Senin, 16 Juni 2014

FANFIC: SCARLET [2]



TITLE        : SCARLET [2]
GENRE      : Action-Romance, AU (Alternate Universe)
RATING     : NC-21
CAST         : Lee Donghae
                   Youva Cardia
Author        : @Aoirin_Sora


 



Summary:
Belakangan ada yang meresahkanku. Bergerak mengganggu nyenyak tidurku dan aku sering berharap agar kegelisahan yang kurasa segera pergi. Namun di saat yang bersamaan, pikiran lain menghantuiku. Entah bagaimana caranya, setiap hal yang kupikirkan semakin membuatku tak nyaman, membuatku terjaga semalaman, hingga bahkan ketika fajar menjemput mimpi. Tidak, aku tidak sedang bermimpi, aku berani bertaruh bahwa setiap hal yang kualami belakangan ini nyaris disebut ilusi. Termasuk pria itu.



***



CHAPTER TWO: Indifference




 
Lee Donghae tiba sekitar seratus dua puluh menit kemudian, saat aku dan Mr. Dallagh nyaris menghabiskan es krim kedua kami. Di saat itulah pria itu tiba dengan wajah kusut, rambutnya mencuat ke segala arah dan kemejanya penuh lipatan. Ada kecemasan yang tercetak jelas di kedua mata cokelat itu. Sedikit kekhawatiran lagi dari ekspresi wajahnya yang sama sekali tak mengharapkan atmosfir menyenangkan antara aku dan Mr. Dallagh.
“Maaf atas keterlambatanku, Marven.” Ujarnya sambil berusaha mengatur napas. Ia melirik kami, yang sama-sama memandanginya dengan alis terangkat. “Jadi, semuanya baik-baik saja?” imbuhnya langsung memposisikan diri di antara aku dan Mr. Dallagh.
Senyum Mr. Dallagh merekah di wajahnya hingga membuatku juga ikut tersenyum. Pria tua itu menatapku dengan tatapan baik hati dan menyendokkan sisa es krim di gelasnya sebelum menjawab. “Semuanya, baik, nak. Amat sangat baik. Aku benar-benar sangat senang hari ini. Tak pernah sekalipun aku merasa sangat menikmati makan siangku. Malah aku sebenarnya tidak terlalu peduli kau bisa datang atau tidak, selama Miss Cardia yang baik ini mau menemaniku mengobrol,” jawab Mr. Dallagh bersungguh-sungguh, yang membuat kedua alis Donghae langsung meninggi. “Omong-omong, bagaimana dengan Anne?”
Donghae melirikku dengan satu detik yang singkat lalu memutuskan tidak menanggapi jawaban Mr. Dallagh yang memojokkan dirinya. Ia berdeham satu kali dan mencoba mengambil alih situasi. “Well, aku sudah memaksanya mengaku dan mengamankannya. Jadi kuharap kau sudah memutuskan masalah perpanjangan kontrak itu, Marven.”
Mr. Dallagh mengibaskan tangannya ke udara, mengisyaratkan bahwa itu hal sepele. “Aku sudah membahasnya dengan Miss Cardia dan memintanya untuk mengirimkan salinan kontrak baru padaku tiga hari lagi. Tapi, ada sedikit masalah mengenai itu—” ia menghentikan kalimatnya dan membiarkan Donghae mengangguk paham.
“Miss Cardia,” panggilnya tanpa berbalik ke arahku. “Ambilkan setelan jasku yang baru di dalam mobil. Sekarang.” Perintahnya tegas.
Aku menatapnya heran selama beberapa detik sebelum menjawab “Ya, Sir,” dengan patuh dan segera turun. Samar-samar aku merasa bahwa mereka akan mendiskusikan masalah yang bersifat rahasia—yang tentunya mereka tidak ingin aku tahu—melihat bagaimana Mr.Dallagh memenggal kalimatnya dan Donghae yang terang-terangan mengusirku. Aku tidak terlalu memusingkan hal apa yang akan mereka bicarakan karena sejujurnya aku tidak ingin membebani pikiranku dengan hal-hal yang tidak perlu pada hari pertama bekerja.
Chad, supir pribadi Donghae kelihatan bingung ketika menemukanku berjalan memasuki mobil. “Sudah selesai?” tanyanya heran. Tentu saja, sebab ia baru mengantar Donghae sepuluh menit lalu.
“Belum. Mr. Lee Donghae hanya menyuruhku untuk mengambilkannya jas yang baru.” jawabku mengangkat bahu, membuka tirai yang membatasi kursi tengah dan bagasi—yang disulap menjadi lemari praktis untuk bisa memuat pakaian dan barang-barang penting lainnya.
Aku sengaja mengulur waktu hingga dua puluh menit sebelum kembali masuk ke restoran itu. Barangkali mereka membutuhkan privasi sedikit lebih lama dan aku tak mau merusak suasana. Jadi, ditambah dua puluh menit untuk naik turun tangga sialan itu, aku memberi mereka total empat puluh menit untuk berdiskusi dan kupikir itu sudah cukup.  Tapi rupanya Donghae berpendapat lain.
“Kau tersesat?” tanyanya dengan nada sebal. Matanya memandangku dingin. Aku membuka mulut hendak memberinya penjelasan tetapi kemudian kulihat Mr. Dallagh yang tersenyum kecil dan mengangguk padaku. Sepertinya ia menyadari niat baikku. Jadi alih-alih protes, aku hanya mampu menjawab, “maafkan saya, Sir.”
Ia tak menggubris permintaan maafku, tidak juga mengambil setelan jas yang telah kubawakan. Pria itu memalingkan wajahnya ke arah Mr. Dallagh yang tampak cerah—kontras sekali dengan wajahnya. “Baiklah, Marven. Aku harap semuanya berjalan lancar sebab aku tidak mau mendengar  Glimmer memenangkan eksekusi.” Donghae bangkit, berdiri di hadapan Mr. Dallagh yang juga berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Jangan khawatir, nak. Akan lebih mudah menghadapinya jika kita bersama-sama.” Ujar pria tua itu tersenyum hangat, menjabat tangan Donghae yang masih saja kelihatan kesal dan tak lupa menjabat tanganku. “Terima kasih untuk hari ini, Miss Cardia. Kuharap kita bisa sering bertemu.”
“Terima kasih atas keramahan anda, Sir. Saya harap juga begitu,” balasku tersenyum. Mr. Dallagh masih sangat menyenangkan di mataku. Senyum di wajah pria itu tetap tak berubah hingga ketika pintu menutup di belakangku sekalipun, meninggalkan keheningan yang mencolok antara aku dan Donghae.
Langkahku baru akan menuju anak tangga ketika Donghae berseru memanggilku. Aku mendatanginya cepat dan pria itu bertanya mengapa aku malah memasuki ruang tangga darurat. Dengan sedikit kebingungan aku menceritakan mengenai pelayan yang mengatakan bahwa aku harus menaiki tangga darurat karena liftnya macet. Dan mendengar hal itu, Donghae tertawa. Benar-benar tertawa. Ia memegangi perutnya dan terbungkuk-bungkuk menahan suara tawanya yang merambat ke seluruh dinding. Aku benar-benar bingung sekarang. Apakah ada yang salah denganku? Kenapa dua orang pria kaya yang kutemui hari ini menjadi histeris karena jawabanku—yang menurutku sama sekali tidak lucu—?
Sama seperti Mr. Dallagh, Donghae berusaha keras mengendalikan dirinya dan menarik napas dalam-dalam. Saat itulah tangannya memencet tombol lift dan terdengar bunyi nyaring, lalu serta merta pintu lift terbuka. “Ini yang kau maksud rusak?” tanyanya mengejekku dan aku tahu wajahku merah padam sekarang, jadi aku tidak heran mengapa Donghae kembali terjungkal melihat ekspresiku.
Aku benar-benar ingin kabur ke mana saja, menyembunyikan diriku yang kelewat idiot hingga naik turun tangga sampai berkali-kali. Tapi lebih dari itu, aku ingin sekali menendang pelayan yang memberiku informasi palsu tadi. Donghae tetap tertawa namun tangannya berhasil menahan pintu lift yang akan menutup. Ia memperhatikan wajahku yang malu berat dan memutuskan untuk mengakhiri leluconnya.
“Itu ulah Marven. Dia selalu melakukan hal-hal semacam ini padaku dalam setiap janji makan siang kami.” Terang Donghae yang mulai memperbaiki dirinya lewat pantulan dinding lift. “Jadi jangan tertipu informasi apapun yang di berikan pelayan padamu kecuali mereka membuktikannya.” Aku mengangguk tapi wajahku masih menghangat. Pikiranku berkelebat mengingat betapa memalukannya menaiki tangga selama sepuluh menit dengan peluh menetes sementara semua orang menggunakan lift dalam waktu tiga menit.
“Miss Cardia,” panggil Donghae membuyarkan kesadaranku. Cepat-cepat kusorongkan setelan jas padanya namun Donghae menggeleng. Pria itu malah meletakkan jas cokelat mudanya ke atas tanganku yang terulur. “Lupakan saja. Udara sudah cukup panas tanpa harus mengenakan pakaian tebal.”
Setelah anggukanku yang canggung, kami tidak mengucapkan sepatah katapun hingga tiba di mobil. Aku tahu pria itu terus-terusan memandangiku dan sama sekali tak berniat mengalihkan tatapannya ketika aku memergokinya. Donghae berusaha memperhatikan jalanan, namun tetap saja tatapannya terarah kembali lagi padaku. Tadinya aku tidak peduli, tetapi lama kelamaan aku menjadi cemas—gabungan perasaan risih dan sebal—dan tiba-tiba saja Donghae menyuarakan pikirannya.
“Bagaimana—?” tanyanya nyaris tak terdengar, malah hampir terdengar seperti gumaman. Donghae menggeleng, berdiam diri namun kembali menatapku. “Bagaimana Marven bisa sangat menyukaimu? Apa yang kau lakukan padanya?”
Sejujurnya, aku merasa ada semacam tuduhan di balik pertanyaan Donghae barusan. Tapi, sekali lagi kuingatkan diriku bahwa dia Lee Donghae, pengusaha sukses yang mengantongi triliunan dollar. “Kami hanya mengobrol, Sir.” Jawabku sopan. Aku menekan emosiku sampai titik akhir dan Donghae sepertinya berencana merusak pertahanan diriku.
“Benarkah?” tanyanya skeptis. Jelas sekali dia meragukan jawabanku. “Kau yakin tidak melakukan hal lain?”
Perlu kutekankan, tidak pernah sekali saja dalam hidupku aku membiarkan siapapun menghina atau melecehkanku. Tidak ketika Lary, anak walikota yang berusaha membujukku untuk mengencaninya di tempat tidur atau ketika Sean yang meneriakiku perempuan jalang karena aku tidak tertarik padanya. Aku tidak memiliki sabuk hitam karate, tapi kedua tinjuku masih bisa membuat gusi mereka berdarah. Namun sialnya, aku benar-benar butuh uang saat ini, dan kalau aku melakukan hal semacam itu, bisa kupastikan pekerjaanku akan berakhir detik ini juga. Jadi, aku harus menggigit lidahku keras-keras sebelum menjawab pria kurang ajar di sebelahku.
“Aku yakin, Sir. Anda boleh bertanya pada Mr. Dallagh. Kami hanya mengobrol dan makan siang.” Kupaksakan sebuah senyum melebar di wajahku kendati aku menggertakkan gigi.
Mata Donghae menatapku dalam, tampak masih curiga namun tak bisa berkata apapun lebih jauh. Ia mengangkat bahunya dan kembali menatap jalan. Agak lama keheningan menyertai kami, sampai ketika mobil berhenti, Donghae melonggarkan dasinya dengan malas. “Ah, aku benci udara panas.” Keluhnya sambil membuka pintu mobil, mendahuluiku dan berjalan masuk tanpa berusaha memelankan langkahnya.
“Kenapa kau lama sekali?!” Donghae berdiri berkacak pinggang persis di depan pintu lift. Wajahnya terlihat kesal dan dia membuka kancing teratas kemejanya. “Cepatlah! Aku tidak bisa mentolerir kelambananmu, Miss Cardia.”
Kakiku langsung tergesa-gesa mendatanginya dan pintu lift menutup tepat ketika bayanganku berhasil masuk sepenuhnya. Donghae sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya dan terus menerus mendecak marah. Situasi seperti ini sangat tidak nyaman bagiku, tapi aku harus membiarkan bosku melampiaskan kejengkelannya dan berpura-pura aku adalah bagian dari dinding lift.
Donghae segera menghambur ke ruangannya dengan langkah buru-buru. Tadinya aku ingin merebahkan diri di kursiku, tapi belum sempat aku menggeser kursi, telepon berdering.
“Masuk.” Perintah Donghae cepat.
Ketika aku membuka pintu, pemandangan yang kulihat sungguh membingungkan. Donghae sedang melepaskan kemejanya dengan paksa, melempar benda itu ke seberang ruangan lalu berjalan mendekatiku secepat kilat.
Dadaku mulai bergemuruh. Melihat tubuh seorang lelaki dewasa tanpa tertutup apapun adalah hal yang tidak biasa bagiku. Maksudku, aku memang sedang berada di Negara yang paling bebas, dimana pakaian bukanlah bagian dari norma, melainkan fashion semata. Tapi tetap saja aku tidak bisa memerintahkan jantungku untuk berdetak normal ketika melihat pria itu mulai mendekatiku.
Lee Donghae ternyata memiliki dada bidang yang luar biasa seksi. Aku yakin pemandangan ini akan merembes ke dalam setiap mimpiku, mengaburkan setiap kewarasan yang berujung pada kesia-siaan akan adanya harapan untuk bertahan dari pesonanya. Lee Donghae bukan malaikat, tapi kalau aku bisa memberikan perumpamaan yang tak masuk akal, bisa kupastikan sosok malaikat lebih menyerupai dirinya di bandingkan siapapun. Atau apapun.
Kulit pria itu seputih marmer. Berkilau bagai mutiara di tengah ruangan yang dingin. Sementara otot lengannya membentuk lekukan seksi yang menyita perhatianku lebih banyak lagi. Aku nyaris tidak bisa bernapas ketika kusadari tubuh itu semakin mendekatiku, seakan tak membiarkanku menghirup udara. Dan ketika indra penciumanku telah terisi penuh oleh aroma kolon yang menghambur dari tubuhnya, saat itulah Donghae sudah berdiri di depanku dengan mata menyipit dan bibir mengatup.
Konsentrasi, Youva. Oh, ayolah. Kau harus berhenti mengagumi bibirnya!
Matanya yang tajam menembus pertahanan diriku yang rapuh. Aku tidak mengerti apa yang akan dilakukan Donghae namun jangankan untuk berpikir, bergerak satu inci pun hampir mustahil bagiku sekarang.
“Aku tidak ingin diganggu satu jam kedepan. Jangan biarkan ada telepon atau siapapun menggangguku. Mengerti?” tanyanya dengan kedua tangan bersedekap, menampilkan otot lengan dan dadanya yang mengagumkan.
Oke, aku bohong kalau aku berkata Lee Donghae tidak mempesona. Dia gabungan antara iblis dan malaikat. Menggoda dengan wajah tampan dan tubuh yang sempurna. Sial.
Tetapi dalam rentang waktu yang singkat, otakku tiba-tiba saja langsung berpikir. “Tapi, Sir, anda harus mengikuti rapat lima belas menit lagi—”
“Kalau kubilang tidak, artinya tetap tidak, Miss Cardia. Undur rapat itu hingga besok pagi. Dan sekarang cepat pergi.” Perintahnya tegas. Aku memilih untuk menunduk dan mundur beberapa langkah, menutup pintu ruangan Donghae, lalu mulai memperbaiki jadwal pria itu satu persatu.
Kepalaku masih pusing. Pemandangan tubuh pria itu terus saja membekas di ingatanku, memaksaku untuk menggigit bibir lebih keras dan berulang kali menggeleng seperti perempuan sinting. Aku benar-benar mengerti bagaimana perasaan para sekretaris Donghae yang sebelumnya. Melarang mereka untuk jangan jatuh cinta padanya, sementara pria itu bahkan tidak repot-repot menutupi tubuhnya dan mengumbar ketampanan sekaligus betapa seksinya tubuhnya di depan mereka? Sudah pasti ada yang tidak beres dengan pria itu.

Pukul setengah lima sore, Donghae keluar dari ruangannya dengan begitu tiba-tiba, membuatku kaget dan hampir terjatuh ketika berusaha berdiri. Kedua tangan Donghae dengan sigap menahanku, membantuku menyeimbangkan diri agar tidak jatuh.
“Terima kasih, Sir.” Bisikku sedikit kaku dan ia berdeham satu kali.
“Aku akan pergi ke suatu tempat, jadi kau sudah bisa pulang sekarang, Miss Cardia.” Ujarnya tanpa melirikku.
Pulang pada pukul setengah lima sore? Bukankah itu terlalu cepat? “Err.. baiklah, Sir.” Jawabku mematuhinya. Pelajaran kedua yang harus kuingat hari ini; patuhi saja apapun yang diminta Donghae. titik.
“Kau bisa pulang dengan Chad. Aku akan membawa mobilku sendiri.” Perintah Donghae lagi. Dan sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih atau apapun, pria itu sudah melenggang pergi. Membuatku sedikit bingung dengan kebaikannya sore ini.


***


Keesokan paginya terjadi hal yang menggemparkan. Aku hampir tak mempercayai pendengaranku. Sesosok mayat wanita cantik di temukan tewas mengenaskan di kamar sebuah hotel di pusat kota. Hasil autopsi menunjukkan bahwa kematiannya di sebabkan oleh sebutir peluru yang menembus tengkorak kepalanya. Polisi masih menyelidiki kasus itu, kendati mereka belum menemukan kejanggalan apapun. Kesimpulan bunuh diri di perkuat dengan terungkapnya fakta bahwa kamar itu terkunci dari dalam, dan sebuah senjata api tergeletak persis di sebelah tubuh si mayat. Saksi mata bahkan mengatakan bahwa wanita itu memasuki ruang kamar dengan kondisi mabuk dan nyaris tak sadarkan diri. Sendirian.
Aku masih mencengkram erat pinggiran meja—yang cuma satu-satunya di rumah ini—dan ternganga ketika menyaksikan kilasan gambar yang terekam cameraman. Tidak salah lagi, wajah angkuh yang kemarin tercetak jelas itu kini terlihat hampa, meskipun kecantikannya masih abadi di sana. Tubuhnya terbujur kaku, dengan percikan darah yang menempel pada dinding-dinding yang berwarna gading. Ada kengerian di matanya—terbelalak kaget menatap entah apapun sebelum ia menemui ajalnya—dan sebelah tangannya menggenggam sebotol Tequila. Aku nyaris tak percaya, sebab belum lagi dua puluh empat jam sejak aku bertemu dengannya di hotel, Anne J. Loombergh alias wanita Skandinavia yang angkuh telah tewas tertembak.
Bukankah kemarin siang Donghae baru saja bertemu dengan wanita itu di Imperium Hotel? Napasku memburu ketika menyatukan beberapa potong informasi yang berkelebat di kepalaku. Aku ingat ketika Donghae mengatakan kepada Mr. Dallagh bahwa dia telah mengamankan wanita itu. Apakah itu berarti pembunuhan?
Tidak ada gunanya berspekulasi sendiri. Akan lebih baik jika aku bisa memastikannya.

Satu jam kemudian, aku meletakkan segelas kopi hangat dengan asap yang masih mengepul di atas meja kerja Lee Donghae. Pria itu baru tiba lima menit lalu dan segera memerintahkanku untuk membawakannya secangkir kopi organik. Sementara tangannya langsung memilah-milah seluruh berkas-berkas laporan yang sudah lebih dulu kususun rapi, dan aku berusaha membuka percakapan pertama kami pagi ini.
“Sir, saya dengar bahwa Miss Anne J. Loombergh telah meninggal kemarin malam.” Ucapku yang sengaja tidak menggunakan kalimat bunuh diri. Bagaimanapun, aku ingin melihat reaksinya.
Gerakan Donghae sempat terhenti namun hal itu tidak berlangsung lama. Bisa kulihat pria itu berusaha mengabaikan pernyataanku barusan.
“Aku tahu.” Komentarnya terdengar datar. Donghae bahkan tidak berusaha menatapku, pandangannya hanya terpusat pada tumpukan laporan.
Kenapa pria ini bersikap begitu dingin? Bukankah mereka baru bertemu kemarin? Dan menghabiskan waktu sekitar tiga jam lebih dalam kamar, bukan? Atau jangan-jangan Donghae adalah tipe lelaki yang tidak ingin menunjukkan kesedihannya?
Ketika aku masih tenggelam dalam aktifitas mengamati reaksi Donghae, tiba-tiba saja wajahnya mendongak, menangkap basah perbuatanku dengan kedua mata menatap garang. Ganti Donghae yang mengamatiku. Tangannya bertopang di dagu dan ada nada mendesak dalam pertanyaannya. “Ada yang ingin kau sampaikan, Miss Cardia?”
Aku mengerjap beberapa kali, mencoba menghilangkan kegugupanku sekaligus menutupi rasa bersalah karena telah berani berlama-lama menatapnya. “Err.. tidak ada, Sir. Saya hanya ingin tahu.. apakah Anda ingin menghadiri pemakaman Miss Loombergh hari ini, karena sepertinya anda cukup dekat dengan—”
“Miss Cardia,” sela Donghae keras. “Cukup urusi jadwalku. Jangan campuri kehidupan pribadiku.” ujarnya tajam. Seketika tubuhku menciut saat wajah rupawan itu berubah menjadi dingin, membekukan seluruh tungkai kakiku. Ada perasaan terluka yang aneh yang tertinggal di hatiku. Tapi segera terpecah ketika Donghae bertanya lagi.
“Ngomong-ngomong, apa saja jadwalku hari ini?”
Tanganku segera meraih notes kecil di sakuku dan membacakan jadwal Donghae seharian. “Anda memiliki rapat dengan IMaginary Corporation pukul sebelas pagi ini, Sir. Setelah itu ada sebuah janji temu dengan klien anda, Mr. Alex Kennedy pukul satu siang dan Miss Jennifer C. Houston pada pukul tiga sore. Tetapi Mr. Kennedy baru saja mengkonfirmasi bahwa dia memundurkan jadwal menjadi pukul tiga. Haruskah saya menggantikan anda untuk bertemu dengannya, Sir?”
Donghae berpikir sejenak, menimbang-nimbang setiap keputusannya dengan cermat. Dia menatapku sekilas tetapi kemudian langsung menggeleng. “Tidak perlu, aku akan menemui Alex lebih dulu. Sebaliknya, kau pergilah ke Jennifer. Katakan padanya aku akan terlambat lima belas menit.”
Aku mengangguk patuh. Tetapi sedikit rasa penasaranku menguap ke permukaan. Kenapa Donghae malah menyuruhku menemui Jennifer? Bukankah seharusnya dia lebih menyukai wanita cantik? Oh, well, bukan urusanku. Benar.
“Miss Cardia, sepertinya kau masih belum mengerti seleraku.” Kata Donghae dengan tangannya bertopang di dagu. Kedua matanya yang indah mengamati tubuhku dari atas hingga bawah, menyatroni setiap inci lekukan tubuhku dan mengacuhkan ekspresiku yang terluka.
Tidak ada yang salah dengan penampilanku hari ini. Aku menggunakan kemeja linen putih gading dan rok hitam selutut. Menurutku ini semua sudah lumayan, mengingat aku hanya memiliki tiga pasang pakaian yang layak untuk dipakai bekerja.
“Siapkan mobil. Kita pergi.” Perintahnya datar dan mulai menyusun beberapa lembar kertas laporan yang berserakan.
“Err.. kita akan kemana, Sir?” tanyaku bingung. Rapatnya satu jam setengah lagi dan akan berlangsung di sini.
Donghae berdiri, mengambil jasnya yang tergantung di sebelah kursinya lalu berjalan ke arahku. “Aku tidak tahan, Miss Cardia. Apakah ini pakaian terbaik yang bisa kau pakai bekerja?”
Pipiku menghangat mendengar ucapannya. Aku yakin bahkan tengkukku sudah ikut-ikutan memerah sekarang. Telingaku berdentam-dentam, mendengungkan irama jantungku yang dipenuhi emosi. Perasaan malu menyelinap dengan tidak sopan, membuatku menunduk menatap lantai pualam yang dingin.
“Maafkan aku, Sir.” Bisikku menggigit bibir. Haruskah kukatakan padanya kalau aku benar-benar tidak memiliki sepeser uang pun untuk membeli setelan kerja yang baru? Ingatan akan besarnya nominal hutang yang harus segera kulunasi membuatku menelan ludah dengan pahit. Aku tidak pernah merasa terhina seperti ini. Tapi Donghae benar. Pria itu tidak mengatakan sesuatu yang salah, karena dia sudah menjelaskan peraturan pertamanya padaku kemarin pagi.
Udara di sekitar kami terasa canggung—setidaknya bagiku—dan aku berusaha keras menahan airmataku yang mendesak keluar. Ugh, kenapa sifat sentimentilku harus unjuk diri di saat yang tidak tepat?
“Jadi, well—bersiaplah. Kita akan pergi sekarang juga.” Perintahnya cukup tegas, tapi aku bisa merasakan nadanya melembut. Donghae menggerak-gerakkan sepatunya gelisah. Aku yakin dia juga merasa tak nyaman dengan suasana ini, tetapi aku segera mengangguk dan menghubungi Chad.
Kami berkendara menuju St. Barbara Road dalam keheningan sementara Chad membiarkan Piano Sonata milik Beethoven mengisi kesunyian dalam mobil. Donghae belum mengatakan apapun lagi sejak dia menyuruhku bersiap dan aku terlalu malu bahkan untuk melirik wajahnya. Sepanjang jalan aku terus-terusan menatap ujung kukuku yang berbentuk oval, mencoba memikirkan sesuatu yang lain—sesuatu yang menyenangkan—namun gagal. Kepalaku dipenuhi dengan Donghae, pakaianku, hutang dan Donghae. Oke, sebenarnya Donghae muncul tiga kali, tapi kedengarannya seperti maniak kalau aku mengakui hal itu.
Mobil berhenti di parkiran LOEL Departement Store yang terlihat ramai oleh pengunjung. Chad menurunkan kami persis di depan pintu masuk dan berkata akan menunggu di mobil saja. Aku mengikuti langkah Donghae dengan kikuk, berusaha terlihat normal meski aku mencuri pandang ke arah punggungnya setiap semenit sekali. Jelas pria itu tidak repot-repot bertanya apapun dan memasuki semua toko yang sesuai seleranya. Dari cara berjalannya yang penuh percaya diri, aku yakin Donghae sudah kelewat sering mengunjungi toko-toko pakaian wanita. Kami memasuki sebuah butik di lantai dua dan Donghae langsung mengambil sepasang kemeja berlengan pendek berwarna peach juga celana panjang berwarna turquoise. Tidak hanya itu, ia menyambar apapun yang berjarak dua meter darinya. Sepatu, atasan ketat dan longgar, celana-celana, rok sutra bermotif, cardigan, bahkan saputangan. Donghae menumpuk semua itu di atas meja kasir yang terlihat kaget.
Pelayan toko langsung membungkus semua barang-barang itu hingga mencapai dua belas tas! Donghae melirikku dan berdeham canggung padaku yang berdiri melongo di depan pintu masuk. “Berikan ini padanya.” Kata Donghae terdengar salah tingkah. Pelayan wanita itu mengangguk dan segera menyerahkan semua tas itu padaku.
Kembali kurasakan pipiku merona sambil memperhatikan ujung sepatuku—yang benar-benar jelek jika di banding dengan salah satu dalam tas—dan berusaha mendengar berapa harga semua barang-barang ini. Rahangku nyaris jatuh ketika kasir wanita menyebutkan angka dua ratus ribu dollar. Yang benar saja! Dua ratus ribu dollar untuk semua ini? Mataku langsung mencari Donghae dengan putus asa dan memberikan semacam sinyal padanya. Aku bahkan memelototinya tetapi ia Cuma melirikku sekilas.
“Sir, maaf. Tapi sepertinya aku tak bisa membayar semua ini dengan gajiku—” Dengan sedikit kesusahan aku berlari mengejar pria itu yang sudah sepuluh langkah jauhnya dariku.
Donghae berhenti. Memutar kepalanya dan menatapku sedikit skeptis. “Biar kuperjelas, Miss Cardia. Begini, aku tahu barang-barang itu terlalu mahal bagimu tapi aku ingin kau tahu, apa kau pikir aku akan membiarkanmu berkeliling bersamaku memakai pakaianmu dan membuatku malu? Well, kau bisa anggap ini semua fasilitas, tapi aku benar-benar sudah menekankan padamu bahwa aku tidak mau sekretarisku terlihat ‘tidak menarik’, bukan?”
Rasanya bagai dihantam tepat di wajah—dan untuk sesaat, aku merasa lebih baik jika Donghae benar-benar menamparku saja. Aku tak mengerti bagaimana pria itu bisa begitu merendahkanku, membuatku terlihat seperti pecundang tak tahu malu. Aku menggigit bibirku kuat-kuat hingga rasa sakit mengalihkan kebencianku pada pria itu. Kedua matanya memandangku dalam dan aku balas memandanginya dengan seluruh emosi yang berkecamuk di hatiku.
“Akan kupastikan untuk melunasi ini semua, Sir.” Ujarku penuh keyakinan.
Ia mendengus dan memutar bola matanya. “Tidak perlu, Miss Cardia. Sebaiknya kau menggunakan uangmu untuk sesuatu yang lain, yang lebih penting.”
Aku tersentak mendengar ucapannya. Seketika saja, surat-surat hutang dan penyitaan itu berkelebat di kepalaku, menimbulkan kegelisahan yang tercetak jelas di wajahku saat ini. Aku tahu Donghae memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajahku dengan seksama. Tetapi pria itu tidak mengatakan apapun lagi dan meninggalkanku yang masih terdiam.
Sekembalinya ke kantor, Donghae menolak setiap interaksi denganku dan terang-terangan mengacuhkan panggilanku dari balik pintu. Setelah tiga belas menit, Donghae akhirnya memperbolehkanku masuk. Ia tidak sedang memeriksa laporan, melainkan bersandar di atas sofa berlengan di sudut kanan ruangan. Donghae memandangku dan menghela napas panjang.
“Kenapa kau belum menggantinya?” nada suaranya menunjukkan kelelahan. Sama sekali tak ada kemarahan kali ini. Dan itu benar-benar aneh. Yah, bukan berarti aku ingin memancing amarahnya atau apapun. Aku hanya tidak terbiasa melihatnya melunak. Belum.
“Kupikir.. aku, well—”
“Tidak bisakah kau berterima kasih saja? Aku tidak ingin berdebat mengenai masalah itu lagi, Miss Cardia. “
Lagi-lagi perasaan tak nyaman menyelubungi kami dan aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Kupaksakan sebuah ucapan terima kasih keluar dari bibirku dengan sopan dan enggan. Donghae mengangguk dengan sebuah senyum mematikan. Aku benci mengakui bahwa aku sama sekali belum bisa melupakan pemandangan tubuhnya kemarin sore dan sekarang pria itu malah memberiku senyum memesonanya.
Kelihatannya ia ingin mengatakan sesuatu padaku, namun bersamaan dengan itu ponselnya berdering, dan Donghae lebih memilih untuk menjawab teleponnya. Aku tidak tahu siapa penelpon itu, tetapi tampaknya Donghae terlihat gelisah dan berulang kali menatapku dengan gugup. Ia hanya menggumamkan “Ya,” atau “Aku tahu,” dan di ujung percakapannya, Donghae mengatakan sesuatu sambil menatapku selama tiga detik. “Baiklah, akan ku amankan secepat mungkin.”
Kalimat terakhir itulah yang menyadarkanku. Aku hampir melupakan peristiwa yang menimpa Anne dan dadaku seakan mendapatkan kejutan listrik, berdetak tidak sabaran. Pikiranku membentuk asumsi-asumsi dan sejuta pertanyaan baru dengan cepat. Siapa yang akan di amankan Donghae kali ini? Apakah ‘mengamankan’  berarti ‘membunuh’? Terlalu banyak kejanggalan dan sudah pasti Donghae tidak akan menceritakan semuanya dengan senang hati padaku.
“Bisakah kau menyiapkan kontrak baru untuk Marven sekarang? Aku harus menemuinya pukul satu nanti.”
“Ya, Sir.” Jawabku menurutinya dan segera keluar, kembali ke meja kecilku yang nyaman.
Sebenarnya aku sudah menyelesaikan kontrak baru untuk Mr. Dallagh kemarin sore, saat Donghae memerintahkanku untuk tidak mengganggunya. Tapi kupikir, setidaknya aku bisa menggunakan waktu ini untuk menemukan sesuatu.
Komputer kerjaku segera berdengung begitu aku menyalakannya dan aku sedikit kagum dengan koneksi internetnya yang super cepat. Butuh tiga detik bagiku untuk mengetik nama ‘Lee Donghae’ pada kolom search di laman Google dan nyaris terperangah saat ada dua puluh satu ribu berita mengenai dirinya. Kebanyakan dari situs-situs bisnis, berita ekonomi dan cukup sering namanya muncul di situs hiburan. Karena aku wanita, yang jelas-jelas lebih terikat dengan semacam kehidupan gosip—walau aku sebenarnya tak terlalu peduli pada gosip—aku membuka sebuah situs hiburan lebih dulu ketika membaca judul artikelnya; ‘Angelina Preist dan Lee Donghae umbar kemesraan di sebuah kelab malam’.
Isi berita itu membuatku harus menahan keinginan untuk mendengus. Karena tak hanya bergandengan tangan, foto-foto itu juga menunjukkan keduanya tengah berciuman—berbagi bakteri-bakteri menjijikan melalui lidah mereka dan berpelukan erat. Jelas sekali Donghae menikmati masa mudanya. Yah, meskipun artikel itu mendapat rating rendah karena aku yakin para pembaca setia portal itu sudah kelewat bosan melihat Angeline Preist bermesraan dengan banyak pria.
Tapi setelah menghabiskan lima menit untuk membuka hasil pencarian Google secara acak, aku menemukan namanya di dalam sebuah situs kepolisian. Bukan, itu bukan situs resmi kepolisian, meskipun header-nya hampir mirip dengan logo resmi penegak keadilan kota Los Angeles, tetapi sepertinya pemilik situs ini lebih ingin curhat dengan membeberkan beberapa infomasi yang dinilai masih simpang siur. Yang lebih mengherankan, nama Lee Donghae muncul dalam beberapa kasus pembunuhan, meskipun si penulis sendiri masih tak yakin pria itu memiliki kaitan erat dengan kematian-kematian aneh tersebut. Di langsir dari laman thecopsarefake.co.us, mereka menulis:
“Sumber-sumber gelap mengatakan bahwa Lee Donghae, Eksekutif muda yang menguasai berbagai macam industri-industri besar seperti manufaktur, konstruksi, pariwisata, pabrik konfeksi terkemuka serta mendalangi perusahaan Trading Ekspor-Impor paling berpengaruh di Los Angeles ternyata memiliki sisi kehidupan yang layak di pertanyakan. Sekilas tak banyak yang meragukan kepiawaiannya dalam menangani bisnis-bisnis bernilai miliaran dollar, tapi di balik semua pencapaiannya, berhembus kabar bahwa Lee Donghae menjalankan sebuah bisnis illegal yang ditutupi dengan rapi. Belum ada satu orang pun yang bersedia memberikan keterangan lebih rinci mengenai bisnis yang di geluti pria berusia dua puluh Sembilan tahun itu, sebab sejauh yang kami tahu, Lee Donghae menutup rapat-rapat kehidupan pribadinya, selain kekayaannya yang telah melegenda dan hubungan cintanya yang di penuhi wanita-wanita cantik.”
Penggunaan kata “kami” dalam penggalan artikel itu membuatku mengambil kesimpulan bahwa mereka hanya berusaha mendiskreditkan Lee Donghae. Well, dengan kekayaan – ketampanan – serta kepintarannya, sudah pasti akan ada banyak pihak yang berusaha menjatuhkannya, bukan?
Meskipun sedikit jengah dengan informasi yang kudapatkan tadi, aku masih berusaha mencari berita-berita lain yang berkaitan dengan Donghae di situs itu. Dan kali ini otakku berputar cepat. Gabungan informasi dan hipotesis sinting mereka sepertinya mulai meracuniku.
“Tidak ada manusia yang sempurna. Itu ungkapan yang berlaku bagi siapa saja, termasuk Lee Donghae. Pria itu disinyalir menjadi dalang atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi dua bulan belakangan. Polisi sudah menetapkan kasus ini sebagai kasus bunuh diri dan hal itu menuai tanggapan miring bagi beberapa orang. Meskipun tidak di tetapkan sebagai tersangka dan di bebaskan dari segala tuduhan, tetap aja ada beberapa hal ganjil yang (mungkin) saling berhubungan. Dari tiga kasus pembunuhanyang kami curigai memiliki kerterkaitan dengan Lee Donghaedua di antaranya dinyatakan sebagai bunuh diri dan sisanya dianggap kecelakaan. Sebagian orang mungkin akan melewatkan hal ini, tetapi beberapa fakta membuat kami merasa bahwa ketiga kasus itu merupakan pembunuhan yang di dalangi oleh Lee Donghae.
Fakta pertama: Ketiga korban itu adalah wanita cantik. Seperti yang diketahui, Lee Donghae nyaris mencicipi seluruh wanita cantik di Los Angeles, tetapi ketiga wanita ini memiliki latar bekang yang mirip. Renne, Carmen dan Natalie, ketiganya berasal dari Nevada, pengusaha tekstil di California sekaligus mantan public figurekecuali Carmen yang anak mantan Walikota.
Fakta kedua: Mereka mati dua belas jam sejak pertemuan terakhir mereka dengan Lee Donghae. Pihak kepolisian memang sudah memastikan alibi Lee Donghae dan dinyatakan bersih, namun hal yang paling mengganggu adalah Lee Donghae selalu menjawab hal yang sama ketika bagian investigasi menanyakan apa yang di lakukannya ketika terakhir kali dia bertemu dengan wanita-wanita itu; mereka bercinta. Jawaban itu membuat sebagian orang beranggapan bahwa lelaki itu maniak. Tetapi dengan berdalih, Lee Donghae menyatakan bahwa wanita-wanita itulah yang memaksanya.
Fakta ketiga: Semua aset yang dimiliki ketiga wanita itu hilang secara mendadak. Mungkin hal ini yang paling di pertanyakan, sebab sebagai pebisnis, tentu saja Lee Donghae di duga sengaja menyingkirkan kekasih-kekasihnya untuk mengambil alih kekayaan mereka. Tetapi, lagi-lagi belum ada bukti kuat untuk mendukung teori tersebut. Pihak kepolisian tampaknya benar-benar di buat bingung oleh pernyataan pria yang pernah mengambil empat jurusan sekaligus di Universitas Havard itu. Pasalnya, Lee Donghae bersikeras bahwa dia juga turut merugi atas saham yang dia investasikan ke tiga perusahaan tekstil tersebut dan meminta pengacara pribadinya untuk segera menyelesaikan sengketa kerugian saham yang dialaminya.
Terlepas dari ketiga fakta yang menyudutkan posisinya sebagai pengusaha muda paling sukses, berhembus kabar lain yang tak kalah menggemparkan. Berbagai perspektif munculterlebih dari para wanitayang mengklaim bahwa pria itu sama sekali tak menyerupai manusia, melainkan perwujudan seorang malaikat tampan. Siapapun memang tak akan bisa menolak pesona Lee Donghae yang memabukkan, tetapi terdengar desas-desus bahwa ia senang ‘memangsa’ wanita cantik dan ‘mencicipi’ darah mereka setelah ia bosan. Menurut beberapa wanita yang pernah menghabiskan beberapa malam dengan pria itu, Lee Donghae memiliki kebiasaan-kebiasaan aneh dan mengatakan pria itu sama sekali tidak pernah tidur. Fakta ini terdengar sedikit menggelikan, namun seakan menambah rasa penasaran semua orang, Lee Donghae sama sekali menolak berkomentar mengenai isu-isu miring mengenai dirinya. Bisa saja teori mengenai keberadaan vampir nyaris terpenuhi jika melihat—”
Dengan satu gerakan kecil yang sederhana, aku menekan tombol power dan seketika komputer kerjaku mati. Lee Donghae telah berdiri tepat di sampingku, Ya Tuhan! Sejak kapan ia berdiri di sana? Aku masih bertanya-tanya apakah dia menyadari apa yang sedang kulakukan—tepatnya yang sedang kubaca—dan dengan perasaan bersalah, aku melirik bosku.
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kemarahan apapun. Ia hanya terlihat sedikit heran dengan keningnya yang berkerut memandangiku. “Mengapa komputernya tiba-tiba mati?” tanyanya terdengar bingung.
Aku berdeham salah tingkah. Mencoba berbohong sebisa mungkin. Ya Tuhan, semoga dia tidak menyadarinya. “Se–sepertinya aku salah menekan tombol, Sir. Aku—tidak terbiasa memakai komputer canggih.” Jawabku dengan dada berdebar keras.
Donghae masih menatapku ragu, tetapi sepertinya ia tidak ambil pusing dengan kegugupanku yang tampak jelas. “Apakah kontrak baru itu sudah selesai?”
“Ya, Sir.” Tanganku menyerahkan sebuah map hitam dengan gemetaran. Segera saja aku merutuki sistem kendaliku yang kelewat lemah, tak mampu menahan debaran jantungku yang terlampau keras.
Lagi, Donghae memandangku ragu, memastikan apa yang salah denganku lewat tatapan mengintimidasinya. Tetapi setelah beberapa menit menganalisis, tampaknya ia menyerah. “Baiklah. Sekarang aku mau kau mengganti pakaianmu dan setelahnya kita akan bergegas rapat.” Kata Donghae lalu berjalan masuk ke ruangannya lagi.
Aku melorot ke kursiku sambil memegangi dada, mencoba menghalau setiap detakan tak beraturan jantungku. Nyaris. Benar-benar hampir saja. Apa yang bakal di pikirkan Donghae jika ia melihatku sedang membaca gossip-gosip bodoh tentang dirinya? Hanya ada satu kata: tak bermoral. Aku bahkan bisa melihat kelanjutannya dalam kepalaku: Satu kata “Kau di pecat!” dari Donghae sudah cukup untuk membuatku menggelandang di jalanan kota sambil berharap akan mendapatkan sekeping uang untuk bertahan hidup. Lalu pemerintah akan mengirimku ke penampungan kota dan keluargaku bakal tamat.
Tidak bisa. Aku harus bertahan. Demi setiap senyum dari wajah-wajah yang kusayangi, demi lima persen kebahagiaan yang nyaris tak bisa kudapatkan, demi perasaan bahwa aku bukan seseorang yang tak berguna. Aku harus bertahan menghadapi semua ini. Ketakutanku memang cukup besar, tapi bukan berarti aku harus menyerah. Aku bukan gadis lemah, dan aku akan membuktikannya.
Dua belas menit setelah aku selesai mengganti pakaianku dengan celana panjang putih dan kemeja bergaris-garis hitam-putih-merah, Lee Donghae keluar dari ruangannya. Pria itu menatapku sebentar, mengamati penampilanku dengan puas sambil mengangguk tak kentara. Aku? Berdiri seperti perempuan tolol dengan rahang menganga dan mata membelalak lebar.
Lihat dia! Lee Donghae mengenakan kemeja putih—dengan ujung lengan hitam—yang ditutupi rompi warna navy blue, celana panjang berwarna senada dan sebuah dasi bergaris putih-hitam terselip  di antara kemeja dan rompinya. Rambut pria itu sama sekali tidak rapi, tetapi terkesan seksi dengan sengaja di buat berantakan. Lee Donghae bahkan memakai sepasang sarung tangan putih yang menutupi sepertiga dari punggung tangannya. Satu lagi, satu hal yang membuatku lupa bernapas—atau dalam kenyataannya, hidungku sama sekali tidak menemukan oksigen—adalah aromanya. Dalam jarak tak kurang dari lima meter, aku bisa mencium perpaduan wangi cengkeh, chamomile, kayu manis serta vanilla, yang membuat jantungku meloncat dari tempatnya. Sungguh menawan. Sungguh menggoda. Sungguh membuat hilang akal. Aku bahkan tak sadar bahwa wajahku kelihatan super idiot, yang ada di pikiranku hanyalah Lee Donghae, Lee Donghae dan Lee Donghae.
Kakiku bahkan langsung terasa limbung ketika ia mendekatiku—dengan wajah tampan, tubuh seksi dan aroma yang membiusku hidup-hidup. “Ada masalah, Miss Cardia?” tanya Donghae cukup prihatin. Oh, sudah seharusnya dia prihatin, sebab aku benar-benar kayak pasien sakit jiwa yang menderita delusi akut sekarang.
Sial, sial, sial. Ayolah, otak, jangan mulai berpikir yang tidak-tidak. Fokus sajalah!
“Err.. tidak ada, Sir.” Jawabku setelah bersusah payah. Bernapas, Youva! Dan aku langsung menyesali keputusanku untuk mengisi paru-paruku yang menciut. Sebab udara hanya di penuhi oleh Lee Donghae yang beracun.
Donghae memiringkan kepalanya sedikit, mencoba menguji pertahanan diriku lebih jauh, seakan menanti kapan aku akan menyerah dan menghamburkan diri dalam pelukannya. “Begitu? Baguslah. Kuharap tak ada masalah apapun.” Bisiknya penuh godaan. Menyipitkan mata dan mendengus geli. Apakah isi hatiku terbaca jelas?
Ia berjalan mendahuluiku sementara aku berusaha menyelamatkan sisa-sisa kewarasanku  yang hampir tergilas oleh pesonanya. Maksudku, apakah pria itu memang selalu menguji sekretarisnya seperti ini? Ya Tuhan, aku baru saja bertekad untuk terus bertahan dan pria itu mengacaukannya. Tidak, aku tidak boleh jatuh cinta dengannya. Lee Donghae sama sekali tidak menarik. Oke, bohong. Dia memang menarik, tapi aku tak akan tergiur. Sumpah.



Rapat dengan IMaginary Corporation berlangsung cepat. Keputusan perwakilan perusahaan tersebut mengenai pengambilalihan terhadap saham aktif di beberapa sektor perusahaan tampaknya cukup sederhana dengan adanya pembagian dividen yang menguntungkan Lee Donghae. Pria itu hanya mengomentari beberapa hal dan selebihnya mendengarkan presentasi dengan wajah malas. Aku mengamati ruang rapat dari sudut ruangan, berdiri sambil memegangi notes dan mencatat beberapa hal penting tetapi perhatianku segera teralihkan.
Hampir semua—well, memang semua—wanita di ruangan ini memandangi Lee Donghae dengan tatapan putus asa dan separuh sinting. Donghae duduk di barisan ujung, tetapi wanita-wanita itu terus saja berbalik ke belakang setiap satu menit dan mendesah lapar. Agak menyedihkan sebenarnya, mengingat beberapa wanita malah terlampau tua untuk bisa berjalan dan bergandengan tangan bersama pria itu. Tetapi seolah sepuluh tahun lebih muda, mereka menatap Donghae dengan wajah genit.
Gerakan-gerakan rutin Donghae yang menimbulkan desahan memuja dari para wanita di ruangan ini adalah ketika pria itu menyisir rambutnya dengan tangan. Aku juga harus mengakui bahwa gerakan itu membuat aura luar biasa seksi terpancar dari dirinya. Sesekali dia juga meletakkan kedua tangannya di belakang kepala, membuat otot lengannya—yang tersembunyi di balik kemeja—berdesakan memamerkan betapa mengagumkannya mereka.
Praktis, rapat di bubarkan lebih cepat. Karena tak ada satu hal pun yang di kerjakan wanita-wanita itu—yang merupakan pemegang saham—lakukan selain menggigit bibir mereka dan memandangi Donghae seakan dia itu malaikat, bersinar di tengah ruangan redup. Dua puluh menit setelah mereka menyudahi presentasi yang sama sekali tak berguna itu, ruangan di sibukkan dengan obrolan santai Donghae dan salah satu pemegang saham terbesar, Mr. Glimmer. Walaupun sebenarnya mereka harus kelihatan santai, kenyataannya tetap saja raut wajah Donghae dan Mr. Glimmer tampak waspada. Aku yakin mereka mencoba menganalisis pembicaraan mereka dengan hati-hati.
Tetapi tiba-tiba pikiranku kembali tersadar, ketika salah seorang pegawai PHOENIX memulai bisik-bisik mereka di belakangku. Bagai terseret dalam pusaran deras keingintahuan, aku mendengar beberapa kalimat mereka yang bergosip tentang kematian Anne dan otakku langsung berspekulasi.
Aku tahu bahkan kedengarannya bakal gila kalau aku mengiyakan teori naïf yang mengatakan bahwa Donghae itu sejenis vampire atau semacamnya. Well, yah, walaupun aku baru saja menyadari kalau ada lingkaran hitam yang menggantung di area bawah mata Donghae. Ia memang tidak kelihatan seperti panda, tetapi semakin kuperhatikan, bayangan hitam itu semakin terlihat jelas. Dan sepertinya itu membenarkan dugaan bahwa ia tidak pernah tertidur. Tapi tunggu, bagaimana mungkin seseorang bisa tidak tidur berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu?
Hal-hal aneh bisa saja terjadi di dunia ini, tetapi Donghae adalah vampire bukan salah satunya. Bagaimanapun.. ia masih kelihatan cukup manusia bagiku. Minus ketampanannya dan er.. baiklah, betapa sempurnanya ia. Tapi tetap saja, itu semua tidak cukup untuk mengklarifikasi teori vampire. Jadi, kuputuskan kalau mereka salah.
Dan otakku mulai membedah informasi mengenai—yang mereka katakan sebagai—pembunuhan itu. Yah, secara teoretis mereka hampir benar, dengan memberikan beberapa fakta yang mengejutkan. Donghae telah mengencani wanita-wanita cantik di seluruh Los Angeles adalah salah satu fakta yang tak terbantahkan. Aku mengenal Renne dan Natalie dari berbagai acara Variety Show, karena mereka lumayan sering muncul di layar televisi. Tetapi ketiganya ternyata memiliki usaha pada bidang tekstil dan meninggal dalam waktu dua belas jam setelah bertemu dengan Donghae di kamar hotel. Dan kalau begitu Anne juga mungkin meninggal sekitar pukul dua pagi, mengingat terakhir kali ia bertemu dengan Donghae adalah pukul dua kemarin siang.
Tetapi… kenapa? Itu adalah salah satu pertanyaan yang terus menggeliat di kepalaku. Kenapa Donghae membunuh mereka? Apakah memang karena uang? Aku agak meragukan jawaban itu, karena kekayaan Donghae sendiri sudah cukup untuk membuatnya membangun istana dari setiap lembar uang yang dimilikinya. Jadi memang ada yang aneh. Meskipun, well, aku tetap tidak bisa menuduhnya sembarangan, aku juga harus berhati-hati. Bahkan Mr. Dallagh telah memberitahuku bahwa ada alasan khusus mengapa Donghae memperkerjakanku sebagai sekretaris pribadinya, bukan?
“Kudengar kau bertemu Miss Loombergh kemarin siang, benarkah?” pertanyaan Mr. Glimmer yang menusuk itu langsung membungkam ruangan menjadi hening.
Donghae tidak menunjukkan perubahan ekspresi apapun. Ia masih waspada. Kedua tangannya saling bertaut dan ia tersenyum mengejek pada Mr. Glimmer. “Kalau kau punya cukup waktu untuk memata-mataiku, sebaiknya kau mulai memikirkan untuk pensiun, Glimmer.”
Dengungan menjalar ke seluruh ruangan, memberikan efek dramatis yang mengagumkan pada kalimat balasan Donghae. Mr. Glimmer bergerak gelisah di kursinya dan berdeham pelan. “Aku tidak memata-mataimu. Bagaimanapun seluruh orang membicarakan hal itu, kau tahu.”
Kali ini seringai Donghae bahkan lebih lebar. “Jadi yang kau lakukan sepanjang hari hanyalah duduk malas di sofamu dan menggosip seperti wanita? Hebat sekali.” Sindirnya langsung.
Sikap profesionalitas mereka sudah hilang sekarang. Mr. Glimmer memberengut pada Donghae dan segera bergegas dari kursinya, meninggalkan Donghae yang kelihatan amat puas. Pria itu menoleh ke arahku, memberi isyarat agar aku mendekatinya.
“Siapkan mobil.” Perintahnya tegas. Aku mengangguk paham dan berjalan keluar dari ruangan. Dari sudut mata, kulihat pria itu duduk di kelilingi wanita-wanita cantik yang terus memberikan tatapan memuja padanya dan aku menahan diri untuk tidak mendengus. Tipikal.

Chad sudah berdiri di sampingku lima belas menit kemudian, sama-sama menanti Donghae di samping mobil. Seperti biasa, Chad tidak banyak berkomentar apapun. Dia hanya bersiul beberapa kali dan menunggu dengan wajah sabar. Sementara aku tidak bisa setabah itu. Pergelangan tanganku bahkan sudah ratusan kali berputar untuk memastikan bahwa jarum jam belum bergerak ke angka satu.  
“Youva?” seseorang memanggilku dengan suara nyaring, membuatku terlonjak dan buru-buru mencari sumber suara.
Pupil mataku melebar melihat wajah yang menatapku penuh ingin tahu. Dan serbuan ingatan membanjiri kepalaku. Perasaan takjub dan nostalgia langsung terlihat efeknya. “Janne!” pekikku nyaring.
Janne langsung berlari mendekatiku. Kami berpelukan dan aku tak tahan untuk tidak melompat-lompat bahagia. Wanita dengan rambut pirang ikal dan mata biru bersinar ini sahabat lamaku. Bukan, malah Janne bisa di bilang sebagai penyelamatku, apapun artinya itu. Pada masa-masa pertama kali aku tiba di Los Angeles, Janne lah satu-satunya orang yang mau menerimaku. Kami menjadi sahabat bertahun-tahun lamanya dan menghabiskan waktu berdua di mana pun dan kapan pun. Yah, itu sebelum Aaron datang dan merusak hubungan kami. Pria itu resmi menjadi suami Janne setahun lalu dan melarang sahabatku untuk bertemu denganku. Ironis sekali.
“Oh, Ya Tuhan, aku kangen sekali padamu, girl!” seru Janne penuh haru. Ia menggigit bibirnya lalu memelukku lagi.
“Kau tahu aku selalu kangen padamu.” Aku mendesah dan mencoba menghalau airmataku yang mulai merebak.
“Kenapa kau ada di sini?”
“Well, aku bekerja di sini, Janne. Bagaimana denganmu?”
“Aku harus.. mengurus beberapa hal dengan Aaron. Tahu kan.”
Ah, ya. Tentu saja aku tahu. Aaron pengusaha properti. Dia sudah pasti melakukan kerja sama dengan PHOENIX.
“Hei, aku ingin tahu apa kabarmu setahun belakangan. Kau baik-baik saja, kan?”
Aku baru akan menjawab pertanyaan Janne ketika kudengar Chad memanggil namaku. Detik itu juga Donghae keluar dari pintu masuk gedung dan berhenti pada anak tangga terakhir. Pria itu melirikku sekilas dan aku berharap bahwa seharusnya ia keluar paling tidak setengah jam lagi. Benar-benar merusak momen nostalgiaku bersama Janne.
“Dengar, aku harus segera pergi. Aku sangat kangen padamu, Janne. Kuharap kita punya waktu untuk ngobrol. Teleponlah aku kalau Aaron tidak ada di rumah, oke?” jawabku tergesa-gesa dan menyempatkan diri untuk memeluk Janne yang kebingungan sebelum masuk ke mobil.
Janne melambai padaku dengan penuh senyuman suportif darinya dan aku membalas lambaiannya sebelum kedua mata Donghae menangkap perbuatanku. Mobil berjalan dengan perlahan, dan aku berterima kasih pada Chad atas hal itu. Ia membuatku bisa mengamati sosok Janne yang masih berdiri di sana lebih lama.
“Miss Cardia,” panggil Donghae ketika mobil sudah bergabung dengan ratusan kendaraan di Santa Monica Boulevard.
“Ya, Sir?” Aku menyahut dengan suara nyaring. Plus senyum lebar yang lebih mirip cengiran. Aku masih berada di tempat berbahagiaku.
“Aku tidak ingin kau kehilangan keprofesionalitas-anmu di waktu bekerja. Jadi, yakinkan aku agar kau tidak bertingkah seperti itu lagi.”
Seluruh perasaan yang kudapat ketika bertemu sahabatku setelah setahun terpisah langsung menguap, berganti kekecewaan dan kemarahan. Senyumku memudar dengan cepat. Dan kini aku berjuang untuk mengendalikan emosiku. Kepalaku sudah di penuhi sumpah serapah dan protes-protes ketidakadilan pada pria itu. Kenapa aku bahkan tak boleh merasa senang sebentar saja?
Dan sama seperti sebelumnya, tak ada lagi yang bisa kulakukan—dan kukatakan—selain mematuhi perintahnya. “Ya, Sir.” Jawabku pelan, meski aku yakin tengkukku sudah menyala terang.
Ia membuang pandangannya ke jalanan dan tak mengatakan apapun lagi setelahnya. Meninggalkanku yang tengah terduduk dengan kuku-kukuku menghujam telapak tangan.
Mobil membelok ke jalanan Rodeo Drive beberapa saat kemudian, memasuki kawasan Beverly Hills yang berada di barat kota Los Angeles. Jalanan ini sangat populer, dipenuhi butik-butik dan toko-toko ekslusif yang mengagumkan. Dari balik kaca mobil, aku melihat langsung bagaimana usaha kelompok kapitalis borjuis membelanjakan seluruh dollar yang mereka punya di tempat ini. Mereka harus terlihat menakjubkan dengan tas tangan asli buatan Prada, kacamata dengan label Gucci di gagangnya dan Vector W8 merah menyala yang mereka kendarai. Rodeo Drive berarti satu hal: diskriminasi. Karena kelompok non-borjuis tidak akan bisa berjalan melewati setiap deretan toko di sini tanpa merasa menjadi satu-satunya alien yang salah tempat.
Dan aku adalah salah satunya. Menginjakkan kaki di Rodeo Drive sudah sangat menyiksa apalagi dengan Donghae yang berdiri di sebelahku. Ia seperti magnet—lagi-lagi—menarik begitu banyak mata yang langsung memberikan tatapan memuja tanpa henti padanya. Sementara aku menggigit bibir dan berusaha agar kutukan-kutukan kebencianku tidak sampai di dengar telinganya.
Pelayan di 208 Rodeo Restaurant membukakan pintu bagi kami. Ketika aku menyebutkan Mr. Dallagh, mereka segera mengantar kami ke tingkat dua dengan lift. Ternyata Mr. Dallagh sudah berada di sana lima belas menit yang lalu. Tetapi sepertinya ia tidak terlihat keberatan menunggu Donghae sebab pria tua itu malah tersenyum ramah.
Mr. Dallagh menjabat tangan Donghae dan segera merentangkan tangannya lebar-lebar ke arahku. Aku langsung membungkuk empat puluh lima derajat dan menjaga wajahku tetap serius pada Mr. Dallagh ketika Donghae memandangiku. Mr. Dallagh tergelak, mengira sikap kaku itu sebagian dari usahaku untuk melucu.
“Ayolah, jangan bersikap begitu dingin. Ini hanya aku.” Seru Mr. Dallagh sedikit cemberut. Aku melirik Donghae yang sudah mengalihkan pandangannya pada buku menu lalu melemparkan seulas senyum ragu-ragu pada Mr. Dallagh.
“Bagaimana dengan rapatmu, nak? Semuanya lancar?” tanya Mr. Dallagh pada Donghae. pria tua baik hati itu menawariku tempat duduk dan aku menolaknya. Aku tidak ingin menambah kekesalan Donghae sebab ia kini sedang meraung marah.
“Kalau saja Glimmer tidak merusak semuanya! Yang benar saja! Kapan lelaki brengsek itu akan berhenti menggangguku?”
Mr. Dallagh memutar bola matanya. “Jangan konyol, nak. Dia tidak akan pernah berhenti menganggumu, sama seperti kau tidak akan pernah berhenti menyingkirkannya.”
“Yeah, benar. Tapi kenapa sih, tidak ada yang memesannya? Aku tidak sabar untuk segera menghabisinya.”
Jawaban Donghae barusan menimbulkan efek ganda. Ruangan menjadi hening sejenak dan aku bisa melihat Mr. Dallagh memberikan tatapan memperingatkan pada Donghae. Dari sudut mata, aku mendapati Donghae yang terbatuk kecil dan menambahi ucapannya dengan gumaman rendah. “Maksudku, membuatnya segera pensiun.”
Aku tahu aku tidak seharusnya mendengar hal itu, karena baik Mr. Dallagh dan Donghae berulang kali melirikku gelisah. Jadi sebagai seorang Sekretaris yang professional, aku berpura-pura tidak mengerti apapun dan hanya memandangi ujung sepatu baruku. Tetapi yang sedang kubohongi adalah Lee Donghae. Pria itu bahkan terlampau cerdas untuk melewatkan aksi aku-tidak-mendengar-apapun dariku.
“Miss Cardia, tinggalkan kami berdua.” Perintahnya masam. Aku mengangguk dan buru-buru melangkah keluar dari ruangan itu. Sedikit lega karena tak lagi harus bertindak seperti orang yang tidak punya telinga. Tapi sebelum pintu menutup dengan sempurna, aku mendengar Mr. Dallagh berkata dengan nada tidak setuju.
“Kau tidak perlu sekeras itu padanya.”
“Dia sekretarisku, Marven. Hal apa lagi yang bisa kuharapkan darinya?”
Suara terakhir tentu saja milik Donghae. Sebenarnya lucu sekali karena aku bertanya-tanya apakah Donghae bahkan mengharapkan sesuatu dariku? Itu benar. Aku Cuma wanita yang tak-punya-apapun-selain-keberuntungan untuk bisa menjadi sekretarisnya. Aku berani bertaruh akan ada begitu banyak wanita yang berusaha mati-matian untuk bisa menjadi sekretaris Lee Donghae. Dan kenyataan bahwa Donghae memilihku terdengar tidak masuk akal sekarang. Aku tidak cantik. Tubuhku tidak seperti model-model seksi Los Angeles dan aku tidak memiliki apapun selain tabungan lima ratus dollar. Kulitku tidak bersinar seperti porselen atau memerah di bawah sengatan matahari. Ini jenis kulit yang akan langsung terlihat menghitam jika aku membiarkan matahari menjilatku lebih lama. Bola mataku bukan biru safir, yang kelihatan cantik dengan maskara dan eyeliner, tetapi hitam. Hitam membosankan tanpa kilauan apapun. Singkatnya aku berada dalam skala nilai empat dari sepuluh.
Sementara Donghae bisa mendapatkan seluruh wanita bernilai sepuluh, dia malah memilihku, Youva Cardia yang menyedihkan, untuk menjadi Sekretarisnya pribadinya. Apa memang benar-benar ada semacam konspirasi di balik keputusan anehnya itu?

***


10 komentar:

  1. keren.. ditunggu next partnya
    maaf yah selama ini gk komen. sebetulnya berusaha komen cuman gagal mulu :p.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahahh makasih yaa ataly..
      Doain aja supaya cepat kelar ya ;w;)

      Hapus
  2. Awalnya sii sempet kepancing gitu, kalo Dingek emang seorang pembunuh, tp rasa2nya itu kok ngga mungkin yaa #SokTau :D

    Dan... apakah ini bener2 hanya dari pov-nya Youva doang? Gag ada yg lain? #kepo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Errrr mari kita lihat aja kelanjutannya yaa hahah =w=;;

      Emang cuma pov youva kok, soalnya aku mau buat readers sama penasarannya kyk youva hehe *dilempar botol*

      Hapus
  3. Seperti biasa..cerita yg kamu buat selalu menantang dan gak jauh2 dari action^^ untuk ditulisan gaada masalah, aku suka cara nulis kamu. Semua cerita kamu juga bagus (^^bb) yg kurang cuma............. Update-an kamu, haha..cukup lama soalnya. Tp gapapa, aku tetep nunggu!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh hehe maaaaap yaa ;w;)
      Aku udh usahain ngetik secepat mungkin tapi ttep aja butuh sebulan huhu

      Bytheway makasih buat apresiasinya yaahh. Awalnya aku takut mau ngepost ff ini karena pov dan gaya nulisnya sedikit beda. Tapi abis baca komen kamu aku langsung semangat :)

      Hapus
  4. Makin penasaran...siapa donghae itu sebenarnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lee Donghae adalah..........................*jengjengjeng* rahasia :p
      *ditampol bata*

      Hapus
  5. Mengamankan mengamakan mulu... Emang mengamankan hatiku? >< *abaikan hehee.. Donghae siapa sii? :3 penasarann lanjut neee

    BalasHapus
  6. Ntah kenapa di part ini aku ketawa terus.. hahaha
    Well, kykny donghae emang agk keras deh sm cardia..

    BalasHapus