TITLE : SCARLET
[2]
GENRE : Action-Romance, AU
(Alternate Universe)
RATING : NC-21
CAST : Lee
Donghae
Youva Cardia
Author : @Aoirin_Sora
Summary:
Belakangan ada yang meresahkanku.
Bergerak mengganggu nyenyak tidurku dan aku sering berharap agar kegelisahan
yang kurasa segera pergi. Namun di saat yang bersamaan, pikiran lain
menghantuiku. Entah bagaimana caranya, setiap hal yang kupikirkan semakin
membuatku tak nyaman, membuatku terjaga semalaman, hingga bahkan ketika fajar
menjemput mimpi. Tidak, aku tidak sedang bermimpi, aku berani bertaruh bahwa
setiap hal yang kualami belakangan ini nyaris disebut ilusi. Termasuk pria itu.
***
CHAPTER TWO:
Indifference
Lee Donghae tiba sekitar seratus dua
puluh menit kemudian, saat aku dan Mr. Dallagh nyaris menghabiskan es krim
kedua kami. Di saat itulah pria itu tiba dengan wajah kusut, rambutnya mencuat
ke segala arah dan kemejanya penuh lipatan. Ada kecemasan yang tercetak jelas
di kedua mata cokelat itu. Sedikit kekhawatiran lagi dari ekspresi wajahnya
yang sama sekali tak mengharapkan atmosfir menyenangkan antara aku dan Mr.
Dallagh.
“Maaf atas keterlambatanku, Marven.”
Ujarnya sambil berusaha mengatur napas. Ia melirik kami, yang sama-sama
memandanginya dengan alis terangkat. “Jadi, semuanya baik-baik saja?” imbuhnya
langsung memposisikan diri di antara aku dan Mr. Dallagh.
Senyum Mr. Dallagh merekah di
wajahnya hingga membuatku juga ikut tersenyum. Pria tua itu menatapku dengan
tatapan baik hati dan menyendokkan sisa es krim di gelasnya sebelum menjawab.
“Semuanya, baik, nak. Amat sangat baik. Aku benar-benar sangat senang hari ini.
Tak pernah sekalipun aku merasa sangat menikmati makan siangku. Malah aku
sebenarnya tidak terlalu peduli kau bisa datang atau tidak, selama Miss Cardia
yang baik ini mau menemaniku mengobrol,” jawab Mr. Dallagh bersungguh-sungguh,
yang membuat kedua alis Donghae langsung meninggi. “Omong-omong, bagaimana
dengan Anne?”
Donghae melirikku dengan satu detik yang
singkat lalu memutuskan tidak menanggapi jawaban Mr. Dallagh yang memojokkan
dirinya. Ia berdeham satu kali dan mencoba mengambil alih situasi. “Well, aku
sudah memaksanya mengaku dan mengamankannya. Jadi kuharap kau sudah memutuskan
masalah perpanjangan kontrak itu, Marven.”
Mr. Dallagh mengibaskan tangannya ke
udara, mengisyaratkan bahwa itu hal sepele. “Aku sudah membahasnya dengan Miss
Cardia dan memintanya untuk mengirimkan salinan kontrak baru padaku tiga hari
lagi. Tapi, ada sedikit masalah mengenai itu—”
ia menghentikan kalimatnya dan membiarkan Donghae mengangguk paham.
“Miss Cardia,” panggilnya tanpa
berbalik ke arahku. “Ambilkan setelan jasku yang baru di dalam mobil.
Sekarang.” Perintahnya tegas.
Aku menatapnya heran selama beberapa
detik sebelum menjawab “Ya, Sir,” dengan patuh dan segera turun. Samar-samar
aku merasa bahwa mereka akan mendiskusikan masalah yang bersifat rahasia—yang
tentunya mereka tidak ingin aku tahu—melihat bagaimana Mr.Dallagh memenggal
kalimatnya dan Donghae yang terang-terangan mengusirku. Aku tidak terlalu
memusingkan hal apa yang akan mereka bicarakan karena sejujurnya aku tidak
ingin membebani pikiranku dengan hal-hal yang tidak perlu pada hari pertama
bekerja.
Chad, supir pribadi Donghae
kelihatan bingung ketika menemukanku berjalan memasuki mobil. “Sudah selesai?”
tanyanya heran. Tentu saja, sebab ia baru mengantar Donghae sepuluh menit lalu.
“Belum. Mr. Lee Donghae hanya
menyuruhku untuk mengambilkannya jas yang baru.” jawabku mengangkat bahu,
membuka tirai yang membatasi kursi tengah dan bagasi—yang disulap menjadi
lemari praktis untuk bisa memuat pakaian dan barang-barang penting lainnya.
Aku sengaja mengulur waktu hingga
dua puluh menit sebelum kembali masuk ke restoran itu. Barangkali mereka
membutuhkan privasi sedikit lebih lama dan aku tak mau merusak suasana. Jadi,
ditambah dua puluh menit untuk naik turun tangga sialan itu, aku memberi mereka
total empat puluh menit untuk berdiskusi dan kupikir itu sudah cukup.
Tapi rupanya Donghae berpendapat lain.
“Kau tersesat?” tanyanya dengan nada
sebal. Matanya memandangku dingin. Aku membuka mulut hendak memberinya
penjelasan tetapi kemudian kulihat Mr. Dallagh yang tersenyum kecil dan
mengangguk padaku. Sepertinya ia menyadari niat baikku. Jadi alih-alih protes, aku
hanya mampu menjawab, “maafkan saya, Sir.”
Ia tak menggubris permintaan maafku,
tidak juga mengambil setelan jas yang telah kubawakan. Pria itu memalingkan
wajahnya ke arah Mr. Dallagh yang tampak cerah—kontras sekali dengan wajahnya.
“Baiklah, Marven. Aku harap semuanya berjalan lancar sebab aku tidak mau
mendengar Glimmer memenangkan eksekusi.” Donghae bangkit, berdiri di
hadapan Mr. Dallagh yang juga berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Jangan khawatir, nak. Akan lebih
mudah menghadapinya jika kita bersama-sama.” Ujar pria tua itu tersenyum
hangat, menjabat tangan Donghae yang masih saja kelihatan kesal dan tak lupa
menjabat tanganku. “Terima kasih untuk hari ini, Miss Cardia. Kuharap kita bisa
sering bertemu.”
“Terima kasih atas keramahan anda,
Sir. Saya harap juga begitu,” balasku tersenyum. Mr. Dallagh masih sangat
menyenangkan di mataku. Senyum di wajah pria itu tetap tak berubah hingga
ketika pintu menutup di belakangku sekalipun, meninggalkan keheningan yang
mencolok antara aku dan Donghae.
Langkahku baru akan menuju anak
tangga ketika Donghae berseru memanggilku. Aku mendatanginya cepat dan pria itu
bertanya mengapa aku malah memasuki ruang tangga darurat. Dengan sedikit
kebingungan aku menceritakan mengenai pelayan yang mengatakan bahwa aku harus menaiki
tangga darurat karena liftnya macet. Dan mendengar hal itu, Donghae tertawa.
Benar-benar tertawa. Ia memegangi perutnya dan terbungkuk-bungkuk menahan suara
tawanya yang merambat ke seluruh dinding. Aku benar-benar bingung sekarang.
Apakah ada yang salah denganku? Kenapa dua orang pria kaya yang kutemui hari
ini menjadi histeris karena jawabanku—yang menurutku sama sekali tidak lucu—?
Sama seperti Mr. Dallagh, Donghae
berusaha keras mengendalikan dirinya dan menarik napas dalam-dalam. Saat itulah
tangannya memencet tombol lift dan terdengar bunyi nyaring, lalu serta merta
pintu lift terbuka. “Ini yang kau maksud rusak?” tanyanya mengejekku dan aku
tahu wajahku merah padam sekarang, jadi aku tidak heran mengapa Donghae kembali
terjungkal melihat ekspresiku.
Aku benar-benar ingin kabur ke mana
saja, menyembunyikan diriku yang kelewat idiot hingga naik turun tangga sampai
berkali-kali. Tapi lebih dari itu, aku ingin sekali menendang pelayan yang
memberiku informasi palsu tadi. Donghae tetap tertawa namun tangannya berhasil
menahan pintu lift yang akan menutup. Ia memperhatikan wajahku yang malu berat
dan memutuskan untuk mengakhiri leluconnya.
“Itu ulah Marven. Dia selalu
melakukan hal-hal semacam ini padaku dalam setiap janji makan siang kami.”
Terang Donghae yang mulai memperbaiki dirinya lewat pantulan dinding lift.
“Jadi jangan tertipu informasi apapun yang di berikan pelayan padamu kecuali
mereka membuktikannya.” Aku mengangguk tapi wajahku masih menghangat. Pikiranku
berkelebat mengingat betapa memalukannya menaiki tangga selama sepuluh menit
dengan peluh menetes sementara semua orang menggunakan lift dalam waktu tiga
menit.
“Miss Cardia,” panggil Donghae
membuyarkan kesadaranku. Cepat-cepat kusorongkan setelan jas padanya namun
Donghae menggeleng. Pria itu malah meletakkan jas cokelat mudanya ke atas
tanganku yang terulur. “Lupakan saja. Udara sudah cukup panas tanpa harus
mengenakan pakaian tebal.”
Setelah anggukanku yang canggung,
kami tidak mengucapkan sepatah katapun hingga tiba di mobil. Aku tahu pria itu
terus-terusan memandangiku dan sama sekali tak berniat mengalihkan tatapannya
ketika aku memergokinya. Donghae berusaha memperhatikan jalanan, namun tetap
saja tatapannya terarah kembali lagi padaku. Tadinya aku tidak peduli, tetapi
lama kelamaan aku menjadi cemas—gabungan perasaan risih dan sebal—dan tiba-tiba
saja Donghae menyuarakan pikirannya.
“Bagaimana—?” tanyanya nyaris tak
terdengar, malah hampir terdengar seperti gumaman. Donghae menggeleng, berdiam
diri namun kembali menatapku. “Bagaimana Marven bisa sangat menyukaimu? Apa
yang kau lakukan padanya?”
Sejujurnya, aku merasa ada semacam
tuduhan di balik pertanyaan Donghae barusan. Tapi, sekali lagi kuingatkan
diriku bahwa dia Lee Donghae, pengusaha sukses yang mengantongi triliunan dollar.
“Kami hanya mengobrol, Sir.” Jawabku sopan. Aku menekan emosiku sampai titik
akhir dan Donghae sepertinya berencana merusak pertahanan diriku.
“Benarkah?” tanyanya skeptis. Jelas
sekali dia meragukan jawabanku. “Kau yakin tidak melakukan hal lain?”
Perlu kutekankan, tidak pernah
sekali saja dalam hidupku aku membiarkan siapapun menghina atau melecehkanku.
Tidak ketika Lary, anak walikota yang berusaha membujukku untuk mengencaninya
di tempat tidur atau ketika Sean yang meneriakiku perempuan jalang karena aku
tidak tertarik padanya. Aku tidak memiliki sabuk hitam karate, tapi kedua
tinjuku masih bisa membuat gusi mereka berdarah. Namun sialnya, aku benar-benar
butuh uang saat ini, dan kalau aku melakukan hal semacam itu, bisa kupastikan
pekerjaanku akan berakhir detik ini juga. Jadi, aku harus menggigit lidahku
keras-keras sebelum menjawab pria kurang ajar di sebelahku.
“Aku yakin, Sir. Anda boleh bertanya
pada Mr. Dallagh. Kami hanya mengobrol dan makan siang.” Kupaksakan sebuah
senyum melebar di wajahku kendati aku menggertakkan gigi.
Mata Donghae menatapku dalam, tampak
masih curiga namun tak bisa berkata apapun lebih jauh. Ia mengangkat bahunya
dan kembali menatap jalan. Agak lama keheningan menyertai kami, sampai ketika
mobil berhenti, Donghae melonggarkan dasinya dengan malas. “Ah, aku benci udara
panas.” Keluhnya sambil membuka pintu mobil, mendahuluiku dan berjalan masuk
tanpa berusaha memelankan langkahnya.
“Kenapa kau lama sekali?!” Donghae
berdiri berkacak pinggang persis di depan pintu lift. Wajahnya terlihat kesal
dan dia membuka kancing teratas kemejanya. “Cepatlah! Aku tidak bisa mentolerir
kelambananmu, Miss Cardia.”
Kakiku langsung tergesa-gesa
mendatanginya dan pintu lift menutup tepat ketika bayanganku berhasil masuk
sepenuhnya. Donghae sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya dan
terus menerus mendecak marah. Situasi seperti ini sangat tidak nyaman bagiku,
tapi aku harus membiarkan bosku melampiaskan kejengkelannya dan berpura-pura
aku adalah bagian dari dinding lift.
Donghae segera menghambur ke
ruangannya dengan langkah buru-buru. Tadinya aku ingin merebahkan diri di
kursiku, tapi belum sempat aku menggeser kursi, telepon berdering.
“Masuk.” Perintah Donghae cepat.
Ketika aku membuka pintu,
pemandangan yang kulihat sungguh membingungkan. Donghae sedang melepaskan
kemejanya dengan paksa, melempar benda itu ke seberang ruangan lalu berjalan
mendekatiku secepat kilat.
Dadaku mulai bergemuruh. Melihat
tubuh seorang lelaki dewasa tanpa tertutup apapun adalah hal yang tidak biasa
bagiku. Maksudku, aku memang sedang berada di Negara yang paling bebas, dimana
pakaian bukanlah bagian dari norma, melainkan fashion semata. Tapi tetap saja aku tidak bisa memerintahkan
jantungku untuk berdetak normal ketika melihat pria itu mulai mendekatiku.
Lee Donghae ternyata memiliki dada
bidang yang luar biasa seksi. Aku yakin pemandangan ini akan merembes ke dalam
setiap mimpiku, mengaburkan setiap kewarasan yang berujung pada kesia-siaan
akan adanya harapan untuk bertahan dari pesonanya. Lee Donghae bukan malaikat,
tapi kalau aku bisa memberikan perumpamaan yang tak masuk akal, bisa kupastikan
sosok malaikat lebih menyerupai dirinya di bandingkan siapapun. Atau apapun.
Kulit pria itu seputih marmer.
Berkilau bagai mutiara di tengah ruangan yang dingin. Sementara otot lengannya
membentuk lekukan seksi yang menyita perhatianku lebih banyak lagi. Aku nyaris
tidak bisa bernapas ketika kusadari tubuh itu semakin mendekatiku, seakan tak
membiarkanku menghirup udara. Dan ketika indra penciumanku telah terisi penuh
oleh aroma kolon yang menghambur dari tubuhnya, saat itulah Donghae sudah
berdiri di depanku dengan mata menyipit dan bibir mengatup.
Konsentrasi, Youva. Oh, ayolah. Kau harus berhenti mengagumi
bibirnya!
Matanya yang tajam menembus
pertahanan diriku yang rapuh. Aku tidak mengerti apa yang akan dilakukan
Donghae namun jangankan untuk berpikir, bergerak satu inci pun hampir mustahil
bagiku sekarang.
“Aku tidak ingin diganggu satu jam
kedepan. Jangan biarkan ada telepon atau siapapun menggangguku. Mengerti?”
tanyanya dengan kedua tangan bersedekap, menampilkan otot lengan dan dadanya
yang mengagumkan.
Oke, aku bohong kalau aku berkata
Lee Donghae tidak mempesona. Dia gabungan antara iblis dan malaikat. Menggoda
dengan wajah tampan dan tubuh yang sempurna. Sial.
Tetapi dalam rentang waktu yang
singkat, otakku tiba-tiba saja langsung berpikir. “Tapi, Sir, anda harus
mengikuti rapat lima belas menit lagi—”
“Kalau kubilang tidak, artinya tetap
tidak, Miss Cardia. Undur rapat itu hingga besok pagi. Dan sekarang cepat
pergi.” Perintahnya tegas. Aku memilih untuk menunduk dan mundur beberapa
langkah, menutup pintu ruangan Donghae, lalu mulai memperbaiki jadwal pria itu
satu persatu.
Kepalaku masih pusing. Pemandangan
tubuh pria itu terus saja membekas di ingatanku, memaksaku untuk menggigit
bibir lebih keras dan berulang kali menggeleng seperti perempuan sinting. Aku
benar-benar mengerti bagaimana perasaan para sekretaris Donghae yang
sebelumnya. Melarang mereka untuk jangan jatuh cinta padanya, sementara pria
itu bahkan tidak repot-repot menutupi tubuhnya dan mengumbar ketampanan
sekaligus betapa seksinya tubuhnya di depan mereka? Sudah pasti ada yang tidak
beres dengan pria itu.
Pukul setengah lima sore, Donghae
keluar dari ruangannya dengan begitu tiba-tiba, membuatku kaget dan hampir
terjatuh ketika berusaha berdiri. Kedua tangan Donghae dengan sigap menahanku,
membantuku menyeimbangkan diri agar tidak jatuh.
“Terima kasih, Sir.” Bisikku sedikit
kaku dan ia berdeham satu kali.
“Aku akan pergi ke suatu tempat,
jadi kau sudah bisa pulang sekarang, Miss Cardia.” Ujarnya tanpa melirikku.
Pulang pada pukul setengah lima
sore? Bukankah itu terlalu cepat? “Err.. baiklah, Sir.” Jawabku mematuhinya.
Pelajaran kedua yang harus kuingat hari ini; patuhi saja apapun yang diminta Donghae. titik.
“Kau bisa pulang dengan Chad. Aku
akan membawa mobilku sendiri.” Perintah Donghae lagi. Dan sebelum aku sempat
mengucapkan terima kasih atau apapun, pria itu sudah melenggang pergi.
Membuatku sedikit bingung dengan kebaikannya sore ini.
***
Keesokan paginya terjadi hal yang
menggemparkan. Aku hampir tak mempercayai pendengaranku. Sesosok mayat wanita
cantik di temukan tewas mengenaskan di kamar sebuah hotel di pusat kota. Hasil
autopsi menunjukkan bahwa kematiannya di sebabkan oleh sebutir peluru yang
menembus tengkorak kepalanya. Polisi masih menyelidiki kasus itu, kendati
mereka belum menemukan kejanggalan apapun. Kesimpulan bunuh diri di perkuat
dengan terungkapnya fakta bahwa kamar itu terkunci dari dalam, dan sebuah senjata
api tergeletak persis di sebelah tubuh si mayat. Saksi mata bahkan mengatakan
bahwa wanita itu memasuki ruang kamar dengan kondisi mabuk dan nyaris tak
sadarkan diri. Sendirian.
Aku masih mencengkram erat pinggiran
meja—yang cuma satu-satunya di rumah ini—dan ternganga ketika menyaksikan
kilasan gambar yang terekam cameraman.
Tidak salah lagi, wajah angkuh yang kemarin tercetak jelas itu kini terlihat
hampa, meskipun kecantikannya masih abadi di sana. Tubuhnya terbujur kaku,
dengan percikan darah yang menempel pada dinding-dinding yang berwarna gading.
Ada kengerian di matanya—terbelalak kaget menatap entah apapun sebelum ia
menemui ajalnya—dan sebelah tangannya menggenggam sebotol Tequila. Aku nyaris tak percaya, sebab belum lagi dua puluh empat
jam sejak aku bertemu dengannya di hotel, Anne J. Loombergh alias wanita
Skandinavia yang angkuh telah tewas tertembak.
Bukankah kemarin siang Donghae baru
saja bertemu dengan wanita itu di Imperium Hotel? Napasku memburu ketika
menyatukan beberapa potong informasi yang berkelebat di kepalaku. Aku ingat
ketika Donghae mengatakan kepada Mr. Dallagh bahwa dia telah mengamankan wanita
itu. Apakah itu berarti pembunuhan?
Tidak ada gunanya berspekulasi
sendiri. Akan lebih baik jika aku bisa memastikannya.
Satu jam kemudian, aku meletakkan
segelas kopi hangat dengan asap yang masih mengepul di atas meja kerja Lee
Donghae. Pria itu baru tiba lima menit lalu dan segera memerintahkanku untuk
membawakannya secangkir kopi organik. Sementara tangannya langsung memilah-milah
seluruh berkas-berkas laporan yang sudah lebih dulu kususun rapi, dan aku
berusaha membuka percakapan pertama kami pagi ini.
“Sir, saya dengar bahwa Miss Anne J.
Loombergh telah meninggal kemarin malam.” Ucapku yang sengaja tidak menggunakan
kalimat bunuh diri. Bagaimanapun, aku
ingin melihat reaksinya.
Gerakan Donghae sempat terhenti
namun hal itu tidak berlangsung lama. Bisa kulihat pria itu berusaha
mengabaikan pernyataanku barusan.
“Aku tahu.” Komentarnya terdengar
datar. Donghae bahkan tidak berusaha menatapku, pandangannya hanya terpusat
pada tumpukan laporan.
Kenapa pria ini bersikap begitu
dingin? Bukankah mereka baru bertemu kemarin? Dan menghabiskan waktu sekitar
tiga jam lebih dalam kamar, bukan? Atau jangan-jangan Donghae adalah tipe
lelaki yang tidak ingin menunjukkan kesedihannya?
Ketika aku masih tenggelam dalam
aktifitas mengamati reaksi Donghae, tiba-tiba saja wajahnya mendongak,
menangkap basah perbuatanku dengan kedua mata menatap garang. Ganti Donghae
yang mengamatiku. Tangannya bertopang di dagu dan ada nada mendesak dalam
pertanyaannya. “Ada yang ingin kau sampaikan, Miss Cardia?”
Aku mengerjap beberapa kali, mencoba
menghilangkan kegugupanku sekaligus menutupi rasa bersalah karena telah berani
berlama-lama menatapnya. “Err.. tidak ada, Sir. Saya hanya ingin tahu.. apakah
Anda ingin menghadiri pemakaman Miss Loombergh hari ini, karena sepertinya anda
cukup dekat dengan—”
“Miss Cardia,” sela Donghae keras.
“Cukup urusi jadwalku. Jangan campuri kehidupan pribadiku.” ujarnya tajam. Seketika
tubuhku menciut saat wajah rupawan itu berubah menjadi dingin, membekukan
seluruh tungkai kakiku. Ada perasaan terluka yang aneh yang tertinggal di
hatiku. Tapi segera terpecah ketika Donghae bertanya lagi.
“Ngomong-ngomong, apa saja jadwalku
hari ini?”
Tanganku segera meraih notes kecil
di sakuku dan membacakan jadwal Donghae seharian. “Anda memiliki rapat dengan
IMaginary Corporation pukul sebelas pagi ini, Sir. Setelah itu ada sebuah janji
temu dengan klien anda, Mr. Alex Kennedy pukul satu siang dan Miss Jennifer C.
Houston pada pukul tiga sore. Tetapi Mr. Kennedy baru saja mengkonfirmasi bahwa
dia memundurkan jadwal menjadi pukul tiga. Haruskah saya menggantikan anda
untuk bertemu dengannya, Sir?”
Donghae berpikir sejenak,
menimbang-nimbang setiap keputusannya dengan cermat. Dia menatapku sekilas
tetapi kemudian langsung menggeleng. “Tidak perlu, aku akan menemui Alex lebih
dulu. Sebaliknya, kau pergilah ke Jennifer. Katakan padanya aku akan terlambat
lima belas menit.”
Aku mengangguk patuh. Tetapi sedikit
rasa penasaranku menguap ke permukaan. Kenapa Donghae malah menyuruhku menemui
Jennifer? Bukankah seharusnya dia lebih menyukai wanita cantik? Oh, well, bukan
urusanku. Benar.
“Miss Cardia, sepertinya kau masih
belum mengerti seleraku.” Kata Donghae dengan tangannya bertopang di dagu.
Kedua matanya yang indah mengamati tubuhku dari atas hingga bawah, menyatroni
setiap inci lekukan tubuhku dan mengacuhkan ekspresiku yang terluka.
Tidak ada yang salah dengan
penampilanku hari ini. Aku menggunakan kemeja linen putih gading dan rok hitam
selutut. Menurutku ini semua sudah lumayan, mengingat aku hanya memiliki tiga
pasang pakaian yang layak untuk dipakai bekerja.
“Siapkan mobil. Kita pergi.”
Perintahnya datar dan mulai menyusun beberapa lembar kertas laporan yang
berserakan.
“Err.. kita akan kemana, Sir?”
tanyaku bingung. Rapatnya satu jam setengah lagi dan akan berlangsung di sini.
Donghae berdiri, mengambil jasnya
yang tergantung di sebelah kursinya lalu berjalan ke arahku. “Aku tidak tahan,
Miss Cardia. Apakah ini pakaian terbaik yang bisa kau pakai bekerja?”
Pipiku menghangat mendengar
ucapannya. Aku yakin bahkan tengkukku sudah ikut-ikutan memerah sekarang.
Telingaku berdentam-dentam, mendengungkan irama jantungku yang dipenuhi emosi.
Perasaan malu menyelinap dengan tidak sopan, membuatku menunduk menatap lantai
pualam yang dingin.
“Maafkan aku, Sir.” Bisikku
menggigit bibir. Haruskah kukatakan padanya kalau aku benar-benar tidak
memiliki sepeser uang pun untuk membeli setelan kerja yang baru? Ingatan akan
besarnya nominal hutang yang harus segera kulunasi membuatku menelan ludah
dengan pahit. Aku tidak pernah merasa terhina seperti ini. Tapi Donghae benar.
Pria itu tidak mengatakan sesuatu yang salah, karena dia sudah menjelaskan
peraturan pertamanya padaku kemarin pagi.
Udara di sekitar kami terasa
canggung—setidaknya bagiku—dan aku berusaha keras menahan airmataku yang
mendesak keluar. Ugh, kenapa sifat sentimentilku harus unjuk diri di saat yang
tidak tepat?
“Jadi, well—bersiaplah. Kita akan pergi sekarang juga.” Perintahnya cukup
tegas, tapi aku bisa merasakan nadanya melembut. Donghae menggerak-gerakkan
sepatunya gelisah. Aku yakin dia juga merasa tak nyaman dengan suasana ini,
tetapi aku segera mengangguk dan menghubungi Chad.
Kami berkendara menuju St. Barbara
Road dalam keheningan sementara Chad membiarkan Piano Sonata milik Beethoven
mengisi kesunyian dalam mobil. Donghae belum mengatakan apapun lagi sejak dia
menyuruhku bersiap dan aku terlalu malu bahkan untuk melirik wajahnya.
Sepanjang jalan aku terus-terusan menatap ujung kukuku yang berbentuk oval,
mencoba memikirkan sesuatu yang lain—sesuatu yang menyenangkan—namun gagal.
Kepalaku dipenuhi dengan Donghae, pakaianku, hutang dan Donghae. Oke,
sebenarnya Donghae muncul tiga kali, tapi kedengarannya seperti maniak kalau
aku mengakui hal itu.
Mobil berhenti di parkiran LOEL
Departement Store yang terlihat ramai oleh pengunjung. Chad menurunkan kami
persis di depan pintu masuk dan berkata akan menunggu di mobil saja. Aku
mengikuti langkah Donghae dengan kikuk, berusaha terlihat normal meski aku
mencuri pandang ke arah punggungnya setiap semenit sekali. Jelas pria itu tidak
repot-repot bertanya apapun dan memasuki semua toko yang sesuai seleranya. Dari cara berjalannya yang penuh
percaya diri, aku yakin Donghae sudah kelewat sering mengunjungi toko-toko
pakaian wanita. Kami memasuki sebuah butik di lantai dua dan Donghae langsung
mengambil sepasang kemeja berlengan pendek berwarna peach juga celana panjang berwarna turquoise. Tidak hanya itu, ia menyambar apapun yang berjarak dua
meter darinya. Sepatu, atasan ketat dan longgar, celana-celana, rok sutra
bermotif, cardigan, bahkan saputangan. Donghae menumpuk semua itu di atas meja
kasir yang terlihat kaget.
Pelayan toko langsung membungkus
semua barang-barang itu hingga mencapai dua belas tas! Donghae melirikku dan
berdeham canggung padaku yang berdiri melongo di depan pintu masuk. “Berikan
ini padanya.” Kata Donghae terdengar salah tingkah. Pelayan wanita itu
mengangguk dan segera menyerahkan semua tas itu padaku.
Kembali kurasakan pipiku merona
sambil memperhatikan ujung sepatuku—yang benar-benar jelek jika di banding
dengan salah satu dalam tas—dan berusaha mendengar berapa harga semua
barang-barang ini. Rahangku nyaris jatuh ketika kasir wanita menyebutkan angka
dua ratus ribu dollar. Yang benar saja! Dua ratus ribu dollar untuk semua ini?
Mataku langsung mencari Donghae dengan putus asa dan memberikan semacam sinyal
padanya. Aku bahkan memelototinya tetapi ia Cuma melirikku sekilas.
“Sir, maaf. Tapi sepertinya aku tak
bisa membayar semua ini dengan gajiku—” Dengan sedikit kesusahan aku berlari
mengejar pria itu yang sudah sepuluh langkah jauhnya dariku.
Donghae berhenti. Memutar kepalanya
dan menatapku sedikit skeptis. “Biar kuperjelas, Miss Cardia. Begini, aku tahu
barang-barang itu terlalu mahal
bagimu tapi aku ingin kau tahu, apa kau pikir aku akan membiarkanmu berkeliling
bersamaku memakai pakaianmu dan
membuatku malu? Well, kau bisa anggap ini semua fasilitas, tapi aku benar-benar
sudah menekankan padamu bahwa aku tidak mau sekretarisku terlihat ‘tidak menarik’, bukan?”
Rasanya bagai dihantam tepat di
wajah—dan untuk sesaat, aku merasa lebih baik jika Donghae benar-benar
menamparku saja. Aku tak mengerti bagaimana pria itu bisa begitu merendahkanku, membuatku terlihat seperti pecundang tak tahu
malu. Aku menggigit bibirku kuat-kuat hingga rasa sakit mengalihkan kebencianku
pada pria itu. Kedua matanya memandangku dalam dan aku balas memandanginya
dengan seluruh emosi yang berkecamuk di hatiku.
“Akan kupastikan untuk melunasi ini
semua, Sir.” Ujarku penuh keyakinan.
Ia mendengus dan memutar bola
matanya. “Tidak perlu, Miss Cardia. Sebaiknya kau menggunakan uangmu untuk
sesuatu yang lain, yang lebih penting.”
Aku tersentak mendengar ucapannya. Seketika
saja, surat-surat hutang dan penyitaan itu berkelebat di kepalaku, menimbulkan
kegelisahan yang tercetak jelas di wajahku saat ini. Aku tahu Donghae
memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajahku dengan seksama. Tetapi pria
itu tidak mengatakan apapun lagi dan meninggalkanku yang masih terdiam.
Sekembalinya ke kantor, Donghae
menolak setiap interaksi denganku dan terang-terangan mengacuhkan panggilanku
dari balik pintu. Setelah tiga belas menit, Donghae akhirnya memperbolehkanku
masuk. Ia tidak sedang memeriksa laporan, melainkan bersandar di atas sofa
berlengan di sudut kanan ruangan. Donghae memandangku dan menghela napas
panjang.
“Kenapa kau belum menggantinya?”
nada suaranya menunjukkan kelelahan. Sama sekali tak ada kemarahan kali ini.
Dan itu benar-benar aneh. Yah, bukan berarti aku ingin memancing amarahnya atau
apapun. Aku hanya tidak terbiasa melihatnya melunak. Belum.
“Kupikir.. aku, well—”
“Tidak bisakah kau berterima kasih
saja? Aku tidak ingin berdebat mengenai masalah itu lagi, Miss Cardia. “
Lagi-lagi perasaan tak nyaman
menyelubungi kami dan aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Kupaksakan
sebuah ucapan terima kasih keluar dari bibirku dengan sopan dan enggan. Donghae
mengangguk dengan sebuah senyum mematikan. Aku benci mengakui bahwa aku sama
sekali belum bisa melupakan pemandangan tubuhnya kemarin sore dan sekarang pria
itu malah memberiku senyum memesonanya.
Kelihatannya ia ingin mengatakan
sesuatu padaku, namun bersamaan dengan itu ponselnya berdering, dan Donghae
lebih memilih untuk menjawab teleponnya. Aku tidak tahu siapa penelpon itu,
tetapi tampaknya Donghae terlihat gelisah dan berulang kali menatapku dengan
gugup. Ia hanya menggumamkan “Ya,” atau “Aku tahu,” dan di ujung percakapannya,
Donghae mengatakan sesuatu sambil menatapku selama tiga detik. “Baiklah, akan
ku amankan secepat mungkin.”
Kalimat terakhir itulah yang
menyadarkanku. Aku hampir melupakan peristiwa yang menimpa Anne dan dadaku
seakan mendapatkan kejutan listrik, berdetak tidak sabaran. Pikiranku membentuk
asumsi-asumsi dan sejuta pertanyaan baru dengan cepat. Siapa yang akan di
amankan Donghae kali ini? Apakah ‘mengamankan’
berarti ‘membunuh’? Terlalu banyak
kejanggalan dan sudah pasti Donghae tidak akan menceritakan semuanya dengan
senang hati padaku.
“Bisakah kau menyiapkan kontrak baru
untuk Marven sekarang? Aku harus menemuinya pukul satu nanti.”
“Ya, Sir.” Jawabku menurutinya dan
segera keluar, kembali ke meja kecilku yang nyaman.
Sebenarnya aku sudah menyelesaikan
kontrak baru untuk Mr. Dallagh kemarin sore, saat Donghae memerintahkanku untuk
tidak mengganggunya. Tapi kupikir, setidaknya aku bisa menggunakan waktu ini
untuk menemukan sesuatu.
Komputer kerjaku segera berdengung
begitu aku menyalakannya dan aku sedikit kagum dengan koneksi internetnya yang
super cepat. Butuh tiga detik bagiku untuk mengetik nama ‘Lee Donghae’ pada
kolom search di laman Google dan
nyaris terperangah saat ada dua puluh satu ribu berita mengenai dirinya.
Kebanyakan dari situs-situs bisnis, berita ekonomi dan cukup sering namanya
muncul di situs hiburan. Karena aku wanita, yang jelas-jelas lebih terikat
dengan semacam kehidupan gosip—walau aku sebenarnya tak terlalu peduli pada
gosip—aku membuka sebuah situs hiburan lebih dulu ketika membaca judul
artikelnya; ‘Angelina Preist dan Lee
Donghae umbar kemesraan di sebuah kelab malam’.
Isi berita itu membuatku harus
menahan keinginan untuk mendengus. Karena tak hanya bergandengan tangan,
foto-foto itu juga menunjukkan keduanya tengah berciuman—berbagi
bakteri-bakteri menjijikan melalui lidah mereka dan berpelukan erat. Jelas
sekali Donghae menikmati masa mudanya. Yah, meskipun artikel itu mendapat
rating rendah karena aku yakin para pembaca setia portal itu sudah kelewat
bosan melihat Angeline Preist bermesraan dengan banyak pria.
Tapi setelah menghabiskan lima menit
untuk membuka hasil pencarian Google secara acak, aku menemukan namanya di
dalam sebuah situs kepolisian. Bukan, itu bukan situs resmi kepolisian,
meskipun header-nya hampir mirip
dengan logo resmi penegak keadilan kota Los Angeles, tetapi sepertinya pemilik
situs ini lebih ingin curhat dengan
membeberkan beberapa infomasi yang dinilai masih simpang siur. Yang lebih
mengherankan, nama Lee Donghae muncul dalam beberapa kasus pembunuhan, meskipun
si penulis sendiri masih tak yakin pria itu memiliki kaitan erat dengan
kematian-kematian aneh tersebut. Di langsir dari laman thecopsarefake.co.us, mereka menulis:
“Sumber-sumber gelap mengatakan bahwa Lee Donghae, Eksekutif
muda yang menguasai berbagai macam industri-industri besar seperti manufaktur,
konstruksi, pariwisata, pabrik konfeksi terkemuka serta mendalangi perusahaan
Trading Ekspor-Impor paling berpengaruh di Los Angeles ternyata memiliki sisi kehidupan yang
layak di pertanyakan. Sekilas tak banyak yang meragukan kepiawaiannya dalam
menangani bisnis-bisnis bernilai miliaran dollar, tapi di balik semua
pencapaiannya, berhembus kabar bahwa Lee Donghae menjalankan sebuah bisnis
illegal yang ditutupi dengan rapi. Belum ada satu orang pun yang bersedia
memberikan keterangan lebih rinci mengenai bisnis yang di geluti pria berusia
dua puluh Sembilan tahun itu, sebab sejauh yang kami tahu, Lee Donghae menutup
rapat-rapat kehidupan pribadinya, selain kekayaannya yang telah melegenda dan
hubungan cintanya yang di penuhi wanita-wanita cantik.”
Penggunaan kata “kami” dalam
penggalan artikel itu membuatku mengambil kesimpulan bahwa mereka hanya
berusaha mendiskreditkan Lee Donghae. Well, dengan kekayaan – ketampanan –
serta kepintarannya, sudah pasti akan ada banyak pihak yang berusaha
menjatuhkannya, bukan?
Meskipun sedikit jengah dengan
informasi yang kudapatkan tadi, aku masih berusaha mencari berita-berita lain
yang berkaitan dengan Donghae di situs itu. Dan kali ini otakku berputar cepat.
Gabungan informasi dan hipotesis sinting mereka sepertinya mulai meracuniku.
“Tidak ada manusia yang sempurna. Itu ungkapan yang berlaku
bagi siapa saja, termasuk Lee Donghae. Pria itu disinyalir menjadi dalang atas
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi dua bulan belakangan. Polisi sudah
menetapkan kasus ini sebagai kasus bunuh diri dan hal itu menuai tanggapan
miring bagi beberapa orang. Meskipun tidak di tetapkan sebagai tersangka dan di
bebaskan dari segala tuduhan, tetap aja ada beberapa hal ganjil yang (mungkin)
saling berhubungan. Dari tiga kasus pembunuhan—yang
kami curigai memiliki kerterkaitan dengan Lee Donghae—dua di antaranya dinyatakan sebagai bunuh diri dan sisanya dianggap
kecelakaan. Sebagian orang mungkin akan melewatkan hal ini, tetapi beberapa
fakta membuat kami merasa bahwa ketiga kasus itu merupakan pembunuhan yang di
dalangi oleh Lee Donghae.
Fakta pertama: Ketiga korban itu adalah wanita cantik.
Seperti yang diketahui, Lee Donghae nyaris mencicipi seluruh wanita cantik di
Los Angeles, tetapi ketiga wanita ini memiliki latar bekang yang mirip. Renne,
Carmen dan Natalie, ketiganya berasal dari Nevada, pengusaha tekstil di
California sekaligus mantan public figure—kecuali Carmen yang
anak mantan Walikota.
Fakta kedua: Mereka mati dua belas jam sejak pertemuan
terakhir mereka dengan Lee Donghae. Pihak kepolisian memang sudah memastikan
alibi Lee Donghae dan dinyatakan bersih, namun hal yang paling mengganggu adalah
Lee Donghae selalu menjawab hal yang sama ketika bagian investigasi menanyakan
apa yang di lakukannya ketika terakhir kali dia bertemu dengan wanita-wanita
itu; mereka bercinta. Jawaban itu membuat sebagian orang beranggapan bahwa
lelaki itu maniak. Tetapi dengan berdalih, Lee Donghae menyatakan bahwa
wanita-wanita itulah yang memaksanya.
Fakta ketiga: Semua aset yang dimiliki ketiga wanita itu
hilang secara mendadak. Mungkin hal ini yang paling di pertanyakan, sebab
sebagai pebisnis, tentu saja Lee Donghae di duga sengaja menyingkirkan
kekasih-kekasihnya untuk mengambil alih kekayaan mereka. Tetapi, lagi-lagi
belum ada bukti kuat untuk mendukung teori tersebut. Pihak kepolisian tampaknya
benar-benar di buat bingung oleh pernyataan pria yang pernah mengambil empat
jurusan sekaligus di Universitas Havard itu. Pasalnya, Lee Donghae bersikeras
bahwa dia juga turut merugi atas saham yang dia investasikan ke tiga perusahaan
tekstil tersebut dan meminta pengacara pribadinya untuk segera menyelesaikan
sengketa kerugian saham yang dialaminya.
Terlepas dari ketiga fakta yang menyudutkan posisinya
sebagai pengusaha muda paling sukses, berhembus kabar lain yang tak kalah
menggemparkan. Berbagai perspektif muncul—terlebih dari para
wanita—yang mengklaim bahwa pria itu
sama sekali tak menyerupai manusia, melainkan perwujudan seorang malaikat
tampan. Siapapun memang tak akan bisa menolak pesona Lee Donghae yang
memabukkan, tetapi terdengar desas-desus bahwa ia senang ‘memangsa’ wanita
cantik dan ‘mencicipi’ darah mereka setelah ia bosan. Menurut beberapa wanita
yang pernah menghabiskan beberapa malam dengan pria itu, Lee Donghae memiliki
kebiasaan-kebiasaan aneh dan mengatakan pria itu sama sekali tidak pernah
tidur. Fakta ini terdengar sedikit menggelikan, namun seakan menambah rasa
penasaran semua orang, Lee Donghae sama sekali menolak berkomentar mengenai
isu-isu miring mengenai dirinya. Bisa saja teori mengenai keberadaan vampir
nyaris terpenuhi jika melihat—”
Dengan satu gerakan kecil yang
sederhana, aku menekan tombol power
dan seketika komputer kerjaku mati. Lee Donghae telah berdiri tepat di
sampingku, Ya Tuhan! Sejak kapan ia berdiri di sana? Aku masih bertanya-tanya
apakah dia menyadari apa yang sedang kulakukan—tepatnya yang sedang kubaca—dan
dengan perasaan bersalah, aku melirik bosku.
Wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan kemarahan apapun. Ia hanya terlihat sedikit heran dengan keningnya
yang berkerut memandangiku. “Mengapa komputernya tiba-tiba mati?” tanyanya
terdengar bingung.
Aku berdeham salah tingkah. Mencoba
berbohong sebisa mungkin. Ya Tuhan, semoga dia tidak menyadarinya.
“Se–sepertinya aku salah menekan tombol, Sir. Aku—tidak terbiasa memakai
komputer canggih.” Jawabku dengan dada berdebar keras.
Donghae masih menatapku ragu, tetapi
sepertinya ia tidak ambil pusing dengan kegugupanku yang tampak jelas. “Apakah
kontrak baru itu sudah selesai?”
“Ya, Sir.” Tanganku menyerahkan
sebuah map hitam dengan gemetaran. Segera saja aku merutuki sistem kendaliku
yang kelewat lemah, tak mampu menahan debaran jantungku yang terlampau keras.
Lagi, Donghae memandangku ragu,
memastikan apa yang salah denganku lewat tatapan mengintimidasinya. Tetapi
setelah beberapa menit menganalisis, tampaknya ia menyerah. “Baiklah. Sekarang
aku mau kau mengganti pakaianmu dan setelahnya kita akan bergegas rapat.” Kata
Donghae lalu berjalan masuk ke ruangannya lagi.
Aku melorot ke kursiku sambil
memegangi dada, mencoba menghalau setiap detakan tak beraturan jantungku.
Nyaris. Benar-benar hampir saja. Apa yang bakal di pikirkan Donghae jika ia
melihatku sedang membaca gossip-gosip bodoh tentang dirinya? Hanya ada satu
kata: tak bermoral. Aku bahkan bisa melihat kelanjutannya dalam kepalaku: Satu
kata “Kau di pecat!” dari Donghae sudah cukup untuk membuatku menggelandang di
jalanan kota sambil berharap akan mendapatkan sekeping uang untuk bertahan
hidup. Lalu pemerintah akan mengirimku ke penampungan kota dan keluargaku bakal
tamat.
Tidak bisa. Aku harus bertahan. Demi
setiap senyum dari wajah-wajah yang kusayangi, demi lima persen kebahagiaan
yang nyaris tak bisa kudapatkan, demi perasaan bahwa aku bukan seseorang yang
tak berguna. Aku harus bertahan menghadapi semua ini. Ketakutanku memang cukup
besar, tapi bukan berarti aku harus menyerah. Aku bukan gadis lemah, dan aku
akan membuktikannya.
Dua belas menit setelah aku selesai
mengganti pakaianku dengan celana panjang putih dan kemeja bergaris-garis
hitam-putih-merah, Lee Donghae keluar dari ruangannya. Pria itu menatapku
sebentar, mengamati penampilanku dengan puas sambil mengangguk tak kentara.
Aku? Berdiri seperti perempuan tolol dengan rahang menganga dan mata membelalak
lebar.
Lihat dia! Lee Donghae mengenakan
kemeja putih—dengan ujung lengan hitam—yang ditutupi rompi warna navy blue, celana panjang berwarna
senada dan sebuah dasi bergaris putih-hitam terselip di antara kemeja dan
rompinya. Rambut pria itu sama sekali tidak rapi, tetapi terkesan seksi dengan sengaja di buat berantakan.
Lee Donghae bahkan memakai sepasang sarung tangan putih yang menutupi sepertiga
dari punggung tangannya. Satu lagi, satu hal yang membuatku lupa bernapas—atau
dalam kenyataannya, hidungku sama sekali tidak menemukan oksigen—adalah aromanya. Dalam jarak tak kurang dari
lima meter, aku bisa mencium perpaduan wangi cengkeh, chamomile, kayu manis
serta vanilla, yang membuat jantungku meloncat dari tempatnya. Sungguh menawan. Sungguh menggoda. Sungguh
membuat hilang akal. Aku bahkan tak sadar bahwa wajahku kelihatan super
idiot, yang ada di pikiranku hanyalah Lee
Donghae, Lee Donghae dan Lee Donghae.
Kakiku bahkan langsung terasa
limbung ketika ia mendekatiku—dengan wajah tampan, tubuh seksi dan aroma yang
membiusku hidup-hidup. “Ada masalah, Miss Cardia?” tanya Donghae cukup
prihatin. Oh, sudah seharusnya dia prihatin, sebab aku benar-benar kayak pasien
sakit jiwa yang menderita delusi akut sekarang.
Sial, sial, sial. Ayolah, otak, jangan mulai berpikir yang
tidak-tidak. Fokus sajalah!
“Err.. tidak ada, Sir.” Jawabku
setelah bersusah payah. Bernapas, Youva! Dan
aku langsung menyesali keputusanku untuk mengisi paru-paruku yang menciut.
Sebab udara hanya di penuhi oleh Lee Donghae yang beracun.
Donghae memiringkan kepalanya
sedikit, mencoba menguji pertahanan diriku lebih jauh, seakan menanti kapan aku
akan menyerah dan menghamburkan diri dalam pelukannya. “Begitu? Baguslah.
Kuharap tak ada masalah apapun.” Bisiknya penuh godaan. Menyipitkan mata dan
mendengus geli. Apakah isi hatiku terbaca jelas?
Ia berjalan mendahuluiku sementara
aku berusaha menyelamatkan sisa-sisa kewarasanku yang hampir tergilas
oleh pesonanya. Maksudku, apakah pria itu memang selalu menguji sekretarisnya seperti ini? Ya Tuhan, aku baru saja
bertekad untuk terus bertahan dan pria itu mengacaukannya. Tidak, aku tidak
boleh jatuh cinta dengannya. Lee Donghae sama sekali tidak menarik. Oke,
bohong. Dia memang menarik, tapi aku tak akan tergiur. Sumpah.
Rapat dengan IMaginary Corporation
berlangsung cepat. Keputusan perwakilan perusahaan tersebut mengenai
pengambilalihan terhadap saham aktif di beberapa sektor perusahaan tampaknya
cukup sederhana dengan adanya pembagian dividen yang menguntungkan Lee Donghae.
Pria itu hanya mengomentari beberapa hal dan selebihnya mendengarkan presentasi
dengan wajah malas. Aku mengamati ruang rapat dari sudut ruangan, berdiri
sambil memegangi notes dan mencatat beberapa hal penting tetapi perhatianku
segera teralihkan.
Hampir semua—well, memang semua—wanita di ruangan ini memandangi Lee Donghae
dengan tatapan putus asa dan separuh sinting. Donghae duduk di barisan ujung,
tetapi wanita-wanita itu terus saja berbalik ke belakang setiap satu menit dan
mendesah lapar. Agak menyedihkan sebenarnya, mengingat beberapa wanita malah
terlampau tua untuk bisa berjalan dan bergandengan tangan bersama pria itu.
Tetapi seolah sepuluh tahun lebih muda, mereka menatap Donghae dengan wajah
genit.
Gerakan-gerakan rutin Donghae yang
menimbulkan desahan memuja dari para wanita di ruangan ini adalah ketika pria
itu menyisir rambutnya dengan tangan. Aku juga harus mengakui bahwa gerakan itu
membuat aura luar biasa seksi terpancar
dari dirinya. Sesekali dia juga meletakkan kedua tangannya di belakang kepala,
membuat otot lengannya—yang tersembunyi di balik kemeja—berdesakan memamerkan
betapa mengagumkannya mereka.
Praktis, rapat di bubarkan lebih
cepat. Karena tak ada satu hal pun yang di kerjakan wanita-wanita itu—yang
merupakan pemegang saham—lakukan selain menggigit bibir mereka dan memandangi
Donghae seakan dia itu malaikat, bersinar di tengah ruangan redup. Dua puluh
menit setelah mereka menyudahi presentasi yang sama sekali tak berguna itu,
ruangan di sibukkan dengan obrolan santai Donghae dan salah satu pemegang saham
terbesar, Mr. Glimmer. Walaupun sebenarnya mereka harus kelihatan santai, kenyataannya tetap saja raut wajah Donghae
dan Mr. Glimmer tampak waspada. Aku yakin mereka mencoba menganalisis
pembicaraan mereka dengan hati-hati.
Tetapi tiba-tiba pikiranku kembali
tersadar, ketika salah seorang pegawai PHOENIX memulai bisik-bisik mereka di
belakangku. Bagai terseret dalam pusaran deras keingintahuan, aku mendengar beberapa
kalimat mereka yang bergosip tentang kematian Anne dan otakku langsung
berspekulasi.
Aku tahu bahkan kedengarannya bakal
gila kalau aku mengiyakan teori naïf yang mengatakan bahwa Donghae itu sejenis
vampire atau semacamnya. Well, yah, walaupun aku baru saja menyadari kalau ada
lingkaran hitam yang menggantung di area bawah mata Donghae. Ia memang tidak
kelihatan seperti panda, tetapi semakin kuperhatikan, bayangan hitam itu
semakin terlihat jelas. Dan sepertinya itu membenarkan dugaan bahwa ia tidak
pernah tertidur. Tapi tunggu, bagaimana mungkin seseorang bisa tidak tidur
berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu?
Hal-hal aneh bisa saja terjadi di
dunia ini, tetapi Donghae adalah vampire bukan salah satunya. Bagaimanapun.. ia
masih kelihatan cukup manusia bagiku.
Minus ketampanannya dan er.. baiklah, betapa sempurnanya ia. Tapi tetap saja,
itu semua tidak cukup untuk mengklarifikasi teori vampire. Jadi, kuputuskan
kalau mereka salah.
Dan otakku mulai membedah informasi
mengenai—yang mereka katakan sebagai—pembunuhan itu. Yah, secara teoretis
mereka hampir benar, dengan memberikan beberapa fakta yang mengejutkan. Donghae
telah mengencani wanita-wanita cantik di seluruh Los Angeles adalah salah satu
fakta yang tak terbantahkan. Aku mengenal Renne dan Natalie dari berbagai acara
Variety Show, karena mereka lumayan sering muncul di layar televisi. Tetapi
ketiganya ternyata memiliki usaha pada bidang tekstil dan meninggal dalam waktu
dua belas jam setelah bertemu dengan Donghae di kamar hotel. Dan kalau begitu
Anne juga mungkin meninggal sekitar pukul dua pagi, mengingat terakhir kali ia
bertemu dengan Donghae adalah pukul dua kemarin siang.
Tetapi… kenapa? Itu adalah salah
satu pertanyaan yang terus menggeliat di kepalaku. Kenapa Donghae membunuh
mereka? Apakah memang karena uang?
Aku agak meragukan jawaban itu, karena kekayaan Donghae sendiri sudah cukup
untuk membuatnya membangun istana dari setiap lembar uang yang dimilikinya.
Jadi memang ada yang aneh. Meskipun, well, aku tetap tidak bisa menuduhnya sembarangan,
aku juga harus berhati-hati. Bahkan Mr. Dallagh telah memberitahuku bahwa ada
alasan khusus mengapa Donghae memperkerjakanku sebagai sekretaris pribadinya,
bukan?
“Kudengar kau bertemu Miss Loombergh
kemarin siang, benarkah?” pertanyaan Mr. Glimmer yang menusuk itu langsung
membungkam ruangan menjadi hening.
Donghae tidak menunjukkan perubahan
ekspresi apapun. Ia masih waspada. Kedua tangannya saling bertaut dan ia
tersenyum mengejek pada Mr. Glimmer. “Kalau kau punya cukup waktu untuk
memata-mataiku, sebaiknya kau mulai memikirkan untuk pensiun, Glimmer.”
Dengungan menjalar ke seluruh
ruangan, memberikan efek dramatis yang mengagumkan pada kalimat balasan
Donghae. Mr. Glimmer bergerak gelisah di kursinya dan berdeham pelan. “Aku
tidak memata-mataimu. Bagaimanapun seluruh orang membicarakan hal itu, kau
tahu.”
Kali ini seringai Donghae bahkan
lebih lebar. “Jadi yang kau lakukan sepanjang hari hanyalah duduk malas di
sofamu dan menggosip seperti wanita? Hebat sekali.” Sindirnya langsung.
Sikap profesionalitas mereka sudah
hilang sekarang. Mr. Glimmer memberengut pada Donghae dan segera bergegas dari
kursinya, meninggalkan Donghae yang kelihatan amat puas. Pria itu menoleh ke
arahku, memberi isyarat agar aku mendekatinya.
“Siapkan mobil.” Perintahnya tegas.
Aku mengangguk paham dan berjalan keluar dari ruangan. Dari sudut mata, kulihat
pria itu duduk di kelilingi wanita-wanita cantik yang terus memberikan tatapan
memuja padanya dan aku menahan diri untuk tidak mendengus. Tipikal.
Chad sudah berdiri di sampingku lima
belas menit kemudian, sama-sama menanti Donghae di samping mobil. Seperti
biasa, Chad tidak banyak berkomentar apapun. Dia hanya bersiul beberapa kali
dan menunggu dengan wajah sabar. Sementara aku tidak bisa setabah itu.
Pergelangan tanganku bahkan sudah ratusan kali berputar untuk memastikan bahwa
jarum jam belum bergerak ke angka satu.
“Youva?” seseorang memanggilku
dengan suara nyaring, membuatku terlonjak dan buru-buru mencari sumber suara.
Pupil mataku melebar melihat wajah
yang menatapku penuh ingin tahu. Dan serbuan ingatan membanjiri kepalaku.
Perasaan takjub dan nostalgia langsung terlihat efeknya. “Janne!” pekikku
nyaring.
Janne langsung berlari mendekatiku.
Kami berpelukan dan aku tak tahan untuk tidak melompat-lompat bahagia. Wanita
dengan rambut pirang ikal dan mata biru bersinar ini sahabat lamaku. Bukan,
malah Janne bisa di bilang sebagai penyelamatku, apapun artinya itu. Pada
masa-masa pertama kali aku tiba di Los Angeles, Janne lah satu-satunya orang
yang mau menerimaku. Kami menjadi sahabat bertahun-tahun lamanya dan
menghabiskan waktu berdua di mana pun dan kapan pun. Yah, itu sebelum Aaron
datang dan merusak hubungan kami. Pria itu resmi menjadi suami Janne setahun
lalu dan melarang sahabatku untuk bertemu denganku. Ironis sekali.
“Oh, Ya Tuhan, aku kangen sekali
padamu, girl!” seru Janne penuh haru.
Ia menggigit bibirnya lalu memelukku lagi.
“Kau tahu aku selalu kangen padamu.”
Aku mendesah dan mencoba menghalau airmataku yang mulai merebak.
“Kenapa kau ada di sini?”
“Well, aku bekerja di sini, Janne.
Bagaimana denganmu?”
“Aku harus.. mengurus beberapa hal
dengan Aaron. Tahu kan.”
Ah, ya. Tentu saja aku tahu. Aaron
pengusaha properti. Dia sudah pasti melakukan kerja sama dengan PHOENIX.
“Hei, aku ingin tahu apa kabarmu
setahun belakangan. Kau baik-baik saja, kan?”
Aku baru akan menjawab pertanyaan
Janne ketika kudengar Chad memanggil namaku. Detik itu juga Donghae keluar dari
pintu masuk gedung dan berhenti pada anak tangga terakhir. Pria itu melirikku
sekilas dan aku berharap bahwa seharusnya ia keluar paling tidak setengah jam
lagi. Benar-benar merusak momen nostalgiaku bersama Janne.
“Dengar, aku harus segera pergi. Aku
sangat kangen padamu, Janne. Kuharap kita punya waktu untuk ngobrol. Teleponlah
aku kalau Aaron tidak ada di rumah, oke?” jawabku tergesa-gesa dan menyempatkan
diri untuk memeluk Janne yang kebingungan sebelum masuk ke mobil.
Janne melambai padaku dengan penuh
senyuman suportif darinya dan aku membalas lambaiannya sebelum kedua mata
Donghae menangkap perbuatanku. Mobil berjalan dengan perlahan, dan aku
berterima kasih pada Chad atas hal itu. Ia membuatku bisa mengamati sosok Janne
yang masih berdiri di sana lebih lama.
“Miss Cardia,” panggil Donghae
ketika mobil sudah bergabung dengan ratusan kendaraan di Santa Monica
Boulevard.
“Ya, Sir?” Aku menyahut dengan suara
nyaring. Plus senyum lebar yang lebih mirip cengiran. Aku masih berada di
tempat berbahagiaku.
“Aku tidak ingin kau kehilangan
keprofesionalitas-anmu di waktu bekerja. Jadi, yakinkan aku agar kau tidak
bertingkah seperti itu lagi.”
Seluruh perasaan yang kudapat ketika
bertemu sahabatku setelah setahun terpisah langsung menguap, berganti
kekecewaan dan kemarahan. Senyumku memudar dengan cepat. Dan kini aku berjuang
untuk mengendalikan emosiku. Kepalaku sudah di penuhi sumpah serapah dan
protes-protes ketidakadilan pada pria itu. Kenapa aku bahkan tak boleh merasa
senang sebentar saja?
Dan sama seperti sebelumnya, tak ada
lagi yang bisa kulakukan—dan kukatakan—selain mematuhi perintahnya. “Ya, Sir.”
Jawabku pelan, meski aku yakin tengkukku sudah menyala terang.
Ia membuang pandangannya ke jalanan
dan tak mengatakan apapun lagi setelahnya. Meninggalkanku yang tengah terduduk
dengan kuku-kukuku menghujam telapak tangan.
Mobil membelok ke jalanan Rodeo
Drive beberapa saat kemudian, memasuki kawasan Beverly Hills yang berada di
barat kota Los Angeles. Jalanan ini sangat populer, dipenuhi butik-butik dan
toko-toko ekslusif yang mengagumkan. Dari balik kaca mobil, aku melihat
langsung bagaimana usaha kelompok kapitalis borjuis membelanjakan seluruh
dollar yang mereka punya di tempat ini. Mereka harus terlihat menakjubkan dengan tas tangan asli buatan Prada,
kacamata dengan label Gucci di gagangnya dan Vector W8 merah menyala yang
mereka kendarai. Rodeo Drive berarti satu hal: diskriminasi. Karena kelompok non-borjuis tidak akan bisa berjalan
melewati setiap deretan toko di sini tanpa merasa menjadi satu-satunya alien
yang salah tempat.
Dan aku adalah salah satunya.
Menginjakkan kaki di Rodeo Drive sudah sangat menyiksa apalagi dengan Donghae
yang berdiri di sebelahku. Ia seperti magnet—lagi-lagi—menarik begitu banyak
mata yang langsung memberikan tatapan memuja tanpa henti padanya. Sementara aku
menggigit bibir dan berusaha agar kutukan-kutukan kebencianku tidak sampai di
dengar telinganya.
Pelayan di 208 Rodeo Restaurant
membukakan pintu bagi kami. Ketika aku menyebutkan Mr. Dallagh, mereka segera
mengantar kami ke tingkat dua dengan lift. Ternyata Mr. Dallagh sudah berada di
sana lima belas menit yang lalu. Tetapi sepertinya ia tidak terlihat keberatan
menunggu Donghae sebab pria tua itu malah tersenyum ramah.
Mr. Dallagh menjabat tangan Donghae
dan segera merentangkan tangannya lebar-lebar ke arahku. Aku langsung
membungkuk empat puluh lima derajat dan menjaga wajahku tetap serius pada Mr.
Dallagh ketika Donghae memandangiku. Mr. Dallagh tergelak, mengira sikap kaku
itu sebagian dari usahaku untuk melucu.
“Ayolah, jangan bersikap begitu
dingin. Ini hanya aku.” Seru Mr.
Dallagh sedikit cemberut. Aku melirik Donghae yang sudah mengalihkan
pandangannya pada buku menu lalu melemparkan seulas senyum ragu-ragu pada Mr.
Dallagh.
“Bagaimana dengan rapatmu, nak?
Semuanya lancar?” tanya Mr. Dallagh pada Donghae. pria tua baik hati itu
menawariku tempat duduk dan aku menolaknya. Aku tidak ingin menambah kekesalan
Donghae sebab ia kini sedang meraung marah.
“Kalau saja Glimmer tidak merusak
semuanya! Yang benar saja! Kapan lelaki brengsek itu akan berhenti menggangguku?”
Mr. Dallagh memutar bola matanya.
“Jangan konyol, nak. Dia tidak akan pernah berhenti menganggumu, sama seperti
kau tidak akan pernah berhenti menyingkirkannya.”
“Yeah, benar. Tapi kenapa sih, tidak
ada yang memesannya? Aku tidak sabar untuk segera menghabisinya.”
Jawaban Donghae barusan menimbulkan
efek ganda. Ruangan menjadi hening sejenak dan aku bisa melihat Mr. Dallagh
memberikan tatapan memperingatkan pada Donghae. Dari sudut mata, aku mendapati
Donghae yang terbatuk kecil dan menambahi ucapannya dengan gumaman rendah.
“Maksudku, membuatnya segera pensiun.”
Aku tahu aku tidak seharusnya
mendengar hal itu, karena baik Mr. Dallagh dan Donghae berulang kali melirikku
gelisah. Jadi sebagai seorang Sekretaris yang professional, aku berpura-pura
tidak mengerti apapun dan hanya memandangi ujung sepatu baruku. Tetapi yang
sedang kubohongi adalah Lee Donghae. Pria itu bahkan terlampau cerdas untuk
melewatkan aksi aku-tidak-mendengar-apapun
dariku.
“Miss Cardia, tinggalkan kami
berdua.” Perintahnya masam. Aku mengangguk dan buru-buru melangkah keluar dari
ruangan itu. Sedikit lega karena tak lagi harus bertindak seperti orang yang
tidak punya telinga. Tapi sebelum pintu menutup dengan sempurna, aku mendengar
Mr. Dallagh berkata dengan nada tidak setuju.
“Kau tidak perlu sekeras itu
padanya.”
“Dia sekretarisku, Marven. Hal apa
lagi yang bisa kuharapkan darinya?”
Suara terakhir tentu saja milik
Donghae. Sebenarnya lucu sekali karena aku bertanya-tanya apakah Donghae bahkan
mengharapkan sesuatu dariku? Itu benar. Aku Cuma wanita yang
tak-punya-apapun-selain-keberuntungan untuk bisa menjadi sekretarisnya. Aku
berani bertaruh akan ada begitu banyak wanita yang berusaha mati-matian untuk
bisa menjadi sekretaris Lee Donghae. Dan kenyataan bahwa Donghae memilihku terdengar tidak masuk akal
sekarang. Aku tidak cantik. Tubuhku tidak seperti model-model seksi Los Angeles
dan aku tidak memiliki apapun selain tabungan lima ratus dollar. Kulitku tidak
bersinar seperti porselen atau memerah di bawah sengatan matahari. Ini jenis
kulit yang akan langsung terlihat menghitam
jika aku membiarkan matahari menjilatku lebih lama. Bola mataku bukan biru
safir, yang kelihatan cantik dengan maskara dan eyeliner, tetapi hitam. Hitam
membosankan tanpa kilauan apapun. Singkatnya aku berada dalam skala nilai empat
dari sepuluh.
Sementara Donghae bisa mendapatkan
seluruh wanita bernilai sepuluh, dia malah memilihku, Youva Cardia yang
menyedihkan, untuk menjadi Sekretarisnya pribadinya. Apa memang benar-benar ada
semacam konspirasi di balik keputusan anehnya itu?
***
keren.. ditunggu next partnya
BalasHapusmaaf yah selama ini gk komen. sebetulnya berusaha komen cuman gagal mulu :p.
Wahahahh makasih yaa ataly..
HapusDoain aja supaya cepat kelar ya ;w;)
Awalnya sii sempet kepancing gitu, kalo Dingek emang seorang pembunuh, tp rasa2nya itu kok ngga mungkin yaa #SokTau :D
BalasHapusDan... apakah ini bener2 hanya dari pov-nya Youva doang? Gag ada yg lain? #kepo
Errrr mari kita lihat aja kelanjutannya yaa hahah =w=;;
HapusEmang cuma pov youva kok, soalnya aku mau buat readers sama penasarannya kyk youva hehe *dilempar botol*
Seperti biasa..cerita yg kamu buat selalu menantang dan gak jauh2 dari action^^ untuk ditulisan gaada masalah, aku suka cara nulis kamu. Semua cerita kamu juga bagus (^^bb) yg kurang cuma............. Update-an kamu, haha..cukup lama soalnya. Tp gapapa, aku tetep nunggu!
BalasHapusAduh hehe maaaaap yaa ;w;)
HapusAku udh usahain ngetik secepat mungkin tapi ttep aja butuh sebulan huhu
Bytheway makasih buat apresiasinya yaahh. Awalnya aku takut mau ngepost ff ini karena pov dan gaya nulisnya sedikit beda. Tapi abis baca komen kamu aku langsung semangat :)
Makin penasaran...siapa donghae itu sebenarnya
BalasHapusLee Donghae adalah..........................*jengjengjeng* rahasia :p
Hapus*ditampol bata*
Mengamankan mengamakan mulu... Emang mengamankan hatiku? >< *abaikan hehee.. Donghae siapa sii? :3 penasarann lanjut neee
BalasHapusNtah kenapa di part ini aku ketawa terus.. hahaha
BalasHapusWell, kykny donghae emang agk keras deh sm cardia..