaku melengking cemas.
Jemari Chanyeol mengepal dan buku jarinya memutih. “Arwah pemangsa. Mereka menginginkanmu, Sae Rin. Mereka berusaha menyakitimu untuk mendapatkan tubuhmu serta arwahmu. Aku mendengar mereka berbicaramalah sebenarnya berbisik kejamtentang bagaimana cara melenyapkan arwahmu dan itu sangat menjijikan.” Geramnya penuh amarah.
Arwah pemangsa. Bukan pertanda bagus. Aku pernah mendengar beberapa pendeta menyebut tentang hal itu. Mereka mengatakan bahwa arwah pemangsa adalah kumpulan energi jahat yang menginginkan kematian manusia. “Sepertinya aku harus pindah.” Gumamku murung dan tiba-tiba Chanyeol berteriak panik.
Andwae!” sergahnya. “Tidak boleh, Jung Sae Rin. Kau tidak boleh pergi lagimaksudku, kau bisa tinggal di sinimaksudku kalau kau mautapi kumohon jangan pergi!”
Aku tidak mengerti. Chanyeol menginginkanku? Tidak pernah dalam tahun-tahun penuh derita ini ada yang menginginkanku. Semua orang biasanya menjauhi Jung Sae Rin, gadis aneh dengan rambut ikal sebahu, lingkaran hitam di sekeliling mata, dan tubuh kurus kering yang sering menjerit tiba-tiba dan ketakutan tanpa sebab. Aku memberanikan diri memandang kedua mata Park Chanyeol yang melebar penuh iba. Ada desakan yang terlihat jelas di sana dan tiba-tiba saja perasaan sedih menyelimutiku.
“Akuaku tidak tahu.” Gumamku lirih.
Chanyeol terlihat resah dan melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Apakah ada yang kau takuti di sini?” tanyanya hati-hati.
Sejauh pengamatanku, ruangan ini bersih. Lampu-lampunya memang menyala dua kali lebih terang dan tak ada apapun yang membuatku resahoke, aku bohong. Daritadi aku berusaha mengacuhkan arwah yang berlari-lari di sepanjang koridor di belakang dapur. “Ada yang bergerak-gerak di ujung sana.” Ucapku menunjuk koridor kecil.
“Itu anjingkueh, maksudku anjing arwahku. Dia baik dan sama sekali tidak mengganggu. Dia juga pernah membantuku beberapa kali. Namanya Yen-bi.” Chanyeol menatap ke arah koridor dan tersenyum samar.
“Tapi, Chanyeol-ssi, kau tak bisa melihatnya, bukan?” tanyaku takut-takut.
Chanyeol mengangguk dan menatapku bingung. “Seperti yang kukatakan, aku hanya bisa melihat bayangan hitam atau semacam itu saja. Memangnya apa yang kau lihat?”
Aku menelan ludah dan melirik Chanyeol cemas. Arwah anjing itu sudah berada di sebelah kiri Chanyeol dan aku melihat ke arah lain. “Diamaksudku Yen-bidia tidak memiliki kepala.”
“Benarkah?” tanya Chanyeol terkejut. Aku mengangguk dan Chanyeol mendadak bungkam. “Yen-bi bilang dia mengalami kecelakaan dan kepalanya.. sudahlah.” Desahnya gelisah. “Kau takut? Err.. Yen-bi berjanji tidak akan menakutimu. Aku bisa menyuruhnya bermain di luar kalau kau takut.”
Aku takut. Tentu saja. Perasaan takut ini tak pernah berkurang sedikitpun selama bertahun-tahun. Tapi aku tak ingin pergi kemanapun tanpa pria itu. dan aku harus menelan kesedihanku sekali lagi. “Bukan itu masalahnya, Chanyeol-ssi. Tapi.. apakah pacarmu tidak marah kalau aku tinggal di sini?”
Chanyeol tertawa dan wajahnya membuatku lupa bernapas. Ya ampun, aku ingin mematri wajah itu selama-lamanya di dalam otakku, mengganti semua mimpi burukku dengan senyuman Chanyeol yang luar biasa memikat. Jantungku bertalu-talu, seakan marathon dalam rongga dadaku yang sempit. Paru-paruku membengkak dan senyum Chanyeol bagai oksigen yang mengembang dalam pembuluh darahku. Rasanya dunia menjadi lebih indah.
“Bagaimana mungkin aku memiliki kekasih kalau aku mencarimu ke ujung dunia, Jung Sae Rin? Dasar bodoh.” Ujarnya geli dan giginya yang putih berderet memerkan diri padaku.
“Aku punya teori sinting.” Kata Chanyeol lagi, tapi kali ini ia meraih jemarikudua-duanyadan menggenggam tanganku hangat. “Kekuatan kita seakan dua kutub yang berbeda. Dan kita perlu menyatukannya agar bisa hidup normal.”
Lagi-lagi aliran listrik mengalir membanjiri tubuhku dan aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda, penglihatanku sepertinya berpusat pada satu titik yang sama sekali tak bisa kujelaskan dengan baik. Tapi aku menyukai ini.
“Enam tahun aku mencarimu, Jung Sae Rin. Aku mendatangi seluruh tempat dengan harapan kau ada di sana. Aku menghabiskan seluruh waktuku untuk bisa menemukanmu dan aku telah berjanji aku tidak akan membiarkanmu pergi jika aku berhasil mendapatkanmu.” Bisik Chanyeol sendu. Bisa kulihat pengorbanan di setiap kata-katanya dan perasaan menderita yang ia lalui.
“Seperti seorang stalker,” bisikku tersenyum dan Chanyeol kembali tertawa. Ia memiringkan kepalanya dan aku melarikan jemariku ke wajahnya yang sedang tersenyum. “Telinga ini bisa mendengar semua haltermasuk ketakutankudan aku berterima kasih atas semua yang kau lakukan untukku, Park Chanyeol. Kau telah menyelamatkanku.” Jari-jariku menyentuh telinganya, menutup jalur pendengarannya dan wajah Chanyeol berubah seketika.
“Ini hebat. Aku merasa.. tenang.” Ujarnya berbinar. Chanyeol kemudian menangkupkan kedua tangannya ke pipiku dan menyapukan kedua ibu jarinya perlahan-lahan ke mataku, membuatnya menutup tanpa ragu. Dan aku bisa mengerti apa yang ia katakan barusan. Seakan-akan ada yang menghentikan semua rasa takutku dan menggantikannya dengan segumpal dosis besar ketenangan tanpa akhir. Aku mengerjap haru, merasa bersyukur sebab untuk pertama kalinya aku merasa menjadi normal. Semuanya begitu tak tertahankan hingga aku tak lagi bisa mengendalikan airmataku.
“Kenapa kau menangis?” bisik Chanyeol lirih, wajahnya kini berada sangat dekat denganku.
“Aku bahagia, Chanyeol-ssi. Ternyata aku tidak sendirian di dunia ini.”
Chanyeol mendengus geli dan matanya yang bulat itu menyipit lucu. “Kau tidak sendirian, Jung Sae Rin. Kau punya aku.” Ujarnya menenangkan. “Jadi.. apa itu artinya kau setuju untuk tinggal bersamaku?”
Aku memandangnya sejenak dan menyentuh telinganya lagi. “Tidakkah kau mendengarnya dengan kekuatanmu?”
“Aku tidak terlalu yakin, Sae Rin. Kau membuat indraku tak bekerja maksimal.” Guraunya tersenyum. “Aku ingin mendengarnya langsung darimu. Kumohon.”

Aku tidak akan kemanapun tanpamu, Park Chanyeol.” Jawabku yakin.



***



Sudah tiga bulan berlalu dan hidupku nyaris damai di apartemen ini. Keberadaan Chanyeol seperti malaikat buatku; menenangkan dan membuat nyaman. Aku yakin aku bisa hidup normal dengan adanya Chanyeol di sisiku. Tapi aku harus menekankan kata nyaris. Sebab ketika Chanyeol terpisah dariku, detik itu juga penglihatanku berangsur memburuk. Pada hari pertama Chanyeol bekerja dan meninggalkanku sendirian di apartemennya, ia langsung pulang dan harus menenangkanku seharian karena aku kelewat syok.
Ada seorang wanita paruh baya yang di pernah di mutilasi di salah satu lantai gedung itu. Tubuhnya tercincangterpotong-potong menjadi bagian kecil mengerikan dan membuatku muntah tiga kali. Aku tidak tahu arwah itu dibunuh di mana sebab ketika aku ingin mandi, kulihat bathub Chanyeol penuh darah. Bukan darah kental yang menyerangku waktu itu, tetapi seperti darah yang bercampur dengan air keran. Mulanya aku mencoba mengeringkannyamencabut penyumbat lubang bathubtetapi begitu aku menyalakan keran, airnya masih terus mengeluarkan cairan merah. Dan saat aku ingin menghubungi petugas apartemen, aku melihat di dasar bathub itu ada beberapa potongan daging. Jeritanku berubah panik ketika tanganku menyentuh potongan jari.  Dan satu persatu bagian tubuh yang lain muncul dari dasar bathub. Hingga ketika kulihat isi perut arwah itu berantakan dan wajahnya yang rusak, aku menjerit seperti orang kerasukan dan samar-samar kudengar Chanyeol memanggilku. Tak kurang dari lima menit kemudian, ia sudah tiba di sampingku.
Itu baru awalnya. Hari kedua, ketika aku juga akan berangkat kerja, aku mendengar bunyi berdenting yang aneh dan terlambat menyadari bahwa ada sebuah arwah yang mempermainkanku. Kemanapun aku pergi, arwah itu akan mengikutiku dan membuat seluruh kaca seolah-olah meledak. Tentu saja aku menjerit ketika melihat ratusan keping kaca menikamkuwalaupun itu hanya ilusidan akhirnya Chanyeol bersikeras akan mengantar dan menjeputku, sebab perkataannya malam itu terbukti benar. Indra kami tidak bekerja dengan baik jika kami saling berdekatan.
Chanyeol bekerja di sebuah perusahaan musik dan menjadi composer baru serta pengarah musik selama dua tahun belakangan. Kesukaannya pada musik terlihat jelas dengan sebuah ruangan di Apartemennya yang terisi penuh oleh ribuan kaset dan mp3 player yang ia bawa kemanapun. Chanyeol bilang ia sengaja mendengarkan musik agar bisa ‘melarikan diri’ dari suara-suara mengganggu di sekelilingnya. Tapi meski memiliki kekuatan aneh yang bisa mendengar arwah, Park Chanyeol ternyata berkepribadian hangat dan sering tersenyum. Ia sangat menyenangkan, selalu membuat situasi menjadi semarak dan sama sekali tidak kelihatan bahwa ia sedang menyimpan sebuah rahasia besar. Hari pertama setelah aku memindahkan seluruh barang-barangku ke apartemennya, Chanyeol tak berhenti berkomentar. Ia mengatakan segalanya. Tentang dirinya, ibunya, kesukaannya dan bahkan hal-hal kecil yang membuatku kadang tersenyum. Kehadirannya benar-benar suatu berkah buatku. Sehingga kadang aku berpikir kalau Chanyeol ternyata hanya ilusi. Tapi ia menepis anggapanku dengan berulang kali menyentuhku, wajahku, tanganku dan kadang mengelus rambutku. Sepertinya ia juga takut kalau pertemuan kami tidak nyata.
Mustahil tak jatuh hati padanya. Bahkan pada malam ketika ia menyelamatkanku, aku sudah tak bisa berhenti terpesona olehnya. Chanyeol sempurna. Ia matahari pagi yang menghangatkan dan senyumnya tiada dua di dunia ini. Tapi aku tak mengerti apa yang membuat Chanyeol berpikiran sama terhadapku. Aku tidak seperti dirinya, yang lebih sering menutup mulut rapat-rapat dan memendam semua ketakutanku. Bila kami berdiri bersama, aku yakin tubuhku bakal kelihatan seperti bayangan Chanyeol, karena ia terlalu tampan, terlalu baik hati dan terlalu menyenangkan.

“Ahjussi itu bilang kau cantik.” Kata Chanyeol sambil menggigit sendok eskrimnya. Aku berbalik dan melihat ke arah yang ditunjukkan Chanyeol. Arwah laki-laki tua yang duduk di atas meja kafe menatap ke arah kami. Ahjussi itu akan kelihatan oke kalau saja tidak ada pisau besar yang nyangkut di dada kirinya.
Aku memutar bola mataku terang-terangan. “Satu lagi pendapat dari arwah. Bagus sekali, Chanyeol-ah.” Ujarku sarkastis.
“Kau sudah setuju untuk memanggilku Oppa.” Keluhnya dibuat-buat. Bibirnya mencebik lucu dan ekspresinya terlihat kecewa. Manis sekali.
“Baiklah, Chanyeol Oppa.” Desahku. Chanyeol tersenyum seperti anak kecil dan aku harus menahan diri untuk nyengir. Umur kami sebenarnya sama, tapi Chanyeol bersikeras menyuruhku memanggilnya Oppa.
“Ah, sepertinya ada kecelakaan lagi di penyebrangan tiga blok dari sini.” Gumam Chanyeol dan aku bergidik.
“Laki-laki atau perempuan?”
Chanyeol memandangiku sejenak dan melihat ke arah pintu masuk kafe, pada sebuah arwah pria muda yang melayang di belakang seorang gadis cantik berambut pirang. Arwah itu menatap kami. “Dia bilang seorang gadis kecil. Usia lima tahun dan wajah mungilnya terlindas mobil ambulans.”
Kusorong gelas es krimku yang tinggal setengah ke pinggir meja. Selera makanku tidak mungkin bisa membaik setelah membayangkan seperti apa rupa bocah itu. “Ulah siapa?” tanyaku lagi.
Ada jeda panjang dan Chanyeol menjawabku dengan sedikit enggan. “Arwah pemangsa.” Gumamnya lirih.
Bocah itu masih lima tahun! Ia mungkin baru masuk taman kanak-kanak dan arwah-arwah itu membunuhnya?  Kenapa arwah sialan itu begitu kejam? Aku tahu emosiku begitu kuat karena Chanyeol tiba-tiba menggenggam tanganku. Ia menatapku sedih dan aku menggigit bibir agar airmata ini tak langsung mengalir dan membuatku tampak bodoh.
“Aku ingin pulang.” Ujarku dan Chanyeol mengangguk. Kami berdiri dan baru akan menuju pintu ketika arwah pria muda yang baru masuk tadi berdiri di sampingku. Kesalahanku adalah refleksku yang terlalu cepat. Aku langsung berbalik begitu tubuhku mendadak lumpuh dan detik berikutnya jeritan lolos dari bibirku.
Arwah itu ternyata memiliki tengkorak kepala yang hancur pada bagian kanannya. Sehingga ia hanya memiliki sebuah mata, separuh hidung dan bibir, serta sebelah telinga yang masih utuh pada bagian kiri dan menjadikan penampilannya seperti mimpi buruk. Aku nyaris pingsan, ketika kurasakan telapak tangan Chanyeol yang besar menutup indra penglihatanku dan menggeram di telingaku.
Jangan. Dia tidak seperti itu. Pergi.” Aku tahu kata-kata itu bukan untukku melainkan pada arwah yang berdiri di sampingku. Tetapi begitu Chanyeol menutup kedua mataku, perasaan aneh langsung membanjiri seluruh sendi, mengalir hangat dan membuatku tenang. Tubuhku berhenti menggigil dan kepalaku rasanya ringan sekali. Seakan aku sedang menghisap morfin. Sentuhan Chanyeol membuatku aman dan kecanduan.
Kami berjalan keluar dari kafe dengan kedua tangan Chanyeol terus menutup mataku dari belakang. Orang-orang pasti mengira Chanyeol sedang memberi kejutan padaku, meski kenyataannya kami tengah melarikan diri dari arwah.
 “Dia bilang apa?” tanyaku ketika kami berhenti di pinggir trotoar. Chanyeol belum menjawab dan ia melambaikan tangan untuk menyetop taksi tapi kucegah. Ada Perempuan dengan rambut panjang dan kuku-kuku semerah darah berdiri tepat di atas atap taksi itu.
“Apa yang di katakan arwah tadi?” ulangku merujuk pada arwah pria di kafe.
Chanyeol menghela napas dan menggenggam tanganku lembut. Aku baru sadar tanganku masih gemetaran. Dan sentuhan Chanyeol menenangkanku dengan sangat baik. “Dia bilang dia ingin kau membantunya untuk memenuhi keinginan sintingnya. Mungkin dia pikir kau itu semacam messengerpenyampai pesanjadi kubilang padanya untuk segera minggat.”
“Memangnya apa yang dia inginkan?”
“Kau lihat perempuan berambut pirang tadi, kan? Itu tunangannya dulu. Dia ingin kau membantunya memberikan sesuatu. Entahlah, aku juga tidak ingin tahu.” Jawab Chanyeol dan kemudian ia bergerak gelisah. “Kau tadi menjerit nyaring sekali. Apa dia sangat mengerikan?”
“Buruk sekali.. Diawajahnyaah, aku tak ingin mengingatnya.” Erangku takut dan tubuhku menggigil secara otomatis. Tiba-tiba saja Chanyeol menarikku dalam pelukannya. Aku bisa merasakan dadanya yang bidang, tangannya yang merangkul pinggangku, dan nafasnya di leherku ketika dia berkata dengan penuh penyesalan.
“Maaf.” Bisiknya lirih. “Aku tidak merasakan aura jahat dari arwah itu, jadi kupikir penampilannya tidak begitu mengerikan. Maafkan aku, Sae Rin-ah. Seharusnya aku mengerti kenapa kau menjerti seperti itu tadi.”
Seakan ada yang melepaskan jutaan morfin ke seluruh nadiku, membuatku nyaris pusing karena perasaan yang kurasa ini begitu berlebihan. Meledak dalam euforia aneh dan bergelombang memenuhi setiap sel-sel di tubuhku. Dan aku tak bisa menjelaskan kenapa jantungku rasanya seperti sedang marathon keliling kota Seoul, berdentam-dentam penuh semangat, menggelepar kepayahan, dan tak beraturan, ketika tangan Chanyeol perlahan naik ke punggungku. Aku terlambat menyadarinya, sebab aku terlalu menikmati efek pelukan Chanyeol pada tubuh dan indraku, ketika kulihat ia memajukan kepalanya.
Gerakan Chanyeol begitu perlahan, tetapi bisa kurasakan napasnya yang menderu pelan. Kedua matanya masih menatapku dalam, dan aku tak bisa bergerakatau berpikir. Aku tahu ada begitu banyak orang yang mengamati kamidan mungkin juga para arwahtapi aku tak peduli. Ketika bibir Chanyeol menekan bibirku dengan lembut, kurasakan berjuta-juta galaksi pecah di kepalaku. Abunya berkilauan, menjadikan pikiranku terang benderang, membuatku nyaris melayang bahagia. Bibir Chanyeol bergerak penuh kehangatan. Menunggu reaksi yang akan kuberikan tapi dia harus kecewa karena aku hanya terdiam. Kemudian kusadari ciuman itu jadi lebih berhati-hati dan perlahan-lahan Chanyeol menarik dirinya.
Tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan selain matanya yang memandangiku terang-terangan. Seakan wajahku yang merah padam itu begitu menarik untuk di amati. “Kenapa?” tanyaku dengan suara serak. Aku menatap deretan toko-toko di belakang bahunya dan mengacuhkan tatapan orang-orang di jalan. Tapi sama sekali tak ada arwah. Ciuman Chanyeol sepertinya membutakanku.
“Kau tak suka aku menciummu?” Chanyeol balas bertanya dan aku terkejut. Sepertinya aku tahu apa yang ingin ia katakan.
“Bukan begitu,” kilahku. “Aku hanya… aku tak pernah berciuman, Chanyeol-aChanyeol Oppa. Aku bahkan tidak pernah memiliki pacar sebelumnya.” Jawabku jujur. Bagaimana aku bisa memiliki pacar kalau yang aku malah menjerit-jerit ketakutan ketika bertemu dengan para pria? Karena kebanyakan arwah-arwah yang mengikuti kaum lelaki jauh lebih banyak di banding wanita.
Kulirik Chanyeol dan menemukan wajahnya yang berseri-seri. Ia memang sedang bersaha menyembunyikan senyum kemenangannya, tapi aku tak perlu bantuan siapapun untuk mengartikan tatapannya yang penuh arti itu. “Benarkah?” tanyanya dan aku mengangguk malu. Chanyeol berdeham satu kali lalu meraih tanganku. Wajahnya masih kelihatan senang. “Kalau begitu aku yang pertama.” Bisiknya. Dan aku masih bisa mendengarnya bergumam sendiri.
Bagus sekali.

***


Malam hari di apartemen Chanyeol tidak pernah membuatku ketakutan. Kami melakukan banyak hal bersama. Saat aku membuatkan makan malam, Chanyeol akan membantuku menyiapkannya dan ketika ia mulai bekerjamenggubah nada-nada lewat piano, gitar atau drumaku akan meminjam mp3 player miliknya sambil membaca novel. Aku suka memperhatikannya diam-diam karena Chanyeol berkata ia tidak bisa berkonsentrasi jika aku melihatnya terus-terusan. Hal yang terpenting adalah kami selalu melakukan semua hal bersama-sama. Jika aku atau Chanyeol merasakan sesuatu yang tak kami inginkan, kami akan segera bersentuhan. Biasanya Chanyeol akan langsung memelukku, tetapi terkadang aku hanya menggigil dan membelalak ketakutan dan ia yang bisa merasakan emosiku berubah, akan langsung menutup mataku.
Waktu tidur adalah saat yang paling canggung. Pada malam pertama aku menginap di sini, aku melihat banyak hal karena sepertinya arwah-arwah di seluruh gedung mampir ke apartemen Chanyeol. Setelah hampir gila karena aku menjerit beberapa kali, Chanyeol akhirnya mengusulkan sebuah pengaturan baru. Kami bisa tidur bersama di tempat tidur yang sama dan tetap saling berdekatan agar indra kami tidak bekerja. Ia bersumpah tidak akan melakukan apapun padaku dan masih menjaga ucapannya hingga sekarang. Walaupun sejak ia menciumku di kafe beberapa waktu lalu, aku masih saja tidak bisa berhenti berdebar ketika tubuhnya berbaring di sebelahku.
Tapi Chanyeol juga memiliki kebiasaan unik. Ia mendengkur dan sering berpindah-pindah ketika tidur. Aku kebingungan saat pertama kali tidur di sebelahnya ketika tahu-tahu ia bangkit dan berjalan menuju pintu. Kupikir ia ingin ke dapur atau ke kamar mandi. Tapi karena tidak kunjung kembali, aku mencarinya keluar dan menemukan tubuhnya terbaring di atas sofa di depan tivi. Kemudian di malam-malam berikutnya, ketika aku merasakan tubuh Chanyeol hendak bangkit, aku segera menarik lengannya. Terkadang ia tersadar dan meminta maaf lalu kembali berbaring di sampingku.
Meski aku biasanya benci dengan suara dengkuran, tapi entah kenapa aku malah merasa nyaman dengan dengkuran Chanyeol. Memang kadang aku terbangun karena ia terlalu berisik, namun wajah Chanyeol yang sedang tidur selalu membuatku tersenyum. Wajahnya begitu lucu dan bibirnya yang penuh itu membuka sedikit. Tapi rupanya Chanyeol juga berpendapat sama terhadap wajahku yang terlelap.
“Wajahmu lucu, Sae Rin-ah. Seperti gadis bodoh.” Ujarnya lalu terkekeh geli. Chanyeol langsung menyadari kalau aku susah dibangunkan sejak pagi pertama ia mencoba membangunkanku. Akhirnya di banyak kesempatan, Chanyeol hanya berbaring dan memperhatikan wajahku yang bodoh sampai aku terbangun dengan sendirinya kemudian ia akan tersenyum lebar sembari mengucapkan, “good morning.”
“Terima kasih. Akan kuingat itu.” komentarku sarkastis lalu menaikkan selimut hingga ke dagu, dab beralih memunggungi Chanyeol.
Chanyeol tertawa dan aku meliriknya sebal. “Kau benar, Yen-bi.” Katanya pada anjing tak berkepala yang berlari-lari di sudut pintu. Chanyeol tahu aku menunggunya memberitahuku dan ia langsung berbisik keras. “Kata Yen-bi, kau juga lucu saat marah.”
Aku berbalik ke arah Chanyeol dan melihat ia sedang berbaring menghadapku, dengan sebelah tangan menopang kepalanya. Senyumnya masih di sana dan aku merutuki hatiku yang berdebar kelewat kencang. Belakangan ini emosiku mudah sekali dibaca dan aku tahu dugaanku benar ketika Chanyeol tersenyum semakin lebar. “Kau ingin aku menciummu, tidak?” tanyanya langsung. Pipiku memerah dan mataku terbelalak kaget. Aku membuang pandanganku pada kaus hitamnya yang bertuliskan Your Lips are my Savior dan mencelos. Kini aku tak mungkin lagi bisa mengalihkan pikiranku.
“Ya, Jung Sae Rin. Kau benar-benar tidak mau? Bibirku ini sangat kissable, tahu. Kau akan menyesal kalau menolaknya.” Ujarnya pongah. Aku mendengus dan menatapnya dengan pandangan narsis-sekali-kau lalu mendesis, “Dasar telinga peri.”
Chanyeol tertawa tetapi ia segera berhenti lalu menatapku dalam diam. “Dan bibirmu juga..kissable..” imbuhnya di tengah kebisuan kami.
Kali ini aku jauh lebih siap. Maksudku, aku sudah mengetahuinya ketika tubuh Chanyeol mendekat. Ada api yang memercik di matanya dan kurasakan api itu membakarku lebih dalam saat bibir Chanyeol menutup jarak kami. Tangannya menyusup di rambutku dan napasnya menggeram ketika aku berusaha membalas ciumannya. Sensasi aneh merayap masuk ke dalam hatiku dan kepalaku pusing bukan main. Indraku benar-benar telah tertutup seluruhnya, tidak hanya penglihatan tetapi juga indra pendengaran. Aku hanya bisa menangkap sentuhan Chanyeol yang membakarku hidup-hidup oleh api tak kasat mata dan menghirup napasnya yang mendesah keras. Semuanya terasa bagai kabut cahaya yang manis. Membingungkan, menyilaukan tetapi menakjubkan. Dan sadarlah aku betapa aku sangat mencintai pria ini.
Kami berciuman, terus berciuman hingga napas kami tak lagi bisa kami tahan. Chanyeol menarik kepalanya dan menatapku terengah-engah. Aku tak tahu sejak kapan ia sudah berada di atas tubuhku tetapi wajahnya tampak menyesal. “Maaf, sepertinya aku sudah melanggar janjiku.” Ujarnya muram. Aku tak mengerti apa yang ia katakan dan ketika aku ingin bertanya, Chanyeol telah bangkit, berdiri canggung di pinggir tempat tidur. “Kau tidurlah, Sae Rin-ah. Aku.. akan pergi mandi.” Gumamnya kikuk lalu melangkah menuju kamar mandi.
Mana mungkin aku bisa langsung tertidur setelah ciuman-ciuman itu. Selama beberapa bulan ini Chanyeol selalu ada di sebelahku saat aku ingin tidur dan sekarang, dengan dada berdebar keras, menyuruh otakku untuk segera bermimpi sama saja mustahil. Atau mungkin ini semua memang mimpi?
Malam itu sepertinya Chanyeol tak kembali ke sampingku karena tidurku gelisah. Pagi harinya aku juga tak menemukan Chanyeol menggodaku saat aku terbangun. Ketika aku berjalan keluar setelah mandi dan merapikan tempat tidur, kulihat Chanyeol sedang menonton televisi. Kakinya terjulur ke depan, tubuhnya terlilit selimut dan ia memeluk bantal. Aku menghampiri Chanyeol dan duduk di sebelahnya. Kurasakan kedamaian ketika lengan kami bersentuhan. Pandanganku ikut mengarah pada seorang pria yang sedang membujuk kami untuk membeli semacam perlengkapan olahraga baru, tapi sama sekali tak bisa menangkap apapun yang di katakannya.
“Aku ingin pergi ke pantai.” Gumam Chanyeol tanpa memandangku.
Aku membisu untuk sejenak sebelum menanggapinya. “Kenapa?” tanyaku.
“Sudah lama sekali sejak aku pergi ke pantai. Aku selalu ingin ke sana tapi aku benci mendengar suara-suara arwah yang bunuh diri di sekitar pantai.”
Chanyeol benar. Arwah-arwah yang berkeliaran di pantai sama banyaknya dengan di jalan raya. Kebanyakan bunuh diri dan tenggelam di laut. Tapi juga ada arwah yang tampaknya ingin menetap di pantai meskipun mereka tidak mati di situ. Dan aku juga mengerti kenapa Chanyeol ingin pergi sekarang. Jika kami tetap berdekatan, kemampuan kami akan berkurang dan kami bisa menikmati suasana pantai selama yang kami mau.
“Kedengarannya bagus.” Ujarku. “Ayo pergi.”
Kulihat sudut bibir Chanyeol tertarik ke atas. Ia memandangku lambat-lambat dengan cengirannyamembuatku ikut tersenyum. Mata Chanyeol membulat senang dan aku masih tetap tersenyum ketika Chanyeol menekan bibirku dengan bibirnya beberapa detik kemudian.
“Terima kasih.” Ujar suara di kepalakusuara milik Chanyeol, tentu saja. Bibirnya masih menciumiku lembut.
“Apapun untukmu.” Balasku dalam hati.

Hidupku indah. Sangat indah.
Kalau saja masalah tidak menghampiriku.

***


Aku tahu belakangan ada yang salah. Bukan, lebih tepatnya janggal. Hubungan telepati antara aku dan Chanyeol memang semakin kuat. Aku bisa mendengar semua hal yang dikatakannya dan kami menggunakan telepati ketika terpisahtapi bukan itu yang membuatku resah. Karena kami nyaris tak terpisahkan, penglihatanku tak lagi menjadi masalah belakangan ini. Malah sebenarnya aku tak bisa merasakan arwah apapun yang mengganggu. Begitu juga dengan Chanyeol. Ia mengatakan padaku kalau keberadaanku di sampingnya semakin membuatnya merasakan hidup normal. Tapi aku tak sepenuhnya merasa seperti itu. Aku malah menjadi sedikit resah. Seakan kami telah melewatkan sesuatulengah karena tak lagi bisa merasakan apapun.
Tapi tawaran untuk menjadi manusia normal bersama Chanyeol terlalu memukau. Aku tak bisa berhenti membayangkan betapa kehidupanku bakal sempurna seandainya aku bisa melewatkan hari-hariku dengan Chanyeol selamanya. Keinginan-keinginan itu semakin lama semakin mengalihkan perhatianku, hingga aku tak lagi bisa merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi di belakangku.
Pikiranku menutup diri dari semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi dan aku memilih untuk mengabaikan para arwah.

***

“Bagaimana kalau kita mengunjungi orangtuamu?”
Chanyeol menarik tubuhku tepat ketika aku hendak menyenggol seseorang. Jalanan sangat padat dan kami harus berhimpitan dengan orang-orang yang berbaris menunggu lampu merah. “Kapan?” tanyaku ketika tangan Chanyeol berusaha memperbaiki lilitan syal yang menjuntai di leherku.
“Segera.” Jawabnya tersenyum. Aku melihat beberapa orang wanita melirik padanya dan tak bisa menyalahkan mereka, sebab Chanyeol sangat tampan.
Para wanita memandangimu.” Ujarku dalam hati.
Aku tampan, kan?” Chanyeol menaikkan alisnya dan bibirnya terkulum, meminta persetujuan. Aku tak bisa berpura-pura mendengus karena wajahnya benar-benar lucu dengan kedua matanya yang begitu besar menatapku.
Tapi yang terjadi berikutnya begitu cepat dan di luar dugaan. Jari-jari Chanyel masih memegang ujung syalku dan senyumnya masih terukir indah, ketika tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang, ke tengah jalan raya yang dipadati berbagai kendaraan. Suaraku tercekat di tenggorokan. Tanganku tak sempat menggapainya saat seorang pengemudi motor melintas dengan kecepatan tinggi dan langsung menghantam Chanyeol yang masih belum menyadari apapun.
Teriakanku melengking ngeri saat menyaksikan tubuh Chanyeol terlempar hingga lima meter jauhnya dan langsung tergeletak tak sadarkan diri. Tubuhku menggigil ketika melihat darahnya membanjiri aspal dengan sangat cepat. Aku berusaha mengatakan sesuatu tetapi suaraku sepertinya tak mampu mengalahkan jeritanku. Aku terus menjerit panik dan berlari mendekati tubuhnya yang terbaring tidak sadarkan diri. Orang-orang ikut berkerumun di sekitarku tetapi tak satupun suara bisa kudengar.
Tetapi di tengah keramaian dan hiruk pikuk yang begitu menyesakkan, aku mendengar seseorang memanggilku. Tidak, suaranya berasal dari kepalaku.
“…Rin.”
Tubuhku membeku dan mendadak mataku menangkap sebuah garis perak tipis yang berpendar tak jauh dari tubuh Chanyeol. Lalu aku mulai bisa melihatnya dengan jelas. Meski aku tak bisa mendengar lagi apa yang ia berusaha katakan.
Ada sekitar dua puluh arwah pemangsa yang berputar-putar di sebelah arwah Chanyeol. Tangan-tangan dengan cakar meruncing menarik arwahnya menjauh dariku. Aku bangkit dan segera berlari dan memusatkan pandanganku pada arwah Chanyeol, sama sekali tak peduli pada orang-orang yang kutabrak. Karena aku harus segera mendapatkan arwahnya kembali. Chanyeol dalam masalah kalau arwah pemangsa berhasil menjauhkan ia dari tubuhnya jika tim medis sedang mencoba menghidupkannya kembali. Sebuah tubuh tanpa arwah sama sekali tak ada artinya.
Lalu mendadak aku tersadar. Betapa kelengahanku belakangan ini menjadi begitu fatal. Aku tak pernah menduga kalau arwah pemangsa itu masih terus menginginkan kami. Aku pasti bisa mengetahuinya lebih cepat seandainya aku tak terlalu terbuai dengan kehidupan normal yang selalu kuidam-idamkan. Airmataku merebak dan aku berlari semakin kencang.
Sebuah arwah dengan wajah penuh jahitan dan mata hitam jahat menghampiriku. Seringaiannya begitu mengerikanseakan bibirnya melebar hingga telinga. Rambut arwah itu terjulur panjang dan ia berdiri menghalangiku. Tubuhku langsung lumpuh tetapi aku tidak memperlambat gerakanku apalagi berhenti. Arwah Chanyeol yang melayang semakin jauh membuatku bertambah panik. Bibirnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu tapi aku tak bisa mendengar apapun.
“Chanyeol-ah! Kumohon jangan pergi!!” jeritku putus asa. Aku menjulurkan tanganku ke udara dan berusaha menggapainya. Tetapi kulihat arwah pemangsa itu terus menarik Chanyeol menjauh.
“ChanyeolChanyeol Oppa!” teriakku lagi. Aku menjejakkan kakiku ke atas tangga penyebrangan dan kusadari aku memiliki kesempatan untuk menjangkaunya seandainya aku bisa lebih cepat.
Chanyeol masih mengatakan sesuatu yang tak dapat kudengar tetapi aku terlalu memusatkan perhatian pada tangannya yang terjulur sekitar dua meter di atas ku. Aku melompat dan tersenyum lega ketika aku berhasil menggenggam tangannya yang berpendar. Tapi ekspresi Chanyeol yang menatapku ngeri menyadarkanku. Dengan puluhan arwah pemangsa yang terus berusaha menjauhkanku dari Chanyeol, sekali lagi aku terperangkap dalam jebakan mereka. Begitu tanganku berhasil menggenggam tangan Chanyeol, arwah-arwah itu langsung menariknya lebih jauh dan arwah wanita berwajah penuh bekas luka bakar mendorongku ke bawahjatuh dari ketinggian enam meter dari atas jembatan penyebrangan.
Bukan Chanyeol yang mereka inginkan. Tapi Aku.


***

Tubuhku mengambang. Garis perak tipis menguar dan berpendar di ujung siluet tubuhku. Rasanya ringan sekali. Seakan mendapat seratus sayap tambahan yang membuatku bisa bergerak ke sana kemari secepat angin. Aku mendongak dan mengira sekarang sudah malam ketika melihat dunia benar-benar gelap. Hanya ada beberapa petak cahaya suram yang menggantung di langit. Tapi keadaan di bawah sungguh membingungkan. Mataku nyaris terpejam ketika melihat seberkas sinar yang teramat menyilaukan berada tepat di bawahku. Sinar itu seakan meledak membentuk sebuah matahari kecil dan godaan untuk mendekati sinar itu tiba-tiba begitu besar.
Oh.
Aku memandangi Park Chanyeol yang terus menggenggam tanganku di tengah kerumunan orang yang membungkuk menutupi tubuh asliku dan Chanyeol yang berdampingan. Sepertinya semua orang berusaha membujuknya untuk melepaskanku karena ia sendiri terlihat terluka parah dengan darah yang tak berhenti menetes dari kepalanya. Aku lalu memindahkan tatapanku pada seonggok tubuh yang tergeletak tak berdaya. Syalku yang berwarna biru langit telah basah oleh darah. Dan mendadak aku paham kenapa pijaran cahaya menyilaukan berpendar dari tubuhku dan Chanyeol. Itu karena pria itu tak berhenti memegangku. Dengan kedua tubuh kami saling berdekatan, aku yakin kekuatan kami membentuk ledakan cahaya yang mengagumkan.
Dan aku juga menyadari sesuatu. Chanyeol mungkin bisa mendengarku melalui telepati jika aku berada dalam tubuhku. Tapi dengan tubuh dan arwahku yang saling terpisah, itu berarti Chanyeol tak bisa mendengarku selama kami masih terus bersentuhan.
Celaka.

“Tubuhnya… tubuhnya….”
Aku mengedarkan ke sekelilingku dengan panik dan mendapati begitu banyak arwah yang melayang di sekitarku. Semua arwah-arwah itu memandang ke bawah dengan ekspresi senang dan aku berjengit. Mereka menginginkan tubuhku. Itulah sebabnya mereka menjebakku dan malah tak mempedulikan arwahku sekarang. Tak ada satupun arwah yang mencoba mendekatiku, mereka hanya berputar-putar penuh semangat mengitari cahaya yang menguar dari tubuhku dan Chanyeol.
“Tak bisa masuk.. tubuhnya terhalang..”  ucap arwah-arwah itu lagi. Mereka mulai bergerak-gerak gelisah. Ketika petugas medis memindahkanku dan Chanyeol ke dalam mobil ambulans, aku segera mengikuti mobil itu. Terdengar deru angin yang memekakkan telinga dari belakangku dan begitu aku berbalik, ratusan arwah pemangsa  mengikuti laju mobil yang menembus keramaian jalan raya.
Tidak. Mereka tak boleh mendapatkan tubuhku.
Aku berlarilebih tepatnya mencoba menggerakkan tubuhku yang seringan buludan berusaha mendekati Chanyeol. Tapi percuma. Cahaya yang membanjiri tubuhnya membuatku tak bisa mendekatinya lebih dari radius tiga meter. Cahaya itu ternyata tak hanya menarikku, tetapi juga menghalangiku untuk mendekati tubuhku sendiri.
“Park Chanyeol!” teriakku dan aku melihat Chanyeol bergeming. Ia masih menatap tubuhku yang kosong dan tak melakukan hal lain selain menggenggam tanganku.
“Ayolah, Park Chanyeol. Kumohon, lepaskan tanganmu!” jeritku putus asa. Kumpulan arwah pemangsa kini berada di atas kepalaku. Mereka berputar kemudian terlempar jauh ketika mencoba mendekati tubuhku.
Mobil ambulans berhenti di sebuah Rumah Sakit Swasta terkenal dan pihak medis membawaku menuju Unit Gawat Darurat. Para perawat segera memasangkan berbagai selang ke seluruh tubuhku dan terjadi keributan di ruang operasi darurat. Chanyeol berkeras untuk tetap berada di sampingku dan menggenggam tubuhku. Ia menolak semua usulan, bujukan bahkan perintah dari para dokter. Karena khawatir kondisiku yang terus menurun, akhirnya para dokter menuruti keinginan Chanyeol setelah ia berjanji mengijinkan dokter untuk mengobati lukanya yang cukup parah.
Tubuh kami dibaringkan di dua tempat tidur terpisah meski tangan Chanyeol terus menggenggamku. Tak butuh waktu lama bagi dokter untuk menjahit luka di tubuh Chanyeol, begitu juga denganku. Kenyataannya, tak ada kerusakan parah di tubuhku dan dokter tak mengerti kenapa aku tak kunjung sadar. Hingga akhirnya setelah dokter selesai mengobati luka-lukaku, perawat memindahkankutermasuk Chanyeolke sebuah kamar pasien kosong. Perawat itu mengamati kami dengan terpanamelihat bagaimana Chanyeol tak mau beranjak sedikitpun dari tubuhkudan membuka jendela di sebelah tempat tidur pasien.
“Park Chanyeol!” aku mulai berteriak lagi. Tapi tak ada reaksi apapun darinya. “PARK CHANYEOL!” jeritku sia-sia. Batinku kini mencelos saat mengetahui seluruh arwah di rumah sakityang jumlahnya mungkin mencapai ribuanberdatangan dan mengelilingi tubuhku dan Chanyeol penasaran. Seumur hidupku aku tak pernah melihat begitu banyak arwah yang berkumpul seperti ini. Tampaknya Chanyeol juga menyadari ada yang aneh sebab ia tiba-tiba menjadi waspada.
“Sae Rin?” ujarnya pelan. Melirik cemas ke seluruh ruangan. Angin yang berhembus melewati jendela sedikit lebih kencang dan Chanyeol bergidik. Sekitar lima puluh arwah baru saja melayang masuk dari jendela itu. Sebuah arwah gadis remaja berambut pendek, mata berlubang penuh darah dan rahang bawah terlepas berdiri di samping Chanyeol tetapi segera terpental jauh saat kilatan cahaya meledak bagai lidah api.
“Chanyeol, ini aku! Ini aku! Chanyeol Oppa!!” teriakku gusar. Kulihat Chanyeol mulai berkonsentrasi penuh. Ia memejamkan mata meski tangannya masih tetap memegangiku erat. “PARK CHANYEOL!”
“Rin? Itu kau? Aku tak bisa mendengarmu dengan jelas. Rasanya suaramu begitu jauh dan hanya terdengar samar-samar.” Terang Chanyeol cepat. “Apakahapakah ada begitu banyak arwah di sekitar sini?” tanyanya gelisah.
“BENAR!” teriakku lagi. Aku juga berusaha berkonsentrasi sambil berharap agar Chanyeol bisa mendengarku lebih jelas.
Andwae.” Ucap Chanyeol menggigit bibir. “Maafkan aku, Sae Rin-ah. Tapi aku tak bisa melepaskan tanganku sekarang karena arwah-arwah itu akan merebut tubuhmu seandainya aku tidak terus menggenggammu.”
Apa?
“Ketika aku mengalami kecelakaan tadi, aku mendengar mereka sengaja memancingmu ke jembatan penyebrangan itu dan berusaha memperingatkanmu untuk tidak mengejarku tapi sepertinya kau tidak dapat mendengarku. Begitu aku berhasil masuk ke dalam tubuhku, aku langsung memegangmu sebelum para arwah menguasai tubuhmu, Sae Rin-ah. Mereka sudah merencanakan ini sejak lama. Jadi kalau aku melepaskan tanganku, kau tidak mungkin bisa kembali lagi.”
“Tapi itu berarti aku juga tidak bisa memasuki tubuhku sendiri!” jeritku panik. Chanyeol mengangguk enggan dan ketakutan mulai merayapiku.
“Apa yang harus kulakukan?” tanyanya kebingungan.
Aku berpikir sejenak, sementara para arwah telah berdesakan memenuhi ruangan. Selalu ada yang mencoba mendekat dan langsung terlempar jauh oleh kilatan cahaya. “Oppa, bawa aku pada ayahku.” Ujarku sambil berkonsentrasi penuh.
“Sekarang?” tanya Chanyeol bingung. “Tapi kautubuhmu
“Tidak ada waktu lagi, Oppa. Sekarang juga!” seruku cepat ketika arwah yang mencoba mendekati Chanyeol semakin banyak.
Chanyeol tampaknya mengerti ketakutanku karena detik itu juga ia mencabut lepas seluruh selang di tubuhku dan langsung menggendongku keluar dari jendela. Beruntung sekali kamar ini terletak di lantai dasar dan mengarah pada sebuah taman Rumah Sakit, jadi ia segera mencapai gerbang dalam waktu lima menit berlari. Chanyeol menyetop taksi dan langsung menyebutkan stasiun KTX terdekat. Di tengah perjalanan, supir itu terlihat gelisah dan memperhatikan tubuhku yang tak sadarkan diri, menggunakan piyama Rumah Sakit bersama seorang pria yang begitu terburu-buru.
Dan dua puluh menit kemudian, kami telah berada dalam kompartemen KTX yang mempunyai rute Seoul-Busan. Chanyeol memesan ruangan VIP yang hanya memiliki dua kursi empuk yang lebar dan ia mendudukkanku di sebelah kanannyapersis di dekat jendela. Tetapi petugas yang berpatroli ke gerbong-gerbong merasa curiga ketika melihat wajahku yang pucat meski Chanyeol telah menutupi piyama kami dengan sebuah mantel yang tadi ia beli.
“Dia baru saja tertidur, pak.” Dalih Chanyeol saat petugas itu memanggilku. “Pacarku bilang dia takut naik Kereta, jadi ia minum obat tidur untuk menghilangkan rasa mual.”
Petugas itu sedikit meragukan ucapan Chanyeol, tetapi akhirnya ia menyerah dan meninggalkan kami. Perjalanan Seoul ke Busan biasanya cukup lama jika menggunakan transportasi lain seperti Bus atau kereta api biasa. Dengan KTX yang melaju sekitar 300km/jam, kami bisa menghemat waktu. Hanya butuh tiga jam untuk tiba di Busan dengan selamat dan nyaman. Jadi selama jam berikutnya, tak ada yang kulakukan selain berharap agar rencanaku bisa berjalan.
Aku memang melayang dua puluh inci dari lantai kompartemen VIP ini, terpisah dari tubuhku sendiri tetapi penglihatanku semakin memburuk bersamaan dengan kenyataan bahwa aku sedang menjadi arwah. Sepanjang perjalanan ke Busan, aku tak bisa berhenti berjengit dan ketakutan saat melihat begitu banyak arwah-arwah di rel kereta. Semuanya memiliki ciri yang hampir mirip; tubuh hancur karena tergilas kereta, wajah yang berlubang-lubang dengan rahang menggantung, serta potongan tangan-kaki atau kepala yang tak lagi menyatu dengan badan. Seluruh arwah-arwah itu juga ikut penasaran pada cahaya yang berpendar dari tubuhku dan Chanyeol dan setelahnya, kebanyakan arwah itu memutuskan untuk mengikuti kami.
Sesuai perhitungan, Kereta berhenti di stasiun Busan setelah tiga jam perjalanan. Begitu kami turun, manusia yang tumpah ruah di Stasiun itu sama banyaknya dengan para arwah yang berkeliaran. Chanyeol memperhatikan ke sekeliling dengan resah karena ia menyadari bahwa ada ratusan arwah yang tengah mengikutinya. Dan ketika akhirnya kami berhasil berada dalam sebuah taksi, Chanyeol mendadak menjadi gugup. Ia pasti tak pernah merencanakan akan muncul di depan pintu rumah orangtuaku sambil menggendong putri pemilik rumah yang tak sadarkan diri.
Perasaan rindu langsung menyerbuku saat taksi mengarah ke jalan sempit menuju rumahku. Keluargaku tinggal di sebuah rumah kecil yang berhimpitan dengan ruko di kanan kirinya. Rumah itu peninggalan kakek-nenekkuyang dua-duanya telah meninggaldan biasanya kedua orangtuaku berada di rumah ketika sore hari. Chanyeol membopongku keluar dari taksi dan berhenti di depan pagar reyot dengan lubang di sana-sini. Ia menarik napas banyak-banyak, sebelum memanggil ayahku.
“Permisi, apakah Jung Nam Il ada?” ujarnya keras. Kami menanti, dan ketika Chanyeol mengulang perkataannya, aku mendengar suara yang begitu familier menggema di udara.
“Sae Rin?”
Aku mencari pemilik suara dan menemukan arwah nenekku yang melayang di sekitar pohon kesemek menatapku hampa. Nenek meninggal empat tahun lalu karena sakit dan arwahnya tak pernah pergi dari rumah ini.
Halmeoni, kumohon bantu aku!” seruku panik sambil menunjuk tubuhku dalam pelukan Chanyeol. Tepat pada saat itu, pintu gerbang terbuka dan aku mendengar ibuku berteriak kaget.
Omo! Sae Rin! Uri Sae Rin! Yeobo! Palli wa! Uri Sae Rin racau Ibu panik dan menarik Chanyeol masuk ke dalam rumah. Ayahku nyaris terpeleset saat melihat tubuhku yang tak sadarkan diri dan beliau membuka pintu rumah lebar-lebar.
“Ada apa? Apa yang terjadi pada Sae Rin?” tanyanya panik. Ibuku meraih ponsel bututnya dan baru akan menekan nomor panggilan darurat saat Chanyeol mencegahnya.
Eommonim, andwae!” cegah Chanyeol. Kedua orangtuaku terlihat bingung dan Chanyeol menjelaskan semuanya dengan cepat. Arwah pemangsa yang tadinya ingin merebut tubuhku, arwah-arwah di Rumah Sakit dan sepanjang jalan Seoul-Busan, serta arwah yang baru yang mendatangi kami kini berkumpul semakin banyak. Ada beberapa arwah yang dulu sering kulihat selama aku tinggal di sini. Anak kecil bertopi merah, yang biasanya berdiri di sudut jalan, mendorong siapapun yang melintas di depannya. Ibu-ibu tua dengan tali yang mencekik lehernya, juga kakekku. Kakek korban kecelakaan mobil dan tewas di tempat. Jadi tubuhnya masih saja bersimbah darah saat ia mendekatiku.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan? Sae Rin?” tanya Ayahku. Setelah Chanyeol menjelaskan segalanya, beliau mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, berusaha mencari tanda-tanda keberadaan arwahku.
Aku berpaling pada arwah nenek dan kakekku. Mereka mengangguk dan aku mulai memberitahu Chanyeol mengenai ideku. “Chanyeol Oppa, kau harus melepaskan tanganku pada hitungan ketiga. Nenek dan Kakekku sudah setuju untuk menghalangi arwah-arwah itu semampu mereka.” Tubuh Chanyeol menegang saat mendengarkan ucapanku.
“Kau yakin? Sae Rin-ah, kau yakin?” tanya Chanyeol ragu. Ia mengulang kata-kataku pada Ayah dan Ibu. Mereka terlihat sama cemasnya dengan Chanyeol sekarang.
Aku yakin, Oppa.” Batinku kuat. Ia mengangguk dan mulai menghitung mundur. Ruangan mendadak hening. Bahkan para arwah pemangsa berhenti berputar-putar di atasku. Aku bersiap, berusaha mendekat sebisa mungkin dan menegang penuh antisipasi.
“Satu,” keheningan begitu mencekam.
“Dua,” Aku melirik pada arwah-arwah di atasku. Perempuan berambut panjang, dengan lidahnya yang terjulur panjang, terlihat menyeringai.
Tiga!” teriak Chanyeol dan detik yang sama, ia melepaskan tangannya.
Deru angin yang memekakkan telinga tiba-tiba muncul begitu saja di tengah ruangan. Arwah-arwah yang tadinya diam kini melompat turun dengan amat cepat dan beberapa dari mereka terpantul oleh sisa-sisa cahaya yang berpendar di tubuhku. Aku berusaha bergerak lebih cepat untuk bisa masuk ke tubuhku lebih dulu tapi entah dari mana datangnya, ada begitu banyak arwah yang sudah berada di depanku. Dan sesuatu yang mengerikan terjadi.
Kedua mata di tubuhku membuka secara mendadak. Jeritan panjang lolos dari bibirku. Bukan, itu bukan bibirku meski jeritannya memang berasal dari tubuhku. Sebuah arwah berhasil menyelinap masuk mengalahkanku dan mengambil alih. Tapi aku merasakan sakit yang tak bisa kujelaskan. Tubuhku baik-baik saja, dan arwahku juga tak tersentuh apapun, namun rasanya bagai ada yang mengoyak-ngoyak bagian dalam tubuhku dan aku mulai menjerit. Kali ini jeritan arwahku.
“SAE RIN-AH!!!” teriak Chanyeol ketika menyadari bahwa bukan arwahku yang berhasil masuk kembali. Matanya langsung menangkap di mana posisi arwahku ketika ia mendengar aku menjerit. “Tidak, itu bukan dia!” seru Chanyeol dan ia langsung memegang tanganku. Ledakan cahaya memukul mundur seluruh arwah dalam radius tiga meter, membuatku bergidik ngeri saat mengetahui bukan hanya satu, melainkan ada puluhan arwah yang berjejalan dalam tubuhku. Mereka berebut tempat di dalam tubuhku? Pantas saja rasanya sangat menyakitkan.
Chanyeol mulai menghitung mundur lagi dan kali ini aku tak lagi berharap terlalu banyak. Arwah kakek dan nenekku sudah menghilang karena mereka tak sanggup menahan hasrat arwah pemangsa yang begitu besar. Itu berarti hanya tinggal aku seorang diri. Aku dan arwah-arwah pemangsa.
Tiga!!” raung Chanyeol dan aku melompat dengan kekuatan penuh. Cahaya itu masih ada di sana, berpendar mengitari tubuhku dan Chanyeol tetapi aku tak peduli. Saat seberkas cahaya mengenaiku, kurasakan gravitasi menarikku ke belakang dengan amat kuat. Aku mengeraskan tekadku dan mencoba tak mengalah pada tarikan itu. Itu tubuhku. Aku harus mendapatkannya kembali.
Tentu saja arwah pemangsa tidak membiarkanku melakukannya. Mereka berputar menjadi pusaran angin dan berusaha mendorong arwahku menjauh. Tetapi langkahku satu inci di depan mereka, jadi pada saat dua tarikan aneh menarikku pada dua arah yang berbedake belakang dan ke depanaku melompat maju dan membiarkan arwahku terhisap masuk pada tubuhku yang kosong. Sensasi aneh saat arwahku berusaha masuk membuatku kebingungan. Rasanya tubuhku berputar-putar dan kepalaku pusing sekali. Di mulai dari kaki, tangan dan terakhir kepalaku. Arwahku mulai mengambil alih tubuhku tetapi pada saat kepalaku mulai beradaptasi, kurasakan kedua tangan Chanyeol menggenggamku dan ledakan cahaya membuat penglihatankuyang belum sepenuhnya mendapatkan kendali pada tubuhkudi penuhi cahaya putih yang membutakan.
Dan selanjutnya hanya ada kegelapan.


***


Kabut itu sama sekali tak terasa dingin di kulitku. Tapi tetap saja aku bergidik ketika tubuhku seakan tenggelam dalam lautan kabut tak berujung. Kuamati sekelilingku dan tak ada siapapun. Keheningan tampaknya menjadi satu-satunya hal yang paling mendominasi di siniselain tentu saja, kabut itu sendiri. Sejauh yang bisa kutangkap oleh penglihatanku, aku seperti berada di tengah padang rumput. Langit berwarna putih, dengan rumput-rumput kehijauan yang indah. Keheningan-lah yang membuatku nyaman. Aku suka berada di sini, rasanya seluruh bebanku, ketakutanku serta kecemasan yang selalu kualami telah meninggalkanku untuk selamanya. Hanya ada ketenangan yang damai.
Aku tak tahu berapa lama aku berbaring di sini dan menikmati kesunyian yang menenangkan. Tapi langit sama sekali tak berubah menjadi keemasan. Tak ada yang terjadi selain rumput-rumput di sekelilingku bergerak lambat tertiup angin padang rumput yang sejuk. Tapi ada sebuah suara, begitu jauh dan sayup-sayup. Suara itu mengusik perhatianku dan semakin lama semakin besar.
Jung Sae Rin..” panggil suara itu dan tiba-tiba saja kerinduan tak tertanggungkan menyeruak ke dalam hatiku. Aku pernah mengenal suara ini. Dan amat sangat mendambakannya.
“Jung Sae Rin..” Bibirku bergetar saat suara itu semakin menguat di kepalaku. Aku menutup mata dan menanti ketika suara merdu itu kembali mengucapkan namaku.
Tapi berikutnya hanya keheningan yang muncul. Aku menunggu sedikit lebih lama lagi dan tetap tak mendengar apapun. Hatiku mencelos, tidak mengerti mengapa aku sangat mengharapkan suara itu memanggilku. Dan saat airmataku sudah mendesak untuk keluar, aku mendengarnya.
“Jung Sae Rin, sedang apa kau di sini?”
Begitu dekat, begitu jelas dan indah. Mataku membuka dengan cepat dan kulihat sang pemilik suara sedang berdiri di atasku dengan wajah penuh senyum. Matanya membulat jenaka, hidungnya seperti pahatan sempurna. Bibirnya penuh, menggoda dengan senyum yang tak pernah habis, memamerkan deretan gigi putih bersih dan rapi yang selalu membuatku terpana.
Dia Chanyeol, Park Chanyeol. Pria yang begitu kurindukan, hingga rasanya tulang-tulangku sakit. Pria itu begitu tampan, mengenakan pakaian serba putih dan tangannya terulur kepadaku.
“Ayo pulang,” bujuknya dengan senyuman. Aku memberikan tanganku dan ia menarikku berdiripersis di hadapannya. “Ayo pulang, Jung Sae Rin. Aku sudah menunggumu.”
Aku mengangguk dan Chanyeol mendekatkan kepalanya sembari berbisik. “Berjanjilah untuk tidak menghilang lagi, Sae Rin-ah. Karena aku tak bisa hidup sendirian di dunia tanpamu.”
Kata-katanya membuatku tersetrum. Aku tersentak kaget dan kedua kelopak mataku membuka dengan sendirinya. Hal pertama yang berhasil kukenal adalah petak-petak putih jauh di atas kepalaku. Beberapa detik setelahnya aku mendengar suara bip-bip nyaring yang berbunyi kontinu. Kepalaku sakit dan tubuhku rasanya kaku. Aku menggeser kepala ke kanan dan melihat kepala Chanyeol yang sedang berbaring di sisi tempat tidur, menghadapku. Kurasakan tangannya memegangku hangat, membuatku ingin tersenyum dan menangis di saat yang bersamaan. Tetapi kedua mata Chanyeol yang bulat tiba-tiba menangkapku.
“Selamat datang.” Bisiknya dengan kelegaan yang terlihat jelas. “Jangan pergi lagi.”
Aku mengangguk dan butiran airmata jatuh melewati pipiku. Chanyeol mengusap airmata itu lalu kembali berbisik di telingaku. “Kalau kau berani koma lagi, aku tidak akan memaafkanmu, Jung Sae Rin.”
Itu bukan ancaman, itu permintaan, permohonan yang membuatku tak mampu mengendalikan tangisku. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terbaring koma di rumah sakit, berapa lama Chanyeol berhasil menemukan arwahku yang tersesat, juga apa yang akan terjadi dengan kemampuanku. Aku hanya mengetahui satu hal: Chanyeol berada di sampingku. Tersenyum dan memandangku penuh rindu.
“Aku mencintaimu, Park Chanyeol.” Batinku pada Chanyeol. Ia menggenggam tanganku lebih erat.
Nan neomu neomu neomu neomu neomu saranghae, Jung Sae Rin.” Balasnya tersenyum.


Hidupku tak akan pernah mudah. Selalu saja ada arwah yang mencoba mengacaukan ritme hidupku yang penuh ketakutan. Tapi aku tak lagi berjalan dengan pandangan menunduk ketakutan. Sebab seseorang telah menggenggam tanganku dengan hangat. Kedua tangannya menutupi indra penglihatanku saat aku terlalu takut untuk melihat dunia. Ia selalu disana, memberi perlindungan bagiku kapanpun aku memanggilnya. Aku membutuhkannya untuk bisa hidup normal. Tapi semakin lama, kusadari bahwa pikiran itu telah bergeser begitu jauh. Kenyataannya, aku lebih mencintainya daripada membutuhkannya. Sebab rasa cinta ini membuatku rela terus menutup mataku karena aku bisa melihat wajahnya dalam kepalaku.
Wajah penuh senyum milik Park Chanyeol.


*END*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar